You are on page 1of 6

Etika Media dalam Studi Kasus Majalah Playboy Problematika yang dialami pers masa kini adalah orientasi

jurnalisme itu sendiri sudah condong untuk kepentingan komersil atau bisnis. Pers menjadi lebih materialistis yang lebih memntingkan keuntungan financial melalui rating belaka, sementara kualitas isi berita tidak begitu diperhatikan. Pers seharusnya melakukan kegiatan jurnalistik sebagai public guardian, melindungi masyarakat dari kegagalan pemerintah. Pers seharusnya memberitakan tentang halhal penting yang bermanfaat bagi masyarakat, terutama segala informasi mengenai pemerintahan di negaranya agar masyarakat tidak salah dalam memilih seorang pemimpin. Tidak begitu dengan Majalah Playboy Indonesia. Mereka mengadaptasi majalah dengan nama sama yang merupakan induknya yang berasal dari Negri Paman Sam. Dengan segala konten yang berbau sex, pornografi, dan pengetahuan umum lain yang masih berhubungan dengan hal-hal tersebut Dari sudut pandang kebebasan pers tentu saja hal ini tidak salah karena majalah tersebut telah memiliki pangsa pasar dengan rentang umur yang jelas. Juga dijual dengan oplah yang terbatas dan di tempat-tempat tertentu pula. Dengan sedemikian rupa telah dirancang dan disesuaikan oleh keadaan nyata yang ada di Indonesia. Tetapi, muncul beberapa kelompok masyarakat yang menentang kemunculannya. Hal tersebut semakin panas ketika prose hukum pun berjalan di meja hijau. Setiap prosesnya sangat dinanti karena hal ini juga menjadi salah satu sejarah besar bagi dunia pers dan media cetak khususnya. Erwin Arnada, Pemimpin Redaksi Playboy Indonesia kala itu di dakwa dengan KUHP pasal kesusilaan dan kesopanan dituntut dua tahun penjara. Setahun proses akhirnya beliau di putus bebas karena bukti dan syarat yang masih kurang lengkap. Sejak saat itu pun beliau menghilang. Selama menghilangnya sejak tahun 2007 hingga saat ini kasus itu pun bergulir kembali dengan bukti baru dan tuntutan baru karena menggunakan senjat baru yaitu UU Pornografi. Sempat hampir dinyatakan sebagai DPO Polri, akhirnya Erwin menyerahkan diri dan memunculkan keberadaannya yang ternyata di Bali. Dari sudut pandang etika, Stuart Allan membagi pandangan jurnalisme mainstream dalam membahas etika media dalam empat kategori, yaitu:

1. Pendekatan sinis amoral sesuai dengan isu-isu etis yang memiliki sedikit relevan dengan jurnalis. 2. Pendekatan etika relativis, adalah teori bahwa, karena masyarakat yang berbeda memiliki keyakinan etis yang berbeda. 3. Pendekatan standar profesional, yang menekankan komitmen wartawan untuk menyetujui kode serikat profesional dan perdagangan etika dan pedoman editorial. 4. Pendekatan profesional liberal, hampir seluruhnya berkonsentrasi pada isu-isu mainstream mengkritik perspektif standar profesional dari berbagai sudut pandang. Dalam kasus majalah Playboy Indonesia ini, sebagaimana pendekatan sinis amoral, jurnalis seharusnya bisa mengambil hikmahnya. Dalam artian bahwa di Indonesia jurnalisme seperti ini masih dianggap miring dan belum diterima secara terbuka meskipun Indonesia menganut pers bebas. Dengan konten yang menyerempet nilai etis moral seperti itu, berarti harus ada persiapan yang cukup panjang dalam pembentukkannya. Mungkin majalah ini menggunakan pendekaan etika relativis, dimana beda masyarakat beda pendapat karena berbeda etika. Tetapi tetap saja butuh suatu persiapan panjang dalam kelahirannya. Tak sekedar hanya majalah ini sudah sesuai umur dan sebagainya, tapi lebih dari itu. Mengingat Indonesia tidak sepenuhnya menganut aliran pers bebas. Airishwisnu, Media Cetak: Etika Media dalam Studi Kasus Majalah Playboy diakses melalui web http://airishwisnu.wordpress.com/2011/02/22/media-cetak-etika-media-dalam-studikasus-majalah-playboy/ pada 15 Oktober 2012 Pukul 18.30

Tempo Vs Tomy Winata

Ketika pengadilan menjatuhkan vonis hukuman kepada Pemimpin Redaksi Tempo (16/9), atas kasus pencemaran nama baik Tomy Winata, terjadi silang-pendapat. Di pengadilan, pihak Tomy Winata tetap kencang menuntut. Di kalangan pers, berbagai pihak menyoal keabsahan sumber anonim dan dokumen yang dijadikan dasar pelaporan Tempo. Hal ini bermula dari pelaporan majalah Tempo berjudul Ada Tomy di Tenabang (edisi 3 -9 Maret 2003). Dalam pelaporan tersebut, Tempo mengangkat kasus kebakaran di Pasar Tanah Abang. Pemberitaan Tempo berbeda dengan pemberitaan pada umumnya. Di laporannya, Tempo menyebut ada Tomy Winata tersangkut di belakang peristiwa kebakaran. Berita ini mengutip sebuah sumber anonim yang mengatakan proposal Tomy Winata untuk melakukan renovasi Pasar Tanah Abang. Dokumen proposalnya sendiri tidak diberikan. Wartawan Tempo yang melihat langsung dokumen tersebut tidak diberi kewenangan untuk memfotokopi. Namun, hanya diberi jatah untuk mencatat, dan melihatnya dengan saksama. Dari sana, berita dibuat. Bila melihat dari isi pelaporannya, berbagai pihak yang terkait dengan dokumen proposal renovasi diwawancara. Tomy sendiri diangkat. Setelah kasus ini meledak, dari serangan mendadak ke kantor redaksi Tempo, sampai gugatmenggugat di pengadilan, ditambah berbagai diskusi di berbagai ruang publik, dan terakhir ialah keputusan pengadilan, keramaian pun terpicu. Keramaian mendiskusikan keabsahan pemberitaan Tempo. Keramaian menyoalkan Tempo vs Tomy. Tulisan ini hendak menyoroti kaidah jurnalistik yang dipraktikkan Tempo di dalam pelaporan tersebut. Jurnalisme mewajibkan fakta sebagai dasar pelaporan. Melalui fakta, jurnalisme mendapatkan kepercayaan masyarakat. Berbagai fakta itu bisa hadir melalui orang-orang yang terlibat di dalam sebuah peristiwa, data tulisan atau statistik, atau dokumen-dokumen yang dikeluarkan pihak-pihak atau instansi. Proposal merupakan data penting bagi sebuah pelaporan berita yang hendak mengungkap keberadaan atau kelangsungan sebuah kegiatan projek. Dalam kasus renovasi Pasar Tanah Abang, proposal itu juga merupakan alat penting bagi verifikasi wartawan di dalam mengalkulasi peristiwa yang hendak diberitakannya.

Peliputan jurnalistik kerap menemukan nara sumber yang tak mau disebutkan jati dirinya. Sementara, dari kesaksian, keterlibatan, keterangan yang dimilikinya, pemberitaan tergantung. Hal ini merupakan permasalahan yang cukup pelik. Persyaratan jurnalisme ialah fakta-fakta yang siap diverifikasi, terbuka untuk ditelusuri datanya, mudah dikenali berbagai nara sumber yang memberikan informasinya, dan berbagai pertanggungjawaban berita lainnya. Maka itu, jika ada kejadian nara sumber yang tidak mau dilaporkan keberadaan jati dirinya, atau disebut sumber anonim, hal ini akan mengurangi kredibilitas media. Pada momen tertentu malah mengakibatkan persoalan hukum. Penuntutan terhadap kevalidan laporan yang telah mencemarkan nama-nama atau pihak-pihak tertentu. Septiawan Santana K., Mencermati Kembali Kasus Tempo", Pikiran Rakyat Sabtu, 09 Oktober 2004 diakses melalui web library.unisba.ac.id/artikel/artikel_septi_pr_091004.doc pada 15 Oktober 2012 pukul 18.43

ANTV-TVOne Melanggar Kode Etik Jurnalistik Terkait Berita Bola Nasional Ternyata tidak semua media jurnalistik di Indonesia telah patuh pada Peraturan Dewan Pers tentang Kode Etik Jurnalistik, semisal ANTV dan TVone dalam pemberitaan sepakbola Nasional khususnya berkaitan dengan Tim Nasional Sepak Bola Indonesia (Timnas Indonesia). Seperti sudah diketahui bersama bahwa AFC dan FIFA yang menyatakan bahwa Timnas Indonesia adalah Timnas yang dikelola oleh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), ternyata hal ini disesatkan oleh pemberitaan yang dilakukan oleh ANTV dan TVOne. ANTV dan TVOne terkait pemberitaan Bola Nasional ini diduga melanggar Kode Etik Jurnailistik pasal 4 dalam penafsiran ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa: Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Penafsiran : 1. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. 2. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.

Beberapa Fakta tentang ANTV dan TVOne telah melanggar Kode Etik Jurnalistik ini, terutama dalam pemberitaan di program acara Lensa Olahraga dan Kampiun (ANTV), juga Kabar Indonesia Petang dan Kabar Arena (TVOne), yang antara lain: 1. Adanya pemberitaan yang menyatakan bahwa Timnas Indonesia yang dibentuk oleh KPSI adalah Tim Nasional Sepakbola Indonesia. Hal ini merupakan indikasi atas kebohongan dan fitnah atas keberadaan dan posisi Timnas Indonesia yang sah serta diakui oleh AFC/FIFA 2. Adanya kebohongan dan fitnah pemberitaan yang menyatakan dengan memberikan label kepada La Nyalla Mataliti sebagai ketua umum PSSI hasil KLB di Ancol, padahal AFC maupun FIFA tidak mengakui adanya KLB Ancol. AFC dan FIFA hanya mengakui organisasi PSSI adalah yang dipimpin oleh Djohar Arifin Husen 3. Pemberitaan terkait poin 1 dan 2 ini hingga sekarang terus dilakukan, terkahir kali pemberitaan ini adalah saat Kampiun hari Minggu (23/9/12) yang menyatakan bahwa Timnas Indonesia akan melanjutkan latihan di Australia dengan melakukan latih tanding bersama Klub-klub lokal Australia Dalam Kode Etik Jurnalistik ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SKDP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers menyatakan bahwa Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. Oleh karenanya, seharusnya perusahaan pers tetap memegang pada prinsip-prinsip jurnalistik yang mencerdaskan bangsa, menyampaikan pemberitaan yang benar, obyektif, dan sesuai fakta yang ada serta landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.

Wilfun Afnan, ANTV-TVOne Langgar Kode Etik Jurnalistik Terkait Berita Bola Nasional, diakses melalui http://olahraga.kompasiana.com/bola/2012/09/23/antv-tvone-langgar-kode-etikjurnalistik-terkait-berita-bola-nasional/ pada 15 Oktober 2012 pukul 19.06

You might also like