You are on page 1of 41

PERILAKU KELOMPOK UNDP (UNITED NATIONS DEVELOPMENT PROGRAMME) DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA STUDI KASUS PROGRAM PE-PP

(PARTNERSHIP FOR E-PROSPERITY FOR THE POOR) TAHUN 2004-2008

JURNAL

Disusun Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dengan Peminatan International Development di Fakultas Ilmu Hubungan Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang

OLEH : DEVI RENATHA NIM. 0811240008

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013

ABSTRACT

UNDP (United Nations Development Program) represents an international organization with the duty to campaign the development program for the developing countries. Indeed, UNDP attempts to build a global consensus to determine policy and program in the development matters. A program recommended by UNDP is e-development. It is said that e-development based development program is a program with information and communication technologies as the device. This program is aimed to open the access of information and communication for the poor community. UNDP Grant Program for Indonesia is known as Partnership for e-Prosperity for the Poor (Pre-Poor) that is implemented in the form of telecenter development. This program triggers a debate about the benefit and the weakness. Edevelopment has been implemented in six (6) regions of Indonesia. However, in majority, its implementation potential is emphasized on the rural. It indicates that the behavior of epistemic community is important to articulate the program. Epistemic community is a network of experts to provide important information to the policy-maker by interpreting a problem of science (knowledge) and offering the solution to this problem. This network is run through set of strategies of disseminating idea and value of certain issue. This final paper is examining how group behavior (epistemic community) of UNDP in the development sector is influencing the community group through technology (ICT4PR) in the implementation of Pe-PP. Keywords: UNDP, ICT4PR, epistemic community, e-development, telecenter, strategies of disseminating idea and value

1. Masuknya Program Pengentasan Kemiskinan Berbasis TIK di Indonesia Dalam sub-bab ini secara khusus akan membahas mengenai garis besar sejarah masuknya program Pe-PP di Indonesia. Pembahasan tersebut akan dibagi kedalam 2 (dua) periodesasi yakni sidang Konferensi World Summit on the Information Society (WSIS) tahun 2003-2005 dan Program Partnership for e-

Prosperity for the Poor (Pe-PP) United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2004-2007. Penjelasan tersebut dimaksudkan agar pembaca lebih memahami mengenai bagaimana gambaran tentang pembangunan berbasis edevelopment atau pembangunan berbasis TIK di Indonesia.

1.a Konferensi World Summit on the Information Society (WSIS) pada Tahun 2003-2005 Sebagai Landasan Operasional Periode ini merupakan masa dimana WSIS dianggap sebagai titik awal mula menyebarnya program e-development atau pembangunan berbasis TIK di berbagai negara berkembang. WSIS adalah suatu konferensi tingkat tinggi atau forum pertemuan sidang puncak para pemimpin negara-negara didunia dalam rangka membangun masyarakat informasi yang terpusat pada manusia, yang inklusif dan berorientasi pada pembangunan (ITU,2005:6). Dijelaskan oleh UNDP (2007:3) bahwa masyarakat informasi adalah masyarakat yang demokratis dengan menggunakan proses komunikasi yang terpusat dan bersifat horizontal. Proses komunikasi tersebut berbasis pada pengetahuan masyarakat (knowledge based society) dan pemanfaat informasi, serta pengetahuan secara tepat. Diharapkan pertumbuhan ekonominya nanti akan berbasis pada informasi dan pengetahuan serta perkembangan teknologi infomasi (UNDP, 2007:3). Konferensi tingkat internasional tersebut diatas didasarkan pada

pemikiran, tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip piagam perserikatan PBB, hukum internasional dan multilateralisme (ITU,2005:6). Tidak hanya itu WSIS juga

didasarkan pada penghormatan dan penjunjungan tinggi terhadap Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (ITU,2005:7). Sehingga diharapkan bangsa dimanapun dapat menciptakan, mengakses, menggunakan dan berbagi informasi dan pengetahuan. Serta mendayagunakan kemampuan mereka sepenuhnya. Dalam rangka mencapai tujuan dan maksud pembangunan yang disepakati secara internasional, termasuk tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs). Bisa dikatakan bahwa forum WSIS merupakan suatu momen penting di dunia teknologi dan informasi atau telematika. Sebab dengan adanya forum tersebut teknologi secara formal (legitimasi) mulai diakui sebagai sarana utama dalam rangka memecahkan masalah-masalah pembangunan bangsa-bangsa di dunia. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Nagy Hanna (2009:3) dalam bukunya From Envisioning to Design e-development atau pembangunan berbasis TIK : The Experience of Srilanka, bahwa e-development atau pembangunan berbasis TIK dianggap sebagai wajah baru (inovasi) dalam pembangunan yang ditengarai oleh konferensi tingkat internasional, khususnya sidang PBB melalui WSIS. Konferensi internasional inilah yang menjadi konsensus negara anggota untuk menerapkan program e-development atau pembangunan berbasis TIK di negaranya. Hal ini menurut Haas (1992:375) merupakan suatu metode kerja dari epistemic community ICT4PR-UNDP dalam think tank (wadah berfikir) sebagai upaya pengaruh suatu program yang berbentuk inovasi kebijakan.

Dalam

sambutannya

(pada

WSIS

tahun

2003),

Kofi

Annan

(Moedjiono,2006:9-11) selaku Sekretaris Jenderal PBB menyatakan bahwa pertemuan atau sidang tersebut bertujuan untuk penyelesaian masalah (summit of solutions) dalam menjembatani atau merubah masalah-masalah kesenjangan digital (digital divide) menjadi peluang digital (digital oppotunity). Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Jill Steans dan Llyod Pettiford (2009:126-127) yang berpendapat bahwa interaksi aktor non-negara tersebut menciptakan masalah-masalah diberbagai bidang. Dalam sidang WSIS tersebut telah disepakati 4 hasil dokumen keluaran (Moedjiono,2006:15), yaitu dua (2) dokumen keluaran pada tahap I di Geneva, Swiss dan dua dokumen keluaran pada tahap II di Tunis, Tunisia (Moedjiono,2006:11). Dokumen pada keluaran tahap I di Geneva, Swiss adalah Deklarasi Prinsip-prinsip (Geneva Declaration of Principles) dan Rencana Aksi (Geneva Plan of Action). Dokumen ini keluar pada tanggal 12 Desember 2003. Geneva Declaration of Principles adalah deklarasi yang menyatakan keinginan dan komitmen pemerintah berbagai negara untuk membangun masyarakat informasi secara menyeluruh(Moedjiono,2006:17-20). Geneva Plan of Action adalah deklarasi yang menerjemahkan dan mewujudkan keinginan bersama untuk mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka mengatasi kesenjangan digital(Moedjiono,2006:33-35). yang membutuhkan kerjasama untuk memecahkannya

Sedangkan dokumen keluaran pada tahap II di Tunis, Pernyatan/ Komitmen Politis Tunisia(Tunis Commitment) dan Agenda untuk mewujudkan Masyarakat Informasi (Tunis Agenda for the Information Society). Dokumen ini keluar pada tanggal 18 November tahun 2005. Tunis Commitment adalah

payung komitmen politik kepala negara dalam mewujudkan masyarakat informasi (Moedjiono,2006:62-66). Tunis Agenda for the Information Society merupakan pedoman operasional untuk mewujudkan masyarakat

informasi(Moedjiono,2006:71-77). Indonesia merupakan salah satu negara yang telah menandatangani konvensi internasional tersebut. Sehingga pemerintah Indonesia terikat secara konsensus untuk merespon (follow-up) untuk memanfaatkan teknologi informasi dan teknologi sebagai inovasi dalam upaya pembangunan di Indonesia. Hal inilah yang melatar belakangi Indonesia mau dan harus menerapkan model pembangunan berbasis TIK atau e-development atau pembangunan berbasis TIK. Sebab berdasarkan hasil-hasil kesepakatan sesuai dengan dokumen keluaran tersebut (ITU,2005:6-15), diharapkan masing-masing negara segera menindaklanjutinya dengan membuat konsep strategis pembangunan telematika nasional (national e-Strategy), yang melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholder) dan selalu melaporkan kemajuan hasilnya, yang kemudian akan dicantumkan dalam Dokumen Buku Emas (Golden Book-Stocktakings). Gambaran peran masing-masing stake-holders di bidang telematika adalah sebagai berikut (Moedjiono,2006:6-7)) : 1. Pemerintah (Nasional maupun Lokal)

a. Menciptakan kebijakan dan aturan yang komprehensif (transparan, pengurangan resiko dan keikutsertaan semua pemangku kepentingan). b. Mengukur dan memonitor maslah-masalah kesenjangan digital. c. Mengidentifikasi permaslahan dan menyelenggarakan konsultai terbuka. d. Mempromosikan e-strategi. Yakni strategi yang didasarkan pada pembangunan yang memanfaatkan teknologi dan informasi sebagai alatnya. e. Mempromosikan kompetisi. 2. Sektor swasta (penyedia barang/perangkat keras, penydia jasa aplikasi perangkat lunak serta kelompok wirausaha industri telematika): a. Memperkuat dan memberdayakan hubungan masyarakat. b. Melatih tenaga kerja yang bersemangat tinggi. c. Memperluas pasar. d. Mempromosikan kesadran tentang keuntungan pemberdayaan teknologi telematika. e. Mempromosikan penggunaan jasa bidang telematika. 3. Masyarakat madani/ sipil (individu, perorangan, media, lembaga swadaya masyarakat dan institusi akademis) : a. Menyampaikan kebutuhan sosial masyarakt yang sangat urgent atau penting. b. Responsif terhadap kebutuhan dan batasan-batasan kultural masyarakat. c. Menyempurnakan legitimasi dan kepemilikan proyek-proyek yang menjadi lingkupnya.

4. Organisasi internasional : a. Mendorong terwujudnya koordinasi untuk pembuatan standar-standar kebijakan bersama. b. Menyediakan forum forum untuk saling berbgai pengetahuan, pengalaman dan sumber daya. c. Mempromosikan kerjasama. d. Menyediakan tenaga ahli. Untuk meyakinkan terlaksananya hasil-hasil kesepakatan ini, sekjen PBB selalu mendorong dan memantau lancarnya pelaksanaan kerjasama ini dibidang telematika melalui berbagai kegiatan dan ketentuan yang tercantum dalam agenda/arahan aksi Action Lines(ITU,2006:6). Masing-masing agenda akan dimoderatori oleh berbagai pihak yang telah ditunjuk, sebagai moderator pelaksana, sesuai dengan yang tercantum dalam dokumen kesepatakan. Hal tersebut diatas telah mencerminkan adanya pengaruh PBB pada Indonesia. Pengaruh dapat dilihat dari kesepakatan dan perjanjian Indonesia dalam Konferensi WSIS. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Gramsci (1971:12), bahwa pengaruh ditandai dengan adanya power berupa konsensus yang telah disepakati.

1.b

Program Partnership for e-Prosperity for the Poor (Pe-PP)

United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2004-2007 Periode ini merupakan fokus utama dalam penelitian penulis. Pe-PP adalah sebuah program kemitraan dalam stategi pengurangan kemiskinan melalui

pemanfaatan teknologi infomasi dan komunikasi (TIK) (UNDAF,2002:1). Program ini merupakan hasil kerjasama antara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan UNDP. Adapun bantuan yang diberikan oleh UNDP yakni berupa hibah senilai USD 1.479.795,-. Program bantuan ini dimulai pada tahun 2004. Tujuan dari kerjasama tersebut adalah berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui kemitraan dan pemanfaatan TIK (UNDP,2004:1-6). Dalam kerjasamanya, UNDP membentuk kelompok khusus untuk membahas program-program pengentasan kemiskinan melalui TIK di Indonesia. Kelompok dibawah naungan UNDP ini di sebut sebagai tim ICT4PR (UNDP,2004:5). Wujud nyata dari pemanfaatan TIK tersebut berbentuk pembangunan telecenter. Telecenter merupakan salah satu wadah dari model pemanfaatan keunggulan TIK yang diarahkan untuk menyediakan pusat pelayanan akses informasi bagi masyarakat pedesaan. Pelayanan akses tersebut berbasis internet dan dikelola oleh masyarakat (UNDP:4-6). Kegiatan tersebut selaras dengan visi dan misi dari WSIS yang dideklarasikan di Geneva, Swiss pada tahun 2003 (Moedjiono,2006:13). Visi dan misi WSIS tersebut adalah membangun masyarakat informasi dengan memanfaatkan teknologi informasi teknologi yang ada (UNDP:4-6). Tujuan dari pendirian telecenter di pedesaan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan, pendapatan, kualitas sumber daya manusia dan

masyarakat miskin (petani dan nelayan) terutama dalam hal pengelolaan usaha dan pemasaran hasil usaha (UNDP,2004:9).

10

Dalam implementasi program Pe-PP ini, penentuan lokasi pilot project telecenter di tentukan oleh beberapa syarat. Pertama, kondisi lokasi tersebut terdiri dari daerah-daerah yang kondisinya 30-40 % adalah miskin. Kondisi miskin tersebut juga dipertimbangkan oleh tim dari BPDE, Dinas Infokom, Dinas Pertanian, dan Bapemas. Kedua, komitmen yang kuat dari pemerintah lokal. Ketiga, terdapat sumber daya potensial dalam proses pembangunan masyarakat miskin. Dari hasil pertimbangan tersebut akhirnya dipilihlah 6 (enam) kawasan fokus regional untuk pembangunan pilot project pembangunan telecenter yakni di provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Papua (UNDP,2004:9-12). Menurut Hardjono (2006:419) pendekatan program Pe-PP di Indonesia ini dititik beratkan pada pembangunan masyarakat informasi yang bersifat bottom-up. Bottom-up adalah pembangunan masyarakat yang berakar pada kebutuhan

masyarakat itu sendiri(Hardjono, 2006:419). Selain pendirian telecenter, dalam program Pe-PP juga melakukan pendekatan partisipasi (partisipatory). Pendekatan tersebut dilakukan melalui pendampingan intensif selama satu tahun kepada kelompok-kelompok masyarakat desa. Tujuannya adalah agar mereka dapat menjadi kelompok mandiri yang terus menerus meningkatkan kapasitas dirinya (Hardjono, 2006:419). Pendampingan kepada masyarakat pedesaan dan kelompok miskin ini merupakan proses yang disebut dengan infomobilisasi. Karena dengan pendampingan ini, maka layanan dan informasi yang diberikan telecenter adalah benar-benar yang dibutuhkan masyarakat.Kegiatan infomobilisasi inilah yang

11

kemudian dilakukan oleh para epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP dalam penyebaran ide pembangunan berbasis e-development atau pembangunan berbasis TIK.

2.

Pola Pengaruh Epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP dalam

Program E-development atau pembangunan berbasis TIK di Indonesia Dalam sub-bab ini akan membahas bagaimana pengaruh epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP dalam program e-development atau

pembangunan berbasis TIK di Indonesia. Penelitian terhadap kasus ini dilihat dari pilar pengaruh UNDP, power yang di miliki UNDP, dan strategi pengaruh epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP dalam program e-development atau pembangunan berbasis TIK. Pembahasan akan disesuaikan dengan kerangka pemikiran peneliti, yakni mengenai pola perilaku kelompok UNDP di bidang TIK. Analisa mengenai hal tersebut akan dibahas secara mendalam sebagai berikut : 2.a Indonesia Menurut Gramsci (1976:213-214), terdapat dua (2) pilar penting dalam pengaruh. Dua pilar tersebut adalah konsesus dan legitimasi. Suatu aktor harus memiliki dua pilar penting tersebut agar dapat menjalankan tugasnya sebagai aktor peng-hegemon. Begitu halnya dengan para pakar (epistemic community ICT4PR-UNDP) UNDP yang tidak serta merta dapat menjadi aktor hegemon dalam penyebaran ide dan nilai e-development atau pembangunan berbasis TIK. Pilar Pengaruh Epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP di

12

Konsesus didapatkan dari kesepakatan/konsensus (Memorandum of Understanding/ MoU) UNDP dan Indonesia melalui program bantuan pembangunan Pe-PP pada tahun 2004 (UNDP,2004:1). Kesepakatan tersebut harus diimplementasikan oleh kedua pihak. Agar Indonesia dapat menerapkan ide dan nilai pembangunan yang di usung oleh UNDP sesuai dengan konsesus yang ada. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah menandatangani konvensi internasional WSIS. Dimana WSIS telah mensyaratkan anggotanya untuk turut berkontribusi dalam menciptakan masyarakat informasi (ITU,2005:615). Terciptanya masyarakat informasi tersebut diharapkan dapat berkontribusi pada pencapaian MDGs. Sehingga pemanfaatan teknologi informasi dan teknologi menjadi perhatian utama dalam upaya pembangunan masyarakat di Indonesia. Hal inilah yang melatar belakangi Indonesia mau dan harus menerapkan model pembangunan berbasis TIK atau e-development atau pembangunan berbasis TIK. Sebab berdasarkan hasil-hasil kesepakatan yang sesuai dengan dokumen keluaran tersebut (ITU,2005:6-15), diharapkan masing-masing negara segera menindaklanjutinya. Tindak lanjut yang diharapkan adalah dengan membuat konsep strategis pembangunan telematika nasional (national eStrategy). Konsep strategis yang melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholder) dan selalu melaporkan kemajuan hasilnya, yang kemudian akan dicantumkan dalam Dokumen Buku Emas (Golden Book-Stocktakings).

13

Adapun upaya pengaruh yang dilakukan oleh para pakar UNDP dalam program tersebut adalah dengan bercermin pada prioritas nasional. Prioritas nasional tersebut berasal dari United Nation Development Assitance Framework (UNDAF) for the Republic Indonesia tahun 2002-2005. UNDAF merupakan suatu framework berdasarkan Common Country Assesment (CCA) untuk mengurangi kemiskinan dan keadilan sosial yang dapat berkontribusi pada prioritas pembangunan Indonesia (UNDP,2004:3). Bantuan UNDP untuk mencapai tujuan tersebut ditempuh melalui beberapa hal. Pertama, membangun sebuah strategi nasional. Proses

pembangunan strategi

TIK untuk pemberdayaan manusia yang fokus dalam

pengentasan kemiskinan. Dimana pengentasan kemiskinan tersebut tidak terlepas dari konteks MDGs. Kedua, membuat formulasi teknis. Pembuatan sebuah projek bantuan teknikal ini ditujukan untuk mempermudah implementasi yang diselaraskan dengan strategi nasional Indonesia. Seperti halnya yang telah diungkapkan oleh Gramsci(1976:57-58), bahwa supremasi sebuah kelompok dapat mewujudkan diri dalam dua hal yakni, sebagai dominasi kepemimpinan intelektual dan moral untuk menundukkan aktor lain dimana konsesus adalah wujud dari power yang dimiliki aktor tersebut. Dalam kasus ini, para pakar epistemic community ICT4PR-UNDP dibawah naungan UNDP bertindak sebagai kelompok yang mendominasi kepemimpinan intelektual dalam penyebaran ide dan nilai program e-development atau pembangunan berbasis TIK.

14

Gramsci (1976:213-214) mensyaratkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh aktor hegemon harus sesuai dengan kepentingan masyarakat. Syarat yang diberikan oleh UNDP pada pemerintah Indonesia sangat sesuai dengan syarat yang diajukan oleh Gramsci (1976:213-214). Dimana program e-development atau pembangunan berbasis TIK merupakan salah satu cara pengentasan kemiskinan yang menyangkut hidup masyarakat miskin di Indonesia. Agar dapat mengubah kehidupannya lebih baik dan dapat berkontribusi pada pembangunan negara serta poin pertama dalam MDGs (UNDP,2004:13-16). Dalam situasi pengaruhk seperti itulah, konsesus mengambil bentuk berupa komitmen aktif yang didasarkan secara mendalam pada pandangan bahwa posisi superior dari kelompok penguasa adalah legitimate. Indonesia yang memberikan persetujuannya harus benar-benar menganggap bahwa kepentingan dari kelompok dominan merupakan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dan bahwa kelompok tersebut berperan untuk mempertahankan tatanan sosial sebagaimana yang dikehendaki oleh semua orang (Femia,1987:42). Holub (1992:43) berpendapat bahwa persetujuan tersebut diperoleh melalui sistem dan struktur kepercayaan, nilai, norma, dan praktik keseharian yang secara tidak disadari melegitimasi tatanan yang ada. Sehingga apa yang telah menjadi konsensus bersama dapat menjadi menghasilkan dasar hukum yang formal di Indonesia, seperti halnya pengesahan UU RI no.11 tahun 2008. Selain persetujuan (konsensus), aspek penting lainnya adalah legitimasi. Menurut Gramsci (dalam Masykur,2008:9-10), persetujuan yang diberikan oleh

15

kelompok atau kelas yang dipimpin sama artinya dengan legitimasi bagi kelas atau kelompok yang memimpin. UNDP telah mendapatkan legitimasinya melalui konsesus (persetujuan) dengan pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan program e-development atau pembangunan berbasis TIK di Indonesia. Legitimasi yang dihasilkan merupakan jalan bagi para epistemic community ICT4PR-UNDP untuk menyebarkan persepsi tentang ide dan nilai e-development atau pembangunan berbasis TIK ke masyarakat. Cox (dalam Bieler, 2004:87-88) menambahkan bahwa dalam skala global, pengaruh didasarkan pada koherensi antara konfigurasi kekuatan material, imaji kolektif tentang tatanan dunia yang ada (meliputi norma-norma tertentu). Serta seperangkat institusi yang berfungsi untuk mengoperasionalkan imaji tersebut secara universal. Dalam hal ini UNDP sebagai aktor hegemon berfungsi untuk mengoperasionalkan norma-norma dan persepsi tentang keefektifan e-

development atau pembangunan berbasis TIK dalam pengurangan kemiskinan melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.

16

2.b Strategi Pengaruh Epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP di Indonesia Pada sub-bab ini akan menjelaskan mengenai bagaimana strategi yang dilakukan oleh epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP dalam penyebaran ide dan nilai e-development atau pembangunan berbasis TIK di Indonesia. Strategi ini disebut dengan diffusion of information and learning strategy. Penjelasan lebih lanjut akan ditinjau dari bagaimana implementasi yang telah dilakukan selama berjalankan program bantuan Pe-PP dalam kurun waktu 2004-2008. Tinjauan tersebut dilihat dari metode kerja yang diusung oleh Haas (1992:375), yakni inovasi kebijakan (policy inovation), difusi kebijakan (policy diffusion), dan seleksi kebijakan (policy selection). Dilihat dari sebelumnya program ini berjalan, kondisi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia relatif tertinggal dibanding dengan negara lain. Bila dilihat dengan menggunakan indeks pengembangan TIK yang dikembangkan UNCTAD-UNDP tahun 2003, Indonesia menduduki peringkat ke77 dari 171 negara (UNCTAD,2003:1). Berlanjut pada survei tahun 2004, Indonesia menempati peringkat ke-59 dari 64 negara yang disurvei

(UNCTAD,2004:1).. Ditinjau dari Networked Readiness Index (NRI), yaitu derajat angka sebuah komunitas siap untuk berpartisipasi dalam Dunia Terhubung Jaringan (Networked World), Indonesia menempati peringkat ke-59 dari 75 negara yang disurvei (NRI,2003:7). Dari segi penggunaan komputer, Indonesia menempati peringkat ke-29 dari 44 negara yang disurvei (NRI,2003:7).

17

Berdasarkan tinjauan data diatas kesenjangan penggunaan TIK di Indonesia termasuk pada kelompok rendah, khususnya di negara-negara Asia. Hal tersebut berarti bahwa distribusi pengguna komputer dan internet belum merata. Oleh sebab itu, pemanfaatan potensi TIK untuk membantu upaya pemerintah Indonesia dalam mengentas masyarakat dari kemiskinan menghadapi banyak hambatan. Salah satunya adalah kondisi infrastruktur Indonesia yang masih miskin dan terbelakang (UNDP,2006:6). Dijelaskan oleh UNDP (2004:2), bahwa pada tahun 2004, infrastruktur Indonesia hanya melayani 1-5% penduduk Indonesia. Akibatnya, pembahasan TIK banyak berpusat pada pengunaan TIK untuk pengembangan industri, bisnis, dan pemerintahan. Hal terrsebut yang menyebabkan masih adanya gap (kesenjangan) informasi pada masyarakat miskin. Walaupun terdapat hambatan-hambatan tersebut, pemerintah Indonesia tetap mencoba melaksanakan komitmen hasil sidang WSIS. Dengan

mengimplementasikan ide dan nilai e-development atau pembangunan berbasis TIK melalui kerjasama anatara UNDP dan pemerintah Indonesia (Bappenas) dalam program Pe-PP berbentuk pembangunan telecenter. Menurut Santoso (2011:120) telecenter merupakan TIK dalam bentuk pusat komunitas multimedia (terutama di pedesaan) yang bertindak sebagai titik akses untuk keterhubungan komunitas, pengembangan kemampuan lokal, pengembangan materi dan komunikasi, serta berfungsi sebagai pusat penerapan strategi TIK. Dipaparkan oleh Hardjono (2006:418-419) bahwa telecenter percontohan yang didirikan Pe-PP telah memfasilitasi kelompok-kelompok masyarakat dalam

18

membangun kultur informasi dan komunikasi. Dalam proses ini, terdapat unsur pemahaman atas kondisi saat ini, pengenalan atas faktor-faktor penunjang, dan. Strategi Global yang dilakukan oleh epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP ini mengacu pada program ICT for Poverty Reduction (ICT4PR). ICT4PR ( adalah program global yang menjadi kesepakatan negara-negara yang mengikuti World Summit on the Information Society (WSIS). Konferensi Internasional yang pertama kali digelar pada tahun 2003 di Geneva ini menghasilkan Deklarasi Prinsip-prinsip Geneva, Rencana Aksi Geneva, dan Agenda Tunisia untuk masyarakat Informasi. berdasarkan hasil kesepakatan itu, diharapkan masing-masing negara menindak lanjuti dengan membuat konsep strategis telematika nasional (national e-strategy). Konsep estrategy tersebut melibatkan semua pemangku kepentingan, yakni pemerintah (lokal maupun nasional), sektor swasta, masyarakat, dan organisasi internasional. Pada level nasional, strategi yang dilakukan oleh epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP mengacu pada kebijakan Garis-garis Bantu Haluan Negara 1999-2004 (GBHN) dan Program Pembangunan Nasional 2000-2004 (PROPENAS). Berdasarkan pada PROPENAS tahun 2000-2004, pengurangan kemiskinan adalah kunci dari pembangunan. Kunci pembangunan tersebut secara detail terdiri dari pertumbuhan investasi, sumberdaya manusia, akses yang layak, dan kesempatan. Strategi yang dilakukan oleh epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP didasarkan pada refleksi prioritas nasional (Indonesia) yang tertuang dalam United Nations Development Assistance Framework (UNDAF) tahun 2002-2005.

19

Strategi penyebaran ide dan pembelajaran program e-development atau pembangunan berbasis TIK ini oleh epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP ini menemui beberapa kendala. Kendala utamanya adalah mengubah persepsi dan mengenalkan teknologi sebagai alat pemenuhan kebutuhan masyarakat miskin. Masyarakat miskin Indonesia (khususnya pedesaan) yang pada awalnya kurang memahami penggunaan teknologi tersebut, merasa kesulitan dengan adanya teknologi baru tersebut (Muslim,2007:19). Para epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP ini bertugas untuk mengpengaruh dalam memberikan mekanisme bantuan untuk menghadapi keadilan sosial dan pengurangan kemiskinan. Hal tersebut dilakukan melalui cara mempromosikan kebijakan-kebijakan yang sensitif terhadap kemiskinan dan standar kesepakatan pengurangan kemiskinan. Selain itu mereka juga bertugas untuk mempromosikan kesejahteraan untuk masyarakat miskin melalui akses informasi. Serta mendukung mobilisasi dan organisasi agar berkontribusi dalam ketenaga kerjaan, aset produktif, dan pendapatan masyarakat miskin. Menurut Haas (1992:375), kegiatan promosi tersebut merupakan bentuk inovasi kebijakan (policy inovation). Dalam metode kerja dari epistemic community ICT4PR-UNDP, inovasi kebijakan digunakan untuk pembentukan frame bahwa terdapat permasalahan kemiskinan yang salah satunya disebabkan oleh kesenjangan akses informasi. Permasalahan tersebut kemudian dipahami sebagai suatu masalah yang dapat di tangani dengan memberikan peluang digital bagi masyarakat miskin melalui program e-development atau pembangunan berbasis TIK.

20

Epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP menggunakan TIK sebagai alat yang krusial dalam program Pe-PP. Sehingga dibutuhkan waktu 1 (satu) tahun persiapan untuk implementasi program bantuan Pe-PP (UNDP,2004:14). Pemberdayaan teknologi informasi dan komunikasi diarahkan pada pembangunan manusia (Human Development) bertujuan untuk membangun sebuah strategi rasional yang fokus pada pengurangan kemiskinan pada konteks MDGs dan merumuskan sebuah proyek bantuan teknik. Implementasi dari dilakukannya pengaruh epistemic community ICT4PRUNDP UNDP dalam program e-development atau pembangunan berbasis TIK di Indonesia, dapat gambarkan sebagaimana berikut :

21

Gambar 1. Implementasi program Pe-PP oleh kelompok ICT4PR-UNDP dalam di Indonesia

Telecentre 1 2... Telecentre


Regional Consultation for Selection of pilot location and host organization determining management arrangement Assesment for Baseline Establishment/ Etnohgraphic Action Research for Understading local context identifying demands, challenges and opportunities Info-mobilisation/Telecentre Set up for Reaching oaut the poor/community matching demand and supply of information system developing local info contents. Trainings Telecenter management and maintenance Basic computer literacy for community Info-mobilisation/ leadership training Community specific training on demand Training by partners Support for Community Development Developign or improving income generation activities for the poor improving social service provision Sustained operation and evolution of telecentre as community development centre Empowering Community through *Awareness building *Leadership cultivation *Trainings *Community mobilisation *Access to Information *Access to social service * Participating in economic activities

Forging partnership for *Resources *Information/contents *Networking *Social Service Provision *Economic Opportunity

Knowledge Sharing and Networking *Documentation and dissemination of experiences and practices *Building and maintaining the networks of partners and similar initiatives *Advocacy and poolicy up-streaming

22

Sumber : Diolah dari UNDP. 2004. Partnership for e- Prosperity for the Poor (Pe-PP) 2004-2007. Diunduh tanggal 15 Februari 2012. Pada : http://www.undp.or.id/archives/prodoc/ProDoc-Pe-PP.pdf. Hlm. 8

Berdasarkan gambar tersebut para epistemic community ICT4PR-UNDP melakukan pengaruh melalui serangkaian proyek strategi dalam

mengimplementasikan program e-development atau pembangunan berbasis TIK ini. Serangkaian proyek strategi ini merupakan bentuk dari difusi kebijakan (policy diffusion) yang merupakan metode kerja dari epistemic community ICT4PR-UNDP (Haas,1992;375). Difusi kebijakan tersebut ditempuh melalui strategi kunci untuk mencapai tujuan program e-development atau pembangunan berbasis TIK(lihat Schware,2005:1). Strategi kunci tersebut yakni pertama,

demonstrasi pilot (Demonstration Pilots). Demonstrasi pilot ini secara langsung akan memberikan pengalaman baru yang akan membawa pada pemahaman yang signifikan tentang bagaimana TIK dapat membantu masyarakat miskin. Pemahaman tersebut berupa perencanaan dan pembuatan kebijakan TIK untuk pengurangan kemiskinan (UNDP, 2004:5). Kedua, melakukan kerjasama yang sinergi (forging partnership for synergy). Seperti halnya yang diungkapkan oleh Nagy Hanna (2007:4) bahwa edevelopment atau pembangunan berbasis TIK membutuhkan yang hubungan yang sinergi dan holistik antar aktor pembangunan. Dalam MoU (UNDP,2004:6) juga dijelaskan bahwa program e-development atau pembangunan berbasis TIK membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat, pemerintah, pihak swasta, dan organisasi non-pemerintah lokal.

23

Akan tetapi hasil temuan peneliti

menyebutkan bahwa UNDP dalam

program ini tidak bekerjasama dengan pihak swasta. Contohnya saja tidak terjalinnya hubungan kerjasama antara pihak UNDP dan Microsoft (World Bank, 2005:146). Hal tersebut disebabkan oleh pencitraan (branding) dan persepsi masyarakat (public image) yang akan lebih menguntungkan pihak Microsoft. Ketiga adalah penguatan komunitas (Community Empowerment).

Epistemic community ICT4PR-UNDP melakukan penguatan terhadap komunitas miskin untuk keberlanjutan program e-development atau pembangunan berbasis TIK itu sendiri. Dijelaskan bahwa penguatan komunitas miskin ini merupakan jalan terbaik dalam mengatasi kemiskinan yang multidimensional (UNDP, 2004:5). Pengutan komunitas tersebut dilakukan oleh epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP melalui serangkaian kegiatan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat ini didasarkan pada akses kegiatan informasi dan komunikasi. Keempat, penyebarluasan ide dan jaringan (Knowledge Sharing and

Networking). Seperti halnya yang diungkapkan oleh Peter M. Haas (1992:3), bahwa tugas utama dari para epistemic community ICT4PR-UNDP ini adalah penyebaran ide dan nilai baru pada masyarakat. Penyebaran ide dan pembentukan jaringan oleh epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP dalam program edevelopment atau pembangunan berbasis TIK ini disebut dengan infomobilisasi (Information Economy Report,2007:277).

24

Untuk memahami lebih jauh bagaimana infomobilisasi pengaruh epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP dalam program e-development atau

pembangunan berbasis TIK di Indonesia pada tingkat lokal dapat dilihat pada gambar berikut.

25

Gambar 2. Manajemen Epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP tingkat Lokal


National and local Partnes for Policy Changes

Executive Agency National Program me Director Advisory Board KOMINFO TKTI Menkokesra Menko ekon Bappenas KPK Donor working group

Programme Manager National Implementation Team

Implementing Agency (host org) Representative from from host org. Designated local Gov. officer

Project Officer Infomobilisation team (2-3) Telecenter staf

Steering Commitee Local Government DPRD NGOs Press/ Academics Private Sector Community Leaders

Beneficiary community

Pilot 1 Pilot 2 Pilot 3 Pilot 4..

26

Sumber : Diolah dari UNDP. 2004. Partnership for e- Prosperity for the Poor (Pe-PP) 2004-2007. Diunduh tanggal 15 Februari 2012. Pada :

http://www.undp.or.id/archives/prodoc/ProDoc-Pe-PP.pdf. Hlm. 18. Berdasarkan gambaran di atas, dapat dipahami bahwa program edevelopment atau pembangunan berbasis TIK membutuhkan hubungan yang holistik antar aktor pembangunan. Hal ini menuntut adanya hubungan yang saling bersinergi antara pemerintah Indonesia, masyarakat, dan pihak lain guna keberlanjutan program e-development atau pembangunan berbasis TIK. Seperti yang diungkapkan oleh Nagy Hanna (2007:1) bahwa pembangunan edevelopment atau pembangunan berbasis TIK membutuhkan hubungan holistik yang saling bersinergi antar aktor pembangunan. Sehingga UNDP memjaring sebuah tim kader epistemic lokal sebagai aktor difusi kebijakan dalam level nasional. Proses penjaringan tersebut dilakukan secara ketat oleh UNDP. Penjaringan kader tersebut ditempuh melalui proses seleksi yang dilakukan oleh UNDP, Bappenas, dan BPDE (sekarang Kominfo). Kader yang telah dipilih bertugas untuk mensosialisasikan, mempromosikan, dan mendekatkan program (kegiatan infomobilisasi) e-development atau

pembangunan berbasis TIK pada masyarakat lokal. Kegiatan infomobilisasi di tingkat lokal melalui badan pemerintah Indonesia menjadi kegiatan wajib yang dilakukan oleh epistemic community ICT4PR-UNDP tersebut. Sebab kebanyakan masyarakat miskin (terutama kaum orang tua) merasa bahwa penggunaan internet itu bukan kebutuhan utama mereka. Terdapat kecanggungan dalam memanfaatkannya. Hal ini dipicu oleh masih

27

terdapatnya mayarakat miskin yang buta huruf dan menganggap bahwa untuk mengoperasikan peralatan TIK itu dianggap terlalu sulit(Sutiah,2012:1). Hal tersebut merupakan metode kerja seleksi kebijakan (policy selection) oleh epistemic community ICT4PR-UNDP dalam upaya pengaruh program edevelopment atau pembangunan berbasis TIK (Haas,1992:375-382). Jadi inilah merupakan tugas penting bagi tim kader epistemic community ICT4PR-UNDP lokal untuk mendekatkan program e-development atau

pembangunan berbasis TIK pada masyarakat. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Sutiah (2012;1), bahwa untuk mendekatkan program tersebut ditempuh dengan beberapa jalan yakni membuat radio komunitas dan pendampingan pada masyarakat. Sedangkan untuk kelompok masyarakat yang berpotensi untuk belajar akan difasilitasi secara teknis melalui kursus komputer dan pendampingan untuk mengakses internet. Sehingga masyarakat tidak merasa dipaksa untuk ikut berpartisipasi dalam program tersebut. Diharapkan dengan adanya pengaruh di tingkat lokal ini, dapat mengalihkan proses dan ketrampilan metodologi kepada masyarakat. Sehingga masyarakat mampu menjadi pelaku dalam proses pemecahan masalah mereka sendiri. Bukan sekedar konsumen pemecahan masalah yang sudah dikembangkan oleh suatu lembaga pengembangan masyarakat(Hardjono,2006:420). Masyarakat difasilitasi oleh epistemic community ICT4PR-UNDP untuk mengidentifikasi kebutuhan informasi dan komunikasinya, serta diberdayakan agar dapat mengakses informasi dan berkomunikasi melalui telecenter

28

Dengan kata lain apa yang dilakukan oleh epistemic community ICT4PRUNDP ini adalah membantu masyarakat untuk mengubah persepsi. Persepsi tersebut mengenai pengidentifikasian masalah. Pengidentifikasian masalah yang di angkat adalah isu atas apa yang ingin dikehendaki dan dicapai pada masa mendatang. Kegiatan epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP yang dilakukan pada strategi tingkat lokal ini merupakan upaya pengaruh untuk menciptakan pembangunan yang bersifat bottom-up dan partisipatif. Hal tersebut sangat

penting, sebab pada pendekatan awalnya program ini bersifat top-down. Sehingga dengan adanya pembangunan yang bersifat bottom-up ini masyarakat diharapkan dapat mandiri dalam pencapaian kesejahteraan hidupnya. Dari beberapa literatur yang ada, terdapat temuan masalah dalam implementasi program tersebut. Berdasarkan Sutiah (2012:1) masih terdapat Ego-Sektoral pada tingkat pemerintahan tinggi. Misalnya, program penggagas dalam kerjasama UNDP adalah BPDE (sekarang menjadi Kominfo), maka yang menjalankan hanya BPDE. Sektor lain tidak mau merespon. Contohnya, bila terdapat kebijakan pembangunan telecenter di Provinsi, maka kabupaten tidak bertanggung jawab. Permasalahan struktural amat kental dimana kemudian terjadi pembicaraan mengenai siapa yang memiliki wewenang dalam pengelolaan apakah itu pusat, provinsi, atau kabupaten. Contohnya, ketika tim epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP mengalami kesulitan untuk dapat diterima dikabupaten, karena dianggap hal tersebut merupakan project dari pemerintah pusat (Sutiah, 2012:1).

29

Hal tersebut harus dipahami sebagai keterbatasan kemampuan epistemic community ICT4PR-UNDP untuk menjangkau setiap permasalahan yang ada. Sebab kembali lagi bahwa program yang di canangkan oleh UNDP ini merupakan simultan dalam bantuan teknis. Diharapkan dengan adanya program simultan ini pemerintah Indonesia dapat menangkap substansi dari program e-development atau pembangunan berbasis TIK untuk direplika menjadi sebuah inovasi program pembangunan. 3. Implikasi Program Pe-PP UNDP Di Indonesia Tahun 2004-2008 Sub-bab ini akan membahas mengenai implikasi dari implementasi program e-development atau pembangunan berbasis TIK UNDP di Indonesia. Pembahasan implikasi ini didasarkan pada data sekunder yang telah diolah oleh peneliti. Data sekunder tersebut berasal dari berbagai sumber resmi pilihan. Hal ini bertujuan untuk memberikan data yang valid dan menghindari data yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Program e-development atau pembangunan berbasis TIK merupakan program yang tidak hanya menekankan pada teknologi saja, akan tetapi lebih fokus pada pemberdayaan manusia yang memakainya (Schware, 2005:12). Dilihat dari pengertian tersebut, dampak program e-development atau pembangunan berbasis TIK dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia. Program edevelopment atau pembangunan berbasis TIK di setiap provinsi dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia Provinsi dan Nasional periode tahun 2004-2008 menunjukkan peningkatan secara perlahan di setiap provinsi (BPS,2010:1).

30

Ditunjukkan oleh Badan Pusat Statistik (2000:1) Indonesia bahwa di Jawa Timur pada tahun 2004 dari angka 66.80 naik menjadi 70.38 pada tahun 2008. Di Jawa Tengah, tahun 2004 dari angka 68.90 meningkat menjadi 71.60 di tahun 2008. Indeks angka pembangunan manusia juga meningkat di provinsi Sulawesi Tengah, pada tahun 2004 indeks menunjukkan angka 67.30 naik menjadi 70.09 di tahun 2008. Sulawesi Tenggara, pada tahun 2004 dari 66.70 naik menjadi 69.00 pada tahun 2008. Pada tahun 2004 di Gorontalo dari angka 65.40 naik ke angka 69.29 di tahun 2008. Begitu pula di Provinsi Papua, dimana angka indeks pembangunan manusia pada tahun 2004 dari 60.90 naik menjadi 64.00 (BPS,1996-2010:1). Peningkatan angka itu merupakan suatu bentuk keberhasilan program e-development atau pembangunan berbasis TIK didasarkan pada Indeks Pembangunan Manusia. Peningkatan tersebut sebenarnya tak serta merta program tersebut dinyatakan berhasil secara menyeluruh. Adapun yang menjadi batu sandungan dalam implementasi program e-development atau pembangunan berbasis TIK tersebut. Berikut beberapa hambatan yang telah menjadi temuan peneliti dari beberapa literatur yang ada. World Bank (2005: 34-68) dalam Indonesia: Telecenter Evaluation Report Volume II, dijelaskan bahwa program e-development atau pembangunan berbasis TIK yang berbentuk telecenter di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Adapun faktor penyebabnya adalah pemerintah Indonesia yang minim akan pengalaman tentang pembangunan berbasis e-development atau pembangunan berbasis TIK. Sehingga pembangunan berbasis e-development atau pembangunan berbasis TIK

31

tersebut harus dibantu oleh kaum profesional dalam penerapan untuk pemberdayaan masyarakat miskin, khususnya yang berada di wilayah pedesaan (World Bank, 2005:56-57). Selaras dengan laporan World Bank di atas (2005:34-68), Asianti Oetjoyo (2006:410) selaku Kepala Badan Pengelolaan Data Elektronik Jawa Timur (BPDE Jatim) menambahkan bahwa terdapat faktor-faktor penyebab dalam hambatan program e-development atau pembangunan berbasis TIK di Indonesia, khususnya pembangunan telecenter. Hal tersebut disampaikan beliau pada Konferensi

Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi pada tanggal 3-4 mei 2006 di Bandung. Dijelaskan oleh Asianti Oetojo S (2006:410) bahwa faktor pertama adalah kurang sinerginya program pemerintah kabupaten setempat dengan program telecenter . Hal tersebut diakibatkan karena mekanisme penyusunan anggaran dan organisasi pembina telecenter di kabupaten belum tentu instansi/ dinas pengelola TIK (Oetojo, Asianti. 2006:410). Kedua, keengganan sebagian anggota masyarakat untuk berkunjung ke telecenter (Oetojo, Asianti. 2006:410). Hal tersebut diakibatkan karena telecenter dianggap peralatan yang canggih dan mahal oleh sebagian besar masyarakat miskin. Sehingga mereka enggan untuk memanfaatkan pelayanan yang ada. Ketiga, keresahan anggota tani (Oetojo, Asianti. 2006:410). Karena penanggungjawab (host) telecenter lebih memperhatikan anggota keluarga

32

dibandingkan dengan kelompok tani dan masyarakat sekitarnya. Akibatnya, para kelompok tertentu merasa resah bila ingin berkunjung ke telecenter. Keempat, terbatasnya pemahaman anggota tim pengelola (Oetojo, Asianti. 2006:410). Terbatasnya pemahaman anggota pengelola terhadap

tanggungjawabnya sebagai tim pemberdaya masyarakat. Sehinggan hal tersebut mengurangi kebersamaan antara tim pengelola dan penanggung jawab telecenter (host) yang menimbulkan kesan kurang aktifnya pengelola Kelima, biaya yang disiapkan oleh UNDP terbatas (Oetojo, Asianti. 2006:410). Dalam hal ini, keberlanjutan telecenter berada pada tangan tim pengelola dan masyarakat. Kemandirian dalam keberlanjutan telecenter amat diharapkan. Keenam, belum stabilnya sarana komunikasi (telepon) di pedesaan (Oetojo, Asianti. 2006:410). Ketujuh, penempatan gedung telecenter berada di komunitas kelompok tertentu, mengakibatkan komunitas kelompok yang lain enggan berkunjung ke telecenter (Oetojo, Asianti. 2006:410). Dari beberapa peneliti sebelumnya banyak temuan yang implikasinya terfokus terhadap aspek keterkaitan penerapan e-development atau pembangunan berbasis TIK dalam bentuk telecenter untuk pengentasan kemiskinan. Dari sinilah peneliti melihat celah implikasi yang belum dikaji secara umum. Implikasi tersebut adalah kajian mengenai transformasi sosial. Terlepas dari implikasi positif dan negatif diatas. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh para epistemic community ICT4PR-UNDP UNDP tersebut adalah

33

menciptakan kultur informasi dan komunikasi (Hardjono,2006:419-450). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Belger (dalam Haas,1992:2) bahwa apa yang dilakukan oleh epistemic community ICT4PR-UNDP ini pada realitasnya adalah melakukan konstruksi sosial. Kontruksi sosial tersebut merupakan hasil dari penyebaran ide dan pembelajaran kepada masyarakat melalui epistemic community ICT4PR-UNDP. Pembangunan kultur informasi dan komunikasi ini dianggap sebagai suatu jalan untuk menjadikan masyarakat sebagai subjek dan bukan objek pembangunan. Diharapkan dari pembangunan persepsi dan kultur tersebut masyarakat dapat mengidentifikasi masalah dan potensi yang mereka hadapi, merencanakan kegiatan-kegiatan dan melaksanakannya. Dengan kata lain, kultur informasi dan komunikasi ini tercipta dan menjadi bagian dari masyarakat dimana mereka secara sadar dan sukarela memanfaatkan sarana dan prasarana teknologi informasi dan komunikasi untuk membangun komunitasnya. 4. Kesimpulan Pola perilaku kelompok ICT4PR-UNDP untuk pencapaian MDGs poin pertama (pengurangan kemiskinan) melalui TIK dalam program Pe-PP di Indonesia pada tahun 2004-2008 dilakukan melalui pola bottom-up. Pola perilaku yang bersifat bottom-up tersebut melalui serangkaian penyebaran ide dan nilai, yakni policy inovation, policy diffusion, policy selection, policy persistence.

34

Epistemic community ICT4PR-UNDP menggunakan inovasi kebijakan untuk menentukan suatu forum yang tepat untuk menempatkan isu yang ingin diangkat. Epistemic community yang merupakan para pakar pembangunan UNDP di bidang pengentasan kemiskinan melalui TIK memberikan suatu ide yang inovatif dalam pembangunan. Ide tersebut merupakan pengembangan dari konferensi tingkat internasional yakni WSIS. Pengembangan dari konferensi tersebut disebut dengan pembangunan berbasis e-development. Basis

pembangunan tersebut kemudian diimplementasikan di Indonesia dalam program Pe-PP. Pada tahap difusi kebijakan (policy diffusion), anggota dari epistemic community aktif dalam upaya penyebaran kebijakan pada level nasional. Mereka menyebarkan ide melalui komunikasi dengan kolega dari organisasi-organisasi lain, selama konferensi, publikasi, dan tempat lain untuk saling bertukar informasi. Para pakar ICT4PR-UNDP melakukan upaya penyebaran kebijakan pada level nasional dengan membentuk sebuah tim kader epistemic community lokal. Tim tersebut di seleksi secara ketat dan melalui penjaringan yang dilakukan oleh pihak UNDP dan Bappenas. Tim epistemic community lokal ini kemudian dibagi menjadi beberapa tim untuk menjadi penanggung jawab program di tiap kawasan di Indonesia. Penjaringan tim epistemic lokal ini diharapkan dapat mempermudah implementasi dari program pembangunan itu sendiri. . Pada seleksi kebijakan (policy selection), Epistemic community ICT4PR bekerja untuk membangun sebuah pengaruh terhadap suatu isu tertentu (upaya promosi). Jika tidak terdapat kebijakan dan pembuat hukum (lawmakers) tidak

35

mengenal suatu isu, sebuah epistemic community dapat membingkai isu tersebut dan menjelaskan pada pembuat kebijakan. Jika pembuat kebijakan (policy makers) sudah mengenal (familiar) dengan isu tersebut, maka mereka akan meminta sebuah epistemic community untuk meluruskan isu tersebut untuk mengesahkannya menjadi kebijakan. Para pakar UNDP bekerja untuk membangun sebuah frame bahwa salah satu faktor penyebab kemiskinan adalah kesenjangan informasi. Di Indonesia, pembangunan dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi tersebut juga telah menjadi komitmen dalam konsesus WSIS dan MDGs. Sehingga pemerintah Indonesia menyetujui adanya program Pe-PP tersebut sebagai bentuk respon (follow-up) mengurangi kemiskinan dan bentuk kontribusi pada pencapaian tujuan WSIS dan MDGs. Upaya promosi ini dilakukan oleh tim kader epistemic community lokal melalui pendekatan partisipasi (sosialisasi dan pendampingan masyarakat). Sedangkan dalam proses kebijakan persistensi (policy persistence), upaya pendesakkan pengaruh pada pembuatan kebijakan. Metode ini diartikan sebagai keberlanjutan konsensus tentang ide dan hasil antar anggota epitemic community. Ketika konsensus dalam ide dan hasil berkurang, otoritas dari epistemic community ini akan menyusut dan pembuat hukum akan mengacuhkan saran dari epistemic community tersebut. Terdapat beberapa kendala dalam implementasi program Pe-PP yang disebabkan oleh kurang sinerginya aktor pemangku kepentingan yang ada di Indonesia. Hal ini menyebabkan kurang responsifnya masyarakat dalam program debutan para pakar pembangunan UNDP tersebut.

36

Sebab program yang di rasa lebih memihak para korporasi yang bergerak di bidang TIK.

DAFTAR PUSTAKA

Antoniades, A. 2003. Epistemic Communities, Epistemes and the Construction of World Politics. Global Society.

Aminuddin, Faishal dkk. 2009. Globalisasi dan Neo liberalisme: Pengaruh dan Dampaknya Bagi Demokratisasi Indonesia. Logung Pustaka.

Anonymous. 2006. Indonesia 2005-2025 : Buku Putih. Jakarta.

--------------. 2004. Partnership for e-Prosperity for the Poor 2004-2007. Diunduh tanggal 15 Februari 2012. Pada : http://www.undp.or.id/archives/prodoc/ProDoc-Pe-PP.pdf -------------. 2005. Information and Communication Technologies for Rural Development : an Evaluation of Telecenters in Indonesia. Washington D.C : The World Bank Group. -------------. 2005. Telecenter dan Masyarakat. Diunduh tanggal 24 November 2011. Pada : http://telecenter.cyberdesa.com/telecenter.html -------------. 2007. E-Bulletin Telecenter : Partneship for e-Prosperity for the Poor (Pe-PP). Volume 1, Issue 1. Basrowi & Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Bieler, Andreas dan David Morton. 2004. A Critical Theory Route to Hegemony, World Order and Historical Change : Neo-Gramscian Perspective in International Relations, Capital adn Class. Academic Research Library.

37

BPS. 2009. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2009. Jakarta : BPS Published.

BPS. 2010. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2010. Jakarta : BPS Published. Clarke, Matthew. 2003. E-Development? Development and the New Economy. Finlandia. Cox, Robert W. t,t. Gramci, Hegemony, and International Relations : An Essay in Method. Diunduh tanggal 15 Maret 2012. Pada : http://tucnak.fsv.cuni.cz/~plech/Cox_Gramsci.PDF Elster, Jon. 1983. Explaining Technical Change. Cambridge : Cambridge University Press. Faisal, Sanapiah. 1966. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta : Raja Grafindo. FAO. 2007. Information and Communications Technologies Benefit Fishing Communities : Policies to Support Improved Communications for Development. Diunduh tanggal 23 Februari 2012. Pada : http://www.sflp.org/brief/eng/policybriefs.html

Femia, Joseph V. 1987. Gramcis Political Thought : Hegemony, Consciousness, and The Revolutionary Process. New York : Oxford University Press.

Gill. Stephen. 1993. Gramsci, Historical Materialism and International Relationa. Cambridge : Cambridge University Press.

Gomez, Ricardo dan Hunt, Patrick. 1999. Telecentre Evaluation : Report of an International Meeting on Telecentre Evaluation. Canada.

Haas, Peter M. 1992. Introduction : Epistemic Communities and International Policy Coordination. Cambridge University Press.

38

Hanna, Naggy K. 2007. E-development in Action. Gateway Foundation.

Hanna, Naggy K. 2009. From Envisioning to Designing e-Development : The Experience of Sri Lanka. Washington : The World Bank. Holub, Renate. 1992. Antonio Gramsci : Beyond Marxism and Postmodernism. London : Routledge.

Holzner, Burkhart dan Marx, John H. 1979. Knowledge Application : The Knowledge System in Society. Boston : Allyn & Bacon.

Lakin, Matthew. 2009. David Owen, New Labour and the Social Market Economy : The Renewal of Social Democratic Politics. The University of Nottingham.

Latchem, Colin. 2001. Telecentres : Case Studies and Key Issues. Vancouver : The Commonwealth of Learning.

Mark, John. H. 1979. Knowledge Application : The Knowledge System in Society. Boston.

Mc.Celland, Charles. 1990. Ilmu Hubungan Internasional : Teori dan Sistem. Jakarta : Rajawali.

Mohtar, Masoed. 1990. Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES

Muhammad Idrus. 2007. Metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (Pendekatan kualitatif dan kuantitatif). Yogyakarta: UII Press.

Muslim, Acep. 2009. Pengoptimalan Peran Telecenter untuk Pengembangan Agribisnis di Pedesaan. Bandung : Universitas Padjajaran.

39

Nye, Joseph S. 2004. Soft Power : The Means to Succes in World PoliticsWielding Soft Power. Di unduh tanggal 15 Maret 2012. Pada:
http://belfercenter.hks.harvard.edu/files/joe_nye_wielding_soft_power.pd f

Oetojo, Asiati. 2006. Dampak yang Dihadapi pada Pengelolaan Program Kemitraan dalam Strategi Pengurangan Kemiskinan melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (Telecenter) di Pedesaan Jawa Timur. Bandung : Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia.

Pedju, Ary Mochtar. Sains, Pendidikan China Vs Kita.Kolom Opini, Kompas 24 Nov 2005.

Puskowanjati. 2007. Improving Rural Connectivity for Sustainable Livehoods Project.

Rahayu, Endah Lestianti. 2006. Implementasi Program Partnership For EProsperity For The Poor (Pe-PP) Sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Pedesaan (Studi Pada Telecenter Semeru di Desa Kertosari Kecamatan Pasrujambe Kecamatan Lumajang). Malang : Universitas Brawijaya.

Sanapiah, Faisal. 2005. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Schuurman, Frans J. 2000. Paradigms Lost, Paradigms Regained?Development Studies in the twenty-first century. Commonwealth of Australia.

Schware, Robert. 2005. E-Development: From Excitement to Effectiveness. Washington, D.C : The World Bank Group.

Stalker, Peter. 2008. Millenium Development Goals (Cetakan ke-Dua). Di unduh tanggal 28 Maret 2012. Pada : http://www.undp.or.id/pubs/docs/Let%20Speak%20Out%20for%20M DGs%20-%20ID.pdf

40

Steans, Jill. Dkk. 2009. Hubungan Internasional : Perspektif dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

SuaraMerdeka. 2005. Pemerintah Siapkan Sekitar 1.000 Pusat Data. Diunduh tanggal 12 Oktober 2011. Pada : http://suaramerdeka.com/cybernews/harian/0512/14/nas2.htm

Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sutiah. 2012. Wawancara tentang Telecenter di Jawa Timur. Malang : LPKP.

Syamsudin, Zaenul. 2008. Statistik Potensi Desa. Jakarta : Badan Pusat Statistik.

Thomas, Jayan Jose dan Parayil, Govindan. 2006. Bridging the Social and Digital Divides in Andhra Pradesh and Kerala : A Capabilities Approach. India.

Tulung, Lingkan E.(t.thn). Factors Determining Whether Lessons Drawing Succeds or Fails. Menado : Universitas Sam Ratulangi.

UNDP. 2008. MDGs and e-Development Cluster : Strategic Programme Frame Work. Diunduh tanggal 5 Januari. Pada : http://www.undp.org.bd/library/policypapers/MDGs%20and%20eDevelopment%20Cluster%20Strategic%20Framework.pdf

Vuving, Alexander L. 2009. How Soft Power Works. Di unduh tanggal 15 Maret 2012. Pada: http://www.apcss.org/Publications/Vuving%20How%20soft%20powe r%20works%20APSA%202009.pdf

Wahab, Solichin Abdul. 1993. Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi Aksara.

41

Walsham, Geoff. 2009. ICT The Broader Development Of India : An Analysis Of The Literature. Cambridge University.

You might also like