You are on page 1of 45

STATUS PASIEN 1.

1 Identitas Pasien Anamesa Pribadi Nama Umur Jenis Kelamin Status Perkawinan Agama Pekerjaan Alamat Tanggal MRS No. RM 1.2 Anamnese Anamnese Penyakit Keluhan Utama Telaah : Mata kanan kabur : OS datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan : Nurhayati : 64 tahun : Perempuan : Menikah : Islam : Ibu Rumah Tangga : : 13 Maret 2013 : 19.81.42

keluhan penglihatan kabur pada mata sebelah kanan. OS mengatakan keluhan ini sudah dialami OS 6 tahun yang lalu. Pada awalnya nyeri dirasakan di ulu hati, kemudian berpindah ke perut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus menerus sejak satu hari ini. OS juga mengalami demam tinggi sehari sebelum masuk ke Rumah sakit. OS juga tidak ada BAB selama dua hari, flatus (+), BAK normal. RPT RPO RPK 1.3 Pemeriksaan Fisik a.Status present :(-) :(-) :(-)

Keadaan umum Tekanan darah Nadi RR Suhu Berat Badan Tinggi Badan

: Compos Mentis : 110/70 mmHg : 74 x/mnt reguler : 24 x/mnt : 37,5C : 70 kg : 162 cm

b.Pemeriksaan umum B1 (Breath) Airway RR SP ST B2 (Blood) Akral TD HR Pulse Temp B3 (Brain) Sensorium Pupil RC : Compos mentis : Isokor kanan dan kiri, diameter 3mm : +/+ : H/M/K : 110/70 mmHg : 74 x/i, reguler : T/V = Kuat/Cukup : 37.5C : Clear, snoring, gurgling, crowing (-/-/-) : 24 x/i : Vesikuler : Ronkhi (-), wheezing (-),

Riwayat kejang : -

B4 (Bladder) UOP Warna Volume : Sulit dinilai ::-

B5 (Bowel) Abdomen RT B6 (Bone) Oedem (-) 1.4 Pemeriksaan Penunjang Hasil Laboratorium Tanggal 23 Maret 2013 Darah Rutin HB HT Leukosit Trombosit LED 1.5 Diagnosis Diagnosa : Katarak Grade III OD : 14,1 g/dL : 36,2 % : 20.500 /uL : 237.000 /uL : 12 mm/jam : Soepel, Peristaltik (+) Normal : Tidak dilakukan pemeriksaan

1.6 Rencana Tindakan Tindakan Anestesi PS-ASA Posisi Pernafasan 1.7 Teknik anestesi Suction aktif Posisi head up 15 : CEEC + IOL Implant OD : GA-ETT : ASA I : Supine : Dikontrol dengan ventilator O2.

Midazolam 2 mg (0,1-0,3 mg/kgBB)


Fentanyl 40 g (1-3 g/kgBB) Propofol 40 mg (2-2,5 mg/kgBB) Cricoid pressure (Sellick Manouver) Pre Oksigenasi Rocuronium 20 mg (0.6-1,2 mg) Intubasi ETT no.5

Teknik diatas dilakukan secara cepat untuk menghindari aspirasi lambung (Rapid Sequence Intubation) semua pasien emergensi dianggap lambung penuh
SP : kanan dan kiri, cuff (+), fiksasi Maintenance Isoflurane 0,5-1%

O2 : N2O = 2,5 : 2,5 l/menit BB = 70 kg VT = (8-10 ml/kgBB) = 70 x 10 ml MV = FGF MV = VT x RR = 700 x 16 = 11.200ml


Maintenance cairan dengan RL BB = 70 kg Kebutuhan cairan per jam berdasar rumus Holiday Segar yaitu 4:2:1, (10 kg pertama BB x 4, 10 kg kedua x 2, dan x 1 setiap penambahan BB di atas 20 kg) didapat 110 cc/jam ( 36 tts makro/menit).

1.8 Diskusi Penatalaksanaan A. Pre-Operatif Persiapan di ruangan OK telah siap malam sebelumnya, yaitu tanggal 12 April 2013

Dan pada pagi tanggal 13 April 2013, dokter anastesi yang bertanggung jawab mengunjungi pasien yang akan di operasi guna mengetahui kondisi terakhir pasien B. Durante operatif Dijumpai katarak pada mata sebelah kanan Dilakukan CEEC dan IOL impkant pada mata sebelah kanan Selesai Lama Anestesi: 15.40 16.45 (1 jam 5 menit) Lama Operasi : 16.10 - 16.40 Jumlah cairan : Maintenance operasi besar (4-8 cc/kgBB/jam) : 20 x (4-8) = 80 cc/kgBB/jam 60 + 80 = 140 cc/jam kebutuhan cairan durante operasi PO DO : RL 100 cc : RL 500 cc

Produksi Urin : Sulit dinilai Perdarahan Kasa basah Kasa basah Suction EBV : (65) x BB = 65 x 70 kg = 4550 EBL (Estimated Blood Lose) 10 % 455 ml perdarahan EBL EBL C. Post Operatif B1 (Breath) Airway : Clear, snoring, gurgling, crowing (-/-/-) 20% 910 ml perdarahan 30% 1365 ml perdarahan : :: 1 cc x 4 = 4 cc :-

RR SP ST SpO2 B2 (Blood) Akral TD HR Pulse Temp B3 (Brain) Sensorium Pupil RC B4 (Blader) UOP Warna Volume B5 (Bowel)

: 22 x/i : Vesikuler : Ronkhi (-), wheezing (-) : 97-100%

: H/M/K : 100/60 mmHg : 88 x/i : T/V = Kuat/Cukup : 37C

: Compos mentis : Isokor kanan dan kiri, diameter 3mm : +/+

: Sulit dinilai : :

Abdomen : Soepel Peristaltik : (+) Normal B6 (Bone) Oedem (-) Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR, setelah dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran, serta vital sign stabil pasien dipindahkan ke bangsal, dengan anjuran untuk bed rest, tetap diawasi vital sign selama 24 jam post operasi. Bed rest

IVFD RL 30 gtt/i makro Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam IV Inj. Ondancetron 4 mg/ IV (k/p) Ceftriaxone 1 gr/12 jam Ranitidine 50 mg/12 jam Acc pindah ruangan bila Aldrete score 9

BAB I PENDAHULUAN

Katarak berasal dari bahasa Yunani (Katarrhakies ), Inggris (Cataract ), danLatin (Cataracta) yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bulardimana penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak ialahsetiap kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairanlensa) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat keduaduanya (Ilyas, 2005).Katarak kerap disebut-sebut sebagai penyebab kebutaan nomor satu di Indonesia. Menurut WHO di negara berkembang 1-3% penduduk mengalami kebutaaan dan 50% penyebabnya adalah katarak. Sedangakan untuk negara maju sekitar 1,2%penyebab kebutaan adalah katarak. Menurut survei Depkes RI tahun 1982 pada 8 Propinsi, prevalensi kebutaan bilateral adalah 1,2% dari seluruh penduduk, sedangkan prevalensi kebutaan unilateral adalah 2,1% dari seluruh penduduk (Ilham, 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.

2.1 DEFINISI Katarak termasuk golongan kebutaan yang tidak dapat dicegah tetapi dapat disembuhkan. Definisi katarak menurut WHO adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata, yang menghalangi sinar masuk ke dalam mata. Katarak terjadi karena faktor usia, namun juga dapat terjadi pada anak-anak yang lahir dengan kondisi tersebut. Katarak juga dapat terjadi setelah trauma, inflamasi atau penyakit lainnya. Katarak senilis adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut,yaitu usia diatas 50 tahun. 2.2 Anatomi Lensa Anatomi lensa menurut AAO (1997-1998):Lensa berbentuk bikonveks dan transparan. Lensa menyumbang kekuatan refraksi sebanyak 15-20 dioptri dalam penglihatan. Kutub anterior dan posterior lensa dihubungkan oleh garis khayal yang disebut axis, sedangkan equator merupakan garis khayal yang mengelilingi lensa. Lensa merupakan struktur yang tidak memiliki pembuluh darah dan tidak memiliki pembuluh limfe. Di dalam mata, lensa terfiksir pada serat zonula yang berasal dari badan silier. Serat zonula tersebut menempel dan menyatu dengan lensa pada bagian anterior dan posterior dari kapsul lensa. Kapsul ini merupakan membran dasar yang melindungi nukleus, korteks dan epitel lensa.

1. Kapsul Kapsul lensa merupakan membran dasar yang elastis dan transparan tersusun dari kolagen tipe IV yang berasal dari sel-sel epitel lensa. Kapsul inimengandung isi lensa serta mempertahankan bentuk lensa pada saat akomodasi.Bagian paling tebal kapsul berada di bagian anterior dan posterior zona pre-equator dan bagian paling tipis berada di bagian tengah kutub posterior. 2. Serat Zonula Lensa terfiksir oleh serat zonula yang berasal dari lamina basal pars planadan pars plikata badan silier. Serat-serat zonula ini menyatu dengan lensa pada bagian anterior dan psterior kapsul lensa. 3. Epitel Lensa Tepat di belakang kapsul anterior lensa terdapat satu lapis sel-sel epitel. Sel-sel epitel ini dapat melakukan aktivitas seperti yang dilakukan sel-sel lainnya, seperti sintesis DNA, RNA, protein dan lipid. Sel-sel tersebut juga dapatmembentuk ATP untuk memenuhi kebutuhan energi lensa. Sel-sel epitel yang baru terbentuk akan menuju equator lalu berdiferensiasi menjadi serat lensa. 4. Nukleus dan Korteks Sel-sel berubah menjadi serat, lalu serat baru akan terbentuk dan akanmenekan serat-serat lama untuk berkumpul di bagian tengah lensa. Serat-serat paling tua yang terbentuk merupakan lensa fetus yang diproduksi pada fase embrionik dan masih menetap hingga sekarang. Serat-serat yang baru akanmembentuk korteks dari lensa.

2.3 Fisiologi Lensa Fisiologi lensa menurut AAO (1997-1998):Lensa tidak memiliki pembuluh darah maupun sistem saraf. Untuk mempertahankan kejernihannya, lensa harus menggunakan aqueous humor sebagai penyedia nutrisi dan sebagai tempat pembuangan produknya. Namun hanya sisi anterior lensa saja yang terkena aqueous humor. Oleh karena itu, sel-sel yang beradadi tengah lensa membangun jalur komunikasi terhadap lingkungan luar lensa dengan membangun low-resistance gap junction antar sel.

1. Keseimbangan Elektrolit dan Air Dalam Lensa Lensa normal mengandung 65% air, dan jumlah ini tidak banyak berubah seiring bertambahnya usia. Sekitar 5% dari air di dalam lensa berada di ruangan ekstrasel. Konsentrasi sodium di dalam lensa adalah sekitar 20M dan potasium sekitar 120M. Konsentrasi sodium di luar lensa lebih tinggi yaitu sekitar 150M dan potasium sekitar 5M. Keseimbangan elektrolit antara lingkungan dalam dan luar lensa sangat tergantung dari permeabilitas membran sel lensa dan aktivitas pompa sodium, Na+, K+ -ATPase. Inhibisi Na+, K+ -ATPase dapat mengakibatkan hilangnya keseimbangan elektrolit dan meningkatnya air di dalam lensa. Keseimbangan kalsium juga sangat penting bagi lensa. Konsentrasi kalsium di dalam sel yang normal adalah 30M, sedangkan di luar lensa adalahsekitar 2M. Perbedaan konsentrasi kalsium ini diatur sepenuhnya oleh pompakalsium Ca2+-ATPase. Hilangnya keseimbangan kalsium ini dapat menyebabkan depresi metabolisme glukosa, pembentukan protein high-molecular-weight dan aktivasi protease destruktif.Transpor membran dan permeabilitas sangat penting untuk kebutuhan nutrisi lensa. Asam amino aktif masuk ke dalam lensa melalui pompa sodium yangberada di sel epitel. Glukosa memasuki lensa secara difusi terfasilitasi, tidak langsung seperti sistem transport aktif. 2. Akomodasi Lensa Mekanisme yang dilakukan mata untuk merubah fokus dari benda jauh kebenda dekat disebut akomodasi. Akomodasi terjadi akibat perubahan lensa olehaksi badan silier terhadap serat-serat zonula. Setelah umur 30 tahun, kekakuanyang terjadi di nukleus lensa secara klinis mengurangi daya akomodasi.Saat otot silier berkontraksi, serat zonular relaksasi mengakibatkan lensamenjadi lebih cembung. Ketika otot silier berkontraksi, ketebalan axial lensa meningkat, kekuatan dioptri meningkat, dan terjadi akomodasi. Saat otot silier relaksasi, serat zonular menegang, lensa lebih pipih dan kekuatan dioptri menurun. Tabel 1.Perubahan yang terjadi pada saat akomodasi. Otot silier Ketegangan serat zonular Bentuk lensa Tebal axial lensa Dioptri lensa Akomodasi Kontraksi Menurun Lebih cembung Meningkat Meningkat Tanpa Akomodasi Relaksasi Meningkat Lebih pipih Menurun Menurun

Terjadinya akomodasi dipersarafi oleh saraf simpatik cabang nervus III(okulomotorius). Obat-obat parasimpatomimetik (pilokarpin) memicu akomodasi,sedangkan obat-obat parasimpatolitik (atropine) memblok akomodasi. Obat-obatanyang menyebabkan relaksasi otot silier disebut cycloplegik

2.4 Etiologi dan Patofisiologi Penyebab terjadinya katarak senilis hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa teori konsep penuaan sebagai berikut: -Teori putaran biologik ( A biologic clock). -Jaringan embrio manusia dapat membelah diri 50 kali mati. - Imunologis; dengan bertambah usia akan bertambah cacat imunologik yangmengakibatkan kerusakan sel. - Teori mutasi spontan. - Terori A free radical Free radical terbentuk bila terjadi reaksi intermediate reaktif kuat. Free radical dengan molekul normal mengakibatkan degenerasi. Free radical dapat dinetralisasi oleh antioksidan dan vitamin E. - Teori A Cross-link. Ahli biokimia mengatakan terjadi pengikatan bersilang asam nukleat dan molekul protein sehingga mengganggu fungsi. Perubahan lensa pada usia lanjut: 1. Kapsul - Menebal dan kurang elastis (1/4 dibanding anak) - Mulai presbiopia- Bentuk lamel kapsul berkurang atau kabur- Terlihat bahan granular 2.Epitel makin tipis - Sel epitel (germinatif) pada ekuator bertambah besar dan berat

- Bengakak dan fakuolisasi mitokondria yang nyata 3. Serat lensa: - Lebih iregular - Pada korteks jelas kerusakan serat sel - Brown sclerotic nucleus, sinar ultraviolet lama kelamaan merubah proteinnukleus (histidin, triptofan, metionin, sistein dan tirosin) lensa, sedang warnacoklet protein lensa nukleus mengandung histidin dan triptofan dibanding normal. - Korteks tidak berwarna karena: Kadar asam askorbat tinggi dan menghalangi fotooksidasi. Sinar tidak banyak mengubah protein pada serat muda.Kekeruhan lensa dengan nukleus yang mengeras akibat usia lanjut biasanyamulai terjadi pada usia lebih dari 60 tahun.

2.5 Klasifikasi Katarak Senil Katarak senilis secara klinik dikenal dalam empat insipien,intumesen, imatur, matur dan hipermatur (Ilyas, 2005).
Tabel 2.Perbedaan stadium katarak senilis (Ilyas, 2005).

stadium

yaitu

Kekeruhan Cairan lensa Iris Bilik mata depan Sudut bilik mata Iris shadow test Penyulit

Insipien Ringan Normal Normal Normal Normal Negatif -

Imatur Sebagian Bertambah Terdorong Dangkal Sempit Positif Glaukoma

Matur Seluiruh Normal Normal Normal Normal Negatif -

Hipermatur Measif Berkurang Tremulans Dalam Terbuka Pseudopos Uveitis glaukoma +

1. Katarak Insipien

Pada katarak stadium insipien terjadi kekeruhan mulai dari tepi ekuatormenuju korteks anterior dan posterior (katarak kortikal). Vakuol mulai terlihat didalam korteks. Pada

katarak subkapsular posterior, kekeruhan mulai terlihat anterior subkapsular posterior, celah terbentuk antara serat lensa dan korteks berisi jaringandegeneratif (benda Morgagni) pada katarak isnipien (Ilyas, 2005).Kekeruhan ini dapat menimbulkan polipia oleh karena indeks refraksi yangtidak sama pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktuyang lama. 2. Katarak Intumesen. Pada katarak intumesen terjadi kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensaakibat lensa yang degeneratif menyerap air.Masuknya air ke dalam celah lensa mengakibatkan lensa menjadi bengkak dan besar yang akan mendorong iris sehingga bilik mata menjadi dangkal dibandingdengan keadaan normal. Pencembungan lensa ini akan dapat memberikan penyulitglaukoma. Katarak intumesen biasanya terjadi pada katarak yang berjalan cepat danmengakibatkan mipopia lentikular. Pada keadaan ini dapat terjadi hidrasi kortekshingga lensa akan mencembung dan daya biasnya akan bertambah, yang memberikanmiopisasi.Pada pemeriksaan slitlamp terlihat vakuol pada lensa disertai peregangan jarak lamel serat lensa. 3. Katarak Imatur Pada katarak senilis stadium imatur sebagian lensa keruh atau katarak yangbelum mengenai seluruh lapis lensa. Pada katarak imatur akan dapat bertambahvolume lensa akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang degeneratif. Pada keadaan lensa mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil, sehinggaterjadi glaukoma sekunder (Ilyas, 2005). 4. Katarak Matur Pada katarak senilis stadium matur kekeruhan telah mengenai seluruh masalensa. Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca yang menyeluruh. Bilakatarak imatur atau intumesen tidak dikeluarkan maka cairan lensa akan keluar,sehingga lensa kembali pada ukuran yang normal. Akan terjadi kekeruhan seluruhlensa yang bila lama akan mengakibatkan kalsifikasi lensa. Bilik mata depan akanberukuran kedalaman normal kembali, tidak terdapat bayangan iris pada lensa yangkeruh, sehingga uji bayangan iris negatif (Ilyas, 2005).

4. Katarak Hipermatur Pada katarak stadium hipermatur terjadi proses degenerasi lanjut, dapatmenjadi keras atau lembek dan mencair. Masa lensa yang berdegenerasi kelur darikapsul lensa sehingga lensa menjadi mengecil, berwarna kuning dan kering. Padapemeriksaan terlihat bilik mata dalam dan lipatan kapsul lensa. Kadang-kadangpengkerutan berjalan

terus sehingga hubungan dengan zonula Zinn menjadi kendor.Bila proses katarak berjalan lanjut disertai dengan kapsul yang tebal maka korteksyang berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar, maka korteks akan memperlihatkanbentuk sebagai sekantong susu disertai dengan nukleus yang terbenam di dalamkorteks lensa karena lebih berat. Keadaan ini disebut sebagai katarak Morgagni(Ilyas, 2005).

2.6 Manifestasi Klinis Gejala katarak senilis biasanya berupa keluhan penurunan tajam penglihatansecara progresif (seperti rabun jauh memburuk secara progresif). Penglihatan seakan-akan melihat asap/kabut dan pupil mata tampak berwarna keputihan. Apabila katarak telah mencapai stadium matur lensa akan keruh secara menyeluruh sehingga pupilakan benar-benar tampak putih. Gejala umum gangguan katarak menurut GOI (2009)dan Medicastore (2009) meliputi: 1. Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek. 2. Peka terhadap sinar atau cahaya. 3. Dapat terjadi penglihatan ganda pada satu mata. 4. Memerlukan pencahayaan yang baik untuk dapat membaca. 5. Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.

2.7 Diagnosis Diagnosis katarak senilis dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaanfisik. Pemeriksaan laboratorium preoperasi dilakukan untuk mendeteksi adanyapenyakitpenyakit yang menyertai (contoh: diabetes melitus, hipertensi, cardiac anomalies). Penyakit seperti diabetes militus dapat menyebabkan perdarahanperioperatif sehingga perlu dideteksi secara dini sehingga bisa dikontrol sebelumoperasi (Ocampo, 2009).Pada pasien katarak sebaiknya dilakukan pemeriksaan visus untuk mengetahuikemampuan melihat pasien. Visus pasien dengan katarak subkapsuler posterior dapatmembaik dengan dilatasi pupil.Pada pemeriksaan slit lamp biasanya dijumpai keadaan palpebra, konjungtiva,dan kornea dalam keadaan normal. Iris, pupil, dan COA terlihat normal. Pada lensapasien katarak, didapatkan lensa keruh. Lalu, dilakukan pemeriksaan shadow test untuk menentukan stadium pada penyakit katarak senilis. Ada juga pemeriksaan-pemeriksaan lainnya seperti biomikroskopi, stereoscopic fundus examination,pemeriksaan lapang pandang dan pengukuran TIO.

2.8 Penatalaksanaan Pengobatan pada katarak adalah pembedahan. Untuk menentukan kapankatarak dapat dibedah ditentukan oleh keadaan tajam penglihatan. Tajam penglihatandikaitkan dengan tugas sehari-hari penderita. 1. Pembedahan Katarak Operasi katarak terdiri dari pengangkatan sebagian besar lensa dan penggantian lensa dengan implan plastik. Saat ini pembedahan semakin banyak dilakukan dengan anestesi lokal daripada anestesi umum. Anestesi lokal diinfiltrasikan di sekitar bola mata dan kelopak mata atau diberikan secara topikal. Jika keadaan sosial memungkinkan, pasien dapat dirawat sebagai kasus perawatan sehari dan tidak memerlukan perawatan rumah sakit. Operasi ini dapat dilakukan dengan: Insisi luas pada perifer kornea atau sklera anterior, diikuti oleh ekstraksi katarak ekstrakapsular (extra-capsular cataract extraction, ECCE). Insisi harus dijahit. - Likuifikasi lensa menggunakan probe ultrasonografi yang dimasukkan melaluiinsisi yang lebih kecil di kornea atau sklera anterior (fakoemulsifikasi). Biasanyatidak dibutuhkan penjahitan. Sekarang metode ini merupakan metode pilihan dinegara barat. Kekuatan implan lensa intraokular yang akan digunakan dalam operasidihitung sebelumnya dengan mengukur panjang maata secara ultrasonik dankelengkungan kornea (maka juga kekuatan optik) secara optik. Kekuatan lensaumumnya dihitung sehingga pasien tidak akan membutuhkan kacamata untuk penglihatan jauh. Pilihan lensa juga dipengaruhi oleh refraksi mata kontralateral danapakah terdapat terdapat katarak pada mata tersebut yang membutuhkan operasi.Jangan biarkan pasien mengalami perbedaan refraktif pada kedua mata.

Gambar

1.Pembedahan

katarak

(Harvard

Health

Publications,

2007).

Pascaoperasi pasien diberikan tetes mata steroid dan antibiotik jangka pendek.Kacamata baru dapat diresepkan setelah beberapa minggu, ketika bekas insisi telahsembuh. Rehabilitasi visual dan peresepan kacamata baru dapat dilakukan lebih cepatdengan metode fakoemulsifikasi. Karena pasien tidak dapat berakomodasi makapasien membutuhkan kacamata untuk pekerjaan jarak dekat meski tidak dibutuhkankacamata untuk jarak jauh. Saat ini digunakan lensa intraokular multifokal, lensaintraokular yang dapat berakomodasi sedang dalam tahap pengembangan.

2. Komplikasi Pembedahan Katarak (James et. al., 2006) a. Hilangnya vitreous. Jika kapsul posterior mengalami kerusakan selama operasimaka gel vitreousnya dapat masuk ke dalam bilik mata depan yang merupakanresiko terjadinya glaukoma atau traksi pada retina.

b. Prolaps iris. Iris dapat mengalami protus melalui insisi bedah pada periode paskaoperasi dini. Pupil mengalami distorsi. c. Endoftalmitis. Komplikasi infektif ekstraksi katarak yang serius namun jarangterjadi (<0,3%), pasien datang dengan mata merah yang terasa nyeri, penurunantajam penglihatan, pengumpulan sel darah putih di bilik mata depan (hipopion). d. Astigmatisma pascaoperasi. Mungkin diperlukan pengangkatan jahitan korneauntuk mengurangi astigmatisma kornea. Ini dilakukan sebelum melakukanpengukuran kacamata baru namun setelah luka insisi sembuh dan tetes matasteroid dihentikan. Kelengkungan kornea yang berlebih dapat terjadi pada garis jahitan bila jahitan terlalu erat. Pengangkatan jahitan biasanya menyelesaikanmasalah ini dan bisa dilakukan dengan mudah di klinik dengan anastesi lokal,dengan pasien duduk di depan slit lamp. Jahitan yang longgar harus diangkatuntuk mencegah infeksi namun mungkin diperlukan jahitan kembali jikapenyembuhan lokasi insisi tidak sempurna. Fakoemulsifikasi tanpa jahitan melaluiinsisi yang kecil menghindarkan komplikasi ini. Selain itu, penempatan lukamemungkinkan koreksi astigmatisma yang telah ada sebelumnya. e. Edema makular sistoid. Makula menjadi edema setelah pembedahan, terutama biladisertai dengan hilangnya vitreous. Dapat sembuh seiring berjalannya waktu,namun dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang berat. f. Ablasio retina. Teknik-teknik modern dalam ekstraksi katarak dihubungkandengan rendahnya tingkat komplikasi ini. Tingkat komplikasi ini bertambah bilaterdapat kehilangan vitreous. g. Opasifikasi kapsul posterior. Pada sekitar 20% pasien, kejernihan kapsul posteriorberkurang pada beberapa bulan setelah pembedahan ketika sel epitel residubermigrasi melalui permukaannya. Penglihatan menjadi kabur dan mungkindidapatkan rasa silau. Dapat dibuat satu lubang kecil pada kapsul dengan laser( neodymium yttrum ( ndYAG) laser ) sebagai prosedur klinis rawat jalan. Terdapatrisiko kecil edema makular sistoid atau terlepasnya retina setelah kapsulotomiYAG. Penelitian yang ditujukan pada pengurangan komplikasi ini menunjukkanbahwa bahan yang digunakan untuk membuat lensa, bentuk tepi lensa, dantumpang tindih lensa intraokular dengan sebagian kecil cincin kapsul anteriorpenting dalam mencegah opasifikasi kapsul posterior. 2.9 Komplikasi Apabila dibiarkan katarak akan menimbulkan gangguan penglihatan dankomplikasi seperti glaukoma, uveitis dan kerusakan retina.

BAB III KESIMPULAN

Katarak senilis adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut,yaitu usia diatas 50 tahun. Penyebab terjadinya katarak senilis ialah karena proses degeneratif. Selain ituk atarak senilis juga dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti adanya penyakit metabolisme, trauma serta paparan sinar ultraviolet. Katarak senilis secara klinis dikenal dalam empat stadium, yaitu stadium insipien, imatur, matur dan hipermatur. Gejala umum gangguan katarak meliputi penglihatan tidak jelas seperti terdapat kabut menghalangi objek, peka terhadap sinar atau cahaya, dapat terjadi penglihatan ganda pada satu mata memerlukan pencahayaan yang baik untuk dapat membaca, lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu. Pengobatan pada katarak adalah pembedahan. Untuk menentukan kapan katarak dapat dibedah ditentukan oleh keadaan tajam penglihatan. Tajam penglihatan dikaitkan dengan tugas sehari-hari penderita. Apabila dibiarkan katarak akan menimbulkan gangguan penglihatan dan komplikasi seperti glaukoma, uveitis dan kerusakan retina. Katarak senilis tidak dapat dicegah karena penyebab terjadinya katarak senilis ialah disebabkan oleh faktor usia, namun dapat dilakukan pencegahan terhadap hal-hal yang memperberat seperti mengontrol penyakit metabolik, mencegah paparan langsung terhatap sinar ultraviolet dengan menggunakan kaca mata gelap dansebagainya. Pemberian intake antioksidan (seperti asam vitamin A, C dan E) secara teori bermanfaat. Apabila pada proses pematangan katarak dilakukan penanganan yang tepat sehingga tidak menimbulkan komplikasi serta dilakukan tindakan pembedahan pada saat yang tepat maka prognosis pada katarak senilis umumnya baik.

PENGERTIAN ANESTESI Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat irreversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien. Dengan anestesi umum, akan diperoleh triad (trias) anestesia, yaitu : - Hipnosis (tidur) - Analgesia (bebas dari nyeri) - relaksasi otot Anestesi yang digunakan adalah anestesi umum dengan teknik perlindungan jalan nafas. Pemantauan ditujukan atas fungsi nafas dan sirkulasi. Pulse oxymeter dianjurkan sebagai alat monitoring. 2.3 Penilaian dan Persiapan Praanestesia 1. Anamnesis Riwayat apakah pasien pernah mendapat anesthesia sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik. 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.

3. Pemeriksaan Laboratorium Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil ( Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 40 tahun ada anjuran EKG dan foto thoraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan mamfaat minimal uji-uji semacam ini. 4. Kebugaran untuk anesthesia Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan tidak perlu harus dihindari. 5. Klasifikasi Status anestesia Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseoran ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan risiko anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan. Kelas 1 : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia. Kelas 2 : Pasien dengan penyakit sistemikringan atau sedang. Kelas 3 : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas. Kelas 4 : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukanaktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupan setiap saat. Kelas 5: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan, Pada pembedahan cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E 6. Masukan Oral Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan resiko tersebut,

semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anesthesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada bayi 3-4 jam. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas diperbolehkan 1 jam sebelum induksi anestesia. PREMEDIKASI Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi diantaranya: 1. Meredakan kecemasan dan ketakutan. 2. Memperlancar induksi anestesi. 3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus. 4. Meminimalkan jumlah obat anestetik. 5. Mengurangi mual muntah pasca bedah. 6. Menciptakan amnesia. 7. Mengurangi isi cairan lambung. 8. Mengurangi refleks yang membahayakan Obat-obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah: A. Obat Golongan Antikholinergik Obat golongan antikholinergik adalah obat-obatan yang berkhasiat menekan/menghambat aktivitas kholinergik atau parasimpatis. Tujuan utama pemberian obat golongan antikholinergik untuk premedikasi adalah: 1. Mengurangi sekresi kelenjar: saliva, saluran cerna, dan saluran nafas. 2. Mencegah spasme laring dan bronkus 3. Mencegah bradikardi 4. Mengurangi motalitas usus 5. Melawan efek depresi narkotik terhadap pusat nafas.

Obat golongan antikholinergik yang digunakan dalam praktik anesthesia adalah preparat Alkaloid Belladona, yang turunanny adalah; 1. Sulfas atropine 2. Skopolamin Mekanisme Kerja Menghambat mekanisme kerja asetil kholin pada organ yang diinervasi oleh serabut otonom para simpatis atau serabut saraf yang mempunyai neurotransmitter asetil kolin. Alkaloid belladonna menghambat muskarinik secara kompetitif yang ditimbulkan oleh asetil kholin pada sel efektor organ terutama pada kelenjar eksokrin, otot polos dan otot jantung. Khasiat sulfas atropine lebih dominan pada otot jantung, usus dan bronkus, sedangkan skolopamin lebih dominan pada iris, korpus silliare dan kelenjar. Cara pemberian dan dosis 1. Intramuscular, dosis 0.01 mg/kg BB, diberikan 30-45 menit sebelum induksi. 2. Intravena, dengan dosis 0.005 mg/kg BB, diberikan 5-10 sebelum induksi Kontra indikasi Alkaloid belladona ini tidak diberikan pada pasien yang menderita: demam, takikardi, glukoma dan tirotoksikasis. Kemasan dan sifat fisik Dikemas dalam bentuk ampul 1ml mengandung 0,25 dan 0,50 mg, tidak berwarna dan larut dalam air. B. Obat Golongan Sedatif/ Trankuilizer, Obat golongan sedatif adalah obat-obat yang berkhasiat anti cemas dan menimbulkan rasa kantuk. Tujuan pemberian obat golongan ini adalah untuk memberikan suasana nyaman bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut, sehingga pasien menjadi tidak peduli dengan lingkunganny.

Untuk keperluan ini, obat golongan sedatif/trankuilizer yang sering digunakan adalah: 1. Derivate fenothiazin 2. Derivate benzodiazepine 3. Derivate butirofenon 4. Derivate barbiturate 5. Antihistamin 1. Derivate fenothiazin Derivate fenothiazin yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah prometazin. Obat ini pada mulanya digunakan sebagai antihistamin. cara pemberian dan dosis: 1. Intramuscular dosis 1 mg/kg BB dan diberikan 30-45 menit sebelum induksi 2. Intravena, dengan dosis 0,5 mg/kg BB diberikan 5-10 menit sebelum induksi. Kemasan dan sifat fisik Dikemas dalam bentuk ampul 2 ml mengandung 50 mg. Tidak berwarna dan larut dalam air. 2. Derivat benzodiazepine Derivat benzodiazepine yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah diazepam dan midazolam. Derivat yang lain adalah klordizepoksid, nitrazepam dan oksazepam. Penggunaan klinis Dalam praktik anesthesia obat ini digunakan sebagai: 1. Premedikasi, diberikan intramuscular dengan dosis 0,2 mg/kg BB atau peroral dengan dosis 5-10 mg. 2. Induksi, diberikan intravena dengan dosis 0,2-0,6 mg/kg BB 3. Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena 4. Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin Penggunaan lainnya adalah:

1. Antikejang pada kasus-kasus epilepsy, tetanus dan eklamsi 2. Sedasi pasien rawat inap 3. Sedasi pada tindakan kardioversi dan endoskopi Pada pemberian intramuscular atau intravena, obat ini tidak bias dicampur dengan obat lain karena bias terjadi presipitasi. Jalur vena yang dipilih sebaiknya melalui vena-vena besar untuk mencegah flebitis. Pemberian intramuscular kurang disenangi oleh karena menimbulkan rasa nyeri pada daerah suntikan. Kemasan Kemasan injeksi berbentuk larutan emulsi dalam ampul 2 ml yang mengandung 10 mg, berwarna kuning, sukar larut dalam air dan bersifat asam. Kemasan oral dalam bentuk 2 mg dan 5 mg, disamping itu ada kemasan suppositoria atau pipa rectal (rectal tube) yang diberikan pada anak-anak. Sedangkan midazolam yang ada dipasaran adalah hanya dalam bentuk larutan tidak berwarna, mudah larut dalam air dan kemasan dalam ampul (3 dan 5 ml) yang mengandung 5 mg/ml. 3. Derivat butirofenon Derivate ini disebut juga sebagai obat golongan neroleptika, karena sering digunakan sebagai neroleptik. Derivate butiroferon yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah dehidhobenzperidol tau disebut DHBP. Penggunaan Klinik 1. Premedikasi, diberikan itramuskular, dosis 0,1 mg/kg/bb 2. Sedasi untuk tindakan endoskopi dan analgesia regional 3. Anti hipertensi 4. Anti muntah 5. Suplemen anestesia Kemasan Dalam bentuk ampul 2 ml dan 10 ml, mengandung 2,5 mg/ml. Tidak berwarna dan bisa dicampur dengan obat lain.

4.Derivat barbiturat Derivat barbiturat yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah pentobarbital dan sekobarbital. Digunakan sebagai sedasi dan penenang prabedah, terutama pada anak-anak. Pada dosis lazim, menimbulkan depresi ringan pada respirasi dan sirkulasi. Sebagai premedikasi diberikan intramuskular dengan dosis 2 mg/kgBB atau peroral. 5.Preparat antihistamin Obat golongan ini yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah derivat defenhidramin. Khasiat yang diharapkan adalah: sedatif, antimuntah ringan dan antipiretik, sedangkan efek sampingnya adalah hipotensi yang sifatnya ringan. C. Golongan Analgetik Narkotik atau Opioid Berdasarkan struktur kimia, anelgetik narkotik atau opioid dibedakan menjadi 3 kelompok: 1. Alkaloid opium (natural): morfin dan kodein 2. Derivat semisintetik: diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oksimorfon, hidrokodon dan oksikodon. 3. Derivat sintetik Fenilpiperidine : petidin, fentanil,sulfafentanil dan alfentanil

Benzmorfans : pentazosin, fenazosin dan siklazosin Morfinans Propionanilides Tramadol : lavorvanol : metadon

Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada reseptor-reseptor opioid yang diketahui ada 4 reseptor, yaitu: 1. Reseptor Mu

Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini. Stimulasi reseptor ini akan menimbulkan analgesia, rasa segar, euforia dan depresi respirasi. 2. Reseptor Kappa Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi dan anestesia. Morfin bekerja pada reseptor ini.

3. Reseptor Sigma Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi, pupil midriasis dan stimulasi respirasi. 4. Reseptor Delta Pada manusia peran reseptor ini belum diketahui dengan jelas. Diduga meperkuat reseptor Mu. Golongan narkotik yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah: 1. Petidin 2. Morfin Sedangkan fentanil digunakan sebagai suplemen anestesia. Penggunaan klinik Morfin mempunyai kekuatan 10x dibandingkan petidin, ini berarti bahwa dosis morfin sepersepuluh dari dosis petidin, sedangkan fentanil 100kali dari dosis petidin. Analgetik narkotik digunakan sebagai: 1. Premedikasi: petidin diberikan IM dengan dosis 1 mg/kgBB atau IV 0,5 mg/kgBB, sedangkan morfin sepersepuluh dari petidin, sedangkan fentanil seperseratus dari petidin. 2. Analgetik untuk pasien menderita nyeri akut/kronis, diberikan sistemik atau regional intratekal/epidural 3. Suplemen anestesia atau analgesia 4. Analgetik pada tindakan endoskopi atau diagnostik lain. 5. Suplemen sedasi dan analgetik di Unit Terapi Intensif

Kontra Indikasi Pemberian narkotik harus hati-hati pada pasien orangtua atau bayi dan keadaan umum yang buruk. Tidak boleh diberikan pada pasien yang mendapat preparat penghambat monoamin oksidase, pasien asma dan penderita penyakit hati. Efek samping atau tanda-tanda intoksikasi 1. Memperpanjang masa pulih anestesia 2. Depresi pusat nafas sehingga pasien bisa berhenti nafas 3. Pupil miosis 4. Spasme bronkus pada pasien penderita asma akibat morfin 5. Kolik abdomen akibat spasme sfinter kantung empedu 6. Mual muntah dan hipersalivasi 7. Gatal-gatal seluruh tubuh Penanggulangan efek samping ini dilakukan dengan jalan memberikan bantuan hidup dasar dan segera memberikan obat penawar. Kemasan 1. Petidin dalam bentuk ampul 2 ml yang mengandung 50 mg/ml tidak berwarna 2. Fentanil dikemas steril dalam bentuk ampul 2 dan 10 ml tiap ml mengandung 50 g 3. Morfin dalam bentuk ampul 1 ml yang mengandung 10 atau 20 mg, tidak berwarna dan bisa dicampur dengan obat lain. Dalam aplikasinya, ketiga jenis obat-obat premedikasi ini dicampur dalam satu spuit kecuali diazepam, dan disuntikkan secara IM. Pemberian cara ini dimaksudkan mengurangi suntikan berulang. Apabila diberikan terpisah, pasien akan disuntik sebanyak tiga kali, keadaan ini tidak mengenakkan pasien. 2.5 Induksi Anestesi Umum Induksi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi

anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, intramuscular atau rektai. Setelah pasien tidur akibat induksi anesthesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anesthesia sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai induksianestesia selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik.

Untuk persiapan induksi anesthesia sebaiknya kita ingat kata STATICS : S= Scope Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung . LaringoSkop. Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang. T= Tube A= Airway Pipa trakea. Pilih sesuia usia. Usia < 5 tahun tanpa balon ( cuffed) dan >5 tahun dengan balon (cuffed) Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidungfaring ( naso-trachealairway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas. T=Tape : Plester untuk fiksasi pipa supaya pipa tidak terdorong atau tercabut. I=Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan. C=Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia S=Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

1. Induksi Intravena Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, pelahan-lahan, lembut dan terkendali.

Selama induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selau diberikan oksigen. Induksi ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot. Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target organ masingmasing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan farmakodinamiknya masing-masing. Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal. Pemilihan teknik anestesi merupakan hal yang sangat penting, membutuhkan pertimbangan yang sangat matang dari pasien dan faktor pembedahan yang akan dilaksanakan, pada populasi umum walaupun regional anestesi dikatakan lebih aman daripada general anestesi, tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa teknik yang satu lebih baik dari yang lain, sehingga penentuan teknik anestesi menjadi sangat penting. Pemahaman tentang sirkulasi darah sangatlah penting sebelum obat dapat diberikan secara langsung ke dalam aliran darah, kedua hal tersebut yang menjadi dasar pemikiran sebelum akhirnya anestesi intravena berhasil ditemukan. William Morton , tahun 1846 di Boston , pertama kali menggunakan obat anestesi dietil eter untuk menghilangkan nyeri selama operasi. Di jerman tahun 1909, Ludwig Burkhardt, melakukan pembiusan dengan menggunakan kloroform dan ether melalui intravena, tujuh tahun kemudian, Elisabeth Brendenfeld dari Swiss melaporkan penggunaan morfin dan skopolamin secara intravena. Sejak diperkenalkan di klinis pada tahun 1934, Thiopental menjadi Gold Standard dari obat obat anestesi lainnya, berbagai jenis obat-obat hipnotik

tersedia dalam bentuk intavena, namun obat anestesi intravena yang ideal belum bisa ditemukan. Penemuan obat obat ini masih terus berlangsung sampai sekarang. A. Teknik Anestesi Teknik anestesia merupakan suatu teknik pembiusan dengan memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-obat tersebut digunakan untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik. induksi anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga digunakan sebagai pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada tindakan analgesia regional. B. Jenis Obat Anesthesi Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat obat anestesi dan yang digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti, Tiopenton, Diazepam , Degidrobenzperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol. Berikut ini akan dijelaskan lebih jauh mengenai obat obat anestesi intravena tersebut. 1. Propofol ( 2,6 diisopropylphenol ) Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat tergantung pada pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg). Mekanisme kerja Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA A (Gamma Amino Butired Acid).

Dosis dan penggunaan a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV. b) Sedasi : 25 to 75 g/kg/min dengan I.V infuse c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 150 g/kg/min IV ( titrate to effect). d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain. e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yangminimal 0.2% f) Profofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri. Efek Samping Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidocain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan pankreatitis. 2.Tiopenton Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih dikenal dengan nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal yang merupakan obat anestesi umum barbiturat short acting, tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai puncak konsentrasi dan setelah 5 10 menit konsentrasi mulai menurun di otak dan kesadaran kembali seperti semula. Dosis yang banyak atau dengan menggunakan infus akan menghasilkan efek sedasi dan hilangnya kesadaran.

Beberapa jenis barbiturat seperti thiopental [5-ethyl-5-(1-methylbutyl)-2thiobarbituric pentynyl)barbituric thiobarbiturates, acid], acid], methohexital dan thiamylal [1-methyl-5-allyl-5-(1-methyl-2[5-allyl-5-(1-methylbutyl)-2adalah oxybarbiturate.

thiobarbituric acid]. Thiopental (Pentothal) dan thiamylal (Surital) merupakan sedangan methohexital (Brevital) Walaupun terdapat beberapa barbiturat dengan masa kerja ultra singkat , tiopental merupakan obat terlazim yang dipergunakan untuk induksi anasthesi dan banyak dipergunakan untuk induksi anestesi.

Mekanisme kerja Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat akan menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada sistem saraf pusat, barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan polisinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa fungsi vital termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih berpengaruh pada sinap saraf dari pada akson. Barbiturat menekan transmisi neurotransmitter inhibitor seperti asam gamma aminobutirik (GABA). Mekanisme spesifik diantaranya dengan pelepasan transmitter (presinap) dan interaksi selektif dengan reseptor (postsinap). Dosis Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk menghindarkan efek negatif dari tiopental tadi sering diberikan dosis kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi pasien. Efek samping Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan memberikan obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap barbiturat, sebab hal ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis yang jarang terjadi, barbiturat juga kontraindikasi pada pasien dengan porfiria akut, karena barbiturat akan menginduksi enzim d-aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya serangan akut. Iritasi vena dan kerusakan jaringan akan

menyebakan nyeri pada saat pemberian melalui I.V, hal ini dapat diatasi dengan pemberian heparin dan dilakukan blok regional simpatis. 3.Ketamin Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962, dimana awalnya obat ini disintesis untuk menggantikan obat anestetik yang lama (phencyclidine) yang lebih sering menyebabkan halusinasi dan kejang. Obat ini pertama kali diberikan pada tentara amerika selama perang Vietnam. Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan rapid acting non barbiturate general anesthesia. Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965 yang digunakan sebagai anestesi umum. Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah muntah , pandangan kabur dan mimpi buruk. Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering disebut dengan emergence phenomena. Mekanisme kerja Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik. Dosis dan pemberian Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular apabila akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak anak. Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara I.V atau I.M. dosis induksi adalah 1 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan.

Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu. Emberian secara intermitten diulang setiap 10 15 menitdengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai. Efek samping Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah , halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga dapat meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata dapat menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.

Kontra indikasi Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang telah disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien yang menderita penyakit sistemik penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat obat simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dll. 4.Opioid Opioid telah digunakkan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun. Obat opium didapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum somniferum, dan kata opium berasal dari bahasa yunani yang berarti getah. Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids. Morphine, meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil merupakan golongan opioid yang sering digunakan dalam general anestesi. efek utamanya adalah analgetik. Dalam dosis yang besar opioid kadang digunakan dalam operasi kardiak. Opioid berbeda dalam potensi, farmakokinetik dan efek samping. Mekanisme kerja

Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf pusat dan jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor opioid yaitu , ,,,. Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari spesifik opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan dan apakah reseptornya aktif. Aktivasi reseptor opiat menghambat Dosis Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena 0,5 mg/Kgbb, sedangakan morfin sepersepuluh dari petidin dan fentanil seperseratus dari petidin. pelepasan presinaptik dan respon postsinaptik terhadap neurotransmitter ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron nosiseptif.

5.Benzodiazepin Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol. Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak menyebakan nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5. Dosis Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri. Untuk preoperatif digunakan 0,5 2,5mg/kgbb Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 5 mg Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena. Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.

2 . Induksi Inhalasi

Nitrous oksida (N2O), kloroform, dan eter adalah agen pembiusan umum pertama yang diterima secara universal. Etil klorida, etilen, dan siklopropan kemudian menyusul, dengan zat yang terakhir cukup digemari pada saat itu karena induksinya yang singkat dan pemulihannya yang cepat tanpa disertai delirium. Sayang sekali sebagian besar agen-agen anestetik yang telah disebutkan tadi telah ditarik dari pasaran. Sebagai contoh, eter sudah tidak digunakan secara luas karena mudah tersulut api dan berisiko mengakibatkan kerusakan hepar. Di samping itu, eter juga mempunyai beberapa kerugian yang tidak disenangi para anestetis seperti berbau menyengat dan menimbulkan sekresi bronkus berlebih. Kloroform juga kini dihindari karena toksik terhadap jantung dan hepar. Etil klorida, etilen, dan siklopropan pun tidak lagi digunakan sebagai anestetik, baik karena toksik ataupun mudah terbakar. Metoksifluran dan enfluran termasuk agen anestetik generasi baru yang sempat digunakan bertahun-tahun tetapi jarang digunakan lagi karena toksisitas dan efikasinya. Metoksifluran adalah anestetik inhalasi yang paling poten, tetapi induksi dan pemulihannya relatif lambat. Lebih lanjut, sebagian metoksifluran dimetabolisme oleh sitokrom P-450 menghasilkan florida bebas (F), asam oksalat, dan bebrapa komponen lain yang bersifat nefrotoksik. Sementara itu, enfluran mengurangi kontraksi myokardial dan meningkatkan sekresi likuor serebrospinal (CSF). Selama anestesia, enfluran menginduksi perubahan elektroensefalograf yang dapat berprogresi pada pola spike-and-wave yang biasa ditemukan pada kejang tonik-klonik. Oleh karena itulah, dewasa ini baik metoksifluran maupun enfluran penggunaannya telah dibatasi. Dengan ditariknya berbagai zat anestetik dari peredaran seperti yang dikemukakan di atas, kini terdapat lima agen inhalasi yang masih digunakan dalam praktik anestesi yakni nitrous oksida, halotan, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Anestetik inhalasi paling banyak dipakai untuk induksi pada pediatri yang mana sulit dimulai dengan jalur intravena. Di sisi lain, bagi pasien dewasa biasanya dokter anestesi lebih menyukai induksi cepat dengan agen intravena. Meskipun demikian, sevofluran masih menjadi obat induksi pilihan untuk pasien

dewasa, mengingat baunya tidak menyengat dan onsetnya segera. Selain induksi, agen inhalasi juga sering digunakan dalam praktik anestesiologi untuk rumatan. Studi mengenai kaitan antara dosis obat, konsentrasi jaringan, dan waktu kerja obat disebut sebagai farmakokinetik (bagaimana tubuh memengaruhi obat); sedangkan studi mengenai mekanisme aksi obat, termasuk respons toksik, disebut farmakodinamik (bagaimana obat memengaruhi tubuh). Setelah penjelasan secara umum tentang farmakokinetik dan dinamik anestetik inhalasi, akan dibahas farmakologi klinis dari masing-masing agen. Farmakologi Klinik Anestesi Inhalasi 1. Nitrous Oksida (N2O) Merupakan gas yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa, lebih berat dari udara, serta tidak mudah terbakar dan meledak (kecuali jika dikombinasikan dengan zat anestetik yang mudah terbakar seperti eter). Gas ini dapat disimpan dalam bentuk cair dalam tekanan tertentu, serta relatif lebih murah dibanding agen anestetik inhalasi lain. 2.Halotan Merupakan alkana terhalogenisasi dengan ikatan karbon-florida sehingga bersifat tidak mudah terbakar atau meledak (meski dicampur oksigen). Halotan berbentuk cairan tidak berwarna dan berbau enak. Botol berwarna amber dan pengawet timol berguna untuk menghambat dekomposisi oksidatif spontan. Halotan merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, di mana induksi dan tahapan anestesia dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun setelah anestetik dihentikan. Gas ini merupakan agen anestestik inhalasi paling murah, dan karena keamanannya hingga kini tetap digunakan di dunia. 3.Isofluran Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar. Memiliki struktur kimia yang mirip dengan enfluran, isofluran berbeda secara farmakologis dengan enfluran. Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi

dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat intravena untuk mempercepat induksi. Tanda untuk mengamati kedalaman anestesia adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta peningkatan frekuensi denyut jantung. 4.Desfluran Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat absorben dan tidak korosif untuk logam. Karena sukar menguap, dibutuhkan vaporiser khusus untuk desfluran. Dengan struktur yang mirip isofluran, hanya saja atom klorin pada isofluran diganti oleh fluorin pada desfluran, sehingga kelarutan desfluran lebih rendah (mendekati N2O) dengan potensi yang juga lebih rendah sehingga memberikan induksi dan pemulihan yang lebih cepat dibandingkan isofluran (5-10 menit setelah obat dihentikan, pasien sudah respons terhadap rangsang verbal). Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah singkat atau bedah rawat jalan. Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan batuk, spasme laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi. Desfluran bersifat kali lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi 17 kali lebih poten dibanding N2O. 5.Sevofluran Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin. Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa. Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat dicapai dalam 1-3 menit. Kontraindikasi dan Interaksi Obat Sevofluran dikontraindikasikan pada hipovolemik berat, hipertermia maligna, dan hipertensi intrakranial. Sevofluran juga sama seperti agen anestetik inhalasi lainnya, dapat meningkatkan kerja pelumpuh otot.

Obat Pelumpuh Otot A. Pengertian Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi dan pembedahan untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan memfasilitas intubasi. Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif, takikurare). 1. Pelumpuh Otot Depolarisasi Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin ( diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin karena dimetabolisme menghambat oleh kerja kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan pseudokolinesterase.

a.

Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)

Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang memanjang. Interaksi obat

Kolinesterase inhibitor Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block pelumpuh otot depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu dengan menghambat kolinesterase, maka jumlah asetilkolin akan semakin banyak, maka depolarisasi akan meningkatkan depolarisasi. Selain itu, ia juga akan menghambat pseudokolinesterase. Dosis Karena onsetnya yang cepat dan duration of action yang pendek, banyak dokter yang percaya bahwa suksinilkolin masih merupakan pilihan yang baik untu intubasi rutin pada dewasa. Dosis yang dapat diberikan adalah 1 mg/kg IV. Efek samping dan pertimbangan klinis Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac arrest pada anak dengan miopati tak terdiagnosis, suksinilkolin masih dikontraindikasikan pada penanganan rutin anak dan remaja. Efek samping dari suksinilkolin adalah : 2. a. Nyeri otot pasca pemberian Peningkatan tekanan intraokular Peningkatan tekakana intrakranial Peningkatan tekakanan intragastrik Peningkatan kadar kalium plasma Aritmia jantung Salivasi Alergi dan anafilaksis Obat pelumpuh otot nondepolarisasi Pavulon Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai kerja pada menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek akumulasi

pada pemberian berulang sehingga dosis rumatan harus dikurangi dan selamg waktu diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08 mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15 mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon. b. Atracurium Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulan Dosis 0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative 0,25 mg/kg initial, laly 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse 5-10 mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus. Lebih cepat durasinya pada anak dibandingkan dewasa. Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-8OC, potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada suhu ruangan. Digunakan dalam 14 hari bila terpapar suhu ruangan.

Struktur fisik

Efek samping dan pertimbangan klinis Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg c. Vekuronium Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan lebih besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik ini tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. Dosis

Struktur fisik

Dosis intubasi 0,08 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg setiap 15 20 menit. Drip 1 2 mcg/kg/menit. Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada pasien post partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow. Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya. d. Rekuronium Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat. Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek kerja yang lebih lama. Dosis Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45 0,9 mg / kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah intubasi. Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita suara dan paralisis diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3 6 menit dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip 5 12 mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien orang tua.

Struktur Fisik

Efek samping dan manifestasi klinis Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal. Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental. Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk prekurasisasi sebelum suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik. Pemilihan Pelumpuh Otot Karakteristik pelumpuh otot ideal : 1. Nondepolarisasi 2. Onset cepat

3. Duration of action dapat diprediksi, tidak mengakumulasi dan dapat diantagoniskan dengan obat tertentu 4. Tidak menginduksi pengeluaran histamin 5. Potensi 6. Sifat tidak berubah oleh gangguan ginjal maupun hati dan metabolit tidak memiliki aksi farmakologi. Durasi pembedahan mempengaruhi pemilihan pelumpuh otot : 1. Ultra-short acting, contoh : suxamethonium 2. Short duration. Contoh: mivacurium 3. Intermediate cisatracurium 4. Long duration. Contoh: pancuronium, D-tubocurarine, doxacurium, pipecuronium. Pelumpuh otot yang disarankan : 1. Untuk induksi yang cepat-suxamethonium, atau apabila dikontraindikasikan dapat dipakai rocuronium 2. Untuk 3. Pada stabilitas gagal ginjal hemodinamika dan (contoh pada hipovolemia atau penyakit jantung parah)-vecuronium hati-atracurium, vekuronium, cisatracurium ataumivacurium 4. Miastenia gravis: jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium 5. Kasus obstetric: semua dapat diberkan kecuali gallamin Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot : 1. Cegukan (hiccup) 2. Dinding perut kaku 3. Ada tahanan pada inflasi paru. Penawar Pelumpuh Otot duration. Contoh: atracurium, vecuronium, rocuronium,

Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa)

DAFTAR RUJUKAN 1. Lafief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.Edisi kedua. FKUI. 2002 2. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks.2010 3. Anestesia umum http//.www.scrib.com diakses 27 januari 2013 4. Clinical of Anesthesiology, 4th Edition. Morgan GE. 2006.

You might also like