You are on page 1of 13

REFERAT Status Asmatikus Pediatri

Fahmi anshori H1A006013

Pembimbing Dr.Hj. Elya Endriyani Sp.An

Dalam rangka mengikuti kepaniteraan klinik madya Fakultas kedokteran/SMF anestesi RSUP NTB Mataram 2013

Definisi status asmatikus adalah kondisi mengancam jiwa dari asma yang dimana secara progesif perburukan jalan nafas yang reaktif yang tidak berespon terhadap terapi standar yang mengawali dari insufisiensi pulmonal. serangan asma akut adalah episode perburukan progresif gejala batuk, sesak nafas, mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi gejala tersebut, serangan asma biasanya mencermikan kegagalan tatalaksana asma jangka panjang atau adanya pajanan terhadap pencetus. Serangan asma akut merupakan kegawatdaruratan medis yang lazim dijumpai di ruang gawat darurat.perlu ditekankan bahwa serangan asma berat dapat dicegah atau setidaknya dikurangi, dengan melakukan identifikasi dini dan terapi intensif Pervalensi dan Faktor Resiko Di 1994 pervalensi status asmatikus adalah 7,4% di anak berumur 5-14 tahun dengan asma. Rerata kematian tercatat 3,7 per 1 juta anak berumur 5-14 tahun. Faktor resiko dari kematian anak dengan status asmatikus antara lain : Intubasi karena asma Serangan asma yang mengancam jiwa Pneumothorak atau pneumomediastinum Riwayat masuk ke ICU karena asma Penggunaan kronis dari kortikosteroid Lebih dari dua kali masuk rumah sakit dalam satu tahun atau lebih dari tiga kali kunjungan ke IGD karena asma dalam satu tahun terakhir.

Riwayat kegagalan terapi Riwayat dari gangguan keluarga Kemiskinan Berkurangnya persepsi tentang sesak nafas

Patofisiologi Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi jalan napas secara luas yang ditimbulkan oleh kombinasi spasme otot polos bronkus, edema mukosa akibat inflamasi saluran nafas, dan sumbatan mukos, sumbatan yang terjadi tidak seragam/merata di saluran paru. Atelekstasi segmental atau subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan nafas menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara dan distensi paru berlebihan (hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan nafas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak padu-padan (ventilation-perfusion mismatch) Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan complience paru sehingga terjadi peningkatan kerja nafas. Tekanan intrapulmonal meningkat supaya ekspirasi melalui saluran nafas yang menyempit dapat terjadi. Peningkatan tekanan intrapulmonal ini akan semakin mempersempit dan menyebabkan penutupan dini saluran nafas, sehingga meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan intratorakal dapat mempengaruhi aliran balik vena dan mengurangi curah jantung, serta bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus.

ventilasi perfusi yang tidak padu-padan, hiperventilasi alveolar, dan peningkatan kerja nafas menimbulkan perubahan pada gas darah. Pada awal serangan, untuk mengkompensasi hipoksia, terjadi hiperventilasi hingga kadanr PaCO2 turun dan timbul alkalosis respiratorik. Selanjutnya , pada obstruksi jalan napas yang berat, akan terjadi kelelahan otot napas dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapneu dan asidosis repiratorik. Oleh

karena itu, jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik (walaupun nilai masih rentang normal), dokter harus mewaspadai adanya tanda kelelahan dan ancaman gagal napas. Selain itu, dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot napas Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal, tetapi komplikasi korpulmonal jarang terjadi. Hipoksia dan vasokonstriksi dapat merusak sel alveolus sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak ada sama sekali dan berakibat meningkatkan resiko terjadinya atelektasis. Penilaian derajat serangan asma Klasifikasi derajat beratnya penyakit asma dibuat berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari. Selain itu, asma dapat dinilai berdasarkan derajat serangan, yaitu terbagi derajat serangan ringan, sedang dan berat. Disini perlu dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dan derajat serangan asma (aspek akut). Seorang pasien asma persisten (asma berat) dapat hanya mengalami serangan ringan. Sebaliknya, seorang pasien asma persisten (asma berat) dapat hanya mengalami serangan ringan. Sebaliknya, seorang pasien yang tergolong asma episodik jarang bisa saja mengalami serangan asma berat, bahkan ancaman henti nafas yang dapat meninmbulkan kematian.

Parameter klinis,fungsi paru, laboratorium

Ringan

Sedang berat Tanpa ancaman henti nafas Ancaman henti nafas

Sesak

Berjalan Bayi : menangis keras Bisa berbaring Kalimat Mungkin irritable Tidak ada Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi Biasanya tidak Dangkal, retraksi intrakostal Takipnea Normal

Posisi Bicara Kesadaran Sianosis Mengi

Berbicara Bayi : tangis pendek dan lemah, kesulitan menyusui Lebih suka duduk

Istirahat Bayi : tidak mau minum/makan

Duduk tertopang lengan Penggal kalimat Kata-kata Biasanya irritable Biasanya irritable Tidak ada Ada Nyaring, Sangat nyaring, sepanjang terdengar tanpa ekspirasiinspirasi stetoskop Biasanya ya Ya

Kebingungan Nyata Sulit/tidak terdengar Gerakan paradoks torakoabdominal Dangkal/hilang Bradipnea Bradikardi

Penggunaan otot bantu nafas Retraksi Frekuensi napas Frekuensi nadi PEFR atau FEV1 (%nilai prediksi/ %nilai terbaik) Pra bronkodilator Post bronkodilator SaO2 PaO2

Sedang, ditambah retraksi suprasternal Takipneu Takikardi

Dalam, ditambah napas cuping hidung Takipneu Takikardi

PaCO2

>60% >80% >95% Normal (biasanya tidak perlu diperiksa) <45 mmHg

40-60% 60-80% 91-95% >60 mmHg

Respon <2jam <40% <60% 90% <60 mmHg

<45 mmHg

>45 mmHg

Ket : Nilai baku laju napas pada anak sadar : Usia frekuensi napas normal <2 bulan <60/menit 2-11 bulan <50/menit 1-5 tahun <40/menit 6-8 tahun <30/menit Nilai baku frekuensi nadi pada anak Usia nadi normal 2-12 bulan <126/menit 1-2 tahun <120/menit 3-8 tahun <110/menit Tahapan Tatalaksana Serangan Asma Tatalaksana Di Klinik Atau Unit Gawat Darurat Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan ke unit gawat darurat (UGD) langsung dinilai derajat serangannya menurut kalsifikasi di atas sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Pada pedoman GINA, ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau peak flow meter) merupakan bagian integral dalam penilaian tatalaksana serangan asma, bukan hanya evaluasi klinis. Namun, di indonesia penggunaan alat tersebut belum memasyarakat Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam keadaan serangan berat, langsung diberikan nebulisasi -agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Pasien dengan serangan berat disertai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan mengalami takifilaksis atau refrakter, yaitu respon yang kurang baik terhadap nebulisasi -agonis. Pasien seperti ini cukup dinebulisasi satu kali, kemudian secepatnya dirawat agar dapat diberikan obat intravena serta diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya Serangan asma ringan Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik (complete response). Berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika response tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat -agonis (hirupan atau oral) yang

diberikan setiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 jam untuk re-evaluasi tatalaksana. Selain itu, jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga re-evaluasi dilakukan di klinik rawat jalan. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, diperlakukan sebagai serangan asma sedang Serangan asma sedang Jika dengan pemberian nebulisasi dua kali pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang. Untuk itu, derajat serangan harus dinilai ulang sesuai pedoman. Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, inhalasi langsung dengan -agonis dan ipratropium bromida (antikolinergik), pasien perlu diobservasi dan ditangani di ruang rawat sehari. Pada serangan asma sedang, diberikan kortikosteroid sistemik (oral) metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari. Walaupun belum tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan darurat, pasien yang akan diobservasi di ruang rawat sehari langsung dipasangi jalur parenteral sejak di UGD Serangan asma berat Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respon (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman), pasien harus dirawat diruang rawat inap. Bila pasien diduga serangan berat, maka langsung dinebulisasi dengan 2-agonis dan antikolinergik. Oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal nebulisasi. Kemudian dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks Sedangkan pada pasien dengan tanda dan gejala ancaman henti napas, pasien harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pada pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, foto toraks harus langsung dibuat untuk mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.

Tatalaksana di ruang rawat sehari Pemberian oksigen sejak dari UGD dilanjutkan. Setelah di UGD menjalani nebulisasi 2 kali dalam 1 jam dengan respon parsial, di ruang rawat sehari diteruskan pemberian nebulisasi 2agonis dan antikolinergik bila perlu setiap 2 jam. Kemudian, diberikan kortikosteroid sistemik oral (metilprednisolon, prednison, triamsinolon). Pemberian kortikosteroid dilanjutkan sampai 3-5 hari. Jika dalam 8-12 jam keadaan klinis baik, pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari klinik/IGD. Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, pasien dialih rawat ke ruang rawat inap dengan tatalaksana serangan asma berat Tatalaksana di ruang rawat inap Pemberian oksigen diteruskan Jika ada dehidrasi dan asidosis, atasi dehidrasi dengan pemberian cairan intravena dan lakukan koreksi asidosis Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari Nebulisasi 2-agonis+antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam; jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar setiap 4-6 jam Aminofilin diberikan secara intravena dengan ketentuan sebagai berikut o Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan aminofilini dosis awal (initial dose) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit o Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam), dosis diberikan adalah setengah dosis inisial

o Empat jam kemudian diberikan aminofilin dosis rumatan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/hari Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam, sampai dengan 24 jam. Steroid dan aminofilin diganti dengan pemberian peroral Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat 2-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk re-evaluasi tatalaksana

Nilai derajat serangan

Tatalaksana awal Nebulisasi 2-agonis 1-2x selang 20 menit Nebulisasi kedua+antikolinergik Jika serangan sedang/berat, nebulisasi langsung dengan 2agonis+antikolinergik Serangan ringan Observasi 1-2 jam Jika efek bertahan, boleh pulang Jika gejala timbul lagi, diperlakukan sebagai serangan sedang Serangan sedang Berikan oksigen Nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dengan serangan sedang, observasi di ruang rawat sehari Berikan steroid oral Serangan berat Sejak awal berikan 02 saat/diluar nebulisasi Pasang jalur parenteral Nilai ulang keadaan klinis, jika sesuai dengan serangan berat, rawat di ruang rawat inap

Boleh pulang Bekali dengan obat agonis (hirupan/oral) Jika sudah ada obat pengendali teruskan Jika pencetusnya virus, dapat diberikan steroid oral Dalam 24-48 jam kontrol ke klinik rawat jalan untuk re-evaluasi Catatan

Ruang rawat sehari Teruskan pemberian oksigen Lanjutkan steroid oral Nebulisasi setiap 2 jam Bila dalam 12 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang, tetapi jika klinis tetap belum membaik atau memburuk, alih rawat ke ruang rawat inap

Jika menurut penilaian serangannya sedang/berat, nebulisasi pertama kali langsung dengan agonis+antikolinergik Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke ruang rawat intensif Jika alat nebulisasi tidak tersedia, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01 ml/kgBB/kali, maksimal 0,3 ml/kali Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen

Ruang rawat inap Teruskan oksigen Atasi dehidrasi dan asidosis jika ada Steroid IV tiap 6-8 jam Nebulisasi tiap 1-2 jam Aminofilin IV awal, lanjutkan rumatan Jika membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval jadi 46 jam Jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang Jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul ancaman henti napas,

Kriteria rawat di ruang intensif Pasien yang sejak awal masuk ke UGD sudah menunjukkan tanda ancaman henti napas, langsung dirawat di ruang rawat intensif (ICU). Kriteria pasien yang memerlukan perawatan di ICU adalah sebagai berikut : 1. Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di UGD dan/atau perburukan serangan asma yang cepat 2. Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas, atau hilangnya kesadaran 3. Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di ruang rawat inap 4. Ancaman henti napas; hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen (kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg, walaupun tentu saja gagal napas dapat terjadi pada kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah). Pasien dengan serangan berat yang terindikasi menggunakan ventilasi mekanis adalah sebagai berikut : Pulsus paradoksus yang cepat dan meningkat Penurunan pulsus paradoksus pada pasien yang kelelahan (exhausted) Perburukan status mental (letargi/agitasi) Aritmia jantung atau henti jantung Henti napas Tidak bisa bicara Asidosis laktat yang tidak bisa membaik Diaforesis pada posisi berbaring Silent chest walaupun sudah terjadi usaha napas hebat

Obat-obatan bronkodilator yang sering digunakan antara lain beta adrenergik kerja pendek (SABA), epinefrine/adrenaline. -agonis selektif, teofilin kerja cepat. Obat-obatan antikolinergik yang sering dipakai antara lain iprotropium bromida yang sering dikombinasi dalam tatalaksana serangan berat dengan 2-agonis, kortikosteroid dan magnesium sulfat juga digunakan untuk asma serangan berat. Terapi suportif yang sering digunakan adalah oksigen atau campuran helium dan oksigen (80% helium dan 20% oksigen)

DAFTAR PUSTAKA

1. Nastini Dkk. (2010). Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama. Badan Penerbit IDAI. Jakarta. 2. Global Initiative For Asthma.(2002). Global Strategy For Asthma Management And Prevention. National Institute Of Health. 3. Raharjoe Dkk. (2004). Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi PP IDAI. Jakarta 4. Darmawan;pribadi aziz. Serangan asma berat pada asma episodik sering. Sari Pediatri, Vol. 5, No. 4, Maret 2004: 171 177 5. Supriyanto, bambang. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol: 55, No : 3, Maret 2005.

You might also like