You are on page 1of 19

BAB III GAGAL JANTUNG KONGESTIF

3.1 Definisi Gagal Jantung Kongestif Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) ditandai dengan sesak nafas dan fatique (saat istirahat atau aktifitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.5 Ada juga sumber yang mengatakan bahwa gagal jantung adalah penyakit di mana aksi pemompaan jantung menjadi kurang kuat, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Artinya, jantung tidak memompa darah sebagaimana mestinya. Ketika ini terjadi, darah tidak bergerak efisien melalui sistem peredaran darah dan mulai membuat cadangan, meningkatkan tekanan di dalam pembuluh darah dan memaksa cairan dari pembuluh darah ke jaringan tubuh.6 3.2 Epidemiologi Gagal Jantung Kongestif Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, yaitu penyakit katup regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan. 7 Gagal jantung kongestif lebih banyak terjadi pada usia lanjut.8 Salah satu penelitian menunjukkan bahwa gagal jantung terjadi pada 1% dari penduduk usia 50 tahun, sekitar 5% dari mereka berusia 75 tahun atau lebih, dan 25% dari mereka yang berusia 85 tahun atau lebih. Karena jumlah orang tua terus meningkat, jumlah orang yang didiagnosis dengan kondisi ini akan terus meningkat. Di Amerika Serikat, hampir 5 juta orang telah didiagnosis gagal jantung dan ada sekitar 550.000 kasus baru setiap tahunnya. Kondisi ini lebih umum di antara Amerika Afrika dari kulit putih. 6 Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara usia dan gagal jantung kongestif. Selain usia, insidensi gagal jantung kongestif juga dipengaruhi oleh faktor lain. Salah satunya, insidensi gagal jantung kongestif digolongkan berdasarkan jenis kelamin. Dari survei registrasi rumah sakit didapatkan angka perawatan di rumah sakit, dengan angka kejadian 4.7% pada perempuan dan 5.1% pada laki-laki.5 Kualitas dan kelangsungan hidup penderita gagal jantung kongestif sangat dipengaruhi oleh diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Oleh karena itu, prognosis pada penderita gagal jantung kongestif bervariasi pada tiap penderita. Berdasarkan salah satu penelitian, angka kematian akibat gagal jantung adalah sekitar 10% setelah 1 tahun. Sekitar setengah dari mereka dengan gagal jantung kongestif mati dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis mereka.6 Sumber lain mengatakan bahwa seperdua dari pasien gagal jantung kongestif meninggal dalam waktu 4 tahun setelah

14

didiagnosis, dan terdapat lebih dari 50% penderita gagal jantung kongestif berat meninggal dalam tahun pertama.5 3.3 Gagal Jantung Kongestif dan Penyakit Jantung Rematik Penyakit jantung rematik adalah gejala sisa dari demam rematik dan merupakan jenis penyakit jantung didapat yang paling banyak dijumpai pada populasi anak-anak dan dewasa muda. Puncak insiden demam rematik terdapat pada kelompok usia 5-15 tahun; penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. 9 Prevalensi demam rematik/penyakit jantung rematik yang diperoleh dan penelitian WHO mulai tahun 1984 di 16 negara sedang berkembang di Afrika, Amerika Latin, Timur Jauh, Asia Tenggara dan Pasifik Barat berkisar 0,1 sampai 12,6 per 1.000 anak sekolah, dengan prevalensi rata-rata sebesar 2,2 per 1.000. Prevalensi pada anak-anak sekolah di beberapa negara Asia pada tahun 1980-an berkisar 1 sampai 10 per 1.000. Dari suatu penelitian yang dilakukan di India Selatan diperoleh prevalensi sebesar 4,9 per 1.000 anak sekolah, sementara angka yang didapatkan di Thailand sebesar 1,2 sampai 2,1 per 1.000 anak seko1ah. Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa revalensi penyakit jantung rematik berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. 9 Kurang lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Dengan penyakit jantung reumatik yang kronik, pada pasien bisa terjadi stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit jantung reumatik masih menjadi penyebab stenosis katup mitral dan penggantian katup pada orang dewasa di Amerika Serikat.1 Menurut Hudak dan Gallo (1997), adanya malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif.2 3.4 Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif Sindrom gagal jantung kongestif timbul sebagai konsekuensi dari adanya abnormalitas struktur, fungsi, irama, ataupun konduksi jantung. Di negara-negara maju, disfungsi ventrikel merupakan penyebab mayor dari kasus ini. Penyakit katup degeneratif, kardiomiopati idiopatik, dan kardiomiopati alkoholik juga merupakan penyebab terjadinya gagal jantung kongestif. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, gagal jantung lebih sering terjadi pada usia tua yang memiliki kondisi komorbid, misalnya angina, hipertensi, diabetes, dan penyakit paru kronis.10 Faktor-faktor komorbid tersebut menyebabkan mekanisme kompensasi sehingga terjadi gagal jantung. Mekanisme kompensasi yang dapat terjadi antara lain adalah mekanisme kompensasi pada jantung, syaraf otonom, dan hormon. Pada 15

jantung, dapat terjadi mekanisme Frank Starling, hipertrofi dan dilatasi ventrikel, dan takikardi. Pada syaraf otonom, terjadi peningkatan aktifitas syaraf simpatis. Sedangkan pada mekanisme kompensasi yang terjadi pada hormon adalah berupa sistem renin-angiotensi-aldosteron, vasopressin, dan natriuretik peptida.11 3.4.1 Mekanisme Kompensasi pada Jantung Secara keseluruhan, perubahan yang terjadi pada fungsi jantung yang berhubungan dengan gagal jantung dapat menurunkan daya kontraktilitas.11 Ketika terjadi penurunan daya kontraktilitas, jantung berkompensasi dengan adanya kontraksi paksaan yang kemudian dapat meningkatkan cardiac output. Pada gagal jantung kongestif, kompensasi ini gagal terjadi sehingga kontraksi jantung menjadi kurang efisien. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan stroke volume yang kemudian menyebabkan peningkatan denyut jantung untuk dapat mempertahankan cardiac output. Peningkatan denyut jantung ini lama-kelamaan berkompensasi dengan terjadinya hipertrofi miokardium, yang disebabkan peningkatan diferensiasi serat otot jantung untuk mempertahankan kontaktilitas jantung. Jika dengan hipertrofi miokardium, jantung masih belum dapat mencapai stroke volume yang cukup bagi tubuh, terjadi suatu kompensasi terminal berupa peningkatan volume ventrikel.12 Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, penurunan cardiac output dapat menyebabkan penurunan stroke volume yang menunjukkan adanya disfungsi sistolik, disfungsi diastolic, atau kombinasi dari keduanya. Disfungsi sistolik disebabkan oleh hilangnya kontraktilitas intrinsik, atau adanya suatu infark miokard akut yang menyebabkan hilangnya viabilitas otot jantung untuk berkontraksi. 11 Hal ini tergantung pada dua faktor, yaitu elastisitas dan distensibilitas ventrikel kiri, yang merupakan fenomena pasif dan suatu proses relaksasi miokardium yang terjadi pada saat awal diastolik. Hilangnya distensibilitas atau relaksasi ventrikel kiri karena adanya perubahan struktur (contohnya hipertrofi ventrikel kiri) atau perubahan fungsi (contohnya iskemia) dapat mengganggu pengisian ventrikel (preload).13 Preload seringkali menunjukkan adanya suatu tekanan diastolic akhir atau volume pada ventrikel kiri dan secara klinis dinilai dengan mengukur tekanan atrium kanan. Walaupun demikian, preload tidak hanya tergantung pada volume intravascular, tetapi juga dipengaruhi oleh keterbatasan pengisian ventrikel. Pompa otot jantung akan memberikan respon pada volume output. Jika volume meningkat, maka jumlah darah yang mampu dipompa oleh otot jantung secara fisiologis juga akan meningkat, hubungan ini sesuai dengan hukum Frank-Starling.13 Variabilitas kedua pada stroke volume adalah kontraktilitas otot jantung yang menunjukkan pompa otot jantung dan biasanya dapat dilihat sebagai ejeksi fraksi. Sesuai dengan input otonom, jantung akan merespon preload yang sama dengan stroke volume yang berbeda. Jantung dengan fungsi sistolik normal akan mempertahankan ejeksi fraksi sekitar 50-55%. Infark miokard dapat menyebabkan adanya miokardium yang nonfungsional yang akan merusak kontraktilitas. Tolak ukur akhir pada stroke volume adalah afterload. Afterload adalah volume darah yang dipompa oleh otot jantung, yang biasanya dapat dilihat dari tekanan arteri rata-rata. Afterload tidak hanya menunjukkan resistensi vascular tetapi juga menunjukkan tekanan dinding thoraks dan intrathoraks yang harus dilawan oleh miokardium. 16

Ketiga variabel ini terganggu pada pasien gagal jantung kongestif. Gagalnya jantung pada gagal jantung kongestif dapat dievaluasi dengan menilai ketiga variabel tersebut. Jika cardiac output turun, maka denyut jantung dan stroke volume akan berubah untuk mempertahankan perfusi jaringan. Jika stroke volume tidak dapat dipertahankan, denyut jantung ditingkatkan untuk mempertahankan cardiac output.13 Seperti disfungsi sistolik, disfungsi diastolik juga menghasilkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel, yang merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk mempertahankan stroke volume. Disfungsi diastolic menunjukkan berkurangnya kemampuan ventrikel untuk mengisi ruangnya pada saat diastolik.11 Selain itu, adanya intoleransi aktifitas menunjukkan adanya disfungsi diastolik yang disebabkan oleh adanya gangguan pada pengisian ventrikel yang meningkatkan tekanan atrium kiri dan vena pulmonal sehingga menyebabkan bendungan pulmonal. Selain itu, cardiac output yang tidak adekuat selama aktifitas dapat menyebabkan berkurangnya perfusi otot skeletal, khususnya pada otot kaki dan otot pernafasan aksesorius.13 Walaupun demikian, patofisiologi pada gagal jantung kongestif bukan hanya meliputi abnormalitas struktural, tetapi juga meliputi respon kardiovaskular pada perfusi jaringan yang buruk dengan aktivasi sistem neurohormonal. Aktivasi sistem rennin-angiotensin ditujukan untuk meningkatkan preload dengan meningkatkan retensi air dan garam, meningkatkan vasokonstriksi, dan mempertahankan kontraktilitas otot jantung. Awalnya, respon ini mampu mempertahankan preload, namun aktivasi yang memanjang mampu menurunkan miosit dan mengubah matriks maladaptive. Miokardium akan mengalami remodeling dan dilatasi. Proses ini akan mengganggu fungsi paru-paru, ginjal, otot, pembuluh darah, dan mungkin juga organ lain. Remodeling ini juga dapat menyebabkan dekompensasi jantung, meliputi regurgitasi mitral karena adanya peregangan annulus katup mitral, dan aritmia jantung karena adanya remodelling otot atrium.13 Sehingga, dapat terjadi mekanisme kompensasi lain yang terjadi pada gagal jantung seperti pada syaraf otonom dan hormon.11 3.4.2 Mekanisme Kompensasi pada Syaraf Otonom dan Hormon Respon neurohormonal meliputi aktivasi syaraf simpatis dan sistem reninangiotensin, dan peningkatan pelepasan hormon antidiuretik (vasopressin) dan peptida natriuretik atrium.11 Sistem syaraf simpatis dan renin-angiotensin adalah respon mayor yang dapat terjadi. Secara bersamaan, kedua sistem ini menyebabkan vasokonstriksi sistemik, takikardi, meningkatkan kontraktilitas miokardium, dan retensi air dan garam untuk mempertahankan tekanan darah sehingga perfusi jaringan menjadi lebih adekuat. Namun jika berlangsung lama, hal ini dapat menurunkan cardiac output dengan meningkatkan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas miokardium dapat meningkatkan konsumsi oksigen. Retensi air dan garam dapat menyebabkan kongesti vena.14 Selain itu, faktor neurohormonal lain yang berperan dalam gagal jantung kongestif adalah sistem renin-angiotensin. Penurunan tekanan perfusi ginjal dideteksi oleh reseptor sensorik pada arteriol ginjal sehingga terjadi pelepasan renin dari ginjal. Hal ini dapat meningkatkan tekanan filtrasi hidraulik glomerulus yang disebabkan oleh penurunan tekanan perfusi pada ginjal. Angiotensin II akan menstimulasi 17

sintesis aldosteron, yang akan menyebabkan retensi air dan garam pada ginjal. Awalnya, kompensasi ini merupakan usaha tubuh untuk mempertahankan perfusi sistemik dan ginjal. Namun, aktivasi yang lama pada sistem ini dapat menyebabkan edema, peningkatan tekanan vena pulmonal, dan peningkatan afterload. Hal ini dapat memperberat kondisi gagal jantung.15 Selama gagal jantung, mekanisme neurohormonal lain yang dapat terjadi adalah aktifitas simpatis yang dapat meningkatkan pelepasan vasopressin dan renin. Untungnya, digitalis dapat menurunkan aktifitas simpatis dengan aktivasi tekanan baroreseptor yang rendah maupun yang tinggi. Aktivasi neuroendokrin dapat meningkatkan pelepasan neurohormonal sistemik, seperti norepinephrin, vasopressin, dan peptida natriuretik atrium. Norepinephrin dapat meningkatkan afterload dengan vasokonstriksi sistemik dan peningkatan kronotropik dan inotropik dengan stimulasi langsung pada miosit kardiak. Stimulasi ini menyebabkan progresifitas kerusakan miosit. Selain itu, peningkatan aktifitas norepinephrin dapat meningkatkan resiko terhadap aritmia ventrikel dan kematian mendadak. Level norepinephrin plasma dalam sirkulasi dapat berkorelasi negatif terhadap prognosis dan gejala gagal jantung kongestif.15 Mediator sistemik lainnya yang dapat dikenali adalah peningkatan konsentrasi endothelin sistemik yang dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer dan kemudian menyebabkan hipertrofi miosit dan terjadilah remodelling. Peptida natriuretik pada atrium dan otak yang dilepaskan dari atrium dapat menyebabkan peningkatan tekanan atrium. Peningkatan ini berkorelasi positif dengan tingginya angka mortalitas dan aritmia ventrikel, walaupun korelasi ini tidak sekuat korelasi yang ditimbulkan oleh peningkatan level norepinephrin plasma.15 Efek respon neurohormonal ini menyebabkan adanya vasokonstriksi (untuk mempertahankan tekanan arteri), kontraksi vena (untuk meningkatkan tekanan vena), dan meningkatkan volume darah. Umumnya, respon neurohormonal ini dapat dilihat dari mekanisme kompensasi, tetapi dapat juga meningkatkan afterload pada ventrikel (yang menurunkan stroke volume) dan meningkatkan preload sehingga menyebabkan edema dan kongesti pulmonal ataupun sistemik. Ada juga teori yang menyatakan bahwa faktor lain yang dapat terjadi pada gagal jantung kongestif ini adalah nitrit oksida dan endotelin (keduanya dapat meningkat pada kondisi gagal jantung) yang juga berperan dalam patogenesis gagal jantung.11 Penurunan cardiac output berhubungan dengan perubahan fungsi pembuluh darah pulmonal dan sistemik, juga fungsi ginjal. Perubahan ini terjadi sebagai hasil dari penurunan perfusi organ dan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal. Aktivasi neurohormonal ini sangat penting dalam mekanisme kompensasi gagal jantung kongestif karena hal ini dapat mempertahankan tekanan arteri.11 3.5 Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif Gagal jantung kongestif dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor. Berdasarkan tipe gangguannya, gagal jantung diklasifikasikan menjadi gagal jantung sistolik dan diastolik. Berdasarkan letak jantung yang mengalami gagal, gagal jantung kongestif diklasifikasikan sebagai gagal jantung kanan dan kiri. Sedangkan

18

berdasarkan gejalanya, gagal jantung dibagi menjadi NYHA I, NYHA II, NYHA III, dan NYHA IV.16 Lebih jauh lagi, jika ditinjau dari gejalanya, gagal jantung kongestif dapat dibagi menjadi gagal jantung kongestif NYHA I sampai dengan NYHA IV. Pasien tanpa gejala digolongkan sebagai NYHA I. Sedangkan NYHA II meliputi pasien dengan gejala pada saat berakfitas berat. Jika dengan beraktifitas ringan pasien sudah menunjukkan gejala, pasien digolongka sebagai NYHA III. NYHA IV merupakan klasifikasi gagal jantung kongestif yang berhubungan dengan gejala yang timbul pada saat istirahat.16 3.6 Kriteria Diagnosis Gagal Jantung Kongestif3 Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Kriteria diagnosis ini meliputi kriteria mayor dan minor. Kriteria mayor Kriteria mayor terdiri dari beberapa tanda klinis, antara lain: 1. Paroksismal nokturnal dispnea 2. Distensi vena leher 3. Ronki paru 4. Kardiomegali 5. Edema paru akut 6. Gallop S3 7. Peningkatan tekanan vena jugularis 8. Refluks hepatojugular Kriteria minor Kriteria minor terdiri dari beberapa gejala, antara lain: 1. Edema ekstremitas 2. Batuk malam hari 3. Dispnea deffort 4. Hepatomegali 5. Efusi pleura 6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal 7. Takikardia (lebih dari 120 kali per menit) Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

3. 7 Penatalaksanaan 3. 7. 1 Penatalaksanaan Nonfarmakologis Jika tidak terdapat faktor penyebab yang dapat diobati, penatalaksanaan medis adalah dengan mengubah gaya hidup dan pengobatan medis. Perubahan gaya hidup ditujukan untuk kesehatan penderita dan untuk mengurangi gejalanya, memperlambat progresifitas gagal jantung kongestif, dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Hal ini berdasarkan rekomendasi American Heart Association dan organisasi jantung lainnya.4 1. Konsumsi alkohol19 19

Alkohol merupakan miokardial depresan pada penderita gagal jantung kongestif. Angka rawat inap pada penderita gagal jantung kongestif berulang lebih sedikit pada penderita yang tidak mengkonsumsi alkohol. Satu unit alkohol mengandung 8 gram atau 10 mililiter etanol. Jumlah alcohol per unitnya dapat dihitung dengan mengalikan volume alcohol yang dikonsumsi dan persentase alcohol. Konsumsi alkohol dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kardiomiopati khususnya pada laki-laki dan usia 40 ke atas. Walaupun jumlah alkohol yang dapat menyebabkan kardiomiopati tidak dapat ditegaskan, namun konsumsi alcohol lebih dari 11 unit per hari lebih dari 5 tahun dapat menjadi faktor resiko terjadinya kardiomiopati. Semua penderita gagal jantung kongestif harus diberikan masukan untuk menghindari konsumsi alkohol. 2. Merokok19 Tidak ada penelitian prospektif yang menunjukkan adanya efek merokok terhadap gagal jantung kongestif. Namun, merokok dapat memperburuk keadaan gagal jantung kongestif pada beberapa kasus. Dengan demikian, penderita dengan gagal jantung kongestif harus menghindari rokok. 3. Aktifitas fisik20 Rekomendasi terhadap aktifitas fisik pada penderita gagal jantung kongestif masih kontroversi. Namun, berjalan selama 6 menit dapat memperbaiki kondisi klinis penderita gagal jantung kongestif. Aktifitas berjalan dapat ditoleransi dengan baik oleh penderita gagal jantung kongestif yang stabil. Pada salah satu penelitian, dibuktikan bahwa penderita gagal jantung kongestif yang melakukan aktifitas fisik memberikan outcome yang lebih baik daripada penderita gagal jantung kongestif yang hanya ditatalaksana seperti biasa. Penderita gagal jantung kongestif yang sudah stabil perlu dilakukan motivasi untuk dapat melakukan aktifitas fisik dengan intensitas yang rendah secara teratur. 4. Pengaturan diet20 a. Membatasi konsumsi garam dan cairan Salah satu penelitian random dengan pemberian diet rendah garam pada penderita gagal jantung kongestif, menunjukkan adanya penurunan yang signifikan terhadap berat badan, namun tidak merubah klasifikasi NYHA. Namun percobaan klinis lainnya menyatakan bahwa pembatasan terhadap garam dan air pada penderita gagal jantung kongestif menunjukkan adanya perbaikan klinis yang signifikan dan tidak adanya edema dan fatique pada penderita gagal jantung kongestif sehingga dapat mengubah klasifikasi NYHA. Pembatasan konsumsi garam pada penderita gagal jantung kongestif memiliki efek baik terhadap tekanan darah. Penderita gagal jantung kongestif harus membatasi garam yang dikonsumsi tidak boleh lebih dari 6 gram per hari. b. Monitor berat badan per hari Belum ada percobaan klinis yang membuktikan adanya keterkaitan antara monitor berat badan per hari dan penatalaksanaan gagal jantung kongestif. Namun, monitor terhadap berat badan ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi perolehan berat badan atau kehilangan berat badan per hari pada penderita gagal jantung kongestif. 20

3. 7. 2 Penatalaksanaan Farmakologis 1. Diuretik Diuretik digunakan untuk mengobati kelebihan cairan yang biasanya terjadi pada gagal jantung kongestif. Diuretic menyebabkan ginjal mengeluarkan kelebihan garam dan air dari aliran darah sehingga mengurangi jumlah volume darah dalam sirkulasi. Dengan volume darah yang rendah, jantung tidak akan bekerja keras. Dalam hal ini, jumlah sel darah merah dan sel darah putih tidak berubah.4 Diuretik bekerja dengan menghambat reabsorbsi natrium dan klorida dalam tubulus tertentu di dalam ginjal. Bumetamide, furosemide, dan torsemide bekerja di dalam loop of henle sehingga disebut sebagai loop diuretik. Sementara tiazid, metalosone, dan agen hemat kalium bekerja di tubulus distal. Kedua diuretik ini memiliki aksi farmakologis yang berbeda. Loop diuretik dapat mengeluarkan lebih banyak natrium, sekitar 20% hingga 25%, meningkatkan pengeluaran air, dan mampu mempertahankan efektifitasnya walaupun terdapat gangguan ginjal. Sementara itu, tiazid lebih sedikit mengeluarkan natrium dan air, juga dapat kehilangan efektifitasnya pada kondisi gagal ginjal. Penggunaan diuretik ini dapat mengurangi gejala klinis berupa retensi cairan pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Selain itu, diuretik dapat menurunkan tekanan vena jugular, kongesti pulmonal, dan edema perifer. Pengukuran berat badan diperlukan untuk mengevaluasi respon tubuh terhadap pemberian diuretik. Pemberian diuretik ini mampu mengurangi gejala dan memperbaiki fungsi jantung maupun toleransi aktifitas terhadap penderita gagal jantung. Namun demikian, peran diuretik dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita gagal jantung kongestif belum diketahui. Diuretik dimulai dengan dosis awal yang rendah, kemudian dosis perlahanlahan ditingkatkan sampai output urine meningkat dan berat badan menurun, biasanya 0.5 hingga 1 kg per hari. Dosis pemeliharaan diuretik digunakan untuk mempertahankan diuresis dan penurunan berat badan. Penggunaan diuretik ini perlu dikombinasikan dengan pembatasan konsumsi natrium. Hasil akhir dari pengobatan ini adalah kemampuan bernafas yang membaik dan pengurangan pembengkakan dalam tubuh penderita. Kebanyakan obat-obatan ini cenderung akan mengeluarkan potassium dari dalam tubuh, namun beberapa obat seperti diuretik yang mengandung triamterene atau spironolakton dapat meningkatkan level potassium, sehingga level potassium harus diawasi dengan ketat.4 Jika terjadi ketidakseimbangan elektrolit, hal ini perlu ditatalaksana secepat mungkin. Jika terjadi hipotensi dan azotemia sebelum penatalaksanaan diuretik selesai, kecepatan peningkatan dosis diuretik perlu dikurangi namun tetap dilakukan pemeliharaan dosis diuretik sampai gejala retensi cairan berkurang, selama penderita yang mengalami hipotensi dan azotemia ini bersifat asimptomatik. Diuretik yang biasanya digunakan pada gagal jantung meliputi furosemid, bumetanid, hidroklortiazid, spironolakton, torsemid, atau metolazon, atau kombinasi agen-agen tersebut. Spironolakton dan eplerenon tidak hanya merupakan diuretik ringan jika dibandingkan dengan diuretik kuat seperti furosemid, tetapi juga jika digunakan dalam dosis kecil dan dikombinasikan dengan ACE inhibitor akan 21

memperpanjang harapan hidup. Hal ini disebabkan karena kombinasi obat ini mampu mencegah progresifitas kekakuan dan pembesaran jantung.4 2. Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor ACE inhibitor merupakan vasodilator yang sering digunakan untuk gagal jantung kongestif. Obat ini menghambat produksi angiotensin II yang secara abnormal tinggi pada gagal jantung kongestif. Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi dengan meningkatkan kerja ventrikel kiri, dan hal ini secara langsung dapat menjadi toksik terhadap ventrikel kiri dalam dosis yang berlebihan.4 ACE inhibitor dapat memperbaiki kondisi penderita gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner, dan penyakit vaskular aterosklerosis, maupun nefropati diabetikum. ACE inhibitor tidak hanya akan mempengaruhi sistem renin-angiotensin, tetapi juga akan meningkatkan aksi kinin dan produksi prostaglandin. Keuntungan penggunaan ACE inhibitor ini berupa mengurangi gejala, memperbaiki status klinis, dan menurunkan resiko kematian pada penderita gagal jantung kongestif ringan, sedang, maupun berat, dengan atau tanpa penyakit jantung koroner. ACE inhibitor merupakan pengobatan yang penting karena tidak hanya dapat mengurangi gejala, tetapi juga dapat memperpanjang kemungkinan hidup penderita gagal jantung kongestif dengan cara menghambat progresifitas kerusakan jantung dan pada beberapa kasus dapat memperbaiki fungsi otot jantung.4 Namun demikian, ACE inhibitor juga memiliki beberapa efek samping. Efek samping ACE inhibitor sebagai angiotensin supresif dapat berupa hipotensi, perburukan fungsi ginjal, dan retensi kalium. Sementara efek samping ACE inhibitor sebagai potensiasi kinin dapat berupa batuk dan angioedema. 3. Inotropik Inotropik bersifat simultan, seperti dobutamin dan milrinon, yang dapat meningkatkan kemampuan pompa jantung. Hal ini digunakan sebagai pengobatan pada kasus dimana ventrikel kiri sangat lemah dan tidak berespon terhadap pengobatan standar gagal jantung kongestif. Salah satu contohnya adalah digoksin. Obat ini digunakan untuk memperbaiki kemampuan jantung dalam memompakan darah. Karena obat ini menyebabkan pompa paksa pada jantung, maka obat ini disebut sebagai inotropik positif. Namun demikian, digoksin merupakan inotropik yang sangat lemah dan hanya digunakan untuk terapi tambahan selain ACE inhibitor dan beta bloker.4 Walaupun sering digunakan, tidak semua penderita gagal jantung kongestif harus diberikan digoksin karena kurang efektif dibandingkan dengan beberapa pengobatan medikasi lainnya. Digoksin dapat mengurangi gejala setelah penggunaan vasodilator dan diuretik, namun tidak untuk digunakan secara terus menerus. Digoksin merupakan obat lama yang digunakan pada lebih dari 200 tahun yang lalu, yang merupakan derivat dari tumbuhan foxglove. Obat ini juga dapat digunakan untuk mengontrol irama jantung (pada atrial fibrilasi). Kelebihan digoksin dapat membahayakan irama jantung sehingga terjadi aritmia. Resiko aritmia ini meningkat jika dosis digoksin berlebihan, ginjal tidak berfungsi optimal sehingga tidak dapat mengekskresikan digoksin dari tubuh secara optimal, atau potasium dalam tubuh yang terlalu rendah (dapat terjadi pada pemberian diuretik).4 4. Angiotensin II reseptor blocker (ARB) 22

Angiotensin II reseptor blocker (ARBs) bekerja dengan mencegah efek angiotensin II di jaringan. Obat-obat ARB, misalnya antara lain candesartan, irbesartan, olmesartan, losartan, valsartan, telmisartan, dan eprosartan. Obat-obatan ini biasanya digunakan pada penderita gagal jantung kongestif yang tidak dapat menggunakan ACE inhibitor karena efek sampingnya. Keduanya efektif, namun ACE inhibitor dapat digunakan lebih lama dengan jumlah yang lebih banyak digunakan pada data percobaan klinis dan informasi pasien.4 ACE inhibitor dan ARBs dapat menyebabkan tubuh meretensi potasium, Namun hal ini umumnya hanya terjad pada pasien dengan gangguan ginjal, atau pada orang-orang yang juga mengkonsumsi diuretik Hemat kalium, seperti triamterene atau spironolakton. Calcium channel blocker merupakan vasodilator yang jarang digunakan pada pengobatan gagal jantung karena berdasarkan percobaan klinis, tidak terbukti adanya manfaat pemberian calcium channel blocker pada gagal jantung kongestif. Calcium channel blocker digunakan untuk menurunkan tekanan darah jika penyebab terjadinya gagal jantung kongestif adalah tekanan darah yang tinggi dan pada pasien yang tidak berespon terhadap ACE inhibitor atau ARBs.4 5. Beta blocker Beta blocker bertujuan untuk menghambat efek samping sistem syaraf simpatis pada penderita gagal jantung kongestif. Beta blocker efektif untuk menurunkan resiko kematian pada penderita gagal jantung kongestif. Beta blocker terbukti secara klinis dapat mengontrol ejeksi fraksi ventrikel kiri (yang bernilai di bawah 35% hingga 45%) yang telah diberikan diuretik dan ACE inhibitor dengan atau tanpa pemberian digitalis. Namun, pada penderita dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat, denyut jantung yang rendah (di bawah 65 kali/menit), atau tekanan darah sistolik yang rendah (di bawah 85 mmHg), atau pada pasien dengan NYHA IV, pemberian beta blocker tidak dianjurkan. Obat ini dapat menurunkan frekuensi denyut jantung, menurunkan tekanan darah, dan memiliki efek langsung terhadap otot jantung sehingga menurunkan beban kerja jantung. Reseptor beta terdapat di otot jantung dan di dalam dinding arteri. Sistem syaraf simpatis memproduksi zat kimia yang disebut sebagai norepinefrin yang bersifat toksik terhadap otot jantung jika digunakan dalam waktu lama dan dengan dosis yang tinggi.4 Beta bloker bekerja dengan cara menghambat aksi norepinefrin di dalam otot jantung. Dulunya, ahli medis mengobati gagal jantung dengan menghambat norepinefrin yang bersifat buruk dan dapat memperburuk kondisi jantung karena norepinefrin bersifat simultan sehingga menyebabkan denyut jantung semakin kuat. Namun, percobaan klinis telah membuktikan bahwa beta bloker dapat memperbaiki fungsi sistolik ventrikel kiri secara bertahap sehingga dapat mengurangi gejala dan memperpanjang kehidupan.4 6. Hidralazin Hidralazin merupakan vasodilator yang dapat digunakan pada penderita gagal jantung kongestif namun tidak memiliki efek yang sedikit terhadap tonus vena dan tekanan pengisian jantung. Namun efek pemberian hidralazin tunggal tanpa kombinasi dengan obat lain terhadap gagal jantung kongestif belum dapat dibuktikan secara klinis. Pemberian hidralazin dan isosorbid dinitrat dapat menurunkan angka 23

kematian penderita gagal jantung kongestif.21 Kombinasi obat ini dapat menurunkan angka mortalitas sebesar 43%, menurunkan angka rawat inap penderita gagal jantung kongestif sebesar 39%, dan menurunkan gejala gagal jantung.4 Namun demikian, pemberian kombinasi kedua obat ini dapat memberikan efek samping berupa sakit kepala dan keluhan gastrointestinal. 3.8 Penyakit Jantung Rematik Menurut WHO, Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah cacat jantung akibat karditis rematik. Menurut Afif. A (2008), Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah hasil dari DR, yang merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada saluran napas bagian atas. PJR lebih sering terjadi pada penderita yang menderita keterlibatan jantung yang berat pada serangan DR akut. PJR kronik dapat ditemukan tanpa adanya riwayat DR akut. Hal ini terutama didapatkan pada penderita dewasa dengan ditemukannya kelainan katup. Kemungkinan sebelumnya penderita tersebut mengalami serangan karditis rematik subklinis, sehingga tidak berobat dan tidak didiagnosis pada stadium akut. Kelainan katup yang paling sering ditemukan adalah pada katup mitral, kira-kira tiga kali lebih banyak daripada katup aorta. 18

Regurgitasi Trikuspid Regurgitasi trikuspid adalah kembalinya sebagian darah ke atrium kanan pada saat diastolik. Keadaan ini dapat terjadi primer yakni akibat kelainan organik katup maupun sekuder karena hipertensi pulmonal, perubahan fungsi maupun geometri ventrikel berupa dilatasi ventrikel kanan maupun anulus trikuspid. Penyakit jantung rematik dapat secara langsung mengenai katup trikuspid dan biasanya disertai dengan stenosis. Pada kelainan ini terjadi kenaikan tekanan akhir diastolik pada atrium dna ventrikel kanan. Tekanan atrium akan meningkat mendekati tekanan ventrikel kanan sesuai dengan kenaikan tekanan ventrikel kanan, yaitu sesuai dengan derajat kenaikan katup trikuspid. Tekanan sistolik arteri pulmonalis ventrikel kanan dapat dipakai sebagia petunjuk kasar regurgitasi primer atau sekunder. Bila tekanan kurang dari 40 mmHg dianggap cenderung ke arah primer. Insufisiensi Mitral (Regurgitasi Mitral) Insufisiensi mitral merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada masa anak-anak dan remaja dengan PJR kronik. Pada keadaan ini bias juga terjadi pemendekan katup, sehingga daun katup tidak dapat tertutup dengan sempurna. Penutupan katup mitral yang tidak sempurna menyebabkan terjadinya regurgitasi darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri selama fase sistol. Pada kelainan ringan tidak terdapat kardiomegali, karena beban volume maupun kerja jantung kiri tidak bertambah secara bermakna. Hal ini dikatakan bahwa insufisiensi mitral merupakan

24

klasifikasi ringan, karena tidak terdapat kardiomegali yang merupakan salah satu gejala gagal jantung. Tanda-tanda fisik insufisiensi mitral utama tergantung pada keparahannya. Pada penyakit ringanm tanda-tanda gagal jantung tidak ada. Pada insufisiensi berat terdapat tanda-tanda gagal jantung kongestif kronis, meliputi kelelahan, lemah, berat badan turun, pucat. 18 Stenosis Mitral Stenosis mitral merupakan kelainan katup yang paling sering diakibatkan oleh PJR. Perlekatan antar daun-daun katup, selain dapat menimbulkan insufisiensi mitral (tidak dapat menutup sempurna) juga dapat menyebabkan stenosis mitral (tidak dapat membuka sempurna). Ini akan menyebabkan beban jantung kanan akan bertambah, sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan yang dapat menyebabkan gagal jantung kanan. Dengan terjadinya gagal jantung kanan, stenosis mitral termasuk ke dalam kondisi yang berat. 18

Insufisiensi Aorta (Regurgitasi Aorta) PJR menyebabkan sekitar 50% kasus regurgitasi aorta. Pada sebagian besar kasus ini terdapat penyakit katup mitralis serta stenosis aorta. Regurgitasi aorta dapat disebabkan oleh dilatasi aorta, yaitu penyakit pangkal aorta. Kelainan ini dapat terjadi sejak awal perjalanan penyakit akibat perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses radang rematik pada katup aorta. Insufisiensi aorta ringan bersifat asimtomatik. Oleh karena itu, insufisiensi aorta juga bias dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang ringan. Tetapi apabila penderita PJR memiliki insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta, maka klasifikasi tersebut dapat dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang sedang. Hal ini dapat dikaitkan bahwa insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta memiliki peluang untuk menjadi klasifikasi berat, karena dapat menyebabkan gagal jantung. 18 Stenosis Aorta Stenosis aorta adalah obstruksi aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta dimana lokasi obstruksi dapat terjadi di valvuler, supravalvuler dan subvalvuler. Gejala-gejala stenosis aorta akan dirasakan penderita setelah penyakit berjalan lanjut termasuk gagal jantung dan kematian mendadak. Pemeriksaan fisik pada stenosis aorta yang berat didapatkan tekanan nadi menyempit dan lonjakan denyut arteri melambat. 18 3.8.1 Diagnosis Penyakit Jantung Rematik Diagnosis demam rematik lazim didasarkan pada suatu kriteria yang untuk pertama kali diajukan oleh T. Duchett Jones dan, oleh karena itu kemudian dikenal sebagai kriteria Jones. Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik. Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh American Heart 25

Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriterium mayor dan 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya demam rematik. Tanpa didukung bukti adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus selalu diragukan, kecuali pada kasus demam rematik dengan manifestasi mayor tunggal berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika demam rernatik baru muncul setelah masa laten yang lama dan infeksi strepthkokus. Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik. Kriteria ini bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa overdiagnosis maupun underdiagnosis. 6 Kriteria Mayor 1) Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung rematik. Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan sifat bising organik, (b) kardiomegali, (c) perikarditis, dan gagal jantung kongestif. Bising jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang seringkali muncul pertama kali, sementara tanda dan gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya baru timbul pada keadaan yang lebih berat. Bising pada karditis rematik dapat berupa bising pansistol di daerah apeks (regurgitasi mitral), bising awal diastol di daerah basal (regurgitasi aorta), dan bising mid-diastol pada apeks (bising Carey-Coombs) yang timbul akibat adanya dilatasi ventrikel kiri. 2) Poliartritis ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas, dan keterbatasan gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik paling sering mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah. Kelainan ini hanya berlangsung beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi dan kemudian berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang sama; sementara tanda-tanda radang mereda pada satu sendi, sendi yang lain mulai terlibat. Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai satu sendi (monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai suatu kriterium mayor. Selain itu, agar dapat digunakan sebagai suatu kriterium mayor, poliartritis harus disertai sekurang-kurangnya dua kriteria minor, seperti demam dan kenaikan laju endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer ASTO atau antibodi antistreptokokus lainnya yang tinggi. 3) Korea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot dan ketidak-stabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia 3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan. Korea Syndenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan 26

kriteria yang lain. Korea merupakan manifestasi demam rematik yang muncul secara lambat, sehingga tanda dan gej ala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat korea mulai timbul. 4) Eritema marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam rematik dan tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara sentrifugal. Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema anulare rematikum dan terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak bagian proksimal, tetapi tidak pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat sementara atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus yang berat. 5) Nodulus subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat di daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis. Nodul ini berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya, dengan diameter dan beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat karditis. 6 Kriteria Minor 1) Riwayat demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis 2) Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor. 3) Demam pada demam rematik biasanya ringan,meskipun adakalanya mencapai 39C, terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti diagnosis banding yang bermakna. 4) Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap darah, kadar protein C reaktif, serta leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut dapat dipertanyakan

27

5) Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan meskipun sering dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R yang memanjang juga bukan merupakan pertanda yang memadai akan adanya karditis rematik. 6 3.8.2 Bukti yang Mendukung Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik standar untuk demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi streptokokus. Titer ASTO dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit Todd pada orang dewasa atau 333 unit Todd pada anak-anak di atas usia 5 tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar 70% sampai 80% kasus demam rematik akut. Infeksi streptokokus juga dapat dibuktikan dengan melakukan biakan usapan tenggorokan. Biakan positif pada sekitar 50% kasus demam rematik akut. Bagaimanapun, biakan yang negatif tidak dapat mengesampingkan kemungkinan adanya infeksi streptokokus akut.

BAB IV ANALISIS KASUS


Gagal jantung merupakan sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung, dimana jantung tidak sanggup memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan. Gagal jantung ditandai oleh sesak (dyspnea deffort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, cheyne-stokes respiration) dan fatigue (saat istirahat atau saat aktivitas). Keluhan sesak disertai edema dapat berasal dari organ paru, jantung, ginjal, serta dari hati. Dari anamesis didapatkan sesak yang dipengaruhi aktivitas merupakan khas sesak yang disebabkan oleh organ jantung. Kemudian dilanjutkan dengan

28

dilakukannya pemeriksan fisik serta pemeriksaan penunjang sehingga dapat dipastikan sesak pada penderita bukan berasal dari organ paru, ginjal atau pun hati. Ditinjau dari sudut klinis secara simtomatologis di kenal gambaran klinis berupa gagal jantung kiri dengan gejala badan lemah, cepat lelah, berdebar, sesak napas dan batuk. serta tanda objektif berupa takhikardia, dyspnea (dyspnea deffort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, cheyne-stokes respiration), ronkhi basah halus di basal paru, bunyi jantung III, dan pembesaran jantung. Gagal jantung kanan dengan gejala edema tumit dan tungkai bawah, hepatomegali, acites, bendungan vena jugularis dan Gagal jantung kongestif merupakan gabungan dari kedua bentuk klinik gagal jantung kiri dan kanan. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan dyspnea deffort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, ronkhi basah halus di kedua basal paru, hepatomegali, takhikardia, gejala edema tungkai bawah, bendungan vena jugularis sehingga memenuhi gejala gagal jantung kongesti. Berdasarkan klasisfikasi New York Heart Asscociation sebagai 4 kelas (NYHA1-4) dimana dyspnea dan fatigue sebagai penilaian. Pada kelas 1 tidak ada keluhan, Kelas 2 symptom muncul pada pekerjaan biasa, Kelas 3 symptom muncul pada pekerjaan ringan serta kelas 4 symptom muncul pada saat istirahat Pada pasien ini tampak terjadi perburukan dari 3 minggu terakhir sampai 3 hari SMRS terdapat perubahan kelas 1 mulai dari sanggup beraktivitas seperti biasa, menjadi terbatas dalam bekerja, tidak bekerja sampai dypsnea saat istirahat (kelas 4). Berdasarkan kriteria Framingham minimal satu kriteria mayor dan dua kriteria minor yaitu: Kriteria mayor berupa paroksisimal nocturnal dispneu, distensi vena leher, ronki paru, kardiomegali, edema paru akut, Gallop s3, peninggian tekanan vena jugularis, Refluks hepatojugular. Dan kriteria minor berupa edema ekstremitas, batuk malam hari dispnea deffort, hepatomegali, Efusi pleura, penurunan kapasitas vital, takikardi ( >120 x/menit) Pada pasien ini didapatkan empat kriteria mayor. Pertama terdapatnya paroksismal nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil pemeriksaan fisik perkusi jantung, didapatkan adanya pembesaran jantung. Batas jantung kanan terdapat pada linea sternalis dekstra, batas kiri pada linea axillaris anterior sinistra ICS VI, dan batas atas pada ICS II. Hal yang sama juga didapatkan dari hasil rontgen yang menyatakan bahwa pada pasien terdapat kardiomegali. Ketiga terdapat peninggian tekanan vena jugularis yaitu (5+0) cmH2O, keempat didapatkan ronki basah halus pada kedua basal paru. Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan dispnea deffort yang didapatkan dari hasil anamnesis pasien mengeluh sesak sehabis beraktifitas. Oleh karena itu pada pasien ini kami simpulkan diagnosis fungsionalnya adalah Congestive Heart Failure (CHF). Diagnosis anatomis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik terdapat pembesaran dari jantung dan dikonfirmasi dengan ro thorax dengan kesan kardiomegali. Etiologi dari penyakit gagal jantung dapat berupa penyakit jantung bawaan, penyakit jantung rematik, penyakit jantung hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit jantung anemik, penyakit jantung tiroid, cardiomiopati, cor pulmonale serta 29

kehamilan. Penyakit gagal jantung yang terjadi pada usia < 50 tahun, terbanyak adalah disebabkan oleh penyakit jantung reumatik dan penyakit jantung tiroid, dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda kelainan tiroid, melainkan yang didapat adalah riwayat sakit jantung reumatik yang pernah diderita pasien pada tahun 2012. Pada gambaran rontgen thorax didapatkan bentuk pinggang jantung yang sudah tidak tampak lagi, gambaran ini khas jika terjadi mitral stenosis yang merupakan kelainan katup yang paling sering ditemukan pada penyakit jantung reumatik. Namun untuk mendiagnosis pasti pada pasien ini diperlukan pemeriksaan penunjang yaitu, echocardiography. Patofisiologi munculnya gagal jantung berupa beban pengisian (preload) dan beban tahanan (afterload) pada ventricle yang mengalami dilatasi dan hipertropi memungkinkan daya kontraksi jantung yang lebih kuat sehingga terjadi kenaikan curah jantung. Disamping itu karena pembebanan jantung yang lebih besar akan membangkitkan reaksi hemostasis melalui peningkatan rangsangan simpatik. Perangsangan ini menyebabkan kadar katekolamin sehingga memacu terjadinya takikardia dengan tujuan meningkatnya curah jantung. Bila curah jantung menurun maka akan terjadi redistribusi cairan badan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar venous return. Dilatasi, hipertropi, takikardia, redistribusi cairan adalah mekanisme kompensasi jantung. Bila semua mekanisme ini telah digunakan namun kebutuhan belum terpenuhi, maka terjadi gagal jantung. Mengingat pada pasien ini, terdapat riwayat sakit jantung rematik sejak tahun 2012 yang didahului demam tinggi dan nyeri pada sendi. Adanya malfungsi katup pada penyakit jantung rematik dapat menimbulkan kegagalan pompa, baik oleh kelebihan beban tekanan atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif. Penatalaksanaan pada gagal jantung tergantung etiologi, hemodinamik, gejala klinis serta beratnya gagal jantung. Pengobatan terdiri dari 5 komponen berupa penanganan secara umum, mengobati penyakit dasar, mencegah kerusakan lebih lanjut pada jantung, dan mengendalikan derajat CHF. Secara umum Gagal jantung kelas 3 dan 4 perlu untuk membatasi aktivitas dengan istirahat di tempat tidur tetapi perlu untuk menghindari tidur lama, menghentikan kebiasan hidup yang meningkatkan munculnya penyakit jantung seperti merokok pada pasien, pembatasan kadar garam (Na) tetapi ini belum diperlukan oleh karena pemberian obat yang dipilih meningkatkan pengeluaran Na. Diet makanan pada penyakit jantung pada rumah sakit ini berupa diet jantung. Diet jantung terdiri dari diet jantung I berupa makanan cair, diet jantung II merupakan bubur saring, diet jantung III merupakan bubur, diet jantung IV berupa makanan nasi. Diet yang diberikan pada pasien ini berupa diet jantung III karena pasien masih sadar dan tidak boleh terlalu banyak melakukan aktivitas. Pengobatan berdasarkan gejala berupa pembatasan asupan cairan karena cairan yang banyak akan diabsorpsi oleh tubuh dan menambah jumlah cairan pada tubuh sehingga memperberat kerja jantung. pemberian diuretik sangat diperlukan untuk mengeluarkan cairan yang ada dari tubuh dalam kasus ini di gunakan 30

furosemide sebagai diuretik serta pemberian aspilet (asetil salilisat) untuk mencegah terjadinya agregasi trombosit pada pembuluh darah koroner. Pemberian laxadine sirup diberikan untuk memudahkan buang air besar, dimana bila sulit akan meningkatkan beban kerja jantung saat otot-otot berkontraksi secara kuat pada saat mengedan otot perut akan berkontraksi dan meningkatkan tekanan intraabdomen sehingga terjadi gangguan venous return ke jantung. Prognosis ditegakkan berdasarkan dari kemampuan pompa jantung untuk kompensasi serta perbaikan gejala klinik setelah di terapi. Untuk menentukan kemampuan pompa jantung diperlukan untuk melihat ejaksi fraksi dari jantung yang ditegakkan dengan echochardiography serta gejala klinis, sedangkan untuk memperkuat diagnosa RHD maka direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan ASTO, Rheumatoid Faktor dan C-reactive protein (CRP) . Secara klinis, pada pasien ini terdapat perbaikan sehingga prognosis quo ad vitam adalah dubia ad bonam. Tetapi secara fungsional, pada penyakit jantung rematik telah terjadi kerusakan katup yang permanen sehingga prognosis quo ad fungsionam adalah dubia ad malam.

DAFTAR PUSTAKA 1. Branch, William T., R. Wayna Alexande, Robert C. Schlant, and J. Wilis Hurst. 2000. Cardiology in Primary Care. Singapore : McGraw Hill. 2. Anonim. Congestive Heart Failure. Available from :
http://masdanang.co.cc/?p=12

3. Anonim. 7,6/100.000 Penduduk ASEAN Menderita Jantung Rematik. Available from : (http://web.pab-indonesia.com/content/view/11249/9/) 4. Doni. Gagal Jantung Kongestif. Available From http:
//www.Perawatonline.com/index. gagal-jantung-kongestif) php/artikel-keperawatan/8-kep-medikal-bedah/2-

5. Nurdjanah, Siti. Sirosis Hati. Dalam: Sudoyo, Aru W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2006. p;443-448. 6. O'Brien, Terrence. Congestive Heart Failure. South Carolina: Medical University of South Carolina: 2006. Available from URL: http://www.emedicinehealth.com/congestive_heart_failure/article_em.htm. Diakses pada tanggal 4 Februari 2011. 7. Mariyono, H. 2007. Gagal Jantung. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3. Hal 85. 8. Mahmud. Congestive Heart Failure. 2008. Available from URL: http://www.scribd.com/doc/3670294/Congestive-Heart-Failure. Diakses pada tanggal 15 Maret 2013. 9. Kisworo, B. 1997. Demam Rematik. Cermin Dunia Kedokteran No. 116. Hal: 25-28. 31

10. Figueroa, Michael S. Congestive Heart Failure: Diagnosis, Pathophysiology, herapy, and Implications for Respiratory Care. San Antonio: University of Texas Health Science: 2006. p; 403412. 11. Klabunde, Richard E. Pathophysiology of Heart Failure. 2007. Available from URL: http://www.cvphysiology.com/Heart%20Failure/HF003.htm. Diakses tanggal 4 Februari 2011. 12. Heart Failure Pathophysiology. The Medical News: 2010. Available from URL: http://www.news-medical.net/health/Heart-FailurePathophysiology.aspx. Diakses pada tanggal 15 Maret 2013. 13. Congestive Heart Failure. MVS Pathophysiology. Available from URL: http://sprojects.mmi.mcgill.ca/mvs/PATHOS/CHF.HTM. Diakse/[[-`r447 s pada tanggal 15 Maret 2013. 14. Delgado, RM. Pathophysiology of heart failure: a look at the future. Houston: Texas Heart Institute Journal: 1999. p; 28-33. 15. Chan, Paul D. Cardiovascular Disorders. In: Chan, Paul D. Treatment Guidelines for Medicine and Primary Care. California: Current Clinical Strategies Publishing: 2004. p; 2-27. 16. Heart Failure. California: UCSF Medical Center: 2008. Available from URL: http://www.ucsfhealth.org/adult/medical_services/heart_care/heart_failure/co nditions/failure/signs.html. Diakses pada tanggal 15 Maret 2013 17. Congestive Heart Failure. Available from URL: http://www.medicinenet.com/congestive_heart_failure/page3.htm. Diakses pada tanggal 15 Maret 2013 18. Melani, T. 2010. Karakteristik Penderita Penyakit Jantung Rematik (PJR) yang Dirawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2004-2008. 19. Behavioural Modification. In: Management of chronic heart failure: A national clinical guideline. Edinburgh: Scottish Intercollegiate Guidelines Network: 2007. p; 10-13.

32

You might also like