You are on page 1of 10

Nama: Luthfi Rahman Hakim Anggita Rusmitasari N Abdul Rozaq I

(20110530158) (20110530106) (20090530127)

Pengaruh Pengusaha media dalam partai politik (kasus hary tanoesoedibjo dalam ketua dewan pakar partai NASDEM)

A. LATAR BELAKANG MASALAH Pemimpin Partai Politik pada awal Kemerdekaan Indinesia memainkan peranan penting dalam perkembangan partai. Keberadaan para kaum Intelektual dalam perkembangan sebuah partai sangatlah penting pada waktu itu,memberikan kekuatan untuk bangkit melawan penjajah kolonial Belanda. Partai Politik yang pertama berdiri adalah Indische Partij yang didirikan oleh tiga serangkai, yaitu Douwes Dekker.Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara,mereka adalah para kaum intelektual. Pada tahun 1967-1998 kebebasan partai politik untuk memilih ketua umum secara demokrasi sangatlah sulit. Rezim otoriter Suharto mengambil alih siapa yang berhak menjadi ketua umum partai politik di Indonesia. Dengan alasan untuk menjaga stabilitas politik, ekonomi dan keamanan maka partai politik yang ada hanya pasrah menerima keputusan tersebut. Jika tidak menuruti peraturan pemerintah,maka pemerintahan Suharto akan membubarkan partai politik tersebut. Keadaan ini tak berubah sampai adanya reformasi pada tahun 1998, turunnya Suharto dari kursi Presiden Republik Indonesia membuka kembali demokrasi kebebasan berpartai politik,maka tak heran jika pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik. Lewat MUNAS (Musyawarah Nasional) 5-8 oktober 2009,di Pekanbaru Riau dilakukan pemilihan ketua umum Golkar periode 2009-2015. Setelah melewati pertarungan yang sengit antara Surya Paloh dan Aburizal Bakrie akhirnya Aburizal Bakrie yang terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar 2009-2015. Tak lama setelah kekalahan itu Surya Paloh mendirikan Organisasi Masyarakat Nasional Demokrat. Walaupun sempat meengelak bahwa Nasional Demokrat merupakan bibit Partai Nasdem,kenyataannya Nasdem mendeklarasikan diri sebagai partai politik pada 26 juli 2011. Surya Paloh juga enggan menyangkutkan dirinya pada Partai

Nasional Demokrat namun disisi lain ia tidak mengelak bahwa dirinya yang mendanadi partai tersebut, sebenarnya kemunculan pengusaha media dalam kepemimpinan partai politik bukanlah sesuatu yang baru di dunia. Contohnya di Itali, Silvo Berlusconi mantan Perdana Mentri Italia,Pemimpin Partai Politik Forza Italia dan Pemilik Perusahaan Media terbesar yaitu Mediaset. Di Indonesia, fenomena itu muncul dengan kehadiran CEO MNC Group,Harry Tanoesoedibjo adalah seorang pengusaha Indonesia yang lulus dengan gelar Bachelor of Commerce (Honour) dari Carleton University.Ottawa-Kanada,pada tahun 1988 dan gelar Master of Business Administrasion dari Ottawa-Kanada pada 1989,saat ini Hary memegang beberapa jabatan strategis di berbagai perusahaan terkemuka di Indonesia. Dahulu Hary Tanoe lebih berkonsentrasi untuk mengembangkan MNC Group yang terdiri dari RCTI, MNC TV, Global TV, Trijaya radio, Koran SINDO dll. Namun tiba-tiba tahun 2011 ini, saat deklarsi Partai Nasdem nama Hary Tanoe tertulis sebagai Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem. Kepemimpinan Hary Tanoesoedibjo di partai NASDEM lebih bercorak transaksional J.M Burns mengatakan bahwa gaya kepemimpinan transaksional adalah gaya kepemimpinan partai. Sebagai owner Hary Tanoe memanfaatkan seluruh media dan karyawannya untuk membantu Partai Nasdem, Ia menggunakan media penyiarannya seperti Televisi dibawah MNC Grupnya untuk menayangkan iklan partai nasdem secara terus menerus.

B. RUMUSAN MASALAH Seberapa pentingkah pengaruh pemilik media Hary Tanoesoedibjo dalam partai NASDEM ?

C. PEMBAHASAN

Komunikasi politik adalah suatu usaha untuk mempersuasi orang lain agar sependapat dengan dirinya. Oleh karena itu tujuan dan proses komunikasi politik pun sangat erat dengan hal persuasif. Persuasi itu sendiri memiliki banyak definisi yaitu mengubah sikap dan perilaku orang dengan menggunakan kata-kata baik lisan maupun tertulis, menanamkan opini baru, dan usaha yang disadari untuk merubah sikap, kepercayaan, atau perilaku orang melalui transmisi pesan. Persuasi biasanya melibatkan tujuan suatu usaha komunikator untuk mencapai tujuan melalui pembicaraan. Pada umumnya komunikasi politik dilakukan untuk mengkondisikan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menerima informasi-informasi baru yang belum diyakini oleh masyarakat. Sering orang mengartikan komunikasi politik sebagai cara para politisi menyampaikan pesan. Itu betul, tapi hanya sebagian. Komunikasi politik secara keseluruhan memerlukan kematangan pada dua pelaku komunikasi, yaitu pemberi pesan dan penerima pesan. Untuk mencapai komunikasi yang efektif, diperlukan bukan hanya cara pidato seperti Obama tapi juga cara mendengarkan seperti pemilih di negara maju. Kini keadaan sudah berubah secara pasti. Media tidak lagi membela penguasa dengan membabi buta. Ada yang mendukung pemerintah, itu sah-sah saja. Tapi banyak juga yang kritis terhadap otoritas. Publik mendapat manfaat dari kedua-duanya. Kehadiran media dalam proses politik secara konstruktif banyak dibantu oleh menguatnya media massa dalam hal ini adalah radio. Selain menyediakan infrastruktur komunikasi publik, media baru juga menjadi forum untuk materi yang diciptakan oleh pemakai (user-generated content). Bentuk yang paling relevan adalah citizen journalism dan menjamurnya opini masyarakat di Indonesia mengikuti negaranegara demokrasi lain. Keragaman media komunikasi dan meningkatnya suara publik melalui penerbitan yang bebas muncul dan citizen journalism, dan makin kritisnya konsumen komunikasi, menimbulkan kompetisi sehat yang niscaya akan meningkatkan mutu proses demokrasi di Indonesia, setelah mekanisme demokrasi berhasil kita ciptakan dalam waktu singkat yaitu sembilan tahun.

D. KERANGKA PEMIKIRAN Semiotik Semiotik adalah ilmu yang mempelajari dan mengkaji tanda yang teradapat didalam kehidupan manusia. Hoed (2011 : 3) mengatakan semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda dalam kehidupan manusia. Artinya , semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda,yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Tanda merupakan sarana untuk berkomunikasi dan berinteraksi,tanpa adanya tanda mustahil manusia dapat memahami satu sama lain. Tanda itupun mempunyai bagian yang tak dapat dipisahkan yakni penanda (signifier) dan petanda (signified) saussure menyatakan bahwa tanda-tanda adalah pertemuan antara bentuk dan makna. Penanda merupakan aspek dari segi bentuk suatu tanda atau bisa dikatakanb segala sesuatu yang bisa menjelaskan bahwasignifant/signifier (bentuk) bukanlah bunyi bahasa secara konkrit,tetapi merupakan citra tentang bunyi bahasa. Pandangan saussure memberikankita pemahaman bahwa bunyi yang kita dengar dan coret-coretan yang bermakna merupakan penanda. Misalnya suara manusia,suara hewan,suara petir yang menggelegar di langit merupakan suatu ide-ide ,pengertiapengertian tertentu, oleh karena itu suara suaara tersebut merupakan sistem konvensi,sitem kesepakatan dan merupakan bagian dari sistem tanda (sobur ,2004: 46) Petanda merupakan makna atau konsep dari suatu tanda . sedangkan sobur mengatkan bahwa petanda adalah gambaran mental,yakni pekiran atau konsep aspek mental dan signification yang oleh bahasa.hubungan antara penanda dan petanda sehingga menghasilkan sebuah tanda signification yang oleh fiske didefinisikan sebagai upaya untuk memberi makna terhadap dunia(sobur,2009 : 125) Sedangkan Van Zoest seperti dikutip oleh Rahayu S. Hidayat menjelaskan bahwa semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Berbicara tentang kegunaan semiotika tidak dapat dilepaskan dari pragamatik, yaitu untuk mengetahui apa yang dilakukan dengan tanda, apa reaksi manusia ketika berhadapan dengan tanda. Dengan kata lain, permasalahannya terdapat pada produksi daan konsumsi arti. Semiotika dapat diterapkan di berbagai bidang antara lain: semiotika musik, semiotika bahasa tulis, semiotika komunikasi visual, semiotika kode budaya, dsb. Pengkajian kartun masuk dalam ranah semiotika visual.

Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara yang ditandai (signified) dan yang menandai (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas, kata Saussure. Terdapat tiga bidang kajian dalam semiotika: pertama, semiotika komunikasi yang menekuni tanda sebagai bagian bagian dari proses komunikasi. Artinya, di sini tanda hanya dianggap tanda sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dan sebagaimana yang diterima oleh penerima. Dengan kata lain, semiotika komunikasi memperhatikan denotasi suatu tanda. Pengikut aliran ini adalah Buyssens, Prieto, dan Mounin. Kedua, semiotika konotasi, yaitu yang mempelajari makna konotasi dari tanda. Dalam hubungan antarmanusia, sering terjadi tanda yang diberikan seseorang dipahami secara berbeda oleh penerimanya. Semiotika konotatif sangat berkembang dalam pengkajian karya sastra. Tokoh utamanya adalah Roland Barthes, yang menekuni makna kedua di balik bentuk tertentu. Yang ketiga adalah semiotika ekspansif dengan tokohnya yang paling terkenal Julia Kristeva. Dalam semiotika jenis ini, pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya karena digantikan oleh pengertian produksi arti. Tujuan semiotika ekspansif adalah mengejar ilmu total dan bermimpi menggantikan filsafat. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi

kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. E. DATA Dalam iklan partai yang ditayangkan oleh MNC TV dan METRO tentang partai NASDEM

Kampanye Sebagai Komunikasi Politik Jauh-jauh hari sudah banyak Parpol atau calon tertentu yang sudah berkampanye secara terselubung. Mereka mulai berebut simpati massa lewat pendekatan-pendejkatan persuasif. Semuanya mendadak menjadi baik hati, dan perhatian terharap rakyat. Jelas kondisi ini sangat kontaras dengan hari-hari biasanya. Menjelang Pemilu adalah masa saatnya kampanye dimana setiap Parpol atau calon melakukan pendekatan pada massa untuk menarik dukungan. Roger dan Storey (dalam Antar Venus, 2004: 7) memberi pengertian kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakuan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Perlu diperhatikan bahwa pesan kampanye harus terbuka untuk didiskusikan dan dikritisi. Hal ini dimungkinkan karena gagasan dan tujuan kampanye pada dasarnya mengandung kebaikan untuk publik bahkan sebagian kampanye ditujukan sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahtraan umum (public interest). Oleh karena itu isi pesan tidak boleh menyesatkan, maka disini tidak perlu ada pemaksaan dalam mempengaruhi. Apapun ragam dan tujuannya, menurut Pflau dan Parrot upaya perubahan yang dilakukan kampanye selalu terkait dengan aspek pengetahuan, sikap, dan prilaku. Dalam aspek pengetahuan diharapkan akan munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan atau meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang isu tertentu, yang kemudian adanya perubahan dalam ranah sikap. Pada tahap akhir dari tujuannya yaitu mengubah prilaku masyarakat secara konkret berupa tindakan yang bersifat insidental maupun berkelanjutan. Kampanye dalam Pemilu pada dasarnya dianggap sebagai suatu ajang berlangsungnya proses komunikasi politik tertentu, yang sangat tinggi intensitasnya. Ini dikarenakan terutama dalam proses kampanye pemilu, interaksi politik berlangsung dalam tempo yang mengingkat. Setiap peserta kampanye berusaha meyakinkanpara pemberi suara/konstituen, bahwa kelompok atau golongannya adalah calon-calon yang paling layak untuk memenangkan kedudukan. Dalam masa kampanye Pemilu, media dalam hal ini media massa maupun elektronik sangat potensial dalam hal memepengaruhi publik untuk menggalang dukungan. Pada kasusu pemilu jenis kampanye yang digunakan adalah candidate-oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi pada kandodat yang dimotivasi untuk mendapatkan kekuasaan. Karena

memang tujuan dari kampanye Pemilu adalah untuk pengisian jabatan publik (rekruitmen politik). Karena berbicara politik adalah berbicara soal perebutan kekauasaan. Pada dasawarsa yang lalu banyak teoritisi komunikasi masih memandang media sebagai komponen komuniksasi yang netral. Pada waktu itu berlaku asumsi bahwa media apapun yang dipilih untuk menyampaikan pesan-pesan komunikasi tidak akan mempengaruhi pemahaman dan penerimaan pesan oleh masyarakat. Lalu bagaimanakah realitas media akhir-akhir atau saat ini sebagai alat komunikasi politik dalam kampanye Pemilu? Apakah media mampu mempertahankan kenetralannya dalam Pemilu? Dalam sebuah negara yang belum demokratis, media massa yang netral sangat sulit ditemukan. Hal ini dapat dipahamai karena pemerintah memiliki otoritas yang kuat dalam menjaga stabilitas. Tak heran jika media di dalam negara tersebut sangat selektif menyiarkan berita dan tentunya melewati kontrol pemerintah. Begitu juga kondisi media di negara Indonesia sejak dahulu. Media massa yang ada pun biasanya merupakan representasi dari pemerintah atau Parpol tertentu. Jadi begaimana media mampu berperan netral dalam menciptakan demokrasi kalau dia sendiri lahir dari tangantangan politik ?. Pada masa orde baru media adalah pendukung pemerintah. Maka setiap beritapun tentu selalu memuji pemerintah dan kalaupun ingin mengritik pemerintah harus dengan cara yang amat halus dan tidak tajam. Begitu juga saat Pemilu, media tentunya akan pro pada partai pemerintah. F. KESIMPULAN Pada hakikatnya pemilik media sangat berpengaruh terhadap partai yang dinaunginya,Secara logika, kekuatan Nasdem setelah Hary Tanoe keluar pasti sedikit pincang. Tadinya, Nasdem punya dua pilar utama yaitu Surya Paloh dan Hary Tanoe. Apalagi Hary Tanoe membawa keluar juga kekuatan finansial dan media yang dimilikinya. Dua kekuatan ini bagi sebuah parpol di era modern vital sekali. Parpol sulit berkembang tanpa dua kekuatan itu,Meski mempersempit peluang untuk meraih suara signifikan, tapi yang namanya partai pasti punya kreativitas untuk antisipasti keadaan.

kekuatan Hary Tanoe ini baru di Nasdem. Dia datang di tengah jalan. Sebelum ada Haary tanoe pun sudah punya kekuatan sendiri yaitu Surya Paloh dengan kekuatan yang sama. Memang masuknya Hary tanoe gerak Nasdem itu jadi lebih cepat tapi bukan berarti Nasdem tidak punya kekuatan dan disamping itu kesimpulan menyatakan bahwa hary tanoe atau sang pemilik MNC tv merupakan fakto terbesar kepada politik bahwasannya politik membutuhkan peranan media untuk menyebarkan informasi yang dibutuhkan masyarakat agar tercapainya politik yang diinginkan oleh partai tersebut Kondisi-kondisi komunikasi publik yang akhir-akhir ini berubah terlihat memerlukan revisi gagasan yang lebih lanjut. Kecenderungan waktu ( karena adanya kepentingan ekonomi-industri yang dicatat) mengarah pada multiplikasi semua macam jalur komunikasi, dan pilihan yang lebih banyak pada konsumer, berkurangnya regulasi dan pengendalian, dan lebih banyak komersialiasi sistem media. Perubahan-perubahan ini menawarkan kesempatan yang lebih banyak kepada individu-individu untuk menemukan informasi dan gagasan yang dia sukai, tetapi mereka mungkin bisa menawarkan kemanfaatan lebih sedikit untuk mewujudkan sumber politik ( partai dan politisi), yang mungkin merasakan lebih sulit mendapatkan akses dari target yang dipilihnya. Dunia politik harus bersaing, dengan menghadapi pasar audiens yang sama, dengan barang-barang komunikasi yang lebih populer. Hasilnya mungkin, massa politik yang kurang mendapatkan informasi, dan jurang pemisah yang lebar antara minoritas sumber daya yang aktif dan terkait dan mayoritas yang melepaskan diri dari institusi politik. Di sisi yang lain, jumlah komunikasi politik telah menunjukkan setiap tanda kenaikan. Kampanye pemilihan umum idealnya merupakan proses penyampaian pesan-pesan politik yang salah satu fungsinya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Melalui kampanye, partai-partai politik berusaha menyakinkan massa pemilih dengan mengangkat berbagai agenda yang dinilainya akan memberikan keuntungan bagi masyarakat. Karena itu, setiap partai politik selalu berusaha menemukan cara-cara paling efektif untuk merekrut sebanyak-banyaknya massa. Dan dalam proses rekrutmen tersebut, pers adalah diantara media yang memiliki tingkat efektifitas yang relatif tinggi. Pemilihan umum telah dilakukan berulang kali di Indonesia. Tetapi proses yang dilaluinya dalam rentang waktu sejak orde lama, orde baru hingga era reformasi, tampaknya memperlihatkan kualitas komunikasi politik yang bervariasi. Kualitas yang dimaksud terutama

dipengaruhi oleh sistem kekuasaan yang berlangsung, corak budaya politik masyarakat, serta fungsi-fungsi kontrol yang diperankan media pada saat pemilu itu dilaksanakan. Komunikasi politik yang berlangsung dalam sistem kekuasaan otoriter akan mengarah pada proses penyampaian informasi searah, dan media massa akan berfungsi sebagai corong kekuasaan. Sebaliknya, pada masyarakat demokratis dengan partisipasi politik yang lebih besar, media massa, atau lebih populer disebut pers, akan menempatkan kekuasaan setara dengan masyarakat, khususnya dalam kesempatan menyampaikan dan memperoleh kebenaran. Media massa memiliki arti penting dalam pergulatan kehidupan manusia setiap hari. Untuk kepentingan politik, media diakui banyak kalangan merupakan salah satu saluran komunkasi politik yang cukup efektif. Di Indonesia, terutama sejak berakhirnya masa kekuasaan politik orde baru, pelaksanaan pesta demokrasi pemilihan umum telah memperlihatkan semakin berkurangnya acara kampanye rally. Kampanye lebih banyak diakukan dengan menggunakan media massa. Disamping untuk kepentingan merebut simpatik publik terhadap masing-masing organisasi pesrta pemilu, usaha seperti ini juga akan banyak berguna untuk mendidik sikap kritis masyarakat, terutama dalam menyalurkan hak-hak politiknya sebagai warga negara. Mereka akan lebih dewasa dalam menghadapi berbagai isu-isu politik, serta mengambil ruang partisipasi secara bebas dan terbuka.

Daftar Pustaka Cholisin, dkk. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: UNY Press. Muhtadi, Asep Saeful. 2008. Komunikasi Politik Indonesia (Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru). Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nasiwan. 2009. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: UNY Press.

You might also like