You are on page 1of 13

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan karya tulis saya ini yang berjudul TANGGUNGJAWAB PENGANGKUT DALAM HUKUM PENGANGKUTANUDARA INTERNASIONAL. Dalam penulisan ini saya tidak lupa untuk mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang telah terlibat dan membantu dalam penulisan ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Saya menyadari bahwa dalam penulisan ini banyak terdapat kekurangan-kekurangan yang menyebabkan penulisan ini kurang sempurna. Jadi saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang pada akhirnya dapat membantu penyempurnaan karya tulis saya yang selanjutnya. Semoga karya tulis saya ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, April 2008

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

.... 1

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ............ 3

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Prinsip-prinsip tanggung jawab pengangkut 2.2 Persyaratan Kapan Pengangkutan Udara Bertanggung Jawab 2.3 Tanggung jawab Pengangkut Udara dalam Hal Kelambatan 2.4 Batas Tanggung Jawab Pengangkutan Udara 2.5 Pembebasan Tanggung Jawab Pengangkut Udara .... 6 . 7 . 8 .. 10 .. 11

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan . .13

DAFTAR PUSTAKA

.. 14

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Adalah penting sekali pengangkutan dalam dunia perniagaan, mengingat sarana ini sebagai angkutan dari produsen ke agen atau grosir sampai ke konsumen. Pada pokoknya pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang-orang yang karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi. Sejak dunia perkembangan mulai berkembang, terlebih-lebih setelah penerbangan sipil berkembang melintas batas-batas Negara, terdapat kesenjangan yang cukup besar antara perkembangan dunia angkutan udara domestik di satu pihak dengan hukum angkutan udara Internasional di pihak lain. Kesalahan tersebut sangat terasa terutama bila ditinjau dari permasalahan yang berkaitan dengan tanggung jawab pengangkutan udara atas kerugian yang timbul dalam pengangkutan udara. Para ahli hukum di berbagai Negara telah menyadari akan timbulnya berbagai permasalahan yang kompleks sebungan dengan tanggung jawab pengangkut. Konvensi Warsawa dimaksudkan untuk menghindari berbagai permasalahan tersebut dengan mengadakan suatu rezim hukum yang sama terutama tentang tanggung jawab pengangkut udara. Konvensi Warsawa atau Konvensi untuk Unifikasi Ketentuanketentuan Tertentu Sehubungan dengan Pengangkutan Udara Internasional yang ditandatangani di Warsawa pada tanggal 12 Oktober 1929 dan mulai berlaku 13 Februari 1933.

1.2 Rumusan Masalah


3

Rumusan masalah yang saya diambil adalah masalah controversial dalam praktek yaitu: mengenai persyaratan kapan pengangkutan udara bertanggung jawab; tanggung jawab pengangkut udara dalam hal kelambatan; batas tanggung jawab pengangkutan udara dan; pembebasan tanggung jawab pengangkutan udara.

1.3 Tujuan
Terpeliharanya ketertiban dalam masyarakat, khususnya antara pihak pengangkut dengan masyarakat pengguna jasa angkutan udara sehingga tercapai keharmonisan, keteraturan hubungan yang saling menguntungkan. Begitu juga dapat terjaminnya kepastian hukum yang diperlukan untuk mencapai ketertiban, dimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak dapat diketahui dan dimengerti secara pasti sehingga tercapainya rasa keadilan baik bagi pengangkut maupun bagi masyarakat pengguna jasa angkutan udara.

1.4 Metode Penulisan


Dalam metode penulisan ini saya menggunakan metode kajian pustaka, yaitu merefrensi dari beberapa buku. Selain itu saya juga mencari data-data dari internet.

1.5 Ruang Lingkup Penulisan


4

Dalam ruang lingkup tanggung jawab pengangkut, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi jika terdapat suatu kerugian yang timbul dalam hukum angkutan udara yang berlaku sekarang. Untuk pengangkutan penumpang disyaratkan bahwa kerugian yang terjadi harus merupakan akibat dari suatu kecelakaan yang harus terjadi dalam pesawat udara atau pada saat melakukan emberkasi atau disemberkasi sedangkan untuk pengangkutan bagasi dan kargo syaratnya adalah kerugian harus terjadi selama pengangkutan udaradan selama berada dalam pengawasan pengangkut.

BAB II
5

ISI
2.1 Prinsip-prinsip tanggung jawab pengangkut
Penggunaan suatu prinsip tanggung jawab tertentu bergantung kepada keadaan tertentu, baik ditinjau secara makro (sesuai dengan perkembangan masyarakat) maupun ditinjau secara mikro (sesuai dengan perkembangan dunia angkutan yang bersangkutan). ada 3 (tiga) prinsip mengenai tanggung jawab, yaitu : 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan Prinsip ini merupakan reaksi terhadap prinsip tanggung jawab mutlak yang berlaku pada jaman masyarakat primitive yang pada masa itu berlaku suatu rumusan yang berarti bahwa perbuatan apapun yang dilakukan seseorang bila merugikan orang lain akan menyebabkan dia dipersalahkan telah melanggar hukum. Jadi prinsip tanggung jawab mutlak lebik menitik beratkan pada unsure penyebabnya daripada kesalahannya. Namun secara berangsur-angsur hukum mulai menaruh perhatian lebih besar pada hal-hal yang bersifat pemberian maaf dan sebagai akibat pengaruh dari ajaran agama cenderung mengarah pada pengakuan kesalahan moral sebagai dasar yang tepat untuk perbuatan melawan hukum. Maka dari itu prinsip tanggunga jawab mutlak berubah menjadi tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsure kesalahan. Dalam pengangkutan umum untuk penumpang berlaku prinsip tanggung jawab atas kesalahan, akan tetapi lain halnya dalam pengangkutan umum untuk barang yang diwajibkan secara mutlak untuk menjamin keselamatan barang sampai di tempat tujuan karena bilamana terjadi kerusakan atau kemusnahan atas barang yang diangkutnya maka dia bertanggung jawabsecara mutlak yaitu pengangkut diwajibkan membayar santunan atas kerugian yang timbul tanpa menghiraukan ada atau tidak adanya unsure kesalahan di pihak pengangkut. 2. Prinsip tanggung jawab atas berdasarkan atas praduga
6

Perbedaan antara prinsip tanggung jawab yang didasarkan pada unsur kesalahan dan praduga adalah bahwa didalam prinsip yang kedua beban pembuktian pembuktian beralih dari korban kepada pengangkut. Jadi prinsip tanggung jawab yang didasarkan atas praduga yaitu korban dapat mengajukan tuntutan untuk memperoleh santunan tanpa harus membuktikan adanya kesalahan dibidang pengangkut yang artinya tanggung jawab pengangkut tersebut dapat dihindarkan bila pengangkut membuktikan bahwa pihaknya tidak bersalah. 3. Prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip ini dimaksudkan tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan dan menganggap kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak.

2.2 Persyaratan kapan Pengangkutan Udara Bertanggung Jawab


Erat kaitannya dengan permasalahan tentang prinsip-prinsip tanggung jawab pengangkut udara adalah mengenai persyaratan kapan pengangkut udara bertanggung jawab karena bilamana terjadi suatu kerugian atau kecelakaan yang diderita oleh para pengguna jasa angkutan apakah dapat dipertanggung jawabkan atau tidak. Dalam hal pengangkutan penumpang ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menyatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul yaitu kerugian harus disebabkan oleh suatu kecelakaan, kecelakaan tersebut harus terjadi didalam pesawat udara atau kecelakaan tersebut harus terjadi pada waktu emberkasi (menuju ke pesawat) atau disemberkasi (maninggalkan pesawat). Agar suatu kejadian dapat dikualifikasikan sebagai kecelakaaan harus merupakan kejadian yang luar biasa (unusual) atau tidak dapat diperkirakan sebelumnya (unexpected). Kejadian yang dapat dikualifikasikan kedalam suatu kecelakaan adalah
7

penguasa pesawat secara tidak sah (hijacking) dan sabotase, kerusakan, kekurangberesan dalam system tekanan udara dalam pesawat, suara yang memekakkan, suatu pendaratan darurat, keadaan cuaca buruk dan badai, suatu serangan oleh pesawat udara militer, kegaduhan, kepanikan dan kekacauan akibat dari suatu pendaratan darurat, pesawat turun dengan cepat disertai dengan kegagalan memelihara keseimbangan tekanan udara didalam cabin. Dalam hal pengangkutan Bagasi tercatat dan Kargo, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat kemusnahan, kehilangan, atau kerusakan bagasi tercatat atau kargo jika peristiwa yang menyebabkan kerugian tersebut terjadi selama dalam pengangkutan udara yaitu sejak kargo atau bagasi memasuki pelabuhan udara tempat pemberangkatan samapai keluar dari pelabuhan udara tempat tujuan.

2.3 Tanggung Kelambatan

jawab Pengangkut

Udara dalam Hal

Kelambatan berarti kelambatan selama keseluruhan pangangkutan kapan saja penumpang, bagasi atau kargo tidak sampai ditempat tujuan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan terlepas dari sebab terjadinya kelambatan tersebut. Pengangkut harus bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa penumpang, bagasi atau kargo akibat adanya kelambatan selama dalam pengangkutan udara. Kelambatan dapat juga disebabkan oleh pelanggaran atau tidak dilaksanakannya suatu perjanjian pengangkutan yang dapat timbul karena : a) Adanya penolakan secara tidak sah oleh pengangkut untuk melaksanakan perjanjian pengangkutan; b) Hanya sebagian dari pengangkutan itu yang dilaksanakan; c) Adanaya kelambatan di pihak pengangkut dengan akibat bahwa sasaran dari pelaksanaan usaha tersebut menjadi terhalang atau tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan yang seharusnya dan para penumpang atau pengirim dan
8

penerima kargo dibenarkan untuk menyatakan bahwa perjanjian tersebut batal. Setiap ketentuan dalam perjanjian yang dibuat, jika ada yang menyatakan bahwa pihak bermaksud untuk melanggar ketentuan-ketentuan adalah batal dan tidak sah. Karena itu para pihak dapat melakukan suatu jadwal waktu tertentu untuk pengangkutan udara, tetapi membuat ketentuan yang mencantumkan syarat-syarat yang menyatakan pengangkut akan dibebaskan atau dikurangi tanggung jawabnya baik seluruhnya maupun sebagian dalam hal terjadinya keterlambatan yang akan menyebabkan ketentuan tersebut batal dan tidak sah. Prinsip tanggung jawab mutlak digunakan dalam hal penumpang meninggal dunia atau mengalami penderitaan pribadi dan untuk kerugian atas kargo, tetapi dalam hal kerugian akibat kelambatan masih menerapkan prinsip tanggung jawab atas dasar praduga tak bersalah dari pengangkut. Hal ini disebabkan karena pada hakekatnya sangat berbeda antara kerugian akibat kelambatan di satu pihak dengan kerugian akibat penumpang meninggal dunia atau mengalami penderitaan pribadi atau kargo rusak, hilang atau musnah di pihak lain. Perbedaan-perbedaan tersebut adalah: 1. Tidak seperti kerugian akibat kecelakaan pesawat yang pada umumnya sangat jarang terjadi, kerugian akibat kelambatan pada umunya sangat jarang terjadi, kerugian akibat akibat kelambatan dalam suatu angkutan udara biasanya sangat sering terjadi. 2. Kerugian yang diderita oleh korban sebagai akibat dari kelambatan jauh lebih kecil dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkan karena penumpang meninggal dunia atau mengalami penderitaan pribadi atau kerugian atas kargo akibat kecelakaan. 3. Kelambatan adalah suatu pelanggaran dari suatu kewajiban yang timbul dari perjanjian yang berarti bahwa kewajiban itu dipenuhi tetapi tidak sebagaimana seharusnya.
9

Atas dasar tersebut kiranya dapat dipahami bahwa prinsip tanggung jawab yang dikenakan terhadap kelambatan berbeda dengan prinsip yang diterapkan dalam hal penumpang meninggal dunia atau mengalami penderitaan pribadi lainnya atau dalam hal timbulnya kerugian atau kerusakan dalam kargo. Jika diberlakukan tanggung jawab mutlak dalam hal keterlambatan akan dirasakan terlalu berat bagi pengangkut, karena itu penerapan prinsip tanggung jawab atas dasar praduga bersalah yang dapat membebaskan pengangkut dari tanggung jawab.

2.4 Batas Tanggung Jawab Pengangkutan Udara


Tanggung jawab pengangkut dibatasi sampai jumlah maksimum tertentu, hanya dalam hal-hal tertentu saja batas tersebut dapat dilampaui. Pembatasan tanggung jawab tersebut dilakukan antara lain untuk: Untuk melindungi perusahaan pengangkutan udara yang masih dalam taraf permulaan atau masih sangat lemah dan kemungkinan kerugian financial yang sangat besar; Untuk menghindarkan proses berperkara dipengadilan yang

berkepanjangan dalam menentukan jumlah santunan Jumlah batas maksimum tanggung jawab pengangkutan udara internasional diatur dalam Pasal 22 Konvensi Warsawa yaitu jumlahnya adalah sebesar 125.000 francs untuk penumpang, 250 francs per kg. untuk bagasi dan kargo dan 5.000 francs per penumpang untuk barang yang dibawa sendiri oleh penumpang. Dalam pengangkutan penumpang, membolehkan diadakannya perjanjian khusus antara penumpang dan pengangkut untuk menaikkan jumlah batas maksimium tanggung jawab pengangkut. Tetapi pegangkut biasanya enggan untuk mengadakan perjanjian khusus tersebut dan lebih suka agar penumpang sendiri menutup polis asuransi, seperti yang sering dilakukan. Persetujuan antara pengangkut dengan penumpang bukan didasarkan pada suatu keputusan pemerintah atau suatu persetujuan antar para pengangkut untuk menerapkan batas tanggung jawab yang lebih tinggi bagi sekelompok
10

penumpang tertentu, melainkan suatu persetujuan individual antara penumpang dan pengangkut. Dalam hal-hal tertentu, seperti kecelakaan atau kerugian akibat perbuatan yang disengaja atau pengangkut menerima penumpang tanpa memberikan tiket bagasi atau menerima kergo tanpa dibuat surat kargo udara pengangkut dapat dipertanggung jawabkan secara tak terbatas.

2.5 Pembebasan Tanggung Jawab Pengangkut Udara


Dalam Hal Pengangkutan Penumpang Terdapat beberapa kemungkinan kepada pengangkut untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya yaitu bila pengangkut membuktikan bahwa dia mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian dan bila pengangkut membuktikan bahwa kerugian yang terjadi disebabkan atau turut disebabkan oleh pihak korban sendiri. Untuk menyatakan apakah pengangkut atau para pegawainya telah melakukan semua tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian terdapat dalam contoh perkara pesawat udara pengangkut jatuh ketika akan mendarat, pengadilan menemukan fakta behwa sebelum penerbangan dimulai pengangkut telah melengkapi pesawat sebagaimana mestinya dan pengadilan juga menemukan bahwa pengangkut telah melakukan prosedur penerbangan secara benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebab itu pengadilan berkesimpulan bahwa pengangkut berhak untuk membebaskan diri dari tanggung jawab. Begitu juga apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian disebabkan atau turut disebabkan oleh pihak korban sendiri, pengadilan dapat membebaskan pengangkut dari tanggung jawabnya baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Dalam hal kerugian menimpa kargo atau bagasi

11

Dalam hal kerugian menimpa kargo atau bagasi, pengangkut dibebaskan dari tanggung jawabnya jika dia dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan karena kesalahan dalam pengemudian, dalam pengoperasian pesawat atau dalam navigasi asalkan dia dan para pegawainya telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian tersebut.

BAB IV PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Prinsip yang berlaku dalam hukum angkutan internasional udara saat ini, adalah prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga tak bersalah dimana prinsip ini menganggap pengangkut udara bertanggung jawab atas kerugian yang timbul selama
12

pengangkutan udara kecuali jika dia dapat membuktikan bahwa pihaknya telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tidak mungkin baginya untuk mengambil tindakan tersebut. Disamping pengangkut udara dapat membebaskan diri dari tanggung jawab, tanggung jawab pengangkut tersebut dibatasi sampai jumlah tertentu yang telah ditetapkan. Pembatasan tanggung jawab tersebut merupakan imbalan atas dibebaskan pihak korban dari beban pembuktian.

DAFTAR PUSTAKA
E. Suherman, Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bandung: Alumni, 1981. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Jakarta: Pusat Penelitian Hukum Angkasa, 1972. Dr. E. Saefullah Wiradipradja, S.H., LL.M., Tanggungjawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, Yogyakarta: Liberty, 1989.

13

You might also like