You are on page 1of 2

Sore itu, pukul 15.30 di sebuah rumah seorang muncikari wanita panggilan di bilangan Sanur.

Beberapa wanita terlihat asyik melihat-lihat barang dagangan. Begitu melihat kedatanganku, Susan, (nama samaran), sang mami meminta anak anaknya bernegosiasi pernak-pernik wanita itu di belakang rumah. Sebagian wanita memilih tetap tinggal di sofa berwarna biru tua itu. Selama lebih kurang 20 menit, aku berbincangkangin-kauh dengan beberapa wanita di sana. Tak lama, Susan meminta Sisil (bukan nama sebenarnya) menemaniku. Ya..begini ini kalau sore Mbak. Lagi jam istirahat, ujar Sisil. Perawakannya bongsor. Kulitnya putih dengan rambut panjang melewati bahu. Kalau saja dia tak tinggal di sana, tak ada yang bisa membedakan jika dia berprofesi sebagai PSK. Sejak awal, terlihat dia wanita yang sangat ramah. Tak ada yang mencolok dari dirinya. Termasuk cara dia berpakaian. Ketika akumeminta dia menceritakan tentang dirinya, Sisil sama sekali tak keberatan. Saya masuk ke sini ketika umur 25 tahun, tuturnya. Ia memu tuskan pergi dari Semarang dari kampung halamannya, memang dengan tujuan menjadi PSK. Di Semarang, hidupnya sangat miskin. Ayahnya seorang buruh bangunan. Penghasilannya bahkan tak cukup untuk menghidupi ketiga adiknya yang masih sekolah. Ibunya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Di Semarang, Sisil bekerja di salon. Selain membantu ayah menghidupi ketiga adiknya, Sisil juga memiliki satu anak yang kini berusia empat tahun. Saya janda Mbak. Saat anak saya berusia dua tahun, saya minta cerai, ceritan ya. Sisil tak tahan dengan sikap suaminya yang ringan tangan. Tanpa alasan yang jelas, ia kerap menerima bogem mentah dari suaminya yang tiba-tiba berubah. Waktu menikah sih kami saling cinta. Tapi nggak lama, dia kok malah sering mukuli saya. Lama-lama, saya nggak tahan. Ya saya milih cerai saja, sambungnya. Sisil yang hanya tamatan SMP, sangat sulit mencari pekerjaan. Biaya hidup dengan balita yang memerlukan gizi, membuat dia kewalahan. Buat beli susu anak aja, gaji saya nggak cukup Mbak, katanya. Tekanan ekonomi yang berlebihan, membuat ia setuju saja ketika dua tahun yang lalu, seorang teman mengajaknya hijrah ke Bali. Waktu itu, saya ketemu teman sekolah yang hidupnya kelihatan mapan. Ternyata, dia kerja jadi PSK, ya di rumah mami ini, lanjutnya. Temannya itu bertutur tentang penghasilannya yang bisa jutaan rupiah tiap bulan. Tentu saja, Sisil tergiur. Pikirnya, jika ia bisa memberikan jutaan rupiah untuk keluarga, anak, ayah dan adik-adiknya pasti terjamin. Ia akan bisa membelikan susu anaknya, menyekolahkan adik-adiknya dan membantu biaya hidup keluarga sehari-hari. Waktu itu adik saya yang nomor dua sudah mogok sekolah. Dia malu karena nggakpunya uang untuk bayar sekolah, ujarnya. Sebagai kakak tertua, Sisil ingin membantu ayahnya.

Akhirnya, tawaran temannya diterima. Anaknya dititipkan pada ketiga adiknya. Tekadnya sudah bulat; menjadi PSK dan mendapatkan uang jutaan rupiah. Saat pamitan kepada ayah dan adik-adiknya, Sisil mengatakan mendapatkan tawaran kerja di salon di Bali. Mereka pun melepaskannya dengan harapan besar. Sesampainya di Bali, Sisil langsung bertemu mami. Ia tinggal di mess yang telah disediakan. Kamar dan makan sehari-hari ditanggung mami. Kami wanita panggilan Mbak, bukan seperti di lokalisasi itu, jelasnya. Pertama kali da pat order, Sisil merasa takut. Saya jijik, kikuk, malu. Jangan ditanya bagaimana perasaan saya waktu itu. Mbak bisa bayangkan, gimanarasanya saya harus berhubungan intim dengan pria yang bukan suami saya? katanya dengan mata menerawang. Waktu itu, ia mendapat tamu lokal, asli Bali. Pria yang membooking-nya, tahu jika Sisil baru pertama kali melayani tamu. Dia pengertian sekali. Malah dia yang ngasih saya saran, bagaimana bagusnya melayani tamu. Dia juga nggak marah ketika saya nggak bisa melayani dia dengan baik, ujar Sisil dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Dengan pria Bali itu, dia hanya di-booking short time. Per jam, saya dibayar Rp 100 ribu, katanya. Air mata Sisil makin menggenang. Ia berusaha mengingat-ingat pengalaman pertamanya menjadi wanita panggilan. Mungkin memang harus begini nasib saya ya Mbak, katanya. Siapa sih yang mau jadi PSK Mbak? Kalau saya pikir lagi, saya juga nggak mau. Tapi saya bisa apa? Kalau nggak begini, keluarga saya nggak bisa hidup lebih baik. Saya nggak punya pendidikan tinggi. Adik saya nggak bisa sekolah. Anak saya nggak bisa minum susu. Siapa sih yang mau jadi PSK Mbak? katanya sambil terus mengulang pernyataannya. Sisil tak mampu menahan tangisnya. Dia beranjak ke kamar. Mbak, sudah aja ya. Nggak usah tanya lagi. Saya ingat ibu Mbak, katanya sambil terus menangis. Perbincangan itu benar-benar terhenti. Sisil berusaha menahan tangisnya. Diambilnya handuk kecil yang tergantung di lemari pakaian. Dengan lembut, ia mengelap air matanya. Saya ingat ibu saya Mba k. Beliau pasti sedih kalau tahu saya begini, ujarnya.

You might also like