You are on page 1of 59

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG ORGANISASI MASYARAKAT

BADAN LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2011

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Setiap orang/individu memiliki sikap dasar dan kecenderungan untuk selalu hidup berkelompok, karena pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial,1 Sebagai makhluk sosial, manusia mustahil dapat hidup sendiri tanpa melakukan interaksi dengan orang lain. Karakter dasar sebagai makhluk sosial akan mendorong setiap manusia selalu memilik ikatan atau terhimpun dalam suatu organisasi atau perkumpulan, baik yang dibentuk secara teratur ataupun perkumpulan yang yang bersifat terbuka dan longgar. Melalui ikatan dalam suatu oragnisasi, individu akan dapat mengekpresikan dirinya dan menjalin hubungan timbal balik ataupun bersama-sama melakukan upaya melakukan berbagai kegiatan dan mencapai tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga masyarakat. Menyadari kebutuhan dasar manusia untuk berkumpum/berorganisasi, maka dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara selalu terdapat jaminan konstitusional yang secara tersurat ada dalam

konstitusi berbagai negara. Negara Indonesia pun menjamin hak dan kebebasan untuk berkumpul dan berserikat dalam rangka mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan sebagai salah satu hak asasi waga negara.2 Pengakuan hak asasi manusia dalam konstitusi tersebut

menegaskan pula bahwa dalam kebebasan berserikat dan berkumpul terdapat hubungan antara warga negara dan peran negara, yang semestinya saling memperkuat dan membawa manfaaat bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Dalam perspektif historis, sejak sebelum kemerdekaan negara Repubik Indonesia, pelaksanaan hak kebebasan berserikat dan berkumpul serta membentuk berbagai organisasi telah menjadi sarana integrasi dan perjuangan bangsa. Pembentukan organisasi Budi Utomo pada tahun 1905
1 2

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1977. Lihat Pasal 28 UUD Tahun 1945

menjadi tonggak perjuangan bangsa dalam mengusir penjajah. Beberapa organisasi masyarakat dalam bidang sosial keagamaan, seperti

Persyarikatan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis) juga dibentuk pada era sebelum kemerdekaan dan menjadi

instrumen perjuangan kemerdekaan dan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, bermunculan organisasi yang berbasis profesi seperti Serikat Dagang Islam (SDI) yang membuktikan kepedulian kaum usahawan dalam perjuangan bangsa. Pada era tersebut juga lahir dan bermunculan organisasi masyarakat, khususnya dari kalangan pemuda, yang pada awalnya berbasis kedaerahan seperti Jong Sumatranen Bond, Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes dan lain-lain. Organisasi-organisasi masyarakat tersebut tumbuh dan berkembang yang selanjutnya mengintegrasikan diri dan melahirkan Sumpah Pemuda sebagai salah satu tonggak penting dan menjadi dasar terbentuknya Negara Indonesia.3 Kehadiran organisasi masyarakat dalam perjuangan kemerdekaan bangsa jelas tidak terbantahkan,4 karena mampu membangun kesadaran kolektif masyarakat hingga mampu mendorong kemerdekaan bangsa. Tidak dapat dipungkiri dan masih dapat dilihat secara nyata bahwa organisasi masyarakat yang tumbuh sejak jaman sebelum kemerdekaan tersebut masih terus tumbuh seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis) yang secara konsisten membaktikan diri dalam bidang sosial, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi masyarakat dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang. Tumbuh dan berkembangnya organisasi masyarakat, sebagaimana digambarkan di atas mencerminkan betapa penting dan strategis organisasi masyarakat. Hal itu dapat merefleksikan: pertama, menumbuhkembangkan kesadaran bersama berserikat dan berkumpul. Dengan demikian,

pengakuan dalam konstitusi menjadi sangat bermakna dan memiliki dasar historis, filosofis dan sosiologis.
3 4

N. Kania Winayanti, Dasar Hukum Pendirian dan Pembubaran Ormas, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011. Ibid.

Setelah kemerdekaan, organisasi masyarakat terus bermunculan dan semakin beragam sejalan dengan dinamika perkembangan bangsa. Pada masa kemerdekaan, organisasi-organisasi masyarakat memang belum sepenuhnya berkembang karena situasi sosial dan politik masih tidak

menentu. Memasuki era Orde Baru, pelembagaan organisasi masyarakat diperkuat dengan dikelurakannya peraturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Meskipun sistem politik saat itu tidak sepenuhnya menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, namun dengan pengaturan pelembagaan organisasi masyarakat tetap dapat memunculkan perkembangan dan pertumbuhan ormas. Permasalahan yang menonjol dari UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas, pengaturan tersebut dimaksudkan pula untuk memperkuat kontrol negara terhadap organisas kemasyarakatan. Salah satu ketentuan

mengenai penguatan kontrol negara tersebut adalah pemberlakuan asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya asas pembentukan organisasi kemasyarakatan. Pada era ini pula ditandai dengan kuatnya peran negara dalam

mendorong tumbuh dan berkembangnya organisasi masyarakat pada sektor tertentu yang difasilitasi negara, terutama ormas berbasis profesi seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang pada umumnya mengarah pada organisasi tunggal. Di sisi lain, organisasi yang berbasis masyarakat juga tetap berkembang meski berhadapan dengan keterbatasan karena tidak berafiliasi dengan

kekuasaan negara. Pada organisasi kemahasiswaan, organisasi tersebut antara lain Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKR), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Paradigma yang malatarbelakangi keberadaan organisasi masyarakat sebagai perwujudan kebebasan berserikat dan berkumpul serta berpendapat adalah dalam rangka partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan yang diwujudkan dalam berbagai program kegiatan sosial kemasyarakatan dan kepemimpinan serta penyaluran aspirasi masyarakat. Hal itu juga menjadi 3

salah satu dasar pengaturan dalam UU tentang Ormas yang secara sengaja menempatkan organisasi kemasyarakatan sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Bahkan, pada saat itu, undang-undang tersebut merupakan salah satu paket politik, selain undang-undang politik lainnya yang mencakup Undang-Undang tentang Partai Politik danUndangUndang tentang Pemilihan Umum. Melalui pengaturan dalam undang-

undang, maka pelembagaan partisipasi masyarakat diharapkan dapat terlaksana dan memperoleh perhatian pemerintah karena berkaitan dengan aspirasi sejumlah orang dengan argumentasi yang kuat. Fenomena perkembangan organisasi masyarakat juga ditandai dengan munculnya lembaga swadaya masyarakat (LSM), - khususnya pada era tahun 1980-an- yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan organisasi masyarakat yang telah umum terbentuk sebelumnya, jika dilihat dari basis keanggotaan. LSM lebih banyak digagas oleh beberapa orang yang

memiliki basis isu dan kajian dan seringkali merupakan organisasi yang bersifat kritis terhadap kebijakan pembangunan yang dilaksanakan

pemerintah. LSM yang juga memiliki padanan istilah non governmental organization (NGO), yang dalam istilah Indonesia menjadi organisasi non pemerintah (Ornop), menurut Suharko, tumbuh sejalan dengan

pembangunan, termasuk pembangunan di negara-negara dunia ketiga (negara berkembang), di mana NGO merupakan salah satu agen pembangunan yang dianggap penting.5 Keberadaan LSM semakin memperkaya organisasi masyarakat, terlebih kemudian LSM tumbuh pesat seiring dengan perkembangan demokrasi di Indonesia. Apalagi, memasuki era tahun 2000-an, peranan LSM yang banyak menyuarakan aspirasi masyarakat dan melakukan advokasi kebijakan yang berpihak pada masyarakat semakin meneguhkan

eksitensinya sampai saat ini. Bahkan, dalam perjalananya terjadi relasi yang kritis antara LSM dan negara, apalagi ketika negara semakin terjebak pada rejim pemerintahaan otoriter hingga akhirnya terjadi reformasi pada tahun 1998.
Suharko, Merajut Demokras: Hubungan NGO, Pemerintah, dan Perkembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-20101), Tiara Wacana, Yogyakarta, 2005.
5

Memasuki

era

Reformasi,

pertumbuhan

organisasi

masyarakat

menemukan musim terbaiknya. Ibaratnya seperti jamur yang tumbuh di musim hujan. Organisasi masyarakat berlatar belakang profesi,6 etnis banyak bermunculan, baik yang (kedaerahan), kepemudaan,

kemahasiswaan, keagamaan dan lain-lain. Organisasi masyarakat yang mengambil nama LSM juga bermunculan dari tingkat pusat atau nasional hingga daerah. Pesatnya perkembangan organisasi masyarakat tersebut, tidak diiringi dengan penyesuaian peraturan. Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemayarakatan yang telah berlaku selama 26 tahun dan memiliki latar belakang serta kerangka pikir era sebelumnya, belum disesuaikan dan disempurnakan. Padahal, karakter, perilaku dan kegiatan organisasi masyarakat telah berkembang dan tidak terwadahi lagi dalam undang-undang tersebut. Akibatnya, ada kesenjangan pengaturan antara realitas perkembangan materi organisasi masyarakat dengan materi pengaturan yang ada dalam undang-undang keormasan yang masih berlaku. Kesenjangan itu semakin terasa manakala terjadi berbagai aktivitas

organisasi masyarakat yang oleh sebagian kalangan dinilai mengganggu stabilitas sosial masyarakat. Fakta-fakta munculnya berbagai anarkisme,

seperti di Cikeusik, Pandeglang, Banten terkait konflik jemaat Ahmadiyah dan anarkisme di Temanggung Jawa Tengah, memicu desakan untuk melakukan pembubaran organisasi masyarakat yang dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut.7 Namun, perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan pembubaran organisasi masyarakat yang anarkis mendapat tantangan dari berbagai pihak, termasuk kesulitan dari Kemnterian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menindak organisasi masyarakat.
Beberapa organisasi profesi yang muncul seperti di bidang pers, jika semula hanya PWI, muncul Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Organisasi Wartawan Media Elektronik dan lain-lain. Juga muncul serikat pekerja dari berbagai sector, bahkan berwarna keagamaan seperti Perhimpunan Pekerja Muslim Indonesa (PPMI) dan lain-lain. Surat Kabar Kompas pada medio Februari 2011 memuat berita tentang Presiden Perintahkan Bubarkan Ormas.
7 6

Kondisi tersebut memaparkan adanya kebutuhan yang sangat kuat untuk melakukan perubahan dan penyempurnaan secara menyeluruh

terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan untuk mengatur masalah organisasi masyarakat. Selain itu, perubahan situasi sosial dan kondisi masyarakat yang memerlukan pengaturan yang sesuai dengan dinamika saat ini dan ke depan. Atas dasar tersebut, maka perlu penyusunan Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Organisasi Masyarakat untuk menggantikan undang-undang yang mengatur masalah organisasi masyarakat yang telah ada sebelumnya. Penyempurnaan undang-undang dan peraturan hukum yang berkaitan dengan organisasi kemasyarakatan sangat diperlukan demi kepentingan umum dan memberikan perlindungan bagi organisasi masyarakat sendiri. Sebagaimana dinyatakan Leon E. Irish, undang-undang perlu ada di dalam semua masyarakat yang terbuka untuk menjamin dan melindungi kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul secara damai bagi seluruh warganegara. Pada saat yang bersamaan, juga harus ada hukum yang melindungi publik dari kemungkinan penyalahgunaan organisasi masyarakat. Pengaturan organisasi masyarakat harus mencerminkan keseimbangan antara hak-hak individual untuk melaksanakan kebebasannya dan kebutuhan untuk perlindungan kepentingan umum.8 Rustam F Ibrahim pun senada bahwa alasan hukum dan moral yang absah dan dapat dibenarkan untuk mengatur organisasi masyarakat adalah demi melindungi kepentingan umum dan kebaikan organisasi masyarakat itu sendiri. Suatu regulasi dapat diperlukan demi untuk menciptakan dan mengembangkan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan sektor masyarakat yang sehat, sehingga organisasi masyarakat dapat

melaksanakan fungsinya untuk melayani kepentingan publik secara lebih baik. Di dalam aktivitasnya sehari-hari harus diakui bahwa organisasi

masyarakat tidak luput dengan hal-hal negatif yang merugikan masyarakat dan merusak citra organisasi masyarakat itu sendiri.
8

Misalnya muncul

Leon E. Irish, Robert Kushen and Karla W. Simon, Guidelines for Laws Affecting Civic Organization, Open Society Institute, International Centre for Not-for-Profit Law, New York, 2004, hal. 10

organisasi masyarakat dengan motivasi mencari keuntungan ekonomi dan politik atau yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya.9

B.

PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas maka

terdapat beberapa permasalahan yang perlu diuraikan dalam naskah akademik (NA) penyusunan RUU yang meliputi: 1. Faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan yang sangat besar antara kebutuhan pengaturan mengenai organisasi masyarakat dengan undang-undang yang saat ini berlaku? 2. Bagaiana arah kebutuhan masyarakat? 3. Apa saja pokok-pokok materi yang perlu ditur dalam RUU yang akan disusun? 4. Bagaiamana gambaran pengaturan dan perkembangan organisasi masyarakat pada tataran global? perubahan undang-undang yang sesuai dengan pengaturan mengenai masalah organisasi

materi

C.

MAKSUD DAN TUJUAN Maksud dan tujuan penyusunan naskah akademik RUU yang akan mengatur masalah organisasi masyarakat adalah : 1. Memberikan kesenjangan gambaran antara yang komprehensif pengaturan terhadap masalah terjadinya organisasi

kebutuhan

masyarakat dengan undang-undang yang berlaku saat ini yaitu UndangUndang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. 2. Memberikan gambaran berkaitan dengan arah perubahan dan pokokpokok materi yang akan diatur dalam rancangan undang-undang yang akan disusun.

Rustam Ibrahim, Beberapa Pokok Pikiran untuk Penyusunan RUU tentang Perubahan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, dalam diskusi di Biro Polhukam dan Kesra Sekretariat Jenderal DPR-RI, 8 Februari 2011.

3. Memberikan gambaran berkaitan dengan perkembangan mengenai organisasi masyarakat secara global.

D.

METODE DAN KERANGA PENULISAN Penyusunan naskah akademik RUU yang mengatur masalah organisasi masyarakat dilakukan dengan mengacu kepada Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan serta Pedoman Penyusunan Naskah Akademik, khususnya di Badan Legislasi DPR RI dan Pemerintah. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah: 1. Studi literatur/kepustakaan yang terkait masalah pengaturan tentang organisasi masyarakat. 2. Analisis dan kajian terhadap hukum positif yang sudah ada dan keterkaitannya dengan undang-undang lain. 3. Melakukan pengumpulan data lapangan dan meminta masukan dari pada ahli atau nara sumber yang berkaitan dengan organisasi

masyarakat. 4. Merumuskan draft awal Naskah Akademik. 5. Melaksanakan perumusan draft RUU. Adapun kerangka penulisan naskah akademik ini disusun berdasarkan logika input-proses-output, yang dapat dijelaskan sebagai berikut (kerangka penulisan disajikan pada gambar berikut:

Gambar : Metode dan Kerangka Dasar Penulisan Naskah Akademik K

Pendahuluan Evaluasi Kebijakan dan Pengaturan Organisasi Masyarakat.

Urgensi, dasar Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis RUU Organisasi Masyarakat

Kajian Teoritis dan Kebijakan Organisasi Input di Masyarakat Indonesia

Perubahan Paradigma Penngatura Organisasi Masyarakat

Evaluasi dan Analisis Hukum Positif Organisasi Masyarakat

Arah Pengaturan dan Ruang Lingkup Materi RUU Organisasi Masyarakat

Proses/ Analisis

Output

Keterangan: a. Input: yaitu gambaran teoritis, masalah organisasi masyarakat dan perubahan paradigma pengaturan masalah organisasi masyarakat. b. Proses: yaitu review kebijakan dan pengaturan organisasi masyarakat di Indonesia. c. Output: yaitu rumusan urgensi, argumentasi filosofis, sosiologis, yuridis serta pokok-pokok materi dan ruang lingkup materi RUU tentang Organisasi Masyarakat.

BAB II KONSEPSI DAN DINAMIKA ORGANISASI MASYARAKAT


A. KONSEPSI ORGANISASI MASYARAKAT Kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan hak yang menjadi bagian dari hak asasi manusia (HAM). Jaminan bagi hak tersebut terdapat dalam instrumen-instrumen HAM yang berlaku secara universal maupun dalam instrumen yang berlaku dalam lingkup regional. Instrumen-instrumen tresebut antara lain Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Dalam Artikel 20 (1) UDHR, ditentukan bahwa everyone has the right to freedom of peaceful assembly and association. Selebihnya dalam sub-titlle (2) article tersebut ditegaskan bahwa no one may be compelled to belong to an association. Sedangkan dalam ICCPR, pengaturan mengenai berserikat dan berkumpul telah diatur lebih lanjut. Hal tersebut dibuktikan dengan dituangkannya pengakuan mengenai the right of peaceful assembly (hak kebebasan berkumpul) dalam article 21 The right of peaceful assembly shall be recognized. No restrictions may be placed on the exercise of this right other than those imposed in conformity with the law and which are necessary in a democratic society in the interests of national security or public safety, public order (ordre public), the protection of public health or morals or the protection of the rights and freedoms of others, dan hak mengenai freedom of association (hak kebebasan berserikat) dalam article 22 (1) Everyone shall have the right to freedom of association with others, including the right to form and join trade unions for the protection of his interests. Selanjutnya terdapat pengaturan yang lebih tegas mengenai hak berserikat dan berkumpul dalam Article 5(d)(ix) the Convention on the Elimination of racial Discrimination of 1966. Dalam Article tersebut ketentuan mengenai The right to freedom of peaceful assembly and association

10

dituangkan secara tegas menjadi bagian dari hak istimewa dari setiap manusia. Selain dijamin melalui instrumen-instrumen internasional yang berlaku secara universal, kebebasan berserikat dan berkumpul juga dijamin dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Hal tersebut dituangkan dalam Pasal Pasal 28E ayat (3) bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Dengan dituangkannya jaminan kebebasan berserikat,

berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dalam pasal tersebut berarti pemerintah indonesia telah membuka dengan selebar-lebarnya ruang bagi setiap warga negaranya untuk berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat, baik secara lisan ataupun tulisan, meskipun ketentuan pelaksanaannya dapat diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Organisasi masyarakat merupakan perwujudan dari hak yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Warga negara memiliki kebebasan untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat tersebut dikenal sebagai tiga kebebasan dasar yang merupakan bagian dari konsep hak-hak asasi manusia, terutama dalam rumpun hak sipil dan politik. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi

Kemasyarakatan memberikan

batasan pengertian tentang organisasi

kemasyarakatan yaitu organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Organisasi kemasyarakatan menjadi sarana untuk menyalurkan

pendapat dan pikiran bagi anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia dan dinilai memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan keikutsertaan secara aktif seluruh lapisan masyarakat dalam mewujudkan masyarakat Pancasila berdasarkan Undang-Undang Dasar 11

1945 dalam rangka menjamin pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa, menjamin keberhasilan pembangunan nasional sebagai pengamalan

Pancasila, dan sekaligus menjamin tercapainya tujuan nasional. Karena hidup dalam sebuah negara, maka dalam menuntut haknya untuk bebas berserikat dan berkumpul, warga negara tidak dapat begitu saja menjalankan kebebasannya berserikat dan berkumpul. Negara merupakan pemangku kewajiban HAM, kedudukan tersebut berdasarkan berbagai komentar Pasal-Pasal yang terdapat dalam UDHR. Dapat dilihat bahwa semua penjelasan dalam komentar umum menyatakan bahwa perwujudan HAM sepenuhnya adalah kewajiban negara. Sebagai pemegang kewajiban pemenuhan HAM, negara mengemban tiga bentuk tugas. Ketiga tugas tersebut adalah: 1. Negara harus menghormati (to respect) HAM Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk melakukan penghormatan (obligation to respect) merupakan kewajiban negara untuk tidak turut campur untuk mengatur warga negaranya ketika melaksanakan hakhaknya. Dalam hal ini, negara memiliki kewajiban untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat pemenuhan dari seluruh hak asasi. Misalnya dengan membuat undang-undang jaminan kepada warganya untuk menyampaikan pendapat dan juga pemenuhan hak atas informasi. 2. Negara harus melindungi (to protect) HAM Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk memberikan perlindungan (obligation to protect) merupakan kewajiban negara agar bertindak aktif untuk memberi jaminan perlindungan terhadap hak asasi warganya. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah pelanggaran semua hak asasi manusia oleh pihak ke tiga. 3. Negara harus memenuhi (to fullfil) HAM. Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk melakukan pemenuhan (obligation to fulfill) hak merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara untuk bertindak secara aktif agar semua warga negaranya itu bisa 12

terpenuhi hak-haknya. Negara juga berkewajiban untuk meningkatkan kapasitas aparat hukum (polisi, jaksa, dan hakim) untuk bisa ikut mewujudkan penghotmatan hak sipil dan politik. Negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan tindakan-tindakan lain untuk merealisasikan secara penuh hak asasi manusia. Kewajiban ini juga diikuti dengan kewajiban pemerintah yang lain, yaitu untuk membuat laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan. Termasuk kewajiban pemerintah Indonesia untuk membuat laporan mengenai pelaksanaan hak-hak sipil dan politik yang harus disampaikan pada Komite di PBB. Kewajiban negara sebagai pemangku HAM telah dituangkan dalam Pasal 28I Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 secara gamblang mencantumkan jaminan mengenai hal ini dengan kata-kata berikut, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Selain itu, kewajiban negara dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, jaminan ini juga diperkuat dalam Pasal 71 yang menyatakan, Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi,

menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini (UU 39 Tahun 1999), peraturan perundangundangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia. Berkaitan dengan kedudukan negara, maka dapat dilihat bahwa negara dalam rangka memenuhi kewajibannya sebagai pemangku HAM khususnya hak berserikat dan berkumpul, maka harus menjalankan tugasnya harus menghormati kebebasan berserikat dan berkumpul yang dimiliki oleh setiap warganegaranya. Penghormatan tersebut pada dasarnya telah diatur dalam UUD 1945 namun dalam UU No. 30 tahun 1985 tentang Organisasi kemasyrakatan hal tersebut belum terlihat. Penghormatan tersebut harus diwujudkan dengan cara menjalankan tugasnya yang selanjutnya yaitu melindungi hak yang ada melalui pengaturan-pengaturan tersendiri. Karena sampai saat ini pengaturan 13

mengenai Ormas dikeluarkan pad tahun 1985 dan dikeluarkan pada kondisi politik yang berbeda, sehingga UU tersebut telah tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian. Negara wajib memenuhi tuganya melindungi kebebesan berserikat dan berkumpul yang dimiliki oleh warga negaranya dengan melakukan pengaturan bagi keberadaan Ormas yang sesuai dengan era saat ini yaitu era reformasi. Tugas terakhir yang harus dilakukan negara adalah memenuhi hak yang dimiliki warga negara dengan berperan aktif dalam pemenuhan tersebut, peran aktif yang dilakukan negara dapat diwujudkan dengan Pemberian fasilitas dan dukungan dalam rangka peningkatan keberdayaan atau pemberdayaan (empowerment) Ormas yang ada di Indonesia dalam menyelenggarakan kegiatan pelayanan masyarakat (public ser-vices). Walaupun kebebasan tersebut dapat diraih sebebas-bebasnya karena berkaitan dengan HAM orang lain, maka tentu saja akan terdapat pembatasan untuk menjalankan hak berserikat berkumpul. Pengaturan dan pembatasan yang dimaksudkan itu haruslah benar-benar didasarkan atas suatu reasonable ground (alasan rasional yang masuk akal) dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on Civil and Political Rights, E/CN.4/1985/4, secara tegas menyebut mengenai prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan pengurangan hak yang diatur di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Prinsip-prinsip ini dihasilkan oleh sekelompok ahli hukum internasional yang bertemu di Siracusa, Italia pada April dan Mei 1984. Di dalam prinsip ini disebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait. Prinsip ini menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang. 14

Berdasarkan Siracusa Principles, pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia hanya bisa dilakukan jika memenuhi kondisi-kondisi berikut: diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law); diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society); untuk melindungi ketertiban umum (public order/ordre public); untuk melindungi kesehatan publik (public health); untuk melindungi moral publik (public moral); Untuk melindungi keamanan nasional (national security); untuk melindungi keselamatan publik (public safety). Di dalam konstitusi Indonesia pembatasan HAM diatur dalam Ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi: "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis." Oleh karena itu, tidak ada pembatasan yang dapat dikenakan pada pelaksanaan hak untuk berkumpul, kecuali jika pembatasan tersebut dilakukan berdasarkan hukum, dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat, atau perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain. Begitu juga dengan hak untuk berserikat. Pembatasan hanya dapat

dilakukan jika berdasarkan hukum, dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat, atau perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain. Pengertian mengenai organisasi kemasyarakatan sebagaimana

dimaksud dalam UU Nomor 8 Tahun 1985 selama ini, menurut Rustam Ibrahim10 seringkali diasosiasikan dengan organisasi massa atau organisasi yang mempunyai anggota yang cukup besar (mass-based organizations). Dengan organisasi massa dimaksudkan misalnya seperti organisasi
10

Ibid, hal. 4.

15

pemuda, perempuan, buruh, organisasi berdasarkan etnis, sayap

partai

politik, organisasi sosial-keagamaan, dan lain-lain. Ada dua tipe organisasi massa, pertama yang didasarkan atas kepentingan bersama anggotaanggotanya (mutual interest, common interest) persamaan profesi. Kerancuan tersebut, misalnya terlihat jelas dari definisi yang dan kedua karena

dikemukakan di dalam Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia yang menyebutkan bahwa: Organisasi massa atau disingkat Ormas adalah suatu istilah yang digunakan di Indonesia untuk bentuk organisasi berbasis massa yang tidak bertujuan politis. Bentuk organisasi ini digunakan sebagai lawan dari istilah partai politik. Ormas dapat dibentuk berdasarkan beberapa kesamaan atau tujuan, misalnya: agama, pendidikan, sosial. Ketika UU Nomor 8 Tahun 1985 diberlakukan banyak lembaga

swadaya masyarakat (LSM) berupaya menghindari kontrol politik dari Orde Baru tersebut dengan mengatakan bahwa mereka tidak termasuk kategori Ormas karena mereka adalah Yayasan. Alasan tersebut dipakai karena Yayasan adalah organisasi badan hukum yang tidak berdasarkan asas keanggotaan (non-membership organization). Salah satu kerancuan pengertian Ormas tersebut akibat ketidakjelasan dalam norma UU Nomor 8 Tahun 1985. Definisi yang dalam undang-undang tersebut kelihatan mencakup semua organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat, baik organisasi berdasarkan keanggotaan ataupun organisasi tanpa anggota. Akan tetapi karena tidak diikuti kejelasan norma, maka seringkali ditafsirkan hanya mengatur organisasi berdasarkan keanggotaan. Dengan alasan penafsiran tersebut, sebagian besar LSM akan mengatakan bahwa mereka tidak termasuk yang diatur oleh undang-undang ini karena sebagian besar LSM di Indonesia berbentuk Yayasan (organisasi tanpa anggota) yang didirikan untuk kepentingan publik (public interest).11 Pada kerangka hukum, posisi Ormas memang tidak jelas. Saat ini,

hanya ada dua bentuk badan hukum untuk organisasi-organisasi yang

11

Ibid, hal. 6.

16

dikategorikan sebagai sektor nirlaba, yaitu perkumpulan (association) dan yayasan (foundation). Kegiatan sosial kemasyarakatan sesuai dengan UU No 8 Tahun 1985, hanya terwadahi pada dua jenis badan hukum (rechtperson), yakni yayasan (stichting) dan perkumpulan (vereneging). Yayasan diatur dalam UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Perkumpulan sebagai badan hukum masih diatur dalam Staatsblaad 1870 No. 64 (Stb 1870-64) tentang Perkumpulanperkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) yang merupakan keputusan Raja Belanda pada saat itu. Perkumpulan sebagai badan hukum mulai diakui dengan dikeluarkannya Keputusan Raja (Belanda) tanggal 28 Mei 1870 tentang PerkumpulanPerkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) yang dikenal dengan Staatsblaad 1870 Nomor 64 (Stb 1870-64). hanya dapat bertindak

Perkumpulan didirikan oleh sejumlah orang dan

sebagai badan hukum setelah diakui oleh Pemerintah melalui pejabat yang ditunjuk yang dalam hal sekarang ini adalah Menteri Hukum dan HAM. Setelah itu barulah Perkumpulan dapat melakukan tindakan-tindakan

perdata seperti membuat perjanjian dengan pihak lain. Sedangkan Buku Ketiga Undang-Undang Hukum Perdata pada Bab IX Buku I Ayat 1653 menyebutkan bahwa Perkumpulan adalah Perkumpulan orang-orang. Dapat dikatakan Stb 1870-64 memuat aturan mengenai perkumpulan dengan sangat sederhana. Pemerintah mengakui hak berserikat, memberi perlindungan hukum dengan memberikan status hukum beserta hak-hak perdata. Pemerintah hanya terlibat dalam pendaftaran dalam bentuk

pemberian status badan hukum, sedangkan pembubaran dilakukan melalui mekanisme peradilan. Untuk dapat diakui sebagai badan hukum

perkumpulan harus mempunyai statuta yang memuat tujuan, prinsip-prinsip dasar eksistensi, ruang-lingkup kegiatan, dan aturan-aturan lain yang dipakai (Pasal 2). Pemerintah dapat melakukan penolakan pengakuan hanya dengan alasan-

didasarkan atas

kepentingan umum dan harus disertai

alasan tertulis (Pasal 3). Meskipun Stb 1870-64 hanya mengatur mengenai perkumpulan-

perkumpulan berbadan hukum, namun demikian Stb 1870-64 ini tetap 17

mengenal dan mengakui perkumpulan yang tidak berbadan hukum. Akan tetapi bagi perkumpulan yang tidak berbadan hukum segala perbuatan dan tindakannya terhadap fihak ketiga akan dipandang sebagai perbuatan pribadi para pengurusnya. Perkembangan perkumpulan yang begitu pesat di Indonesia dengan beraneka-ragam kegiatan serta maksud dan tujuannya membuat Stb 187064 tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan. Dalam prakteknya banyak organisasi masyarakat yang sering disebut Rustam Ibrahim dengan organisasi masyarakat sipil yang mengajukan permohonan untuk diakui sebagai badan hukum tidak dapat diproses karena tidak diatur oleh regulasi tersebut. Antara lain seperti organisasi payung (umbrella organization) asosiasi-asosiasi atau jaringan Ormas yang tidak beranggotakan orang perseorangan melainkan organisasi badan hukum. Stb 1870-64 tidak mencantumkan secara eksplisit bahwa perkumpulan dapat beranggotakan badan hukum. Demikian pula halnya dengan organisasi-organisasi yang mempunyai anggota yang relatif besar (mass-based organization).

Organisasi-organisasi seperti ini hanya didaftarkan kepada notaris untuk memperoleh akte notaris yang dari sudut pandang legal belum dapat dikatakan sebagai badan hukum.12 Pengaturan badan hukum perkumpulan yang masih dalam bentuk Staatblads ternyata menyulitkan dalam tataran praktek. Karena jarang diketahui secara umum, bahkan terkadang seorang notaris juga tidak mengetahuinya, badan hukum perkumpulan pada masa sekarang ini jarang digunakan oleh orang-orang yang ingin bergerak di bidang sosial. Sebagian terbesar Ormas Indonesia menggunakan badan hukum Yayasan (Nugroho, 2007).13 Yayasan yang mulai diakui keberadaannya sebagai badan hukum sejak zaman kolonial Belanda (1870) merupakan non-membership organizations yang sebagian besar diantaranya tunduk kepada hukum Eropa dan

beberapa lain tunduk kepada hukum lain, seperti yayasan wakaf dalam hukum Islam. Sebelum disyahkannya UU Nomor 16 Tahun 2001
12 13

Ibid, hal. 6- 7. Ibid, hal. 7

18

sebagaimana diubah dengan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004

tentang Yayasan seluruh bentuk dan tata-cara pendirian yayasan di Indonesia hanya berdasarkan kepada praktek-praktek hukum dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung. Status hukum yayasan sebetulnya hanya berdasarkan keinginan atau kesepakatan para pendirinya yang dibalut dalam hukum perjanjian yang selanjutnya berkembang menjadi praktek hukum. Seperti halnya perkumpulan, tujuan pendirian yayasan pada awalnya adalah sosial, agama, pendidikan, dan kemanusiaan. Tetapi dalam praktek pada masa itu tidak ada pembatasan terhadap aktivitas yang bisa

diimplementasikan sebuah yayasan. Banyak yayasan digunakan sebagai unit penghasil keuntungan oleh para pendirinya. UU tentang Yayasan menetapkan definisi Yayasan sebagai badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Yayasan dapat didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan kekayaannya pendirinya sebagai kekayaan awal yayasan. Pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris dan yayasan memperoleh badan hukum setelah akta pendirian tersebut memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tujuan utama dari undang-undang yayasan adalah untuk

mempromosikan transparansi dan akuntabilitas di dalam tata-pengurusan yayasan. Undang-undang yayasan telah mendorong yayasan agar

transparan dan akuntabel. Semua yayasan yang memperoleh bantuan dana dari negara, bantuan luar negeri dan/atau pihak lain yang mencapai Rp500 juta (sekitar US $ 55,000) atau lebih, laporan keuangannya wajib diaudit akuntan publik, disusun sesuai dengan standar akkuntansi keuangan yang berlaku dan wajib mengumumkan ringkasan laporan keuangan tersebut kepada publik dalam salah satu suratkabar berbahasa Indonesia. Undangundang yayasan ini dipandang telah memberikan jaminan dan kepastian

19

hukum, serta memulihkan fungsi yayasan sebagai institusi nirlaba dengan tujuan sosial, agama, dan kemanusiaan. 14 Di samping Ormas yang berbadan hukum perkumpulan atau yayasan, Ormas dapat saja tidak memiliki badan hukum. Pengaturan mengenai Ormas yang tidak berbadan hukum ini, selama ini hanya dilakukan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). Ormas yang ingin mendaftar dan memperoleh pengakuan negara, dapat mendaftarkan diri ke Mendagri untuk memperoleh Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Sedangkan, Ormas yang tidak berbadan hukum dan tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh SKT, maka kepada mereka diberikan Surat Tanda Terima Pemberitahuan Keberadaan Organisasi (STTPKO). Selama ini, SKT seringkali menjadi syarat dalam fasilitasi dan pemberdayaan Ormas. Akibatnya, perkumpulan dan yayasan yang ingin berpartisipasi dan memberdayakan diri dengan fasilitasi pemerintah, tetap harus memiliki SKT. Meski telah memiliki badan hukum dan telah memenuhi persyaratan untuk melakukan perjanjian keperdataan, perkumpulan dan yayasan tetap harus memperoleh SKT yang sebenarnya bukan merupakan badan hukum yang diatur dalam undang-undang. Jadi, meskipun ada undang-undang yang mengatur tentang organisasi kemasyarakatan, badan hukum dinamika zaman. Sebagai yang tersedia tidak sesuai lagi dengan organisasi sosial yang tidak

contoh,

beranggotakan orang perseorangan namun beranggotakan organisasi berbadan hukum yang mengajukan permohonan untuk diakui sebagai badan hukum tidak dapat diproses karena tidak terdapat pengaturannya dalam Stb 1870-64. Pada konsep Ormas yang akan diatur dalam rancangan undang-undang ini, salah satu hal yang dipertimbangkan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3). Pasal 28 menyatakan, Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28E ayat (3) menyatakan,Setiap orang

14

Ibid, hal. 8.

20

berhak

atas

kebebasan

berserikat,

berkumpul,

dan

mengeluarkan

pendapat. Dari pertimbangan dalam UUD Tahun 1945 tersebut, maka pengaturan lebih lanjut mengenai kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat melahirkan peraturan perundang-undangan politik, yang di dalamnya termasuk mengenai organisasi-organisasi politik. organisasi-organisasi politik, kebebasan berserikat, Di luar dan

berkumpul,

mengeluarkan pendapat melahirkan organisasi masyarakat (Ormas). Pengertian Ormas secara umum adalah organisasi yang didirikan

dengan sukarela oleh warga negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan kesamaan tujuan, kepentingan, dan kegiatan, untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian Ormas tersebut dimaksudkan untuk mewadahi semua organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang dibentuk dengan tiga pilar dasar, yaitu kesamaan tujuan, kepentingan, dan kegiatan sebagai sarana untuk menyalurkan pendapat dan pikiran bagi anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia dan meningkatkan keikutsertaan secara aktif seluruh lapisan masyarakat dalam mewujudkan masyarakat Pancasila berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, dan sekaligus menjamin tercapainya tujuan nasional. Dalam kerangka hak asasi manusia dan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, maka Ormas dapat berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. Ormas yang berbadan hukum dapat memilih bentuk perkumpulan atau yayasan. Kedua bentuk Ormas tersebut berkaitan dengan pendirian, bahwa didirikan dengan Ormas yang berbadan berbasis hukum

Perkumpulan

persyaratan

keanggotaan.

Sementara, Ormas yang berbadan hukum yayasan didirikan dengan persyaratan tidak berbasis keanggotaan. Pada pendirian, maka persyaratan yang diberlakukan sesuai dan sinkron dengan pengaturan mengenai yayasan dan perkumpulan. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Pasal 9 diatur bahwa yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih. Karena itu, pada prinsip umum, maka pendirian Ormas dapat dilakukan oleh satu orang atau lebih. 21

Mengenai persyaratan pendirian lebih lanjut, maka Ormas yang berbadan hukum yayasan sesuai dengan persyaratan dalam UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Sementara, Ormas yang berbadan hukum perkumpulan dapat didirikan dengan persyaratan memiliki: akta pendirian; AD/ART; program kerja; sumber pendanaan; surat keterangan domisili; nomor pokok wajib pajak atas nama perkumpulan; pernyataan tidak berafiliasi kepada partai politik; pernyataan tidak sedang dalam sengketa kepengurusan atau dalam perkara di pengadilan; dan pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan dari menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan tersebut dilakukan setelah meminta pertimbangan dari instansi yang terkait. Salah satu

pertimbanganya, instansi terkait lebih memiliki aparatur yang dapat memberikan pertimbangan terhadap ruang lingkup kegiatan ormas tersebut. Dalam rangka mengoptimalkan peran dan fungsi Ormas, maka Ormas yang berbadan hukum perkumpulan atau yayasan diperbolehkan untuk menggabungkan diri dalam wadah bersama. Untuk tetap memberikan kebebasan dalam pembentukan Ormas, maka wadah bersama yang dibentuk tersebut tidak bersifat tunggal dan memonopoli keseluruhan lingkup kegiatan dan kerja Ormas. Dalam kerangka pemberitahuan kepada negara, maka Ormas berbadan hukum secara otomati terdaftar setelah memperoleh pengesahan mengenai badan hukum yang dimiliki. Sementara, pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum dilakukan dengan pemberian surat keterangn terdaftar (SKT) oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan persyaratan: akta pendirian; AD dan ART; program kerja; kepengurusan; surat keterangan domisili; nomor pokok wajib pajak atas nama Ormas; surat pernyataan tidak berafiliasi kepada partai politik; pernyataan tidak sedang dalam sengketa kepengurusan atau dalam perkara di pengadilan; dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan. Kelembagaan pemerintah yang berwenang memberikan SKT diatur sesuai dengan ruang lingkup kegiatan dan wilayah kerja Ormas berdasarkan pada ruang lingkup pemerintahan. SKT dapat diterbitkan oleh Menteri, 22

gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangan. Pengaturan ini dilakukan sesuai dengan ketentuan pendesentralisasian urusan pemerintahan dan otonomi daerah. BAGAN I TENTANG ORGANISASI MASYARAKAT (ORMAS)

PASAL 28 UUD NRI TAHUN 1945

ORGANISASI POLITIK [PARPOL]

ORGANISASI MASYARAKAT [ORMAS]

BADAN HUKUM

TIDAK BADAN HUKUM

PERKUMPULAN [Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan] CONTOH: Muhammadiyah NU Al-Irsyad Persatuan Islam PGI KWI PITI Subud

YAYASAN (UU No.28/2004 tentang Perubahan atas UU No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan) Contoh: Yayasan Al-Khairat Yayasan GMIM Ds. A.Z.R. Wenas Tomohon Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) YLBHI YLKI Yayasan Jantung Indonesia (YJI) Yayasan Jurnalis Independen

TERDAFTAR [Surat Keterangan Terdaftar/SKT] [PP No. 18/1985 & Permendagri No. 5/1986] Contoh: Nahdlatul Wathan DPP LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) Paguyuban Sumarah Wanita Syarikat Islam Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKIi) Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari)

MEMBERITAHU [Surat Tanda Terima Keberadaan Organisasi/STTPK O]


[PP No. 18/1985 & Permendagri No. 5/1986]

Contoh: Gerakan Indonesia Bersatu (Suko Sudarso) Organisasi Kerukunan/ Paguyuban Komunitas Hobi Kelompok Tani/ Nelayan Ormas Yang Belum/Sebelum Mendaftar SKT

23

B.

DINAMIKA ORGANISASI MASYARAKAT

Sejarah

berdirinya

organisasi

kemasyarakatan

diawali

dengan

munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang senang berkumpul. Tujuan dari kelompok masyarakat ini pada awalnya untuk pencerahan dan

memerangi keterbelakangan yang dialami bangsanya. Tetapi gerakan tersebut belum merupakan suatu organisasi dan belum memberikan nama yang kongkrit menjadi suatu perkumpulan serta belum ada bimbingan administrasi dan organisasi.Pada perkembanganya, kelompok-kelompok masyarakat tersebut menjadi perkumpulan dan selanjutnya menjadi kelompok-kelompok yang lebih terorganisasi yang disebut dengan

organisasi kemasyarakatan. Organisasi masyarakat tidak terlepas dari masalah kekuatan massa,

sedangkan inti kekuatan adalah keutuhan persatuan di kalangan massa itu sendiri. Adapun persatuan massa dibangun melalui alat pengikat mereka yaitu ideologi dan organisasi. Ideologi berfungsi sebagai pengikat aspirasi dan kepentingan massa melalui gambaran cita-cita kemasyarakatan dan politik yang tergambar di dalamnya. Dalam pada itu organisasi berguna sebagai pembimbing dan penggerak massa untuk merealisasikan aspirasi dan kepentingan seperti yang tergambar di dalam ideologi tersebut. 15 Perkembangan unsur-unsur inti kekuatan massa mengalami fluktuasi di sepanjang sejarah politik Indonesia. Pada awal kemerdekaan, ideologi dan organisasi massa dikembangkan sedemikian rupa sehingga pada masa itu dianggap sebagai periode subur bagi ideologi dan organisasi massa. Secara selektif penggunaan ideologi dan organisasi di dalam kehidupan politik ditingkatkan oleh elit politik pada masa demokrasi terpimpin. Seleksi tersebut misalnya terlihat dari pengucilan terhadap beberapa bentuk

ideologi dan organisasi seperti, sosialisme dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan organisasi-organisasi massa bawahannya, ideologi Islam modern yang didukung oleh Masyumi sebagai partai beserta organisasi massa di bawahnya, demikian juga ideologi dan Partai Murba beserta organisasi
Arbi Sanit, Swadaya Politik Masyarakat Telaah tentang Keterkaitan Organisasi Masyarakat, Partisipasi Politik, Pertumbuhan Hukum dan Hak Asasi, hal 12.
15

24

masyarakat di bawahnya.16 Pada masa pemerintahan Orde Baru peranan ideologi ditingkatkan kembali setelah mengalami stagnasi sejak pergantian sistem politik atau pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Peningkatan ini terlihat dari keserentakkan upaya pemanfaatan Pancasila sebagai satu-satunya asas (asas tunggal), sehingga ideologi lain tidak boleh dipergunakan dalam kehidupan masyarakat. Pemerintah Orde Baru pada waktu itu mengadakan serangkaian pembaharuan terkait dengan organisasi massa, antara lain dengan

melarang organisasi massa Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diikuti dengan pembersihan pengaruh PKI di dalam organisasi massa yang pernah bekerja sama atau mendukung PKI. Demikian juga melakukan kebijakan pemutusan hubungan permanen di antara partai politik dan organisasi

massa melalui kebijakan massa mengambang menjelang pemilihan umum (Pemilu) tahun 1971. Kebijakan tersebut di atas ternyata membawa posisi partai politik lemah dalam menghadapi Golongan Karya (Golkar), sehingga berakibat partai dan organisasi kehilangan massa yang mendukung massanya. partai politik berangsur-angsur

kekuatan

Sebaliknya,

Golkar mengukuhkan

organisasi massa pendukungnya sambil mengembangkan organisasi massa pemuda, seperti organisasi Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), dan sebagainya. Organisasi pemuda tersebut secara formal memang terpisah dari Golkar akan tetapi secara aktual merupakan pendukung setia Golkar. Dalam perkembangan selanjutnya terjadi pemutusan hubungan

permanen organisasi massa dengan partai yang didukungnya yang ditandai dengan penghimpunan organisasi massa sejenis di bawah satu organisasi induk. Contohnya, penggabungan serikat-serikat buruh di bawah Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI), organisasi-organisasi petani bergabung di bawah Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), organisasi-organisasi pemuda bergabung dibawah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).17
16 17

Ibid, hal.13 Ibid, hal. 14

25

Dari gambaran tersebut di atas dapat dikatakan bahwa keberadaan organisasi kemasyarakatan bukanlah suatu hal atau gejala yang baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Seiring dengan tumbuhnya demokrasi sejak awal pemerintahan Orde Baru organisasi kemasyarakatan mulai bermunculan seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan masyarakat secara keseluruhan. Organisasi yang muncul pada saat itu kebanyakan berupa lembaga-lembaga pembelaan sebagai suatu bentuk dari proses hukum yang ada di Indonesia, misalnya Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan sebagainya. Peradin banyak dimanfaatkan oleh masyarakat kurang mampu untuk melakukan masyarakat. pembelaan dalam masalah hukum yang dihadapi oleh Demikian juga dengan LBH dikembangkan untuk

mengembangkan pembelaan secara terarah kepada masyarakat dalam menghadapi permasalahan sosial. Organisasi kemasyarakatan ini pada umumnya dibina oleh universitas-universitas. Pada jaman Orde Baru banyak kegiatan organisasi yang bertujuan untuk memberikan bantuan sosial sebagai salah satu upaya pembelaan dan merupakan salah satu aktivitas sosial untuk menanggulangi ketimpangan sosial. Organisasi ini bersama dengan kegiatan yang mengaktifkan potensi masyarakat untuk mengembangkan dirinya secara swadaya, seperti yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Semuanya ini merupakan gerakan masyarakat untuk mengaktifkan masyarakat dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional secara menyeluruh. Pertumbuhan organisasi kemasyarakatan (Ormas) sangat pesat setelah jatuhnya kekuasaan pemerintahan Orde Baru. Pada kurun waktu tahun 2000-2005 paling tidak terdapat 118 (seratus delapan belas) organisasi profesi, 69 (enam puluh sembilan) organisasi keagamaan dan 873 (delapan ratus tujuh puluh tiga) lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Namun seiring dengan pertumbuhan kebebasan berorganisasi dan terjadinya penurunan kepatuhan kepada pemerintah, maka banyak Ormas yang tidak lagi mendaftarkan diri ke Depdagri, sehingga jumlah Ormas yang terdaftar tidak lagi mendekati realitas yang sesungguhnya ada. 26

Walaupun UU No. 8 Tahun 1985 belum dicabut, namun pemerintah tidak memiliki kekuatan untuk melaksanakannya, sehingga pengaturan tentang organisasi kemasyarakatan antara ada dan tiada yang menyebabkan Ormas dapat tumbuh subur dan melakukan aksi-aksinya secara bebas bahkan pada akhirnya kekuatan massa dapat menjadi kekuatan politik (menjadi kelompok penekan dan bermain dalam politik umum). Gerakan organisasi

kemasyarakatan bahkan kadang-kadang dapat menjadi penekan dan memengaruhi kebijakan politik nasional. Hal tersebut terjadi karena banyak Ormas yang dibentuk hanya untuk kepentingan sesaat, tidak jelas asas dan tujuannya. Bahkan, dalam menghadapi beberapa kasus kekerasan/anarkhis yang dilakukan oleh Ormas, aparat penegak hukum kelihatannya mengikuti logika hukum

dialektika, bahwa segala praktek-praktek kekerasan/anarkhis dari kelompok tertentu akan melahirkan balasan/resistensi dari kelompok lain. Penerapan logika hukum dialektika dalam praktek-praktek kekerasan tentunya akan selalu menimbulkan keresahan dalam masyarakat karena akan terjadi konflik sesama anggota masyarakat/kelompok masyarakat.

27

BAB III KAJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ORGANISASI MASYARAKAT

Kajian terhadap organisasi masyarakat (Ormas) dari aspek yuridis bertujuan untuk mengetahui peraturan perundang-undangan pada undang-undang yang mengatur subtansi yang berkaitan dengan organisasi kemasyarakatan. Kajian ini dilakukan untuk mengetahui sinkronisasi pengaturan tentang Ormas dalam berbagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dari kajian tersebut diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan pemikiran di dalam membentuk undang-undang baru mengenai Ormas. Dengan demikian, Ormas dapat berkembang dan berpartisipasi seluas-luasnya dalam perannya sebagai wadah aspirasi bagi masyarakat dan penyeimbang

masyarakat dengan pemerintah. Undang-undang yang berkaitan dengan Ormas, antara lain:

1. Undang-Undang

Nomor

32

Tahun

2009

tentang

Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dikenal adanya organisasi lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 1 angka 27 mendefinisikan Organisasi Lingkungan Hidup, yaitu kelompok orang yang terintegrasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup. Selanjutnya, dalam Pasal 92, diatur pula hak organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan terkait kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dalam undang-undang ini, Ormas di bidang lingkungan hidup mengatur tentang keterkaitan organisasi tersebut dalam kepentingan pelestarian

fungsi lingkungan hidup dan tidak mengatur secara khusus tentang organisasi lingkungan hidup.

28

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ormas merupakan salah satu wujud dari partisipasi masyarakat dalam mengembangkan demokrasi dalam upaya menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan, kebersamaan, dan kejujuran. Ormas merupakan organisasi yang dibentuk oleh sekelompok Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara. Secara khusus Pasal 24 mengatur hak setiap orang untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai dan mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi lain yang berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 hanya mengatur prinsip-prinsip tentang hak dasar bagi setiap orang untuk berserikat dan menyebutkan nomenklatur lembaga swadaya masyarakat walaupun tidak mengaturnya secara khusus.

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Dalam mencapai tujuan politiknya, partai politik memerlukan dukungan dari beberapa organisasi yang ada di masyarakat. Maka ,dalam Pasal 12 huruf j diatur ketentuan bahwa partai politik berhak untuk membentuk dan mendirikan organisasi sayap partai politik. Dalam penjelasan Pasal 12 huruf j dijelaskan bahwa organisasi sayap partai politik merupakan organisasi yang dibentuk oleh dan/atau menyatakan diri sebagai sayap partai politik sesuai dengan AD dan ART masing-masing partai politik. Organisasi yang mendukung sebuah partai politik pada akhirnya tentu menjadi underbouw sebuah partai politik atau organisasi sayap politik. Organisasi yang demikian tentunya harus dibedakan dari Ormas yang bukan sebagai organisasi sayap politik atau underbouw salah satu partai politik.

29

4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Dalam Undang-Undang tentang Advokat, Pasal 1 angka 4 menyebutkan Organisasi Advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan undang-undang ini. Selanjutnya dalam Bab X Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 mengatur secara khusus tentang pendirian organisasi profesi advokat. Adapun pengaturan tentang organisasi profesi advokat yaitu sebagai sebuah organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan profesi. Adapun organisasi yang dibentuk oleh para advokat tersebut, misalnya Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), dan sebagainya. Keberadaan organisasi ini tentu harus mendapat perhatian dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang yang mengatur tentang Ormas, karena keberadaan Ormas berdasarkan profesi ini masuk dalam ruang lingkup organisasi masyarakat.

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Keberadaan Undang-Undang yang mengatur otonomi daerah ini sangat terkait dengan keberadaan Ormas, mengingat keberadaan organisasi masyarakat tidak hanya ada di tingkat pusat saja, melainkan juga ada yang didirikan di daerah provinsi dan kabupupaten/kota. Adanya otonomi daerah akan sangat menentukan keberadaan Ormas yang ada di daerah tersebut untuk dapat berperan serta dalam pelaksanaan pembangunan di daerah. Peran serta Ormas tentu harus ditunjang dengan suatu kebijakan yang diberikan oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupupaten/kota kepada Ormas dalam bentuk fasilitasi, kemitraan, dan pendanaan.

6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan. Undang-undang tentang Yayasan harus diperhatikan keberadaannya, karena banyaknya Ormas yang disebut lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan berbentuk badan hukum yayasan. Dengan adanya organisasi

kemasyarakatan yang berbadan hukum yayasan maka dapat disimpulkan terjadi tumpang tindih pengaturan Ormas di tingkat undang-undang. 30

7. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Keberadaan undang-undang ini terkait dengan Ormas berdasarkan profesi, yaitu profesi kedokteran atau kedokteran gigi. Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat. Adapun organisasi profesi tersebut adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk dokter gigi. Namun organisasi yang berkaitan dengan profesi kedokteran tidak diatur langsung, karena undang-undang ini hanya mengatur tentang konsil kedokteran yang membina profesi kedokteran dan meningkatkan mutu layanan medis. Pasal 14 Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran menyebutkan Konsil Kedokteran terdiri atas anggota-anggotanya termasuk organisasi profesi kedokteran, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, dan asosiasi rumah sakit.

8. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai Ormas yang dibentuk berdasarkan kesamaan pekerjaan yang disebut serikat pekerja/serikat buruh. Pasal 1 angka 17 menyebutkan, serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab guna memperjuangkan,

membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

9.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan Pada ketentuan umum Pasal 1 angka 11 mendefinisikan Organisasi Kepemudaan adalah wadah pengembangan potensi pemuda. Selanjutnya Pasal 24 ayat (2) menyebutkan pemberdayaan pemuda difasilitasi melalui organisasi kepemudaan. organsasi Secara khusus diatur pula prinsip-prinsip langsung 31

pembentukan

kepemudaan,

namun

tidak

diatur

ketentuan mengenai status badan hukum dan kementerian yang menjadi pembina organisasi kepemudaan ini.

10. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka Pada saat pembentukannya telah jelas bahwa organisasi ini merupakan penyatuan 60 Ormas yang bergerak di bidang kepanduan yang fasilitasi oleh pemerintah melalui Keppres 238 tahun 1960 tentang Gerakan Pramuka. Undang-undang ini merupakan intrumen hukum yang menetapkan sebuah Ormas menjadi organisasi yang menjadi bagian dari negara.

11. Undang-Undang Nomor Konsumen

88 Tahun 1999

tentang Perlindungan

Ketentuan umum Pasal 1 angka 9 menyebutkan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Selanjutnya, Pasal 36 menyebutkan peran

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat sebagai unsur dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. 12. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 1 angka 5 menyebutkan organisasi notaris adalah organisasi profesi jabatan notaris yang berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum. Dalam undang-undang ini organisasi profesi jabatan notaris mempunyai peran memberikan pertimbangan kepada menteri tentang formasi jabatan notaris dan menjadi anggota Majelis Pengawas Notaris. Diatur pula Bab X yang mengatur prinsip-prinsip organisasi notaris, tetapi organisasi masih tunduk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkumpulan.

13. Undang-Undang Nomor Industri

1 Tahun 1987

tentang Kamar Dagang dan

Dalam Pasal 1 angka huruf a menyebutkan Kamar Dagang dan Industri adalah wadah bagi pengusaha indonesia dan bergerak dalam bidang 32

perekonomian yang menghimpun organisasi pengusaha maupun pengusaha yang tidak tergabung dalam organisasi pengusaha. Organisasi Kadin merupakan organisasi non-pemerintah dan non-politik, serta tidak mencari keuntungan. Dalam undang-undang ini tidak diatur syarat pendirian dan bentuk badan hukumnya.

14. Staatsblad 1870 No. 64 (Stb. 1870-64) tentang Perkumpulan Staatsblad 1870 No. 64 adalah peraturan perundang-undang yang dibentuk oleh pemerintah Hindia-Belanda yang mengatur pendirian tentang perkumpulan. Sampai dengan saat ini, Staatsblad 1870 No. 64 masih eksis dan menjadi dasar pendirian organisasi perkumpulan.

33

BAB IV DASAR FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

A.

DASAR FILOSOFIS Penyempurnaan dan penggantian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan diperlukan untuk penyempurnaan pengaturan untuk menjamin hak setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sesuai dengan Tahun 1945.

Penggantian dan penyempurnaan pengaturan tentang Ormas merupakan keniscayaan bagi masyarakat dan Ormas melaksanakan haknya yang selaras dengan tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Negara menjamin setiap warga negara dalam perbedaan dan

kemajemukan. Indonesia sebagai bangsa yang berbhinneka yang terdiri dari pelbagai macam suku dan sub suku bangsa dan etnis, keberagaman agama dan kepercayaan, dan pelbagai macam profesi dalam masyarakat. Keberagaman tersebut memerlukan pengaturan yang optimal hingga dapat menjadi potensi perekat dalam perlindungan negara terhadap warga negara dan mendorong partisipasi masyarakat dalam mencapai tujuan nasional, serta semakin memantapkan kesadaran kehidupan berbangsa dan

bernegara. Dalam upaya mensukseskan pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia menuju cita-cita nasional bangsa Indonesia yaitu menuju masyarakat yang adil dan makmur, maka setiap hak asasi warga negara khususnya berserikat dan berkumpul, maka negara menjamin dan memfasilitasi aktivitas masyarakat, seperti melalui

organisasi masyarakat. Ormas mempunyai peranan yang sangat penting 34

dalam meningkatkan keikutsertaan secara aktif seluruh lapisan masyarakat dalam rangka menjamin pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa, menjamin keberhasilan pembangunan nasional, dan menjamin tercapainya tujuan nasional. Peran individu untuk dapat berpartisipasi secara efektif di dalam demokrasi sangat erat kaitannya dengan pengembangan pribadi yang berasal dari konsep kewarganegaraan yakni dalam suatu tatanan yang demokratis sebagai pengembangan moral yang memperoleh perasaan tanggung jawab yang lebih matang setiap tindakan individu tersebut. Kesadaran yang lebih mendalam terhadap orang lain yang akan terkena dampak dari tindakan tersebut, dan kemauan yang lebih besar untuk merenungkan dan memperhatikan akibat dari tindakan tersebut bagi lingkungan sekitar. Setiap individu harus menikmati suatu tingkat otonomi pribadi yang tinggi di dalam keputusan perseorangan dan bersama, dan berkaitan erat dengan pengembangan diri agar individu dan masyarakat secara sekaligus berkembang ke arah kehidupan bersama yang terus meningkat taraf kehidupannya. Otonomi pribadi merupakan konsep dimasukkannya orang sebagai warga negara penuh dalam suatu tatanan yang demokratis untuk menentukan nasib sendiri.18 Tanpa otonomi pribadi sudah pasti warga negara tidak bisa hidup di bawah pemerintahan yang dipilihnya sendiri dan berdampak pada ketidakmampuan warga negara tersebut untuk dapat menentukan nasib sendiri. Oleh sebab itu otonomi pribadi harus

dikembangkan dengan melibatkan setiap individu untuk menafsirkan kepentingan pribadi dan terlibat di dalam proses pembentukan kebijakan. Otonomi pribadi tidak dapat dipisahkan dari keberadaan otonomi norma selaku pengontrol dalam pelaksanaan otonomi pribadi.19 Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan otonomi pribadi seorang individu tidak merugikan atau membuat pihak lain merasa kepentingannya tidak diakomodasi baik karena posisi yang tidak menguntungkan di dalam struktur masyarakat misalnya mayoritas ataupun karena keterbatasan di dalam
Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics, New Haven & London: Yale University Press, 1989, hlm. 145. 19 Ibid.
18

35

kemampuan

menafsirkan

dan

menemukan

cara

untuk

mencapai

kepentingannya. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada orang dewasa yang lebih baik dalam menafsirkan kepentingannya sendiri dibandingkan orang lain. Oleh karena itu pula, klaim yang mengatakan bahwa adanya orang yang lebih bisa menafsirkan dan memahami kepentingan orang lain karena memiliki pengetahuan dan kebajikan yang unggul daripada orang lain tidak dapat dibenarkan secara pasti. Di samping itu, keterlibatan setiap orang dewasa di dalam menafsirkan kepentingan pribadi masing-masing harus pula memiliki dasar moral (otonomi moral) di dalam menilai kepentingan pribadi dan kepentingan orang lain. Adanya otonomi moral yang menekankan tanggung jawab, kesadaran kepentingan orang lain, toleransi dan lain sebagainya di dalam kehidupan memberikan manfaat bagi keharmonisan di dalam kehidupan bersama. Melalui otonomi pribadi setiap individu dapat memenuhi kepentingan pribadi dan memuaskan kebutuhan hidupnya, dan melalui otonomi moral akan terbentuk kehidupan masyarakat yang harmonis, tentram dan damai. Melalui otonomi pribadi yang diiringi dengan otonomi moral, maka setiap warga negara dapat melakukan setiap usaha untuk mewujudkan setiap

kepentingan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui sebuah kelompok. Negara yang paling demokratis, menurut Alexis Tocqueville dalam tulisannya yang berjudul De La Democratie en Amerique (Democracy in America), adalah negara yang di dalamnya terdapat orang-orang yang secara berkelompok mengejar tujuan yang diharapkan bersama dan hal tersebut diterapkan untuk tujuan yang sangat banyak. Melalui kelompok yang didirikan bersama tersebut, rakyat yang secara individu tidak mampu atau sulit meraih hal-hal besar sendirian akan lebih mudah

mengusahakannya secara berserikat. Kelompok tersebut didirikan secara swadaya. Pentingnya prinsip keswadayaan adalah menjaga independensi dari kelompok yang telah didirikan oleh masyarakat tersebut.20
20

Alexis de Tocqueville, Tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat, disunting oleh John Stone dan Sthepen Mennel, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 2005, hlm. 116.

36

Kelompok tersebut dibentuk tidak hanya berupa perusahaan komersil ataupun penghasil barang dan tempat. Kelompok ini dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan dari setiap anggotanya. Kegunaan yang paling penting dari kelompok ini bagi masyarakat adalah untuk melakukan pendidikan bagaimana menjadi warga negara di masyarakat yang bebas. Masih menurut Tocqueville, keberadaan organisasi sosial ini merupakan penyedia kesejahteraan masyarakat karena kemampuan perkembangan ekonomi yang dapat memuaskan kebutuhan masyarakat dari berbagai strata sosial bergantung pada sektor nirlaba. Ketika sebuah negara menyebut demokrasi sebagai prinsip yang dianut dalam menjalankan kepemerintahan, maka organisasi masyarakat yang

akan didirikan harus bersifat swadaya (sukarela), independen, nirlaba, memberikan pemahaman bagi masyarakat atas kewajiban dan haknya sebagai warga negara yang bebas, ormas tersebut juga harus mampu menjadi motor penggerak anggotanya untuk mencapai kesejahteraan bersama. Kebebasan berserikat dan berkumpul harus diatur dalam UUD 1945 karena merupakan hak salah satu bentuk natural rights yang bersifat fundamental dan melekat dalam kehidupan bersama umat manusia. Hal tersebut karena manusia merupakan makhluk sosial yang selalu mempunyai

kecenderungan untuk bermasyarakat, dan dalam bermasyarakat itu perilaku setiap orang untuk memilih teman dalam hubungan-hubungan sosial merupakan sesuatu yang alami sifatnya. Kebebasan orang untuk berkumpul dan berserikat menyangkut kebebasan untuk menentukan pilihan berorganisasi dengan atau ke mana. Artinya, seseorang harus secara sukarela menentukan sendiri kehendak bebasnya itu, tidak karena dipaksa ataupun digiring orang lain untuk mengikuti suatu organisasi. Hak kebebasan berkumpul merupakan salah satu hak yang penting dalam sistem demokrasi karena dalam demokrasi kebebasan berkumpul

37

merupakan hak yang masuk dalam kategori kebebasan negatif.21 Jaminan hanya diberikan pada warga negara yang melakukan kebebasan

berkumpulnya secara damai, oleh karena itu ketika kebebasan berkumpul dijalankan dengan cara anarkis maka tidak terdapat jaminan baginya, baik melalui UU maupun tindakan negara. Sedangkan dalam kebebasan berserikat, merupakan hak yang paling penting dalam suatu sistem demokrasi karena berserikat merupakan jantung dari sistem demokrasi, dengan berserikat maka warga negara dapat meraih hal-hal yang tidak mungkin dicapainya ketika berdiri sebagai individu. Hak berserikat merupakan hak yang berada dalam ranah kebebasan negatif. Dalam kebebasan berserikat dijamin juga kebebasan berorganisasi yang kemudian juga menjamin kebebasan bagi warga negara untuk mendirikan atau bergabung dalam organisasi manapun.

B.

DASAR SOSIOLOGIS Masyarakat merupakan kumpulan dari individu-individu yang mendiami atau menguasai suatu wilayah dan melakukan interaksi antar individu dengan lingkungannya, sehingga akan menimbulkan saling ketergantungan karena pada hakekatnya manusia itu tidak dapat hidup sendiri dan tidak dapat menyelesaikan persoalannya serta memenuhi kebutuhannya sendiri. Saling interaksi individu-individu inilah mereka akan membentuk kelompokkelompok kecil untuk memenuhi kebutuhan mereka di dalam kelompok tersebut. Kelompok mereka. Selanjutnya melalui hubungan antar kelompok akan terbentuk kesatuan sosial yang lebih besar lagi untuk mencapai kepentingan atau tujuan yang lebih besar lagi, sehingga dengan adanya kelompok yang lebih besar lagi, yaitu kelompok masyarakat. Dengan kebersamaan dan kerjasama, maka semakin memudahkan pencapaian tujuan bersama antara lain kehidupan yang lebih tertib, aman, damai dan sejahtera. tersebut mengadakan pembagian kerja di antara

21

Yang dimaksudkan dengan kebebasan negatif adalah kebebasan tersebut berada dalam ruang lingkup dimana seseorang harus dihormati untuk menjadi atau melakukan sesuatu seperti yang dikehendakinya tanpa ada paksaan atau larangan dari pihak lain.

38

Untuk menghindari konflik dan perseteruan di antara kelompok dan untuk terciptanya keamanan dan ketertiban, maka diperlukan kesepakatan bersama. Kesepakatan tersebut berupa perangkat peraturan dan hukum yang menjadi pegangan bersama agar tidak menimbulkan kekacauan dan ketidakberaturan dalam kehidupan bersama. Modal sosial dalam masyarakat adalah masyarakat itu sendiri dengan keberagaman dan potensi sosial yang ada. Di dalam masyarakat terdapat pelbagai macam kultur, yang didasarkan atas lingkungan di mana masyarakat itu berada, apakah dilihat dari etnis, asal daerah atau tempat tinggal, agama dan kepercayaan, serta dari pelbagai profesi atau pekerjaan, status sosial dan strata sosial, serta peranannya dalam kehidupan bermasyarakat. Modal sosial juga adalah bagaimana mengolah sumber daya alam dan lingkungan hidup yang menjadi potensi kekuatan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Modal sosial ini akan tercapai maksudnya jika sistem hukum tentang pengaturan masyarakat khususnya tentang Ormas mengalami pengaturan kembali berdasarkan kebutuhan jangka panjang dari sebuah Ormas. Berdasarkan perkembangan Ormas dan persoalan-persoalan yang berkembang serta aspirasi dan kritikan dan harapan masyarakat, maka sebuah organisasi harus memiliki kepemimpinan dan

pertanggunganjawaban keuangan yang akuntabel. Kepemimpinan yang baik akan diikuti dengan bagaimana organisasi itu dapat mengolah keuangannya dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan kepada anggotanya dan jika dibutuhkan dapat diketahui secara akuntabel sebagai bentuk keterbukaan dan menguji kepercayaan masyarakat pada organisasi yang berdiri. Pertanggungjawaban keuangan juga merupakan bagian dari mempertanggungjawabkan keuangan yang berasal dari bantuan

pemerintah dalam memberdayakan organisasi-organisasi yang mendukung pembangunan nasional ataupun pembangunan di daerah. Gejolak sosial yang ditimbulkan oleh kepentingan Ormas dapat berbentuk meningkatnya pertentangan di dalam anggota Ormas itu sendiri, adanya gesekan antar Ormas yang satu dengan lainnya, adanya tingkatan konflik sosial khususnya jika terjadinya perbenturan antar warga 39

masyarakat atas dasar kepentingan organisasi masing-masing. Gejolak sosial yang lebih perlu disikapi adalah ketika Ormas telah melakukan pelanggaran dan tidak memedulikan hak asasi manusia, seperti ancaman terhadap hak kehidupan manusia. Pada saat ini, seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi serta berkembangnya organisasi dari organisasi tradisional menjadi organisasi modern, maka dibutuhkan sistem informasi data tentang Ormas dengan berbasiskan data dasar. Data dasar tersebut akan menjadi akses bagi kepentingan dan kebutuhan setiap orang dalam mempelajari Ormas dalam keikutsertaan untuk meningkatkan partsipasi masyarakat dalam berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dan pendapat serta dalam berjejaring.

C.

DASAR YURIDIS Ormas memiliki sejarah yang panjang, bahkan jauh sebelum

kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Secara yuridis, keberadaan Ormas juga telah diatur sebelum adanya UndangUndang Dasar 1945. Sebagai dasar hukum, pendirian Ormas seperti perkumpulan telah diatur dalam Staatsblad 1870 No. 64 (Stb. 1870-64) tentang Perkumpulan sebagai peraturan perundang-undangan yang

dibentuk oleh pemerintah Hindia-Belanda. Selanjutnya, dasar yuridis pembentukan Ormas telah diberikan landasan yang kokoh dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3). Pasal 28 menyatakan,

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28E ayat (3) menyatakan,Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Secara internasional, kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul juga diakui sebagai salah satu hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia se Dunia (Universal Declaration of Human Right) pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi ini merupakan suatu pelaksanaan umum yang baku bagi semua bangsa dan negara, yang 40

kemudian

diumumkan

dan

disetujui

oleh

Resolusi

Majelis

Umum

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 217 A (III) 10 Desember 1948 yang seluruhnya terdiri dari 30 Pasal. Adapun Pasal yang terkait dengan kebebasan berserikat dan berkumpul adalah Pasal 20 yang pada ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat. Sedangkan pada ayat (2) menyebutkan bahwa tidak seorangpun dapat dipaksa memasuki suatu perkumpulan.22 Keberadaan Ormas di Indonesia selama ini diatur dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Secara lebih spesifik, Ormas yang berbentuk perkumpulan tetap berdasarkan Staatsblad 1870 No. 64 (Stb. 1870-64) tentang Perkumpulan, dan berbentuk badan hukum nirlaba berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan. Pada saat ini, pengaturan Ormas berdasarkan undang-undang tersebut saudah tidak sesuai lagi dengan dinamika masyarakat. Karena itu, perlu adanya undang-undang yang mengatur Ormas secara lebih komprehensif sehingga Ormas dapat berkembang dan berpartisipasi seluas-luasnya dalam pelaksanaan pembangunan dan mencapai tujuan nasional Indonesia.

22

Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Depdagri, hal.8.

41

BAB V MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG ORGANISASI MASYARAKAT

Berdasarkan landasan pemikiran dan kajian mengenai Ormas, maka pokok-pokok materi muatan dalam Rancangan Undang-Undang tentang

Organisasi Masyarakat adalah sebagai berikut:

Bab I

: KETENTUAN UMUM Bab ini memuat tentang pengertian atau definisi umum mengenai istilah yang digunakan dalam Rancangan Undang-Undang ini. Organisasi masyarakat yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dengan sukarela oleh warga negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan kesamaan tujuan,

kepentingan, dan kegiatan, untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian Ormas tersebut dimaksudkan untuk mewadahi semua organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang dibentuk dengan tiga pilar dasar, yaitu kesamaan tujuan, kepentingan, dan kegiatan sebagai sarana untuk menyalurkan pendapat dan pikiran bagi anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia dan meningkatkan masyarakat berdasarkan keikutsertaan dalam secara aktif seluruh lapisan Pancasila dan sekaligus

mewujudkan

masyarakat 1945,

Undang-Undang

Dasar

menjamin tercapainya tujuan nasional. Pada ketentuan umum ini, diatur pula mengenai pengertian Organisasi Masyarakat Asing adalah organisasi yang bersifat nirlaba yang didirikan oleh warga negara asing, dan melakukan kegiatan di Indonesia.

42

Pengertian Organisasi Mayarakat Asing tersebut dimaksudkan untuk memberikan batasan umum mengenai Organisasi Mayarakat Asing yang melakukan kegiatan di Indonesia. Pada RUU ini, pengaturan mengenai Organisasi Mayarakat Asing merupakan norma baru dalam undang-undang karena sebelumnya tidak ada ketentuan yang mengatur secara spesifik mengenai keberadaan dan operasionalisasi kegiatannya di Indonesia. Bab II : ASAS, CIRI, DAN SIFAT Bab ini memuat tentang asas yang mendasari pendirian Ormas, yaitu asas yang tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Ormas dapat mencantumkan ciri tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ormas memiliki sifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan tidak berafiliasi pada partai politik. Ketentuan mengenai sifat ini adalah penguraian lebih lanjut dari pengertian tentang Ormas yang berbeda dengan organisasi atau lembaga yang pembentukanya bertujuan mencari keuntungan pribadi maupun anggota dan memiliki afiliasi secara langsung dengan partai politik. Bab III : TUJUAN, FUNGSI DAN RUANG LINGKUP Bab ini mengatur tentang tujuan, fungsi, dan ruang lingkup pendirian dan pembentukan Ormas. Ormas bertujuan untuk: meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;

memberikan pelayanan kepada masyarakat; menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kelestarian budaya, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; memperkuat persatuan bangsa; dan/atau ikut mewujudkan tujuan negara. Ormas memiliki fungsi sebagai: wadah penyalur kegiatan sesuai kepentingan anggota; wadah pembinaan dan pengembangan anggota dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi; sarana penyalur aspirasi masyarakat; wadah pemberdayaan masyarakat; wadah peranserta dalam memperkuat persatuan; dan/atau sarana mewujudkan tujuan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ruang lingkup Ormas diatur berdasarkan pada ruang lingkup jenis 43

atau bentuk kegiatan dan ruang lingkup wilayah kerja kegiatan. Berdasarkan kegiatan, Ormas antara dapat melakukan kegiatan dalam bidang: agama, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; hukum; sosial; ekonomi; kesehatan; pendidikan; sumber daya manusia; perempuan; penguatan demokrasi hidup Pancasila; dan sumber pemberdayaan daya alam;

lingkungan

kepemudaan; olahraga; profesi; hobi; dan/atau seni dan budaya. Berdasarkan wilayah kerja, Ormas dapat mencakup wilayah kerja: nasional; provinsi; dan/atau kabupaten/kota. Sebagai penjelasan, Ormas nasional adalah Ormas yang memiliki kepengurusan dan/atau kegiatan sekurang-kurangnya di 1/3 (sepertiga) dari jumlah provinsi di Indonesia. Ormas provinsi adalah Ormas yang memiliki kepengurusan dan/atau kegiatan sekurang-kurangnya di 1/3 (sepertiga) dari kabupaten/kota di 1 (satu) provinsi. Ormas

kabupaten/kota adalah Ormas yang memiliki kepengurusan dan/atau kegiatan sekurang-kurangnya di 1/3 (sepertiga) dari kecamatan di 1 (satu) kabupaten/kota. Bab IV PENDIRIAN ORMAS Bab ini mengatur tentang tatacara pendirian suatu Ormas. Di dalamnya mengatur siapa yang dapat mendirikan, syarat,

ketentuan, dan tatacara bentuknya.

pendirian Ormas sesuai dengan

Ormas diatur dapat didirikan oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) warga negara Indonesia. Hal ini sebagai pwerwujudan berkumpul dan berserikat yang tentunta berjumlah jamak atau lebih dari satu. Ormas ditentukan dapat berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. Ormas yang berbadan hukum dapat berbentuk

perkumpulan atau yayasan. Lalu, Ormas yang berbadan hukum Perkumpulan didirikan dengan persyaratan berbasis keanggotaan. Sementara, Ormas yang berbadan hukum yayasan didirikan dengan persyaratan tidak berbasis keanggotaan. Pada ketentuan ini diatur bahwa Ormas yang berbadan hukum perkumpulan dapat didirikan dengan persyaratan memiliki: akta 44

pendirian; AD/ART; program kerja; sumber pendanaan; surat keterangan domisili; nomor pokok wajib pajak atas nama perkumpulan; pernyataan tidak berafiliasi kepada partai politik; pernyataan tidak sedang dalam sengketa kepengurusan atau dalam perkara di pengadilan; dan pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan dari menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan tersebut dilakukan setelah meminta pertimbangan dari instansi yang terkait. Salah satu pertimbanganya, instansi terkait lebih memiliki aparatur yang dapat memberikan pertimbangan terhadap ruang lingkup kegiatan ormas tersebut. Sedangkan Ormas yang berbentuk badan hukum yayasan, diatur dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Selanjutnya, dalam rangka mengoptimalkan peran dan fungsi Ormas, maka Ormas yang berbadan hukum perkumpulan atau yayasan diperbolehkan untuk menggabungkan diri dalam wadah bersama. Untuk tetap memberikan kebebasan dalam pembentukan Ormas, maka wadah bersama yang dibentuk tersebut tidak bersifat tunggal dan memonopoli keseluruhan lingkup kegiatan dan kerja Ormas. Persyaratan Ormas berbadan hukum dan tidak berbadan hukum ditentukan berbeda. Bagi yang tidak berbadan hukum, maka Ormas yang didirikan secara mayarakat kepada tersebut diberitahukan dan/atau

keberadaanya

tertulis

Pemerintah

Pemerintahan Daerah sesuai alamat dan domisili. Bab V : PENDAFTARAN Bab ini mengatur tentang tatacara pendaftaran Ormas.

Pendaftaran Ormas yang berbadan hukum dilakukan bersamaan dengan pemberian status badan hukum. Pendaftaran tersebut dilakukan sesuai atau berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada mengenai badan hukum perkumpulan atau yayasan. 45

Berbeda dengan Ormas berbadan hukum, maka pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum dilakukan dengan pemberian surat keterangan terdaftar (SKT). Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum tersebut, dilakukan dengan kewajiban

menyertakan persyaratan: akta pendirian; AD dan ART; program kerja; kepengurusan; surat keterangan domisili; nomor pokok wajib pajak atas nama Ormas; surat pernyataan tidak berafiliasi kepada partai politik; pernyataan tidak sedang dalam sengketa

kepengurusan atau dalam perkara di pengadilan; dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan. Kelembagaan pemerintah yang berwenang memberikan SKT diatur sesuai dengan ruang lingkup kegiatan dan wilayah kerja Ormas berdasarkan pada ruang lingkup pemerintahan. SKT dapat diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangan. Pengaturan ini dilakukan sesuai dengan ketentuan pendesentralisasian urusan pemerintahan dan otonomi daerah. Dalam rangka menjalankan kewenanganya memberikan SKT, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus melakukan

verifikasi terlebih dahulu. Karena itu, diatur bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib melakukan verifikasi dokumen pendaftaran paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan dokumen belum pendaftaran. lengkap Dalam hal dokumen atau

Menteri,

gubernur,

bupati/walikota selanjutnya meminta Ormas pemohon untuk melengkapi paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal penyampaian ketidaklengkapan dokumen permohonan. Terakhir, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota harus menerbitkan SKT paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah Ormas dinyatakan lulus verifikasi. Bab VI : HAK DAN KEWAJIBAN Bab ini mengatur tentang hak dan kewajiban Ormas. Ormas memiliki hak untuk: mengatur dan mengurus organisasi secara

mandiri dan terbuka; memperoleh hak cipta atas nama, lambang, 46

dan tanda gambar Ormas sesuai dengan peraturan perundangundangan; memperjuangkan cita-cita dan tujuan organisasi; melaksanakan kegiatan Ormas untuk mencapai tujuan organisasi; mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan kegiatan organisasi; dan melakukan kerjasama dengan Pemerintah,

Pemerintah Daerah, swasta, Ormas lain, Organisasi Masyarakat Asing, dan pihak lain. Sedangkan, kewajiban yang harus dilakukan Ormas di antaranya: melakukan kegiatan organisasi sesuai tujuan organisasi; menjaga keutuhan NKRI: memelihara kearifan lokal dan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat; menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian di dalam masyarakat; melakukan dan

pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel; mendukung tercapainya tujuan negara. Bab VII : ORGANISASI, KEDUDUKAN, DAN KEPENGURUSAN

Bab ini mengatur tentang struktur atau hirarkhi Ormas, tempat kedudukan organisasi, dan kepengurusan organisasi. Setiap Ormas memiliki struktur organisasi dan kepengurusan. Ormas yang berbasis keanggotaan dapat membentuk struktur dari paling atas hingga ke bawah sesuai dengan skala dan ruang lingkup wilayah kerjanya. Ormas yang berbasis keanggotaan yang berskala nasional dapat membentuk struktur organisasi dan kepengurusan secara hirarki dari nasional hingga daerah. Ormas berbasis keanggotaan yang berskala provinsi dapat membentuk struktur organisasi dan kepengurusan secara hirarki dari provinsi hingga daerah yang berada di wilayah provinsi. Ormas berbasis keanggotaan yang berskala kabupaten/kota dapat membentuk struktur organisasi dan kepengurusan secara hirarki dari kabupaten/kota hingga daerah yang berada di wilayah kabupaten/kota. Kedudukan Ormas dapat ditentukan bebas berdasarkan ketetapan masing-masing organisasi. Ormas hanya ditentukan

berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia sesuai 47

dengan akta pendirian atau ketentuan dalam Anggaran Dasar. Pada kepengurusan, ditentukan kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah dan mufakat. Pergantian kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART. Selanjutnya, susunan kepengurusan hasil pergantian

kepengurusan Ormas didaftarkan kepada Kementerian atau pemerintah daerah berdasarkan wilayah yang bersangkutan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya pergantian kepengurusan. Dan, bagi Ormas yang berbadan hukum apabila terjadi perubahan akta terkait dengan pergantian kepengurusan didaftarkan kepada kementrian atau pemerintah daerah

berdasarkan wilayah yang bersangkutan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya pergantian kepengurusan. Untuk mencegah kepengurusan ganda, maka ditentukan anggota Ormas yang berhenti atau yang diberhentikan dari kepengurusan dan/atau keanggotaan Ormas tidak dapat membentuk

kepengurusan dan/atau Ormas yang sama. Dalam hal dibentuk kepengurusan dan/atau Ormas yang sama, maka keberadaannya tidak diakui oleh Undang-Undang ini. Mengenai bentuk, wilayah kegiatan dan ruang lingkup struktur organisasi, kedudukan, dan kepengurusan tersebut, selanjutnya diatur dalam AD dan ART masing-masing Ormas. Bab VIII : KEANGGOTAAN Bab ini mengatur tentang siapa saja yang dapat menjadi anggota Ormas. Setiap warga negara Indonesia berhak menjadi anggota Ormas. Setiap anggota juga memiliki hak dan kewajiban yang sama. Namun, ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, dan hak dan kewajiban Ormas tersebut diatur dalam AD/ART. Bab IX : KEPUTUSAN ORGANISASI Bab ini mengatur agar keputusan Ormas di setiap tingkatan dilakukan dengan musyawarah mufakat sesuai dengan AD dan ART. Keputusan tersebut mengikat anggota dan pengurus Ormas. 48

Bab X

: AD/ART ORMAS Bab ini mengatur tentang kewajiban Ormas memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dengan pokokpokok persyaratan yang harus tercantum di dalamnya, serta mengenai tatacara perubahan dan pengesahan AD/ART. AD setiap Ormas, paling sedikit harus memuat: asas dan ciri

Ormas; visi dan misi Ormas; nama, lambang, dan gambar Ormas; tujuan dan fungsi Ormas; organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; kepengurusan Ormas; mekanisme

rekrutmen dan pemberhentian

anggota Ormas; peraturan dan

keputusan Ormas; program pemberdayaan dan pembinaan; pengelolaan keuangan Ormas; penyelesaian sengketa; dan mekanisme pengawasan internal. Jika suatu Ormas melakukan perubahan AD dan ART, maka hal itu dilakukan berdasarkan hasil forum tertinggi pengambilan

keputusan Ormas.

Selanjutnya, perubahan Perubahan AD dan

ART tersebut harus didaftarkan ke kementerian atau Pemerintah Daerah berdasarkan wilayah kerja Ormas yang bersangkutan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya perubahan. Bab XI : KEUANGAN Bab ini mengatur tentang sumber keuangan Ormas. Sumber keuangan Ormas dapat berasal dari: iuran anggota; sumbangan masyarakat; bantuan/sumbangan orang atau lembaga asing; hasil usaha Ormas; dan kegiatan lain yang sah menurut hukum. Keuangan organisasi tersebut harus dikelola secara transparan dan bertanggungjawab. Demi melaksanakan prinsip transparansi dan tanggungjawab tersebut, maka rekening pada bank nasional. Dalam rangka menjalankan prinsip akuntabilitas, maka Ormas yang menghimpun dan mengelola dana dari anggota dan masyarakat wajib membuat laporan pertanggungjawaban Ormas menggunakan

keuangan sesuai standar akuntansi secara umum atau sesuai 49

AD/ART. Selain itu, Ormas yang mendapat bantuan/sumbangan dari orang atau lembaga asing, harus diberitahukan dan/atau dengan persetujuan Pemerintah. Bab XII BADAN USAHA ORMAS Bab ini mengatur bahwa ormas dapat mendirikan badan usaha. Tata kerja dan tata kelolanya, harus diatur secara secara jelas dalam AD/ART. Selain itu, diatur pula bahwa pendirian badan usaha tersebut harus sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Bab XIII : PEMBERDAYAAN ORMAS Bab ini mengatur tentang pemberdayaan Ormas yang difasilitasi dan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Dalam rangka pemberdayaan Ormas, Pemerintah dan/atau

Pemerintah Daerah melakukan: fasilitasi kebijakan; penguatan kelembagaan; peningkatan kualitas sumberdaya manusia; dan pemberian penghargaan. Fasilitasi kebijakan dilakukan dalam bentuk pembentukan

peraturan perundang-undangan yang mendukung pemberdayaan Ormas. Penguatan kelembagaan dapat berupa: pelibatan dalam proses pembangunan; tata kelola organisasi yang baik;

penyediaan data dan informasi Ormas; pengintensifan dialog dan kerjasama; dan dukungan keahlian dan pendampingan.

Sedangkan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dapat berupa: pendidikan dan pelatihan; penguatan kepemimpinan dan kaderisasi; penguatan wawasan kebangsaan; dan pengembangan dan pendampingan kewirausahaan. Pemberian penghargaan dapat berupa: tanda penghargaan; bantuan pendidikan dan pelatihan; dan insentif pengembangan organisasi. Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi kebijakan, penguatan kelembagaan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia; dan pemberian Pemerintah. Dalam rangka pemberdayaan pula, maka Ormas dapat 50 penghargaan tersebut diatur dalam Peraturan

bekerjasama dengan masyarakat, swasta, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pelayanan di berbagai bidang untuk kesejahteraan masyarakat. Selain itu,

Pemerintah membentuk sistem informasi Ormas dalam rangka pemberdayaan dan tertib administrasi. Sistem informasi Ormas dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Bab XIV : ORGANISASI MASYARAKAT ASING Bab ini mengatur tentang Ormas Asing yang melakukan kegiatan di wilayah Indonesia. Pengaturan di dalamnya mengenai

persyaratan yang harus dipenuhi Ormas untuk melakukan kegiatan di Indonesia, kewajiban Ormas asing, dan pengawasanya. Ormas asing dalam melakukan kegiatan di wilayah Indonesia harus memiliki ijin operasional dari menteri yang tugas dan tanggungjawabnya memperoleh ijin di bidang urusan luar negeri. Untuk

tersebut

Ormas

asing

harus

memenuhi

persyaratan: berbadan hukum asing atau tercatat di negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia; memiliki asas, tujuan, dan kegiatan organisasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan Indonesia; dan dalam pelaksanaan

kegiatannya bekerjasama atau melibatkan Ormas Indonesia. Ijin operasional bagi Ormas asing diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun. Selanjutnya, perpanjangan ijin harus diajukan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum ijin operasional berakhir. Dalam hal Organisasi Masyarakat Asing tidak memenuhi persyaratan maka tidak diberikan ijin operasional. Secara lebih detail dan teknis, ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian dan perpanjangan ijin operasional tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi Ormas asing adalah: memberi manfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia; menyampaikan ijin operasional dari menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang urusan luar negeri kepada Menteri dan kementerian terkait; mengumumkan sumber, jumlah, dan 51

penggunaan dana; dan membuat laporan kegiatan secara berkala dan dipublikasikan kepada masyarakat melalui media massa nasional maupun daerah. Mengenai larangan, Ormas asing dilarang: melakukan kegiatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

Negara Kesatuan Republik Indonesia; mengganggu stabilitas dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; melakukan kegiatan spionase; melakukan kegiatan politik praktis; melakukan kegiatan yang mengganggu hubungan diplomatik; melakukan kegiatan tidak sesuai dengan tujuan organisasi; menggalang dana dari masyarakat Indonesia; dan berkantor dan menggunakan

fasilitas di lembaga Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah; dan melakukan kegiatan tanpa ijin operasional dari menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang urusan luar negeri. Ormas asing yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang ini, diberikan sanksi teguran tertulis; penghentian kegiatan; pembekuan ijin operasional; pencabutan ijin operasional;dan/atau tindakan diplomatik. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah. Selanjutnya, pengawasan terhadap keberadaan dan aktivitas Ormas asing dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bab XV : PENGAWASAN Bab ini mengatur tentang pengawasan terhadap Ormas. Dalam bab ini diatur bahwa untuk menjamin terlaksananya fungsi dan tujuan Ormas, setiap Ormas memiliki lembaga pengawas internal. Lembaga pengawas internal tersebut diharapkan berfungsi untuk menegakkan kode etik organisasi dan memutuskan pemberian sanksi dalam internal Ormas. Mengenai tugas dan kewenangan lembaga pengawas tersebut diatur dalam AD dan ART atau peraturan organisasi. Selanjutnya, untuk meningkatkan 52

akuntabilitas organisasi, Ormas wajib membuat laporan kegiatan dan keuangan yang terbuka untuk publik. Dalam hal pengawasan terhadap Ormas, masyarakat berhak menyampaikan dukungan atau keberatan terhadap keberadaan atau aktifitas Ormas. Dukungan antara lain dapat berupa pemberian penghargaan, program, bantuan dana, dan dukungan operasional organisasi. Sedangkan, keberatan diajukan

masyarakat kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai tingkatan. Dalam hal terdapat pengajuan keberatan tersebut, maka Pemerintah atau Pemerintah Daerah mengupayakan penyelesaian keberatan melalui mekanisme mediasi dan konsiliasi. Bab XVI : PENYELESAIAN SENGKETA ORGANISASI Bab ini mengatur tentang penyelesaian sengketa organisasi. Dalam hal terjadi sengketa organisasi, Ormas diberikan

kewenangan untuk menyelesaikan sengketa melalui mekanisme yang diatur dalam AD/ART. Apabila penyelesaian sengketa melalui mekanisme yang diatur dalam AD/ART tidak tercapai, dapat dilakukan upaya mediasi, konsiliasi, atau arbitrase yang tata caranya dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam hal mediasi, konsiliasi, atau arbitrase tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa Ormas diatur dapat ditempuh melalui pengadilan. Sengketa Ormas diatur agar diselesaikan oleh

pengadilan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan. Terhadap putusan pengadilan tersebut hanya dapat diajukan banding dan putusan Pengadilan Tinggi bersifat final dan mengikat paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori banding terdaftar di pengadilan tinggi. Bab XVII : LARANGAN Bab ini mengatur tentang larangan yang harus dihindari oleh Ormas. Ormas dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan: bendera atau lambang negara Republik Indonesia; Pemerintah; nama, lambang lembaga negara atau lambang bendera, lambang negara lain atau 53

lembaga/badan internasional; nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; atau yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar Ormas atau Partai Politik lain. Ormas juga dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan; melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia;

menyebarkan permusuhan antar

suku, agama, ras, dan antar golongan; memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa; atau melakukan kekerasan, mengganggu ketertiban, dan merusak fasilitas umum. Selain itu, Ormas dilarang: menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

mengumpulkan dana untuk kepentingan partai politik atau kampanye jabatan politik; atau menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas. Terakhir, Ormas dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Bab XVIII : SANKSI Bab ini mengatur tentang ketentuan mengenai sanksi terhadap Ormas. Pemerintah atau Pemerintah Daerah menjatuhkan sanksi administratif kepada Ormas yang tidak melakukan kewajibanya atau melakukan pelanggaran mengenai larangan kesamaan penggunaan nama, lambang, atau tanda gambar berupa teguran tertulis. Dalam hal teguran tertulis tersebut tidak diindahkan, Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai lingkup tugas dan tanggung jawabnya menjatuhkan pemberhentian pemberdayaan dan/atau denda. Lalu, Pemerintah atau Pemerintah Daerah menjatuhkan sanksi 54

administratif kepada Ormas yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan larangan, selain larangan kesamaan penggunaan nama, lambang, atau tanda gambar. Sanksinya berupa berupa teguran tertulis. Teguran tertulis paling banyak diberikan 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Dalam hal teguran tidak diindahkan, Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai lingkup tugas dan tanggung jawabnya menjatuhkan sanksi pembekuan sementara paling lama 90 (sembilan puluh) hari sampai keluarnya putusan pembekuan sementara dari pengadilan negeri atau Mahkamah Agung. Dalam hal Pemerintah menjatuhkan sanksi pembekuan sementara, Pemerintah mengajukan permohonan pembekuan sementara Ormas kepada Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak sanksi pembekuan sementara dijatuhkan. Dalam hal Pemerintah Daerah menjatuhkan Daerah sanksi pembekuan permohonan

sementara,

Pemerintah

mengajukan

pembekuan sementara Ormas kepada pengadilan negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak sanksi pembekuan sementara dijatuhkan. Terakhir, pengadilan negeri atau Mahkamah Agung wajib memutus permohonan pembekuan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak permohonan pembekuan sementara diajukan.Dalam hal Ormas yang telah dibekukan sementara tetap melakukan pelanggaran, maka Pemerintah atau Pemerintah Daerah mengajukan

permohonan pembubaran kepada pengadilan negeri untuk Ormas kabupaten/kota dan Ormas Provinsi atau kepada Mahkamah Agung untuk Ormas nasional. Selanjutnya, pengadilan negeri atau Mahkamah Agung wajib memutus permohonan pembubaran sebagaimana dimaksud pada ayat (7) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak permohonan pembubaran diajukan. Jadi, pembekuan dan pembubaran Ormas diatur harus melalui keputusan pengadilan. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah 55

hanya dapat melakukan pembubaran ormas berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Bab XIX : KETENTUAN PENUTUP Bab ini mengatur tentang pencabutan peraturan perundangundangan sebelumnya dan pemberlakuan Undang-undang ini. Ketentuan penutup ini mengatur tentang pencabutan dan tidak berlakunya perundang-undangan yang mengatur tentang

Organisasi Kemasyarakatan sebelum dinyatakannya Undangundang ini, yaitu: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Tahun 19 Nomor ). Dalam rangka penataan Ormas ke depan, maka Ormas yang sudah dibentuk sebelum berlakunya Undang-Undang ini harus sudah melakukan penyesuaian dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku. Selanjutnya, semua peraturan pelaksanaan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus telah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini. Di dalam ketentuan penutup juga dinyatakan tentang

pemberlakuan Undang-undang ini sejak tanggal diundangkan, agar setiap orang mengetahui dan pengundangan Undang-undang ini dapat ditempatkan di dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

56

DAFTAR PUSTAKA
Irish, Leon E, and Robert Kushen and Karla W. Simon, Guidelines for Laws Affecting Civic Organization, Open Society Institute, International Centre for Not-for-Profit Law, New York, 2004. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1977. Suharko, Merajut Demokrasi: Hubungan NGO, Pemerintah, dan Perkembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-20101), Tiara Wacana, Yogyakarta, 2005. Tocqueville, Alexis de, Tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat, disunting oleh John Stone dan Sthepen Mennel, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005. Winayanti, N. Kania, Dasar Hukum Pendirian dan Pembubaran Ormas, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011.

UNDANG-UNDANG: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat 57

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 88 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan Staatsblad 1870 No. 64 (Stb. 1870-64) tentang Perkumpulan Surat Kabar Kompas, Februari 2011

58

You might also like