You are on page 1of 10

BAB I PENDAHULUAN

Kelenjar pituitari memiliki peranan yang penting untuk mempertahankan homeostatis dan fungsi reproduksi. Kelenjar pituitari terbentuk pada pertengahan minggu keempat embrio yang berasal dari invaginasi oral ectoderm (stomodeum) menuju rudimentary primordium (Ratkhes pouch). Kelenjar pituitari dapat dibagi mejadi dua bagian, yaitu pituitari anterior (adenohipofisis) dan pituitari posterior (neurohipofisis).1 Pituitari anterior sering disebut sebagai master gland, karena bersama-sama dengan hipotalamus, kelenjar ini mengontrol fungsi kelenjar endokrin lainnya. Pituitari anterior memproduksi 6 hormon utama, antara lain : prolactin (PRL), growth hormone (GH), adrenocorticotropin hormone (ACTH), luteinizing hormone (LH), follicle-stimulating hormone (FSH), dan thyroid stimulating hormone (TSH). Masing-masing hormon ini menghasilkan respon yang berbeda-beda sesuai dengan target organ yang dicapai. Kemudian target organ akan mengeluarkan hormon yang berfungsi sebagai control (feedback) terhadap fungsi hipotalamus dan hipofisis.2 Suatu abnormalitas pada kelenjar pituitari akan menimbulkan berbagai macam manifestasi, antara lain : hipersekresi kelenjar, hiposekresi kelenjar, serta penurunan tajam penglihatan. Terdapat berbagai macam penyebab abnormalitas pada kelenjar pituitari. Pada orang dewasa penyebab yang terbanyak adalah pituitari adenoma, dimana manifestasi utamanya adalah hipersekresi. Pada anakanak penyebab yang tersering adalah tumor pituitari, terutama

craniopharyngioma. Pembedahan (neurosurgery) merupakan penatalaksaan pilihan pada kasus craniopharyngioma pada anak-anak. Proses pembedahan CNS pada anak-anak merupakan tantangan dokter ahli bedah dan anestesiologis. Hal ini karena tumor terdapat pada area yang sulit dicapai, serta pembedahan beresiko untuk menimbulkan komplikasi akibat trauma yang mengenai bagian otak saat pembedahan. Manajemen anestesi pada kasus ini mencangkup persiapan preoperatif, intraoperatif, serta post-operatif.3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Craniopharyngioma merupakan suatu tumor yang jarang ditemukan dengan insiden sebesar 0,13 kasus per 100.000 orang pertahun. Tumor ini merupakan 5,6-15% dari keseluruhan tumor intrakranial pada anak-anak. Walaupun tumor ini merupakan tumor terbanyak pada pituitari anak-anak, terdapat beberapa kasus yang terdiagnosis pada orang dewasa.

Craniopharyngioma dapat terdiagnosis pada berbagai umur, bahkan saat prenatal atau neonatal. Insiden tertinggi terdapat pada anak-anak berumur 5-14 tahun serta pada orang dewasa yang berumur 50-74 tahun. Pada suatu penelitian di Amerika dan Finlandia tidak ditemukan perbedaan insiden pada wanita dan pria. Kasus craniopharyngioma pernah dilaporkan pada suatu keluarga, akan tetapi masih tidak jelas apakah terdapat predisposisi genetic pada tumor ini.4

2.2 Pathogenesis Craniopharyngioma merupakan suatu tumor epitelial yang timbul pada duktus craniopharngeal, yang merupakan suatu kanal yang menghubungkan stomodeal ectoderm dengan Ratkhes pouch. Pathogenesis pada penyakit ini kurang jelas. Pada suatu hipotesis, tumor ini timbul dari transformasi neoplastik sel squamus embrionik dari duktus craniopharyngeal. Sedangkan pada teori yang lain mengatakan bahwa tumor ini timbul dari metaplasia sel adenohipofisis pada kelenjar pituitari.4

2.3 Manifestasi klinis Gejala yang umum ditemukan ialah tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini mencangkup nyeri kepala, mual muntah, dan gangguan penglihatan. Gejala disfungsi endokrin terdapat pada 80-90% kasus. Akan tetapi gejala endokrin jarang menyebabkan pasien untuk datang ke pusat pelayanan kesehatan. Gejala lainnya berupa disfungsi kognitif dan gangguan perilaku.5

Gangguan penglihatan terjadi karena adanya penekanan pada optic chiasm serta komponen-komponen lain dari jaringan optik, misalnya saraf optik. Penekanan tersebut akan menyebabkan atrofi pada saraf-saraf optikus. Papiledema yang terjadi oleh karena peningkatan tekanan intrakranial juga dapat menyebabkan gangguan penglihatan. Selain itu, halusinasi visual dan olfaktori juga pernah dilaporkan. Selain gejala-gejala umum ini, pada literature juga pernah dilaporkan adanya gejala jaundice dan hiperbilirubinemia. Gejala ini kemungkinan timbul akibat adanya hipopituitarism, yaitu defisiensi pada adrenocorticotropic hormone (ACTH), growth hormone, serta thyroid stimulating hormone (TSH).

2.3.1 Defisiensi growth hormone Diantara defisiensi hormon yang terjadi pada craniopharyngioma, defisiensi growth hormone merupakan defisiensi yang paling sering terjadi. Hal ini diperkirakan terjadi pada 75% dari anak-anak yang menderita craniopharyngioma. Kegagalan pertumbuhan jarang menjadi penyebab pasien mencari pertolongan medis, dimana hal ini akan menyebabkan terlambatnya diagnosis dan penanganannya. Pada tahun 1988, dari 22 anak yang terdiagnosis craniopharyngioma, Sorva melaporkan bahwa terdapat 19 anak yang mengalami kegagalan pertumbuhan. Walaupun mayoritas kasus craniopharyngioma terdapat kegagalan pertumbuhan, pernah dilaporkan suatu kasus dimana terdapat pertumbuhan yang berlebihan. Kasus ini terjadi pada seorang anak yang berumur 5 tahun yang terdiagnosis craniopharyngioma. Hal ini menimbulkan hipotesis bahwa tumor tersebut menghasilkan growth factor yang menyebabkan pertumbuhan yang berlebihan. Pemeriksaan kadar growth hormone menggunakan kadar serum growth factor-1, growth factor binding protein-3, dan x-ray tulang. Apabila pada psien ditemukan adanya gangguan pertumbuhan akan tetapi dengan kadar serum growth factor-1 yang normal, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan tes provokasi. Tes provokasi dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan menggunakan stimuli fisiologis dan stimuli farmakologi. Anak dikatakan mengalami

kegagalan pertumbuhan apabila pada tes provokasi mengalami kegagalan sebanyak 2 kali dengan menggunakan 2 stimuli.

2.3.2 Defisiensi LH/FSH Adanya defisiensi gonadotropin didiagnosis dengan melakukan observasi adanya keterlambatan pubertas setelah umur 13 tahun pada remaja perempuan dan umur 14 tahun pada remaja laki-laki. Pasien dengan defisiensi gonadotropin memerlukan pengganti hormon pada saat yang tepat untuk perkembangan pubertas. Preparat yang dipergunakan antara lain estrogen dan testosterone. Walaupun manifestasi terbanyak dari craniopharyngioma ialah adanya keterlambatan pubertas, pada beberapa kasus terdapat pubertas dini. Banna et al melaporkan 3 anak laki-laki yang berumur 3, 4, dan 7 tahun dengan pubertas dini yang menderita craniopharyngioma. Selain itu pubertas dini juga pernah dilaporkan terjadi pada anak perempuan setelah terapi pembedahan craniopharyngioma.

2.3.3 Disfungsi TSH Hipotiroid dilaporkan terjadi pada 27-24% pada anak-anak yang menderita craniopharyngioma. Gejala dan tanda klasik dari hipotiroidism antara lain : intoleransi dingin, konstipasi, kulit yang kering, rambut tipis, kenaikan berat badan, penurunan tenaga, dan bradikardi. Pituitari hipotiroidism memberikan tanda adanya penurunan TSH diikuti dengan penurunan kadar T4. Hipotiroidism paska operasi pembedahan dilaporkan terjadi sebanyak 2985%. Pada kasus-kasus seperti ini biasanya kadar T4 dan TSH secara rutin dicek setiap 6 minggu. Untuk terapi hipotiroidism dipergunakan bentuk sintetis dari T4, yaitu levothroxine sodium yang diadministrasikan sekali sehari. Dosis intravena setengah sampai sepertiga dari dosis oral. Pada pasien dengan defisiensi TSH dengan ACTH, pemberian hidrokortison harus mendahului pemberian lthyroxine. Hal ini karena jika l-thyroxine diberikan lebih dahulu, maka l-

thyroxine meningkatkan klirens metabolik dari glukokortikoid dan dapat berakibat terjadinya krisis adrenal.

2.3.4 Disfungsi ACTH Defisiensi ACTH dilaporkan terjadi pada 25-71% anak-anak yang menderita craniopharyngioma. Setelah post-surgery, Lyen dan Grant melaporkan jumlah anak-anak yang menderita disfungsi ACTH ialah sebesar 72%. Gejala dan tanda disfungsi ACTH tidak spesifik. Anoreksia, mual muntah, hipoglikemi, penurunan berat badan, gampang lelah mungkin dapat terjadi. Pada saat stress, defisiensi ACTH dapat mengakibatkan hipotensi dan juga kematian. Diagnosis defisiensi ACTH ditegakan dengan ditemukannya level subnormal dari kortisol plasma dan level ACTH yang tidak meningkat. Pada anak-anak yang menderita defisiensi ACTH dosis penggantian hidrokortison dilakukan sesuai dengan umur. Pada anak-anak yang lebih muda dosis penggantiannya ialah sebesar 6 mg/m2 luas permukaan tubuh. Pada anakanak yang lebih tua dan juga remaja dosis penggantiannya sebesar 9 mg/m 2 luas permukaan tubuh. Dosis pemeliharaan hidrokortison harus diganti sesuai dengan pertumbuhan dan peningkatan berat anak. Overdosis maupun

underdosis dari penggunaan hidrokortison akan menimbulakn efek samping. Overdosis akan mengakibatkan terjadinya sindrom Cushing dan dapat berakibat adanya penurunan pertumbuhan. Underdosis akan menimbulkan masalah pada adrenal.

2.3.5 Disfungsi ADH Pada diagnosis craniopharyngioma, defisiensi ADH ditemukan pada 938% dari pasien. Evaluasi status elektrolit dan cairan pada pasien craniopharyngioma sangat penting karena terapi yang tepat pada diabetes insipidus dapat mengurangi morbiditas dan morbiditas secara signifikan. Suatu laporan mengatakan bahwa dari 59 pasien craniopharyngioma, diabetes insipidus berkontribusi terhadap kematian 5 pasien (8%).

Penegakan diagnosis diabetes insipidus berdasarkan atas riwayat intake cairan dan outputnya dan juga pemeriksaan laboratorium. Pasien biasanya mengeluh perasaan haus yang terus menerus dan biasanya memiliki onset yag tiba-tiba. Pemeriksaan inisial laboratorium antara lain osmolaritas serum dan urin, urine specific gravity, serta serum elektrolit.

2.3.6 Disfungsi prolaktin Peningkatan kadar prolaktin terjadi pada 8-50% anak-anak yang menderita craniopharyngioma sebelum dilakukan operasi. Setelah dilakukan operasi, diantara 20 anak, sebanyak 3 anak menderita hiperprolaktinemia dan sisanya memiliki kadar prolaktin yang normal. Hiperprolaktinemia timbul sebagai hasil dari terganggunya sekresi dari faktor inhibisi prolaktin. Pada wanita dewasa dengan craniopharyngioma, adanya amenore dan galaktore merupakan tanda dari hiperprolaktinemia.

2.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam pemeriksaan

craniopharyngioma adalah pemeriksaan imaging. Pemeriksaan imaging yang utama digunakan adalah CT scan. Walaupun CT merupakan pilihan utama imaging yang diperlukan, hasil yang didapat dari menggunakan CT pada regio pituitari kurang maksimal. Hal ini terjadi karena keterbatasan kontras soft tissue pada CT. tumor yang telah berukuran besar dapat dideteksi oleh CT, akan tetapi tumor yang berukuran lebih kecil sulit untuk dideteksi. MRI menyajikan gambar yang lebih baik untuk mendeteksi tumor pada sistem saraf pusat. Hal ini dicapai karena MRI menghasilkan resolusi gambar yang tinggi, sehingga observer dapat mengenali tumor berukuran kecil yang berkisar 4 mm.6 PET (positron emission tomography) dengan fluorodeoxyglucose dapat digunakan oleh pasien, terutama pasien yang telah menjalani operasi guna mengetahui kereaktifan tumor pasca operasi. Prinsip cara kerja PET adalah pada sel neoplastik memiliki tingkat metabolism yang lebih aktif daripada sel biasa, sehingga memiliki afinitas oksigen yang lebih kuat terhadap oksigen. Dengan

memberikan label glukosa dengan

18

F, tumor dapat divisualisasikan karena

uptakenya yang tinggi terhadap oksigen.6 Pemeriksaan lain yang masih dalam tahap pengembangan antara lain penggunaan radiolabeled receptor ligand untuk mendeteksi tumor pituitari. Pemeriksaan lainnya dengan menggunakan receptor imaging dengan mendeteksi reseptor dopamin tipe 2 yang secara umum terdapat pada tumor pada sistem saraf pusat.6

2.5 Penatalaksanaan Pembedahan merupakan modalitas utama dalam penatalaksaan

craniopharyngioma. Pembedahan dilakukan dengan melakukan reseksi total pada tumor. Pada beberapa kasus yang dilakukan pembedahan reseksi total, timbul kekambuhan sehingga pengobatan dengan menggunakan radiotherapy juga harus diberikan. Morbiditas yang berhubungan dengan operasi pembedahan tergantung pada besar dan tingkat keganasan tumor pada saat diagnosis, pengalaman ahli bedah, dan pendekatan bedah yang dilakukan. Risiko kerusakan hipotalamus dapat terjadi jika melakukan reseksi pada tumor yang berukuran besar. Selain itu disfungsi endokrin setelah proses pembedahan juga memiliki insiden yang cukup tinggi.

2.6 Manajemen Persiapan secara Umum Peningkatan pemahaman mengenai patofisiologi sistem saraf pusat dan peningkatan kualitas imaging telah menigkatkan manajemen persiapan pasien pediatri yang akan menjalani pembedahan sistem saraf pusat. Manajemen dan evaluasi persiapan operasi yang utama adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Secara umum pemeriksaan pre operasi pasien pediatri yang akan dilakukan pembedahan sistem saraf pusat antara lain pemeriksaan tekanan intra kranial, pemeriksaan fungsi vital respirasi dan kardiovaskuler, serta pemeriksaan neurologis.

2.6.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial bervariasi sesuai dengan umur pasien. Secara umum, manifestasi klinis pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial berbeda-beda sesuai dengan durasinya. Peningkatan secara tiba-tiba dapat menyebabkan koma. Sedangkan pada kasus-kasus yang kronis didahului oleh sakit kepala. Mual dan muntah merupakan gejala yang umum didapat. Bayi dan neonatus umumnya memberikan gejala gelisah, serta penurunan nafsu makan. Pembesaran fontanel anterior, dilatasi vena di kepala, pembesaran atau deformitas tulang tengkorak, dan defisit motorik pada ekstremitas bawah merupakan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial pada anak-anak. Biasanya peningkatan tekanan intrakranial pada anak-anak disebabkan oleh tumor. Apabila tekanan intrakranial meningkat sampai level tertentu, maka akan terjadi penurunan kesadaran disertai tanda-tanda herniasi.7 Gejala-gejala lainnya antara lain, diplopia, disfonia, disfagia, serta kelainan gaya berjalan. Selain itu juga dapat menyebabkan ptosis jika mengenai nervus III. Jika mengenai nervus VI akan menimbulkan strabismus yang disebabkan karena hilangnya daya abduksi. Pada funduskopi akan didapatkan adanya papiledema disertai dengan absensi pada pulsasi vena.7 Edem pulmonal neurogenik merupakan suatu penyakit yang meliputi hipoksia akut, kongesti pulmonal, infiltrat pulmonal pada foto rontgen. Penyakit ini berhubungan dengan proses patologi di intrakranial. Selain itu pada evaluasi pre operasi, kemungkinan adanya disfungsi pada medulla spinalis harus dievaluasi. Adanya disfungsi pada bagian ini akan menyebabkan gangguan pada fungsi respirasi dan kardiovaskuler.7

2.6.2 Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium perlu untuk dilakukan. Pada pemeriksaan lab mungkin dapat ditemukan adanya kelainan hormon ADH serta adanya kelainan elektrolit. Selain itu sindrom metabolik seperti hipoglikemi atau hiperglikemia dapat dideteksi. Pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, dan fungsi hati juga dapat dikerjakan untuk mengetahui ada tidaknya abnormalitas.

2.6.3 Pemeriksaan Radiologis Selain pemeriksaan lab juga diperlukan pemeriksaan radiologis. Foto tengkorak, USG, CT, serta MRI dapat membantu mengevaluasi fungsi sistem saraf pusat. Pada kasus-kasus dengan peningkatan intrakranial yang kronis, pada foto tengkorak akan didapatkan tanda beaten cooper dan terdapat pelebaran sutura sagital. Pada bayi dan neonatus pemeriksaan dengan menggunakan USG sangat membantu, karena pemeriksaan ini relatif tidak mahal, tidak memerlukan sedasi, dan dapat dilakukan di kamar tidur. Pada kasus-kasus tertentu pemeriksaan yang lebih canggih seperti CT atau MRI dapat dilakukan.

2.6.4 Premedikasi Pada pasien pediatri yang akan dilakukan operasi, timbulnya kecemasan dan kegelisahan biasanya tak terhindarkan. Masalah kecemasan dan kegelisahan pada anak-anak dipengaruhi oleh tingkat perkembangan kognitif masing-masing. Pemberian obat-obatan sedatif dapat meminimalkan perasaan cemas yang timbul. Pemberian midazolam secara oral dapat menurunkan kecemasan secara efektif dan menimbulkan perasaan mengantuk. Jika pada pasien telah terpasang kateter intravena, maka pemberian midazolam dapat dilakukan secara intravena. Pemberian obat-obatan premedikasi jenis opiat biasanya dihindari karena dapat menimbulkan mual muntah serta depresi nafas, terutama pada pasien pediatri dengan peningkatan tekanan intrakranial.8 Pada saat pemberian sedatif, pasien dapat ditemani oleh orang tuanya untuk mengurangi kegelisahan. Dosis midazolam oral yang dipergunakan yaitu 0,5-1 mg/kg yang biasanya menimbulkan efek setelah 5 sampai 20 menit.

DAFTAR PUSTAKA

1. pituitary tumor in childhood, an update in their diagnosis, treatment and molecular. 2. Harrisons disorders of anterior pituitari. 3. periopertaive patient management in pediatric neurosurgery 4. Craniopharyngioma. Niki karavitaki. 5. endokrin manifestasion of craniopharyngioma. 6. pituitary tumor in children and adolescent. Antony r lafferty 7. Gregorys Pediatric anesthesia. 8. Smiths anesthesia childhood

You might also like