You are on page 1of 6

PESAN ABADI UNTUK PEMIMPIN

Oleh: Agus Saputera

Tiada pesan yang lebih baik melebihi pesan Allah swt dan RasulNya. Apalagi bagi

masyarakat agamis seperti Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Seorang mukmin yang

beramal soleh masih dianggap merugi apabila meninggalkan perbuatan nesehat-menasehati

atau saling berpesan yang dilakukan dengan cara yang hak/benar dan sabar. Saling berpesan

atau nasehat-menasehati termasuk kedalam perbuatan menegakkan amar ma’ruf dan

melarang kemungkaran. Bukankah di setiap akhir khutbah Jum’at sering dibacakan khatib

pesan Allah swt kepada kita untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum

kerabat, mencegah dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Sebab Allah ingin

memberi nasehat kepada kita agar mendapat pengajaran dengan mengindahkan pesan-pesan

tersebut.

Meskipun sebuah pesan kelihatannya pahit, tetapi mengandung kebaikan dan manfaat

besar bagi yang mau menerimanya. Pesanpun boleh berasal dari siapa saja tanpa melihat latar

belakang orang tersebut. Dan sebuah pesan tidak mesti merupakan hal-hal yang baru. Boleh

jadi yang lama masih tetap relevan dengan situasi, peristiwa, dan kejadian masa kini. Sebab

beberapa peristiwa memiliki pola-pola sama, dan akan tetap berulang di masa akan datang.

Yang berbeda hanyalah settingnya, yaitu pelaku, tempat, dan waktu. Dalam hal ini al-Qur’an

memberikan banyak perumpamaan yang berlaku universal dengan menceritakan kisah-kisah

kaum terdahulu untuk diambil hikmah, pelajaran, dan pesan abadi yang terkandung di

dalamnya.

1
Disamping itu sudah menjadi tabiat manusia sering lupa, lengah, karena kesibukan

duniawi yang menggiurkan dan melalaikan. Sehingga tidak ada salahnya untuk mengulang-

ulang pesat dan nasehat. Pesan-pesan berikut ini pernah dinyatakan oleh Rasulullah ketika

mengingatkan semua pejabat mulai dari yang terendah sampai kepada yang tertinggi. Jabatan

adalah amanah dan ia akan menjadi kenistaan dan penyesalan di hari kemudian, kecuali bagi

siapa yang menerimanya dengan hak serta menunaikannya secara baik. Seperti sabda

Rasulullah saw, “Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada

orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu.” (H. R. Bukhari Muslim).

Kepemimpinan/jabatan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta

apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab jabatan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang

gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani

rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan

kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri,

bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya

hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.

Kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan,

penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan serta

semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan golongan. Sebab

pemimpin dipilih oleh rakyat, dimana rakyat mempertaruhkan masa depan mereka di tangan

orang yang dipilihnya tersebut.

Pemimpin adalah ulil amri, umara atau penguasa, yaitu orang yang mendapat amanah

untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang

mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Bukan untuk kepentingan golongannya

2
sendiri apalagi kepentingan pribadi. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus

kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin yang sesungguhnya.

Pemimpin sering juga disebut khadim al-ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu,

seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan

minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang

sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani

umat/masyarakat.

Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat

apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih

pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits. Kaum muslimin yang benar-benar

beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih

pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah)

atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan, politik, dan kepentingan

tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan

dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut).

Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil

pilihan mereka adalah “cermin” siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang

berbunyi: “Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian”. Ini

mengandung makna bahwa “bobot” dan kwalitas seorang pemimpin merefleksikan tinggi

rendahnya tingkat dan taraf kehidupan rakyatnya, pandangan hidup, sikap dan perilaku

mereka.

Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak

lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat.

Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau


3
sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah saw: “Barang siapa yang mengimami

(memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak

menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah).”

Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan

penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu

memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S.

Ibrahim (14): 4, “Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa

kaumnya.” dan Q. S. At-Taubah (9): 129, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang

Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan

kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin.”

Seorang pemimpin harus arif dan bijaksana dalam memilih pembantu-pembantunya.

Jangan sekali-kali menjadikan pertimbangan utama pengangkatan mereka karena kedekatan

pribadi, jangan juga karena loyalitas semu kepada pemimpin tersebut. Jika Allah swt

menghendaki kebaikan bagi seorang pemimpin, maka dia didorong untuk cenderung memilih

pembantu-pembantunya yang terbaik. Dan begitu juga sebaliknya, jika kejelekan dikehendaki

bagi seorang pemimpin, maka dia memilih para pembantunya yang jahat dan licik. Rasulullah

saw bersabda, “Siapa yang menetapkan seseorang untuk suatu jabatan, padahal dia

mengetahui ada yang lebih baik darinya (yang dipilih itu), maka dia telah mengkhianati

Allah, Rasul, dan amanat kaum muslimin”.

Selanjutnya jangan sekali-kali seorang pemimpin, pejabat, atasan, ataupun seorang

yang diserahi kekuasaan terpedaya oleh orang-orang yang meraih kenikmatan melalui

kekuasaan yang dimilikinya yang mengakibatkan dia kelak menderita kesengsaraan. Mereka

itu menikmati kesenangan duniawi atas hilangnya kenikmatan akhirat sang pemimpin. Jangan

sekali-kali tertuju sepenuh hati kepada kekuasaan yang dimiliki saat ini, tetapi arahkanlah

4
pandangan ke hari esok, ketika seorang pemimpin terbelenggu oleh belenggu kematian serta

menghadap Allah kelak di hari kemudian. Sungguh ketika itu amat sedikit pengikut sang

pemimpin – kalaupun masih ada pendukung setianya.

Amatlah jauh perbedaannya seorang pemimpin ketika masih berjaya. Banyak

pengikut, sekutu, teman-teman, dengan berbagai macam niat dan kepentingan. Sesungguhnya

sahabat dan pengikut sejati bukanlah mereka yang menganggukan kepala membenarkan

perbuatan anda semasa berkuasa, tetapi adalah orang-orang yang mau mengoreksi dan

membenarkan tindakan pemimpin mereka yang salah. Mereka patuh dan tunduk kepada

pemimpinnya karena sang pemimpin tunduk dan patuh kepada Allah swt dalam segenap

tindakannya.

Demikianlah Al-Quran dan Hadits berpesan kepada kita bagaimana seharusnya

memilih dan menjadi pemimpin. Sebab memilih pemimpin dengan baik dan benar adalah

sama pentingnya dengan menjadi pemimpin yang baik dan benar. Pemimpin yang baik

bukanlah pemimpin yang banyak pengikutnya, dibenarkan segala tindakannya. Tetapi

pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau dikoreksi perbuatannya yang salah oleh para

pengikutnya. Segala tindakan dan perintahnya diikuti dan dipatuhi karena dia patuh kepada

perintah Allah swt, bukan karena mengharapkan pamrih atau kepentingan tertentu.

Published December 3, 2008 / 29 Nov, 2008

Agus Saputera
Subbag Hukmas dan KUB Kanwil Depag Provinsi Riau

5
6

You might also like