You are on page 1of 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. Gagal Ginjal Kronik 1.

Defenisi Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m, seperti pada tabel. 1 berikut: Tabel 1. Batasan Penyakit Ginjal Kronik

2. Etiologi Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan kerusakan pada organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan jantung, stroke, dan penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat menyebabkan hipertensi. Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pada ginjal antara lain : - Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal. Merupakan penyakit ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik - Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%) menyebabkan pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar, dan asidosis tubulus. - Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam rahim si ibu. Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga terjadi aliran balik urin ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan kerusakan pada ginjal. - Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%)

- Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor, pembesaran glandula prostat pada pria danrefluks ureter. - Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik. Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen (Motrin, Advil) untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati analgesik sehingga berakibat pada kerusakan ginjal. - Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri renalis. - Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell, penyalahgunaan heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan kanker. 3. Epidemiologi Di Amerika Serikat, data tahun 1995 1999 menyatakan insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40 60 kasus perjuta penduduk pertahun. 4. Patofisiologi Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : - Anemia Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit

darah. Selain itu GGK dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek inhibisi eritropoiesis - Sesak nafas Karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga menyebabkan retensi NaCl dan air volume ekstrasel meningkat (hipervolemia) volume cairan berlebihan ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer LVH peningkatan tekanan atrium kiri peningkatan tekanan vena pulmonalis peningkatan tekanan di kapiler paru edema paru sesak nafas. - Asidosis Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik. Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis Hipertensi Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah. Hiperlipidemia Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia. Hiperurikemia Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat membengkak, meradang dan nyeri.

Hiponatremia

Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa kram, diare dan muntah. Hiperfosfatemia Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca 2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit ( berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus). - Hipokalsemia Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terusmenerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. Kelaina yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di organ tersebut. Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus, hal ini memperberat keadaan hipokalsemia. - Hiperkalemia Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel sel ginjal sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini berkaitan dengan sistem

saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam, gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan mental. - Proteinuria Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul protein berukuran besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas melewati membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebu dengan sindrom nefrotik. - Uremia Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik. Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi dan menyebabkan koma uremikum. 5. Manifestasi Klinik Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoesis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskuler. (Sukandar, 2006). a. Kelainan hemopoesis Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersiahan kreatinin kurang dari 25 ml per menit. b. Kelainan saluran cerna Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika. c. Kelainan mata Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik

yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier. d. Kelainan kulit Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost e. Kelainan selaput serosa Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis. f. Kelainan neuropsikiatri Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien g. Kelainan kardiovaskular Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung. 6. a. Cara Diagnosis Gejala Klinis Pada gagal ginjal kronik, gejala gejalanya berkembang secara perlahan. Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala gejala fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ seperti : Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor uremik Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit

Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya konsentrasi menurun, insomnia, gelisah Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal,

pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. b. Gambaran Laboratorium Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi : a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria c. Gambaran Radiologis Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi : a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak. b) Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan c) Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi

d. Biopsi dan pemeriksaan histopatologi Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang sudah diberikan. Kontraindikasi pada ukuran ginjal yang mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas. 7. Penatalaksanaan Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006). 1) Peranan diet Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. 2) Kebutuhan jumlah kalori Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi. 3) Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. 4) Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease). b. Terapi simtomatik 1) Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L. 2) Anemia Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. 3) Keluhan gastrointestinal

a. Terapi konservatif

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama ( chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik. 4) Kelainan kulit Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit. 5) Kelainan neuromuskular Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi. 6) Hipertensi Pemberian obat-obatan anti hipertensi. 7) Kelainan sistem kardiovaskular Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita. c. Terapi pengganti ginjal Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). 1) Hemodialisis Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006). 2) Dialisis peritoneal (DP) Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi nonmedik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006). 3) Transplantasi ginjal Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:

a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah b) Kualitas hidup normal kembali. c) Masa hidup (survival rate) lebih lama Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan. Komplikasi Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut : Hiperkalemia Asidosis metabolik Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF ) Kelainan hematologi (anemia) Osteodistrofi renal Gangguan neurologi ( neuropati perifer dan ensefalopati) Tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik

Prognosis Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat. II. Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) 1. Defenisi Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) adalah metode pencucian darah dengan mengunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru. Metode pencucian darah dengan mengunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga

perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru. Prinsip Dasar PD Kateter CAPD (tenchoff catheter) dimasukkan ke dalam rongga peritoneum melalui teknik operasi. Konsentrasi adalah kata-kata yang sering kita dengar di dalam cairan CAPD. Proses PD Cairan dialysis 2 L dimasukkan dalam rongga peritoneum melalui catheter tunchoff, didiamkan untuk waktu tertentu (6 8 jam) dan peritoneum bekerja sebagai membrane semi permeable untuk mengambil sisa-sisa metabolisme dan kelebihan air dari darah. Osmosis, difusi dan konveksi akan terjadi dalam rongga peritoneum. Setelah dwell time selesai cairan akan dikeluarkan dari rongga peritoneum melalui catheter yang sama, proses ini berlangsung 3 4 kali dalam sehari selama 7 hari dalam seminggu. Difusi Membrane peritoneum menyaring solute dan air dari darah ke rongga peritoneum dan sebaliknya melalui difusi. Difusi adalah proses perpindahan solute dari daerah yang berkonsentrasi tinggi ke daerah yang berkonsentrasi rendah, dimana proses ini berlangsung ketika cairan dialisat dimasukkan ke dalam rongga peritoneum. Konsentrasi cairan CAPD lebih rendah dari plasma darah, karena cairan plasma banyak mengandung toksin uremik. Toksin uremik berpindah dari plasma ke cairan CAPD. Osmosis Osmosis adalah perpindahan air melewati membrane semi permeable dari daerah solute yang berkonsentrasi rendah (kadar air tinggi) ke daerah solute berkonsentrasi tinggi (kadar air rendah). Osmosis dipengaruhi oleh tekanan osmotic dan hidrostatik antara darah dan cairan dialisat. Osmosis pada peritoneum terjadi karena glukosa pada cairan CAPD menyebabkan tekanan osmotic cairan CAPD lebih tinggi (hipertonik) dibanding plasma, sehingga air akan berpindah dari kapiler pembuluh darah ke cairan dialisat (ultrafiltrasi). Kandungan glucose yang lebih tinggi akan mengambil air lebih banyak. Cairan melewati membrane lebih cepat dari pada solute. Untuk itu diperlukan dwell time yang lebih panjang untuk menarik solute. Untuk membantu mengeluarkan kelebihan air dalam darah, maka cairan dialisat menyediakan beberapa jenis konsentrasi yang berbeda : Baxter : 1,5%, 2,5%, 4,25% Frescenius : 1,3%, 2,3%, 4,25% Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi : Kualitas membrane

1. 2.

Ukuran & karakteristik larutan Volume dialisat Tekanan osmotic Konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan plasma darah dalam pembuluh kapiler Pada saat cairan dialisat dimasukkan dalam peritoneum, air akan diultrafiltrasi dari plasma ke dialisat, sehingga meningkatkan volume cairan intra peritoneal. Peningkatan volume cairan intraperitoneal berbanding lurus dengan konsentrasi glukosa dari cairan dialisat.

Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya perbedaan :

Kecepatan transport air dan zat terlarut dapat diestimasi secara periodic melalui PET test (Peritoneal Equilibrum Test). Continuous a. Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) = Dialisis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan; CAPD tidak membutuhkan mesin khusus seperti pada APD. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai tempat keluar masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan ke dalam rongga perut (peritoneum). Akses ini berupa kateter yang ditanam di dalam rongga perut dengan pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar. Lokasi dimana sebagian kateter muncul dari dalam perut disebut exit site. b. Perawatan kateter dan Exit Site: 1) Mandi setiap hari untuk menjaga kebersihan kulit, khususnya di sekitar exit site. Jangan mandi berendam. 2) Ganti pakaian dalam maupun pakaian luar setiap hari 3) Jangan gunakan bahan kimia, misalnya alkohol dan bahan yang mengandung klorida untuk membersihkan exit site atau kateter. Anda hanya boleh menggunakan sabun dan air untuk membersihkan exit site dan keteter 4) Jangan gunakan krim, salep, atau bedak tabur di sekitar exit site 5) Jaga posisi keteter krim agar tetap berada pada tempatnya (tidak tertarik, tertekuk, terputar, atau tersangkut) dengan menempelkannya pada kulit dengan bantuan plester.

2. a.

Teknik CAPD Alat alat yang harus disediakan Larutan dialisat

2.1 Persiapan program CAPD

Larutan untuk program CAPD dalam kantung plastik yang fleksibel. -Volume setiap kantung 1-2 liter - Susunan elektrolit tergantung pabriknya. Contoh : Travenol Inc. (Baxter) - Konsentrasi dekstrose: Larutan dialisat standard (dekstose 1,5%), hipertonis (dekstrose 2,5% atau 4,25 %). - pH dialisat rendah < 5,5 b. Transfer sets. - Straight transfer set design. - Y transfer sets design. Bila dipakai transfer sets yang lurus biasanya untuk pemasukan (inflow)/pengeluaran (outflow) cairan dialisat dengan sistem tertutup (closed system) c. Variasi sambungan untuk CAPD a. Titanium connector b. Quick connect-disconnect systems - Transfer set-to-container connection a. Spike-and-port design - Catheter-to-transfer set connectors

b. Inpersol system c. Easy lock connector. d. Modifikasi konektor untuk CAPD. Sistem konektor ini merupakan upaya untuk mengurangi resiko infeksi peritonitis. Beberapa teknik baru antara lain: - Mechanical devices to assist in spike-port insertion - UV light sterilization device - The sterile connection device (tube catter) e. a. b. c. d. Kateter peritoneum Standard double-cuff Tenckhoff. Jenis ini paling sering dipakai di Indonesia. Curled tenckhoff Toronto Western II Lifecath catheter. Obat-obatan yang harus diberikan intraperitoneal selama 10-14 hari sebagai tindakan pencegahan komplikasi: a. b. Heparin. 1000 unit untuk setiap kantung dialisat. Antibiotika. Biasanya golongan aminoglikosida/sefalosporin 100 mg untuk setiap kantung dialisat. 2.2 Teknik Pemasangan kateter Tenckhoff Anastesi lokal Pemasangan oleh ahli bedah di kamar operasi. Setelah dicoba pemasukan/pengeluaran berjalan lancar, sebaiknya untuk program rutin CAPD ditangguhkan selama 1-2 minggu (menunggu penyembuhan luka operasi). Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis atau CAPD adalah satu-satunya jenis peritoneal dialisis yang tidak menggunakan mesin.Melalui CAPD,anda boleh melakukannya sendiri di rumah atau di tempat kerja.Selalunya ia dilakukan 4 atau 5 kali sehari. Anda akan meletakkan satu bag dialisat(lebih kurang 2 liter) ke dalam rongga peritoneal anda melalui katerer.Dialisat akan dibiarkan di dalam rongga peritoneal tadi selama 4 atau 5 jam.Kemudian akan dikeringkan kembali ke dalam bag dan dibuang.Ini disebut sebagai bursa atau pertukaran. Anda akan menggunakan 1 bag dialisat yang baru setiap kali melakukan bursa.Sementara dialisat dibiarkan di dalam rongga peritoneal,anda bolehlah melakukan aktiviti harian atau pun kerja anda. Untuk program CAPD dapat dipakai macam-macam kateter yaitu:

- Obat-obatan

2.3 Teknik Ada beberapa teknik yang digunakan dalam dialisa peritoneal: a. Dialisa peritoneal intermiten manual. Merupakan teknik yang paling sederhana. Sebuah kantong berisi cairan dipanaskan sesuai suhu tubuh, lalu cairan dimasukkan ke dalam rongga peritoneum selama 10 menit dan dibiarkan selama 60-90 menit, kemudian dikeluarkan dalam waktu 10-20 menit. Keseluruhan prosedur memerlukan waktu sekitar 12 jam. Teknik ini terutama digunakan untuk mengobati gagal ginjal akut. b. Dialisa peritoneal intermiten dengan pemutar otomatis. Bisa dilakukan di rumah penderita. Suatu alat dengan pengatur waktu secara ototmatis memompa cairan ke dalam dan keluar dari rongga peritoneum. Biasanya alat pemutar dipasang pada waktu tidur sehingga pengobatan dijalani pada saat penderita tidur. Pengobatan ini harus dilakukan selama 6-7 malam/minggu. Dialisa peritoneal berpindah-pindah yang berkesinambungan. Cairan dibiarkan di dalam perut dalam waktu yang lama, dan dikeluarkan serta dimasukkan lagi sebanyak 4-5 kali/hari. Cairan dikemas dalam kantong polivinil klorida yang dapat dikembangkempiskan. Jika kosong, kantong ini bisa dilipat tanpa harus melepaskannya dari selang. Biasanya cairan harus diganti sebanyak 3 kali, dengan selang waktu 4 jam atau lebih. Setiap pergantian memerlukan waktu 30-45 menit. c. Dialisa peritoneal yang dibantu oleh pemutar secara terus menerus. Teknik ini menggunakan pemutar otomatis untuk menjalankan pergantian singkat selama tidur malam, sedangkan pergantian yang lebih lama dilakukan tanpa pemutar pada siang hari. Teknik ini mengurangi jumlah pergantian di siang hari tetapi pada malam hari penderita tidak dapat bergerak secara leluasa karena alatnya tidak praktis. 2.4 Kontraindikasi CAPD Dialisa peritoneal tidak boleh dilakukan pada penderita yang: a. b. c. d. menderita infeksi dinding perut memiliki hubungan abnormal antara dada dan perut baru saja menjalani pencangkokkan pembuluh darah buatan di dalam perut memiliki luka baru di perut. Pada peritoneal dialisa, yang bertindak sebagai penyaring adalah peritoneum (selaput yang melapisi perut dan membungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu

sehingga limbah metabolik dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut. Kemudian cairan dikeluarkan, dibuang dan diganti dengan cairan yang baru. Biasanya digunakan selang karet silikon yang lembut atau selang poliuretan yang berpori-pori, sehingga cairan mengalir secara perlahan dan tidak terjadi kerusakan. 2.5 Keuntungan CAPD dibandingkan HD : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu. Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana HD Pembuangan cairan dan racun lebih stabil Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama

2.6 Kelemahan CAPD : 1. 2. 1. 2. III. Resiko infeksi Peritonitis Exit site Tunnel BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi Penilaian bersifat individual Adakah faktor kelainan yang menyebabkan CAPD lebih bermanfaat dibanding HD? Kesulitan akses vaskular, penyakit cardiovaskular yang berat Jarak rumah dengan center HD, pekerjaan Encapsulating Peritoneal Sclerosis 1. Pendahuluan Pemanfaatan rongga peritoneal dialisis untuk menciptakan kesempatan bagi perubahan dalam fungsi dan struktur membran peritoneum. itumembran peritoneal telah terbukti, namun, untuk menjadi organ sangat kuat. Memang, beberapa studi telah mendokumentasikan stabilitas fungsional membran dalam evaluasi jangka pendek dan menengah. Salah satunya yang diingatkan bahwa pengamatan yang spektakuler dalam jumlah kecil pasien yang diotopsi yang memiliki perubahan struktural minimal meskipun adakomplikasi infeksi berulang. Pengamatan terisolasi menggambarkan fakta bahwa respon dari membran peritoneal yang berpotensi dapat memodifikasi faktor yang

Penilaian HD atau CAPD :

beragam dan generalisasi pada kedua kekebalan mengubah atau kecenderungan untuk perubahan luas keliru. Selanjutnya, meskipun upaya penting pada berbagai titik waktu dalam sejarah dialisis peritoneal(PD) untuk memeriksa peritoneum pasien pada PD, ruang lingkup perubahan dan sejarah alami dari membran peritoneal selama dialisis sepenuhnya belum dijelaskan. Hal ini jelas karena pembatasan bahan klinis untuk memeriksa dan mungkin sifat bias sampel yang diperiksa. Selanjutnya, teknik analisis morfologi secara bertahap berkembang dan juga target pemeriksaan telah berevolusi. Salah satu modifikasi struktural peritoneum yang telah menyebabkan perhatian yang signifikan atas nasib pasien dialisis yang telah diberi label sclerosing encapsulating peritonitis. Multiplisitas dari etiologi yang dicurigai dan kebingungan atas patofisiologi tercermin dalam berbagai istilah yang telah digunakan tanpa pandang bulu dan bergantian untuk menggambarkan komplikasi ini, seperti fibrosis peritoneal, sklerosis peritoneal, penebalan sklerotik dari membran peritoneal, sklerotik peritonitis obstruktif, peritonitis kalsifikasi, dan peritonitis sklerosing. Istilah paling sering dipakai dalam literatur nefrologi dalam beberapa tahun terakhir adalah sclerosing encapsulating peritonitis, tetapi popularitas istilah tidak selalu memvalidasi penggunaan yang terus menerus, seperti yang dirusak oleh morfologi yang tidak tepat, terutama dalam referensi untuk komponen inflamasi yang sering absen dalam sindrom dikembangkan (peritonitis). Deskripsi yang lebih akurat adalah encapsulating peritoneal sclerosis(EPS), yang lebih menggambarkan perubahan morfologi. 2. Defenisi Encapsulating Peritoneal Sclerosis adalah komplikasi dialisis peritoneal yang jarang ditemukan namun berpotensi mematikan. 3. Epidemiologi Tidak ada perkiraan memuaskan yang membandingkan kejadian dialisis yang terkait dan tidak terkait dengan EPS. Survei terbaik berasal dari survei dari 18 pusat bedah di Perancis yang mengalami 32 kasus operasi selama periode pengamatan 16 tahun. Hasil survei ini ditunjukkan dalamTabel 1.Hal ini jelas dari data ini bahwa, dari perspektif bedah, EPS jarang. Bagaimanpun juga, hal ini tidak dapat kita samakn karena mereka mencerminkan kasus operasi.Laporan lain dari Perancis juga menyoroti etiologi yang dominan terkait penyebab non dialisis, dengan kemoterapi intraperitoneal yang berkontribusi dengan banyak kasus sebagai PD.

Hal ini jelas dari data ini bahwa, dari perspektif bedah, EPS jarang. Bagaimanpun juga, hal ini tidak dapat kita samakn karena mereka mencerminkan kasus operasi.Laporan lain dari Perancis juga menyoroti etiologi yang dominan terkait penyebab non dialisis, dengan kemoterapi intraperitoneal yang berkontribusi dengan banyak kasus sebagai PD. Dua jenis laporan tentang kejadian parah sclerosing peritonitis terkait dengan PD telah diterbitkan.Sementara literatur penuh dengan studi kasus sendiri dan deskripsi seri kecil dari pasien berisiko tinggi terkena asetat atau chlorhexidine. Hasil dari ini disimpulkan dalam Tabel 2. Frekuensi tertinggi yang diamati dalam laporan Jepang, dengan frekuensi sangat rendah di U.S.A., Kanada, dan Eropa. Sebagai catatan adalah bahwa frekuensi singlecenter di Jepang lebih tinggi dari frekuensi nasional dari negara itu.

Tipe lain dari laporan berdasarkan besar sampel nasional atau multinasional memberikan perkiraan yang sama. Sebuah studi dari Registry dari Dialisis Eropa dan Perkumpulan Transplantasi, yang dilakukan pada tahun 1985 pada saat penggunaan asetat dan penggunaan klorheksidin masih umum, dilaporkan 214 kasus dari 112 pusat di 19 negara. Mereka memperkirakan rentang frekuensi dari yang rendah 0,3 per 1.000 di Spanyol sampai yang tertinggi 3,1 per 1.000 di Belgia. Dua laporan terbaru memiliki manfaat sangat besar dari ukuran sampel dengan sedikit atau tidak ada pasien yang telah terkena cairan dialisis asetat atau cairan lavage. Rigby dan Hawley melaporkan 54 kasus sclerosing peritonitis pada 7374 pasien warga Australia yang diobati dengan PD selama bertahuntahun dari 1978-1994. Ini adalah keseluruhan prevalensi 0,7%. Prevalensi EPS dikonfirmasiadalah

0,6%. Prevalensi sclerosing peritonitis yang sudah dikonfirmasi adalah 0,6%. Untuk pasien dengan PD lebih dari 2 tahun, 5, 6, dan 8 tahun,masing-masing adalah 1,9; 6,4; 10,8; dan 19,4%. Agaknya, sebagian besar ini didiagnosis sebagai pada 87% dari semua kasus, dan obstruksi usus kecil 92% dari semua kasus sclerosing peritonitis.Tingkat insiden tahunan untuk Australia adalah 1,9 per1000 PD periode 1980-1989, dan 4,2 per 100 PD dari 1990-1994. Pada laporan kasus dari Jepang, grup studi EPS, Nomoto et al melaporkan 62 kasus EPS pada 6923 pasien yang dirawat sekitar tahun 19901994 (0,9%).

4. Etiologi Beberapa etiologi telah disebutkan baik yang terkait maupun tidak terkait dialisis ataupun penyebab yang dicurigai (Tabel 3). Ada beberapa agen atau faktor yang berkontribusi atau menjadi predisposisi pada pasien dengan EPS; kenyataannya etiolgi EPS adalah multifaktorial. Untuk lebih ringkas, etiologi EPS dibagi 2 bagian yaitu yang terkait dan tidak terkait dialisis. Keseluruhan faktor dan kondisi penyebab EPS mengganggu keseimbangan fisiologis membran peritoneal yang lama kelamaan berkembang menjadi EPS. Tetapi, harus menjadi catatan bahwa tidak semua pasien dialisis peritoenal berkembang menjadi EPS. Harus ada beberapa hal yang dapat mencegah kemungkinan pasien PD berkembang menjadi EPS. Penyebab EPS sekunder terhadap PD yaitu keadaan yang berat atau peritonitis yang tidak terselesaikan, khususnya karena Staphylococcus aureus, jamur, dan Pseudomonas sp, dan juga khususnya pada pasien lama. Meningkatnya durasi PD telah ditetapkan sebagai salah satu faktor resiko EPS, yang berasal dari laporan dari hasil studi Australia tentang hubungan antara meningkatnya waktu PD dengan peningkatan resiko EPS. Menurut Rigby, prevalensi EPS meningkat dari 1,9% paling lama dalam 2 tahun, 19,4% paling lama 8 tahun PD. Beberapa hal yang berhubungan dengan terjadinya EPS seperti cairan PD asetat-bufer, memakai agen beta bloking, penggunaan penyaring bakteri, dan terpapar antiseptik atau desinfektan. Dari semua hal di atas, faktor paling banyak adalah penggunaan klorhexidin sebagai desinfektan spray untuk PD konektor. Ada kemungkinan genetik ikut berperan dalam EPS ketika terpapar dnegan satu atau lebih agen penyebab. Sebagai contoh: insiden EPS setelah 8 tahun dengan PD sekitar 19,4%, dan lebih dari 80% dan lebih dari 80% pada pasien lama yang bebas tanda klinis atau gejala dari sindroma sklerosing.

Faktor Resiko: 1. Penggunaan obat-obatan penyekat beta 2. Klorheksidin 3. Dialisat mengandung asetat 4. Penghentian terapi dialisis peritoneal atau konversi dari dialisis peritoneal ke hemodialisa 5. Paparan berkepanjangan terhadap dialisat yang mengandung glukosa konsentrasi tinggi 6. Episode peritonitis berulang 7. Lamanya terapi dialisat peritoneal 8. Tidak adanya fungsi ginjal sisa

5. Manifestasi klinik Beberapa manifestasi klinis yang mungkin muncul pada EPS adalah: 1. Anorexia 2. Nausea 3. Vomitus 4. Rasa cepat kenyang 5. Konstipasi 6. Nyeri abdomen 7. Distensi abdomen 8. Penurunan berat badan 9. Sindroma obstruksi usus 10. Diare 6. Cara diagnosis Pendekatan diagnosis EPS mencakup 4 aspek yang harus dievaluasi yaitu: a. Diagnosis Klinis Diagnosis klinis merupakan langkah awal untuk menentukan manifestasi klinis dengan patologi klinis yang mendasarinya. Gejala gejala yang berhubungan dengan EPS didasari oleh gangguan proses patologis pada fungsi intestinal dan integritas peritoneal. Proses encapsulating bertanggung jawab terhadap gangguan proses intestinal yang bermanifestasi secara primer sebagai gangguan motilitas disertai dengan gangguan resultan dari fungsi reabsorbsi. Hasil dari encapsulasi ini mengurangi hilangnya motilitas yang bermanifestasi klinis sebagai ileus obstruktif. Secara klinis, sangat sulit untuk membedakan ileus obstruktif yang disebabkan EPS dengan penyebab lain seperti gangguan motilitas usus dan menyingkirkan penyebab lain adhesi, infeksi, dan keadaan patologis intraabdominal lainnya.Peringatan dari kesamaan yang dapat terjadi antara manifestasi klinis daripada proses penyakit yang mengganggu alur pada umumnya yaitu motilitas usus. Tanda-tanda dan gejala EPS kadang-kadang sulit ditentukan dan tidak terlokalisir. Mual, muntah, persaan penuh pada perut, bisisng usus menghilang, nyeri perut, massa abdomen atau pelvis dan aspek klinis yang lain, bisa diobeservasi dnegan beberapa kondisi. Pada kondisi yang sama, anoreksia dan penurunan berat badan yang terobservasi dengan EPS meruapakan hasil dari gangguan motilitas usus dan penyebab lain yang nantinya dapat memberikan hasil yang mirip dengan gambaran klinisnya. Yang dapat dibedakan dari gambaran klinis EPS, bagaimanapun juga gambaran klinis yang membahayakan dan menahun daripada perkembangan klinis penyakitnya. Penyebab lain yang berhubungan dengan motilitas usus dengan berbagai konsekuensinya cenderung memberi gambaran manifestasi akut. Harus diingat beberapa kondisi dengan gejala klinis yang saling tumpang tindih dapat terjadi bersamaan. Terdapat beberapa laporan mengenai keadaan patologis abdominal yang

berhubungan dengan EPS. Peringatan tambahan dalam bentuk timbulnya suatu penyakit tidak beraturan dan luasnya gejala dan patologi tidak dapat saling berhubungan. Munculnya tanda dan gejala dari gangguan motilitas usus mungkin tidak hanya berasal dari kekakuan usus yang terjebak dari proses encapsulating, tetapi juga dari keikutsertaan dan kerusakan dari pleksus mesentrika oleh perubahan fibrotik. Pada kasus ini, gangguan motilitas adalah proses sekunder dari denervation. Aspek lain dari profil EPS merupakan presentasi yang tidak umum dari peritonitis berulang atau yang tidak teratasi. Pasien dengan EPS mungkin bisa diduga pertama kali mempunyai sindrom yang disebabkan oleh peritonitis yang tidak teratasi atau gejala-gejala peritonitis yang terdeteksi sebagai akibat hilangnya kultur positif. Pasien ini mungkin dilakukan prosedur pelepasan kateter dan deteksi terhadap EPS mungkin dilakukan secara kebetulan. Hubungan antara peritonitis dnegan EPS sangat kompleks. Infeksi yang mungkin berkontribusi terhadap perkembangan kerusakan peritoneal dapat berkembnag menjadi suatu EPS dan perkembangannya dapat terasosiasi dengan faktor predisposisi yang lebih luas. Aliran darah persisten yang diamati pada pasien EPS mungkin merupaka suatu neoangiogenesis atau mungkin berhubunagn dengan proses adhesi. Aliran darah bukan meruopakan patogonomik dari EPS maupun angiogenesis. Fungsi tarnsport peritoneal masih diperdebatkan. Beberapa sumber yang ada membuktikan bahwa kegagalan ultra-filtrasi dan berkurangnya pembersihan zat terlarut merupakan tanda khas dari EPS. Ketika terjadi suatu gangguan, evaluasi transport formal pada pasien EPS digambarkan dengan gambaran yang berbeda. Hilangnya cairan yang progresif ditemukan pada beberapa pasien. Hal ini tidak dapat mengurangi kriteria diagnosis EPS. Dan munculnya kapasitas ultrafiltrasi yang menurun tidak dapat dijadikan kriteria diagnosis EPS karena kegagalan ultra-filtrasi yang multipel. Berbeda dengan frekuemsi kapasitas ultra-filtrasi yang menurun, pengukuran yang lain dari transport peritoneal dapat berupa glukosa, kreatinin dan lainnya tidak memberikan gambaran yang sama. Semua varian dari transport glukoasa dan kreatinin memberilkan gambaran dengan EPS. Penting untuk tidak menganggap remeh nilai keakuratan klinis untuk mendeteksi EPS. Kecurigaan yang tinggi diperlukan untuk diagnosis awal EPS, diagnosis awal dapat mempengaruhi hasil akhir. Bagaimana pun juga, hal tersebut harus digabungkan dengan ketelitian yang tinggi untuk menentukan diagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan menggabungkan antara manifestasi klnik dengan gambaran radiologis. Penggunaan tes laboratorium yang lainnya dalam mengkonfirmasi diagnosis EPS masih memerluksn pengawasan yang ketat. Tes untuk anemia dan tingginya level CRP disarankan sebagai tes tambahan. Haruslah diingat bahwa kondisi klinis umum dapat mengubah tes tersebut dan hal tersebut harus dianggap kriteria minor untuk diagnosis.

b. Radiologi diagnostik Elemen diagnosis radiologi yang bershubungan dengan diagnosis konfirmasi EPS mencakup verifikasi penebalan peritoneal dan encapsulasi, identifikasi obstruksi intestinal. Gambaran seperti kepompong dan deteksi kalsifikasi. Timbulnya gambaran tersebut pada setiap individu dapat bermacam-macam, sebagai kecocokan terhadap teknologi radiologi. Kesesuaian terhadap teknologi radiologi yang beranekaragam, beberapa hal dapat diandalkan untuk mendeteksi berbagai macam perubahan tersebut. USG dan CT-Scan meruapakan metode yanng sering digunakan yang memainkna peran penting untuk konfirmasi diagnostik dalam beberapa kasus. Pada beberapa kasus, kumpulan profil klinis dan temuan radiologis sudah dapat mencukupi konfirmasi diagnostik. Dokter yang bertanggung jawab harus tanggap terhadap terhadap hasil positif palsu dan negatif palsu. Tes tersebut dapat digunakan untuk program skrining dan mempertimbangkan jarangnya kondisi tersebut dan tingginya biaya tes tersebut. Skrining yang tidak sesuai jadwal tidak bermanfaat. Dengan adanya keraguan klinis, kontribusi radiologis mungkin bermanfaat. Gambaran tipikal untuk setiap tes ditampilkan pada tabel 4. Peran relatif untuk masing-masing tes telah diperiksa dalam serangkaian seri penelitian. Penelitian mengenai media kontras yang larut dalam air dengan karakteristik yang menampilkan berbagai panjang usus erat tertutup dalam "kepompong" dari peritoneum yang menebal, dilatasi usus kecil proksimal, dan peningkatan waktu transit. Computed tomography scan menunjukkan penebalan peritoneum dan dapat mengungkapkan asites yang terlokasi, usus yang melekat, dan penyempitan lumen usus. USG menunjukkan karakteristik penampilan trilaminar, tetapi membutuhkan cairan peritoneal in situ. Kelainan tambahan terlihat padaUSG terdiri peristaltik usus kecil yang meningka, penarikan dari usus ke posterior dinding perut, helai Echogenic intraperitoneal, dan dalam tahap akhir dari penyakit, pembentukan membran. Visualisas yang optimal dari fitur ini mengharuskan cairan dialisis ada dalam perut. c. Diagnosis patologi Data yang tersedia mengenai struktur perubahan menunjukkan perubahan besar dalam morfologi dari membran peritoneum. Meskipun definisi yang tepat saat ini tidak tersedia, gambaran yang umum tampaknya lengkap dengan mesothelium yang hilang, disertai dengan penebalan interstitial bruto dalam membran. Interstitium menebal dapat selular (mungkin fibroblas diaktifkan) atau acellular di alam (mungkin deposisi kolagen interstitial). Sel-sel inflamasi yang bervariasi hadir, meskipun infiltrasi leukosit yang berkelanjutan tidak selalu menjadi ciri karakteristik kondisi. Pembuluh darah ini memiliki morfologi abnormal, namun ini mungkin merupakan cerminan dari perubahan yang terlihat selama pembuluh darah yang khusus berkaitan dengan pengembangan EPS.

d. Tes prediksi Predictive Pengujian: Diagnosis EPS yang benar bergantung temuan klinis, tes radiologis, dan jaringan sampel yang diperoleh selama operasi korektif percobaan. Sementara banyak gambaran radiologis yang menjelaskan EPS sangat membantu dalam diagnosis pada banyak kasus, tidak ada penelitian yang meneliti alat-alat ini sebagai pengujian prediksi. Kebanyakan penelitian yang mengevaluasi nilai-nilai teknik radiologis yang berbeda yang telah dilakukan pada pasien yang sudah didiagnosis dengan EPS. Radiologi sskrining untuk mendeteksi sclerosing peritonitis awal pada pasien resiko tinggi memerlukan studi lebih lanjut. Penelitian limbah belum membuktikan nilai mereka dan tidak ada tes yang diproduksi dan diandalkan untuk mengidentifikasi pasien yang risiko tinggi yang dapat berlanjut pada komplikasi ini.

7. Penatalaksanaan Berbagai perawatan telah digunakan dalam EPS (Tabel 5). Mengingat sifat sporadis dan frekuensi penyakit yang rendah, perawatan ini telah terbatas pada laporan kasus atau seri kecil. Tak satu pun dari perawatan klinis diterapkan secara universal berjalan sukses,dan keberhasilan konon telah ditutupi oleh kegagalan yang dilaporkan. Dalam pandangan "laci sindrom"(terapi gagal yang tidak dilaporkan namun diajukan dalam penelitian), dapat dinyatakan dengan keyakinan bahwa tidak ada terapi yang sam,a sukses untuk EPS untuk saat ini. Bahkan penarikan dari PD mungkin tidakdianggap terapeutik, tetapi kemungkinan dilakukan untuk dianggap terduga penghapusan faktor patogen, meskipun adaalasan untuk percaya bahwa meninggalkan peritoneum "kering" memang dapat memperburuk kondisi. Keterbatasan utama terapi yang

berhasil

tertunda diagnosis, indeks tinggi dari kecurigaan penting untuk intervensi awal.

Kehadiran konstelasi untuk temuan klinis mencurigakan untuk kondisi harus membangkitkan noninvasif radiologis untuk pemeriksaan sebagai layar awal. Penerapan skrining reguler belum diuji karena kurangnya pengidentifikasi prediksi kelompok berisiko tinggi. Tidak ada kesepakatan dalam literatur tentang apakah pilihan pengobatan adalah pembedahan (termasuk lengkap melepaskan dari usus kecil dari proses inflamasi) atau terapi konservatif, terdiri dari steroid dan atau obat imunosupresif dengan atau tanpa nutrisi parenteral total (TPN) dan mungkin penghentian terus menerus rawat PD (CAPD) dengan transfer berikutnya untuk hemodialisis.

Hal ini diterima dengan baik bahwa TPN, kadang-kadang untuk jangka waktu lama merupakan turunan dari kedua pendekatan konservatif dan intervensi bedah, sebagai hasil yang baik telah dilaporkan untuk sclerosing pasien peritonitis pada TPN. Meskipun ada laporan tertentu tentang hasil sukses setelah intervensi bedah, terutama pada pasien dengan kepompong peritoneal yang berhubungan dengan peritonitis, prognosis setelah operasi biasanya kurang baik. Upaya bedah untuk membebaskan usus kecil dari konstriksi jaringan fibrosa yang berbahaya kecuali salah satu dapat menemukan hubungan yang jelas antara membran dan usus kecil. Sebuah pendekatan alternatif adalah untuk membuat beberapa sayatan dalam penebalan membran untuk membebaskan usus yang mendasarinya. Operasi dalam keadaan ini sulit, dengan banyak komplikasi pasca operasi dan kematian yang tinggi. Komplikasi setelah intervensi bedah meliputi obstruksi usus berulang terus menerus, malnutrisi, pembentukan fistula, intraperitoneal abses, sepsis, dan kematian. Pendekatan Konservatif: Dengan tidak adanya obstruksi usus kecil, EPS dapat meningkatkan dan menjadia pendekatan simptomatik menyusul penghapusan peritoneal kateter dan penghentian CAPD. Hal ini telah terbukti bahwa pembentukan membran baru mungkin

menghilang tanpa intervensi bedah. Strategi dasar untuk pengobatan konservatif EPS adalah penghentian CAPD, transfer ke hemodialisis, dan berkelanjutan sisa usus dengan administrasi TPN. Namun, penghentian CAPD tidak selalu menghentikan atau membalikkan progresi fibrosis peritoneal, kecuali mungkin pada tahap awal. Dengan berhentinya CAPD, kurangnya cairan bebas antara lingkaran usus membawa permukaan usus lebih dekat bersama-sama dan dapat mempercepat adhesipembentukan dan terjadinya obstruksi usus. Dengan kondisi tersebut, EPS bahkan dapat dipercepat setelah penghentian CAPD. Selanjutnya, dialisis dapat bertindak untuk terus menghapusf ibrin, sehingga mencegah pengendapan lebih lanjut dan organisasi. Meskipun ada risiko ini, jika diagnosis telah dibuat pada tahap kerusakan intraperitoneal yang ireversibel, penghentian CAPD dan beralih ke hemodialisis tampaknya menjadi satu-satunya pilihan. Pasien dengan konstelasi gejala dan tanda sugestif EPS(kegagalan ultrafiltrasi parah, kalsifikasi peritoneum, atau persisten darah limbah atau peritonitis yang keras) harus dievaluasi segera, dan jika diagnosisasudah dikonfirmasi, manajemen dimulai. Imunosupresif dalam EPS: agen imunosupresif, sendiri atau dalam kombinasi dengan lisis adhesi, telah bermanfaat dalam pengobatan beberapa pasien dengan EPS, terutama adanya peradangan peritoneal, walaupun belum seluruhnya ditetapkan. Terapi imunosupresif telah dikaitkan dengan kelangsungan hidup berkepanjangan pada pasien yang menderitadari EPS dengan memperlambat perkembangannya dan dengan meningkatkan kemungkinan remisi. Terapi imunosupresif (prednison 30 - 50 mg, azathioprine100-125 mg), sendirian atau dalam hubungan dengan transplantasi ginjal, dapat menyebabkan remisi berkepanjangan dan atau kelangsungan hidup pada pasien EPS. Bhandari et al. (198) telah menyarankan bahwa pra operasi imunosupresi pada CAPD terkait meningkatkan hasil sclerosing peritonitis pasien dan harus dianggap sebagai pengobatan awal dengan maksud untuk selanjutnya operasi. Meskipun, pada kebanyakan pasien memiliki terapi kombinasi dengan steroid dan sitotoksikagen, Mori et al. telah berhasil melakukan sclerosing pasien peritonitis dengan terapi steroid sendiri. Baru-baru ini, bukti yang sukses tentang penggunaan tamoxifen dalam satu kasus EPS telah dilaporkan. Eksplorasi lebih lanjut serbaguna agen ini dapat dibenarkan. PENCEGAHAN : kurangnya pemahaman kita tentang proses yang mengarah pada

pengembangan EPS sangat membatasi kemampuan untuk mencegah terjadinyanya. Dalam situasi di mana pasien yang menerima terapi PD untuk waktu yang lama,satu-satunya cara untuk memahami bagaimana untuk mencegah EPS adalah untuk lebih memahami faktor-faktor penting etiologinya. Pada saat ini, pencegahan mungkin tidak realistis dan kita harus mengidentifikasi mana dari pengobatan yang paling efektif dan menerapkannya di awal tahap. Identifikasi tandatanda awal dari EPS adalah tujuan utama, seperti intervensi sebelumnya, operasi atau dengan terapi imunosupresif, secara teoritis lebih efektif.

8. Prognosis Gejala setelah EPS muncul dan diagnosis telah dibuat, kematian sangat tinggi dan bervariasi antara 20% dan93% (38,43,44). Kematian terjadi pada lebih dari 60% pada pasien dalam waktu 4 bulan setelah diagnosis, hampir selalu karena penyakit yang berhubungan dengan obstruksi usus atau komplikasi operasi.

You might also like