You are on page 1of 9

Pendahuluan Kata abortus (aborsi, abortion) bersalah dari bahasa latin aboriri-keguguran (to miscarry).

Menurut New Shorter Oxford Dictionary (2002), abortus adalah pesalinan kurang bulan sebelum usia janin yang memungkinkan untuk hidup, dan dalam hal ini kata bersinonim dengan keguguran. Abortus juga berarti menginduksi penghentian kehamilan untuk menghancurkan janin. Meskipun dalam konteks medis kedua kata tersebut dapat dipertukarkan, pemakaian kata abortus oleh orang awam mengisyaratkan penghentian kehamilan secara sengaja. Karena itu, banyak orang cenderung memakai kata keguguran untuk menunjukkan kematian janin spontan sebelum janin dapat hidup (viable). Yang mungkin membigungkan, pemakaian sonografi dan pengukuran kadar gonadotropin korion manusia (hCG) secara luas memungkinkan kita mengidentifikasi kehamilan pada tahap yang sangat dini bersama dengan istilah-istilah untuk menjelaskan hal-hal diatas. Beberapa contoh adalah early pregnancy loss atau early pregnancy failure. Di sepanjang buku ini, kami menggunakan semua kata-kata ini pada satu atau lain waktu. Durasi kehamilan juga digunakan untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan abortus untuk kepentingan statistic dan legal. Sebagai contoh, National Center for Health Statistic, Centers for Disease Control and Prevention, dan World Health Organization mendefinisikan abortus sebagai penghentian kehamila sebelum gestasi 20 minggu atau dengan janin memiliki berat lahir kurang dari 500 g. Meskipun demikian, definisi tetap bervariasi sesuai hokum yang beralaku di masing-masing negara bagian.

Abotrus Spontan Lebih dari 80% abortus spontan terjadi pada kehamilan 12 minggu pertama. Paling tidak separuhnya disebabkan oleh anomaly kromosom. Juga tampaknya terdapat rasio jenis kelamin wanita-pria sebesar 1,5 pada abortus dini. Setelah trimester pertama, baik angka abortus maupun insiden anomaly kromosom menurun. Keguguran dini biasanya disertai oleh perdarahan kedalam desidua basalis dan disertai nekrosis jaringan sekitra. Dalam kasus ini, ovum terlepas, dan hal ini merangsang kontraksi

uterus yang menyebabkan ekspulsai. Jika kantong gestasi dibuka, sering dijumpai cairan mengelilingi janin kecil yang telah mengalami maserasi atau mungkin juga tidak dijumpai janin apa yang disebut sebagai blighted ovum.

Epidemiologi Prevelensi avortus spontan bervariasi sesuai kriteria yang digunakan untuk

mengidentifikasinnya. Sebagai contoh, Wilcox, dkk. (1998) memperlajari 221 wanita sehat melalui 707 daur haid. Mereka mendapatkan bahwa 31% kehamilan gagal setelah implatasi. Yang penting dengan menggunakan pemeriksaan yang sagat spesifik untuk mendeteksi gonadotropon korian manusia (-hCG) dalam kadar sangat sedikit dalam serum, dua pertiga dari kematian dini ini dianggap asimtomatik. Sejumlah faktor memperngaruhi angka abortus spontan, tetapi belum diketahui saat ini apakah abortus yang asimtomatik dipengaruhui oleh sebagian dari faktor ini. Sebagai contoh, keguguran sintomatik meningkat seiring dengan paritas serta usia ibu dan ayah. Frekuensi berlipat dua dari 12% pada wanita berusia kurang 20 tahun menjadi 26% pada mereka yang berusia lebih dari 40 tahun. Untuk perbandingan yang sama pada usia ayah, frekuensi meningkat dari 12 menjadi 10 %. Namun kembali lagi belum diketahui apakah keguguran yang tidak disadari juga dipengaruhi oleh usia dan paritas. Meskipun mekanisme-mekanisme yang berperan dalam abortus tidak selalu jelas, selama 3 bulan pertama kehamilan, ekspulsi spontan hampir selalu didahului oleh kematian mudigah atau janin. Karena itu, untuk menemukan penyebab abortus dini perlu dipastikan penyebab kematian janin. Pada keguguran yang terjadi belakangan, janin biasanya belum meninggal sebelum ekspusi, dan penjelasan lain perlu dicari.

Faktor Janin Abortus spontan dini sering memperlihatkan kelainan perkembangan zigot, mudigah, janin, atau kadang placenta. Dari 1000 abortus spontan yang dianalisis oleh Hertig dan Sheldon

(1943), separuh memperlihatkan mudigah yang mengalami degenerasi atau tidak mengandung mudigah-blighted ovum seperti yang dijelaskan sebelumnya. Pada 50-60% mudigah dan janin dini yang mengalami abortus spontan, kalainan jumlah kromsom merupakan penyebab utama. Kelaina kromosom menjadi lebih jarang dijumpai seiring dengan kemajuan kehamilan dan ditemukan pada sekitar sepertiga kematian trimester kedua, tetapi hanya 5% dari lahir mati trimester ketiga.

Abortus Aneuploidi Kelainan kromosom ini disebabkan oleh kesalahan gematogenesis ibu, sementara yang lain disebabkan oleh keslahan ayah. Trisomi autosom adalah anomaly kromososm yang tersering ditemukan pada keguguran trimester pertama. Meskipun sebagian besar trisom terjadi karena non-disjunction terisolasi. Trisomi autosomal semua kromosom, kecuali kecuali kromosom nomor 1 pernah ditemukan pada abotrus, dan trismoal kromosom 13, 16, 18, 21 dan 22 adalah yang tebanyak. Monosomi X (45,X) adalah kelainan kromosom spesifik tunggal tersering. Kelainan ini menyebabkan sindrom Turner, yang biasanya menyebabkan abortus dan sangat jarang menghasilkan bayi permpuan lahir hidup. Triploidi sering berkaitan dengan degenerasi placenta hidropol (molar).

Abortus Euploidi Janin dengan kromosom normal cenderung mengalami abortus lebih belakang daripada janin yang mengalami aneuploidi. Sebagai contoh, meskipun 75% abortus anuploidi terjadi sebelum 8 minggu, abortus euploidi memuncak pada sekitar 13 minggu. Insiden abortus euploidi meningkat drastic setelah usia ibu melewati 35 tahun.

Faktor Ibu Penyeba abortus euploidi belum sepenuhnya dipahami, meskipun berbagai penyakit medis, keadaan lingkungan, dan kelainan perkembangan diperkirakan berperan. Pengaruh usia ibu sudah banyak dikenal telah dibahas di atas. Infeksi Infeksi jarang menjadi penyebab abortus dini. Sejumlah infeksi spesifik telah diteliti. Sebagai contoh, meskipun Brucella abortus dan Campylobacter fetus menyebabkan abortus pada sapi keduanya tidak menyebabkan hal yang sama dengan manusia. Juga tidak tetdapat bukti bahwa Listeria monocytogenes atau Chlamydia trchomatis merangsang abortus pada manusia. Dalam sebuah penelitian studi prospektif, infeksi oleh virus herpes simpleks pada awal kehamilan juga tidak meningkatkan insiden abortus. Bukti bahwa Toxoplasma gondii menyebabkan abortus pada manusia masih belum pasti. Kelaina Endokrin Hipotiroidisme. Defisiensi iodium berat dapat berkaitan dengan keguguran. Defisiensi hormone tiroid sering terjadi pada wanita, biasanya disebabkan oleh penyakit autoimun, tetapi efek hipotiroidisme pada abortus dini belum diteliti secara mendalam. Autoantibody tiroid saja pernah dilaporkan berkaitan dengan peningkatan insiden keguguran Diabete melitus Angka arbutus spontan dan malformasi congenital mayor meningkat pada wanita dengan diabetes bergantung-insulin. Resiko tampaknya berkaitan dengan derajat kontrol metabolic pada awal kehamilan. Kurangnya kontrol glukosa menyebabkan meningkatnya mencolok angka abortus. Diabetes overt adalah penyebab keguguran berulang. Nutrisi Defisiensi salah satu nutrient dalam makanan atau defisiensi moderat semua nutrient tampaknya bukan penyebab penting abortus. Bahkan pada tingkat ekstrim, hiperemis gravidarum disertai penurunan berat yang signifikan, jarang diikuti oleh keguguran.

Klasifikasi Klinis Abortus Spontan Abortus spontan dapat diklasifikasi secara klinis melalui beberapa cara. Subkelompoksubkelompok yang sering digunakan adalah abortus mengancam (iminens), tak-terelakkan (inevitable, insipiens), inkomplet, dan missed abortion. Abortus septic adalah kondisi jika produk konsepsi dan uterus terinfeksi. Yang terakhir, keguguran berulang juga disebut recurrent pregnancy loss adalah kegagalan dini kehamilan yang berurutan yang mengisyaratkan etiologi serupa.

Abortus Mengancam Diagnosis klinis abortus mengancam (iminens) ditegakkan jika terjadi perdarahan atau pengeluaran duh darah melalui os serviks yag tertutup selama paruh pertama kehamilan. Hal ini terjadi pada 20-25% wanita selama gestasi dini dan dapat menetapkan selama beberapa hari sampai minggu. Sekitar separuh dari kehamilan ini akan gugur, meskipun resiko ini jauh lebih rendah jika aktivitas jantung janin terdeteksi. Eddleman (2006) merancang suatu model penilainan resiko individual unruk kegagalan kehamilan spontan pada lebih dari 35.000 kehamilan. Sejauh ini, perdarahan selama kehamilan adalah faktor resiko paling prediktif untuk kegagalan kehamilan. Bahkan jika abortus tidak terjadi setelah perdarahan dini, janin-janin ini berisiko tinggi mengalami persalinan kurang bulan, berat lahir rendah, dan kematian perinatal. Untungnya resiko bayi hidup dengan malformasi tampaknya tidak meningkat. Resiko untuk ibu anatara lain adalah perdarahan antepartum, pengeluaran placenta secara manual, dan pelahiran Caesar. Salah satu penyebab fisiologis perdarahan terajadi menjelang waktu haid yang dipekirakan perdarahan implantasi. Lesi serviks sering mengalami perdarahan pada awal kehamilan, terutama setelah berhubungan seks. Polip serviks dan reaksi desidua juga cenderung mengalami pendarahan pada awal gestasi. Perdarahan dari sumber-sumber ini tidak disertai oleh nyeri abdomen bawah dan nyeri punggung bawah. Pada keguguran, perdarahan biasanya tejadi pertama kali diikuti oleh kran abdoen beberapa jam atau hari kemudian. Nyeri mungkin bermanifestasi sebagai kram ritmik yang terasa

di anterior, sebagai nyeri punggung bawah persisten, diseetai perasaan tertekan di panggul atau sebagai rasa tidak nyaman tumpul di garis tegah suprapubis. Apapun bentuk nyerinya kombinasi perdarahan dan nyeri mengisyaratkan program yang buruk bagi kelanjutan kehamilan. Karena kehamilan ektopik, torsio ovarium, dan tipe abortus lainnya dapat mirip dengan abortus mengancam, wanita dengan perdarahan dan nyeri pada kehamilan dini perlu dievaluasi. Pada pendarahan yang menetap atau bayak perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit dan jika terdapat anemia dan hipovolemia signifikan maka biasanya diindikasikan evakuasi kehamilan. Tidak ada terapi yang efektif untuk abortus megancam. Tirah baring, meskipun sering dianjurkan, tidak mengubah perjalanannya. Analgesia dapat asetaminofen dapat diberikan untuk mengurangi nyeri. Biasanya dilakukan analisis terhadap sonografi transvagina, pemeriksaan serial kadar hCG serum, dan kadar progesterone yang digunakan tersendiri atau berkombinasi, untuk memastikan apakah janin hidup dan berada di dalam uterus. Karena pemeriksaanpemeriksaan di atas tidak 100% akurat dalam memastikan kematian janin makan mungkin diperlukan evaluasi berulang. Kehamilam ektopik harus selalu dipertimbangkan dalam diagnosis banding abortus mengancam. Dalam satu laporan, melaporkan 152 wanita dengan pendarahan berat yang didiagnosis mengalami abortus komplet dan ketebalan endometrium >15 mm. hampir 6% dari wanita ini ternyata mengalami kehamilan ektopik pada evaluasi lebih lanjut. Kehamilan ektopik perlu diidentifikasi secara dini sebelum tuba pecah. Karena itu, bagi wanita degan pendarahan abnormal atau nyeri panggul dan kadar -hCG serum yang rendah, kehamilan ekstrauterus harus dijadikan diagnosis banding dari kehamilan normal atau abortus mengancam.

Abortus Tak-terelakkan Ruptur besar pada membrane, yang ditandai oleh keluarnya cairan amnion disertai dilatasi serviks, merupakan tanda bahwa abortus hampir pasti terjadi. Umumnya kontraksi uterus segera dimulai sehingga terjadi abortus, atau terjadi infeksi. Meskipun jarang, dapat terjadi pengeluaran cairan vagina dalam jumlah besar selama paruh pertama kehamilan tanpa

konsekuensi serius. Jika tidak berasal dari kandung kemih, cairan ini mungkin telah lama terkumpul di antara amnion dan korion. Karena itu, jika terjadi pengeluaran cairan mendadak pada kehamilan dini sebelum nyeri, demam, atau pendarahan, pasien dapat dianjurkan untuk beristirahat dan diobservasi. Setelah 48 jam, jika tidak ada lagi cairan amnion yang keluar dan tidak terdapat perdarahan, demam, atau nyeri, wanita yang bersangkutan dapat kembali melakukan aktivitasnya kecuali segala bentuk penetrasi ke dalam vagina. Namun jika pengeluaran cairan tersebut diikuti oleh perdarahan, nyeri, atau demam, abortus harus dianggap taj-terelakkan, dan uterus dikosongkan.

Abortus Inkomplet Perdarahan terjadi jika plasenta, secara keseluruhan atau sebagian, terlepas dari uterus. Pada abortus inkomplet, ostium internum serviks membuka dan menjadi tempat lewatnya darah. Janin dan plasenta mungkin seluruhya tetap berada in utero atau mungkin sebagian keluar melalui ostium yang terbuka. Sebelum 10 minggu, janin dan plasenta sering dikeluarkan bersama-sama, tetapi kemudian mereka dilahirkan secara terpisah. Pada sebagian wanita, diperlukan dilatasi serviks tambahan sebelum kuratase dapat dilakukan. Pada banyak kasus, jaringan plasenta yang tertahan menggantung bebas di kanalis servikalis, memungkinkan ekstraksi dengan mudah dari ostium eksternum yang terpajang dengan forceps cincin. Kuratase hisap, seperti dijelaskan kemudian, secara efektif mengosongkan uterus. Pada wanita dengan abortus inkomplet yang secara klinis stabil, penanganan dengan menunggu dapat menajadi pilihan. Pendarahan akibat abortus inkomplet pada kehamilan tahap lebih lanjut kadang parah tetapi jarang mematikan. Karena itu, pada wanita dengan kehamilan tahap lebih lanjut atau dengan pendarahan hebat, evakuasi segera dilakukan. Jika terjadi demam maka pasien diberi antibiotik yang sesuai sebelum kuratase.

Missed Abortion Kegagalan Kehamilan Dini

Istilah missed abortion adalah istilah yang kurang tepat karena didifinisikan beberapa decade sebelum uji kehamilan imunologis dan sonografi ditemukan. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan hasil konsepsi yang telah mati yang tertahan selama beberapa hari, minggu, atau bahkan bulan di dalam uterus dengan ostium serviks tertutup. Karena keguguran spontan hampir selalu didahului oleh kematian mudigah, maka sebagian besar secara tepat disebut sebagai missed. Pada kasus tipikal, pasien megalami kehamilan muda yang tampaknya normal, dengan amenorea, mual dan muntah, perubahan payudara, dan pembeseran uterus. Setelah kematian mudigah, mungkin terjadi perdarahan vagina gejala abortus mengancam lainnya. Dengan sonografi, gestasi tanpa mudigah atau kematian mudigah atau janin dapat dipastikan. Banyak wanita memilih untuk melakukan terminasi medis atau bedah pada saat diagnosis ini. Jika kehamilan tidak diakhiri dan jika tidak terjadi keguguran setelah beberapa hari, atau minggu, maka ukuran uterus mula-mula tidak berubah dan kemudian secara bertahap megecil. Perubahan payudara biasanya berkurang dan wanita yang bersangkutan mengalami penurunan berat badan ringan. Banyak wanita tidak memperlihatkan gejala selama periode ini kecuali amenorea menetap. Jika missed abortion berakhir secara spontan maka proses ekspulsinya sama dengan yang terjadi pada semua abortus.

Penatalaksanaan Dengan kematian mudihaj kini mudah dipastikan dengan teknologi sonografik saat ini, penatalaksanaan dapat lebih diindividualkan. Penanganan dengan menunggu, medis, dan bedah semuanya masuk akal, kecuali jika terdapat perdarahan serius atau infeksi. Terapi bedah bersifat definitid dan dapat diperkirakan, tetapi invasive dan tidak semua wanita memerlukannya. Penanganan dengan menunggu atau secara medis mungkin dapat menghindari keharusan kuratase tetapi berkaitan dengan pendarahan yang tidak dapat diperkirakan, dan sebagaian wanita akhirnya memerlukan bedah nonefktif. Sebagai contoh, dalam suatu study pengamatan oleh Luise, 81% dari hampir 1100 wanita yang dicurigai mengalami keguguran trimester pertama melaporkan resolusi spontan. Sejumlah studi teracak dilakukan untuk mengevluasi berbagai metode ini. Namun, pada banyak kasus, studi-studi itu sendiri tidak dapat dibandingkan karena mereka menggunakan

kriteria inklusi yang berbeda-beda dengan beragam protokol. Sebagai contoh, pengosongan uterus dengan terapi lebih tinggi bagi mereka yang mengalami perdarahan vagina dibandingkan dengan wanita dengan gestasi yang lebih utuh. Dari beberapa studi dapat dibuaat beberapa generalisasi: 1. Keberhasilan bergantung pada jenis/ tipe kegagalan kehamilan dini. 2. Pada abortus inkomplet spontan, penaganan secara menunggu menyebabkan abortus menjadi komplet pada separuh kasus. 3. Untuk kegagalan kehamilan dini, tanpa penjelasan lebih lanju, PGE1 yang diberikan intravagina atau per oral efektif pada sekitar 85% kasus untuk menyebaban abortus komplet dalam 7 hari. 4. Kuratse adalah resolusi cepat yang hampir 100% berhasil dalam menuntaskan kegagalan kehamilan dini. Karena itu, terdapat beberapa opsi penanganan yang dapat dipilih oleh wanita yang bersangkutan dan dokter kebidanannya. Tentu saja, pada perdarahan atau infeksi yang berbahaya perlu segera dilakukan penuntasan abortus baik secara medis maupun bedah.

Cunningham, Leveno, Bloom, Hauth, Rouse, Spong. Williams obstetrics. Ed. 23. Jakarta: EGC;2013.h.226-35.

You might also like