You are on page 1of 15

STATUS PASIEN

A.

ANAMNESA 1. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Status Agama Alamat No RM Masuk RS : Ny. N : 48 tahun : Perempuan : Menikah : Islam : Kardipuro, Sambirejo, Sragen : 01119733 : 27 Maret 2012

Ruang perawatan : Melati 3

2.

KELUHAN UTAMA Nyeri kepala dan rahang bawah setelah kecelakaan lalu lintas

3.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Empat jam SMRS pasien mengendarai sepeda motor

bertabrakan dengan sepeda motor lain dari arah berlawanan. Pasien jatuh dengan posisi yang tidak diketahui. Pasien pingsan (+), mual (+), muntah (+). Setelah kejadian, pasien mengeluh nyeri kepala dan nyeri pada rahang bawah. Oleh penolong, pasien dibawa ke RSU Sragen lalu diinfus dan diinjeksi obat-obatn, kemudian foto rontgen kepala, dan selanjutnya dirujuk ke RSDM karena permintaan keluarga dengan diagnosis CKR E4V5M6 dan fraktur mandibula.

4.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Riwayat sakit serupa Riwayat hipertensi : disangkal : disangkal

Riwayat DM Riwayat asma Riwayat alergi

: disangkal : disangkal : disangkal

5.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA Riwayat sakit serupa Riwayat hipertensi Riwayat DM Riwayat asma Riwayat alergi : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

B.

PEMERIKSAAN FISIK Keadaaan umum Primary Survey Airway Breathing Circulation Disability Exposure : Bebas : Nafas spontan, thorakoabdominal dengan RR 18x/menit : Heart Rate 80x/menit, tensi 110/70 mmhg : GCS E4V5M6, lateralisasi (-), pupil isokor (3mm/3mm) : Suhu 36,5o C, jejas (+) lihat status lokalis. : : Sedang :

Secondary survey Kepala Mata Hidung Telinga Mulut Leher Thorax Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi

: jejas (+) lihat status lokalis : pupil isokor (3mm/3mm), RC (+/+), CA (-/-), SI (-/-) : epistaksis (-), jejas (-) : Darah (-/-), tragus pain (+/-) : Maloklusi (+) open bite, gigi tanggal (-) : Jejas (-), nyeri (-) : Normochest, jejas (-), simetris, retraksi (-) : : ictus cordis tidak tampak : ictus cordis tidak kuat angkat : batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-) Pulmo Inspeksi Palpasi Perkusi : : Pengembangan dada kanan= kiri : Fremitus raba kanan=kiri : sonor/sonor

Auskultasi : SDV (+/+), ST (-/-) Abdomen Inspeksi : : Distensi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal Perkusi Palpasi Ekstremitas : tympani : supel, nyeri tekan (-) defense muscular (-) :

Superior Dx : akral dingin (-), edema (-) Superior Sn : akral dingin (-), edema (-) Inferior Dx Inferior Sn : akral dingin (-), edema (-) : akral dingin (-), edema (-)

C.

STATUS LOKALIS R. zygoma sinistra Inspeksi Palpasi :

: vulnus ekskoriasis : maxilla goyang (-), maxilla floating (-),

R. mandibula : Inspeksi Palpasi : vulnus terhecting dengan panjang 3 cm dan 4 simpul : maloklusi (+) open bite

D.

ASSESMENT I Comotio cerebri (E4V5M6) Fracture Angulus (S) mandibula Fracture Condyle (D) mandibula

E.

PLANNING DIAGNOSTIK I

IVFD RL 20 tpm Inj. Ketorolac 30mg/8jam Inj. Piracetam 3g/8jam Inj. Ranitidin 50mg/24 jam Cek Lab darah lengkap CT scan kepala Rontgen thorax PA

F.

PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 27 Maret 2012 Hb Hct AL AT Gol. Darah PT APTT GDS HBsAg : 12,7 gr/dl : 37 vol% : 13,6 ribu/uL : 165 ribu/uL :B : 14,8 s : 26,8 s : 108 mg/dl :-

G.

PROGNOSIS a. b. c. Ad vitam Ad sanam Ad fungsionam : dubia : dubia : dubia

TINJAUAN PUSTAKA FRAKTUR ZIGOMATICOMAXILLARIS COMPLEKS 1. DEFINISI Fraktur zygomatic complex merupakan fraktur yang paling sering pada trauma maksilofasial. Zygomatic complex bertanggung jawab untuk kontur wajah bagian tengah dan untuk perlindungan dari isi orbital. Fraktur zygomatic complex muncul biasanya pada dewasa muda. Fraktur zigoma merupakan merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi. Tingginya insiden dari fraktur zigoma berhubungan dengan lokasi zigoma yang lebih menonjol. Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1 dengan perempuan (Sallam, 2010). Penyebab dari fraktur zigoma yang paling sering adalah dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor. Zigoma mempunyai peran yang penting dalam membentuk struktur wajah, dan disrupsi dari posisi zigoma dapat mengganggu fungsi okular dan mandibular; oleh karena itu trauma pada zigoma harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara adekuat (Rehman, 2010).

2.

ANATOMI DAN KLASIFIKASI

Gambar 1. Tulang-tulang maksilofasial

Fraktur zigomatikomaksilari disebabkan karena trauma langsung di pipi yang terjadi pada artikulasio antara os.zigomaticum dan os.maksilaris bagian frontal dan arkus zigomatikus (Obuekwe, 2005). Fraktur Maxilla dari fraktur simpel dentoalveolar hingga fraktur comminutif midface, tergantung pada kekuatan benturan secara langsung. Pada fraktur maksilari komplit, dinding penopang vertikal terpecah. Fraktur maksila dapat juga terjadi langsung pada sagital, biasanya dimulai pada perbatasan hingga kaninus (Rajendra, 2009). Klasifikasi Le Fort (Stewart, 2008): a. Le Fort I (fraktura maksilari transversa). Fraktur melalui maksila setinggi rima piriformis, termasuk seluruh prosesus alveolaris, palatum dan prosesus pterigoideus. Letak: sepertiga bawah. Ditandai dengan floating fragmen pada maksila bagian bawah, oedem muka, maloklusi.

Gambar 2. Le Fort I Fracture b. Le Fort II (fraktura piramidal). Sepertiga tengah dan segmen piramid, Gerakan dapat diperiksa pada medial lantai orbital menggerakkan gigi atas kebelakang dan kedepan. dengan maksila yang terisolasi berbentuk

Dapat menyebabkan midfasial terpisah dan mobile, ekimosis/ hematom periorbita, kerusakan nervus infraorbita, diplopia dan perdarahan subkonjungtiva, oedem muka, pendataran nasal,

telecanthus, epistaksis atau CSF rhinorrhea, unstable maxilla dan hidung

Gambar 2. Le Fort II Fracture

c. Le Fort III (disjunksi kraniofasial). merupakan separasi yang lengkap tulang fasial dari basis tengkorak dimana letaknya sepertiga atas dari facial, bisa menyebabkan midfasial terlepas dari bagian atas. memerlukan pengikatan pada sutura zigomatikofrontal Muka datar seperti piring (Dish face deformity), epistaksis, CSF rhinorrhea , Unstable maxilla, os nasal dan os zygoma, obstruksi jalan napas berat, maloklusi, battle sign (perdarahan retroauriculair), Raccoon eyes, CSF otorrhea, hemotympani

Gambar 3. Le Fort III Fracture 3. PEMERIKSAAN FISIK Pada pemeriksaan fisik pada pemeriksaan fraktur multipel wajah dilakukan

jalan nafas, pernafasan serta sirkulasi darah. Keterbatasan

gerakan rahang dan pendataran pipi, epistaksis unilateral merupakan akibat dari fraktur maxilla atau dasar orbita. Status lokalis regio yang trauma seperti defek rima infraorbita, sutura frontozigoma dan penyokong zigoma dapat merupakan tanda defisiensi malar. Pemeriksaan mata sangat penting dengan menilai adanya diplopia, kerusakan periorbita atau ekimosis subkonjungtiva. Pada palpasi didapatkan adanya nyeri di daerah zigoma, parestesia terjadi bila saraf infraorbita, zigomatikofasial atau

zigomatikotemporal terkena trauma serta krepitasi pada emfisema subkutis (Ahmed, 2010). Fraktur pada zygoma dapat melibatkan foramen infraorbita dan menekan nervus infraorbita yang bermanifestasi klinis sebagai parestesia pada daerah infraorbita. Perubahan posisi frontal dengan pemisahan sutura zygomaticofrontalis menyebabkan penurunan atau pengenduran canthus lateral dari kelopak mata dan bola mata. Trauma pada pipi yang menekan os zygoma ke dalam dapat menekan dan menyebabkan fraktur dinding lateral dan dasar orbita. Fraktur ini dapat mengakibatkan diplopia yang disebabkan edema dan hemoragi pada otot ekstraokuler atau disebabkan terjepitnya otot ekstraokuler atau saraf mata diantara fragmen-fragmen tulang (Kreishat, 2011). Ketika zygoma mengalami penekanan dan terdepresi ke dalam, os temporal dapat menekan prosesus koronoideus mandibula dan tendo muskulus temporalis sehingga pasien mengalami kesulitan dalam membuka dan menutup mulut (David and Coen, 2008).

4.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Radiographi plan dan CT scan (axial section, coronal sction dan 3d reconstruksi regio maxillofacial) sangat efektif untuk membantu diagnosis. Rekonstruksi 3D dapat membantu menggambarkan bentuk ulang sehingga dapat membantu dalam keakuratan rencana preoperatif. Computed tomography (CT) adalah teknologi yang dapat memperlihatkan visualisasi dari jaringan keras dan lunak pada wajah. Dilaporkan bahwa CT dapat mencapai nilai yang lebih akurat dalam diagnosis fraktur tulangmidfasial. Teknik alternatif lain adalah pemeriksaan ultrasonografi. Ultrasonografi mudah dan cepat untuk dilakukan, selain itu bersifat noninvasif. CT telah direkomendasikan untuk evaluasi preoperatif pada trauma zygomaticus sebagai metode diagnostik standar, terutama dalam kasus-kasus rumit dengan cedera intrakranial cedera atau ketika ada kebutuhan untuk evaluasi saraf optik, karena kedua hal tersebut tidak dapat secara memadai dilihat oleh ultrasonografi. Sementara ultrasonografi telah terbukti menjadi alat yang berharga dalam mendeteksi fraktur tanpa komplikasi di

zygomaticofrontal, arcus zygomaticus dan margio infraorbital, tapi hasil untuk dasar orbita dan dinding medial orbitatetap tidak memuaskan. Selain itu, USG lebih dapat diandalkan dalam menilai keadaan pascaoperasi, sehingga dapat menurunkan biaya dan paparan radiasi (Ceallaigh, 2007; Sallam, 2010). Foto polos dari anteroposterior (AP) Foto AP: walaupun garis patah kadang tidak jelas, dengan membandingkan sisi kontralateral, bisa ditemui diskontinuitas tulang secara radiologis (David dan Coen, 2008) Waters Proyeksi Water biasanya menampilkan opaque sinus maxillary, dengan keterkaitan fraktur lateral dinding sinus maksilaris yang terlibat

CT Scan CT Scan bisa melihat garis patah yang tidak nampak dalam foto radiologi biasa. CT Scan 3-dimensi akan menggambarkan bentuk tulang muka keseluruhan dan lubang tulang yang patah atau melesak dapat dikenali dengan lebih jelas, selain itu dapat pula mengevaluasi jaringan lunak, dikerjakan atas indikasi khusus. Meskipun demikian, gambar 3D mungkin membantu dalam visualisasi besar kominuta, zygomatico, dan kompleks fraktur yang melibatkan beberapa rangkaian,khususnya sehubungan dengan midface. Gambar 3D memberikan informasi hanya mengenai arsitektur. Untuk jeratan lemak dan otot, encephaloceles, hematoma, dan cedera terkait harus dinilai radiografi melalui CT Scan 2D (Candance, 2010). Pada kebanyakan pasien dengan dampak wajah yang signifikan, CT scan harus dilakukan. CT scan harus dilakukan dengan potongan aksial tidak lebih besar dari 3 mm terpisah, dari atas tempurung kepala melalui bagian bawah mandibula.. Secara umum, CT scan dapat diterima untuk diagnosis pada semua fraktur wajah, selain mandibula. Meskipun CT scan pada dasarnya 100% sensitif dan spesifik untuk fraktur, namun tidak memberikan informasi rinci tentang struktur gigi. Hal ini paling penting di daerah sudut mandibula dengan mengenai kondisi geraham ketiga.

Informasi mengenai kerusakan akar gigi dan posisi relatif terhadap patah tulang sangat penting dalam perencanaan dan pengobatan patah tulang sudut (Saigal et al., 2005)

5.

RENCANA PENCEGAHAN a. Penanganan awal Stabilkan Pasien Primary survey: Airway, breathing, circulation, dan selanjutnya tetap diawasi. Fraktur mandibula bilateral dan maxilla harus

distabilkan agar tidak mengganggu jalan napas. Apabila ada perdarahan lakukan penjahitan. Bila ada hematoma septum nasi atau hematoma auricula, harus dilakukan drainase dan dilanjutkan dengan balut tekan/ tamponade hidung. Secondary survey: pemeriksaan leher, neurologis, scalp, orbita, telinga, hidung, wajah bagian tengah (midfacial), mandibula, rongga mulut, dan oklusi. Adanya cedera kepala (brain injury) dapat menunda timing operasi Open Reduction Internal Fixation (ORIF) pada fraktur tulang muka. Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil menunggu terapi definituf. Identifikasi cedera Memperoleh gambaran imaging yang diperlukan (CT scan 3dimensi) Konsultasi dengan bagian yang bersangkutan, misalnya bedah saraf, bedah tulang, jantung, rehabilitasi medik, dan anestesi untuk persiapan operasi). Konsultasikan penyakit menular atau infeksi Stabilkan dasar jaringan keras untuk mendukung jaringan lunak dan mencegah kontraktur bekas luka sebelum rekonstruksi utama. Lakukan review menyeluruh dan imaging serta tentukan perawaan yang akan dilakukan. b. Penanganan lanjut Ganti komponen jaringan lunak yang hilang Lakukan rekonstruksi utama dan manajemen fraktur Memasukkan agresif fisik / pengobatan dgn memberi pekerjaan tertentu Lakukan rekonstruksi sekunder (misalnya, implan, vestibuloplasty)

Lakukan rekonstruksi tersier (misalnya, masalah kosmetik, bekas luka revisi) (Powers et al., 2005; Khan et al, 2010, Parashar, 2007)

6.

PROGNOSIS Jika terapi dan operasi perbaikan untuk memulihkan bentuk dilakukan dalam waktu 1 minggu setelah cedera/ trauma maka prognosis dapat baik. Jika penderita mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka penyembuhannya bisa jadi masalah. Trauma kendaraan sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh dapat menyebabkan trauma berat pada wajah sehingga menbutuhkan bedah multipel dan membutuhkan perawatan yang lama. Laserasi jaringan lunak karena bekas luka biasanya dapat diatasi dengan lebih maksimal oleh ahli bedah plastik. Salah satu metode pencegahan trauma antara pengguna kendaraan bermotor di sebagian besar negara di dunia adalah wajib sabuk pengaman. Penggunaan sistem kerja air bag maupun perlengkapan keselamatan dengan helm (pengaman kepala) yang melindungi sampai rahang bawah juga dapat menurunkan resiko kejadian luka rahang atas pada pengguna kendaraan bermotor. Selain itu, lebih dari separuh pasien yang menderita trauma wajah, akibat kecelakaan lalu lintas adalah setelah penggunaan alkohol dan obat-obatan yang menyebabkan kantuk. Edukasi untuk tidak menyetir kendaraan dalam keadaan mengantuk dan mabuk perlu dilakukan sebagai usaha pencegahan trauma maxillofacial (Malara et al., 2006)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, S.S, Bey, A., Hashmi, G.S, et al. 2010. Neurosensory Deficit in Cases of Zygomatic Complex Fractures. Current Neurobiology Volume 1, pp. 51-54

Candace. Pau, Barrera. Jose, et al. 2010. Three-Dimensional Analysis of Zygomatic-Maxillary Complex Fracture Patterns. Craniomaxillofacial trauma & reconstruction

Ceallaigh. P, Ekanaykaee. K, et al. 2006. Diagnosis and management of common maxillofacial injuries in the emergency department. Part 3: orbitozygomatic complex and zygomatic arch fractures. Emerg Med J. pp 120 -122

David B. Kamadjaja, Coen Pramono D. 2008. Management of ZygomaticMaxillary Fracture (The principles of diagnosis and surgical treatment with a case illustration). Dent J (Majalah Kedokteran Gigi) Vol 41 No. 2 AprilJune. pp: 77-83

Khan, M., Qiamuddin, et al. 2010. Maxillofacial and Associated Fractures of the Skeleton. Pakistan Oral & Dental Journal, Volume 30, Nomor 2, pp. 313316

Khreisat, Majed Hani. 2011. Diplopia in Zygomatic-Complex Fracture. Pakistan Oral & Dental Journal Volume 31, Nomor 1, pp. 27-32

Malara, P., Malara, B., Drugacz, J. Characteristics of Maxillofacial Injuries Resulting from Road Trafic Accident- a 5 Year Review of The Case Records from Department of Maxillofacial Surgery in Katowice, Poland. 2006.Head and Face Medicine, pp. 1-6

Obuekwe., et al. 2005. Etiology and Pattern of Zygomatic Complex Fractures: a Retrospective Study. Journal of the national medical association vol 97

Powers, David B.; Will ,Michael; Bourgeois, Sidney L ; Hatt , Holly D. 2005. Maxillofacial Trauma Treatment Protocol. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am Vol.17, Pp 341 355

Rajendra, P.B., Mathew, T.P., Agrawal, A, et al. 2008. Characteristics of associated craniofacial trauma in patients with head injuries: An experience with 100 cases. J. Emerg Trauma Shock, pp: 89-94

Rehman, A., Ansari, S.R., Shah, S.M, et al. 2010. Pattern of Zygomatic Bone Fractures and Treatment Modalities: A Study. Pakistan Oral & Dental Journal, Volume 30, Nomor 1, pp. 36-40

Saigal, K., Ronald S. Winokur., et al. 2005. Use of Three-Dimensional Computerized Tomography Reconstruction in Complex Facial Trauma. Facial Plastic Surgery, Volume 21, Nomor 3, pp. 214-219

Sallam, Maha, Ghada Khalifa, et al. 2010. Ultrasonography vs Computed Tomography in Imaging of Zygomatic Complex Fractures. Journal of American Science, pp. 524-533

Stewart, C., Fiechti, J.F., Wolf, S.J. 2008. Maxillofacial Trauma: Challenges in ED Diagnosis and Management. Emergency Medicine Practice, pp. 1-20

You might also like