You are on page 1of 16

BAB III HASIL PENGAMATAN

3.1

Profil Perusahaan : PT. PT. Primarindo Asia Infrastructure, Tbk : Jl. Raya Rancabolang No. 98 Gedebage Bandung 40295 : 1988 : 2000 orang : Industri sepatu (khususnya sepatu olah raga)

Nama perusahaan Alamat Tahun pendirian Jumlah tenaga kerja Jenis industri

PT. Primarindo Asia Infrastructure, Tbk didirikan tanggal 1 Juli 1988 dengan nama PT. Bintang Kharisma dengan status Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan bergerak dalam bidang industri sepatu. Pada tahun 1994 telah mencatatkan dan menjual sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan menjadi PT. Bintang Kharisma. Pada thun 1997 perusahaan merencanakan untuk melakukan diversivikasi usaha ke bidang lain yang juga mempunyai prospek cerah. Untuk itu, perusahaan mengganti nama menjadi PT. Primarindo Asia Infrastructure, Tbk. Sebelum direncanakan diversivikasi dapat terealisasi, kondisi ekonomi di Indonesia mulai memburuk sehingga perusahaan memutuskan untuk menunda rencana tersebut. Pada tahun 2001, perseroan memproduksi hanya satu branded buyer yaitu merek Reebok. Untuk mengantisipasi risiko pemutusan kerjasama oleh Reebok, perseroan memutuskan untuk menjadikan tahun 2001 sebagi tahun konsolidasi dan mulai mempersiapkan usaha pengembangan pasar domestik.

Pada bulan April 2002, perseroan menerima pemberitahuan dari Reebok International Limited sebagai buyer dari perseroan bahwa pesanan sepatu yang diberikan kepada perseroan hanya sampai dengan bulan Juli 2002, sehingga sejak bulan Juli 2002 perseroan tidak lagi memproduksi sepatu merek Reebok. PT. Primarindo Asia Infrastructure, Tbk. Bergerak dalam bidang industri sepatu, khususnya sepatu olah raga dan memprosuksi dalam berbagai fungsi dan ukuran. Selama ini produksi PT. Primarindo Asia Infrastructure, Tbk. Didasarkan atas pesanan dari pelanggan yang berasal dari luar negeri. Dengan demikianhampir seluruh sepatu olah raga hasil produksi perseroan adalah untuk diekspor dan harus memnuhi standar mutu yang telah ditetapkan oleh pembeli dengan desain yang dibuat perusahaan atau pelanggan yang merupakan pemegang merek atau pemegang lisensi dari merek terkemuka. PT. Primarindo Asia Infrastructure, Tbk., telah dipercaya memproduksi merek terkenal seperti OsKhos BGosh, Cheasepeaks, Body Glove, US Atheletic, Puma dan Avia. Tahun 1996 dari dua buyer besar yaitu Reebok dan Fila. Pada tahun 2000 dalam pengembangan pasar domestik telah memproduksi merek Tomkins. Lokasi kantor pusat ada di Jakarta dan pabrik terletak di Gedebage Bandung, di atas tanah 9,7 ha dengan luas bangunan 4,1 ha. Bangunan utama berupa pabrik untuk unit cutting, laminating, preparation, rubber, sewing, assembling, gudang bahan baku, gudang jadi, dan bangunan penunjang seperti kantor, kantin pujasera, poliklinik, dan mini market yang dikelola oleh koperasi karyawan.

3.2 Hasil Pengukuran dan Pengamatan Ergonomi Pengukuran dan pengamatan yang dilakukan di PT. Primarindo pada tanggal 8 Mei 2013 pukul 15.00 WIB yang dilakukan pada beberapa bagian diantaranya bagian rubbering, assembling, dan cutting.

3.2.1 Hasil Pengukuran dan Pengamatan di Bagian Rubbering 3.2.1.1 Antropometri dan Sikap Tubuh Dalam Bekerja Hasil pengamatan antropometri di bagian rubbering menunjukkan suatu bentuk aktivitas kerja yang didominasi oleh aktivitas duduk selama kurang lebih 8 jam. Tenaga kerja (TK) mendapatkan istirahat selama 1 jam setiap 4 jam kerja. Pekerjaan ini dilakukan dengan cara menggunting untuk meratakan dan merapikan sol sepatu yang telah dicetak. Tenaga kerja melakukan pekerjaan tersebut di atas meja dengan tinggi 75 cm dan TK duduk di kursi berkaki empat dengan sandaran punggung. Menurut teori antropometri dalam ergonomik posisi dan sikap kerja terdapat uraian sebagai berikut. Dari aspek posisi tangan, TK mengalami sikap kerja yang ergonomis karena pekerjaan TK tersebut didominasi oleh posisi tangan dengan siku lengan membentuk sudut 90o. Jangkauan jarak tangan yang harus dilakukan TK juga tidak melebihi 55 cm dan juga sudut rotasi kepala dari area kerja yang tidak melebihi 45o.

Posisi duduk TK dalam bekerja dari aspek tulang belakang/punggung sudah memenuhi aspek ergonomis karena pihak perusahaan sudah memberika kursi dengan penyangga lunak pada bagian punggung. Hal ini diterapkan oleh TK dalam aktivitas bekerjanya sehari-hari. Hasil pengamatan dari aspek posisi kaki, TK mengalami sikap kerja yang tidak ergonomis karena pekerjaan TK tersebut didominasi kaki yang dimasukkan ke kotak agar membentuk sudut lutut 90o, tetapi memiliki

implikasi yaitu sudut pergelangan kaki membentuk sudut < 45 o. Hal ini dapat berimplikasi buruk pada TK yaitu dapat menyebabkan kelelahan lokal pada daerah kaki dan berisiko menyebabkan cumulative trauma disorder (CTD).

Gambar 3.1 Posisi Pekerja di bagian Rubberring 3.2.1.2 Manusia-Mesin

Dalam proses produksi hubungan antara manusia dan mesin harus selaras sehingga proses produksi dapat berjalan dengan lancar dan aman. Kaidah ini dipenuhi dengan adanya suatu desain alat kendali pada mesin sehingga manusia dalam hal ini TK menjadi sentral operator yang mengendalikan mesin tersebut. Pengamatan proses rubbering menunjukkan adanya alat/mesin yang digunakan dalam proses tersebut. Alat tersebut beroperasi tanpa alat kendali, sehingga alat pasien memiliki kontrol yang kurang dan dapat membahayakan TK tersebut. Alat yang digunakan pada proses rubbering dapat dilihat pada gambar 3.2

Gambar 3.2 Alat yang digunakan pada proses rubbering

3.2.1.3 Pengorganisasian Kerja Aktivitas kerja yang dibebankan pada TK tidak lebih dari 8 jam. Tenaga kerja masuk kerja pagi pukul 07.30 WIB sampai jam 16.30 WIB. Tenaga kerja dibebankan jam kerja tidak lebih dari 8 jam per hari sesuai dengan prinsip ergonomis dan fisiologi manusia yang menyatakan bahwa 5

kapasitas maksimal jam kerja TK tidak lebih dari 8 jam per hari. Tenaga kerja mendapatkan istirahat selama 1 jam setiap 4 jam kerja.

3.2.1.4 Kelelahan Kerja Kelelahan kerja dapat timbul akibat sarana, prasarana dan lingkungan kerja yang tidak ergonomis. Pada pengamatan proses rubbering ada beberapa proses dan sikap kerja yang tidak ergonomis sehingga menimbulkan suatu risiko timbulnya kelelahan kerja pada TK. Aspek posisi kaki pada proses rubbering yang tidak ergonomis dapat menjadi risiko timbulnya kelelahan kerja pada kaki berupa kelemahan otot dan mialgia.

3.2.1.5 Cumulative Trauma Disorder Kelainan traumatic kumulatif dapat disebabkan karena jenis pekerjaan yang monoton, sikap kerja yang tidak yang alamiah, dan penggunaan otot yang berlebihan diluar kemampuan. Pengamatan pada proses rubbering memperlihatkan posisi sudut pergelangan kaki yang tidak ergonomis dengan bentuk overflexion dalam waktu yang lama. Hal ini dapat menjadi risiko timbulnya CTD seperti tendinitis dan tenosynovitis pada pergelangan kaki.

3.2.1.6 Kesegaran Jasmani dan Musik

Hasil pengamatan proses rubbering menunjukkan tingkat kebisingan yang relatif rendah dan proses pekerjaan yang monoton, dan perusahaan pun belum menyediakan fasilitas untuk hiburan sehingga kemungkinan rentan menimbulkan kejenuhan dan menurunkan produktivitas pekerja. Oleh karena itu, menurut kaidah ergonomi dalam aspek kesegaran jasmani dan musik, diperlukan hiburan berupa musik di tempat kerja.

3.2.3 Hasil Pengukuran dan Pengamatan di Bagian Cutting 3.2.3.1 Antropometri dan Sikap Tubuh Dalam Bekerja Hasil pengamatan antropometri di bagian cutting menunjukkan suatu bentuk aktivitas kerja yang didominasi oleh aktivitas berdiri selama kurang lebih 8 jam. Tenaga kerja (TK) mendapatkan istirahat selama 1 jam setiap 4 jam kerja. Pekerjaan ini dilakukan dengan menggunakan mesin pemotong yang dikendaikan secara manual. Tenaga kerja melakukan pekerjaan tersebut di atas meja dengan tinggi 90 cm dan tersedia tempat duduk namun tidak digunakan oleh TK. Dari aspek posisi tangan, TK mengalami sikap kerja yang ergonomis karena pekerjaan TK tersebut didominasi oleh posisi tangan dengan siku lengan membentuk sudut 90o. Jangkauan jarak tangan yang harus dilakukan TK juga tidak melebihi 55 cm dan juga sudut rotasi kepala dari area kerja yang tidak melebihi 45o.

Hasil pengamatan dari aspek posisi kaki, TK mengalami sikap kerja yang ergonomis, tetapi dengan posisi berdiri memiliki kerugian yaitu menyebabkan kelemahan otot kaki, dan sebaiknya sikap berdiri dan duduk secara bergantian.

3.2.3.2 Manusia-Mesin Dalam proses produksi hubungan antara manusia dan mesin harus selaras sehingga proses produksi dapat berjalan dengan lancar dan aman. Kaidah ini dipenuhi dengan adanya suatu desain alat kendali pada mesin sehingga manusia dalam hal ini TK menjadi sentral operator yang mengendalikan mesin tersebut. Pengamatan proses cutting menunjukkan

adanya alat/mesin yang digunakan dalam proses tersebut. Alat tersebut beroperasi dengan kendali atau kontrol dari operator, sehingga mesin tidak membahayakan TK tersebut.

Gambar 3.3 Alat yang digunakan pada proses cutting

3.2.3.3 Pengorganisasian Kerja Aktivitas kerja yang dibebankan pada TK tidak lebih dari 8 jam. Tenaga kerja masuk kerja pagi pukul 08.00 WIB sampai jam 16.30 WIB. Khusus untuk hari jumat masuk kerja pukul 07.30 WIB. Tenaga kerja dibebankan jam kerja tidak lebih dari 8 jam per hari sesuai dengan prinsip ergonomis dan fisiologi manusia yang menyatakan bahwa kapasitas maksimal jam kerja TK tidak lebih dari 8 jam per hari. Tenaga kerja mendapatkan istirahat selama 1 jam setiap 4 jam kerja.

3.2.3.4 Kelelahan Kerja Kelelahan kerja dapat timbul akibat sarana, prasarana dan lingkungan kerja yang tidak ergonomis. Pada pengamatan proses cutting ada beberapa proses dan sikap kerja yang tidak ergonomis sehingga menimbulkan suatu risiko timbulnya kelelahan kerja pada TK. Aspek posisi kaki pada proses cutting yang tidak ergonomis dapat menjadi risiko timbulnya kelelahan kerja pada kaki berupa kelemahan otot dan mialgia.

3.2.3.5 Cumulative Trauma Disorder Kelainan traumatic kumulatif daapat disebabkan karena jenis pekerjaan yang monoton, sikap kerja yang tidak yang alamiah, dan penggunaan otot yang berlebihan diluar kemampuan. Pengamatan pada proses cutting memperlihatkan posisi berdiri yang ergonomis sehingga memiliki risiko minimal timbulnya CTD .

10

3.2.3.6 Kesegaran Jasmani dan Musik Hasil pengamatan proses rubbering menunjukkan tingkat kebisingan yang relatif rendah dan proses pekerjaan yang monoton, dan perusahaan pun belum menyediakan fasilitas untuk hiburan sehingga kemungkinan rentan menimbulkan kejenuhan dan menurunkan produktivitas pekerja. Oleh karena itu, menurut kaidah ergonomi dalam aspek kesegaran jasmani dan musik, diperlukan hiburan berupa musik di tempat kerja.

3.2.2 Hasil Pengukuran dan Pengamatan di Bagian Assembling 3.2.2.1 Antropometri dan Sikap Tubuh Dalam Bekerja Hasil pengamatan antropometri di bagian assembling menunjukkan suatu bentuk aktivitas kerja yang didominasi oleh aktivitas duduk selama kurang lebih 8 jam. Tenaga kerja (TK) mendapatkan istirahat selama 1 jam setiap 4 jam kerja. Kegiatan ini dilakukan untuk menyatukan badan sepatu dengan sol sepatu baik secara manual maupun dengan bantuan mesin. Tenaga kerja melakukan pekerjaan tersebut di atas meja dengan tinggi 75 cm dan TK duduk di kursi berkaki empat dengan sandaran punggung tanpa sandaran lengan. Menurut teori antropometri dalam ergonomik posisi dan sikap kerja terdapat uraian sebagai berikut. Dari aspek posisi tangan, TK mengalami sikap kerja yang kurang ergonomis karena pekerjaan TK tersebut didominasi oleh posisi tangan dengan siku lengan membentuk sudut 90o hanya saja lengan

11

bagaian bawah TK tidak disangga dengan menggunakan penyangga tangan. Jangkauan jarak tangan yang harus dilakukan TK juga tidak melebihi 55 cm dan juga sudut rotasi kepala dari area kerja yang tidak melebihi 45o karena dibantu dengan mesin otomatis. Posisi duduk TK dalam bekerja dari aspek tulang belakang/punggung sebagian besar sudah memenuhi aspek ergonomis karena pihak perusahaan sudah memberikan kursi dengan penyangga lunak pada bagian punggung tetapi beberapa kursi tidak memiliki sandaran punggung sehingga dapat berpengaruh pada posisi duduk TK yang lebih membungkuk dan menyebabkan terjadinya kelelahan local di daerah pinggang dan bahu yang pada akhirnya menimbulkan nyeri pinggang dan bahu. Hasil pengamatan dari aspek posisi kaki, TK sebagian besar mengalami sikap kerja yang tidak ergonomis karena TK lebih memilih tidak menggunakan sandaran kaki yang terletak pada meja dan memilih posisi berdiri untuk memudahkan mobilitas dalam bekerja sehingga dapat memicu terjadinya cumulative trauma disorder (CTD).1

12

Gambar 3.1 proses assembling

3.2.1.2 Manusia-Mesin Dalam proses produksi hubungan antara manusia dan mesin harus selaras sehingga proses produksi dapat berjalan dengan lancar dan aman. Kaidah ini dipenuhi dengan adanya suatu desain alat kendali pada mesin sehingga manusia dalam hal ini TK menjadi sentral operator yang mengendalikan mesin tersebut. Pengamatan proses assembling menunjukkan adanya alat/mesin yang digunakan dalam proses tersebut. Alat tersebut beroperasi tanpa alat kendali, sehingga alat TK memiliki kontrol yang kurang dan dapat membahayakan TK tersebut. Alat yang digunakan pada proses assembling dapat dilihat pada gambar 3.?

13

Gambar 3. Proses assembling di pabrik

3.2.2.3 Pengorganisasian Kerja Aktivitas kerja yang dibebankan pada TK tidak lebih dari 8 jam. Tenaga kerja masuk kerja pagi pukul 08.00 WIB sampai jam 16.30 WIB. Khusus untuk hari jumat masuk kerja pukul 07.30 WIB. Tenaga kerja dibebankan jam kerja tidak lebih dari 8 jam per hari sesuai dengan prinsip ergonomis dan fisiologi manusia yang menyatakan bahwa kapasitas maksimal jam kerja TK tidak lebih dari 8 jam per hari. Tenaga kerja mendapatkan istirahat selama 1 jam setiap 4 jam kerja.

14

3.2.2.4 Kelelahan Kerja Kelelahan kerja dapat timbul akibat sarana, prasarana dan lingkungan kerja yang tidak ergonomis. Pada pengamatan proses assembling ada beberapa proses dan sikap kerja yang tidak ergonomis sehingga menimbulkan suatu risiko timbulnya kelelahan kerja pada TK. Aspek posisi kaki pada proses assembling yang tidak ergonomis dapat menjadi risiko timbulnya kelelahan kerja pada kaki berupa kelemahan otot dan mialgia.

3.2.2.5 Cumulative Trauma Disorder Kelainan traumatik kumulatif daapat disebabkan karena jenis pekerjaan yang monoton, sikap kerja yang tidak yang alamiah, dan penggunaan otot yang berlebihan diluar kemampuan. Pengamatan pada proses assembling memperlihatkan posisi sudut pergelangan kaki yang tidak ergonomis dengan bentuk overflexion dalam waktu yang lama. Hal ini dapat menjadi risiko timbulnya CTD seperti tendinitis dan tenosynovitis pada pergelangan kaki.

3.2.2.6 Kesegaran Jasmani dan Musik Hasil pengamatan proses assembling menunjukkan tingkat kebisingan yang relatif rendah dan proses pekerjaan yang monoton, dan perusahaan pun

15

belum menyediakan fasilitas untuk hiburan sehingga kemungkinan rentan menimbulkan kejenuhan dan menurunkan produktivitas pekerja. Oleh karena itu, menurut kaidah ergonomi dalam aspek kesegaran jasmani dan musik, diperlukan hiburan berupa musik di tempat kerja.

16

You might also like