You are on page 1of 6

Hipotesis,Tahun ke 5, No 1, Januari - April 2013

Pendahuluan Era reformasi yang meruntuhkan rezim Orde Baru telah merubah situasi kekuasaan dari birokrasi yang dominan (birocratic otoritarian) menjadi demokratis. Presiden sebagai pemegang mandat kekuasaan yang notabene pengendali birokrasi diharapkan sebagai public service yang transparan dan akuntabel Reformasi juga mengukuhkan keberadaan tiga pilar negara: pemerintah, swasta (pengusaha) dan masyarakat. Tiga pilar tersebut secara kolaboratif menjadi penentu kelangsungan Negara, pemerintah dalam menjalankan amanat rakyat perlu bekerjasama dengan swasta sambil menuntut partisipasi maupun pengawasan dari masyarakat (baca Widyastuti 2009). Dengan demikian, dominasi pemerintah dapat dihindarkan karena adanya penyeimbang dari dua pilar yang lain. Dalam situasi berimbang (cek and balance) tersebut pemerintah tidak dapat semena-mena atau sepihak dalam menyusun serta menerapkan setiap kebijakan pada masyarakat. DPR maupun pemerintah harus menyelami masyarakat agar dapat menangkap aspirasi mereka, sebaliknya masyarakat juga harus berpartisipasi dan proaktif pada setiap proses kebijakan. Tanpa kesadaran kedua belah pihak sebuah kebijakan dapat menemui jalan terjal pada proses formulasinya,

utamanya pada saat kebijakan tersebut kurang dikehendaki masyarakat, dan tentunya akan menghadapi ganjalan dalam implementasinya. Pelayanan publik di Indonesia masih sangat rendah. Demikian salah satu kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2004 dan hasil penelitian Governance and Desentralization Survey (GDS) 2002. Buruknya pelayanan publik memang bukan hal baru, fakta di lapangan masih banyak menunjukkan hal ini. GDS 2002 menemukan tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu pertama, besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi oleh hubungan per-konco-an, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Fenomena semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi. Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas
57

Darwis M. Noer Tinri

Pendahuluan Era reformasi yang meruntuhkan rezim Orde Baru telah merubah situasi kekuasaan dari birokrasi yang dominan (birocratic otoritarian) menjadi demokratis. Presiden sebagai pemegang mandat kekuasaan yang notabene pengendali birokrasi diharapkan sebagai public service yang transparan dan akuntabel Reformasi juga mengukuhkan keberadaan tiga pilar negara: pemerintah, swasta (pengusaha) dan masyarakat. Tiga pilar tersebut secara kolaboratif menjadi penentu kelangsungan Negara, pemerintah dalam menjalankan amanat rakyat perlu bekerjasama dengan swasta sambil menuntut partisipasi maupun pengawasan dari masyarakat (baca Widyastuti 2009). Dengan demikian, dominasi pemerintah dapat dihindarkan karena adanya penyeimbang dari dua pilar yang lain. Dalam situasi berimbang (cek and balance) tersebut pemerintah tidak dapat semena-mena atau sepihak dalam menyusun serta menerapkan setiap kebijakan pada masyarakat. DPR maupun pemerintah harus menyelami masyarakat agar dapat menangkap aspirasi mereka, sebaliknya masyarakat juga harus berpartisipasi dan proaktif pada setiap proses kebijakan. Tanpa kesadaran kedua belah pihak sebuah kebijakan dapat menemui jalan terjal pada proses formulasinya, utamanya pada saat kebijakan tersebut kurang dikehendaki masyarakat, dan tentunya akan menghadapi ganjalan dalam implementasinya. Pelayanan publik di Indonesia masih sangat rendah. Demikian salah satu kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2004 dan hasil penelitian Governance and Desentralization Survey (GDS) 2002. Buruknya pelayanan publik memang bukan hal baru, fakta di lapangan masih banyak menunjukkan hal ini. GDS 2002 menemukan tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu pertama, besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi oleh hubungan per-konco-an, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Fenomena semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi. Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan. Dan ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masya-

rakat terhadap pelayanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidak pastian tadi. Tinjauan Pustaka Riyadi Soeprapto (2005) memaparkan secara umum terdapat tiga gugus pemikiran reformasi pelayanan publik sebagai berikut; Pemikiran berbasis konsep Total Quality Politics - TQP (Frederickson, 1994). Pemikiran ini menekankan perlunya ditegakkannya pemerintahan yang berpusat pada warga negara citizen centered government) serta pemerintahan yang jujur dan adil. Isu sentral yang dikedepankan dalam pemikiran ini adalah efisiensi dan efektifitas setiap administrator publik dalam menjalankan fungsi pelayanan publiknya. New Public Administration Movement. Esensi dari gerakan new public administration itu adalah "to democratize bureaucracy by inducing officials to be more responsive to the clienteles they affected and had to work with" (Riggs, 1997). Dengan demikian, ide dasar yang diperhatikan oleh pemikiran ini adalah ditegakkannya prinsip keadilan proporsionsal oleh administrator publik dalam memberikan pelayanan. Pemikiran ini menuntut sumber daya yang menjadi esensi atau substansi pelayanan masyarakat itu sejauh mungkin dapat didistribusikan berdasarkan atas kemampuan dan kebutuhan publik yang dilayani (user), bukan sekedar kebutuhan birokrasi yang memberikan pelayanan (provider). Reinventing Government Movement. Pemikiran ini dinilai oleh banyak kalangan berhasil mengkombinasikan antara Total Quality Management (TQM) dan Enterpreneurial Management. Penelitian ini mengambil konsepsi reformasi pelayanan publik berdasarkan Reinventing Government Movement. Dalam konteks operasional, pemikiran ini kemudian difasilitasi dengan penerapan standar ISO 9001 pada proses usaha instansi pelayanan publik. Pelayanan publik adalah pemberian pelayanan oleh agen-agen pemerintah melalui pegawainya (Riyadi Soeprapto, 2005). Inti dari reformasi birokrasi pelayanan publik merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik dalam rangka menghasilkan mutu layanan yang baik. Setidaknya terdapat tiga alasan utama mengapa terjadi reformasi pelayanan publik yaitu (1) lingkungan strategis yang senantiasa berubah, (2) pergeseran paradigm penyelenggaraan, pembangunan dan pelayanan masyarakat, (3) kondisi masyarakat yang mengalami dinamika (Abdul K. Azhari, 2006). Mutu pelayanan publik sendiri dapat dilihat se58

Hipotesis,Tahun ke 5, No 1, Januari - April 2013

bagai upaya untuk memenuhi kebutuhan mayoritas masyarakat yang membutuhkan pelayanan, dengan tingkat persyaratan yang tinggi, ketersediaan sumber daya, dan pada biaya yang rendah (Rauno Vinni, 2006). Dalam konteks ini mutu pada sektor pelayanan public memiliki tiga kerangka yaitu (1) mutu dalam Jurnal Standardisasi Vol. 13, No. 2 Tahun 2011: 73 83 76 kerangka kepatuhan terhadap norma dan prosedur, (2) mutu dalam kerangka efektivitas, (3) mutu dalam kerangka kepuasan pelanggan (Elke Loffler, 2002). Buruknya kinerja pelayanan public ini antara lain dikarenakan belum dilaksanakannya transparansi dalam penyelenggaraan pelayanan public. Oleh karena itu, pelayanan public harus dilaksanakan secara transparan oleh setiap unit pelayanan instansi pemerintah karena kualitas kinerja birokrasi pelayanan public memiliki implikasi yang luas dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Perlunya pelayanan publik yang transparan merupakan salah satu upaya agar masyarakat dapat mengontrol atau mengetahui secara pasti apa yang harus dilakukan pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan public dan apa yang harus diterima oleh masyarakat sebagai penerima layanan. Bahkan dalam paradigma Ilmu Administrasi yang menjadi arus utama saat ini yaitu New Public Management atau New Public Service, masyarakat menempati posisi yang sangat penting bukan saja sebagai penerima pelayanan tetapi sebagai pemilik mandat bagi operator layanan (pemerintah atau birokrasi). Selain itu, untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas, transparan dan akuntabel antara lain telah ditetapkan Keputusan Menpan Nomor 63/KEP/M.PAN/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Namun demikian, transparansi yang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan secara utuh oleh setiap instansi dan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya belum juga dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Dalam Instruksi Presiden RI Nomor 5 tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi menjelang dan sesudah berakhirnya program kerjasama dengan International Monetary Fund (IMF), menginstruksikan antara lain kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara untuk melakukan langkah-langkah dalam rangka meningkatkan transparansi pelayanan masyarakat, terutama yang mengangkut kepastian prosedur, waktu dan pembiayaan pelayanan public. Hal ini sangat perlu dilakukan dalam kerangka menumbuhkan iklim usaha. Dalam era globalisasi sekarang ini kawasan Asia Tenggara menempati posisi yang strategis untuk dapat menjadi tujuan investor asing.

Transparansi harus dilaksanakan pada seluruh aspek manajemen pelayanan public, meliputi kebijakan perencanaan, pelaksanakan, pengawasan/pengendalian dan laporan hasil kinerjanya. Transparansi hendaknya dimulai dari proses perencanaan pengembangan pelayanan public karena sangat terkait dengan kepastian berusaha bagi investor baik dalam negeri maupun luar negeri serta kepastian pelayanan bagi masyarakat umum yang memerlukan dan yang berhak atas pelayanan. Data dibawah ini perlu menjadi perenungan dan perlu ada upaya mencari strategi jalan keluar sehingga kita dapat meningkatkan kualitas pelayanan, mengejar ketertinggalan dari Negara lain. Pertanyaannya mengapa perlu ada transparansi dalam pelayanan public dan perangkat apa saja yang perlu disiapkan untuk meningkatkan transpansi pelayanan public. Berdasarkan Keputusan Menpan Nomor: KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparan dan Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan public, dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan pelayanan public yang transparan harus mempunyai acuan dan aturan yang jelas tentang pelayanan bagi seluruh penyelenggara pelayanan public untuk meningkatkan kualitas transparan dan akuntabilitas pelayanan yang meliputi pelaksanaan prosedur, persyaratan teknis dan administrative, biaya, waktu, akta/janji, motto pelayanan, lokasi, standar pelayanan, informasi serta pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan public Pentingnya Transparansi Pelayanan Apa yang dimaksud dengan transparansi dalam pelayanan public? Konsep transparansi menunjuk pada suatu keadaan dimana segala aspek dari proses penyelenggaraan pelayanan bersifat terbuka dan dapat diketahui dengan mudah oleh para pengguna dan stakeholder yang membutuhkan (2005:242). Dengan demikian, jika segala aspek proses penyelenggaraan pelayanan seperti persyaratan, biaya dan waktu yang diperlukan, cara pelayanan, serta hak dan kewajiban penyelenggara dan pengguna layanan dipublikasikan secara terbuka sehingga mudah diakses dan dipahami oleh public, maka praktek penyelenggaraan itu dapat dinilai memiliki tranparansi yang tinggi. Merujuk pada konsep diatas, setidak-tidaknya ada tiga indicator yang dapat digunakan untuk mengukur transparansi pelayanan. Pertama, adalah mengukur tingkat keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan public. Penilaian terhadap tingkat keterbukaan disini meliputi seluruh proses pelayanan public, termasuk didalamnya adalah persyaratan, biaya dan waktu yang dibutuhkan serta cara
59

Darwis M. Noer Tinri

pelayanan. Persyaratan yang harus dipenuhi harus terbuka dan mudah diakses oleh para pengguna. Penyelenggara pelayanan harus berusaha menjelaskan kepada para pengguna persyaratan yang harus dipenuhi beserta alasan dipelukannya persyaratan itu dalam proses pelayanan. Indikator kedua dari transparansi menunjuk pada seberapa mudah peraturan dan prosedur pelayanan dapat dipahami oleh pengguna dan stakeholder yang lain. Maksud dari dipahami disini tidak hanya pada yang tersurat tetapi juga yang tersirat dibalik semua prosedur dan peraturan itu. Penjelasan mengenai persyaratan, prosedur dan biaya serta waktu yang diperlukan merupakan hal yang sangat penting bagi pengguna. Jika rasionalitas prosedur dan aturan itu dapat diketahui dan diterima oleh para pengguna maka kepatuhan terhadap prosedur dan aturan akan mudah diwujudkan. Ketiga, adalah kemudahan untuk memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan public. Semakin mudah pengguna memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan public maka semakin tinggi transparansi. Pada saat pengguna dengan mudah memperoleh informasi mengenai biaya dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pelayanan maka pelayanan public itu dapat dinilai memiliki transparansi yang tinggi. Begitu pula dengan informasi mengenai prosedur, persyaratan dan cara memperoleh informasi. Strategi Menuju Transparansi Pelayanan Acuan dan aturan tentang pelayanan public juga untuk memberikan kejelasan bagi seluruh penyelenggara pelayanan public dalam melaksanakan pelayanan public agar berkualitas sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Namun implementasi dari Keputusan Menpan tersebut belum optimal dijalankan. Reformasi pelayanan publik tertinggal dibanding reformasi di berbagai bidang lainnya. Saat ini 4 perubahan perundang-undangan, yaitu Undangundang Pemilihan Umum, Undang-undang Desentralisasi,Undang-undang Independensi Hukum, serta Undang-undang Anti Korupsi dan Komisi Anti Korupsi, semuanya memberikan kemajuan dalam agenda reformasi. Walaupun perundangan pelayanan public tahun 1999 (UU Nomor 43 Tahun 1999) dan kebijakan desentralisasi lebih dari dua pertiga pegawai negeri tingkat pusat ke tingkat daerah telah dijalankan, struktur dan nilai yang dianut sebagian besar masih tidak berubah. Sistem dan filsafat yang mendasari pelayanan publik di Indonesia tidak hanya ketinggalan jaman, tetapi juga menghasilkan kinerja dibawah standar dalam masyarakat yang berubah

secara cepat. Negara harus dapat memberikan garansi pelayanan bermutu tinggi jika pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat ingin tetap dipertahankan dalam lingkungan mendunia yang penuh persaingan ini. Indonesia jauh tertinggal dibanding Filipina, Malaysia dan Thailand dalam indikatorindikator gabungan kualitas birokrasi, korupsi, dan kondisi sosial ekonomi. Kondisi iklim investasi, kesehatan, dan pendidikan saat ini sangat tidak memuaskan, sebagai akibat tidak jelasnya dan rendahnya kualitas pelayanan yang ditawarkan oleh institusi-institusi pemerintahan. Ketidakpastian hukum, khususnya sidang pengadilan yang berlarut-larut dan penuh praktek korupsi, membuat para investor berpaling. Pegawai negeri hanya memiliki sedikit insentif untuk memperbaiki pelayanan. Hal ini, digabung dengan administrasi yang berbelit-belit dan ketinggalan jaman, berakibat pada ketidakpuasan masyarakat. Kondisi kepegawaian dan kebijakan gaji secara tertulis terlihat transparan.Namun kenyataannya, terdapat banyak celah dalam sistem penerimaan pegawai , dimana dengan menyogok seseorang dapat memperoleh promosi atau bisa diterima sebagai pegawai. Sistem penggajian tidak memiliki kriteria kinerja yang melekat di dalam sistem tersebut. Juga tidak terdapat hukuman atas korupsi dan mutu kinerja yang rendah. Sehingga, menjadi pegawai negeri walaupun gajinya kecil tetap merupakan pilihan yang menarik, dan tidak terjadi kekurangan peminat untuk posisi-posisi pegawai negeri, serta tidak banyak terjadi tingkat perpindahan kerja yang tinggi kecuali karena pensiun. Pegawai negeri sering mencari-cari alasan atas kinerja yang buruk, absensi, dan praktekpraktek korupsi dengan menyatakan bahwa mereka tidak dibayar dengan cukup. Ini merupakan perdebatan panas, namun pegawai negeri sesungguhnya telah menerima kenaikan gaji yang cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir dan tidak kurang dibanding sektor swasta. Tetap saja, ada pandangan umum bahwa korupsi akan berkurang jika gaji meningkat. Penelitian internasional menunjukkan bahwa jika memang tingkat korupsi pegawai negeri tinggi, dan sanksi untuk yang tertangkap rendah, peningkatan gaji yang besar memang dibutuhkan untuk mengeliminasi korupsi. Tetapi peningkatan gaji yang relatif kecil jumlahnya, dan tidak dibarengi usaha reformasi lainnya, tidak akan meningkatkan kinerja. Selain persoalan gaji, jumlah PNS juga merupakan isu yang perlu dibahas dalam kaitannya dengan kualitas pelayanan publik. Pertanyaan utama adalah bukan pada apakah jumlah pegawai negeri cukup
60

Hipotesis,Tahun ke 5, No 1, Januari - April 2013

dibandingkan dengan negara lain atau apakah jumlah yang sekarang ini sudah cukup. Sensus pegawai negeri yang baru-baru ini dilakukan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan bahwa ada urgensi untuk perlu dilakukan pengkajian ulang yang mendalam dan komplit di dalam sistem. Sensus ini melibatkan 3,6 juta pegawai negeri, tetapi anggaran negara menunjukan bahwa jumlahnya hanya sedikit kurang dari 4 juta. Dengan kata lain, hampir 400 ribu pegawai negeri yang ada dalam daftar gaji tidak bekerja untuk negara. Hasil penelitian ini juga ditunjang oleh hasil survey lembaga-lembaga kesehatan dan pendidikan yang menunjukkan tingginya tingkat absensi dan kerja sampingan (Survey WDR 2004). Terlebih lagi, adanya sejumlah staf yang tetap dipertahankan di tingkat pusat dan propinsi walaupun sudah ada desentralisasi berbagai fungsi. Sensus ini juga menunjukkan betapa mencemaskannya tingkat pendidikan PNS yang ratarata rendah. Sensus pegawai negeri ini memberikan dasar yang kuat untuk menelaah kembali anggaran kepegawaian, berbagai posisi dan fungsi kepegawaian, serta untuk membangun rencana strategis menghadapi berbagai ketidakwajaran yang ada, yang memperburuk kondisi anggaran dan berpengaruh terhadap pelayanan publik. Dibawah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pemerintah daerah dapat menjalankan pelayanan publik mereka sendiri, namun tidak jelas sampai dimana suatu konsep nasional pelayanan publik yang ditetapkan dalam Undangundang Nomor 43 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 dapat dijelaskan. Ada dua badan yang menggawangi pelayanan publik. Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) bertanggung jawab terhadap regulasi yang mengatur administrasi negara. Badan ini menjalankan fungsinya melalui pengumuman kebijakan dan surat keputusan menteri yang seringkali tidak dihiraukan oleh birokrasi lainnya. Badan Kepegawaian Nasional (BKN) secara formal bertanggungjawab terhadap implementasi perundangan pelayanan publik dengan mengeluarkan aturan main dalam penerimaan, pemecatan dan promosi, dan meregulasi jumlah pelayanan ini. Departemen Keuangan juga memainkan peran penting, karena alokasi anggarannya menentukan jumlah ini. Departemen Dalam Negeri juga memegang peran penting melalui desentralisasi administrasi dalam pengelolaan pelayanan publik mereka. Nyatanya, institusi pengelola pusat (Menpan dan BKN) mendapat kesulitan untuk dapat didengar di luar Jakarta. Menpan selama beberapa tahun ini telah merancang sebuah proposal untuk reformasi gaji, reformasi sistem klasifikasi kerja dan deskripsi

pekerjaan untuk posisi-posisi penting dan BKN juga telah mengambil inisiatif reformasi. Sayangnya inisiatif ini tidak dapat melewati batasbatas institusi tersebut. Semua pemain memiliki role, namun tidak banyak koordinasi dan tidak ada usaha kepemimpinan proaktif untuk inisiatif reformasi yang lebih dalam lagi. Untungnya Pemerintah memiliki alat untuk menjalankan proses reformasi. Dasar hukum bagi pelaksanaan reformasi tersebut tertuang dalam UU 43/1999 dalam fungsi Komisi Layanan Publik Nasional yang belum terbentuk. Berita di media tentang maraknya pegawai negeri yang menerima suap menyebabkan masyarakat meminta reformasi pelayanan publik yang jauh lebih dalam lagi. Namun sejauh ini hanya sedikit indikasi bahwa reformasi yang diinginkan ini menjadi prioritas. Beberapa lembaga pemerintah pusat dan daerah telah menyiapkan desain ulang kebijakan dan praktek kepegawaian mereka. Mereka menghadapi keadaan sulit karena regulasi pemerintah pusat menghalangi inisiatif yang ada untuk mengadakan reorganisasi kepegawaian. Namun, jika berhasil, hasilnya memang pantas untuk dinikmati Selain landasan peraturan, secara teori pemerintah perlu memperhatikan terjadi pegeseran paradigma administrasi negara, dari Traditional public administration menuju New public (Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009) administration., Pada Traditional Public Adminstrations orientasi administrasi negara, lebih ditekankan kepada Control, Order, Prediction,, yang sangat terikat kepada political authority, tightening control, to be given and following the instruction. Pada New Public Manajement, administrasi Negara diarahkan kepada alignment creativity and empowering. Pergeseran juga terjadi pada operasionalisasi administrasi negara oleh pemerintah, untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi menjalankan pemerintahan sehari-hari. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi negara oleh pemerintah saat ini telah mengalami satu proses pergeseran,yaitu dalam perkembangan konsep Ilmu Administrasi Negara terjadi pergeseran titik tekan dari Administration of public di mana negara sebagai agen tunggal implementasi fungsi negara/pemerintahan; Administration for Public yang menekankan fungsi Negara/Pemerintahan yang bertugas dalam Public Service, ke administration by Public yang berorientasi bahwa public demand are differentiated, dalam arti fungsi negara/pemerintah hanyalah sebagai fasilitator, katalisator yang bertititik tekan pada putting the customers in the driver seat. Di mana determinasi negara/pemerintah tidak lagi merupakan faktor atau aktor utama atau sebagai driving force. Pendapat tersebut menegaskan adanya
61

Darwis M. Noer Tinri

fenomena perubahan besar, dari peran tunggal negara sebagai penyelenggara pemerintahan, bergeser menjadi fasilitator saja. Untuk meninggalkan paradigma administrasi klasik dan Reinventing Government atau New Public Management, dan beralih ke paradigma New Public Service, administrasi publik harus (a) Melayani warga masyarakat bukan pelanggan (serve citizen, not customers); (b) Mengutamakan kepentingan publik (seek the public interest), (c) Lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entpreneurship), (d) Berpikir strategis, dan bertindak demokratis (think strategic, act democratically), (d) Menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu yang mudah (recognize that accountability is not simple), (e) Melayani dari pada mengendalikan (serve rather than steer), (f) Menghargai orang bukannya produktivitas semata (value people, not just productivity) Paradigma baru pelayanan publik (New Public Services Paradigm) lebih diarahkan pada democracy, pride and citizen. Lebih lanjut dikatakan bahwa Public servants do not deliver customer service, they deliver democracy. Oleh sebab itu nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan dan pelayanan untuk kepentingan publik sebagai norma mendasar dalampenyelenggaraan administrasi publik. Simpulan Satu loncatan yang telah dilakukan pemerintah, yaitu dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dengan berlakunya undang undang itu setidaknya akan memaksa setiap lembaga pemerintah untuk memberikan informasi yang diperlukan oleh public atau masyarakat tanpa harus diminta atau dipaksa. Harapannya tidak terjadi lagi monopoli kekuasaan, menopoli informasi oleh kelompok, golongan, atau lembaga manapun. Langkah antisipasi tersebut sesungguhnya telah dilakukan oleh para pihak terutama di sebagian besar pemerintahan daerah di seluruh Indonesia, dengan mengeluarkan Perda Transparansi (dan Partisipasi). Namun kendala yang mungkin timbul dalam implementasi Undang-undang diatas adalah keyakinan masyarakat sebagai pemanfaat informasi. Tingkat keterbatasan ma-

syarakat dalam pendidikan dan pengalaman dalam berhubungan dengan birokrasi yang rendah cenderung membuat mereka malas atau enggan mengakses informasi karena malu dan khawatir akan dipermasalahkan ketika apa yang mereka sampaikan ternyata salah atau kurang tepat. Oleh karena itu, perlu dilakukan kampanye mengenai hak-hak masyarakat terhadap akses informasi khususnya serta pelayanan public pada umumnya. Sinergitas pemerintah,dunia usaha dan masyarakat selaku pemanfaat senantiasa dibutuhkan dalam penyelenggaraan pelayanan public yang baik sebagai bagian dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governace), tentu saja harus dimulai dari political will pemerintah. Sebaik apapun solusi pemecahan masalah maupun kebijakan ditempuh, tidaklah berfaedah bila tidak ditunjang kemauan baik untuk melaksanakannya. Hal itu juga harus diimbangi dengan mempadu-padankan keinginan masyarakat untuk berpartisipasi guna mendukung penyelenggaraan pelayanan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Zakaria. (2001). Reengineering Public Services through ISO 9000. Asian Review of Public dministration : 108-119 Azhari, Abdul K. (2006). Capacity Building Birokrasi Daerah yang Berjiwa Wirausaha. Aspirasi. XVI (1): 6576 Bappenas, Jakarta ISO 9001 :2008. International Standard, Quality Management Systems Requirements Chu, Pin-Yu dkk. (2001). ISO 9000 and Public Organizations in Taiwan: Organizational Differences in mplementation Practices with Organization Size, Unionization and Service Types. Public Organization Review: A Global Journal (1): 391413 Direktorat Aparatur Negara Bappenas. (2004). Kajian Rencana Tindak Reformasi Birokrasi Dwiyanto, Agus (ed), 2005, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Kumorotomo, Wahyudi, 2005, Akuntabilitas Birokrasi Publik, Sketsa Pada Masa Transisi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Syakrani dan Syahriani, 2009, Implentasi Otonomi Daerah Dalam Perspektif Good Governance, Yogjakarta, Pustaka Pelajar. Jurnal PSPK, Edisi 1, Februari 2002.

62

You might also like

  • Buku Hipo 5
    Buku Hipo 5
    Document5 pages
    Buku Hipo 5
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 30
    Buku Hipo 30
    Document6 pages
    Buku Hipo 30
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 2
    Buku Hipo 2
    Document5 pages
    Buku Hipo 2
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 4
    Buku Hipo 4
    Document5 pages
    Buku Hipo 4
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 3
    Buku Hipo 3
    Document5 pages
    Buku Hipo 3
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Hipo Daftar Isi DLL Revisi
    Hipo Daftar Isi DLL Revisi
    Document6 pages
    Hipo Daftar Isi DLL Revisi
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Cover Buku Hipotetis 2013
    Cover Buku Hipotetis 2013
    Document1 page
    Cover Buku Hipotetis 2013
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 29
    Buku Hipo 29
    Document5 pages
    Buku Hipo 29
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 33
    Buku Hipo 33
    Document5 pages
    Buku Hipo 33
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 32
    Buku Hipo 32
    Document4 pages
    Buku Hipo 32
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 30
    Buku Hipo 30
    Document6 pages
    Buku Hipo 30
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 28
    Buku Hipo 28
    Document6 pages
    Buku Hipo 28
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 31
    Buku Hipo 31
    Document6 pages
    Buku Hipo 31
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 27
    Buku Hipo 27
    Document5 pages
    Buku Hipo 27
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 26
    Buku Hipo 26
    Document6 pages
    Buku Hipo 26
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 18
    Buku Hipo 18
    Document5 pages
    Buku Hipo 18
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 23
    Buku Hipo 23
    Document8 pages
    Buku Hipo 23
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 20
    Buku Hipo 20
    Document5 pages
    Buku Hipo 20
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 24
    Buku Hipo 24
    Document6 pages
    Buku Hipo 24
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 21
    Buku Hipo 21
    Document5 pages
    Buku Hipo 21
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 22
    Buku Hipo 22
    Document7 pages
    Buku Hipo 22
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 19
    Buku Hipo 19
    Document4 pages
    Buku Hipo 19
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 13
    Buku Hipo 13
    Document5 pages
    Buku Hipo 13
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 17
    Buku Hipo 17
    Document5 pages
    Buku Hipo 17
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 15
    Buku Hipo 15
    Document4 pages
    Buku Hipo 15
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 14
    Buku Hipo 14
    Document5 pages
    Buku Hipo 14
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 9
    Buku Hipo 9
    Document4 pages
    Buku Hipo 9
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 11
    Buku Hipo 11
    Document6 pages
    Buku Hipo 11
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet
  • Buku Hipo 8
    Buku Hipo 8
    Document5 pages
    Buku Hipo 8
    Deden Marrah Adil
    No ratings yet