You are on page 1of 48

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Hippocrates sudah mengambarkan gejala penyakit tetanus ( tetanos = regangan, teinein = meregang) pada manusia. Tahun 1882 Nicolaier dan Rosenbach menemukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh bakteri. Kemudian tahun 1889 oleh Kitasato dan Nicolaier, kuman Clostridium tetani dan toksinnya dapat diisolasi. Selanjutnya tahun 1890 Von Behring dan Kitasato melaporkan keberhasilan imunisasi dan netralisasi toksin dengan antiserum spesifik yang merupakan dasar metoda imunologi sebagai tindakan pencegahan dan pengobatan tetanus. Akhirnya pada tahun 1925 Ramon memperkenalkan toksoid untuk imunisasi aktif Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang

mengandung

bakteri.

lmunisasi

dengan

mengaktivasi

derivat

tersebut

menghasilkan pencegahan dari tetanus.

1.2.

Permasalahan
Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka

kematian dari penyakit tetanus masih cukup tinggi. Oleh karena itu tetanus masih merupakan masalah kesehatan. Akhirakhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan angka kematian telah menurun secara drastis.

BAB II TETANUS

2.1 Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan oleh basil Clostridium tetani, yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin, biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti oleh jarum logam, splinter kayu, atau gigitan serangga). Tetanus (rahang terkunci (lockjaw)) adalah suatu penyakit toksemia akut dan fatal yang disebabkan oleh tetanuspasmin, neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom.

2.2. Etiologi
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang yang langsing dengan ukuran panjang 25 um dan lebar 0,30,5 um, termasuk gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella antigen.
3

Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini tahan dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 1520 menit pada suhu 121C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulanbulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat merupakanflora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang biak. Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik Kuman tetanus tumbuh subur pads suhu 17C dalam media kaldu daging dan media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat mengfermentasikan glukosa. Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejangkejang. Tetanolisin menyebabkan lisis dari selsel darah merah.

Gambar 1. Clotridium tetani

Kingdom: Division: Class: Order: Family: Genus: Species:

Bacteria Firmicutes Clostridia Clostridiales Clostridiaceae Clostridium Clostridium tetani

2.3. Epidemiologi
Tetanus terjadi secara luas di seluruh dunia namun paling sering pada daerah dengan populasi padat, pada iklim hangat dan lembab. Organisme penyebab ditemukan secara primer pada tanah dan saluran cerna hewan dan manusia. Transmisi secara primer terjadi melalui luka yang terkontaminasi. Luka dapat berukuran besar atau kecil. Pada tahun-tahun terakhir ini, tatanus sering terjadi melalui luka- luka yang kecil. Tetanus juga dapat menyertai setelah luka operasi elektif, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka robek, otitis media, infeksi gigi, gigitan binatang, aborsi dan kehamilan. Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di samping sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Secara internasional pada tahun 1992 terhitung sekitar 578.000 bayi mengalami kematian karena tetanus neonatorum. Pada tahun 2000, dengan data dari WHO menghitung insidensi secara global kejadian tetanus di dunia secara kasar berkisar antara 0,5 1 juta kasus dan tetanus neonatorum terhitung sekitar 50% dari kematian akibat tetanus di negara negara berkembang. Perkiraan insidensi tetanus secara global adalah 18 per 100.000 populasi per tahun. Di

negara berkembang, tetanus lebih sering perempuan dengan perbandingan 3 : 1 atau 4 :1

mengenai laki laki dibanding

Perkiraan angka kejadian umur ratarata pertahun sangat meningkat sesuai kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 519 tahun dan 2029 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 3039 tahun dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka kejadian lebih banyak dijumpa pada anak lakilaki; dengan perbandingan 3:1.

2.4. Patogenesis
Clostridium tetani biasanya memasuki tubuh dalam bentuk spora melalui luka yang terkontaminasi dengan tanah, kotoran binatang, atau logam berkarat, dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan binatang yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi sepsis, infeksi gigi, persalinan, injeksi intramuskular dan pembedahan. C.tetani sendiri tidak menyebabkan inflamasi sehingga tidak tampak tanda-tanda inflamasi di sekitar port dentry, kecuali bila ada infeksi oleh mikroorganisme lain.

Dalam kondisi anaerob yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi basil tetanus mensekresikan dua macam eksotoksin, yakni tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin akan merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan bakteri ini bermultiplikasi. Sementara itu, untuk mencapai susunan saraf pusat dan menghasilkan gejala-gejala klinik tetanus, tetanospasmin memiliki beberapa jalur penyebaran. Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati, bendabenda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat mudah mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua cara. 1. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujungujung saraf perifer atau motorik melalui axis silindrik kecornu anterior susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer. 2. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk seterusnya susunan saraf pusat.

Setelah melewati salah satu jalur di atas, tetanospasmin menempel pada permukaan membran presinaptik neuron terminal yang terdekat. Selanjutnya secara retrograd menyebar intraneuronal sampai ke SSP mulai dari akson menuju badan sel, lalu dendrit dan ke akson neuron sebelumnya.

Tetanospasmin merupakan polipeptida rantai ganda, terdiri dari rantai berat dan rantai ringan, yang dihubungakan oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari rantai berat tetanospasmin memungkinkannya terikat pada membran saraf, sedangkan ujung aminonya memungkinkan tetanospasmin masuk ke dalam sel saraf melalui serangkaian reaksi biomolekuler. Setelah masuk ke dalam neuron, kekuatan ikatan disulfida berkurang menyebabkan rantai ringan terlepas dan menjadi aktif, bekerja pada pre-sinaps untuk mencegah pelepasan

neurotransmitter inhibitory (glisin dan GABA) dari neuron yang ditempatinya dengan cara menghancurkan sinaptobrevin (protein membran yang berfungsi membantu terjadinya fusi vesikel yang mengandung meurotransmitter inhibitory dengan membran pre-sinaps), akibatnya proses pelepasan neurotransmitter inhibitory ke dalam celah sinaps tidak terjadi. Kegagalan pelepasan

neurotransmitter inhibitory ke dalam celah sinaps mengakibatkan terjadinya peningkatan aktivitas neuron-neuron eferen menuju otot, menimbulkan gejala kaku otot maupun spasme, misalnya pada otot masseter, menyebabkan trismus (lock-jaw).

Gambar 2. Patogenesis Tetanus

2.5. Manifestasi Klinis


Tetanus biasanya mengikuti luka-luka yang dikenali. Kontaminasi benda tajam dengan tanah, pupuk atau besi yang berkarat dapat menyebabkan tetanus. Penyakit ini juga dapat sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus, gangren, gigitan ular yang telah nekrotik, infeksi telinga tengah, aborsi, kelahiran, injeksi intramuskular dan pembedahan. Ada trias gejala yaitu rigiditas atau kekauan, spasme dari otot, jika parah maka bisa disfungsi otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorokan, dan

kesulitan membuka mulut sering merupakan gejala awal. Spasme otot masseter

10

bisa menyebabkan trismus atau lockjaw. Spasme yang prosesif meluas dari otot muka menyebabkan ekspresi khusus yang disebut Risus Sardonicus dan pada otot menelan menyebabkan disfagia. Kekakuan dari otot leher menyebabkan retraksi kepala. Kekauan otot-otot rangka tubuh menyebabkan opisthotonus dan kesulitan bernafas dengan complience dinding dada yang menurun.

Gambar 3. Trismus

Gambar 4. Risus Sardonicus

11

Gambar 5. Opistotonus Untuk meningkatkan tonus otot, ada episode spasme otot. Kontraksi tonik ini seperti konvulsi yang mempengaruhi agonis dan antagonis dari sekelompok otot. Bisa spontan atau dipengaruhi oleh sentuhan, visual, suara, atau emosi. Spasme bervariasi untuk kekuatannya dan frekuensi tapi cukup kuat menyebabkan patah tulang dan robeknya suatu jaringan (avulsi). Spasme bisa terjadi terusmenerus yang bisa mengakibatkan gagal nafas. Spasme faring sering diikuti spasme laring dan berhubungan dengan aspirasi dan obstruksi jalan nafas. Masa inkubasi bervariasi antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada umumnya tergantung pada lokasi dan jarak antara luka dengan system saraf pusat, sehingga lokasi luka yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi yang lebih lama. Masa inkubasi yang pendek mempunyai angka kematian yang cukup tinggi. Pada tetanus neonatorum gejala biasanya muncul antara 4 sampai 14 hari setelah lahir dengan rata-rata 7 hari.

12

Karakteristik Dari Tetanus: 1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama , dan menetap selama 5-7 hari. 2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya. 3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang. 4. Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan leher. 5. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus / lockjaw) karena spasme otot masseter. 6. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( nuchal rigidity) 7. Risus Sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat. 8. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik. 9. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).

2.5. Klasifikasi
Berdasarkan pada temuan klinis terdapat 4 bentuk tetanus yang telah dideskripsikan yaitu:

13

Tetanus umum: Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai. Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus dekubitus dan suntikan hipodermis.

Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang (trismus) dan leher (kuduk kaku). Lima puluh persen penderita tetanus umum akan menuunjukkan trismus. Dalam 2448 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otototot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai opisthotonus.

14

Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi ekstensi. Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otototot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme sphincter kandung kemih. Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi sehingga harus hatihati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu. Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia jantung.

15

Tetanus neonatorum, merupakan tetanus bentuk generalisata yang terjadi pada bayi yang lahir dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama melalui pemotongan tali pusat yang tidak steril. Onset dalam 2 minggu pertama kehidupan, gejalanya rigiditas, sulit menelan ASI, muntah, irritable, dan spasme. Prognosis buruk dimana 90% penderita meninggal; dan pada penderita yang tetap hidup mangakibatkan terjadinya retardasi.

Tetanus lokal Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena gambaran klinis tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otototot pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%, kadangkadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum. Bentuk cephalic Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: n. III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendirisendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulanbulan. Tetanus cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosa bentuk tetanus cephalic jelek.

16

2.7. Derajat
Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:

1) Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun dirangsang. 2) Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila dirangsang. 3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan.

Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas:

Grade 1: ringan Masa inkubasi lebih dari 14 hari Period of onset > 6 hari Trismus positif tetapi tidak berat Sukar makan dan minum tetapi disfagia tidak ada.

Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari. Grade II: sedang Masa inkubasi 1014 hari Period of onset 3 had atau kurang Trismus ada dan disfagia ada.

17

Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis tidak ada. Grade III: berat Masa inkubasi < 10 hari Period of onset 3 hari atau kurang Trismus berat Disfagia berat.

Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat banyak dan takikardia.

Menurut Ablett : trismus ringan sampai sedang, spastisitas

Derajat I (ringan)

generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia. Derajat II (sedang) : trismus sedang, rigiditas nampak jelas,

spasme singkat, ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan >30x/menit, disfagia ringan. Derajat III (berat) : trismus berat, spastisitas generalisata,

spasme refleks berkepanjangan, frekuensi nafas >40 x/menit, serangan apneu, disfagia berat, takikardi >120x/menit.

18

Derajat IV (sangat berat)

derajat III + gangguan otonomik berat yang

melibatkan sistem kardiovaskuler (hipertensi berat dan takikardi terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap).

Kriteria I Kriteria II

. Menurut Patel & Joag : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, kaku otot tulang belakang : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya

Kriteria III : inkubasi antara 7 hari atau kurang Kriteria IV : waktu onset adalah 48 jam atau kurang Kriteria V : kenaikan suhu rektal sampai 1000 F (37,80 C) dan aksila sampai 990 F (37,20 C)

Dengan berdasarkan 5 kriteria di atas ini, maka dibuatlah tingkatan penyakit tetanus sebagai berikut : Tingkat I (ringan) Tingkat II (sedang) : : minimal 1 kriteria (K1 atau K2), mortalitas 0% minimal 2 kriteria (K1 dan K2) dengan masa inkubasi >7 hari dan onset >2 hari, mortalitas 10% Tingkat III (berat) : minimal 3 kriteria dengan inkubasi <7 hari dan onset <2 hari, mortalitas 32%

19

Tingkat IV (sangat berat) Tingkat V :

: minimal ada 4 kriteria dengan mortalitas 60% biasanya mortalitas 84% dengan 5 kriteria termasuk didalamnya adalah tetanus neonatorum maupun puerperium.

20

Tolok Ukur Masa Inkubasi

Keempat Tolok Ukur dan Besarnya Angka Nilai (Phillips)

Nilai Kurang 48 jam 2 5 hari 6 10 hari 11 14 hari Lebih 14 hari 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 10 8 4 2 0

Lokasi Infeksi Internal / umbilikal Leher, kepala, dinding tubuh Ekstremitas proksimal Ekstremitas distal Tidak diketahui Imunisasi Tidak ada Mungkin ada / ibu mendapat Lebih 10 tahun yang lalu Kurang 10 tahun Proteksi lengkap Faktor Memberatkan Yang Penyakit atau trauma yang membahayakan 10 jiwa 8 Keadaan yang tidak langsung membahayakan 4 jiwa 2 Keadaan yang tidak membahayakan jiwa 1 Trauma atau penyakit ringan A.S.A ** derajat ** Sistem penilaian untuk menentukan resiko penyulit yang disusun oleh American Society of Anesthesiologists (lihat 12.1.1 Anestesi. Hal. 301 302)

21

Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolak ukur, yaitu masa inkubasi, porte dentree, status imunologi, dan faktor yang memeberatkan. Berdasarkan jumlah yang diperoleh, derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi tetanus ringan (jumlah<9), tetanus sedang (jumlah 9-16), dan tetanus berat (jumlah>16). Tetanus ringan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, tetanus sedang dapat sembuh dengan pengobatan baku, sedangkan tetanus berat memerlukan perawatan khusus yang intensif.

2.8. Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan : Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi Gejala klinis; dan Penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi.

Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pada pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilainilai yang spesifik; lekosit dapat normal atau dapat meningkat. Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus atau jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu daging. Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan Clostridium Tetani. Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun kadangkadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot.

22

Pemeriksaan elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan elektromiografi hasilnya tidak spesifik.

2.9. Diagnosis Banding


1. Meningitis bakterial Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di mana adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun. 2. Poliomielitis Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat. 3. Rabies Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan, kejang bersifat klonik. 4. Keracunan strichnine Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum. 5. Tetani Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah

23

karpopedal spasme dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus. 6. Retropharingeal abses Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada. 7. Tonsilitis berat Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada. 8. Efek samping fenotiasin Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot, 9. Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis leher dan spondilitis leher.

2.10. Komplikasi
Laringospasme dan atau spasme otot-otot pernapasan yang

mengakibatkan gangguan bernapas Fraktur vertebra atau tulang panjang yang mdiakibatkan kontraksi yang berlebih ataupun kejang yang kuat Dislokasi sendi glenohumerale dan temporomandibular Hiperaktivitas sistem saraf otonom yang dapat menyebabkan hipertensi dan atau denyut jantung yang tidak normal Infeksi nosokomial, sering terjadi karena perawatan di rumah sakit yang lama. Infeksi sekunder dapat berupa sepsis, akibat pemasangan kateter, Hospital Acquired Pneumonia dan ulkus dekubitus

24

Emboli paru, terutama merupakan masalah pada pasien dengan penggunaan obat-obatan dan orang tua. Aspirasi pneumonia, merupakan komplikasi lanjut tetanus yang paling sering, ditemukan pada 50%-70% kasus Ileus paralitik, luka akibat tekanan dan retensi urine Malnutrisi dan stress ulcers

2.11. Penatalaksanaan

2.11.1. Pencegahan Prinsip prinsip Umum Profilaksis Pertimbangan Individual Penderita Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah perlu tindakan profilaksis terhadap tetanus dengan mempertimbangkan keadaan / jenis luka dan riwayat imunisasi. Debridemen Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan yang nekrotik dan benda asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka. Imunisasi Aktif Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus) diberikan dengan dosis sebanyak 0, 5 cc IM, diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut turut. DPT (Diptheri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada anak. Diberikan pada usia 2 6 bulan dengan dosis sebesar 0, 5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan
25

berturut turut. Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM dan antara umur 5 6 tahun 1 x 0,5 cc IM. Tetanus Toksoid Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut turut. Booster (penguat) diberikan 10 tahun kemudian setelah suntikan ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah pemberian booster di atas. Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita telah mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun terakhir. Imunisasi Pasif ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (asal lembu) maupun antitoksin equine (asal kuda). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 1500 IU per IM dan untuk anak adalah 750 IU per IM. Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusa), terkenal di pasaran dengan nama Hypertet. Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM (setara dengan 1500 IU ATS), sedang untuk anak anak adalah 125 IU per IM.

Hypertet diberikan bila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari hewan. Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi penderita dan status imunisasi. Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif, merupakan keharusan untuk di imunisasi. Pemberian imunisasi secara IM, jangan sekali kali secara IV.

26

Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan keuntungannya pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas. Tindakan Profilaksis Belum Jenis Luka atau Sebagian 1 5 tahun Ringan, bersih Mulai atau 5 10 tahun Toks 0,5 cc > 10 tahun Toks 0,5 cc IA Mendapat IA Yang Lengkap

melengkapi IA Toks. 0,5 cc hingga lengkap

Berat, bersih ATS 1500 IU Toks 0,5 cc atau cenderung tetanus Cenderung tetanus, debrimen terlambat atau bersih Keterangan : tidak ATS 1500 IU Toks 0,5 cc Toks. 0,5 cc hingga Toks. 0,5 cc

Toks 0,5 cc

ATS 1500 IU Toks 0,5 cc

Toks 0,5 cc ABT

ATS 1500 IU Toks 0,5 cc ABT

lengkap ABT

ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250 IU

27

Pada anak anak dosis ATS = dosis dewasa IA Toks ABT : : : Imunisasi Aktif (dengan toksoid) Toksoid (vaksin serap tetanus) Antibiotka dosis tinggi yang sesuai dengan

Clostridium tetani

2.11.2. Penatalaksanaan Prinsip : 1. Mengeliminasi bakteri dalam tubuh untuk mencegah pengeluaran tetanospasmin lebih lanjut 2. Menetralisir tetanospasmin yang beredar bebas dalam sirkulasi (belum terikat dengan sistem saraf pusat) 3. Meminimalisasi gejala yang timbul akibat ikatan tetanospasmin dengan sistem saraf pusat

Terapi umum : 1. Semua pasien disarankan untuk menjalani perawatan di ruang ICU yang tenang supaya bisa dimonitor terus-menerus fungsi vitalnya. Pasien dengan tetanus tingkat II, III, IV sebaiknya dirawat di ruang khusus dengan peralatan intensif yang memadai serta perawat yang terlatih untuk memantau fungsi vital dan mengenali tanda aritmia. Hendaknya pasien

28

berada di ruangan yang tenang dengan maksud untuk meminimalisasi stimulus yang dapat memicu terjadinya spasme. 2. Berikan cairan infus D5 untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemi 3. Debridement luka. Semua luka harus dibersihkan. Jaringan nekrotik dan benda-benda asing harus dikeluarkan. Semua luka yang berpotensial harus didebridement, abses harus diinsisi dan didrainase. Selama dilakukannya manipulasi terhadap luka yang diduga menjadi sumber inkubasi tetanus ini, harus diberikan hTIG dan terapi antibiotika. Juga penting diberikan obat-obatan pengontrol spasme otot selama manipulasi luka.

Terapi Khusus 1. Anti Tetanus toksin Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk: Toksin bebas dalam darah; Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.

Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan: Anamnesa apakah ada riwayat alergi; Tes kulit dan mata; dan Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000.

Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis.

29

Tes mata Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin tetanus 1:10 dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang lain hanya ditetesi garam faali. Positif bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan bengkak pada konjungtiva. Tes kulit Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali secara intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi kemerahan dan indurasi lebih dari 10 mm. Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara bertahap (Besredka). Dosis Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Behrman (1987) dan Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000100.000 u yang diberikan setengah lewat intravena dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena diberikan dengan cara melarutkannya dalam 100200 cc glukosa 5% dan diberikan selama 12 jam. Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis 20.000 u selama 2 hari. Di Manado, ATS diberikan dengan dosis 10.000 i.m, sekali pemberian. 2. Antibiotika : Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap

30

peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5 mg/kg BB tiap 6 jamBila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan

3. Antikonvulsan dan sedatif Obatobat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi kepekaan jaringan saraf terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam penanganan tetanus ialah obat yang dapat mengontrol kejang dan menurunkan spastisitas tanpa mengganggu pernapasan, gerakangerakan volunter atau kesadaran. Obatobat yang lazim digunakan ialah: Diazepam Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali i.v. perlahanlahan dengan dosis optimum 10 mg/kali diulangi setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral(sonde lambung) dengan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali sehari diberikan 6 kali. Fenobarbital

31

Dosis awal: 1 tahun 50 mg intramuskuler; 1 tahun 75 mg intramuskuler. Dilanjutkan dengan dosis oral 59 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 3 dosis. Largactil Dosis yang dianjurkan 4 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 6 dosis.

JENIS ANTIKONVULSAN

Jenis Obat

Dosis

Efek Samping

Diazepam

0,5 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam (IM)

Stupor, Koma

Meprobamat Klorpromasin Fenobarbital

300 400 mg/ 4 jam (IM) 25 75 mg/ 4 jam (IM) 50 100 mg/ 4 jam (IM)

Tidak Ada Hipotensi Depressi pernafasan

32

4. Tetanus Toksoid Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Berikut ini, tabel 4. Memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus pada keadaan luka

33

PETUNJUK PENCEGAHAN TERHADAP TETANUS PADA KEADAAN LUKA. __________________________________________________________________


RIWAYAT IMUNISASI Luka bersih, Kecil Luka Lainnya

______________________________________________________ (dosis)
Tet. Toksoid (TT) Antitoksin Tet.Toksoid (TT) Antitoksin

__________________________________________________________________ Tidak diketahui 01 2 3 atau lebih ya ya ya tidak** tidak tidak tidak tidak ya ya ya tidak** ya ya tidak* tidak

__________________________________________________________________
* : Kecuali luka > 24 jam

** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun (8, 16)

*** : Kecuali bila imunisasi terakhir >5 tahun (8,16)

Sedangkan pengobatan menurut Gilroy:


- Kasus ringan : Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan barbiturat secukupnyanya untuk mengurangi spasme. - Kasus berat : 1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team ) 2. Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan setiap satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan yang baru.

34

5. Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam. 6. Pernafasan dijaga dengan respirator oleh tenaga yang

berpengalaman 7. Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam mencegah conjuntivitis 8. Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu 6 1./hari 9. Urine pasang kateter, beri antibiotika. 10. Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA 11. Rontgen foto thorax 12. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan pemakaiannya. Jika KU membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy dipertahankan beberapa hari, kemudian

dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.

Monitoring
I. Sekuele Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus berlangsung lebih lama. Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang berat. Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan berlangsung selama 1-2 minggu. II. Tumbuh Kembang Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak.

35

2.12. Prognosis
Prognosis tergantung pada masa inkubasi, waktu dari inokulasi spora sampai timbul gejala awal dan waktu dari timbulnya gejala awal sampai spasme tetanik awal. Secara umum, interval yang lebih pendek menunjukkan tetanus yang lebih berat dan prognosis yang lebih buruk. Kebanyakan pasienyang bertahan dari tetanus ini biasanya akan kembali pada kondisi kesehatan sebelumnya walau pun perbaikan berjalan secara lambat (sekitar 2 hingga 4 bulan) dan pasien seringkali tetap menjadi hipotonus. Pasien yang sembuh harus mendapatkan imunisasi aktif dengan tetanus toksoid untuk mengelakkan dari terjadinya rekurensi. Selain itu, prognosis dan angka kematian pasien dengan tetanus juga dipengaruhi oleh factor usia, gizi yang buruk serta penangan terhadap komplikasi yang mungkin terjadi. Dari data terkini yang diperolehi, kadar kematian pada penderita tetanus ringan dan sedang adalah 6% dan pada penderita tetanus berat bisa mencapai 60%. Meningkatnya kadar kematian pada penderita tetanus adalah berhubung dengan faktor faktor berikut:

a. Masa inkubasi yang pendek b. Onset kejang yang dini (early onset) c. Penanganan yang lambat d. Apabila terdapat lesi di kepala dan muka yang terkontaminasi e. Tetanus neonatorum

36

Berdasarkan 5 kriteria menurut Patel dan Joag, dibuat 5 tingkatan yaitu:

a. Tingkat 1 (ringan): minimal 1 kriteria (K1 atau K2), mortalitas 0% b. Tingkat 2 (sedang): minimal 2 kriteria (K1atau K2) dengan masa inkubasi > 7 hari dan awitan > 2 hari, mortalitas 10% c. Tingkat 3 (berat): minimal 3 kriteria (K1atau K2) dengan masa inkubasi < 7 hari dan awitan < 2 hari, mortalitas 32% d. Tingkat 4 (sangat berat): minimal 4 kriteria, mortalitas 60% e. Tingkat 5: minimal 5 kriteria termasuk tetanus neonatorum maupun puerperium, mortalitas 80%.

37

BAB III KESIMPULAN

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan oleh basil Clostridium tetani, yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin, biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti oleh jarum logam, splinter kayu, atau gigitan serangga). Secara internasional pada tahun 1992 terhitung sekitar 578.000 bayi mengalami kematian karena tetanus neonatorum. Pada tahun 2000, dengan data dari WHO menghitung insidensi secara global kejadian tetanus di dunia secara kasar berkisar antara 0,5 1 juta kasus dan tetanus neonatorum terhitung sekitar 50% dari kematian akibat tetanus di negara negara berkembang. Perkiraan insidensi tetanus secara global adalah 18 per 100.000 populasi per tahun. Di negara berkembang, tetanus lebih sering perempuan dengan perbandingan 3 : 1 atau 4 :1 Dalam kondisi anaerob yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi basil tetanus mensekresikan dua macam eksotoksin, yakni tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin akan merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan bakteri ini bermultiplikasi. Sementara itu, untuk mencapai susunan saraf pusat dan mengenai laki laki dibanding

38

menghasilkan gejala-gejala klinik tetanus, tetanospasmin memiliki beberapa jalur penyebaran. Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati, bendabenda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat mudah mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua cara. 3. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujungujung saraf perifer atau motorik melalui axis silindrik kecornu anterior susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer. 4. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk seterusnya susunan saraf pusat.

Ada trias gejala yaitu rigiditas atau kekauan, spasme dari otot, jika parah maka bisa disfungsi otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorokan, dan

kesulitan membuka mulut sering merupakan gejala awal. Spasme otot masseter bisa menyebabkan trismus atau lockjaw. Spasme yang prosesif meluas dari otot muka menyebabkan ekspresi khusus yang disebut Risus Sardonicus dan pada otot menelan menyebabkan disfagia. Kekakuan dari otot leher menyebabkan retraksi kepala. Kekauan otot-otot rangka tubuh menyebabkan opisthotonus dan kesulitan bernafas dengan complience dinding dada yang menurun.

39

Karakteristik Dari Tetanus: 10. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama , dan menetap selama 5-7 hari. 11. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya. 12. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang. 13. Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan leher. 14. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus / lockjaw) karena spasme otot masseter. 15. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( nuchal rigidity) 16. Risus Sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat. 17. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik. 18. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).

40

Ada 3 bentuk klinis dari tetanus, yaitu : 1. Tetanus local : otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan spasme pada bagian paroksimal luak. Gejala itu dapat menetap dalam beberapa minggu dan menhilang tanpa sequele. 2. Tetanus general merupakan bentuk paling sering, timbul mendadak dengan kaku kuduk, trismus, gelisah, mudah tersinggung dan sakit kepala merupakan manifestasi awal. Dalam waktu singkat konstruksi otot somatik meluas. Timbul kejang tetanik bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya spasme

berlangsuang beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah oleh periode relaksasi 3. Tetanus sefal : varian tetanus local yang jarang terjadi masa inkubasi 1-2 hari terjadi sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Diagnosis Biasanya tidak sukar. Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang sangat membantu. Diagnosis Banding Spasme yang disebabkan oleh striknin jarang menyebabkan spasme otot rahang tetapi didiagnosis dengan pemeriksaan darah (kalsium dan fospat). Kejang pada meningitis dapat dibedakan dengan kelainan cairan serebropinalis. Pada rabies terdapat anamnesis gigitan anjing dan kucing disertai gejala spasme laring dan faring yang terus menerus dengan pleiositosis tetapi tanpa trismus.
41

Trismus dapat pula terjadi pada argina yang berat, abses retrofaringeal, abses gigi yang hebat, pembesaran getah bening leher. Kuduk baku juga dapat terjadi pada meningitis (pada tetanus kesadaran tidak menurun), mastoiditis, preumonia lobaris atas, miositis leher, spondilitis leher.

Komplikasi 1.Spame otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saripa) di dalam rongga mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.

2.Asfiksia

3.Atelektaksis karena obstruksi sekret.

4.Fraktura kompresi.

Penatalaksanaan

Terapi umum : 4. Semua pasien disarankan untuk menjalani perawatan di ruang ICU yang tenang supaya bisa dimonitor terus-menerus fungsi vitalnya. Pasien dengan tetanus tingkat II, III, IV sebaiknya dirawat di ruang khusus dengan peralatan intensif yang memadai serta perawat yang terlatih untuk memantau fungsi vital dan mengenali tanda aritmia. Hendaknya pasien berada di ruangan yang tenang dengan maksud untuk meminimalisasi stimulus yang dapat memicu terjadinya spasme.
42

5. Berikan cairan infus D5 untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemi 6. Debridement luka. Semua luka harus dibersihkan. Jaringan nekrotik dan benda-benda asing harus dikeluarkan. Semua luka yang berpotensial harus didebridement, abses harus diinsisi dan didrainase. Selama dilakukannya manipulasi terhadap luka yang diduga menjadi sumber inkubasi tetanus ini, harus diberikan hTIG dan terapi antibiotika. Juga penting diberikan obat-obatan pengontrol spasme otot selama manipulasi luka.

Terapi khusus : 1. Human Tetanus Imunoglobulin (hTIG 3000-6000 IU i.m) : untuk menetralisir tetanospasmin bebas. Antitoksin ini tidak mempuny6ai efek pada toksin yang telah terikat pada jaringan saraf pada susunan saraf pusat ataupun sistem otonom. Toksin bebas mungkin terdapat pada sekeliling luka tempat pertumbuhan C. tetani. Diberikan secepat mungkin setelah diagnosis klinis tetanus ditegakkan. Dosis efektif yang direkomendasikan adalah 3000-10.000 IT iv/im, dengan kadar puncak dalam darah dicapai dalam 48-72 jam. Sebagai pengobatan secara aktif 1500-3000 IU diinfiltrasikan pada sekeliling luka. Di Indonesia umumnya masih memakai Anti Tetanus Serum, termasuk juga di RSHS. 2. Antibiotik : untuk menghilangkan sumber tetanospasmin DOC : Metronidazole 500 mg p.o tiap 6 jam atau 1gr tiap 12 jam selama 10-14 hari, aktif menghambat pertumbuhan bakteri anaerob dan protozoa. 3. Benzodiazepine : untuk meminimalisasi spasme otot dan rigiditas karena bersifat GABA enhancer.
43

DOC : Diazepam karena dapat mengurangi ansietas, menyebabkan sedasi dan relaksasi otot. Dosis pemberian berdasarkan derajat keparahan spasme otot. Pada orang dewasa : Spasme ringan : 5-10 mg p.o tiap 4-6 jam Spasme sedang : 5-10 mg i.v Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml D5, infuskan dengan kecepatan 10-15 mg/jam Bila refrakter terhadap benzodiazepine, berikan neuromuscular blocking agents (vecuronium) 4. Tetanus Toxoid (Td 0,5 ml i.m) : untuk merangsang dibentuknya antibodi terhadap eksotoksin bakteri. Td ini merupakan suatu eksotoksin yang telah didetoksikasi dengan formaldehid dan diabsorbsi ke dalam garam aluminium. Antigen ini akan menginduksi produksi antibody yang melawan eksotoksin. 5. -adrenergik blocking agents (Labetolol 0,25-1 mg/menit melalui infus i.v setelah dititrasi) untuk mengontrol disfungsi otonom yang didominasi aktivitas simpatis, yakni menurunkan tekanan darah tanpa memperberat takikardi 6. Intubasi endotrakeal atau trakeostomi pada tetanus berat (stadium III-IV) untuk atasi gangguan napas. Hendaknya trakeostomi dilakukan pada pasien yang memerlukan intubasi lebih dari 10 hari, disamping itu trakeostomi juga direkomendasikan setelah onset kejang umum yang pertama.

44

7. Walaupun imunisasi aktif tidak 100% efektif mencegah tetanus, namun

imunisasi tetanus telah memperlihatkan sebagai salah satu yang paling efektif sebagai pencegahan terhadap kejadian tetanus. Pemberian imunisasi dan penanganan luka yang baik diketahui merupakan komponen yang penting dalam mencegah penyakit ini. Pada pasien dengan tetanus, imunisasi aktif dengan Td harus mulai diberikan atau dilanjutkan sesegera mungkin setelah kondisi pasien stabil.

Pencegahan 1. Imunisasi aktif toksoid tetanus, yang diberikan sebagai dapat pada usia 3,4 dan 5 bulan. Booster diberikan 1 tahun kemudian selanjutnya tiap 2-3 tahun. 2. Bila mendapat luka : - Perawatan luka yang baik : luka tusuk harus di eksplorasi dan dicuci dengan H2O2. - Pemberian ATS 1500 iu secepatnya. - Tetanus toksoid sebagai boster bagi yang telah mendapat imunisasi dasar.

Prognosis

Meningkatnya kadar kematian pada penderita tetanus adalah berhubung dengan faktor faktor berikut:

f. Masa inkubasi yang pendek g. Onset kejang yang dini (early onset)
45

h. Penanganan yang lambat i. Apabila terdapat lesi di kepala dan muka yang terkontaminasi j. Tetanus neonatorum

46

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004.Hal 21-24 2. Sabiston D, Oswari J.Buku Ajar Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.1994. Hal 199-201,251 3. Doherty GM. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA : McGraw Hill.2006. Page 112-113 4. Schwartz. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC 2000. Hal 58-59 5. Grace P, Borley N. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi ketiga.Jakarta : Erlangga.2006. hal 6. Behrman RE, Kliegnan RM, Arvin AM. Tetanus. Dalam : Wahab AS editor . Ilmu kesehatan anak nelson. Edisi 15. Jakarta : EGC.1999. Hal 1004-1007 7. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Tetanus. Dalam:Alatas H,Hassan R editor.. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. jilid 1;Jakarta; Infomedika ;1985. Hal 568-572 8. Arditayasa Wayan. Clostridium tetani. Diunduh tanggal 06 mei 2010. Dapat dilihat di URL www.scribd.com 9. Ritarwan Kingking. Tetanus. Diunduh tanggal 06 Mei 2010. Dapat dilihat di URL www.scribd.com

47

48

You might also like