You are on page 1of 42

BAB 1. PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis (TB) saat ini merupakan masalah kesehatan penting bagi masyarakat Indonesia. Walaupun penanggulangan penyakit ini sudah merupakan Directly Observed Treatment Shortcource (DOTS) sejak tahun 1995 sampai sekarang, hasilnya belum sesuai harapan. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa TB paru merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran napas. Prevalensi TB paru di dunia ini sekitar 20 juta orang dan terdapat 3 juta pasien meninggal tiap tahunnya (SKRT, 1995). Indonesia memiliki prevalensi TB paru terbanyak ketiga di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000, dengan jumlah kematian sekitar 101.000 per tahun (Departemen Kesehatan RI, 2008). Hasil survei prevalensi TB paru di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA (bakteri tahan asam) positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk. Diperkirakan bahwa terdapat penyakit TB paru menular sebanyak 500.000 per tahun. Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu : 1) wilayah Sumatera sebesar 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah Jawa dan Bali sebesar 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia timur sebesar 210 per 100.000 penduduk (World Health Organization, 2005). Selama tahun 2002, baru dapat ditemukan dan diobati 137.836 penderita TB dan 69.396 penderita diantaranya BTA positif dengan Case Detection Rate (CDR) sekitar 26%. Penemuan dan pengobatan masih terfokus di puskesmas, sehingga cakupan yang tercatat dan dilaporkan masih rendah. Dari penderita yang ditemukan dan diobati tersebut, menunjukan kesembuhan 87% pada tahun 2001. Sedangkan target Nasional juga target global pada tahun 2005, penemuan kasus minimal 70% (Kementrian Kesehatan RI, 2008). Penyakit TB paru sering menyerang usia produktif yaitu antara usia 1550 tahun dan menyebabkan produktivitas tenaga kerja menurun. Pengobatan TB 1

paru dalam waktu yang cukup lama dan banyaknya macam obat yang harus diminum, seringkali menjadi faktor penyebab terjadinya kegagalan pengobatan. Dewasa ini angka kegagalan pengobatan TB paru di Indonesia cukup tinggi dan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tiga tahun terakhir angka kegagalan sangat meningkat seiring dengan adanya krisis ekonomi di negara kita. Kegagalan pengobatan TB paru selain dipengaruhi ketersediaan obat antituberkulosis juga ditentukan kepatuhan pasien dalam berobat dan meminum obat sesuai dengan aturan pengobatan (Departemen Kesehatan RI, 2008). Jumlah penderita TB paru di Kabupaten Jember pada tahun 2005 yang terdeteksi oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Jember adalah 1.791 kasus dan diantaranya masih ditemukan penderita yang tidak patuh berobat. Dalam hal ini, Kabupaten Jember menduduki peringkat terbanyak kedua di wilayah Jawa Timur dengan 172 kasus penderita TB paru yang putus obat. Data terakhir tahun 2006 menyebutkan terdapat 1.683 kasus dari 2.459 suspek penderita TB paru di Kabupaten Jember (Dinkes Jember, 2005). Berdasarkan data yang diperoleh dari Rumah Sakit Paru Jember, angka kejadian TB paru dengan BTA positif pada tahun 2006 terdapat 309 kasus (RS Paru Jember, 2006). Kencong merupakan salah satu kecamatan yang menduduki peringkat teratas jumlah penderita TB di wilayah Jember. Berdasarkan Laporan Monitoring dan Evaluasi TB Tahun 2010 yang diadakan pada tanggal 23-24 November 2010 diketahui bahwa Kecamatan Kencong menempati peringkat ke-4 tertinggi di Kabupaten Jember dengan angka CDR pada tahun 2009 sebesar 119%. Sedangkan berdasarkan Laporan Monitoring dan Evaluasi TB Tahun 2011 yang diadakan pada tanggal 29-30 November 2011, didapatkan penemuan penderita kasus baru BTA positif di Kecamatan Kencong selama tahun 2010 sebanyak 151 penderita dengan angka CDR sebesar 259%. Angka tersebut merupakan angka tertinggi CDR dari seluruh puskesmas di wilayah Kabupaten Jember. Angka CDR yang tinggi tentu saja menjadi masalah tersendiri bagi wilayah tersebut, terutama apabila tidak diikuti oleh angka konversi dan kesembuhan yang tinggi.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti merasa perlu melakukan penelitian untuk menganalisa keberhasilan program penanggulangan TB di Kecamatan Kencong Kabupaten Jember pada tahun 2010-2011. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka disusun rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah tingkat keberhasilan program penanggulangan TB di Kecamatan Kencong Kabupaten Jember pada tahun 2010-2011. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program penanggulangan TB di Kecamatan Kencong Kabupaten Jember pada tahun 2010-2011. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengetahui perbandingan angka CDR wilayah Kecamatan Kencong pada tahun 2010 dan tahun 2011. b. Mengetahui perbandingan angka konversi penderita TB Paru di Kecamatan Kencong pada tahun 2010 dan tahun 2011 c. Mengetahui perbandingan angka kesembuhan penderita TB Paru di Kecamatan Kencong pada tahun 2010 dan tahun 2011 1.4 Manfaat Penelitian Melalui hasil penelitian ini diharapkan memperoleh beberapa masukan pengetahuan dan teori sebagai berikut: a. Memberikan pengetahuan bagi penyusun dan Institusi Kedokteran mengenai cara menganalisis keberhasilan program penanggulangan TB. b. Memberikan informasi dan masukan bagi Institusi Pelayanan Kesehatan pada umumnya dan Pusat Kesehatan Masyarakat Kencong (PKM Kencong) 3

khususnya dalam evaluasi kinerja program penanggulangan TB di wilayah Kecamatan Kencong. c. Masukan bagi Institusi Kedokteran dan PKM Kencong untuk meningkatkan pelayanan, kinerja, dan pengembangan pengetahuan yang berkaitan dengan pengobatan TB paru. d. Merupakan bahan/sumber data penelitian berikutnya dan mendorong bagi pihak yang berkepentingan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Tuberkulosis Paru (TB Paru) 1.1.1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. (Departemen Kesehatan RI, 2007). 1.1.2 Etiologi Penyebab tuberkulosis adalah M. tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/m dan tebal 0,3-0,6/m. Sebagian besar kuman terdiri asam lemak (lipid). Lipid ini yang membuat kuman-kuman lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Oleh karena itu, disebut juga kuman batang tahan asam (BTA). Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paruparu lebih tinggi daripada bagian yang lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis (Bahar, 2001: 821). 2.1.3 Epidemiologi Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang telah lama dikenal dan mematikan. Penyakit ini sangat menular dan menyerang semua umur. Penyakit ini menjadi masalah yang cukup besar bagi kesehatan masyarakat di dunia terutama di negara yang sedang berkembang. Sebanyak 40% kasus tuberkulosis dunia berada di Asia Tenggara dengan kasus terbanyak (95%) berada di India, Indonesia, Bangladesh, Thailand, dan Myanmar. Di Asia Tenggara lebih dari 95%

kasus tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pembunuh utama pada umur lima tahun ke atas (Departemen Kesehatan RI, 2006). Berdasarkan data World Health Organitation (WHO), jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia berada di urutan ketiga setelah India dan Cina, dengan estimasi angka insidensi tahun 2008 adalah 430.000 kasus, prevalensi sebesar 480.000 kasus, dan angka kematian sekitar 62.000 kasus. Angka ini juga menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah kasus baru dengan estimasi angka insidensi adalah 420.000 kasus pada tahun 2007 (WHO, 2009). Kasus penderita TB paru juga meningkat di Jawa Timur. Menurut data Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur pada tahun 2002 jumlah penderita penyakit TB paru sebesar 8.746 kasus, sedangkan pada tahun 2005 jumlah kasus baru meningkat sebesar 9.857 kasus. Jika dibandingkan dengan angka rata-rata Nasional, jumlah penderita TB paru di Jawa Timur masih 0,4% lebih tinggi. Jumlah penderita di Jawa Timur sekitar 2,6% dari jumlah penduduk usia di atas 15 tahun, sedangkan angka rata-rata Nasional sebesar 2,2%. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Propinsi Jawa Timur menyebutkan pada triwulan I bulan Januari sampai dengan Maret tahun 2003 jumlah penderita TB paru di Jember menempati peringkat terbanyak kedua di Jawa Timur dengan 172 kasus. Data terakhir tahun 2006 menyebutkan terdapat 1.683 kasus dari 2.459 suspek penderita TB paru di Kabupaten Jember (Dinkes Jatim, 2005; Dinkes Jember 2005). 2.1.4 Cara Penularan Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahakberada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab.

Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB dtentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. 2.1.5 Patogenesis a. Tuberkulosis primer Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut : 1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum) 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus) 3. Menyebar dengan cara : a) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan sembuh meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau meninggal. b. Tuberkulosis pasca-primer Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut : a. Diresopsi dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat b. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar.

c. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik). Nasib kavitas ini : 1. Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas 2. Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kavitas lagi 3. Kavitas bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kavitas menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped). (PDPI, 2002).

Sarang eksudatif Sarang Keju Dini

Kavitas nonsklerotik Kavitas sklerotik

Sarang Proliferatif Sarang Enkapsulasi Sikatriks Sarang Pengapuran

Lesi Eksudatif Open Healed Cavity

Sikatriks
Keterangan: Perubahan menuju perluasan Gambar 2.1 Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan penyembuhannya.

2.1.6 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat hal, yaitu: 1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru. 2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif. 3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat. 4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati. Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe antara lain: 1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai 2. Registrasi kasus secara benar 3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif 10

4. Analisis kohort hasil pengobatan Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk: 1. menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya resistensi, 2. menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective) 3. mengurangi efek samping. a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: 1. Tuberkulosis paru, yaitu tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2. Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis (BTA) 1. Tuberkulosis paru BTA positif a) Sekurang-kurangnya dua dari tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. c) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah tiga spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

11

2. Tuberkulosis paru BTA negatif a) Hasil pemeriksaan dahak tiga kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif. b) Hasil pemeriksaan dahak tiga kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif. c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: 1. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. 2. Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif/perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan: a) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis, dan lain-lain) b) Infeksi jamur c) TB paru kambuh 3. Kasus setelah putus berobat (default atau drop out) Adalah pasien yang tidak mengambil obat selama dua bulan berturutturut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. 4. Kasus gagal (failure) Pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau 12

pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan. 5. Kasus Pindahan (transfer in) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6. Kasus kronik/persisten Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik (PDPI, 2002). 2.1.7 Gejala Klinis Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau banyak pasien tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan (Bahar, 2001). Gejala utama pasien tuberkulosis paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut di atas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain tuberkulosis, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi tuberkulosis di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien tuberkulosis, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Departemen Kesehatan RI, 2007). 2.1.8 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis antara lain, yaitu:

13

a. Pemeriksaan dahak mikroskopis Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan tiga spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa SewaktuPagi-Sewaktu (SPS): 1. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. 2. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. 3. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. b. Pemeriksaan bakteriologis Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urine, feses, dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus) (PDPI, 2002). Salah satu pemeriksaan bakteriologik adalah biakan kuman. Perbenihan untuk biakan primer mikobakterium, meliputi perbenihan selektif dan non selektif. Perbenihan selektif mengandung antibiotik untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur yang berlebihan. Salah satu contoh medium untuk biakan Mycobacterium adalah medium Lowenstein-Jensen, yang mengandung garam tertentu, gliserol, dan substansi organik kompleks (misalnya telur segar atau kuning telur, tepung kentang dan bahan lain dalam bentuk kombinasi (Jawetz, 1996: 302). c. Pemeriksaan radiologik Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto thoraks. 14

Namun, pada kondisi tertentu, pemeriksaan foto thoraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Hanya satu dari tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto thoraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif (lihat Gambar 2.1). 2. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah tiga spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (lihat Gambar 2.1). 3. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumothorak, pleuritis eksudatif, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma). Pada pemeriksaan foto thoraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). 1. Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi tuberkulosis aktif : a) Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. b) Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. c) Bayangan bercak milier. d) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang). 2. Gambaran radiologik yang dicurigai lesi tuberkulosis inaktif a) Fibrotik b) Kalsifikasi c) Schwarte atau penebalan pleura d. Analisis cairan pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah. 15

e. Pemeriksaan histopatologi jaringan Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu : 1. Biopsi aspirasi dengan Jarum Halus (BJH) kelenjar getah bening. 2. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman). 3. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal biopsy/TTB, biopsi paru terbuka). 4. Otopsi Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil dua sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi. f. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Pemeriksaan limfosit pun kurang spesifik untuk mendiagnosis penyakit tuberkulosis (PDPI, 2002). g. Uji tuberkulin Uji tuberkulin dilakukan untuk melhat seseorang mempunyai kekebalan terhadap basil tuberkulosis, sehingga sangat baik untuk mendeteksi infeksi tuberkulosis. Tetapi uji tuberkulin ini tidak dapat untuk menentukan tuberkulosis tersebut aktif atau tidak aktif (latent). Oleh sebab itu harus dikonfirmasi dengan ada tidaknya gejala dan lesi pada foto thorak untuk mengetahui seseorang tersebut terdapat infeksi tuberkulosis atau sakit tuberkulosis (Kenyorini, 2006).

16

2.1.9 Diagnosis Dari uraian-uraian sebelumnya, TB paru cukup mudah dikenali mulai dari keluhan-keluhan klinis, gejala-gejala, kelainan fisik, kelainan radiologis, sampai dengan kelainan bakteriologis, tetapi dalam praktiknya, tidaklah selalu mudah menegakkan diagnosisnya. Menurut WHO tahun 1964, diagnosis pasti TB paru adalah dengan menemukan kuman tuberkulosis dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan sputum yang positif, hal ini dikarenakan kelainan paru belum berhubungan dengan bronkus atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya dengan baik. Kelainan baru jelas dan mudah didiagnosis setelah penyakit berlanjut sekali (Bahar, 2001: 828). a. Diagnosis TB paru Semua suspek TB diperiksa tiga spesimen dahak dalam waktu dua hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA positif). Pada Program TB Nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto thoraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru. b. Diagnosis TB ekstraparu Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB, dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan 17

ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.

Gambar 2.1 Alur Diagnosis TB Paru.

18

2.1.10 Pengobatan Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis yang dipakai dalam pengobatan tuberkulosis. Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Sebaiknya tidak menggunakan OAT dosis tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). c. Pengobatan Tuberkulosis diberikan dalam dua tahap, yaitu: 1. Tahap awal (intensif) a) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. c) Sebagian besar pasien tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam dua bulan. 2. Tahap Lanjutan a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. b) Tahap lanjutan penting untuk mencegah terjadinya kekambuhan (Departemen Kesehatan RI, 2007). Jenis obat anti tuberkulosis yang biasa digunakan antara lain isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan streptomisin (S) yang bersifat bakterisid dan etambutol (E) yang bersifat bakteriostatik (Mansjoer, 2001: 473). 19

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia: a. Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 1. Pasien baru TB paru BTA positif. 2. Pasien TB paru BTA negatif dengan foto thoraks positif. 3. Pasien TB ekstra paru. Tabel 2.1 Paduan OAT untuk Kategori 1. Tahap Intensif Tahap Lanjutan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu RHZE(150/75/400/275) RH(150/150) 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT

Berat Badan 30-37 kg 38-54 kg 55-70 kg 71 kg

b. Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 1. Pasien kambuh 2. Pasien gagal 3. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default). Tabel 2.2 Paduan OAT untuk Kategori 2. Tahap Intensif Tahap Lanjutan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama RHZE(150/75/400/275) 16 minggu Selama Selama RH(150/150) 56 hari 28 hari 2 tab 4KDT + 500mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT Streptomisin inj. 3 tab 4KDT + 750mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT Streptomisin inj. 4 tab 4KDT + 1000mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT Streptomisin inj. 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT Streptomisin inj.

Berat Badan

30-37 kg 38-54 kg 55-70 kg 71 kg

20

c. OAT Sisipan (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari). Tabel 2.3 Paduan OAT Sisipan. Tahap Intensif Berat Badan tiap hari selama 56 hari RHZE(150/75/400/275) 30-37 kg 2 tab 4KDT 38-54 kg 3 tab 4KDT 55-70 kg 4 tab 4KDT 71 kg 5 tab 4KDT c. Kategori Anak (2RHZ/4RH) Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal tiga macam obat dan diberikan dalam waktu enam bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat. Tabel 2.4 Paduan OAT untuk Kategori Anak. 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari Berat Badan RHZ(75/50/150) RH(75/50) 5-9 kg 1 tablet 1 tablet 10-19 kg 2 tablet 2 tablet 20-32 kg 4 tablet 4 tablet Hasil pengobatan pasien TB BTA positif, dapat dikategorikan menjadi: a. Sembuh Pasien dikatakan sembuh bila telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya. b. Pengobatan lengkap Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. c. Meninggal Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

21

d. Pindah Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. e. Putus berobat (default) Adalah pasien yang tidak berobat dua bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. f. Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 2.1.11 Upaya Penanggulangan TB Penanggulangan TB di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda, namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara Nasional melalui puskesmas. Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD (International Union Against TB and Lung Diseases) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials), pengalaman-pengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB. Pada tahun 1995, Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di puskesmas-puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000, strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK (Unit Pelayanan Kesehatan), terutama puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. Dalam pelaksanaan di puskesmas, dibentuk kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas 22

Rujukan Mikroskopis (PRM), dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS). Pada keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan sputum BTA. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci: c. Komitmen politis. d. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. e. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan. f. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu. g. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan. Strategi DOTS di atas telah dikembangkan oleh kemitraan global dalam penanggulangan TB (stop TB partnership) dengan memperluas strategi DOTS sebagai berikut : a. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS b. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya c. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan d. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. 23

e. Memberdayakan pasien dan masyarakat f. Melaksanakan dan mengembangkan riset 2.2 Analisis Program Penanggulangan TB 2.2.1 Monitoring dan Evaluasi Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program. Pemantauan dilaksanakan secara berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah suatu jarak waktu (interval) lebih lama, biasanya setiap enam bulan sampai satu tahun. Evaluasi hasil kegiatan penanggulangan TB didasarkan pada indikator indikator program penanggulangan TB yang dilakukan pada tahap akhir program dilakukan. Indikator merupakan alat yang paling efektif untuk melakukan evaluasi dan merupakan variabel yang menunjukkan keadaan dan dapat digunakan untuk mengukur terjadinya perubahan. Indikator yang baik harus memenuhi syaratsyarat tertentu antara lain : valid, sensitive dan spesifik, dapat dimengerti, dapat diukur dan dapat dicapai. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan program. Masing-masing tingkat pelaksana program (UPK, Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Pusat) bertanggung jawab melaksanakan pemantauan kegiatan pada wilayahnya masing-masing. Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar. Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana, maupun dengan masyarakat sasaran. Sedangkan analisis dapat dilakukan dengan: a. membandingkan data antara satu dengan yang lain untuk melihat besarnya perbedaan. 24

b. melihat kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu. 2.2.2 Indikator Program TB Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada dua, yaitu: a. Angka penemuan pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR); dan b. Angka keberhasilan pengobatan (Success Rate = SR). Di samping itu, ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut di atas, yaitu: a. Angka Penjaringan Suspek b. Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa dahaknya c. Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru d. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien e. Angka Notifikasi Kasus (CNR) f. Angka Konversi g. Angka Kesembuhan h. Angka Kesalahan Laboratorium Pada penelitian ini, indikator-indikator program penanggulangan TB yang digunakan untuk menganalisis keberhasilan program TB paru adalah indikator proporsi penderita TB positif diantara semua kasus TB yang tercatat, angka konversi, angka kesembuhan (cure rate), Case Detection Rate (CDR). Analisis indikator P2TB untuk evaluasi hasil kegiatan P2TB yang dilakukan di Puskesmas Kencong Kabupaten Jember dilakukan dengan cara membandingkan angka pencapaian indikator dengan target yang telah ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jember.

25

2.2.3 Cara Menghitung dan Analisis Indikator P2TB1 a. Proporsi penderita TB positif diantara semua kasus TB yang tercatat Angka persentase penderita TB BTA positif di antara semua penderita TB tercatat. Indikator ini menggambarkan kegiatan penemuan penderita TB yang menular di antara seluruh kasus TB yang di obati.
Rumus Proporsi penderita TB BTA positif diantara semua penderita TB yang tercatat = Jumlah penderita BTApositif (baru + kambuh) x 100% Jumlah penderita BTApositif (baru + kambuh) penderita BTA negatif Angkadan ini jumlah sebaiknya jangan kurang dari 65 %. Bila angka ini jauh lebih

rendah, itu berarti kualitas diagnosis rendah, dan kurang memeberikan prioritas untuk menemukan penderita yang menular (penderita BTA positif). b. Angka konversi Adalah persentase penderita TB BTA positif yang mengalami konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Angka konversi dihitung tersendiri untuk tiap klasifikasi dan tipe penderita, BTA positif baru dengan pengobatan kategori 1, atau BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat kecenderungan keberhasilan pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.
Rumus Angka Konversi (Conversion Rate) = Jumlah penderita baru BTA positif yang diobati x 100% Jumlah penderita baru BTA positif yang di konversi

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80 %. Angka konversi yang tinggi akan diikuti dengan angka kesembuhan yang tinggi pula. Selain dihitung angka konversi penderita baru TB BTA positif, perlu dihitung juga angka konversi untuk penderita TB BTA positif yang mendapat pengobatan dengan kategori 2. c. Angka Kesembuhan (Cure Rate) Adalah angka yang menunjukkan persentase penderita TBC BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, di antara penderita TB BTA positif yang tercatat. Angka kesembuhan dihitung tersendiri untuk penderita baru BTA 26

positif yang mendapat pengobatan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2. Angka ini dihitung untuk mengetahui keberhasilan program dan masalah potensial.
Rumus Angka Kesembuhan = Jumlah penderita baru BTA positif yang diobati x 100% Jumlah penderita baru BTA positif yang sembuh

Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu penderita TB 01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu penderita baru BTA positif yang mulai berobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh, setelah selesai pengobatan. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan digunakan untuk mengetahui keberhasilan pengobatan. Bila angka kesembuhan lebih rendah dari 85%, maka harus ada informasi dari hasil pengobatan lainnya, yaitu berapa penderita yang digolongkan sebagai pengobatan lengkap, default (drop out atau lalai), gagal, meninggal, dan pindah keluar. d. Case Detection Rate (CDR) Adalah Persentase jumlah penderita baru BTA positif yang ditemukan dibanding jumlah penderita baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan penderita baru BTA positif pada wilayah tersebut.
Rumus CDR = Perkiraan jumlah penderita baru BTA positif x 100% Jumlah penderita baru BTA positif tercatat dalamTB.07

Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan kasus baru BTA positif pada wilayah tersebut. Target CDR adalah > 70%.

27

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif untuk menganalisa keberhasilan program TB paru di wilayah Kecamatan Kencong Kabupaten Jember tahun 2010-2011. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kencong Kabupaten Jember pada tanggal 5-20 Desember 2011. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian Populasi penelitian yang digunakan adalah semua penderita TB yang mendapat pengobatan di Puskesmas Kencong tahun 2010 dan tahun 2011. 3.3.2 Sampel Penelitian Sampel penelitian yang digunakan adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Kriteria inklusi 1. Penderita TB paru yang mendapat pengobatan di Puskesmas Kencong. 2. Penderita TB paru yang berdomisili di Kecamatan Kencong. 3. Penderita TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak pada awal pengobatan menunjukkan BTA (+). b. Kriteria eksklusi 1. Penderita TB paru yang tidak mendapat pengobatan di Puskesmas Kencong. 2. Penderita TB paru yang tidak berdomisili di Kecamatan Kencong. 3. Penderita TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak pada awal pengobatan menunjukkan BTA (-). 4. Penderita TB Ekstra Paru yang mendapat pengobatan di Puskesmas Kencong. 28

3.4 Teknik Pengumpulan Data Sampel dipilih dengan menggunakan metode porposive sampling karena pengambilan sampel didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2002). 3.5 Bahan Penelitian Bahan penelitian diperoleh dari data sekunder melalui rekam medis di Puskesmas Kencong Kabupaten Jember tahun 2010 dan 2011. 3.6 Variabel Penelitian Pada penelitian ini variabel yang diamati adalah jumlah penderita, usia, jenis kelamin, alamat, hasil pemeriksaan BTA pada awal pengobatan, hasil pemeriksaan BTA pada akhir bulan kedua, hasil pemeriksaan BTA pada akhir masa pengobatan, serta kesimpulan hasil akhir pengobatan (sembuh, pengobatan lengkap, default, gagal). 3.7 Definisi Operasional a. Keberhasilan program TB adalah suatu keberhasilan pelaksanaan program TB di suatu wilayah yang diukur melalui indikator indikator program penanggulangan TB yang terdiri dari Case Detection Rate (CDR), angka konversi, dan angka kesembuhan (cure rate). b. Case Detection Rate (CDR) adalah persentase jumlah penderita baru BTA positif yang ditemukan dibanding jumlah penderita baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. c. Angka konversi adalah persentase penderita TB BTA positif yang mengalami konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif selama 2 bulan. d. Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase penderita TBC BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, di antara penderita TB BTA positif yang tercatat. 29

3.8 Prosedur Penelitian 3.8.1 Alur Penelitian Rancangan penelitian analisis keberhasilan program TB Puskesmas Kencong tahun 2010-2011 dapat digambarkan dalam kerangka penelitian dibawah ini: Mengurus surat ijin melakukan penelitian di ruang rekam medis

Mencari data pasien yang terdiagnosis TBC Dicari data yang mencakup profil penderita yang meliputi: 1. Jumlah penderita 2. Usia, jenis kelamin, dan alamat 3. Pemeriksaan BTA pada awal, akhir bulan kedua, akhir bulan kelima atau tujuh, dan akhir pengobatan 4. Hasil akhir pengobatan (sembuh, pengobatan lengkap, default, gagal)

Mengumpulkan dan mengelompokkan data sesuai dengan kriteria diatas Menganalisis masing-masing data yang diperoleh

Menyajikan data dalam bentuk tabel dan diagram. Hasil dan kesimpulan Gambar 3.1 Alur penelitian 3.8.2 Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan setelah pengambilan data rekam medis penderita TB di Puskesmas Kencong Kabupaten Jember periode tahun 2010-2011.

30

Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan, disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, serta dideskripsikan dalam bentuk narasi.

31

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tanggal 5 - 20 Desember 2011 dengan cara mengambil data sekunder rekam medis pasien TB paru yang berobat di Puskesmas Kencong Kabupaten Jember. Jumlah penderita baru TB paru yang berobat di Puskesmas Kencong dan berdomisili di Kecamatan Kencong pada tahun 2010 sebanyak 151 orang, dengan jumlah penderita BTA + yang ditemukan sebanyak 96 orang. Pada tahun 2011 ditemukan jumlah penderita TB baru sebanyak 92 orang, dengan jumlah penderita BTA+ yang ditemukan sebanyak 57 orang. 4.1.1 Karakteristik Sampel Penelitian Karakteristik sampel penelitian merupakan penjelasan dari identitas yang dimiliki oleh pasien TB yang digunakan dalam penelitian. Identitas yang dimaksud adalah ciri-ciri pasien TB yang digunakan sebagai sampel penelitian. Karakteristik sampel perlu dijelaskan guna mempermudah peneliti dalam menggambarkan keadaan sampel penelitian secara umum. Karakteristik sampel dalam penelitian ini meliputi usia dan jenis kelamin. a. Usia Usia penderita adalah usia saat didiagnosis menderita TB. Distribusi frekuensi usia penderita pada penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 4.1 Distribusi penderita berdasarkan usia penderita tahun 2010
No. 1. 2. 3. Usia penderita 0-14 15-25 >25 Total Jumlah 0 15 71 96 Persentase (%) 0% 15,6% 73,9% 100

Berdasarkan sebaran data usia penderita pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa kelompok usia terbanyak adalah pada kelompok usia >25 tahun sebanyak 73,9%

32

Tabel 4.2 Distribusi penderita berdasarkan usia penderita tahun 2011


No. 1. 2. 3. Usia penderita 0-14 15-25 >25 Total Jumlah 0 8 49 57 Persentase (%) 0% 14% 86% 100%

Berdasarkan sebaran data usia penderita pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa kelompok usia terbanyak adalah pada kelompok usia > 25 tahun sebanyak 86%. b. Jenis kelamin penderita Jenis kelamin penderita yang dibedakan secara fisik dikategorikan menjadi jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Distribusi frekuensi jenis kelamin penderita berdasarkan data yang didapatkan tersaji dalam Tabel 4.3. Tabel 4.3 Distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin tahun 2010
No. 1. 2. Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Jumlah 47 49 96 Persentase (%) 48,95% 51,04% 100%

Berdasarkan sebaran data jenis kelamin penderita pada Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa jumlah penderita pada jenis kelamin perempuan ( 51,04% ) lebih banyak dari pada laki-laki (48,95%). Tabel 4.4 Distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin tahun 2011
No. 1. 2. Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Jumlah 31 26 57 Persentase (%) 54,38% 45,6% 100%

Berdasarkan sebaran data jenis kelamin penderita pada Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa jumlah penderita pada jenis kelamin laki-laki ( 54,38%) lebih banyak dari pada pasien perempuan (45,6%).

33

4.1.2 Hasil Pengobatan TB Berdasarkan analisis data hasil pengobatan TB pada tahun 2010 dan 2011 adalah sebagai berikut: Tabel 4.5 Hasil Pengobatan TB di Puskesmas Kencong Tahun 2010 dan 2011 No. 1. 2. Tahun 2010 2011 Sembuh Pengobatan lengkap 90 1 26 2 Default 1 1 Gagal Pindah 1 1 Meninggal 1 4

4.1.3 Hasil Indikator Program Penanggulangan TB Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan pengobatan penanggulangan TB digunakan beberapa indikator, antara lain: a. Case Detection Rate (CDR) 1. Hasil penghitungan angka CDR penderita TB di wilayah Kencong pada tahun 2010 adalah: Perkiraan jumlah penderita baru BTA (+) = insidensi kasus TB paru BTA (+) x jumlah penduduk th 2010 = 1,07 x 42961 1000 = 45,9 CDR = Jumlah penderita baru BTA positif x100% Perkiraan jumlah penderita baru BTA positif = 96 x 100% 45,9 = 209,1% 2. Hasil penghitungan angka CDR penderita TB di wilayah Kencong pada tahun 2011 adalah: Perkiraan jumlah penderita baru BTA (+) = insidensi kasus TB paru BTA (+) x jumlah penduduk th 2011 = 1,07 x 43377 1000 = 46,4 CDR = Jumlah penderita baru BTA positif x100% Perkiraan jumlah penderita baru BTA positif = 57 x 100% = 122.8% 46,4

34

b. Angka Konversi (Conversion Rate) 1. Hasil angka konversi pasien TB paru di wilayah Kecamatan Kencong tahun 2010 adalah: Jumlah penderita baru BTA positif yang konversi Jumlah penderita baru BTA positif yang diobati = 92 x 100% 96 = 95,8% x 100%

2. Hasil angka konversi pasien TB paru di wilayah Kecamatan Kencong tahun 2011 adalah: Jumlah penderita baru BTA positif yang konversi x 100% Jumlah penderita baru BTA positif yang diobati = 46 x 100% 47 = 97,8% c. Angka Kesembuhan (Cure Rate) 1. Hasil angka kesembuhan pasien TB paru di wilayah Kecamatan Kencong tahun 2010 adalah: Jumlah penderita baru BTA positif yang sembuh x 100% Jumlah penderita baru BTA positif yang diobati = 89 x 100% 96 = 92,7% 2. Hasil angka kesembuhan pasien TB paru di wilayah Kecamatan Kencong tahun 2011 adalah: Jumlah penderita baru BTA positif yang sembuh x 100% Jumlah penderita baru BTA positif yang diobati = 26 x 100% 28 = 92,8% 4.2 Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data di atas pada tahun 2010 didapatkan jumlah pasien baru TB BTA positif yang ditemukan sebanyak 96 orang. Dari angka tersebut didapatkan angka Case Detection Rate (CDR) sebesar 209,1%. Hasil angka konversi yaitu jumlah penderita TB paru BTA positif yang memberikan hasil BTA negatif setelah menjalani pengobatan intensif (2 bulan) sebanyak 92 orang atau 95,8%.

35

Angka kesembuhan yaitu angka yang menunjukkan persentase penderita TB BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, di antara penderita TB BTA positif yang tercatat. Angka ini dihitung untuk mengetahui keberhasilan program dan masalah potensial. Angka kesembuhan penderita TB paru di Puskesmas Kencong tahun 2010 didapatkan sejumlah 89 orang atau 92,7%. Berdasarkan hasil analisis data diatas pada tahun 2011 didapatkan persentase jumlah pasien baru TB BTA positif yang ditemukan sebanyak 57 orang. Dari angka ini didapatkan CDR sebesar 122,8%. Dari hasil pemeriksaan dahak pada akhir 2 bulan pengobatan (pengobatan intensif) didapatkan 46 penderita dengan hasil BTA (-) dari 47 penderita yang telah mendapatkan pengobatan intensif. Jadi, angka konversi yang didapatkan adalah 97,8 %. Dari hasil angka kesembuhan yaitu angka yang menunjukkan persentase penderita TB BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, di antara penderita TB BTA positif yang tercatat. Angka ini dihitung untuk mengetahui keberhasilan program dan masalah potensial didapatkan penderita yang sembuh sebesar 26 orang dari 28 penderita yang telah menjalani pengobatan lengkap. Jadi angka kesembuhan yang didapatkan pada tahun 2011 adalah 92,8%. Berdasarkan perbandingan data penderita TB paru Puskesmas Kencong tahun 2010 dan 2011 di atas, terdapat penurunan nilai CDR dari tahun 2010 sebesar 209,1% menjadi 122,8% pada tahun 2011. Penyebab menurunnya angka penemuan penderita baru TB BTA (+) ini kemungkinannya adalah disebabkan telah adanya penurunan tingkat penularan TB di wilayah Kecamatan Kencong atau justru menurunnya penjaringan pasien TB di wilayah tersebut sehingga banyak penderita TB Paru yang tidak terdeteksi. Kami akan mencoba menganalisa penyebab dari masing-masing kemungkinan masalah yang kami sebutkan di atas dengan menggunakan metode 5M yaitu dari segi Man, Money, Material, Method dan Market. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penurunan angka penjaringan suspek TB di Puskesmas Kencong antara lain:

36

a.

Man Berdasarkan pendapat Bapak Habibi selaku koordinator pemberantasan

penyakit menular Puskesmas Kencong diperoleh beberapa permasalahan sistem tenaga terlatih untuk program TB untuk mendukung pelaksanaan program penanggulangan penyakit TB (P2TB) di Puskesmas Kencong yaitu adanya keterbatasan jumlah petugas terlatih yang terlibat pada pelaksanaan program penanggulangan TB. Sebenarnya, pada Puskesmas Kencong tenaga terlatih TB yang tersedia terdiri atas 2 dokter dan 1 perawat dan 1 petugas laboratorium. Menurut Kepmenkes No. 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan TB jumlah tenaga terlatih yang minimal tersedia pada puskesmas rujukan mikroskopis dan puskesmas pelaksana mandiri adalah 1 dokter, 1 perawat/ petugas TB dan 1 tenaga laboratorium. Hal ini berarti ketersediaan tenaga terlatih TB di Puskesmas Kencong telah memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah. Akan tetapi melihat jumlah CDR yang sangat tinggi setiap tahunnya, terjadi ketidakseimbangan antara jumlah petugas dengan jumlah pasien yang harus dimonitor dan dievaluasi, serta terjadi hambatan dalam kegiatan screening penderita TB baru. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya angka penjaringan pasien TB di wilayah Kencong. b. Money Pendanaan program penanggulangan penyakit TB ini langsung didanai oleh WHO, meliputi dana untuk stok obat-obatan dan fee petugas terlatih/ kader di setiap wilayah. Pada Puskesmas Kencong tidak ada masalah pada pendanaan maupun stok obat yang dapat mempengaruhi penurunan penjaringan pasien TB di Puskesmas Kencong. c. Material Di Puskesmas Kencong material yang digunakan dalam penjaringan pasien TB terutama berupa fasilitas laboratorium untuk memeriksa sputum/ dahak pasien apakah mengandung BTA (+) atau tidak. Pada fasilitas ini baik alat dan reagen pemeriksaan sputum maupun petugas laboratorium bekerja secara optimal, sehingga tidak terdapat masalah pada material yang mendukung penurunan angka penurunan CDR 37

d.

Method Menurunnya angka penjaringan pasien TB di wilayah Kecamatan

Kencong dapat disebabkan karena kurangnya penemuan pasien TB yang dilakukan secara pasif dengan promosi aktif, misal dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. Selain itu juga kurangnya pemeriksaan terhadap keluarga atau tetangga dekat dari pasien yang menderita TB terutama BTA (+). e. Market Menurut koordinator penanggulangan pemberantasan penyakit

menular puskesmas Kencong, rendahnya pengetahuan masyarakat tentang TB menyebabkan kurangnya kesadaran untuk berobat apabila pada pasien tersebut terdapat gejala TB, misal batuk lama lebih dari 2 minggu, batuk darah, timbul keringat dingin pada malam hari dan adanya keluarga atau tetangga dekat dengan riwayat penyakit TB. Akibatnya pasien tersebut tidak terdeteksi oleh kader pukesmas, dan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam penurunan penjaringan pasien TB di Puskesmas Kencong. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan tingkat penularan TB di wilayah kecamatan Kencong berdasarkan metode 5M antara lain: a. Man 1. Tenaga kesehatan yang terlatih dalam program penanggulangan TB aktif dalam menjalankan tugasnya. 2. Adanya kerjasama yang sinergis antar semua petugas kesehatan yang ada di wilayah kecamatan kencong, sehingga semua pasien suspek TB bisa segera dirujuk ke puskesmas untuk diagnosis serta penatalaksanaan yang lebih lanjut. Pengobatan segera dan berkelanjutan dapat meningkatkan angka konversi dan penyembuhan sehingga dapat memutus rantai penularan TB.

38

3. Keaktifan tenaga kesehatan dalam memberi edukasi pada penderita dan keluarga b. Money Penggunaan dana yang tepat guna sehingga obat-obat selalu terpenuhi dan dana untuk petugas juga terpenuhi, sehingga kinerja petugas optimal c. Method Adanya pencatatan yang lengkap tentang data-data pasien TB sehingga pasien TB dapat termonitoring dan angka kesembuhan meningkat. d. Material Dalam hal material, CDR yang tinggi pada tahun 2010 dapat dikarenakan tidak adanya poli DOTS, memungkinkan pasien TB berkumpul bersama dengan pasien lain yang akan berobat di poli lain di puskesmas, misal saat pendaftaran, atau saat menunggu antrian. Beragamnya usia pengunjung puskesmas, dari bayi hingga lansia akan memungkinkan berkontak dengan pasien TB. Saat pasien TB batuk, droplet dapat masuk ke tubuh pengunjung lain, tubuh bayi dan lansia yang rentan dapat dengan mudah terinfeksi droplet. Tahun 2011 disediakan tempat untuk pasien TB secara khusus baik untuk kontrol, pengambilan obat, maupun pemeriksaan pasien suspek TB. Hal ini dapat meminimalisir kontak pasien TB dengan pasien yang lain sehingga terjadi penurunan angka penularan TB. e. Market Kepatuhan penderita TB dalam minum obat dalam jangka waktu yang ditentukan, sehingga menurunkan prevalensi dan insidensi penderita TB. Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis tahun 2008, angka minimal Conversion Rate yang harus dicapai adalah 80% dan angka minimal yang harus dicapai untuk Cure Rate adalah 85%. Angka konversi penderita TB paru Puskesmas Kencong Kabupaten Jember meningkat dari 95,8% pada tahun 2010 menjadi 97,8% pada tahun 2011, sedangkan angka kesembuhan (Cure Rate) juga meningkat dari 92,7% pada tahun 2010 menjadi 92,8% pada tahun 2011. Dari angka konversi maupun angka kesembuhan yang didapatkan di mengenai pengenai penyakit TB dan upaya pencegahan penularannya.

39

PKM Kencong dapat disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan pengobatan TB di Puskesmas Kencong baik, dan menunjukkan adanya peningkatan dari tahun 2010 ke 2011.

40

BAB 5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Penderita TB paru Puskesmas Kencong tahun 2010 dan 2011 didapatkan penurunan nilai CDR dari tahun 2010 sebesar 209,1% menjadi 122,8% pada tahun 2011. b. Menurunnya angka CDR ini dapat memiliki 2 kemungkinan penyebab, yaitu telah adanya penurunan tingkat penularan TB di wilayah Kecamatan Kencong, atau justru menurunnya penjaringan pasien TB di wilayah tersebut sehingga banyak penderita TB Paru yang tidak terdeteksi. c. Angka konversi penderita TB paru Puskesmas Kencong Kabupaten Jember meningkat dari 95,8% pada tahun 2010 menjadi 97,8% pada tahun 2011 dan angka kesembuhan (Cure Rate) meningkat dari 92,7% pada tahun 2010 menjadi 92,8% pada tahun 2011. d. Dari angka konversi maupun angka kesembuhan yang didapatkan di PKM Kencong dapat disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan pengobatan TB di Puskesmas Kencong baik, dan menunjukkan adanya peningkatan dari tahun 2010 ke 2011. 5.2 Saran Saran yang dapat direkomendasikan adalah sebagai berikut: a. Perlu dilakukan penyuluhan kesehatan dan penanganan yang lebih intensif mengenai penyakit Tuberkulosis (TBC) kepada masyarakat Kecamatan Kencong pada umumnya agar dapat menurunkan tingkat kesakitan serta dapat mempercepat pemutusan rantai penularan penyakit. b. Perlu adanya koordinasi antara para tenaga kesehatan dalam upaya promotif dan preventif terkait dengan penyakit Tuberculosis (TBC) di Kecamatan Kencong.

41

DAFTAR PUSTAKA Bahar, A. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan I. Jakarta: Bakti Husada. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan kedua. Jakarta: Depkes RI. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. 2006. Profil Kelembagaan Rumah Sakit Paru Jember. Jember: Rumah Sakit Paru Jember. Jawetz, E., Melnick, J., & Alberg, E. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2008. TBC Penyebab 170.000 Kematian Tahun 2008 di Indonesia. www.depkes.go.id. [27 Februari 2011]. Kenyorini, Suradi, dan Surjanto, E. 2006. Uji Tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Vol. 3(2): 1-5. Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius Notoatmodjo, Soekidjo.2003.Metodelogi Penelitian Kesehatan.Jakarta:PT Rineka Cipta. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI. Rab, T. 1996. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Hipokrates. WHO. 2009. Table a-1 estimated epidemiological burden of tb (best estimates, lower and upper bounds), all forms, 19902008. www. who. int. [27 Februari 2011].

42

You might also like