You are on page 1of 14

STRATEGI PENGEMBANGAN ARSITEKTUR TRADISIONAL DI INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU KOMODITAS UNGGULAN BUDAYA1

Gunawan Tjahjono dan Kemas Ridwan Kurniawan

Pusat Kajian Permukiman Vernacular (Center for Vernacular Settlement) Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia 2007

Makalah ini didiskusikan dalam acara Lokakarya Pekan Produk Budaya Indonesia 2007, Jakarta Convention Center, 13 Juli 2007.

Tradisi merupakan suatu istilah yang kita ambilalihkan seutuhnya dari kata tradition
(Latin, tradere) yang berarti melimpahkan ke pelanjut sesuatu yang bernilai. 2 Apakah dengan demikian di Indonesia tak pernah mengenal tradisi sehingga tak ada kosa kata yang mampu mengimbanginya untuk dialihkatakan? Hal itu tampaknya suatu tugas bagi ahli bahasa dan sejarahwan budaya untuk menjawab, dan berada di luar cakupan bahasan saya. Namun saya akan membeberkan suatu landasan untuk kita simak bersama atas kelahiran tradisi. Sudah saatnya para pegelut masalah tradisional memahami tradisi dalam situasi kekinian agar dapat kemudian meletakkannya dalam suatu cakupan ruang dan waktu yang gayut sehingga tak lagi kita memberi jarak dan menjadikannya sesuatu yang demikian adiluhung dan tak dapat diganggu gugat. Sesuatu itu diturunkan atau dilanjutkan sehingga menjadi tradisi tentu ada peristiwa awalnya dan dengan demikian ada juga titik akhirnya atau, titik perubahannya. Jika keadaan itu yang terjadi pada masa lalu, sangat masuk akal bahwa kelahiran suatu tradisi berawal dari suatu peristiwa yang hasilnya mampu membuahkan suatu keuntungan atau kebajikan besar bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Pengalaman kelompok manusia yang telah mampu menyelesaikan suatu persoalan, suatu kebimbangan, suatu pertengkaran atau hambatan-hambatan tentu sangat berharga sehingga ingin diterapkan pada situasi lain. Hasilnya yang berupa gagasan, benda, atau upacara yang kemudian dianggap oleh kelompok termanfaat perlu dilanjutkan, dan setelah berselang beberapa generasi, menjadi suatu tradisi. Dalam tata olah itu kelembagaan terlibat dan untuk menjamin penerusannya, ada yang kita kenal sebagai penjaga tradisi.3 Tradisi dengan demikian amat moderen pada saat ia dilahirkan atau diciptakan. Kenyataannya, tradisi-tradisi yang kita saksikan di dunia saat ini adalah ciptaan atau temuan.4 Hanya, kita tak pernah menelusuri atau menanyakan lagi siapa penciptanya. Itulah yang berbeda dari ciptaan masa kini yang selalu dapat
2

Tradere dalam bahasa Latin berarti pindahtangankan sesuatu. Simak, E. Partridge. Origins: A short Etymological Dictionary of Modern English. New York: Greenwich House, 1983. 3 Khusus untuk istilah itu, guardian of tradition, lihat. A. Giddens. Living in a Post-Traditional Society. Ulrich Beck, Anthony Giddens, Scott Lash (eds). Reflexive Modernization: Politic, Tradition, and Aesthetics in the Modern Social Order (Palo Alto: Stanford University Press, 1995), hal. 56-109. 4 Eric Hobsbaum and Terence Ranger (eds). The Invention of Tradition (Cambridge: Cambridge University Press, 1996-1983), pp. 1-14.

ditemukenalkan penciptanya.5 Ini membawa kita pada suatu kenyataan bahwa pada saat sesuatu yang telah menradisi itu tak mampu mengatasi permasalahan dan bahkan membebani penerusnya, selalu ada cara untuk mengubah atau mengalihkannya menjadi bentuk lain. Dalam bentuk yang baru jika sesuatu itu terkandung nilai luhur, maka ia akan mentradisi pula. Jangan kira budaya barat yang moderen tak memelihara tradisi, karena moderen itu suatu gagasan yang kini telah melampaui berbagai generasi dan oleh sebab itu pantas menjadi tradisi. 6 Dalam tradisi tersebut, terdapat sikap kritis yang hingga kini dianggap perlu dipelihara karena hal itu akan menjamin suatu keunggulan dalam menghadapi segala bentuk tantangan.7 Apakah bangunan yang kita banggakan kini itu sejak awal demikian? Tentu tidak, karena wujud yang kini hadir itu juga hasil suatu perkembangan, dan yang dibanggakan itu hanya dapat dibangun oleh kelas masyarakat tertentu yang ingin menunjukkan bahwa telah mampu membangun suatu gaya yang telah dilembagakan oleh para tetua sebagai pengawal tradisinya sebagai wujud yang lajim untuk kelas sosial tertentu. Jika hal itu yang terjadi, maka kapan wujud yang kita saksikan itu lahir? Agar tak terlalu mendongengkan tradisi, kita perlu mencatat kenyataan bahwa sebagian warisan yang masih hidup belum melampaui empat abad. Kraton Yogyakarta dan Surakarta bahkan belum tiga ratus tahun lamanya. Bahkan bentuk joglo, belum termuat di lempengan ukir dinding candi-candi Jawa Timur. Dengan demikian bentuk tersebut menradisi karena suatu penciptaan. Keadaan demikian tak hanya dialami nenek moyang kita, di Barat juga demikian. Sebagian ritus, pakaian, dan kebiasaan itu merupakan hasil penciptaan yang belum terlalu lama. Dengan dasar pemikiran yang sama, kami berpendapat bahwa tradisi adiluhung itu merupakan suatu penciptaan, termasuk bahasa yang berlaku dalam masyarakat feodal kita.

5 6

Simak B Queyssane. Commentery: Tradition vs Modernity. TDSR. Vol 1 No.1, 1989, hal.3-6. Tak semua penciptaan yang menyenangkan itu dapat digolongkan sebagai tradisi. Fashion, misalnya bukan tradisi. Tentang perbedaan tradisi dari fashion, simak E.Shils. Tradition. 7 Simak, K.Popper.

Gambar 1. Pembangunan Rumah Tongkonan di

Sulawesi. Warisan arsitektur di Nusantara yang sebagian besar kini menjadi Indonesia ini, mengalami banyak permasalahan untuk mampu bertahan dan berlanjut dalam arti, tetap dihidupkan masyarakat pewarisnya karena memang memiliki keadaan dan daya untuk berlanjut. Wujud bangunan daerah bertradisi kuat banyak yang memukau pengamatnya dan telah berubah menjadi monumen tersendiri dalam benak sebagian besar dari mereka yang pernah menyaksikannya. Oleh sebab itu banyak penulis merekam keadaan mereka, dan menyampaikan kesannya sehingga orang yang tak dapat langsung berhadapan dengannya mampu mencerap melalui media dan ikut merasakan kehadirannya. Arsitektur bangunan meru dan pura di Bali, Tongkonan di Toraja, Rumah Gadang di Tanah Minang, merupakan contoh-contoh yang membanggakan. Candi yang bertebaran dari Sumatera hingga Kalimantan yang tak lagi berpemakai, meninggalkan kesan yang berarti dan yang terakbar dianugrahkan sebagai pusaka dunia seperti Borobudur. Warisan-warisan masih banyak. Tak semua di antaranya akan menghasilkan bentuk baru karena sudah selesai tradisi membangunnya, dan kini menjadi saksi sejarah. Arkeolog dan sejarahwan mencoba mereka cara membangun tersebut dan merekamkan hasil rekaan mereka dalam buku sebagai sautu hipotesis yang masih perlu dibuktikan. Beberapa rekaan mendapat sambutan bagi mereka yang merasa masuk ke dalam kerangka berpikirnya, sedangkan bagi yang memiliki cara pandang lain mencoba membuat rekaan tandingan.

Terlepas dari apakah rekaan yang satu lebih absah dari rekaan lain, tak ada satu jua rekaan yang dicoba ulang dan membuat masyarakat yakin bahwa cara, yang kemudian menurunkan teknik, tersebut pantas dipelihara untuk kemudian ditradisikan. Dengan demikian terputuslah suatu tradisi membangun. Yaitu membangun candi batu dan candi bata. Demikian pula karena kehadiran candi tersebut amat berkaitan dengan tata kota yang sebagian terletak di daerah berair, suatu kemampuan menata air juga turut lenyap. Kelokalan yang lahir dan tumbuh dari jiwa tempat seakan tak terulangkan lagi dan suatu pengetahuan membuat, memelihara, serta kaitannya dengan pengambilan keputusan penyusunan kebijakan turut lenyap. Penggalian warisan tentu akan jauh lebih baik jika hasilnya memiliki nilai pakai dan jual dalam konteks globalisasi kapitalisme ini. Dan hal itu rupanya yang akan kita sama-sama diskusikan dalam rangka meningkatkan kemampuan penciptaan pasar bagi nilai luhur budaya. Saya kira sikap ini wajar dianut suatu negara bangsa yang memiliki beraneka ragam pusaka, termasuk bangunan dan arsitekturnya. Jika arsitektur itu adalah pengetahuan dan keterampilan membangun bangunan maka ke arah ilmu membagnun itu seyogyanya kita gali. Habis menggali tentu ada pertanyaan, lalu apa? Pengetahuan yang tertanam itu mendorong kelahiran suatu wujud akhir bangunan. arsitektur suatu daerah akan bertahan jika seni dan pengetahuan yang menjiwai sosok itu hidup dan senantiasa berkembang. Hal itu hanya akan terjadi jika masyarakat yang melahirkan dan mencoba memertahankan tradisi membangunnya masih bangga dan tetap merasakan nilai kehadirannya yang menguntungkan (dalam arti seluas-luasnya). Jika tidak maka perlu ada terobosan baru yang juga berangkat dari yang lama, namun tak meninggalkannya. Dalam hal ini suatu sosok baru akan lahir dan mengajukan diri untuk diuji. Jika sosok baru mampu menahan beberapa generasi maka suatu tradisi baru lahir, tanpa memutuskan hubungan dengan sosok lama. Keadaan tak selalu demikian, faktor luar selalu berperan untuk menguji keampuhan nilai yang semula tumbuh di dalam masyarakat tertentu. Masyarakat selalu mampu membandingkan nilainya terhadap tantangan luar. Masyarakat terbuka mampu dengan cepat mengambil sikap mengadopsi, memerbaiki nilai luar yang masuk untuk menjadikan nilai diri yang telah berkembang. Masyarakat tertutup lebih memilih mengisolasikan diri dan dengan ketat bertahan dengan nilai lamanya sejauh tak menimbulkan benturan dengan kekuatan luar yang senantiasa memiliki
5

kepentingan. Jika suatu masyarakat yang berada di tengah-tengah maka ada kemungkinan akan kehilangan nilai lama dan tak dapat mengejar atau hidup bersama yang baru. Gambar 2. Model Struktur Rumah

Bernafas di Sangir yang sudah punah. Kenyataan yang terjadi di sebagain masyarakat bertradisi kuat di Indonesia menunjukkan bahwa campur tangan pihak luar yang tak terelakkan itu datang justeru dari pemerintah dalam hal ini PU yang mengenalkan rumah sehat sebagai pengganti rumah tradisional di sebagain daerah yang belum menghasilkan bangunan adiluhung. Sebagai akibat propaganda rumah sehat, masyarakat terkena pencampurtanganan yang lambat laun merasa rendah diri jika meneruskan membangun secara tradisi. 8 Sementara itu di luar semakin sulit mendapat pengganti bahan bangunan yang dulu cukup mudah diperoleh untuk memperbaiki bagian yang rusak di suatu rumah. Atas desakan dalam dan luar, tukang pada akhirnya berpindah dan mengadopsi teknik yang disediakan oleh yang kuat atau dalam hal ini pasar sehingga teknik dan pengetahuan tradisional tak lagi berkembang, dan kemudian lenyap.9 Memang selama ini belum ada kebijakan yang meletakkan warisan budaya itu menjadi suatu aset yang strategis dalam dunia yang semakin mendatar tanpa batas
8

Lihat G. Tjahjono. The House That Breathes: Indigenous Architecture of the Sangirese. Dalam National Committee. Monuments and Sites: Indonesia. Bandung: ICOMOS, 1999. hal . 58-63. 9 Tata olah pelenyapan teknik konstruksi dan masalah yang dihadapkan banyak masyarakat yang mengalaminya sempat saya bahas dalam. G. Tjahjono. Dwellings in Indonesia: Tradition, Resilience, and Change. dalam R. Knapp (ed). Asias Old Dwellings: Tradition, Resilience, and Change. Oxford: Oxford University Press, 2003. hal. 159-184.

administrasi ini.10 Apa yang dilakukan selama ini lebih merujuk pada aset tersebut perlu dipelihara, dilestarikan sebagai atraksi kepariwisataan. Hal itu tentu tak salah, namun matra yang dijadikan kebijakan amat terbatas dan mereduksikan tradisi menjadi suatu benda yang tabu diubah. Tentu keadaan ini terjadi karena pemahaman tentang tradisi yang belum tembus ke tata olah kelahiran dan perkembangannya sehingga ada matra yang belum tertampilkan ke permukaan. Jika tradisi itu suatu dinamika temuan manusia maka tata olahnya perlu mendapat perhatian lebih agar dapat meletakkan hasilnya sebagai suatu tahap dalam perkembangan budaya bangsa. Dengan demikian tentu dari suatu titik awal dapat memicu perkembangan yang belum dapat kita pradugakan dalam tahap ini. Meletakkan tradisi dalam peta budaya sebagai suatu awal pembentukan strategi untuk meningkatkan daya tahan dan saing bangsa dalam kancah persaingan global akan memiliki nilai lebih kritis untuk saat ini. Saya belum berani menilai apakan strategi mengomunitaskan hasil tradisi itu akan menjadikan kita unggul atau kuat dalam persaingan perdagangan. Namun yang jelas bahwa budaya, dengan inti nya seperti nilai, sikap dan keyakinan suatu bangsa atau kelompok manusia amat menentukan kemampuan bertahan dan unggul. Pemetaan Produk Budaya Arsitektur Tradisional Dengan demikian, kita dihadapkan pada dua pilihan; apakah produk budaya arsitektur itu sendiri yang ingin kita kembangkan, ataukah kita melihat agak jauh ke dalam, ke intisari dari arsitektur itu sendiri yaitu menggali ilmu membangunnya, yang dengan cara itu kita bisa menghasilkan berbagai produk yang lebih bervariasi? Akan lebih baik kalau produk tersebut tidak berhenti di salah satu bentuk saja, karena kita ingin terus melahirkan berbagai bentuk baru. Inovasi menjadi salah satu kuncinya. Dengan demikian kita menginginkan bahwa tradisi yang nanti terbentuk juga akan menjadi sesuatu yang dinamis. Untuk itu tentu pengetahuan membangun yang lebih kita prioritaskan sebelum beranjak ke pilihan berikutnya. Menggali pengetahuan membangun (ilmu membangun) memerlukan suatu strategi. Pertama-tama tentu saja kita memerlukan peta ilmu membangun tersebut. Nusantara meliputi gugusan tanah dan air yang membentang dari ujung barat (Sabang) sampai dengan ujung timur (Merauke). Di dalam wilayah tersebut kita bisa
10

Untuk dunia yang semakin datar, simak T. Friedman. The World is Flat: The Globalized World in the Twenty-First Century. New York: Penguin Books, 2006.

menemukan kantung-kantung pengetahuan yang sudah mentradisi beberapa generasi. Kita bisa mengelompokkannya menjadi beberapa kategori berdasarkan peta geografis migrasi manusia yang diduga menurunkan budaya-budaya tertentu, yaitu: A. Wilayah Tengah dan Timur, alur migrasi pertama (5-4000 tahun yang lalu) diduga menurunkan budaya Austronesia awal dengan beberapa unsur arsitektur khas daerah Kalimantan, Sulawesi dan kepulauan bagian timur. Catatan: Papua termasuk ras Melanesia yang berasal dari selatan. B. Wilayah Barat alur migrasi kedua (4-2500 tahun yang lalu) yang diduga meninggalkan budaya Dong Song dengan unsur arsitektur, perkakas dan pengisi ruang, seperti arsitektur khas Minangkabau. Atau pengelompokkan berdasarkan keahlian pertukangannya, yaitu: A. Menggunakan material: Kayu, Batu (tradisi Megalitik), Tanah Liat (Plastis) B. Menggunakan teknologi: Pasak dan Ikat.

Gambar 3. Simpul peta tradisi membangun di Nusantara. Pengetahuan ini, walaupun ada yang tertulis, namun sebagian besar nonliterasi. Untuk itu, kita mengandalkan penutur tradisi (budayawan atau sejarahwan) atau yang lebih tepat lagi adalah tukang yang ahli dalam tradisi membangun ini. Pertukangan (craftmanship) merupakan salah satu tradisi tertua di dunia. Sejak ribuan tahun sebelum Masehi, di pusat-pusat peradaban dunia seperti di Afrika Utara, Asia, Eropa dan Amerika, tukang batu dan tukang kayu menempati posisi yang tinggi di dalam strata kemasyarakatan. Pada era modernisme, yang mengandalkan mesin dan teknologi, peran craftmanship tidak bisa diabaikan. Di Inggris, pada abad ke 19, muncul gerakan Art

and Crafts yang digagas oleh William Morris (arsitek) dan kawan-kawan. Gerakan ini membentuk semacam Art-Workers Guild (1884), yaitu semacam forum diskusi bagi para arsitek, perancang dan tukang (craftsmen). Dalam forum ini mereka berupaya menjawab tantangan modernisme yang mengandalkan industrialisasi dan produksi massal. Peninggalan dari gerakan ini adalah perhatian terhadap arsitektur vernakular mulai terbangkit. Di Jepang, dengan kepercayaan Shin-to (banyak dewa) terdapat sebuah tradisi untuk terus menerus mempreservasi Ise shrine (rumah untuk dewa matahari) setiap dua puluh tahun sekali. Elemen-elemen dan benda-benda sakral yang dipercaya mempunyai spirit dijaga kelestariannya, sementara rumah yang melindungi dan membungkus spirit tersebut senantiasa dipugar untuk tetap lestari menjaga spirit. Gambar 4. Ise Shrine di Jepang.

Kini, di abad ke XXI ini, kita berhadapan dengan dunia yang semakin datar dan menisbikan peran batas geografis. Oleh sebab itu, formulasi dari pengetahuan membangun ini yang nantinya menghasilkan sebuah produk, tidak-bisa-tidak akan menjangkau dunia luar. Fenomena semacam ini sebenarnya sudah terjadi, hanya saja masih bersifat sporadis dan belum menjadi sistemik.

Gambar 5. Teknologi Pasak dan Ikat memungkinkan rumah-rumah di Nusantara dapat dirakit atau di bongkar dan dipindahkan dengan fleksibel. Salah satu ciri khas di Nusantara ini adalah semua rumah dapat dirakit. Rumah dapat dipindahkan jika pemiliknya harus pindah keluar dari asalnya. Rumah-rumah beratap joglo banyak yang pindah dari asalnya ke tempat-tempat kolektor di Jakarta. Bencana gempa di Yogya juga mengakibatkan migrasi rumah-rumah joglo yang dapat dibongkar pasang. Namun kekhasan pasak kini mulai pudar dengan semakin banyak tukang yang membangun dengan menggunakan paku. Kebangkitan teknik rakitan ini mulai teramati lagi belakangan ini. Beberapa simpul produksi dapat ditinjau di beberapa daerah. Sebagai contoh adalah: Pembuatan rumah Bali di Kuta yang bisa dibongkar pasang, dan selanjutnya dikirim dan dirakit di salah satu kepulauan Pasifik. Di Sulawesi Utara terdapat pengrajin rumah di Woloan yang memproduksi rumah siap dipasang dan diekspor ke luar wilayah. Di Nias ada sejenis kebangkitan pembuatan rumah Nias Utara yang diprakarsai orang Jerman. Di Palembang terdapat pengrajin rumah Limasan yang dijual secara lokal. Di Jepara dan Kudus terdapat pengarajin rumah tradisional Jawa beratap Joglo, dan mereka menjual karya rumah mereka kepada pemukim-pemukim lain di tanah air dengan harga puluhan juta rupiah saja.

10

Dengan demikian, tentu menjadi salah satu perhatian kita untuk menangkap fenomena ini menjadi sebuah peluang bagi pengembangan sebuah tradisi baru. Dari yang bersifat sopradis menjadi sebuah gerakan yang terpadu dengan tidak menghilangkan ciri khas masing-masing. Dalam kondisi ini kita dihadapkan pada dua pilihan kembali, yaitu komoditas budaya seperti apa yang ingin kita hasilkan? Apakah kita ingin memproduksi karya arsitektur baru berdasarkan pertukangan (craftmanship), dengan resiko biaya menjadi tinggi namun nilai artistiknya juga tinggi. Atau apakah kita ingin hanya sekedar mereproduksi sebuah karya arsitektur baru yang dilakukan oleh teknologi (mesin) dengan keuntungan biaya menjadi lebih murah namun nilai artistiknya tidak begitu signifikan dan berpotensi mematikan tradisi lama yang sudah berjalan? Keputusan ini harus dipertimbangkan masak-masak, khususnya oleh Pemerintah sebagai pengambil keputusan nantinya, agar keberpihakan terhadap tradisi lokal tetap terjaga namun ekonomi kreatif masih tetap bisa dilaksanakan. Strategi ke Depan Upaya pemetaan yang kita bahas di atas tadi sebenarnya bisa kita letakkan dalam kerangka menyeluruh yang lebih sistematis, dan melibatkan pihak-pihak lain yang lebih luas (pemerintah, kalangan swasta, LSM, institusi pendidikan dan organisasi profesi arsitek). Bisa kita katakan bahwa pemetaan kekayaan budaya itu tadi merupakan tahap awal bagi tersusunnya sebuah strategic plan yang lebih menyeluruh. Pekan Produk Budaya Indonesia 2007 yang digagas oleh pemerintah, yang mana Arsitektur menjadi salah satu sektor yang dianggap mempunyai peluang untuk kita gali dan angkat di forum internasional, merupakan sebuah kesempatan emas bagi penjajagan awal program ini. Melalui acara ini perlu kita perhatikan rumusan arah kebijakan jangka panjang ke depan, berupa visi dan misi (Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya dan Pusaka Budaya), tujuannya (etos kerja, sumber produk dan jasa, pemberi nilai tambah di pasar global, wawasan lingkungan dan social) dan pentahapannya. Tahap I Strategic Plan (Pemetaan) Tahap II Guideline (Panduan Detail) Tahap III Action Plan (Penerapan & Kegiatan)

11

Sebagai upaya pertama perlu kita kaji peta budaya arsitektur tradisional. Di dalam buku Indonesian Heritage (series Architecture) telah direkam secara sistematis peta budaya ini. Tentunya kajian dari referensi semacam ini perlu dilanjutkan untuk merekam pengetahuan (aspek pertukangan) sebagai landasan inovasi lebih lanjut. Dari pemetaan produk budaya arsitektur ini nantinya akan tergambar beberapa hal: Aspek Fisik: sistem. bentuk/gaya, teknologi, material. Aspek Non Fisik: ide/kreatifitas, craftsmanship, nilai (sosial-budaya ekonomi), community involvement, kebijakan and

Gambar 6. Tradisi craftmanship dan membangun yang dipertahankan melalui transfer knowledge antar generasi dalam sebuah keluarga di desa Bena Bawaja (Flores). Courtyard menjadi arena workshop. Selain itu, karena produk budaya ini juga berkaitan dengan market ekonomi, perlu juga dilakukan peta peluang pasar (market) dalam lingkup nasional, regional dan global. Berbagai contoh modern bagaimana penerapan arsitektur tradisional ke dalam pembangunan rumah/bangunan modern perlu juga kita kaji lebh dalam untuk mengetahui kelemahan dan kelebihannya. Dari pemetaan ini kita akan mendapatkan sintesa daftar: produk potensial, promosi dan peluang global market, kemungkinan terapan dalam situasi kekinian. Kesimpulan Pekan Produk Budaya Indonesia 2007 kita harapkan dapat membangkitkan tradisi melalui redefinisi dan menciptakan tradisi baru. Tradisi yang sudah ada tetap kita

12

lanjutkan, namun tradisi baru perlu kita gagas melalui inovasi untuk mengantisipasi kejumudan tradisi. Upaya penggalian kekayaan produk budaya arsitektur dapat kita mulai dari pemetaan pengetahuan membangun (khususnya tradisi pertukangan) yang sudah ada, dengan harapan dapat menghasilkan variasi produk yang kreatif. Untuk itu pemetaan merupakan tahap awal sebagai rencana strategis (Strategic Plan) untuk merangkum potensialitas dari produk arsitektur tradisional yang dapat menjadi komoditas. Tentu saja sesudah ini perlu kita upayakan kegiatan lanjutannya yaitu pembuatan Panduan (Guideline) dan Rencana Aksi (Action Plan) untuk menghasilkan dan memasarkan produk budaya arsitektur tradisional yang bernilai komoditas.

Gambar 7. Penjaga Tradisi.

Referensi Friedman. T., The World is Flat: The Globalized World in the Twenty-First Century. New York: Penguin Books, 2006. Giddens, A., Living in a Post-Traditional Society. Ulrich Beck, Anthony Giddens, Scott Lash (eds). Reflexive Modernization: Politic, Tradition, and Aesthetics in the Modern Social Order (Palo Alto: Stanford University Press, 1995), hal. 56-109. Hobsbaum, Eric, and Ranger, Terence., (eds). The Invention of Tradition (Cambridge: Cambridge University Press, 1996-1983), pp. 1-14. Partridge, E., Origins: A short Etymological Dictionary of Modern English. New York: Greenwich House, 1983.

13

Queyssane, B. ,Commentery: Tradition vs Modernity. TDSR. Vol 1 No.1, 1989, hal.3-6. Tjahjono, G., Dwellings in Indonesia: Tradition, Resilience, and Change. dalam R. Knapp (ed). Asias Old Dwellings: Tradition, Resilience, and Change. Oxford: Oxford University Press, 2003. hal. 159-184. Tjahjono, G., Indonesian Heritage; Architecture. Singapore: Archipelago Press, 1999. Tjahjono, G., The House That Breathes: Indigenous Architecture of the Sangirese. Dalam National Committee. Monuments and Sites: Indonesia. Bandung: ICOMOS, 1999. hal . 58-63.

14

You might also like