You are on page 1of 57

BAB 1 PENDAHULUAN

Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa: 1,2 1. abses peritonsil 2. abses retrofaring 3. abses parafaring 4. abses submandibula 5. angina Ludovici (Ludwigs Angina)

BAB 2 ANATOMI DAN FISIOLOGI FARING

2.1.

ANATOMI FARING

Gambar 1. Potongan sagital rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring. 3 Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpamnjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot, dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot. 4,5 1. Mukosa Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofraing karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya berlapis gepeng dan tidak bersilia. Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan. 2. Palut lendir (mucous blanket) Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini mengandung enzim lysozyme yang penting untuk proteksi. 3. Otot

Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor faring superior, media, dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut rafe faring (raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini dipersarafai oleh n.vagus (n.X). Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. Letak otototot ini di sebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting sewaktu menelan. M.stilofaring dipersarafi oleh n.IX sedangkan m.palatofaring dipersarafi oleh n.X. Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung fasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini, m.palatoglosus, m.palatofaring, dan m.azigos uvula. 1. M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n.X. 2. M.tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n.X. 3. M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan ismus faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X. 4. M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X. 5. M.azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.

Gambar 2. Rongga mulut. Pendarahan

Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior. Persarafan Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus daring yang ekstensif. Plesksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glososfaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.IX). Kelenjar getah bening Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media, dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening dalam bawah.

Pembagian faring

Gambar 3. Pembagian nasofaring 7 Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:4,5 1. Nasofaring Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah verrtebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.glosofaring, n.vagus, dan n.asesorius spinal saraf kranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os.temporalis dan foramen laserum, dan muara tuba Eustachius. 2. Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atanya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterio faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum.

Dinding posterior faring Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat dalam radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n.vagus.

Fosa tonsil Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamanakan fosa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang sebenarnya.

Tonsil

Gambar 4. Cincin Waldeyer. 8 Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual yang ketiga0tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot farings sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina asendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring asendens, dan a.lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus

tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus. 3. Laringofaring (hipofaring) Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior adalah vertebra servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah adalah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil (pills pocket), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung. Lapisan fasia leher dalam Fasia servikalis : A. Fasia servikalis superfisialis B. Fasia servikalis profunda : 1. Lapisan superfisial 2. Lapisan media : - divisi muskular - divisi viscera

3. Lapisan profunda : - divisi alar - divisi prevertebra

Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda. Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna. Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu : 9,10,11 1. Lapisan superfisial Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah dan melekat pada klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.trapezius, m. masseter, kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer , lapisan pembungkus dan lapisan anterior. 2. Lapisan media Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian superior melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula. Divisi viscera membungkus organ organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus

serta bersatu dengan perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator. 3. Lapisan profunda Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space. Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis ( carotid sheath ) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris sampai ke toraks.

Ruang faringeal Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring. 4,5 1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space) Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi oleh : - anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda ) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid - posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda - lateral : selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring (fosa faringomaksila).

Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum setinggi bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan alar bersatu. Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah karena di ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh midline raphe . Tiap tiap bagian mengandung 2 5 buah kelenjar limfe retrofaring yang biasanya menghilang setelah berumur 4 5 tahun. Kelenjar ini menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustakius dan telinga tengah. Pada peradangan kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di dalam ruang retrofaring. Daerah ini disebut juga dengan ruang retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera posterior. 2. Ruang parafaring (fosa faringomaksila : pharyngomaxillary fossa) Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asendens mandibula yang melekat dengan m.pterigoideus interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.

Gambar 5. Potongan axial orofaring menunjukkan ruang retrofaring dan parafaring.12

Gambar 6. Penampang sagital leher memperlihatkan posisi spatium retropharyngeum dan submandibularis.11

Gambar 7. Potongan oblik leher menunjukkan ruang faringomaksila (parafaring), ruang submaksila, dan ruang potensial lainnya.13

Gambar 8. Potongan koronal ruang parafaring.13

Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu : - danger space : dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi prevertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang ruang retrofaring ). - prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan korpus vertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang danger space ). Ruang ini berjalan sepanjang kollumna vertebralis dan merupakan jalur penyebaran infeksi leher dalam ke daerah koksigeus.

Gambar 9. Potongan sagital faring menunjukkan ruang retrofaring, danger space, dan prevertebral space.14

Ruang submandibula Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior. Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior dari badan mandibula, medial oleh perut anterior musculus digastricus, posterior oleh ligament stylohyoid dan perut posterior dari musculus digastricus, superior oleh musculus mylohyoid dan hyoglossus, dan inferior oleh lapisan superficial dari deep servikal fascia. Ruang ini mengandung glandula saliva sub mandibular dan sub mandibular lymphanodes.

Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam ruang submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila saja.

Gambar 10. Ruang sublingual dan ruang submandibula yang dibagi oleh m.mylohyoideus.15

Gambar 11. Ruang sublingual di bagian superior dari m. mylohyoid. Ruang submandibular di inferior dari m. mylohyoid.16

2.2.

FISIOLOGI FARING

Fungsi faring yang utama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara, dan untuk artikulasi. 4 Fungsi menelan Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transpor bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung. Fungsi faring dalam proses bicara Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salfingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatini bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m.salfingofaring) dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.

BAB 3 ABSES LEHER DALAM

3.1.

ABSES PERITONSIL (QUINSY)

3.1.1. Definisi 1,2,17 Abses peritonsil merupakan akumulasi pus terlokalisir di jaringan peritonsil yang terbentuk akibat dari tonsilitis supuratif. Penjelasan lain adalah abses peritonsil merupakan abses yang terbentuk di kelompok kelenjar air liur di fosa supratonsil, yang disebut sebagai kelenjar Weber. Nidus akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina dan muskulus konstiktor faringeus. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan sinus piriformis (inferior) membentuk batas ruang peritonsil potensial. Karena terbentuk dari jaringan ikat longgar, infeksi parah area ini bisa secara cepat membentuk material purulen. Inflamasi dan supurasi progresif bisa menyebar langsung melibatkan palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang dasar dari lidah. 3.1.2. Epidemiologi

Insidensi abses peritonsil di Amerika Serikat adalah sekitar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, mewakili sekitar 45.000 kasus per tahun. Tidak ada data akurat secara internasional.17 Meskipun tonsilitis penyakit anak, hanya sepertiga kasus abses peritonsil ditemukan di kelompok umur ini. Umur pasien dengan abses peritonsil bervariasi, dengan jarak 1-76 tahun, dengan insidensi tertinggi pada pasien dengan usia 15-35 tahun.17 Tidak ada predileksi jenis kelamin ataupun ras.17

3.1.3. Etiologi Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.1 Biasanya, organisme Gram positif aerob dan anaerob diidentifikasi melalui kultur. Kultur menunjukkan Streptococcus beta hemolyticus yang paling sering. Selanjutnya, yang paling sering adalah Staphlococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus. Terakhir, organisme lain yang bisa dikultur adalah Lactobacillus, bentuk-bentuk filamentosa seperti Actinomyces sp., Micrococcus, Neisseria sp., diphteroid, Bacteroides sp., dan bakteri tidak bersporulasi. Beberapa bukti menunjukkan bakteri anaerob sering menyebabkan infeksi ini. 18 3.1.4. Patofisiologi Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menampati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Proses inflamasi dan supurasi dapat

melebar melibatkan palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang, dasar lidah. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior.1 Patofisiologi abses peritonsil tidak diketahui. Teori yang paling banyak diterima adalah kelanjutan dari episode tonsilitis eksudatif yang menjadi peritonsilitis terlebih dahulu dan lalu membentuk abses. Progresifitas proses inflamasi dapat terjadi pada populasi yang diobati dan yang tidak diobati. Abses peritonsil juga ditemukan tanpa riwayat tonsilitis rekuren atau kronis. Abses peritonsil juga bisa merupakan manifestasi dari infeksi Epstein Barr Virus (misalnya mononucleosis).17 Teori lain menunjukkan asal abses peritonsil ada di kelenjar Weber.1,17 Kelenjar air liur kecil ini ditemukan di ruang peritonsil dan disebutkan membantu membersihkan debris dari tonsil. Saat obstruksi terjadi sebagai hasil dari jaringan parut karena infeksi, nekrosis jaringan dan pembentukan abses terjadi, sehingga terjadilah abses peritonsil. Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak permukaannya hiperemis, bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru. Fosa tonsiler kaya akan pembuluh limfa menuju ke ruang parafaring dan kelenjar limfa servikal superior, yang menjelaskan pola limfadenopati secara klinis.

Limfadenopati servikal superior ipsilateral adalah hasil penyebaran infeksi ke kelenjar limfa regional. Kadang-kadang, keparahan proses supuratif dapat menuju abses servikal, khususnya pada kasus yang sangat fulminan atau progresif cepat. 3.1.5. Gejala dan tanda1,2,17 1. Anamnesis

Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Pasien biasanya memiliki riwayat faringitis akut ditemani dengan tonsilitis dan rasa faring tidak nyaman unilateral dan makin memburuk. Pasien mungkin mengalami malaise, kelelahan, dan sakit kepala. Pasien sering mengalami demam dan rasa tenggorokan penuh yang tidak simetris. Karena limfadenopati dan inflamasi otot servikal, pasien sering mengalami nyeri leher dan bahkan keterbatasan gerak leher. Dokter harus memikirkan diagnosis abses peritonsil pada pasien dengan gejala faring persisten meskipun sudah diberikan rejimen antibiotik yang adekuat. Seiring derajat inflamasi dan infeksi berlanjut, gejala berlanjut ke dasar mulut, ruang parafaring, dan ruang prevertebral. Kelanjutan di dasar mulut mengkhawatirkan karena obstruksi jalan napas; dokter harus sadar dengan gawat darurat yang mungkin terjadi. 2. Pemeriksaan Pada pemeriksaan fisik mungkin hasil bervariasi dari tonsilitis akut dengan faring asimetris unilateral sampai dehidrasi dan sepsis, Kebanyakan pasien memiliki nyeri berat. Pemeriksaan rongga mulut menunjukkan tanda-tanda eritem, palatum mole asimetris, eksudasi tonsil, dan uvula disposisi kontralateral. Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di kutub superior tonsil yang terkena, pada fosa supratonsil. Pada tingkat lipatan supratonsil, mukosa dapat tampak pucat dan mungkin menunjukkan bintil-bintil kecil. Palpasi pada palatum mole sering

menunjukkan fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel dianjurkan untuk pasien dengan airway distress. Laringoskopi adalah kunci untuk menyingkirkan epiglotitis dan supraglotitis, juga kelainan pita suara. Derajat trismus tergantung dari inflamasi ruang faring lateral. Penemuan limfadenopati servikal ipsilateral melibatkan satu atau lebih kelenjar tidak tak biasa. Kelenjar limfa yang terkena mungkin agak padat. Pada pasien dengan inflamasi kelenjar limfa yang signifikan, tortikolis dan keterbatasan mobilitas mungkin dialami.

Gambar 12. Abses peritonsil dengan deviasi uvula.19 3.1.6. Pemeriksaan Penunjang2,17 1. Pemeriksaan laboratorium

Darah perifer lengkap, elektrolit, kultur darah: pasien dengan abses peritonsil sering tampak septik dan dapat menunjukkan derajat bervariasi dehidrasi karena intake oral yang kurang. Untuk mengetahui dua peristiwa ini perlu pemeriksaan darah perifer lengkap, elektrolit, dan kultur darah.

Tes Monospot
o

Pada pasien yang menunjukkan tonsilitis dan limfadenopati servikal bilateral, tes Monospot (antibodi heterofil) harus dipertimbangkan

Jika hasil tes positif, pasien membutuhkan evaluasi hepatosplenomegali. Tes fungsi hati harus dipertimbangkan pada pasien dengan hepatomegali.

Kultur swab tenggorok: untuk membantu identifikasi organisme infeksius, swab tenggorok dan kultur harus dipertimbangkan. Hasil dapat membantu seleksi antibiotik yang paling tepat saat organisme teridentifikasi, mebatasi resiko resitensi antibiotik.

2. Pemeriksaan radiologi

Foto x-ray jaringan lunak polos


o

Foto jaringan lunak leher lateral menampakkan nasofaring dan orofaring dapat membantu dokter untuk menyingkirkan abses retrofaring.

Pada foto anteroposterior, foto menunjukkan distorsi jaringan lunak tetapi tidak berguna untuk menentukan lokasi abses.

CT scan
o

Pada kasus tertentu dan pasien yang sangat muda, evaluasi radiologi dapat dilakukan dengan CT scan rongga mulut dan leher menggunakan kontras intravena.

Temuan yang biasa adalah adanya kumpulan cairan hipodens pada apex tomnsil yang terkena, dengan penebalan pinggiran.

o o

Temuan lain dapat termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fosa di sekitarnya. Penggambaran lebih jauh limfadenopati servikal dibutuhkan, karena identifikasi kumpulan cairan intranodal mungkin, yang mengindikasikan abses servikal dan membantu perencanaan penanganan bedah.

Ultrasonografi20
o

Ultrasonografi intraoral sederhana, dapat ditolerir, non invasif yang dapat membantu membedakan selulitis dan abses.

USG juga dapat membantu pilihan aspirasi lebih langsung pada fosa tonsil sebelum penanganan bedah definitif.

3. Aspirasi jarum

Aspirasi jarum dapat dilakukan sebelum drainase. Ini membantu identifikasi lokasi abses di ruang peritonsil.

Lokasi aspirasi dianestesi dengan lidocaine dengan epinefrin, dan jarum ukuran 1618 G dipasang di spuit 10cc. Infiltrasi adalah metode pilihan untuk anestesi lokal untuk aspirasi dan insisi abses peritonsil.

Jarum ditusukkan di mukosa yang telah teranestesi dimana aspirasi akan dilakukan. Aspirasi material purulen merupakan diagnostik, dan dapat dikirim untuk kultur.

Gambar 13. Aspirasi jarum pada abses peritonsil.19 3.1.7. Diagnosis Indikasi untuk mempertimbangkan kemungkinan abses peritonsil meliputi sebagai berikut: 17 Pembengkakan unilateral area peritonsil. Pembengkakan unilateral palatum mole, dengan disposisi anterior tonsil ipsilateral. Tonsilitis yang non resolusi, dengan pembesaran tonsil unilateral persisten. Pada dewasa, tanda klinis yang berhubungan dengan abses peritonsil antara lain trismus, deviasi uvula, disposisi inferior kutub superior dari tonsil yang terkena.21 Pada kasus abses peritonsil, saat insisi dan drainase dilakukan, gejala pasien akan membaik. Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik, karena dapat menentukan lokasi akurat ruang abses. Cairan aspirasi dapat dikultur, dan pada beberapa

kasus, insisi dan drainase mungkin tidak perlu. Jika pasien terus menerus melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronik setelah insisi dan drainase, ini dapat menjadi indikasi tonsilektomi. 3.1.8. Terapi 1,17 1. Medikamentosa

Pasien dengan dehidrasi membutuhkan cairan intravena sampai inflamasi hilang dan pasien bisa melanjutkan intake cairan oral adekuat.

Antipiretik dan analgetik digunakan untuk meredakan demam dan rasa tidak nyaman. Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah kultur diperoleh dari abses. Penggunaan penisilin intravena dosis tinggi tetap sebagai pilihan baik untuk terapi empiris untuk abses peritonsil.

Sebagai pilihan alternatif, karena biasanya pus mikrobial, obat yang mengobati kopatogen dan tahan terhadapp beta laktamase juga dianjurkan sebagai pilihan pertama.

Cephalexin atau sefalosporin lain

(dengan atau tanpa metronidazol) tampaknya

merupakan pilihan awal. Pilihan alternatif antara lain (1) cefuroxime or cefpodoxime (dengan atau tanpa metronidazol), (2) klindamisin, (3) trovafloxacin, atau (4) amoksisilin/klavulanat (jika mononucleosis sudah disingkirkan). Pasien dapat diberi resep antibiotik oral jika intake oral sudah terpenuhi; lama pengobatan sebaiknya sekitar 7-10 hari.

Penggunaan steroid kontroversial. Pada studi oleh Ozbek, penambahan dosis tunggal dexametason ke dalam antibiotik parenteral telah ditemukan secara signifikan

mengurangi waktu rawat inap, nyeri tenggorok, demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok pasien yang hanya diobati dengan antibiotik parenteral.22 Dan juga, penggunaan steroid pada pasien dengan gejala dan tanda mononukleosis selama studi belum menuju pembentukan abses peritonsil.

Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.

2. Bedah

Penanganan pasien yang diduga abses peritonsil sebaiknya meliputi rujukan ke spesialis THT atau bedah dengan pengalaman terhadap penanganan penyakit ini. Rujukan segera sebaiknya dipertimbangkan jika diagnosis belum jelas dan diindikasikan pada pasien dengan obstruksi jalan napas. Preoperatif

Mendiskusikan patofisiologi dan indikasi operasi kepada pasien adalah penting. Consent sebaiknya diterima dari pasien atau wali hanya setelah menjelaskan komplikasi yang mungkin secara hati-hati.

Pada kasus dimana akses jalan napas terganggu, konsultasi segera dengan dokter anestesi harus dilakukan, dan mendiskusikan obstruksi jalan napas yang potensial.

Potensi obstruksi jalan napas yang signifikan muncul jika akses jalan napas pasien dibatasi oleh trismus atau edema struktur orofaringeal.

Intraoperatif Pada pasien kooperatif, tindakan dapat dilakukan di kursi pemeriksaan. Lipatan supratonsil dianestesi dengan injeksi anestesi lokal dengan epinefrin untuk mengurangi perdarahan. Tempat aspirasi atau insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. a. Aspirasi jarum

Aspirasi jarum dapat dilakukan pada anak berumur 7 tahun, khususnya jika sedasi sadar dilakukan.

Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik karena bisa menentukan lokasi rongga abses secara akurat.

Cairan aspirasi dapat dikirim untuk kultur dan pada beberapa kasus, dpat tidak dilanjutkan dengan insisi dan drainase.

b. Insisi dan drainase

Insisi dan drainase intraoral dilakukan dengan menginsisi mukosa di atas abses, biasanya terletak di lipatan supratonsil.

Setelah abses terlihat lokasinya, diseksi tumpul dilakukan untuk memecahkan lokulisasi.

Pembukaan dibiarkan terbuka untuk drainase, dan pasien diminta untuk berkumur dengan larutan NaCl, supaya material yang terakumulasi keluar dari rongga abses.

Aspirasi atau drainase yang berhasil menuju ke perbaikan segera gejala-gejala pasien. Pada pasien sangat muda atau inkooperatif atau saat abses terletak di tempat tidak

biasa, sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.

Gambar 14. Insisi dan drainase pada abses peritonsil.19 c. Tonsilektomi

Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersamasama tindakan drainase abses disebut tonsilektomi achaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi atiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu setelah drainase abses, disebut tonsilektomi afroid.

Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu setelah drainase abses.

Tonsilektomi segera sebagai bagian penanganan abses peritonsil juga masih merupakan kontroversi. Banyak studi menunjukkan amannya tonsilektomi pada abses akut. Yang lainnya menunjukkan tonsilektomi seger atau tertunda mungkin tidak perlu karena tingginya tingkat keberhasilan dan rendahnya rekurensi dan morbiditas setelah drainase.

Pada situasi dimana abses terletak di lokasi yang susah untuk dijangkau, tonsilektomi mungkin satu-satunya jalan untuk drainase abses.

Pascaoperatif

Karena perbaikan segera terhadap gejala nyeri, kebanyakan pasien dapat di pulangkan segera setelah pembedahan jika intake oral bagus dan tidak ada perdarahan.

Beberapa pasien mungkin membutuhkan rawat inap untuk 24-48 jam atau sampai intake oral sudah terpenuhi dan nyeri sudah menurun.

Hidrasi intravena penting karena kebanyakan pasien memiliki defisit cairan. Penggunaan antibiotik lanjutan juka penting. Saat pasien dapat intake cairan lewat mulut, antibiotik bisa diberikan secara oral selama 7-10 hari.

Analgetik oral juga penting tergantung tingkat ketidaknyamanan dari inflamasi.

3.1.9. Komplikasi Sejumlah komplikasi klinis dapat terjadi jika diagnosis abses peritonsil terlewat atau terlambat. Keparahan komplikasi tergantung progresifitas penyakit dan juga karakteristik ruang-ruang yang terkena. Penanganan dan pencegahan segera penting.1,17 1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia. 2. Penjalaran infeksi atau abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. 3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. 4. Penjalaran dapat berlanjut ke ruang submandibular dan sublingual di dasar mulut (Angina Ludovici).

5. Perdarahan merupakan komplikasi potensial jika arteri karotid eksterna atau cabangnya terluka. Perdarahan dapat terjadi intraoperatif atau periode awal pascaoperasi.23 3.1.10. Prognosis Kebanyakan pasien yang diobati dengan antibiotik dan drainase adekuat sembuh dalam beberapa hari. Sebagian kecil pasien mengalami abses kembali, membutuhkan tonsilektomi. Jika pasien berlanjut melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronis setelah insisi dan drainase tepat, tonsilektomi diindikasikan. 17 3.2. ABSES RETROFARING

3.2.1. Definisi1,2,24 Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam ( deep neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring. Penyakit ini ditemukan biasanya pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masingmasing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah. Pada usia di atas 6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi. Abses retrofaringeal menghasilkan gejala nyeri tenggorok, demam, kaku leher, dan stridor. Abses retrofaringeal terjadi lebih sedikit daripada jaman dahulu karena penggunaan antibiotik meluas pada infeksi saluran napas atas supuratif. Abses retrofaringeal, dulu secara eksklusif merupakan penyakit anak, sekarang meningkat frekuensinya pada orang dewasa. Abses retrofaringeal menunjukan tantangan diagnostik pada dokter gawat darurat karena kejadiannya yang tidak frekuen dan presentasi yang bervariasi.

Pengenalan segera dan penanganan agresif terhadap abses retrofaringeal penting karena penyakit ini masih memiliki mortalitas dan morbiditas yang signifikan. 3.2.2. Epidemiologi Frekuensi Abses retrofaringeal relatif berkurang frekuensinya dibanding dulu karena penggunaan antibiotik. Namun pada beberapa studi di Amerika Serikat yang merupakan negara maju juga didapatkan peningkatan frekuensi dalam 12 tahun sebanyak 4,5 kali.25 Mortalitas / Morbiditas Saat mediastinitis terjadi, mortalitas mencapai 50%, meskipun dengan pengobatan antibiotik. Abses retrofaringeal juga dapat menyebabkan trombosis vena jugularis interna, erosi arteri karotid, perikarditis, dan abses epidural. Selain invasi ke struktur yang berdekatan, abses retrofaringeal juga bisa menyebabkan sepsis dan resiko terhadap jalan napas (airway compromise). Tingkat mortalitas keseluruhan adalah 1% penelitian infeksi ruang leher dalam di Taiwan.26 Pada studi terhadap 234 orang dewasa dengan infeksi leher dalam di German, tingkat mortalitas 2,6%.27 Penyebab kematian terutama karena sepsis dengan kegagalan multiorgan. Di Amerika Serikat, 2003, pada data pasien rawat inap anak (Kids Inpatient Database) menunjukan 1321 pasien abses retrofaring tanpa kematian.28 Pada kasus di Childrens National Medical Center di Washington DC menunjukkan 4 anak umur 8-18 bulan dengan abses retrofaringeal yang terkana mediastinitis. Ke-4 anak diobati secara agresif dengan antibiotik dan drainase bedah, dan 3 pasien membutuhkan debridement torakoskopik. Ke-4 anak selamat tanpa sekuel.29 Ras Abses retrofaringeal melalui beberapa studi menunjukan hasil yang berbeda-beda dalam hubungannya dengan ras.

Dalam 10 tahun kasus abses retrofaringeal yang ditangani di Kings County Hospital di Brooklyn, New York, 70% pasien adalah dari ras Afrika-Amerika, 25% Kaukasia, dan 5% Hispanik.

Pada studi pasien pedtiatrik dengan abses retrofaringeal di Wayne State University di Detroit menunjukkan 43% kasus terjadi di orang kulit hitam, 54% kulit putih, 1% Hispanik, dan 1% campuran.30

Di Amerika Serikat, 2003, pada data pasien rawat inap anak (Kids Inpatient Database) menunjukan 1321 pasien abses retrofaring, 37,4% kulit putih, 11,7% Afrika-Amerika, 11,1% Hispanik, 2% Asia, 3,8% ras lain, dan sisanya ras tidak dicatat.28

Jenis Kelamin Abses retrofaringeal lebih biasa terjadi pada laki-laki daripada perempuan, dengan frekuensi 50-67% pada laki-laki dan 33-50% pada perempuan, dari hasil beberapa studi.27,28,30 Umur Abses retrofaringeal dulu merupakan penyakit yang biasa terjadi pada anak, namun sekarang frekuensi pada dewasa meningkat.24 3.2.3. Etiologi Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1) infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin). Pasien dengan penyakit immunocompromised atau penyakit kronis seperti diabetes, kanker, alkoholisme, dan AIDS memiliki resiko yang meningkat terhadap abses retrofaringeal.1,2,24 3.2.4. Patofisiologi 24

Ruang retrofaringeal adalah posterior dari faring, dengan fasia bukofaringeal di anterior, fasia prevertebral di posterior, dan selubung karotid di lateral. Ruang ini memanjang superior sampai basis kranii dan inferior ke mediastinum. Abses di ruang ini dapat disebabkan oleh organisme berikut: Organisme aerob, seperti streptococcus beta hemolitikus dan Staphylococcus aureus. Organisme anaerob, seperti Bacteroides dan Veillonella. Organisme Gram negatif, seperti Haemophilus parainfluenzae dan Bartonella henselae. Tingkat mortalitas tinggi dari abses retrofaringeal berhubungan dengan obstruksi jalan napas, mediastinitis, pneumonia aspirasi, abses epidural, trombosis vena juular, fasiitis nekrotikans, sepsis, dan erosi arteri karotid. 3.2.5. Gejala dan tanda 1,2,24 Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada bayi, nyeri tenggorok dan/atau pembengkakan leher dapat menyebabkan asupan gizi yang kurang disertai letargi. Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis. Kelenjar getah bening leher juga dapat membengkak. Pada anak dapat ditemukan gejala dan tanda tonsilitis, faringitis, dan juga otitis media.

3.2.6. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium 24

Darah perifer lengkap


o

Rata-rata sel darah putih pada suatu studi 17000, dengan jarak antara 310045900.

Sel darah putih pada 18% pasien kurang dari 8000; jadi, sel darah putih normal tidak menyingkirkan diagnosis abses retrofaringeal.

Pada studi di Jerman, rata-rata sel darah putih 14700 dengan jarak 200-114000.

Kultur darah diindikasikan sebelum pemberian antibiotik, tapi hasil kultur mungkin negatif pada sekitar 82% kasus abses retrofaringeal.

Kultur pus, yang diaspirasi pada saat drainase abses retrofaringeal, dapat menumbuhkan satu atau lebih organisme 91% dari setiap pemeriksaan.

Protein C-reaktif (CRP)


o

Pada studi orang dewasa dan anak dengan infeksi leher dalam, pasien dengan protein C-reaktif lebih dari 100 memiliki masa rawat inap lebih lama.

Pada studi Jerman, CRP rata-rata 15,7 dengan jarak 0,0-74.

2. Pemeriksaan radiologi 24

Foto x-ray jaringan lunak leher lateral


o

Pelebaran jaringan lunak retrofaringeal diamati pada 88% pasien dengan abses retrofaringeal menunjukan pembengkakan jaringan lunak lebih dari 7 mm pada C2 dan lebih dari 14 mm pada C6. Studi lain menemukan pembengkakan jaringan lunak lebih dari 7 mm pad C2 dan lebih dari 22 mm pada C6; jadi, radiografi leher lateral bisa kurang sensitif untuk mendeteksi abses

retrofaringeal daripada studi ini.


o

Selain pembengkakan jaringan lunak, radiografi leher lateral kadang-kadang tetapi jarang dapat menunjukan air fluid level, gas di jaringan, atau benda asing.

CT scan leher
o

CT scan leher dengan kontras intravena sangat bergun untuk diagnosis dan manajemen abses retrofaringeal. Abses retrofaringeal tampak sebagai lesi hipodens pada ruang retrofaringeal dengan penebalan cincin perifer. Temuan

lain pada CT scan meliputi pembengkakan jaringan lunak, lapisan lemak yang terobliterasi, dan efek masa.
o

Lakukan CT scan leher dengan kontras intravena saat temuan x-ray leher lateral kurang jelas atau gejala klinis abses retrofaringeal memenuhi tetapi x-ray leher lateral memberi hasil negatif. X-ray leher lateral dapat menyesatkan, terutama pada anak-anak.

CT scan leher dengan kontras intravena juga dapat berguna jika x-ray positif karena CT scan dapat membedakan antara abses retrofaringeal dan selulitis. CT scan juga menunjukkan pelebaran abses retrofaringeal dan hubungannya dengan pembuluh darah besar, yang sangat membantu untuk dokter bedah.

CT scan leher juga dapat membandingkan abses retrofaringeal dan limfadenopati pada anak, yang dapat membantu dokter bedah THT untuk menentukan pengobatan dengan antibiotik intravena saja atau dengan drainase abses.

Foto x-ray dada diindikasikan untuk melihat pneumonia spirasi dan mediastinitis. MRI dengan gadolinium dapat melihat abses retrofaring, tetapi modalitas ini belum digunakan secara luas.

Ultrasonografi dapat menunjukkan abses retrofaringeal, tetapi penggunaannya belum diklarifikasi.

3.2.7. Diagnosis 1 Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal. 3.2.8. Diagnosis banding 1,24 1. Adenoiditis 2. Tumor

3. Aneurisma aorta 4. Epiglotitis 5. Abses peritonsil

3.2.9. Terapi 1 Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.

Gambar 15.(A)Insisi pada abses retrofaring dengan posisi Trendelenburg.(B) Insisi pada abses peritonsil.31 3.2.10. Komplikasi 1,24 Komplikasi yang mungkin terjadi ialah sebagai berikut:

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera mediastinitis obstruksi jalan napas sampai asfiksia bila pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi dan abses paru dislokasi atlantooksipital abses epidural sepsis erosi vertebra servikal 2 dan 3 defisit nervus kranialis (nervus IX-XII ada di dalam faisa servikalis)

10. trombosis septik sekunder dari erosi ke dalam arteri karotid 32 11. kompresi arteri karotid dan vena jugularis interna 32 12. palsi nervus fasialis 3.2.11. Prognosis 24 Prognosis umumnya baik jika abses retrofaringeal diidentifikasi segera, ditangani secara agresif, dan komplikasi tidak terjadi. Tingkat kematian bisa setinggi 40-50% jika pasien mengalami komplikasi serius.

3.3.

ABSES PARAFARING

3.3.1. Definisi 1,2,33 Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan saat tonsilektomi, limfogen dan hematogen. 3.3.2. Etiologi Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:1,2,33 1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi

kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dan fosa tonsilaris. 2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. 3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.

3.3.3. Patofisiologi 33 Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan membentuk abses sublingual, submental, submandibula, mastikator atau parafaring. Dari gigi anterior sampai M1 bawah biasanya yang mula-mula terlibat adalah ruang sublingual dan submental. Bila infeksi dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat dulu adalah submandibula. Hal ini disebakan posisi akar gigi M2 dan M3 berada di bawah garis perlekatan m. milohiod pada mandibula sedang gigi anterior dan M1 berada diatas garis perlekatan tersebut.

Gambar 16. Jalur infeksi dari gigi.33

Gambar 17. Jalur perluasan potensial abses leher dalam. 33

3.3.4. Gejala dan tanda 1,2,33 Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus submandibula, demam tinggi dan pembengkakan diniding lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial. 3.3.5. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium33 Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan pemberian antibiotika yang sesuai. 2. Pemeriksaan Radiologi33 Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi

tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher. Keterbatasan pemeriksaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar abses. 3.3.6. Diagnosis 1,2,33 Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak AP atau CT scan. 3.3.7. Terapi 1,2,33 Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar dan inttra oral. Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).

Gambar 18. Insisi Mosher.33 Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda. 3.3.8. Komplikasi 1,2,33 Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung (per kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis atau septikemia.

3.4.

ABSES SUBMANDIBULA

3.4.1. Definisi

Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah submandibula.1,2,34 Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.1,2 Akhir-akhir ini abses leher bagian dalam termasuk abses submandibula sudah semakin jarang dijumpai.35 Hal ini disebabkan penggunaan antibiotik yang luas dan kesehatan mulut yang meningkat. Walaupun demikian, angka morbiditas dari komplikasi yang timbul akibat abses submandibula masih cukup tinggi sehingga diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan. 3.4.2. Etiologi Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.1 Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari mandibula, jika apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus mylohyoid.36 Infeksi dari gigi dapat menyebar ke ruang submandibula melalui beberapa jalan yaitu secara langsung melalui pinggir myolohioid, posterior dari ruang sublingual, periostitis dan melalui ruang mastikor.35 Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium.37 3.4.3. Patofisiologi Patofisiologi abses submandibula melalui gigi antara lain:38 1. Iritasi Pulpa 2. Hiperemic Pulpa 3. Pulpitis 4. Ganggren pulpa

5. Abses

Gambar 19. Patofisiologi abses submandibula.39

Ruang submandibula berhubungan dengan beberapa struktur didekatnya (gambar di bawah) oleh karena itu abses submandibula dapat menyebar ke struktur didekatnya.

Gambar 20. Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan sagital. Ket : SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS: parapharyngeal space; CS: carotid space; MS: masticatory space. SMG: submandibular gland; GGM: genioglossus muscle; MHM: mylohyoid muscle; MM: masseter muscle; MPM: medial pterygoid muscle; LPM: lateral pterygoid muscle; TM: temporal muscle.35 3.4.5. Gejala dan tanda 1,2 Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau di bawah lidah. Pasien juga biasanya akan mengeluhkan air liur yang banyak, trismus akibat keterlibatan muskulus pterigoideus, disfagia dan sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material yang bernanah atau purulent (merupakan

tanda khas). Angulus mandibula dapat diraba. Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. 3.4.6. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi antibiotik. 2. Radiologis a. b. Foto x-ray jaringan lunak kepala AP Foto x-ray panoramik: dilakukan apabila penyebab abses submandibuka berasal dari gigi. c. Foto x-ray thoraks: perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis, pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat aspirasi abses. d. CT-scan: CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan gold standard pada abses leher dalam. Berdasarkan suatu penelitianbahwa hanya dengan pemeriksaan klinis tanpa CT-scan mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien. Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid level.37 3.4.7. Diagnosis 1,2 Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. 3.4.8. Terapi 1. Antibiotik (parenteral) Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah campuran dari berbagai kuman. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole

masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan.36,37 Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif. Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari.36,37 2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.40

Gambar 21. (a)Insisi pada abses submandibula atau parotid. (b). Insisi pada abses submasseter. Pada saat insisi kutaneus, perjalanan arteri dan vena fasialis (a) harus diperhatikan, begitu juga dengan nervus fasialis (b).41 3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan trakeostomi perlu dipertimbangkan.40

3.4.9. Komplikasi

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis.35 Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati muskulus pterigoideus medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.37 Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.35 3.4.10. Prognosis Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat didiagnosis secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase awal dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan yang sempurna.Apabila telah terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40-50% walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis mempunyai angka mortalitas 20-40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai angka mortalitas 60%.40 3.5. ANGINA LUDOVICI (LUDWIGS ANGINA)

3.5.1. Definisi 1,2,42 Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis (peradangan jaringan ikat) dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula. Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari rongga mulut seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang membedakan angina Ludovici dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).

3.5.2. Etiologi 1,2,43 Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan anaerob. Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh odontogen baik melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene yang kurang. Selain itu, 95% kasus angina Ludwig melibatkan ruang submandibular bilateral dan gangguan jalan nafas merupakan komplikasi paling berbahaya yang seringkali merenggut nyawa. Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar ketiga rahang bawah atau dari perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar gigi molar ketiga yang erupsi sebagian. Hal ini mengakibatkan pentingnya mendapatkan konsultasi gigi untuk molar bawah ketiga pada tanda pertama sakit, perdarahan dari gusi, kepekaan terhadap panas/dingin atau adanya bengkak di sudut rahang. Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan menyebar ke ruang submandibular. Di samping itu, perawatan gigi terakhir juga dapat menyebabkan angina Ludwig, antara lain: penyebaran organisme dari gangren pulpa ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi endodontik, serta inokulasi Streptococcus yang berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah dan jaringan submandibular oleh manipulasi instrumen saat perawatan gigi. Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis kelenjar submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat keganasan mulut, abses peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut. Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri anaerob yang diisolasi seringkali berupa bacteroides, peptostreptococci, dan peptococci.

Bakteri gram positif yang telah diisolasi adalah Fusobacterium nucleatum, Aerobacter aeruginosa, spirochetes, Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies Clostridium. Bakteri Gram negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria, Escherichia coli, spesies Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies Klebsiella.

3.5.3. Gejala dan tanda 1,2,42 Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami kesulitan membuka mulut, berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terusmenerus serta kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum. Gejala klinis umum angina Ludovici meliputi malaise, lemah, lesu, malnutrisi, dan dalam kasus yang parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan bernapas. Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang keras seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher dan jaringan ruang submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot potato voice) akibat edema pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakan, nyeri dan peninggian lidah; nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan dalam artikulasi bicara (disarthria). Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular yang dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien tidak mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan sianosis menunjukkan adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat penanganan segera. Pada pasien juga mungkin akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi karena kurangnya asupan makanan dan minuman. 3.5.4. Pemeriksaan Penunjang44

1.

Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah: tampak leukositosis yang mengindikasikan adanya infeksi akut. Pemeriksaan waktu bekuan darah penting untuk dilakukan tindakan insisi drainase.

Pemeriksaan kultur dan sensitivitas: untuk menentukan bakteri yang menginfeksi (aerob dan/atau anaerob) serta menentukan pemilihan antibiotik dalam terapi.

2.

Pemeriksaang radiologi Foto x-ray: walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat menunjukkan luasnya pembengkakkan jaringan lunak. Radiografi dada dapat menunjukkan perluasan proses infeksi ke mediastinum dan paru-paru. Foto panoramik rahang dapat membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses, serta struktur tulang rahang yang terinfeksi.

USG: USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis dari abses. USG dapat membantu diagnosis pada anak karena bersifat non-invasif dan nonradiasi. USG juga membantu pengarahan aspirasi jarum untuk menentukan letak abses.

CT-scan: CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena dapat memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CT-scan dapat mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta derajat obstruksi jalan napas sehingga dapat sangat membantu dalam memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan buatan.

MRI: MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak dibandingkan dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan dalam lebih panjangnya waktu yang diperlukan untuk pencitraan sehingga sangat berbahaya bagi pasien yang mengalami kesulitan bernapas.

3.5.5. Diagnosis 1,2,42,44 Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang ditambah adanya riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi. 3.5.6. Terapi

Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:44 pertama dan paling utama, menjaga patensi jalan napas. kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi penyebaran infeksi. ketiga, dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.

Trakeostomi awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun dengan adanya teknik intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal Tube yang lebih baik, maka kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi dilakukan melalui hidung dengan menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih sadar dan dalam posisi tegak. Jika tidak memungkinkan, dapat dilakukan krikotiroidotomi atau trakheotomi dengan anestesi lokal.44 Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi antibiotik dan operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam kondisi yang lebih terkontrol, menghindari kebutuhan akan trakheotomi/krikotiroidotomi, serta mengurangi waktu pemulihan di rumah sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti dengan pemberian dosis 4 mg tiap 6 jam selama 48 jam.44 Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera diberikan. Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam) merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan meningkatnya prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp, penambahan metronidazole, clindamycin, cefoxitin, piperacilin-tazobactam, amoxicillin-clavulanate harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan regimen terapi.44 Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam tumpul. Jika terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis tengah secara horisontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di bawah dan paralel dengan corpus mandibula melalui fascia dalam sampai kedalaman kelenjar submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai batas bawah dagu. Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi dari penyakit ini, maka

gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.1,45

Gambar 22. Insisi pada angina Ludovici.31 3.5.7. Komplikasi 1,2,42 Angina Ludwig merupakan selulitis bilateral dari ruang submandibular yang terdiri dari dua ruang yaitu ruang sublingual dan ruang submaksilar. Secara klinis, kedua ruang ini berfungsi sebagai satu kesatuan karena adanya hubungan bebas serta kesamaan dalam tanda dan gejala klinis. Celah buccopharingeal, yang dibentuk oleh m. styloglossus melalui m. constrictor media dan superior, merupakan penghubung antara ruang submandibular dengan ruang pharingeal lateral. Infeksi angina Ludwig dapat menyebar secara langsung melalui celah buccopharingeal ini ke ruang pharingeal lateral, di mana selulitis akan dengan cepat menjadi berbahaya serta menimbulkan obstruksi jalan napas yang berat. Akibat barrier anatomik yang tidak dibatasi, infeksi dapat menyebar secara mudah ke jaringan leher, ruang fascia retropharingeal, bahkan hingga mediastinum dan ruang subphrenik. Selain gejala obstruksi jalan napas yang dapat terjadi tiba-tiba, komplikasi dari angina Ludwig dapat berupa trombosis sinus kavernosus, aspirasi dari sekret yang terinfeksi, dan pembentukan abses subphrenik. Komplikasi lebih lanjut yang telah dilaporkan meliputi sepsis, mediastinitis, efusi perikardial/pleura, empiema, infeksi dari

carotid sheath yang mengakibatkan ruptur a. carotis, dan thrombophlebitis supuratif dari v. jugularis interna. 3.5.8. Prognosis Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan radang. Sekitar 45% 65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area yang terinfeksi, disertai dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan yang lengkap. Selain itu, 35% dari individu yang terinfeksi memerlukan intubasi dan trakeostomi.44 Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Kematian pada era preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat serta penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Begitu pula angka mortalitas dapat menurun hingga kurang dari 5%.45

DAFTAR PUSTAKA 1. Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. Hal. 226-30. 2. Adams, G.L. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC. 1997. Hal.333.

3. The Mouth. Dalam: Grays Anatomy of The Human Body. Yahoo Education. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat di:

http://education.yahoo.com/reference/gray/subjects/ subject/ 242. 4. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. Hal. 212-6. 5. Snell RS. Pharynx. Dalam: Snell RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. Hal. 795-801. 6. Mouth cavity. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:

http://atlas.likar.info/Nebo/. 7. Zoltan V. Pharynx. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:

http://www.earspecialist. eu/index.php?page=content&method=static&id=116. 8. Tonsil. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada:

http://www.graphicshunt.com/ health/images/lingual_tonsil-1853.htm. 9. Rambe AYM. Abses Retrofaring. Dalam: USU Digital Library. Diakses: 8 Desember 2011. Diperbaharui: 2003. Terdapat pada:

http://repository.usu.ac.id/handle/ 123456789/ 3464. 10. Scott BA, Stiernberg CM. Deep neck space infections. Dalam : Bailey BJ, Ed. Head and neck surgery otolaryngology, Vol 1. Philadelphia: JB Lippincott Company , 1993 . h.738-49. 11. Snell RS. Fascia Cervicalis Profunda. Dalam: Snell RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. Hal. 849-51. 12. Axial Section of Oropharynx. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: http://atlas.likar.info/Okologlotochnaya_kletchatka/.
13. Abses

Parafaring.

Diakses:

Desember

2011.

Terdapat

pada:

www.scribd.com/doc/57908713/Abses-Parafaring.
14. Acevedo JL, Isaacson GC. Pediatric Retropharyngeal Abscess. Terakhir

diperbaharui: 22 Juli 2011. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: http://emedicine.medscape.com /article/995851-overview.

15. Hartmann

RW.

Ludwigs

Angina

in

Children.

Am

Fam

Physician. 1999 Jul 1;60(1):109-112. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: http://www.aafp.org/afp/1999/0701/ p109.html.
16. Angina

Ludovici.

Diakses:

Desember

2011.

Terdapat

pada:

www.scribd.com/doc/6208 0690/Angina-Ludwig.
17. Gosselin BJ, Geibel J. Peritonsillar Abscess. Terakhir diperbaharui: 4 Februari

2010.

Diakses:

Desember

2011.

Terdapat

pada:

http://emedicine.medscape.com/ article/194863-overview#showall. 18. Repanos C, Mukherjee P, Alwahab Y. Role of microbiological studies in management of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Aug 2009;123(8):877-9. 19. Peritonsillar Abscess. Dalam: Access Emergency Medicine from McGraw-Hill. Diakses: 13 Desember 2011. Terdapat pada:

http://www.accessemergencymedicine .com/overflow.aspx?searchStr=peritonsill ar+abscess&hasExactMatch=True&hasDrugMatch=False&searchSource=Images &ftbool=False. 20. Ramirez-Schrempp D, Dorfman DH, Baker WE, Liteplo AS. Ultrasound soft tissue applications in the pediatric emergency department: to drain or not to drain?. Pediatr Emerg Care. Jan 2009;25(1):44-8. 21. Kilty SJ, Gaboury I. Clinical predictors of peritonsillar abscess in adults. J Otolaryngol Head Neck Surg. Apr 2008;37(2):165-8. 22. Ozbek C, Aygenc E, Tuna EU, Selcuk A, Ozdem C. Use of steroids in the treatment of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Jun 2004;118(6):439-42. 23. Heidemann CH, Wallen M, Aakesson M, et al. Post-tonsillectomy hemorrhage: assessment of risk factors with special attention to introduction of coblation technique. Eur Arch Otorhinolaryngol. Jul 2009;266(7):1011-5. 24. Kahn JH, OConnor RE. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine. Terakhir diperbaharui: 17 Juni 2010. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: http://emedicine.medscape.com/ article/764421-overview#showall. 25. Abdel-Haq NM, Harahsheh A, Asmar BL. Retropharyngeal abscess in children: the emerging role of group A beta hemolytic streptococcus. South Med J. Sep 2006;99(9):927-31.

26. Wang LF, Kuo WR, Tsai SM, Huang KJ. Characterizations of life-threatening deep cervical space infections: a review of one hundred ninety-six cases. Am J Otolaryngol. Mar-Apr 2003;24(2):111-7. 27. Ridder GJ, Technau-Ihling K, Sander A, Boedeker CC. Spectrum and management of deep neck space infections: an 8-year experience of 234 cases. Otolaryngol Head Neck Surg. Nov 2005;133(5):709-14. 28. Lander L, Lu S, Shah RK. Pediatric retropharyngeal abscesses: a national perspective. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. Dec 2008;72(12):1837-43. 29. Shah RK, Chun R, Choi SS. Mediastinitis in infants from deep neck space infections. Otolaryngol Head Neck Surg. Jun 2009;140(6):936-8. 30. Coticchia JM, Getnick GS, Yun RD, Arnold JE. Age-, site-, and time-specific differences in pediatric deep neck abscesses. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. Feb 2004;130(2):201-7. 31. The Surgery of Sepsis. Terakhir diperbaharui: 20 April 2010. Diakses: 14 Desember 2011. Terdapat pada:

http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/The_surgery_of_ sepsis. 32. Elliott M, Yong S, Beckenham T. Carotid artery occlusion in association with a retropharyngeal abscess. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. Feb 2006;70(2):359-63.
33. Abses Parafaring. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: www.scribd.com/

doc/66624613/abses-parafaring.
34. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal

infection. International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33. 35. Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et all. Odontogenic infection pathway to the submandibular space: imaging assessment. Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 2002; 31: 1659. 36. Huang T, Chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep neck infection: analysis of 18 cases. Head and neck. Ockt 2004.860-4 . 37. Pulungan MR. Pola Kuman abses leher dalam. Diakses: 14 Desember 2011. Terdapat pada:http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-

LEHERDALA M-Revisi.

38. Abses

Submandibula.

Diakses:

Desember

2011.

Terdapat

pada:

http://www.scribd.com/doc/68513145/ABSES-SUBMANDIBULA. 39. Tooth Decahy progression. Diakses: 8 desember 2011. Terdapat pada: http://www.moondragon.org/health/graphics/toothdecayprogression.jpg. 40. Gmez CM, Iglesia V, Palleiro O, Lpez CB. Phlegmon in the submandibular region secondary to odontogenic infection. Emergencias 2007;19:52-53. 41. Fundamental Principles of Treatment of Infection-Oral Surgery Lecture Note. Terakhir diperbaharui: 17 Juli 2011. Diakses: 14 Desember 2011. Terdapat pada: http://dentistryandmedicine.blogspot.com/2011/07/fundamental-principles-oftreatment-of.html 42. MD Guidelines. Ludwigs Angina. Diakses: 8 Desember 2011. Terdapat pada: http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina. 43. Topazian R. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. St. Louis: W.B. Saunders; 2002.
44. Ludwigs

Angina.

Diakses:

Desember

2011.

Terdapat

pada:

www.scribd.com/doc /62080690/Angina-Ludwig.
45. Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-Maret

2008;Vol.21.

You might also like