You are on page 1of 17

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial menurut WHO adalah adanya infeksi yang tampak pada pasien ketika berada didalam rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, dimana infeksi tersebut tidak tampak pada saat pasien diterima dirumah sakit. Yang disebut infeksi nosokomial ini termasuk juga adanya tanda tanda infeksi setelah pasien keluar dari rumah sakit dan juga termasuk infeksi pada petugas petugas yang bekerja di fasilitas kesehatan. Infeksi yang tampak setelah 48 jam pasien diterima dirumah sakit biasanya diduga sebagai suatu infeksi nosokomial.(1) Infeksi nosokomial terjadi diseluruh dunia, termasuk dinegara negara berkembang maupun negara miskin. Sebuah survei mengenai prevalensi infeksi nosokomial yang dikelola WHO, pada 55 rumah sakit di 14 negara yang dibagi menjadi 4 wilayah, yakni Eropa, Mediterranian Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, menunjukkan bahwa sekitar 8,7 % rumah sakit pasien mengalami infeksi nosokomial, pada survei lain menyatakan sekitar 1,4 juta pasien diseluruh dunia mengalami infeksi

nosokomial. Dilaporkan frekuensi paling tinggi terjadi pada rumah sakit di Mediterranian Timur sebesar 11,8 %, diikuti wilayah Asia Tenggara 10%, kemudian wilayah Pasifik Barat 9,0% dan diikuti Eropa 7,7 %. Menurut

Universitas Sumatera Utara

CDC, hasil survei di United State, terjadi peningkatan angka prevalensi nosokomial dari 7,2% pada tahun 1975, menjadi 9,8 % pada tahun 1995. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wardana dan Acang tahun 1989, terjadinya infeksi nosokomial sebesar 18,46 % pada pasien yang dirawat di ruang gawat penyakit dalam RSUP M. Jamil, padang. Sedangkan penelitian pada tahun yang sama di RS. Hasan Sadikin Bandung didapatkan insiden infeksi nosokomial 17, 24 %, sedangkan di RSUD dr Sutomo prevalensi terjadinya infeksi nosokomial sebesar 9,85 % .(1,12)

2.2 Pembagian infeksi nosokomial 1. Infeksi saluran kemih ( UTI ) Merupakan infeksi nosokomial yg paling sering terjadi. Sekitar 80% infeksi saluran kemih ini berhubungan dengan pemasangan kateter. Infeksi saluran kemih jarang menyebabkan kematian dibandingkan infeksi nosokomial lainnya. Tetapi kadang kadang dapat

menyebabkan bakterimia dan kematian. Infeksi biasanya ditentukan oleh kriteria secara mikrobiologi. Positif apabila kultur urin 10
5

mikroorganisme / ml, dengan maksimum dari dua isolat spesies bakteri. Bakteri dapat berasal dari flora normal saluran cerna , misalnya E. coli ataupun didapat dari rumah sakit, misalnya Klebsiella multiresisten.(1,8,13)

Universitas Sumatera Utara

2. Infeksi luka operasi / infeksi daerah operasi ( ILO / IDO ) Infeksi nosokomial yang sering terjadi, insiden bervariasi, dari 0,5 sampai 15 %, tergantung tipe operasi dan penyakit yang

mendasarinya. Hal ini merupakan masalah yang signifikan, karena memberikan dampak pada biaya rumah sakit yang semakin besar, dan bertambah lamanya masa inap setelah operasi. Kriteria dari infeksi luka infeksi ini yaitu ditemukan discharge purulen disekitar luka atau insisi dari drain atau sellulitis yang meluas dari luka. Infeksi biasanya didapat ketika operasi baik secara exogen ( dari udara, dari alat maupun

kesehatan, dokter bedah dan petugas petugas lainnya ),

endogen dari mikroorganisme pada kulit yang diinsisi. Infeksi mikroorganisme bervariasi, tergantung tipe dan lokasi dari operasi dan antimikroba yang diterima pasien. (1,8,13) 3. Pneumonia nosokomial ( VAP ) Yang paling penting adalah penggunaan ventilator pada pasien di

ICU., dimana prevalensi terjadinya pneumonia sebesar 3% perhari. Merupakan angka kejadian fatal yang tinggi, yang dihubungkan dengan Ventilator associated Pneumonia. Mikroorganisme

berkolonisasi di saluran pernafasan bagian atas dan bronchus dan menyebabkan infeksi pada paru ( pneumonia ). Sering merupakan endogen, tetapi dapat juga secara exogen. Diagnosa pneumonia

berdasarkan gejala klinis dan radiologi, sputum purulen serta

Universitas Sumatera Utara

timbulnya demam. Diketahui sekarang bahwa yang merupakan faktor resiko adalah tipe dan lamanya penggunaan ventilator, beratnya kondisi pasien atau ada atau tidaknya penggunaan antibiotik sebelumnya. (1,8, 13) 4. Bakteremia nosokomial ( BSI ) Tipe infeksi nosokomial ini merupakan proporsi kecil dari infeksi nosokomial (sekitar 5 %), tetapi angka kejadian fatal nya tinggi, lebih dari 50% untuk beberapa organisme. Misalnya Staphylococcus Coagulase Negative dan Candida spp. Infeksi mungkin kelihatan pada tempat masuknya alat intravaskular atau pada subkutaneus dari pemasangan kateter. Organisme berkolonisasi dikateter didalam

pembuluh darah dapat menghasilkan bakteremia tanpa adanya tandatanda infeksi dari luar. Flora normal yang sementara atau tetap pada kulit merupakan sumber infeksi. Faktor resiko yang utama dalam mempangaruhi infeksi nosokomial ini adalah lamanya kateterisasi, level aseptik dan pemeliharaan yang kontiniu dari kateter.(1,8,13) 5. Infeksi nosokomial lainnya. Merupakan infeksi nosokomial yang ke empat tersering. Sebagai contoh, misalnya : Infeksi pada kulit dan jaringan lunak, misalnya luka terbuka ( luka bakar dan luka akibat berbaring lama )

Universitas Sumatera Utara

Gastroenteritis merupakan infeksi nosokomial tersering pada anak anak, dimana penyebabnya terbanyak adalah rotavirus. Untuk penyebab tersering gastroenteritis pada orang dewasa adalah Clostridium difficile, sering terdapat pada negara berkembang.(1)

Sinusitis dan infeksi saluran cerna lainnya, infeksi pada mata dan konjungtiva.

Endometritis dan infeksi lainnya dari organ reproduksi setelah melahirkan.

Bakteri dapat menyebabkan infeksi nosokomial dengan beberapa cara: 1. Flora tetap atau sementara pada pasien ( endogen ) Bakteri yang merupakan flora normal dapat menyebabkan infeksi oleh karena adanya perpindahan dari habitat alami ke luar, misalnya pindah kesaluran kemih, atau adanya kerusakan jaringan (luka), atau tidak adekuat pemberian antibiotik sehingga diikuti adanya pertumbuhan kuman yang berlebihan (C. difficile, Yeast spp). 2. Flora dari pasien atau petugas rumah sakit ( exogen ) Bakteri dapat berpindah diantara pasien : Melalui kontak langsung diantara pasien ( tangan, air ludah atau cairan tubuh lainnya )

Universitas Sumatera Utara

Melalui

udara

(melalui

ludah

atau

debu

yang

sudah

terkontaminasi oleh bakteri pasien ). Melalui petugas yang terkontaminasi melalui perawatan pasien, misalnya handuk, pakaian, hidung dan tenggorokan, yang kemudian menjadi carrier sementara atau permanen, yang kemudian mentransmisikan bakteri kepasien lainnya melalui kontak langsung ketika merawat. CDC memperkirakan sekitar 36% infeksi nosokomial infeksi dapat dicegah bila semua petugas kesehatan diberikan pedoman khusus dalam

pengkontrolan infeksi ketika merawat pasien. Melalui objek objek yang terkontaminasi oleh pasien, termasuk peralatan, tangan petugas, tamu atau sumber linkungan lain, misalnya air, cairan lainnya, makanan. 3. Flora yang berasal dari lingkungan kesehatan. Beberapa tipe organisme dapat bertahan dengan baik pada lingkungan rumah sakit, misalnya didalam air, area yang lembab, dan kadang kadang pada produk yang steril atau desinfektan, misalnya Pseudomonas, Acinobacter, mycobacterium. (1,2,8,13,14)

Universitas Sumatera Utara

Faktor faktor yang mempengaruhi berkembangnya infeksi nosokomial : Antimikroba Sebelum diperkenalkan pelatihan dasar mengenai kebersihan dan pemberian antimikroba, hampir semua infeksi dirumah sakit berasal dari sumber luar yang patogen (misalnya penyakit yang ditularkan melalui makanan atau udara, gangren, tetanus atau yang lainnya), atau disebabkan oleh mikroorganisme yang bukan flora normal dari pasien (misalnya tuberculosis). Perkembangan terapi antibiotik sebagai terapi infeksi bakteri digunakan untuk menurunkan angka kematian dari berbagai penyakit infeksi. Hampir semua infeksi yang didapatkan dirumah sakit disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya sering terdapat pada populasi umum, misalnya pada pasien pasien dirumah sakit (misalnya S. aureus, Staphylococcus Coagulase Negative, Enterococci, Enterobacteriaceae). Kerentanan pasien Faktor faktor yang berpengaruh pada keadaan ini adalah umur, status imun, penyakit yang mendasarinya, serta intervensi dari terapi. Pasien yang mengalami penyait kronik seperti tumor ganas, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, atau AIDS, mempunyai kerentanan yang meningkat terhadap infeksi opurtunistik.

Universitas Sumatera Utara

Faktor lingkungan Pasien dengan infeksi atau dengan carrier mikroorganisme patogenik merupakan sumber potensial infeksi terhadap pasien atau pekerja dirumah sakit. Adanya kondisi seperti ini di dalam rumah sakit, sering mengakibatkan transmisi bakteri dari satu unit ke unit lainnya. Mikrobial mungkin mengkontaminasi alat alat, bahan bahan yang kemudian kontak terhadap pasien .

Resistensi bakteri Banyak pasien yang menerima terapi antimikroba. Melalui seleksi dan adanya perubahan elemen resistensi genetik, antibiotik menjadi emergensi dimana banyak strain bakteri yang resisten terhadap berbagai antimikroba. Resistensi strain bakteri menjadi menetap dan dapat berkembang menjadi endemik di rumah sakit. Banyak strain Pneumococci, Staphylococci, Enterococci dan tuberculosis resisten terhadap hampir semua antimikroba yang sebelumnya efektif digunakan sebagai terapi.(1,2,8,14)

Universitas Sumatera Utara

2.3 Mikroorganisme yang sering Ditemukan dalam Hidung. Mikroorganisme S. aureus S. epidermis Corynebacterium aerobic Strept. Pneumonia Strept. Pyogenes Haemofilus influenza Neisseria meningitidis Rentangan Insidens (%) 20-85 90 50 - 80 0 - 17 0,1 - 10 12 0 - 10

Staphylococcus epidermidis15 S. epidermidis merupakan flora normal yang tersering didapat

dikulit dan hidung. Apabila terdapat hasil S. epidermidis dari kultur darah, biasanya merupakan kontaminasi dari kulit. Walaupun virulensinya rendah, S.epidermidis sering merupakan penyebab dari pemasangan katub jantung dan kateter, infeksi saluran kemih, infeksi luka bedah, infeksi dari pemasangan alat alat prostetik, infeksi shunt cerebrospinal fluid, infeksi yang berhubungan dengan dialisis peritoneal dan infeksi opthalmik. Resistensi obat obatan terhadap S. epidermidis lebih sering terjadi dibandingkan dengan S. aureus. Vancomycin masih sensitif

Universitas Sumatera Utara

terhadap S. epidermidis, tetapi adanya resistensi terhadap isolate pernah dilaporkan. Staphylococcus aureus S. aureus merupakan carrier pada individual yang sehat sekitar 22%, carrieg terjadi pada hampir semua bagian kulit, ditemukan juga pada permukaan mukosa pada anterior nares , juga terdapat pada mukosa vagina. Perpindahan dapat terjadi melalui kontak langsung, misalnya pada pegangan pintu, dimana pada putarannya menjadi sumber infeksi, atau dalam makanan, sehingga dapat menyebabkan keracunan makanan. Dalam keadaan- keadaan tertentu, S. aureus dapat menyebabkan berbagai proses, mulai dari infeksi kulit yang ringan sampai penyakit sistemik yang dapat mengancam nyawa. Mulai dari folliculitis, impetigo, furuncel dan carbuncel sampai ke Community acquired Staphylococcus bronchopneumonia yang di hubungkan oleh virus sebagai faktor predisposisi. Toxin yang diproduksi oleh Staphylococcus aureus

merupakan penyebab pada Staphylococcal scalded skin syndrome dan toxic shock syndrome. Penicilline merupakan obat yang terpilih ( drug of choice ) untuk pengobatan infeksi S. aureus. Kedaruratan resistensi terhadap penicillin disebabkan adanya kemahiran dari elemen elemen genetik plasmidborne yang mengkode produksi lactamase. Sekarang ini, lebih dari 80% isolat S. aureus resisten terhadap penisilin oleh karena adanya enzim lactamase hydrolitic atau penicillinase. MRSA mewakili tantangan yang sebenarnya dari semua institusi kesehatan, dan pedoman

Universitas Sumatera Utara

pedoman sudah di buat untuk mengatur dan mengkontrol perluasan MRSA pada insttitusi kesehatan. Beberapa rumah sakit telah mempunyai institusi untuk melakukan kultur nasal secara rutin terhadap petugas petugas kesehatan untuk mendeteksi adanya carrier MRSA serta memberikan terapi dengan tujuan untuk menurunkan jumlah terpaparnya pasien, yang mana akan menurunkan percepatan infeksi nosokomial dirumah sakit. Corynebacterium diphtheriae C. diphthteriae merupakan penyebab klasik dari penyakit

diphtheriae. Infeksi ini masih terlihat di negara berkembang. Infeksi ini dapat dicegah denga immunisasi yang meluas pada populasi yang

bersiko terhadap toxoid diphtheriae. Virulensi organisme ini sepenuhnya oleh karena produksi toxin dari diphtheriae. Meskipun nasal swab bukan merupakan spesimen ideal untuk sekret hidung, tetapi kadang kadang hal ini dapat diterima. Bagaimanapun nasal swab tidaklah merupakan hal yang rutin sebagai bahan kultur untuk mendapatkan Corynebacterium diphtheriae. Terapi dari diphtheriae ini melibatkan antitoxin dari kuda untuk menetralkan toxin agar tidak berikatan dengan sel target. Dilakukan terapi support seperti tracheostomy atau intubasi pembersihan jalan nafas, dan memonitor fungsi jantung. Penisilline atau Erythromycin dapat juga diberikan untuk mempercepat eradikasi organisme ini dari saluran pernafasan pasien. Gabungan Rifampisin dan Erythromycin telah digunakan untuk eradikasi carriege dari C. diphtheriae pada individu yang

Universitas Sumatera Utara

sudah terpapar. Pada hasil tes resistensi antimikroba menunjukkan strain C. diphtheriae secara umum sensitif terhadap Penicilline, Ampicilline,

Cefuroxime, Erythromycin, Tetracycline, Ciprofloxacin, Gentamycine, Trimethoprim dan Rifampisin. Haemophilus influenzae Haemophilus influenzae merupakan bagian flora normal pada oropharynx dan nasopharynx pada orang dewasa. Diantara semua

hemophili, H. Influenza serotype b dikatakan yang dikatakan paling pahogenik. Pada era sebelum vaksin terhadap H. Influenza ada,

organisme ini paling sering menyebabkan meningitis bakcterial pada anak antara 1 bulan sampai 2 tahun. Lebih dari 90% isolate yang diambil dari semua kasus mempunyai kapsul serotype b. Adanya kolonisasi di nosopharinx pada pasien yang rentan dapat membuat H. Influenza Penyakit

masuk ke aliran darah, dan kemudian menuju meningens.

lainnya yang sering dihubungkan dengan H. Influenza adalah epiglottitis, otitis media, sinusitis, pneumonia, bakteremia, endocarditis, infeksi pada perinatal, maternal, serta pada urogenital. Spesimen diambil dari CSF, sputum, dan berbagai cairan tubuh lainnya. Tidak ada fakta yang jelas tentang isolat H. Influenza yang diambil dari swab hidung yang dapat mengarah kepada suatu infeksi. Pada tahun 1974, beberapa strain dari H. influenza menjadi resiten terhadap Ampicilin oleh karena menghasilkan enzim lactamase yang dimediasi oleh plasmid. Pada semua penelitian, lebih dari 99 % strain sensitif terhadaf Amoxicillin - clavulanat. H.

Universitas Sumatera Utara

Influenza resistantchloramphenikol menghasilkan enzim chloramphenicol acetyltransferase. Sekarang ini Cephalosporin generasi ketiga

direkomendasikan sebagai terapi terhadap infeksi berat dari H. Influenza, oleh karena lebih unggul aktivitasnya pada mikroorganisme ini baik secara in vitro maupun in vivo. Streptococcus pneumoniae S. pneumoniae merupakan penyebab utama dari pneumonia bakterial acquired community. Organisme ini dapat hidup di saluran nafas atas sampai 17 % pada orang dewasa. Hampir semua infeksi serius dari S. pneumoniae terjadi pada anak anak dibawah umur 3 tahun, dan pada orang dewasa lebih dari 65 tahun. S. pneumoniae dapat menyebabkan bacteremia dan sepsis pada anak anak dan dewasa, pada anak, sekitar 25 % bacteremia dihubungkan dengan otitis media Pneumococcal. S. pneumoniae juga merupakan penyebab paling sering dari meningitis bactererial pada orang dewasa. S. pneumoniae jarang menjadi penyebab dari endocarditis, pericarditis, osteomyelitis, peritonitis, , infeksi jaringan lunak, dan infeksi neonatal. Disini pengambilan sample dari swab pada hidung juga tidak jelas faktanya sebagai prediktor terjadinya infeksi yang disebabkan oleh S. pneumoniae. S. pneumonia merupakan kedaruratan terhadap resistensi antimokroba, terutama penicilline. Banyak penelitian yang diadakan CDC, menyatakan terjadinya penurunan sensitivitas terhadap penicilline sekitar 15 % - 35 %, tergantung dari wilayah geografi. Isolat S. pneumoniae juga menunjukkan penurunan sensitivitas terhadap

Universitas Sumatera Utara

Cephalosporin dari semua generasi ketiga, dan terapi gagal terhadap infeksi organisme ini pernah dilaporkan. Disamping Penicillin dan Cephalosporin, Pneumococcal juga mengarah resistensi terhadap

Macrolide, Sulfonamide dan Tetracycline.(6,15,16,17) 2.4 Mekanisme Resistensi Terhadap Antimikroba Mekanisme resistensi bakteri sangatlah komplek, bervariasi, dan belum sepenuhnya dapat dimengerti. Gen untuk mekanisme resistensi bakteri, mungkin terletak di kromosom atau pada elemen extrakromosom yang disebut plasmid. Plasmid adalah potongan potongan dari DNA yang bergerak secara bebas dari kromosom. Perbedaan yang menonjol adalah DNA kromosom relatif stabil, sementara Plasmid DNA dengan

gampangnya bergerak dari satu strain ke strain yang lain, atau dari satu spesies ke spesies yang lain, bahkan dari satu genus ke genus yang lain. Sebagai tambahan, gen resistensi bakteri pada plasmid mudah

ditransferkan, sehingga terjadi banyak organisme baru yang resisten terhadap mikroba. Mekanisme yang paling sering terjadi pada transfer gen resisten yaitu dengan cara Conjugasi. Faktor lainnya diperlukan dimana gen yang ditransfer bisa bergerak dari satu organisme ke organisme lainnya. Diketahui terakhir ini, mekanisme transfer gen resisiten dengan

Transposon ( Transposable genetik element ). Transposon bisa membawa plasmid. Yang lebih penting, bisa membawa sepotong kromosom dari satu

Universitas Sumatera Utara

bakteri ke bakteri yang lain dengan cara Conjugasi (Conjugative transposon or jumping genetic element). Hasilnya mungkin adanya mozaik dari material genetik dari bakteri donor ke bakteri resepien. Transfer resistensi antimikroba melewati barier mayor, antara bakteri Gram positif dan Gram negatif. Ini sangat penting, karena merupakan transfer horozontal dari resistensi terhadap antimikroba untuk penyakit infeksi

masa sekarang dan yang akan datang.(6)


Beberapa Mekanisme Resistensi Bakteri terhadap Antimikrobial
GOLONGAN ANTIMIKROBA

MEKANISME

Inaktivasi enzym

-Lactams

CONTOH

-actames:penicilineses; cephalosporinases; Carbapenemase Aminoglycosides-modifying enzymes dari gram negativ dan gram positif bakteri Perubahan penisilin binding proteins dari gram negatif dan gram positif bakteri Tetrasiclin; erythromicin; aminoglikosida Quinolons

Aminoglycosides -Lactams

Perubahan reseptor

Perubahan ribosom Perubahan DNA gyrase Perubahan enzym bakteri Perubahan pada membran luar protein (porin) Redused protein motive force Aktif transport dari sel bakteri

Perubahan transpor antibiotik

Sulfamethoxazol; trimethoprim Bakteri gram negatif; decreased influx Aminoglykosid dan bakteri gram negatif; decreased influx Tetrasiklin; erithromisin; aktif efflux

Universitas Sumatera Utara

DiRS Universitas Uppsala, sweden, di departemen bedah thorak dan jantungvaskular, peneliti mencari S. aureus dengan melakukan swab pada nasal pada petugas di bangsal, ICU dan kamar operasi. Mereka mendapatkan 25, 8 % S. aureus terdapat pada petugas dibangsal, 19,3 % pada petugas di ICU, dan 15,6 % pada petugas di kamar operasi jantung.(10) Di pakistan, di Children Hospital Compleks, Multan, ditemukan bahwa ternyata 93,8 % spesimen swab pada nasal adalah staphylococci dengan perbandingan 48 % S. aureus dan 45, 7% Coagulase negative staphylococci. Didapatkan untuk S. aureus 100 % sensitif terhadap

Vancomycin, diikuti Cephalotin 92 %, Ciprofloxacin 90 % dan doxycyclin 81 %. Sedangkan untuk Ampicillin 11 %, dan penicilline 3%.(11) Cesar Roberto Busato dkk, melakukan penelitian pada pekerja

kesehatan diRS Santa Casa de Misericordia de Ponta Grossa, membandingkan resistensi antimikrobial terhadap S. aureus pada tahun 1996 dan tahun 1999, ternyata didapat antimikroba Ampicillin mengalami peningkatan resistensi dari 90, 4 % menjadi 92, 2 %, Penicillin dari 95, 2% menjadi 97, 7 %, Tetracycline dari 31, 7 % menjadi 33, 3 %, dan Ciprofloxacin dari 12, 7 % menjadi 17, 7 %. Sedangkan Vancomycin resistensi hanya 0 %
(18)

Heinz G. Jakob dkk, mengadakan penelitian didepartemen bedah jantung, Universitas Heidelberg, German. Mereka mendapatkan 376

Universitas Sumatera Utara

pasien yang dioperasi pada departemen ini, terdapat kolonisasi S. aureus pada hidung 106 pasien ( 23,2 % ). Kemudian mereka juga mendapatkan dari 241 pekerja rumah sakit , 59 pekerja terdapat kolonisasi S. aureus. Dengan perbandingan dokter 36 %, sedangkan perawat 22,4 %.(19) Mohammad Bagher Khalili dkk, menemukan dari 742 petugas kesehatan dari beberapa RS di Yazd, Iran, 94 ( 12, 6% ) positif terhadap S. aureus dan 57 ( 7,6 %) untuk MRSA.(20)

Universitas Sumatera Utara

You might also like