You are on page 1of 65

2004

http. www.kalbe.co.id/cdk
International Standard Serial Number: 0125 913X

Daftar isi : 142. Alergi


2. Editorial 4. English Summary Artikel 5. 8. 11. 15. 19. 22. 27. 31. Alergi Merupakan Penyakit Sistemik Iris Rengganis Alergi dan Imunologi pada Penyakit Akibat Kerja Karnen Baratawidjaja Alergi Lateks pada Pekerja Kesehatan Teguh Harjono Karjadi Perbaikan Kualitas Hidup pada Karyawan Penderita Alergi Samsuridjal Djauzi, Teguh Harjono Karjadi Peranan Antihistamin pada Inflamasi Alergi Iris Rengganis United Airway Diseases apakah itu ? Heru Sundaru Penatalaksanaan LES pada Berbagai Target Organ Nanang Sukmana Keterlibatan Paru dan Pleura pada SLE Zuljasri Albar

35. Populasi Mesocyclops aspericornis pada Pengendalian Jentik Aedes aegypti Menggunakan Metode Simulasi Kandang Nyamuk RA Yuniarti, Umi Widyastuti 38. Uji Efikasi Formulasi Cair (Liquid) Bacillus thuringiensis H-14 Galur Lokal pada Berbagai Fermentasi terhadap Jentik Nyamuk Vektor di Laboratorium Blondine Ch.P, Damar Tri Boewono 42. Uji Efikasi Insektisida Abate 500 EC secara Pengabutan terhadap Nyamuk Aedes aegypti Hasan Boesri, Damar Tri Boewono, Hadi Suwasono
Keterangan Gambar Sampul : Sel mast mengeluarkan faktor kemotaktik dan spasmogenik; spasmogen langsung menyebabkan bronkokonstriksi dan mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil, edema dan migrasi sel, sedangkan faktor kemotaktik menyebabkan akumulasi granulosit, eosinofil, basofil, makrofag dan trombosit; sel-sel ini memproduksi molekul-molekul inflamasi yang selanjutnya menghasilkan respons lambat dan reaksi inflamasi kronik seperti terlihat pada asma. Faktor lain yang berkontribusi antara lain hipersekresi bronkus (M), hipertrofi otot polos (SM) dan infiltrasi seluler (CI).

46. Tingkat Aktivitas Kholinesterase, Pengetahuan dan Cara Pengelolaan Pestisida pada Petani/Buruh Penyemprot Apel di Desa Gubuk Klakah, Jawa Timur Sri Sugihati Slamet, Nimah Bawahab 49. Status Kesehatan Petani Perkebunan Rakyat Pengguna Paraquat Dibandingkan dengan Petani bukan Pengguna Paraquat di Lampung Selatan Janahar Murad, D. Mutiatikum, SR. Muktiningsih 53. Risiko Pemajanan Benzen terhadap Pekerja dan Cara Pemantauan Biologis Satmoko Wisaksono 56. 57. 60. 61. 62. 64. Produk Baru Kegiatan Ilmiah Internet untuk Dokter Kapsul Abstrak RPPIK

EDITORIAL
Alergi semua orang, bahkan awampun pasti pernah mendengar istilah ini tetapi meskipun demikian, masalah sebenarnya cukup kompleks karena berhubungan dengan reaksi tubuh terhadap zat/benda yang dianggap asing; dan gejalanya dapat bermanifestasi di berbagai organ/sistem tubuh; oleh karena itu ada yang menganggap alergi merupakan penyakit sistemik seperti pada artikel pembuka Cermin Dunia Kedokteran edisi ini. Artikel lain membahas alergi dari berbagai sudut, dan juga mengenai pengobatannya. Artikel tambahan berkaitan dengan masalah keracunan, terutama insektisida, ditampilkan bersama beberapa makalah mengenai upaya pemberantasan vektor penyakit malaria dan demam berdarah. Semoga rangkaian artikel ini dapat menambah wawasan Sejawat sekalian, Selamat Tahun Baru 2004

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

2004

International Standard Serial Number: 0125 913X

KETUA PENGARAH
Prof. Dr Oen L.H. MSc

REDAKSI KEHORMATAN
Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo
Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

PEMIMPIN UMUM
Dr. Erik Tapan

Prof. Dr. R. Budhi Darmojo


Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

KETUA PENYUNTING
Dr. Budi Riyanto W.

PELAKSANA
Sriwidodo WS.

Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD.


Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort


Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

TATA USAHA
Dodi Sumarna

ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. (021)4208171 E-mail : cdk@kalbe.co.id Website : http://www.kalbe.co.id/cdk

DR. Arini Setiawati


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

DEWAN REDAKSI

PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma

Dr. B. Setiawan Ph.D

Prof. Dr. Zahir MSc.

Sjahbanar

Soebianto

PENCETAK
PT Temprint

http://www.kalbe.co.id/cdk PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/ skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan

urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: 1. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990; 64: 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Tlp. (021) 4208171. E-mail : redaksiCDK@yahoo.com Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan Cermin instansi/lembaga/bagian Dunia Kedokteran No. 142, 2004 tempat kerja si penulis.

English Summary
POPULATION DENSITIES OF MESOCYCLOPS ASPERICORNIS IN RELA-TION TO AEDES AEGYPTI LARVAL CONTROL; CAGE SIMULATION STU-DIES RA Yuniarti, Umi Widyastuti
Vector Reservoir Control Research Unit, National Institute of Health Research and Development, Department of Health Republic of Indonesia, Salatiga, Indonesia

THE EFFICACY OF LIQUID FORMULATION LOCAL STRAIN OF BACILLUS THURINGIENSIS H-14 AT VARIOUS CONCENTRATION AGAINST MOSQUITOES LARVAE VECTOR IN LABORATORIUM Blondine ChP, Damar Tri Boewono
Vector Reservoir Control Research Unit, National Institute of Health Research and Development, Department of Health Republic of Indonesia, Salatiga, Indonesia

A study was conducted to determine the increase of population densites of Mesocyclops aspericornis in relation to Aedes aegypti growth, during larval control. The study was conducted using a cage simulation approach. To stimulate possible field interactions between M. aspericornis and Ae. aegypti, two Ae. aegypti breeding colonies (one of which was inoculated with M. aspericornis) were set up for a 12week observation period. The following were recorded weekly : immature, adult mosquito numbers and adult copepods. In the treated plastic jars the M. aspericornis population increased exponentially in response to the abundant Ae. aegypti larvae, within 3 weeks. Alter that period the population density of Ae. aegypti larvae in the treated jar decreased to zero within 7 weeks. In the absence of newly emerging Ae. aegypti adults, the adult population in the treated cage decreased to zero within 12 weeks. Survival rate of M. aspercornis was 2,5-3 months in the plastic jars containing 2 liters of water with food source.
Cermin Dunia Kedokt. 2004; 142: 35-7

ray, uwi

Bacillus thuringiensis H-14 which is also called Bt H-14 is a specific target bioinsecticide against insects. It is safe to mammals and doesnt cause environmental pollution. An efficacy test of the liquid formulation local strain of Bacillus thuringiensis H-14 fermented at 18 hours, 20 hours, 22 hours, 24 hours and 25 hours was conducted. The aim of this study was to investigate the efficacy of liquid formulation local strain of B. thuringiensis H-14 at various fermentation against the third instar larvae of Anopheles aconitus and Culex quinquefasciatus. The results showed, Total Viable Cell (TVC) and Total Viable Spore Count (TVSC) liquid formulation local strain of B. thuringiensis H-14 at 18 hours, 20 hours, 22 hours, 24 hours and 25 hours were 4,5x 07 cells/ml and 10,9x10 7 spores/ml; 5,5x10 8 cells/ml and 8,6x108 spores/ml; 10,2x108 cells/ml and 9,0x108 spores/ml; 10,0x108 cells/ml and 12,8x108 spores/ml; 9,2x108 cells/ml and 11,2x108 spores/ml respectively. The concentration of liquid formulation local strain of B. thuringiensis H-14 for controlling 50% and 90% the third instar An. aconitus larvae at 18 hours, 20

hours, 22 hours, 24 hours and 25 hours fermentation were 0,016 ml/l (LC50), 0,082 ml/1 (LC90); 0,009 ml/1 (LC50), 0,058 ml/1 (LC90); 0,008 ml/1 (LC50), 0,021 ml/1 (LC90);0,002 ml/1 (LC50), 0,008 ml/1 (LC90) and 0,005 ml/1 (LC50), 0,021 ml/1 (LC90) after exposure for 24 hours respectively. At 48 hours of exposure these were 0,012 ml/1 (LC50), 0,078 ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,011 ml/1 (LC90); 0,005 ml/1 (LC50), 0,016 ml/1 (LC90);0,001 ml/1 (LC50), 0,004 ml/1 (LC90); and 0,001 ml/1 (LC50), 0,012 ml/1 (LC90) respectively. The efficacy test of liquid formulation local strain of B. thuringiensis H-14 against the third instar Cx. quinquefasciatus larvae of 50% and 90% at 18 hours, 20 hours, 22 hours, 24 hours and 25 hours fermentation were 0,002 ml/l (LC50), 0,008 mm (LC90); 0,002 ml/1 (LC50), 0,009 ml/1 (LC90); 0,002 ml/1 (LC50), 0,013 ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,002 ml/1 (LC90); and 0,001 ml/1 (LC50), 0,002 ml/1 (LC90) respectively. The smaller concentration of liquid formulation local strain of B. thuringiensis H-14 controlled 50% and 90% third instar An. aconitus and Cx. quinquefasciatus larvae at 24 hours fermentation respectively. The liquid formulation local strain of B. thuringiensis H-14 is effective for controlling mosquitoes larvae.
Cermin Dunia Kedokt. 2004; 142: 38-41 Bersambung ke halaman 7.

bcp, dtb

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Artikel
OPINI

Alergi Merupakan Penyakit Sistemik


Iris Rengganis
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Alergi dapat merupakan gangguan hipersensitivitas lokal atau sistemik. Kulit dan saluran napas adalah organ yang paling sering terpajan alergen dan terlibat dalam penyakit alergi. Reaksi alergi dapat juga terjadi di jaringan vaskular, traktus gastrointestinal, atau organ lain. Anafilaksis merupakan bentuk reaksi alergi sistemik yang paling berbahaya. Reaksi alergi yang kompleks dapat digambarkan sebagai berikut: reaksi diawali dengan pajanan terhadap alergen yang ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC), dipecah menjadi peptida-peptida kecil, diikat molekul HLA (MHC II), bergerak ke permukaan sel dan dipresentasikan ke sel Th-2 (gb. 1). Sel Th-2 diaktifkan dan memproduksi sitokin-sitokin antara lain IL-4 dan IL-13 yang memacu switching produksi IgG ke IgE oleh sel B, terjadi sensitisasi sel mast dan basofil, sedangkan IL-5 mengaktifkan eosinofil yang merupakan sel inflamasi utama dalam reaksi alergi. Selain itu sel residen juga melepas mediator dan sitokin yang juga menimbulkan gejala alergi.1-3

Gambar 1. Reaksi alergi tipe 1 Dikutip dari Holgate ST. Allergy. Mosby, Times Mirror International Publ. Ltd. 1995:1.1. Dibacakan pada Simposium PIN II PERALMUNI, 21-22 Juni 2003, Hotel Sahid Jaya, Jakarta

INFLAMASI ALERGI MERUPAKAN PENYAKIT SISTEMIK Studi epidemiologi secara konsisten menunjukkan bahwa asma dan rinitis alergi sering ditemukan bersamaan pada satu penderita, sehingga dianggap merupakan satu penyakit saluran napas. Inflamasi mukosa nasal dan bronkus berperan dalam patogenesis asma dan rinitis. Baik saluran napas atas maupun bawah menunjukkan gambaran infiltrasi sel inflamasi yang sama, melibatkan sel Th2, sel mast, basofil, eosinofil, IgE, mediator kimia seperti histamin, leukotrien dan molekul adhesi, sitokin seperti IL-4, -5, -13, RANTES, GM-CSF. Antara gen dan lingkungan terjadi sinergi dan lingkungan menentukan ekspresi penyakit alergi.4-7 Studi patofisiologi menyokong adanya hubungan erat antara rinitis dan asma, meskipun ada perbedaannya. Saluran napas atas dan bawah diduga dipengaruhi oleh suatu proses inflamasi yang serupa, yang mungkin dapat menetap dan diperberat oleh mekanisme yang saling berhubungan ini. Penyakit alergi dapat bersifat sistemik. Provokasi bronkial menyebabkan inflamasi nasal dan provokasi nasal menyebabkan inflamasi bronkial. Saat menentukan diagnosis rinitis atau asma, baik saluran napas bawah dan atas sebaiknya dievaluasi.4 Inflamasi alergi melibatkan sumsum tulang dan proses sistemik yang berperan dalam mempertahankan gejala dan penyakit. Peran potensial signal saluran napas - sumsum tulang diinduksi oleh alergen. Sumsum tulang merupakan sumber inflamasi kronis yang memberikan persediaan sel-sel efektor matang.8 Meskipun alergi makanan hanya berawal dari pajanan mukosa saluran cerna terhadap makanan, manifestasi alergi biasanya terjadi di luar saluran cerna dengan gejala yang dapat mengenai berbagai organ.9 Dermatitis alergi terlihat pada anak di bawah usia 5 tahun dan sekitar 80% anak-anak tersebut akan menderita rinitis alergi atau asma. Sensitisasi kulit terhadap alergen dapat memacu sel Th2 untuk memproduksi IL-4, IL-5, aktivasi sel mast, eosinofil dan sel B untuk memproduksi IgE. Derajat berat

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

dermatitis alergi dapat mempengaruhi perjalanan alergi saluran napas.10,11 Patofisiologi penyakit alergi melibatkan pengerahan berbagai sel efektor dari sirkulasi, rangsangan sumsum tulang/ sistemik. Reaksi alergi yang sistemik menunjukkan respons di berbagai organ seperti saluran napas atas dan bawah, kulit dan saluran cerna. Oleh karena itu terapi harus diarahkan terhadap manifestasi lokal dan sistemik.12 HISTAMIN Efek histamin adalah pada organ sasaran, direk atau indirek terhadap aktivasi berbagai sel inflamasi dan sel efektor yang berperan pada penyakit alergi. Reseptor histamin ditemukan pada sel basofil, sel mast, neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, sel epitel dan endotel. Oleh karena itu histamin diduga berperan dalam modulasi sel-sel tersebut.13 Sel-sel yang berperan pada patofisiologi alergi seperti sudah diketahui adalah sel APC, sel T, sel B, sel mast dan basofil. Oleh karena itu sasaran terapi dapat ditujukan terhadap sel-sel tersebut atau mengubah molekul adhesi dan kemoatraktan serta mencegah terjadinya ikatan histamin yang dilepas pada inflamasi dan reseptornya di organ sasaran.14 Antihistamin sebagai Antiinflamasi Histamin disimpan dalam granul sitoplasma basofil dan sel mast. Histamin berperan dalam fase cepat yang memodulasi respons vaskular dan saluran napas melalui reseptornya yang juga ditemukan pada sel-sel inflamasi/ jaringan. Jadi peran histamin tidak hanya terbatas pada fase dini saja, tetapi juga pada fase kronis. Antihistamin inhibitor berkompetisi pada reseptor histamin. Penghambat reseptor H1 digunakan pada terapi alergi yang diperantai IgE. Obat-obat tersebut telah tersedia, tetapi penggunaan generasi antihistamin pertama (klorfeniramin, bromfeniramin, difenhidramin, klemastin, hidroksizin) terbatas, karena adanya efek samping sedasi primer dan menyebabkan keringnya membran mukosa. Kontroversi penggunaan antihistamin (AH) pada asma di waktu yang lalu disebabkan karena AH lama mempunyai efek sedasi, antikolinergik dan antiserotonergik. Dengan adanya AH generasi kedua dan ketiga, banyak peneliti yang menelaah ulang efek AH terhadap asma. Antihistamin generasi kedua (loratadin, cetirizin) dan ketiga (feksofenadin, desloratadin) bekerja menghambat reseptor histamin H1, di samping efek antiinflamasi. Azelastin merupakan preparat antihistamin topikal yang digunakan secara intranasal yang tidak menunjukkan efek samping sistemik. Terapi antihistamin generasi kedua dan ketiga berguna pada penderita rinitis alergi yang juga menderita asma. Hal tersebut diduga oleh karena ekspresi ICAM-1 yang dicegah antihistamin sehingga infiltrasi eosinofil ke jaringan juga dicegah (gambar 2). Pemberian antihistamin intramuskular atau intravena dalam pengobatan anafilaksis sistemik hanya efektif terhadap gejala kulit dan gastrointestinal, tetapi tidak efektif pada vaskular yang kolaps atau obstruksi jalan napas.1, 14 Inflamasi Persisten Minimal Inflamasi Persisten Minimal (IPM) dapat didefinisikan sebagai suatu proses inflamasi yang selalu terjadi pada setiap 6 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

subyek yang terpajan alergen walaupun tanpa gejala. Dengan kata lain, senantiasa harus disadari adanya inflamasi kronis pada asma dan rinitis, walaupun pada fase klinis laten. Konsep ini merupakan hal yang paling penting, sehinga proses inflamasi harus tetap diterapi walaupun tidak disertai gejala. ICAM1 yang merupakan petanda inflamasi diekspresikan di epitel / endotel konjungtiva subyek yang sensitif terhadap tepung sari, baik pada musim semi ataupun bukan dan pada subyek yang sensitif terhadap tungau debu rumah. Suatu penelitian menemukan adanya hubungan antara ICAM-1 dan inflamasi persisten minimal, dan ICAM-1 secara konsisten terdeteksi pada penderita tanpa gejala yang secara kontinyu terpajan tungau debu rumah dan alergen alamiah lainnya. 15

Gambar 2. Eosinofil dan ICAM-1 Dikutip dari Holgate ST. Allergy 2nd ed. Elsevier Science Ltd. 2002:291.

KESIMPULAN Alergi merupakan reaksi sistemik yang melibatkan berbagai komponen sistem imun seperti sel-sel inflamasi, mediator, sitokin, sel endotel, epitel dan molekul adhesi. Inflamasi melibatkan pengerahan berbagai sel inflamasi dari sirkulasi ke jaringan yang dimungkinkan oleh peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM-1.Berbagai antihistamin generasi kedua dan ketiga dapat menghambat ekspresi ICAM-1 yang merupakan petanda inflamasi sehingga dapat mencegah influks eosinofil ke jaringan dan terjadinya inflamasi.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kishiyama JL, Adelman DC. Gangguan Alergi dan Imunologi. Dalam: Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam, Buku 2.. Penerbit Salemba Medika 2003. Hal. 165-174 Fireman P. The mechanisms of allergic inflammation. The Allergy and Asthma Report. AAAAI Meeting, March 1999. Schleimer RP. Introduction: Systemic Aspects of Allergic Disease. JACI 2000; 106: A191. Bousquet J., Cauwenberge P. Allergy Rhinitis and Its Impact on Asthma Initiative. 2001; 3-8. Leynaett B, Neukirch F, Damoly P. Epidemiological evidence for asthma and rhinitis comorbodity. JACI 2000; 106: S201-5. Barnas KC. Evidence for common genetic elements in allergic disease. JACI 2000; 106: S192-S200.

7.

United Airways Disease. Resources for Health Professionals. http://www.worldallergy.org/professional/allergy. 8. Inman MD. Bone marrow events in animal models of allergic inflamma-tion and hypersensitiveness. JACI 2000; 106: S235-S241. 9. Sicherer S. Determinants of systemic manifestations of food allergy. JACI 2000; 106: S251-7 10. Beck LA, Leung DYM. Allergen sensitization through the skin induces systemic allergic responses. JACI 2000; 106: S258-63. 11. Bochner BS. Systemic activation of basophils and eosinophils : Markers and consequences. JACI 2000; 106: A292-S302.

12. Bachert C. The role of histamine in allergic diseases: re-appraisal of its inflammatory potential. Allergy 2002; 57: 287-296. 13. Marshall GD. Therapeutic options in allergic diseases: Antihistamines as anti allergic agents. JACI 2000; 106: S302-9. 14. Marone G. New Insights into the Inflammatory Responses. ACAAI Meeting November 16-20, 2001, Orlando, USA. 15. Canonica PW. Ciprandi G, Pesce GP, Buscaglia S, Paoliere F, Bagnasco M. ICAM-1 on epithelial cells in allergic subjects: a hallmark of allergic inflammation. Int Arch Allerg Immunol 1995; 107: 99-102.

English Summary
Sambungan dari halaman 4

EFFICACY TEST OF ABATE 500EC FOGGING ON AEDES AEGYPTI LARVAE Hasan Boesri, Damar Tri Boewono, Hadi Soewasono
Vector Reservoir Control Research Unit, National Institute of Health Research and Development, Department of Health, Republic of Indonesia, Salatiga, Indonesia

A trial of Abate 500 EC was conducted in the morning using thermal residual fogging in Salatiga municipality in 1998. The Air Bioassay test for all insecticides tested showed that on observation in the laboratory, spraying dis-tance of 2 meter result in 100 % mortality of Aedes aegypti, after 24 doses of 60 ml/ha, 100 ml/ha, 120 ml/ha, 240 ml/ha and Icon 25 EC dose of 75 ml/ha.
Cermin Dunia Kedokt. 2004; 142: 42-5

hbi, dtb, hso

Better alone than in bad company

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

IKHTISAR

Alergi dan Imunologi pada Penyakit Akibat Kerja


Karnen Baratawidjaja
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakulas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Kemajuan dalam bidang industri sampai sekarang telah menghasilkan sekitar 70.000 jenis bahan berupa logam, kimia, pelarut, plastik, karet, pestisida, gas, dan sebagainya yang digunakan secara umum dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan kenyaman dan kemudahan bagi penduduk di seluruh dunia. Namun di lain pihak, bahan-bahan tersebut menimbulkan berbagai dampak seperti cedera dan penyakit. Cedera akibat kerja dapat bersifat ergonomik, ortopedik, fisik, mengenai mata, telinga dan lainnya. Penyakit-penyakit akibat pajanan di lingkungan kerja dapat berupa toksik, infeksi, kanker, gangguan hati, saraf, alat reproduksi, kardiovaskular, kulit dan saluran napas.1-6 Biological dan chemical terrorism yang mulai banyak dikhawatirkan ditujukan untuk menimbulkan kematian atau penyakit pada manusia, hewan dan tanaman dengan menggunakan bahan seperti anthrax, cacar, virus ensefalitis yang dikeringkan dan dijadikan bubuk sehingga mudah disebarkan.4

Asma Akibat Kerja Asma Akibat Kerja (AAK) ditandai dengan obstruksi saluran napas yang variabel dan bronkus hiperesponsif yang disebabkan oleh inflamasi bronkial akut dan kronis. Hal tersebut bermula dari inhalasi debu, uap, gas yang diproduksi atau digunakan karyawan atau secara tidak sengaja ditemukan dalam lingkungan kerja. Ciri dari semua asma kronis adalah iritabilitas berlebihan terhadap berbagai rangsangan/faktor dalam lingkungan kerja.2,6 Asma yang timbul dalam lingkungan kerja dibedakan dalam dua kategori. Pertama adalah asma yang disebabkan bahan/faktor dalam lingkungan kerja dan kedua asma yang sudah ada sebelum bekerja dan dipicu (eksaserbasi) oleh bahan/ faktor dalam lingkungan kerja.5 Pada karyawan yang sudah menderita asma sebelum bekerja, 15% akan memburuk akibat pajanan terhadap bahan/ faktor dalam lingkungan kerja.6 Reactive Airways Dysfunction Syndrome Reactive Airways Dysfunction Syndrome (RADS) atau irritant induced asthma adalah reaksi non-imunologik serupa asma yang terjadi setelah satu kali pajanan terhadap kadar iritan (Toluen Diisosianat/TDI, klorin, fosgen) yang tinggi. Hipereaktivitas bronkus dapat menetap sedikitnya satu tahun pasca pajanan tersebut. Pajanan terhadap iritan kadar rendah untuk jangka waktu yang lama dapat juga menimbulkan reaksi serupa.7,8 Dewasa ini, sekitar 250 bahan dalam lingkungan kerja sudah diketahui dapat menimbulkan asma. Bahan-bahan dengan berat molekul tinggi (HMW seperti bahan asal hewan, tanaman seperti tepung, kopi, soya) biasanya menginduksi sintesis IgE dan memicu reaksi asma alergi tipe I. Bahan dengan berat molekul rendah (LMW) seperti TDI, Trimellitic Anhydride/TMA, platina, nickel merupakan hapten yang berikatan dengan protein pembawa asal tubuh yang dapat memacu sintesis IgE. Bahan HMW berhubungan, sedang bahan LMW tidak berhubungan dengan atopi. HMW biasanya menimbulkan

PENYAKIT AKIBAT KERJA Penyakit pertama yang diduga merupakan Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah silikosis yang sudah terjadi pada masa manusia membuat peralatan dari batu api.1 Pengetahuan mengenai PAK masih terbatas karena sulitnya melakukan studi epidemiologi; hal ini disebabkan berbagai hal seperti definisi PAK yang belum jelas, praktek higiene industri dan cara-cara laporan yang berbeda, tidak ada studi kontrol, tidak mungkin menentukan gejala minimal, banyak karyawan tidak melapor dan sudah meninggalkan tempat kerja sewaktu penelitian dilakukan sehingga hanya ditemukan survivor population. Hal tersebut terlihat dari sedikitnya laporan PAK di Indonesia. PAK tersering adalah yang mengenai saluran napas yaitu asma dan rinitis. PAK imunologik lain yaitu pneumonitis hipersensitif yang mengenai paru dan PAK yang mengenai kulit.6
Dibacakan pada Simposium Occupational Diseases, Allergy Clinical Immunology, Millennium Sirih Hotel, Jakarta, 22-23 Februari 2003

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

reaksi dini dan lambat, sedangkan LMW reaksi lambat terisolasi. 1,5,8 Bisinosis Bisinosis adalah gejala saluran napas serupa asma dalam berbagai derajat yang disebabkan oleh pajanan terhadap serat kapas. Oleh karena gejala awal bisinosis terjadi pada hari kerja pertama yang biasanya hari Senin, bisinosis disebut juga Monday morning fever atau Monday moning chest tightness atau Monday morning asthma. Bisinosis lebih sering ditemukan pada karyawan pemintalan yang terpajan debu kapas kadar tinggi dibanding karyawan pertenunan.9 DIAGNOSIS ASMA AKIBAT KERJA Untuk menegakkan diagnosis AAK, perlu diketahui riwayat atopi, penilaian pajanan, imunologi (molekular dan selular), foto paru dan fisiologi seperti hipereaktivitas bronkus, fungsi paru serial, uji inhalasi spesifik yang merupakan gold standard.2, 7,10 Pneumonitis hipersensitif Pneumonitis hipersensitif (PH) adalah penyakit parenkim paru akibat pajanan dan sensitisasi terhadap berbagai debu organik, misalnya produk bakteri, jamur dan protein asal tanaman. Diisosianat yang digunakan dalam produksi poliuretan, busa, plastik dapat pula menimbulkan PH. Reaksi yang terjadi pada PH dewasa ini dianggap sebagai campuran reaksi Tipe III dan Tipe IV.5 Rinitis akibat kerja Dapat berupa alergi atau non-alergi. Pada umumnya, bahan-bahan yang menimbulkan AAK juga dapat menimbulkan Rinitis Alergi Akibat Kerja (RAAK).2 Seperti halnya dengan asma, rinitis dapat sudah diderita karyawan sebelum bekerja dan eksaserbasinya dipacu oleh bahan di lingkungan kerja.11 Pada orang atopi, lateks dapat menimbulkan reaksi Tipe I seperti AAK dan atau RAAK dan urtikaria, atau reaksi Tipe IV (mercaptobenzotiazol, thiuram), berupa dermatitis kontak.10,12,13,14 Berbagai iritan di lingkungan kerja dapat merangsang membran mukosa nasal dan menimbulkan rinitis iritan nonalergi dengan gejala iritasi yang predominan. Adanya perbaikan waktu malam, akhir minggu, dan libur menunjang diagnosis rinitis oleh iritan. Lingkungan kerja dengan perubahan suhu yang cepat atau gerakan udara berlebihan dapat merupakan faktor fisik yang relevan dalam timbulnya rinitis vasomotor.11 Di samping itu, bau-bauan seperti wewangian, asap rokok, pewangi ruangan dan lainnya dapat pula menimbulkan eksaserbasi rinitis. Bahan korosif dapat merusak sistem olfaktorius dan menimbulkan obstruksi dan post-nasal drip yang permanen.10 Dermatitis dan urtikaria akibat kerja Penyakit kulit akibat kerja dapat berupa dermatitis dan urtikaria. Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua PAK, terbanyak bersifat nonalergi atau iritan. Sekitar 90.000 jenis bahan sudah diketahui dapat menimbulkan dermatitis.15

Dermatitis kontak alergi dapat terjadi bila bahan LMW seperti lateks dan nickel, sebagai hapten berikatan dengan protein pembawa di kulit dan menimbulkan dermatitis kontak alergi Tipe IV. Urtikaria dapat terjadi akibat kontak dengan bahan dalam lingkungan kerja yang menimbulkan urtikaria alergi Tipe I (lateks) atau urtikaria nonalergi. Faktor fisik lingkungan kerja seperti tekanan, panas, dingin dan lainnya dapat juga menimbulkan urtikaria nonalergi (urtikaria fisik).16 Penanganan PAK Penanganan PAK harus dilakukan secara obyektif dan ditekankan pada lingkungan kerja. Menghindari pajanan bahan penyebab merupakan cara terbaik, namun tidak selalu mudah. Keluar dari tempat kerja tidak selalu menghasilkan remisi gejala. Penggunaan alat proteksi harus dilembagakan. Di samping itu penanganan farmakologik dapat merupakan cara yang sangat efektif.2,7,10 Pre-employment testing Pemeriksaan alergi sebelum bekerja tidak dianjurkan pada karyawan tanpa asma karena hasil tes kulit positif terhadap bahan HMW dalam masyarakat cukup tinggi. Jalan keluarnya ialah menasehatkan bahwa bila kelak terjadi sensitisasi terhadap bahan lingkungan kerja, akan dapat menjadi alasan untuk dipindahkan dari tempat pekerjaannya.8 KESIMPULAN Berbagai bahan/faktor dalam lingkungan kerja dapat menimbulkan dampak berupa cedera dan PAK. PAK alergi yang ditemukan terbanyak mengenai saluran napas (AAK dan RAAK). Bahan/faktor lingkungan kerja dapat memicu terjadinya asma/rinitis atau menimbulkan eksaserbasi asma/rinitis yang sudah ada. AAK dan RAAK dapat pula terjadi melalui mekanisme nonalergi-imunologi atau iritan. Pada umumnya bahan HMW menimbulkan reaksi Tipe I dan hanya beberapa bahan jenis LMW sebagai hapten mengikat protein pembawa asal tubuh yang dapat menginduksi produksi IgE. Penyakit alergi-imun tersering kedua adalah PAK yang mengenai kulit berupa dermatitis kontak dan urtikaria kontak yang dapat ditimbulkan baik oleh faktor alergi, maupun nonalergi. Penelitian mengenai PAK di Indonesia masih perlu ditingkatkan.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. LaDou J. The practice in occupational disease. Dalam: LaDou (ed). Occupational and Environmental Medicine. Lange Medical Books/ McGraw-Hill. NY 1997: 1-5 Shames RS, Adelman DC. Clinical Immunology. Dalam: LaDou (ed). Occupational and Environmental Medicine. Lange Medical Books/ McGraw-Hill. NY 1997: 180-203. Rempell DM, Janowitz IL. Ergonomics & the prevention of occupational injuries. Dalam: LaDou (ed). Occupational and Environmental Medicine. Lange Medical Books/McGraw-Hill. NY 1997: 41-63. Franz DR. Biologic and Chemical Terrorism. Dalam: Bowler RM, Cone JE (eds). Occupational Medicine Secrets. Hanley & Belfus, Inc. Philadelphia. 1999:147-150. Balmes JR, Scanell CH. Occupational Lung Diseases. Dalam: LaDou (ed). Occupational and Environmental Medicine. Lange Medical Books/ McGraw-Hill. NY 1997: 305-27

4. 5.

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

6.

Bardana EJ. Occupational Asthma. Dalam: Slavin RG, Reisman RE (eds). Asthma. ACP, Philadelphia 2002:173-90. 7. Quirce S. Evaluation of workers with suspected occupational allergy. AAAAI Meeting, March, NY 2002. 8. Beckett WS. Occupational Asthma. Dalam: Bowler RM, Cone JE (eds). Occupational Medicine Secrets. Hanley & Belfus, Inc. Philadelphia. 1999: 189-92. 9. Baratawidjaja KG. Bisinosis dan hubungannya dengan obstruksi kronis. Tesis, 1989. 10. Puchner TC, Fink JN. Occupational Allergy. Dalam: Lasley MV, Altman LC (eds). Immunol. Allerg. Clin. N. Am. Rhinitis. May 2000: 303-22. 11. Shusterman D. Upper respiratory tract disorders. Dalam: LaDou (ed). Occupational and Environmental Medicine. Lange Medical Books/ McGraw-Hill. NY 1997: 291-304.

12. Orfan N, Reed R, Dykkewicz M et al. Occupational asthma in a latex doll manufacturing plant. JACI 1994; 94:826-30. 13. Carillo T, Blanco C, Quiralte J et al. Prevalence of latex allergy among greenhouse workers. JACI 1995 ; 96: 699-701. 14. Baratawidjaja KG, Sukmana N, Baratawidjaja IR, Darwis A, Jusuf L, Hendrata AP. A study of latex hypersensitivity among latex glove workers, 5th West-Pacific Allergy Symposium-7th KoreaJapan Joint Allergy Symposium, Monduzzi (ed.). International Proceedings Division, June 1997. 15. Adams MR. Occupational Skin Disorders. Dalam: LaDou (ed). Occupa-tional and Environmental Medicine. Lange Medical Books/McGraw-Hill. NY 1997: 272-90. 16. Hein R. Chronic urticaria: impact of allergic inflammation. Allergy 2002; 57 (S 75): 19-24.

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE FEBRUARI MEI 2004 Bulan Tanggal 6-8 Kegiatan Ilmiah 21st Century Challenge to Improve Professionalism & Quality of Anesthesia Services in Indonesia International Course on Metabolic and Clinical Nutrition 2004 The 13th ASMIHA : Advances in Cardiovascular Medicine : From Bench to Bedside and Beyond PIT Feto-Maternal 25-26 Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (KPPIK FKUI 2004) Simposium 'Controversies in Internal Medicine' 6-7 5th Jakarta Antimicrobial Update (JADE) 2004 1-2 The Fourth Congress of Asian Pacific Society of Atherosclerosis and Vascular Diseases Mei 6-9 4th Jakarta Nephrology Hypertension (JNHC) 28-30 Tempat dan Sekretariat Hotel Gran Melia, Jakarta Telp : 021-391 2526, 31907069 Fax : 021-31907069 Email : idsai@centrin.net.id Hotel Acacia, Jakarta Telp : 021-3106737 Fax : 021-3106443 Email: cme_fkui@yahoo.com Discovery Kartika Plaza Hotel, Bali Telp : 021-568 4093 ext. 3508, 0361- 223 190 ext. 15, 0361-257 518 Fax : 021-560 8239, 0361-257 518 Hotel Gran Melia, Jakarta Telp : 021-392 8721 Fax : 021-391 5041 Hotel Borobudur Jakarta Telp : 021-3106737 Fax : 021-3106443 Email: cme_fkui@yahoo.com Hotel Sahid Jaya, Jakarta Telp : 021-31903775 Fax : 021-31903776 Email: pipinfo@indosat.net.id Website: www.interna.fk.ui.ac.id Hotel Borobudur, Jakarta Telp : 021-3908157, 3925491 Fax : 021-3929106 E-mail: tropik@indosat.net.id Bali International Convention Centre Telp : 62-21-570 5800 ext. 423/ 421 Fax : 62-21-570 5798 E-mail : secretariat@apsavd2004.org Situs : http://www.apsavd2004.org Hotel Borobudur, Jakarta Telp : 021-314 9208 Fax : 021-315 5551 Email : inasn@link.net.id, pernefri@cbn.net.id, jnhc@cbn.net.id

16-19 Februari 24-28

5-7 Maret

Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbe.co.id/calendar>>Complete

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

PRAKTIS

Alergi Lateks pada Pekerja Kesehatan


Teguh Harjono Karjadi
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Lateks adalah produk yang dibuat dari bahan karet. Karet didapat dari getah pohon Hevea brasiliensis yang berasal dari hutan Amazon di negara Brazil. Lateks merupakan bahan utama beberapa produk seperti sarung tangan, kateter urin, tensimeter, karet spuit, peralatan gigi, kondom, berbagai alat rumah tangga,dan lain-lain. Alergi terhadap bahan lateks dilaporkan pertama kali pada tahun 1927 di Jerman berupa urtikaria akibat pemakaian dental prosthesis. Pada tahun 1980 seiring dengan ditemukannya AIDS dan penyakit infeksi virus lainnya, maka diperkenalkan universal precaution, yang menyebabkan penggunaan sarung tangan lateks meningkat pesat, dan disertai pula dengan peningkatan prevalensi alergi terhadap lateks.1,2,3,4 Sebagai gambaran, kebutuhan sarung tangan lateks di Amerika mencapai 20 miliar pasang selama 1999. Kebutuhan yang demikian banyak dapat meningkatkan kemungkinan sensitisasi/alergi lateks pada masyarakat terutama yang bekerja di bidang kesehatan. Selama ini yang tersering adalah dermatitis kontak; tetapi antara 1988-1992 di Amerika Serikat tercatat 1000 kasus reaksi sistemik (reaksi hipersensitivitas tipe I / IgE) yang berhubungan dengan alergi lateks, 15 kasus di antaranya fatal.4,5 PREVALENSI Telah banyak penelitian mengenai alergi lateks di luar negeri, prevalensi sensitisasi lateks pada petugas/pekerja kesehatan 6,9%-30%.6-11 Di Indonesia telah dilakukan beberapa penelitian sensitisasi pada pekerja produk lateks dengan prevalensi 3,13 6,3%.12,13 Prevalensi sensitisasi pada masyarakat umum 0,8-6,4%, tertinggi pada masyarakat yang sering kontak dengan lateks seperti donor darah. Pada pasien yang sering mengalami operasi prevalensi sensitisasi 11,5%, pasien spina bifida prevalensi mencapai 35-64,5%; pada pasien hemodialisis prevalensi senDibacakan pada acara Simposium Occupational Diseases & Allergy-Clinical Immunology, Hotel Millennium Sirih, 22-23 Februari 2003.

sitisasi 14,6%.1,14 Atopi merupakan faktor predisposisi terpenting terjadinya sensitisasi lateks; pada suatu penelitian, 61% petugas kesehatan yang positif terhadap sensitisasi lateks merupakan individu atopi; demikian pula pada pasien spina bifida terlihat gambaran yang hampir sama.1,9,15 Penelitian oleh Sub Bagian Alergi-Imunologi Klinik RSCM-FKUI pada 6 rumah sakit di Jakarta dengan metode potong lintang (cross sectional), menggunakan kuesioner dan tes prick atas 600 perawat dan 277 petugas administrasi mendapatkan : 1. Sensitisasi pada 34 orang perawat (5,8%) dan 4 orang petugas administrasi (1,4%). 2. Klinis yang dihubungkan dengan paparan lateks pada perawat : a. Rinitis 81 orang (14%) b. Dermatitis kontak 21 orang (3,6%) c. Urtikaria 47 orang (8,1%) d. Batuk-batuk 21 orang (3,6%) e. Konjungtivitis 27 orang (4,6%) f. Sesak 15 orang (2,5%) 3. Atopi : a. 196 (34%) perawat atopi, 21 orang (3,6%) di antaranya dengan tes prick positif (+). b. 381 (66%) perawat non atopi, 14 orang (2,3%) di antaranya dengan tes prick positif (+). c. Bila kedua kelompok tersebut dibandingkan maka terdapat perbedaan bermakna (p=0,008). Antigen lateks Getah karet alam (natural rubber latex) merupakan gabungan partikel yang mengandung 35% cis 1,4 polysoprene (karet), 55-60% air, 5-10% bahan lain (protein, karbohidrat, resin, dan lain-lain) berasal dari pohon Hevea brasiliensis. Protein yang terdapat dalam getah karet antara 1-1,8% tergantung dari tempat tumbuh, spesies, tempat penyemaian, saat Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 11

ini telah terdeteksi sebanyak 200 jenis; telah diketahui beberapa protein yang menyebabkan reaksi alergi (tabel 1).1,16,17 Selain protein, getah karet mengandung lipid, karbohidrat, kalium, magnesium, seng, mangan, tembaga, besi. Sebagian besar protein alergen yang terdeteksi di dalam karet alam juga terdeteksi pada produk barang jadi lateks, kadang-kadang dalam keadaan terurai atau bergabung dengan protein lain sewaktu pengolahan. Selain menambah alergen, pemrosesan (klorinisasi, enzim pencernaan, pemanasan) juga dapat mengurai protein alergen menjadi nonalergenik. Dalam sarung tangan non-ammoniated didapat 240 polipeptida, hanya 25% dari peptida tersebut yang bereaksi dengan IgE pasien yang alergi terhadap lateks.3,16
Table 1. Latex allergens and their characteristics Allergen Hev. Hev. Hev. Hev. Hev. Hev. Hev. Hev. Hev. Hev. Hev. Hev. b1 b2 b3 b4 b5 b01 b02 b03 b7 b8 b9 b10 Subcellular localization Large rubber particles Lutoids Small rubber particles Lutoids Cytoplasm Lutoids Lutoids Lutoids Cytoplasm Cytoplasm Cytoplasm Mitochondria

Alergen/lateks masuk ke dalam tubuh akan ditangkap oleh makrofag yang bertindak sebagai APC, setelah diproses maka antigen akan dipresentasikan ke sel limfosit Th2 melalui ikatan MHC klas II, selanjutnya sel T akan merangsang sel B untuk membentuk IgE dan akan terikat pada sel mast, basofil, eosinofil. Apabila terdapat paparan ulang maka antigen akan diikat oleh IgE sehingga sel mast/basofil/eosinofil pecah mengeluarkan mediator yang menyebabkan timbulnya keluhan asma, rinokonjungtivitis, urtikaria, reaksi anafilaksis. Tipe IV Alergen lateks setelah kontak dengan kulit akan merusak sel langerhans yang menyebabkan sel tersebut matang serta berubah fungsi sebagai APC, akan membawa antigen lateks ke kelenjar limfe untuk dipresentasikan ke sel ThI melalui ikatan MHC klas II. Ikatan ini akan mengeluarkan berbagai sitokin antara lain IL-2, IFN, MAF/MIF yang menyebabkan : 1) Sel T akan berproliferasi dan teraktivasi. 2) Makrofag akan teraktivasi. 3) Sel keratinosit dirangsang untuk mengekspresikan MHC II dan ICAM -1. Hal tersebut di atas menyebabkan terjadinya inflamasi di kulit.21,22 Sensitisasi dan jalan masuk alergen Dari awal kontak dengan alergen lateks sampai timbulnya gejala klinis diperkirakan membutuhkan waktu 3 bulan - 20 tahun. Kontak dengan alergen terjadi di mukosa (mulut, vagina, uretra, rektum), dermis, parenteral yang kemudian menyebabkan gejala klinis. Masuknya alergen melalui dermis dan saluran napas, menyebabkan reaksi sistemik yang lebih ringan daripada masuknya alergen melalui mukosa dan parenteral; kematian akibat reaksi alergi sistemik yang disebabkan lateks yang tercatat oleh FDA sebagian besar karena balon pada pemeriksaan barium enema. Hubungan antara sensitisasi dan HLA didapat pada HLAOR4 dan DQ8.3,23,24,25 GEJALA KLINIS Respon klinis alergi tipe I (cepat) terjadi setelah 15 menit sampai 2 jam pasca paparan alergen, berbeda dengan alergi obat yang memerlukan waktu beberapa menit setelah terpapar. Klinis yang terjadi : 1. Kutaneus : pruritus, eritema, rash tak spesifik, urtikaria 2. Mata : konjungtivitis, angioedema 3. Hidung : rinitis 4. Bronkus : edema faring, bronkospasme, takipnoe 5. Gastrointestinal : kram perut, mual, muntah, edema usus (bowel). 6. Kardiovaskular : takikardi, hipotensi, shock, kematian Respon klinis alergi tipe IV (dermatitis kontak) terjadi 48 72 jam setelah alergen kontak dengan kulit. Kelainan kulit/ dermatitis akan menjadi kronis bila paparan kontak alergen berlangsung lama dan berangsur-angsur hilang bila kontak dihentikan. Reaksi hipersensitif ini disebabkan oleh bahan kimia aditif dan akselerator (thiuram, karbamat, amines dan benzotiazol) pada proses pembuatan sarung tangan. Yang tersering menyebabkan reaksi alergi pada petugas

Antigen lateks pada sarung tangan dapat menyebabkan reaksi alergi sistemik melalui paparan langsung pada kulit maupun penyebaran melalui udara yang diperkirakan terbawa oleh bedak/talk yang ada pada sarung tangan, menyebabkan rinitis, asma bronkial, reaksi anafilaktik.18,19,20 Getah karet diolah menjadi bahan baku lateks melalui proses: 1) Pengawetan di lapangan. Getah karet yang terkumpul di-beri amoniak (proses ini menentukan kekuatan lateks). 2) Penampungan di tangki, bertujuan untuk mendapatkan lateks yang homogen. 3) Pengendapan. Lateks diendapkan 24 jam agar terjadi gumpalan (endapan) kompleks fosfor, amoniak dan magnesium. Proses ini bertujuan untuk meminimalkan magnesium sehingga pada proses sentrifugasi tercapai stabilitas. 4) Sentrifugasi. Untuk mendapatkan endapan karet dengan kadar 61-63%. 5) Homogenisasi. Cream karet yang didapat dari sentrifugasi dicampur dalam tangki besar, terjadi homogenisasi. 6) Pengecekan ulang stabilizer dan penyimpanan. Setelah proses ini bahan lateks akan diproses lebih lanjut menjadi barang jadi lateks.1,16 PATOFISIOLOGI Klinis alergi lateks terbanyak adalah reaksi hipersensitivitas tipe I dan sebagian lagi tipe IV (disebabkan oleh zat penambah dalam pemrosesan lateks menjadi bahan jadi). Tipe I 12 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

kesehatan adalah pemakaian sarung tangan dan barang karet (seperti kateter, dll) saat melakukan tindakan dan pemeriksaan kesehatan.1,2,4,26 Reaksi silang Alergi lateks mempunyai reaksi silang secara serologis dan klinis dengan buah-buahan seperti advokat, pisang, kiwi, pepaya, kentang, tomat. Epitop antigen di karet yang bereaksi silang dengan buahbuahan dapat dilihat dalam tabel 2. 1,16,27 DIAGNOSIS Dimulai dengan anamnesis tentang paparan dan hubungannya dengan klinis, lama kerja, frekuensi pemaparan, riwayat pembedahan (riwayat reaksi alergi pada operasi sebelumnya), riwayat alergi buah-buahan, riwayat penyakit alergi, keluarga atopi. Pemeriksaan fisik sesuai dengan klinis yang timbul. Pemeriksaan tambahan patch test, skin test (prick test, intradermal test), tes provokasi (menggunakan sarung tangan, jari atau paparan inhalasi) atau IgE spesifik (RAST) 1,4,16

pada individu yang mempunyai riwayat alergi terhadap barang lateks (balon, karet gelang, kondom, dan lain-lain) atau mempunyai riwayat alergi terhadap buah-buahan.
Table 2. Hevea proteins sharing epitopes with structural homologies similar to protein from other sources Protein from Other Sources Papain (5 identical trimers and 2 identical tetramers) Endo-1,3 -glucanases (N. tabacum, tomato, potato) 47% sequence homology with P.ev b 1 Kiwi, bulkwheat and potato acidic proteins (e.g. kiwi fruit pKIWI501 protein and potato stolon tip protein) Wheat germ agglutinin, ragweed, lectins (barley, rice), class I endochitinases (avocado, banana, chestnut) (PRP3 family) Pathogenesis-related proteins (win I, win 2 in potato, CPB20 and PRP4 in tobacco; Gly m in soybean, DRP Zea mays), metalloproteinase from Bacillus subtilis Patatin (Solanaceae: potato (Sol t 1), tomato, tobacco Tree, grass and weed pollen, banana, etc. Enolase of Ricinus communis (Euphorbiaceae) and Cladosporium herbarum (Cla h 6), tomato MnSOD in Aspergillus fumigatus (Asp f 6) Chitinases/lysozymes (fig, papaya, avocado, banana, cucumber) Fig, papaya Triosephosphate isomerase in spinach, tomato, rice and Arabidosis thaliana

Allergen Hev b 1 Hev b 2 Hev b 3 Hev b 5 Hev b 6.02 Hev b 6.03

Hev b 7 Hev b (profilin) Hev b 9 (Enolase) Hev b 10 (Mn-superoxide dismutase) Hevamine (class III chitinase) Lysozyme Triosephosphate isomerase

KESIMPULAN 1) Alergi lateks akan lebih sering dijumpai di kalangan pekerja kesehatan. 2) Diagnosis alergi lateks ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan tambahan (tes prick, tes patch, IgE, dan lain-lain). 3) Atopi, lama kerja, frekuensi kontak, merupakan faktor predisposisi terjadinya alergi lateks. 4) Pencegahan berupa penghindaran kontak dengan lateks

Diagram diagnosis tersangka alergi terhadap lateks: Riwayat dan kriteria standar untuk lateks

Positif

Negatif

SPT/IgE spesifik (+) Simtomatik alergi lateks

SPT/IgE spesifik (-) Dermatitis

SPT/IgE spesifik (+) Klinis (-)

SPT /IgE spesifik (-)

Hindari lateks

Patch test

Tes provokasi (menggunakan sarung tangan, dll)

Penggunaan lateks aman

Positif : identifikasi kontak alergi Negatif : terapi sebagai iritan dermatitis

Positif : hindari lateks Negatif : pencegahan primer

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 13

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Didier E. IgE-mediated allergy from natural rubber latex. Belgium: The UCB Institute of Allergy, 2000. Slater JE.Allergy reactions to natural rubber. Ann Allerg 1992;68:203-11. Slater JE. Latex allergy. J Allerg Clin Immunol 1994;94: 139-49. Sussman GL, Beezhold DH. Allergy to latex rubber. Ann Intern Med. 1995; 122:43-6. Charous BL, Blanco C, Tarlo S et al. Natural rubber latex allergy after 12 years: Recommendations and perspectives. J Allerg Clin Immunol 2002; 109: 31-4. Garabrant DH, Schweitzer S. Epidemiology of latex sensitization and allergies in health care workers. J Allerg Clin Immunol 2002;110:S82-95. Kibby T, Akl M. Prevalence of latex sensitization in a hospital employee population. An Allerg Asthma & Immunol 1997; 78: 41-4. Tarlo SM, Sussman GL, Holness DL. Latex sensitivity in dental students and staff: a cross-sectional study. J Allerg Clin Immunol 1997; 99: 396401. Douglas R, Czarny D, Morton J, OHehir RE. Prevalence of IgEmediated allergy to latex in hospital nursing staff. Aust NZ J Med 1997;27:165-9. Vandenplas O, Delwiche JP, Evrard G et al. Prevalence of occupational asthma due to latex among hospital personnel. Am J Respir Crit Care Med 1995;151:54-60. Yassin MS, Lierl MB, Fischer TJ, OBrien K, Cross J, Steinmetz C. Latex allergy in hospital employees. Ann Allerg 1994; 72: 245-9. Ariestina HRA. Reaksi sensitisasi alergen lateks pada Kelompok Terpajan dan Tidak Terpajan serta Faktor-Faktor yang Berhubungan (Disertasi). FKUI, Jakarta 2002. Baratawidjaja KG, Sukmana N, Baratawidjaja IR, Darwis A, Jusuf L, Hendrata AP. A Study of latex hypersensitivity among latex glove factory workers. 5th West-Pacific Allergy Symposium. 7th Korea Japan Joint Allergy Symposium 1997. June 11-14;215-20. Bernardini R, November E, Lombardi E, Mezzetti P, Cianferoni A, Danti AD et al. Prevalence of and risk factors for latex sensitization in patients with spina bifida. J. Urol. 1998; 160: 1775-8. 15. Liss GM, Sussman GL, Deal K, Brown S, Cividino M, et al. Latex allergy: Epidemiological study of 1351 hospital workers. Occup Environ Med 1997; 54(S): 335-42. 16. Kurup VP, Fink JN. The Spectrum of immunologic sensitization in latex allergy. In: Johansson SGO ed. Eur J Allerg and Clin Immunol 2001; 56: 1-12. 17. Jaeger D, Kleinhans D, Czuppon AB, Baur X. Latex-specific protein causing immediate-type cutaneus, nasal, bronchial, and systemic reactions. J Allerg Clin Immunol 1992;89:759-68. 18. Tomazic VJ, Shampaine EL, Lamanna A, Withrow TJ, Adkinson NF, Hamilton RG. Cornstarch powder on latex products is an allergen carrier. J Allerg Clin Immunol 1994; 93: 751-8. 19. Tarlo SM, Sussman G, Contala 20. A, Swanson MC. Control of airborne latex by use of powder-free latex glove. J Allerg Clin Immunol 1994; 93: 985-9. 21. Beezhold D, Beck WC. Surgical glove powder bind latex antigens. Arch Surg. 1992; 127: 1354-7. 22. Roitt I, Brostoff I, Male D. Hypersensitivity type IV. In: Roitt (ed). Immunology. 4th ed. London: Mosby; 1996. pp.25.1-25.12. 23. Baratawidjaja KG. Bab VII:Reaksi hipersensitivitas. Dalam: Imunologi Dasar. ed 3. Jakarta: Penerbit FKUI 1996, 76-97. 24. Poley GE, Slater JE. Latex allergy. J Allerg Clin Immunol 2000; 105: 1054-62. 25. Nguyen DH, Burns MW, Shapiro GG, Mayo ME, Murrey M, Mitchell ME. Intra operative cardiovascular collapse secondary to latex allergy. J Urol 1991; 146: 571-4. 26. Ownby DR, Tomlanovich M, Sammons N, McCullough J. Anaphylaxis associated with latex allergy during barium enema examinations. AJR 1991; 156: 903-8. 27. Hesse A, Hintzerstern JV, Peters KP, Koch HU, Hornstein OP. Allergic and irritant reactions to rubber gloves in medical health services. J Am Acad Dermatol 1991; 25: 831-9. 28. Blanco C, Carrillo T, Castillo R, Quiralte J, Cuevas M. Latex allergy : clinical features and crossreactivity with fruits.

14.

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Perbaikan Kualitas Hidup pada Karyawan Penderita Alergi


Samsuridjal Djauzi, Teguh H. Karjadi
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Penyakit alergi sering dijumpai di masyarakat. Kekerapan penyakit ini meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup menuju pola hidup masyarakat maju. Perubahan pembangunan dari sektor pertanian ke sektor gaya hidup masyarakat termasuk penggunaan selimut, karpet di rumah serta polusi udara merupakan faktor yang dapat meningkatkan kekerapan penyakit alergi terutama penyakit alergi pernapasan. Seperti juga anggota masyarakat lain maka para karyawan berisiko untuk menderita penyakit alergi dan risiko ini dapat bertambah jika lingkungan di tempat kerja memudahkan paparan terhadap berbagai alergen dan iritan. Di lain pihak penyakit alergi menurunkan produktivitas kerja. Di Amerika Serikat rinitis alergik misalnya mengakibatkan kehilangan 811.000 hari kerja setiap tahun. Karyawan penderita alergi yang masuk kerja produktivitasnya menurun akibat gejala penyakit maupun pengaruh efek samping terapi. Mereka mengeluh mudah lelah, sulit berkonsentrasi dan sakit kepala.1 Di lain pihak penderita alergi sudah sewajarnya tetap diberi kesempatan bekerja. Dokter perusahaan dapat mengupayakan meningkatkan kualitas hidup pekerja yang menderita alergi melalui penyuluhan, penatalaksanaan penyakit alergi yang baik serta menghindari paparan terhadap bahan yang menimbulkan alergi. PEMAHAMAN KUALITAS HIDUP Dewasa ini penatalaksanaan penyakit sudah mempertimbangkan peningkatan kualitas hidup penderita. Kualitas hidup merupakan konsep mengenai karakter fisik maupun psikologis dalam konteks sosial. Rinitis alergik misalnya tidak hanya dianggap merupakan penyakit yang menimbulkan berbagai gejala seperti bersin, rinorea, hidung tersumbat tetapi juga mempertimbangkan pengaruh penyakit ini terhadap kehidupan sosial penderita. Penderita juga mengalami gangguan tidur, masalah emosional, penurunan aktivitas dan fungsi sosial penderita. Untuk mengukur kualitas hidup telah dikembangkan berbagai kuesioner. Kuesioner generik yang mengukur fungsi fisik

dan psikologis pada umumnya tanpa memperhatikan penyakit yang diderita. Sedangkan kuesioner lain dikaitkan dengan penyakit yang diderita (disease specific questionnaire). Di samping itu tersedia kuesioner yang lebih rinci yang mengukur kualitas hidup kelompok tertentu misalnya Adolescent Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire untuk kelompok umur 12 sampai 17 tahun.2 Tolak ukur menilai kualitas hidup penderita penyakit alergi saluran napas, antara lain : 1. Kuesioner skor gejala kualitas hidup rinokonjunktivitis menyeluruh (Overall Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire System Score). 2. Kuesioner gangguan aktivitas dan produktivitas kerja spesifik alergi. Bousquet menunjukkan pada beberapa keadaan kualitas hidup penderita rinitis alergi lebih buruk daripada penderita asma (tabel 1).
Tabel 1. Kualitas Hidup Penderita Rinitis Alergi dan Asma.3 Asma Fungsi fisik Fungsi sosial Peran (fisik) Peran (sosial) Kejiwaan Lelah Nyeri Persepsi umum 80 84 66 70 66 59 74 57 Rinitis 89 73 61 64 65 55 77 62

Pengukuran kualitas hidup dapat digunakan untuk menilai manfaat terapi dalam uji klinik. DIAGNOSIS DAN PILIHAN TERAPI Untuk meningkatkan kepedulian karyawan terhadap penyakit alergi perlu dilakukan penyuluhan kesehatan. Cukup banyak karyawan penderita rinitis alergi menyangka terkena influenza atau infeksi saluran napas. Begitu pula penyakit asma

Dibacakan pada Simposium Occupational Diseases, Allergy Clinical Immunology, Millennium Sirih Hotel, Jakarta, 22-23 Februari 2003

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 15

-2 -4 -6 -8

Mean Change from Baseline

sehingga sering diabaikan dan cukup banyak kasus yang tak dapat didiagnosis dengan baik. Kemampuan dokter perusahaan dalam mendiagnosis penyakit alergi juga perlu ditingkatkan. Pilihan terapi dalam penyakit alergi dewasa ini dimudahkan dengan terbitnya berbagai panduan seperti panduan GINA dan Canada.4,5 Antihistamin non sedatif dapat mengurangi gangguan aktivitas kerja.6

** **
Work Impairment

A. Activity Impairment 50 45 40

-10 -12

*
Activity Impairment

**

Classroom Impairment

Plasebo

120 mg

180 mg

P e

35 Gambar 2. 30 25 20 Baseline Placebo + Week 1 Week 2 60 mg fexofenadine bid Change from baseline at end study in overall work, activity, and classroom impairment.* P004 versus placebo and** P001 versus placebo

Namun panduan tersebut tidak dapat sepenuhnya diterapkan pada perusahaan yang mempunyai sumber dana terbatas. Sebagian besar o bat yang dianjurkan masih merupakan obat yang mahal dan tak terjangkau oleh dana perusahaan. Dalam menilai cost effectiveness suatu terapi perlu dikembangkan pemahaman mengenai biaya langsung dan tidak langsung.7

Table 2. SF-36 scores : Median (Quartile 1 Quartile 3).8 Baseline Physical functioning (PF) Cetirizine Placebo p Value Role physical (RP) Cetirizine Placebo p Value Bodily pain (BP) Cetirizine Placebo p Value General health (GH) Cetirizine Placebo p Value Vitality (VT) Cetirizine Placebo p Value Social functioning (SF) Cetirizine Placebo p Value Role emotional (RE) Cetirizine Placebo p Value Mental health (MH) Cetirizine Placebo p Value 87,5 (72,597,5) 87,5 (72,597,5) NS 50,0 (25,075,0) 50,0 ( 0,075,0) NS 62,0 (41,0100,0) 62,0 (41,0 92,0) NS 47,0 (32,062,0) 52,0 (35,067,0) NS 50,0 (40,065,0) 50,0 (40,065,0) NS 62,5 (50,075,0) 62,6 (50,075,0) NS 66,67 (33,33100,0) 66,67 (33,33100,0) NS 60,0 (44,076,0) 60,0 (52,072,0) NS Week I 95,0 (85,0100,0) 92,5 (75,0100,0) NS 100,0 (75,0100,0) 50,0 (25,0100,0) 0,0001 77,0 (62,0100,0) 64,0 (25,0100,0) 0,0001 57,0 (47,072,0) 52,0 (35,072,0) NS 65,0 (50,075,0) 50,0 (40,070,0) 0,0001 75,0 (62,5100,0) 75,0 (50,0 87,5) 0,0014 100,0 (66,67100,0) 66,67(33,33100,0) 0,0014 68,0 (60,080,0) 60,0 (52,076,0) 0,0015 Week 6 95,0 (90,0100,0) 90,0 (72,597,6) 0,0007 100,0 (75,0100,0) 50,0 (25,0100,0) 0,0001 84,0 (74,0100,0) 62,0 (51,0100,0) 0,0001 67,0 (52,077,0) 52,0 (37,067,0) 0,0001 70,0 (55,080,0) 50,0 (33,370,0) 0,0001 87,5 (75,0100,0) 62,5 (37,587,5) 0,0001 100,0 (100,0100,0) 66,67(33,33100,0) 0,001 76,0 (64,088,0) 60,0 (48,072,0) 0,001

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

30 Improvement (in units of score)

Cetirizine : week1-baseline Placebo : week 1-baseline Cetirizine : week 6-baseline Placebo : week 6-baseline

20

10

-10
Physical functioning Bodily pain Vitality Role emotional Role physical General health Social functioning Mental health Gambar 3. Perbaikan kualitas hidup pada penggunaan antihistamin generasi baru.

Manfaat perbaikan kualitas hidup antihistamin baru menggunakan instrumen skor SF-36 dapat dilihat pada tabel 2.8 Penggunaan antihistamin generasi baru ternyata selain memperbaiki gangguan kerja, juga aktivitas sehari-hari dan sekolah seperti terlihat pada gambar 2. Dengan demikian program pelatihan karyawan dapat memberikan hasil yang diinginkan.9 Secara keseluruhan perbaikan kualitas hidup penggunaan antihistamin generasi baru dapat dilihat pada gambar 3.8 Terlihat adanya perbaikan kualitas hidup dari semua pasien yang diobati dengan cetirizin dibandingkan dengan plasebo.

1. Tungau debu rumah (mites) : Dermatophagoides pteronyssinus ( Der p) Dermatophagoides farinae.(Der f) Lepidoglyphus maynei (Lep d) Blomia tropicalis ( Blo t) Tungau debu rumah ini dapat merupakan faktor pencetus serangan rinitis dan Asma. 2. Bulu Binatang : kucing anjing, kuda, sapi kelinci 3. Jamur : Candida albicans Saccharomyces cerevisiae Pityrosporum : kecoa diptera : Ficus benjamina (Java willow).

PERAN LINGKUNGAN KERJA Di lingkungan kerja dapat dijumpai berbagai alergen dan faktor pencetus penyakit alergi. Alergen hirup misalnya dapat dilihat pada tabel 3. Menghindari alergen merupakan dasar pencegahan penyakit alergi namun sulit dilakukan sehingga perannya dalam terapi menjadi kurang berarti.1 Langkah-langkah meningkatkan kualitas hidup karyawan penderita alergi dapat disusun sebagai berikut : 1) Membuat desain ruangan kerja dengan risiko paparan terhadap alergen dan polutan kurang 2) Menyeleksi calon karyawan dan menempatkannya dalam lingkungan kerja yang paparan alergen dan polutannya kurang 3) Penyuluhan kesehatan pada karyawan 4) Diagnosis penyakit alergi 5) Pilihan terapi yang mempertimbangkan kualitas hidup karyawan 6) Melakukan modifikasi lingkungan kerja, jika perlu memindahkan karyawan.
Tabel 3. Berbagai macam alergen dan polutan1

4. Serangga 5. Inhalan lain

6. Alergen Makanan 7. Alergen Okupasional 8. Lateks 9. Polutan : polutan udara di luar rumah polutan di dalam rumah polutan kendaraan asap rokok.

10. Obat

Dengan demikian dokter perusahaan dapat meningkatkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 17

kualitas hidup karyawan penderita alergi sehingga sumber daya manusia di perusahaan dapat dimanfaatkan dengan baik. Untuk melaksanakan hal tersebut perlu dipertimbangkan keadaan setempat.

4. 5. 6.

KEPUSTAKAAN 1. 2. Bousquet J, Cauwenberge P, Khaltaev N. Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma. J Allerg Clin Immunol 2001;108: S147-336. Meltzer EO, Casale TB, Nathan RA, Thompson AK. Once-daily fexofenadine HCL improves quality of life and reduces work and activity impairment in patients with seasonal allergic rhinitis. Ann Allerg Asthma Immunol 1999; 83:311-7. Passalacqua G, Bousquet J, Bachert C, et al. The clinical safety of H1 receptor antagonists. An EAACI position paper. Allergy 1996; 51:666-75. 7. 8.

3.

9.

Global Strategy for Asthma Management and Prevention, National Institute of Health, National Lung Heart and Blood Institute, Bethesda 2002 (Revised). Boulet LP. Canadian Asthma Consensus Report. CMAJ, 1999;161(11 suppl): S1-61. Tanner LA, Reilly M, Meltzer EO, Bradford JE, Mason J. Effect of fexofenadine HCl on quality of life and work, classroom, and daily activity impairment in patients with seasonal allergic rhinitis. Am. J. Managed Care 1999; 5(4): S235-47. Lim TK., Asthma Management : Evidence Based Studies and Their Implication for Cost-Efficacy. Asia Pacific J. Allerg. and Immunol. 1999; 17: 195-202. Bousquet J, Duchateu J, Pignat JC et al. Improvement of quality of life by treatment with cetirizine in patients with perennial allergic rhinitis as determined by a French version of the SF-36 questionnaire. J Allerg. Clin Immunol 1996; 98: 309-16. Hindmarch, Shamsi Z. Antihistamines: models to assess sedative properties, assessment of sedation, safety and other side-effects. Clin. and Experimental Allerg. 1999; 29(Suppl.3): 133-42.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Peranan Antihistamin pada Inflamasi Alergi


Iris Rengganis
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Inflamasi merupakan proses yang vital untuk semua organisme dan berperan baik dalam mempertahankan kesehatan maupun dalam terjadinya berbagai penyakit. Biasanya inflamasi berupa respons protektif tubuh terhadap trauma atau invasi mikroba yang berbahaya melalui jalan klasik dengan gejala sakit (dolor), panas (calor), merah (rubor), bengkak (tumor) dan hilangnya fungsi (functio laesa). Secara mikroskopis, inflamasi menunjukkan gambaran yang kompleks seperti dilatasi arteriol, kapiler dan venul; peningkatan permeabilitas dan arus darah; eksudasi cairan, termasuk protein plasma; migrasi leukosit ke fokus inflamasi. Akumulasi leukosit yang disusul dengan aktivasi sel merupakan kejadian sentral dalam patogenesis hampir semua inflamasi. Bila reaksi inflamasi tidak terjadi, pejamu akan menjadi imunokompromais. Sekarang kita sudah mengetahui inflamasi pada tingkat molekuler dan seluler. Bentuk inflamasi akut dan kronis terbanyak ditimbulkan oleh pengerahan komponen humoral dan seluler dari sistem imun. Eliminasi bahan asing secara imunologis terjadi dalam berbagai tahap yang terintegrasi1-6. INFLAMASI ALERGI Proses alergi adalah kompleks, dimulai dengan pajanan alergen-alergen yang ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC). Sel dendritik di saluran napas dan sel langerhans di kulit, masing-masing berperan sebagai APC pada asma dan dermatitis atopi. Setelah alergen ditangkap, lalu alergen dipecah menjadi peptida-peptida kecil, dalam APC peptida diikat molekul HLA (MHC II) menjadi kompleks peptida-HLA, kemudian dibawa ke permukaan APC dan dipresentasikan ke sel Th2 CD4+ yang MHC II dependen. Th2 diaktifkan dan memproduksi sitokin. Sementara epitel (endotel) mengekspresikan molekul adhesi dan menimbulkan infiltrasi sel darah putih terutama eosinofil yang melepas mediator dan sitokin yang menimbulkan gejala alergi dan kerusakan jaringan. Dalam jaringan sel-sel inflamasi dan sel residen melepas mediator dan terjadi interaksi yang kompleks sehingga menimbulkan reaksi alergi kronis. Bila kulit, hidung atau saluran napas subjek atopi
Dibacakan pada acara Simposium Allergy dan Clinical Immunology Update, Hotel Marcopolo, Lampung, 12-13 April 2003

dirangsang dengan alergen, dalam beberapa menit akan terjadi fase cepat reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan Coombs berupa kemerahan dan bentol di kulit, gejala bersin, hidung berair dan atau mengi. Respons inflamasi alergi kulit, di mukosa saluran napas atas dan bawah adalah sama, meskipun respons organ sasarannya berbeda. Di tiga tempat tersebut, terjadi degranulasi sel mast dan aktivasi sel T dengan profil sitokin Th2, aktivasi sel epitel dan sel endotel, pengerahan leukosit ke jaringan terutama eosinofil. Fase cepat dapat diikuti oleh fase lambat yang puncaknya terjadi antara 6-8 jam dan kemudian menghilang secara perlahan. Di kulit fase lambat ditandai dengan edema, merah dan indurasi yang menimbulkan bengkak, di hidung berupa obstruksi dan di paru mengi yang menetap.1-6 Minimal Persistent Inflammation (MPI) Inflamasi sudah ditemukan pada subjek alergi tanpa gejala. Asma dan rinitis dalam masa laten harus dianggap sebagai penyakit inflamasi kronis. Mengapa konsep tersebut penting ? Sel eosinofil dan ekspresi ICAM-1 yang merupakan petanda penting pada alergi, selalu ditemukan di epitel konjungtiva, nasal penderita rinitis alergi dan di epitel bronkus, cairan bilas bronkus pada pasien asma yang alergi terhadap tungau debu rumah dan alergen lainnya meskipun sedang tidak menunjukkan gejala. Fenomena tersebut menetap selama ada pajanan dengan tungau debu rumah/alergen lainnya dan disebut Minimal Persistent Inflammation (MPI). MPI dapat menerangkan sebagian sebab hipereaktivitas non-spesifik pada subjek alergi dan kronisitas penyakit alergi. Penyakit rinitis alergi, asma, dermatitis atopi, urtikaria kronis idiopatik merupakan penyakit kronis yang dapat menimbulkan berbagai gangguan pada tidur, konsentrasi belajar di sekolah, pekerjaan, kegiatan fisik, rekreasi, sosial, bahkan karier, sehingga bila gangguan terjadi kronis seiring dengan perjalanan penyakit, akan menurunkan pula kualitas hidup. Atas dasar adanya hubungan antara derajat inflamasi dengan derajat berat penyakit, telah pula dipikirkan strategi untuk menggunakan MPI dengan menekan ekspresi ICAM-1 dan influks eosinofil sebagai sasaran terapi farmakoCermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 19

logis. Proses inflamasi hendaknya diobati sebelum pasien menunjukkan gejala. MPI yang dihambat akan mengurangi gejala dan derajat berat penyakit yang secara tidak langsung akan meningkatkan kualitas hidup. Di negara maju, sudah banyak dianjurkan untuk tidak hanya menggunakan gejala klinis saja, tetapi juga kualitas hidup sebagai parameter dalam terapi7-16. HAMBATAN EKSPRESI ICAM-1 A. Cetirizin Cetirizin menghambat influks sel inflamasi eosinofil dan ekspresi ICAM-1 di hidung, konjungtiva dan bronkus yang ditimbulkan alergen melalui uji nasal, konjungtiva dan bronkus.17 B. Terfenadin Terfenadin menghambat infiltrasi sel proinflamasi terutama eosinofil dan ekspresi ICAM-1 di epitel nasal pada pasien dengan rinitis alergi.17 C. Fexofenadin Fexofenadin menurunkan ekspresi ICAM-1 pada cell line epitel konjungtiva dan fibroblas manusia yang lebih bermakna dibanding terfenadin. Fexofenadin juga menghambat kemotaksis dan adherens eosinofil pada biakan endotel vena umbilikalis manusia dan penglepasan ECP dari eosinofil.18 Hambatan terhadap asma Penelitian dengan cara single-blind, placebo-controlled study dilakukan untuk menilai efek astemizol, bromfeniramin, cetirizin, klorfeniramin, clemastin, siproheptadin dan terfenadin versus plasebo terhadap provokasi dengan histamin dan metakolin. Dosis yang diberikan adalah dosis yang dianjurkan pabrik, sebagai dosis tunggal, 2-4 jam sebelum uji provokasi. Dibandingkan dosis histamin/metakolin yang diperlukan untuk menimbulkan penurunan 20% FEV1 (PC20FEV1) dengan plasebo. Dalam studi ini semua antihistamin menghambat efek bronkokonstriksi histamin dan tidak ditemukan antihistamin yang menghambat efek bronkokonstriksi metakolin.17 PERAN CETIRIZIN PADA INFLAMASI DAN KUALITAS HIDUP Kualitas hidup telah diteliti pada berbagai penyakit yang ternyata menurun bermakna pada penyakit alergi seperti rinokonjungtivitis dan asma19. Pasien menunjukkan adanya gangguan tidur, aktivitas dan stres, penurunan fungsi fisik maupun mental yang mengakibatkan gangguan vitalitas serta persepsi kesehatan secara umum. Pemberian cetirizin kepada pasien dengan rinitis alergi tidak hanya mengurangi gejala, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup20. Molekul adhesi ICAM-1 diekspresikan di sel epitel dalam beberapa menit setelah reaksi alergi terjadi dan berperan dalam migrasi sel inflamasi seperti eosinofil. ICAM-1 dan eosinofil adalah petanda spesifik inflamasi alergi. Berbagai studi menunjukkan bahwa cetirizin dapat menghambat ekspresi ICAM1 dan influks eosinofil baik in vitro maupun in vivo21,22. Cetirizin menghambat kemotaksis eosinofil dan ekspresi adhesi eosinofil dalam biakan sel endotel in vitro. Efek cetirizin telah diteliti dengan double blind, randomized study terhadap respons cepat dan lambat kulit dari alergen/pollen dan plasebo 20 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

pada pasien dengan rinitis alergi pollen. Tes kulit dilakukan sebelum pemberian cetirizin dan 3 hari setelah pemberian cetirizin 20 mg atau plasebo. Pada pasien yang mendapat cetirizin ditemukan penurunan ekspresi ICAM-1 dan infiltrasi sel inflamasi17. Cetirizin juga menurunkan influks sel inflamasi eosinofil dan ekspresi ICAM-1 di epitel hidung, konjungtiva dan bronkus pasien alergi yang diuji dengan alergen. Pemberian cetirizin 2x15 mg menurunkan jumlah eosinofil dalam cairan bilas bronkus pasien asma yang bermakna dibanding dengan plasebo. Pemberian cetirizin (2x10-15mg/hari) kepada subjek asma alergi pollen yang ringan selama 4 hari menunjukkan perbaikan asmanya. Beberapa studi menunjukkan adanya efek proteksi dari cetirizin terhadap fase cepat dan fase lambat asma. Pemberian cetirizin 2x15 mg/hari menunjukkan lebih banyak perbaikan FEV1 dibanding dengan plasebo23. KESIMPULAN 1. Reaksi alergi bukanlah fenomena yang sementara, tetapi merupakan proses inflamasi yang kompleks dan kronis. 2. Meskipun tidak menunjukkan gejala selama terpajan dengan alergen, subyek alergi selalu menunjukkan MPI yang dapat berperan dalam hipereaktivitas dan kronisitas. 3. Penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma, dermatitis atopi, urtikaria kronis idiopatik merupakan penyakit kronis yang dapat menimbulkan gangguan tidur, belajar, kegiatan fisik, rekreasi, sosial dan karier, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup. 4. Dianjurkan agar kualitas hidup dapat digunakan sebagai parameter dalam terapi penyakit alergi di samping gejala klinis. 5. Terapi optimal penyakit alergi hendaknya dapat memodulasi fenomena inflamasi dan mengontrol MPI agar gejala dapat ditekan dan dicegah. 6. Pemberian cetirizin kepada penderita alergi dapat mengurangi ekspresi ICAM-1 dan menghambat kemotaksis eosinofil, mengurangi gejala serta meningkatkan kualitas hidup.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Cotran, RS. Inflammation: Historical Perspective. Dalam: Gallin JI, Snyderman R (eds). Inflammation. Lippincot Williams & Wilkins. Ed.3. Philadelphia. 1999; 5-12. Fireman P. The Mechanisms of Allergic Inflammmation. The Allergy and Asthma Report. AAAAI March 1999. Kay AB. Allergic Inflammation Under the Microscope. 2nd International Symposium on Allergy Management.. Cannes, France. 9th December 2000. Johansson SGO. Milestones in Understanding Allergy and Its Diagnosis. 2nd International Symposium on Allergy Management. Cannes, France .9th December 2000. Blumenthal M. The Gene Behind the Disease. The Allergy and Asthma Report. AAAAI, March 1999. Howarth P. Allergic Inflammation in Airways Disease: Challenges for New Century. Allergic Inflammation in Y2K. ICACI 2000, October 16, 2000, Sydney. Calderon E, Lockey RF. A Possible Role for Adhesion Molecules in Asthma. J Allerg Clin Immunol 1992; 90: 852-65. Gundel RH, Wegner CD, Torcellini CA, Letts RG. The Role of Intercellular Adhesion Molecule 1 in Chronic Inflammation. Clin Exp Allergy 1992; 22: 569-78.

9.

10. 11. 12. 13. 14. 15.

Woolcock J. The Burden of Asthma. XII International Congress of Allergology and Clinical Immunology in conjunction with the Asian Pacific Association of Allergology and Clinical Immunlogy and the West Pacific Allergy Symposium. Sydney 15-20 October 2000. Pariente PD, LePen C, Los F, Bousquet J. Quality of Life Outcomes and the Use of Antihistamines in a French National Population Based Sample of Patients with Perennial Rhinitis. Pharmacoeconomics 1997; 12:585-95. Meltzer EO. Does Rhinitis Compromise Night-time Sleep and Daytime Productivity? Symposium on Quality of Life in Allergic Rhinitis. EAACI Meeting, Lisbon, July 2, 2000. Settipane RA. Complications of Allergic Rhinitis. Allergy and Asthma Proc. 1999 ; 209-13. Sheffer AL. Conclusion and Recommendation for the Future Assesment Relating to Asthma Fatalities. Dalam: Sheffer AL (ed). Fatal Asthma. Marcel Dekker, Inc. New York 1996 ; 537-40. Pawankar R. Allergy A Systemic Disease Affecting Quality of Life. 2nd Malaysian Congess of Allergy and Immunology. Jan. 19-22, 2001. Kuala Lumpur. Busquet J, Bullinger M, Fayoi C et al. Assessment of Quality of Life in Patients with Perennial Allergic Rhinitis with the French version of the

16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.

SF-36 Health Status Questionnaires. J Allergy Clin Immunol 1994; 94: 182-8. Vignola AM, Chanez P, Campbell AM et al. Airway Inflammation in Mild Intermittent and in Persistent Asthma. Am J Respir Crit Care Med 1998; 157 : 403-9. Malick A,Grant JA. Antihistamines in the Treatment of Asthma.Allergy 1997; 52 : (S340) 55-66. Simon E. Are the anti-allergic properties of H1 of any clinical relevance ? New controversies in allergy. Symposium 18th Congress of the European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI98). Bousguet J. Symposium Quality of Life in Allergic Rhinitis.EAACI Meeting, Lisbon, July 2, 2000. Bachert C. Symposium Quality of Life in Allergic Rhinitis. EAACI Meeting Lisbon, July 2, 2000. Walsh GM. The Clinical Relevance of the Anti-inflammatory Properties of Antihistamines. Allergy 2000; 55 : 53-61. Bagnasco M, Canonica GW. Influence of H1-receptor Antagonist on Adhesion Molecules and Cellular Traffic. Allergy 1995; 50 : 17- 23 Meltzer EO.The Use of Anti-H1 Drugs in Mild Asthma. Allergy 1995; 24: 41-7.

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 21

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

United Airway Disease apakah itu ?


Heru Sundaru
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Berkembangnya ilmu kedokteran membuat para dokter mengambil spesialisasi, bahkan super spesialisasi. Hal ini mungkin bermanfaat pada penyakit-penyakit yang jarang atau sulit tetapi pada penyakit-penyakit yang sering seperti asma dan rinitis tidak selalu tepat. Rinitis alergik dan asma sering dikelompokkan sebagai penyakit saluran napas bagian atas dan bagian bawah, meskipun pada kenyataannya kedua penyakit tersebut sering terdapat pada penderita yang sama; penatalaksanaannya sering dilakukan oleh dua spesialis yang berbeda. Seorang spesialis paru atau penyakit dalam yang menangani asma sering terfokus pada gejala sesak pasien dan sangat sedikit menaruh perhatian kepada saluran napas bagian atas atau bahkan saluran cerna. Demikian pula sebaliknya ahli THT terfokus kepada hidung atau sinus, tanpa pernah menanyakan keluhan asmanya; padahal dalam praktek sangat banyak kaitan antara saluran napas bagian atas dan bawah atau lebih spesifik lagi kaitan rinitis dan asma. Kalau dicermati dalam praktek sering didapatkan (a) asma bersama-sama rinitis (b) infeksi virus saluran napas bagian atas mendahului eksaserbasi asma (c) rinitis sebagai faktor risiko untuk asma dan (d) infeksi sinusitis paranasal berkaitan dengan asma; terutama pada pasien anak. Begitu eratnya hubungan asma dan rinitis sehingga ada peneliti yang menyatakan keduanya merupakan kesatuan penyakit yang disebut rinobronkitis1 atau United Airway Disease.2 Kenyataan di atas mendukung konsep bahwa alergi sebenarnya bukan merupakan penyakit satu organ sasaran, melainkan kelainan yang melibatkan banyak organ. Tidak salah kalau dikatakan alergi merupakan penyakit sistemik.3 Asma bronkial dan rinitis alergik, termasuk dalam golongan penyakit atopi. Sebagai penyakit atopi keduanya sering dijumpai pada seorang penderita. Penjelasan mengapa bisa terjadi bersama-sama, belum sepenuhnya terungkap. Faktanya kejadian rinitis lebih sering dijumpai dibanding asma; tetapi bila hal tersebut terjadi pada seorang penderita, pengobatan lebih sering ditujukan pada keluhan asmanya dan mengabaikan
Dibacakan pada acara Seminar Sehari United Airway Disease, Hotel Acacia,10 Mei 2003.

gejala rinitisnya. Hal ini sebenarnya kurang menguntungkan, karena pengobatan rinitis tidak jarang memperbaiki asmanya. Makalah ini akan membahas hubungan asma dan rinitis, ditinjau dari hubungan anatomi fisiologi, epidemiologi, reaktivitas saluran napas, serta pengaruh obat anti rinitis terhadap asma, serta mekanismenya. ANATOMI DAN FISIOLOGI Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian, sebagai penghantar dan pertukaran udara. Meskipun dari hidung sampai ke alveoli anatomisnya berbeda, tetapi fungsinya merupakan suatu kesatuan. Sebagai saluran napas terdepan, hidung berfungsi (1) menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara (2) sebagai organ penciuman dan (3) konservasi uap air dan panas terhadap udara lingkungan. Fungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara ini pada dasarnya untuk melindungi saluran napas bagian bawah terhadap pengaruh udara dingin, kering maupun udara kotor karena polusi. Bila hidung tidak berfungsi karena sesuatu hal, maka saluran napas bagian bawah akan terkena dampaknya. Rongga hidung dapat digambarkan sebagai ruangan kaku yang tepinya dibatasi oleh tulang-tulang wajah dan perubahan saluran napasnya disebabkan oleh perubahan ketebalan jaringan mukosa; hal ini karena jaringan mukosa hidung banyak mengandung pembuluh darah yang membentuk sinusoid-sinusoid. Pembuluh darah ini dipengaruhi oleh sistem saraf di sekitar rongga hidung sehingga mudah melebar dan menyempit. Sebaliknya bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai cincin kartilago yang tidak lengkap, yang kemudian dilengkapi oleh otot polos. Makin ke distal kartilago ini makin kecil, akhirnya hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan mempengaruhi diameter saluran napas. Obstruksi saluran napas dapat terjadi karena : (1) vasodilatasi, (2) edema jaringan, (3) sumbat mukus, (4) kontraksi otot polos. Pada rinitis peranan vasodilatasi sangat menonjol. Hal ini terbukti bila diberi obat golongan alfa adrenergik, obstruksi hidung akan segera berkurang atau hilang dan hal ini

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada asma, yang bronkusnya mengandung otot polos berespons sangat baik terhadap agonis beta 2. Meskipun obstruksi hidung sangat mengganggu, tetapi tidak mengancam jiwa penderita, karena ia masih dapat bernapas melalui mulut. Sebaliknya obstruksi total bronkus akan menyebabkan kolaps paru dan shunting aliran darah dari jantung kanan ke kiri. Rongga hidung mempunyai andil 50% pada resistensi saluran napas dan hal ini berarti penting pada fungsi alveoli. Bernapas melalui mulut atau trakeostomi dapat menyebabkan kolaps alveoli dan shunting aliran darah dari jantung kanan ke kiri. Hilangnya peranan humidifikasi akan menimbulkan masalah, terutama bila udara yang dihirup dingin dan kering, karena akan mengeringkan sekret dan menyebabkan spasme bronkus di saluran napas bagian bawah. Untuk mengatasi hal tersebut, produksi sekret akan bertambah, yang selanjutnya akan meningkatkan gejala penyakit paru. Oleh karena itu salah satu tujuan pengobatan adalah mengembalikan fungsi hidung untuk melindungi saluran napas bagian bawah. Terdapat persamaan dan perbedaan antara hidung dan bronkus. Perbedaan yang menonjol adalah (1) hidung mengandung sinusoid-sinusoid yang sangat berperan pada obstruksi hidung, sementara vasodilatasi kurang berperan pada asma (2) sekret hidung mudah dikeluarkan sedangkan pada asma dapat menyumbat (3) otot-otot polos dijumpai pada bronkus, tidak pada saluran hidung. Agaknya istilah the nose consists of two congested bronchi without smooth muscles ada benarnya.4 Dalam beberapa hal terdapat kesamaan rinitis dan asma, keduanya didasari oleh reaksi inflamasi.5 EPIDEMIOLOGI Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa asma dan rinitis sering terdapat bersama-sama. Gejala-gejala hidung dilaporkan pada 28 - 78% penderita asma dibandingkan yang hanya 20% pada masyarakat luas. Demikian pula rinitis alergik dapat dijumpai pada 19 - 38% penderita asma, jauh lebih tinggi dibandingkan hanya 3-5% di masyarakat.6-7 Dari suatu survei yang melibatkan 6563 penduduk, diagnosis rinitis alergik atau asma yang baru, didapatkan 2 sampai 4 kali lebih tinggi pada penduduk yang mempunyai salah satu dari kedua penyakit tadi dibanding penduduk yang riwayatnya tidak mempunyai kedua penyakit tadi.8 Settipane dkk9 meneliti 690 mahasiswa yang tidak menderita asma, diikuti selama 23 tahun. Mereka yang pada tahun 1961 mempunyai gejala hidung, menderita asma 3 kali lebih sering (10,5%) dibanding tanpa rinitis (3,6%) (tabel 1).
Tabel 1. Rinitis alergik sebagai faktor risiko timbulnya asma baru : 23 tahun pemantauan.9 Diagnosis sewaktu mahasiswa Rinitis alergik musiman dan bukan musiman Bukan rinitis alergik Total Total risiko 162 528 690 Asma baru 17 19 36 % 10.5 3.6 5.2 Nilai P < 0.002

Hipereaktivitas saluran napas Hipereaktivitas saluran napas erat kaitannya dengan asma bronkial, dan merupakan salah satu kriteria diagnosis.10 Manifestasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi setelah terpajan udara dingin, bau menyengat, debu, asap, atau uap di udara. Di laboratorium hipereaktivitas dapat diukur melalui uji provokasi bronkus dengan metakolin, histamin atau kegiatan jasmani. Umumnya terdapat hubungan antara derajat hipereaktivitas dengan derajat beratnya asma. Banyak penelitian melaporkan bahwa pasien-pasien dengan rinitis alergik tanpa disertai asma secara klinis sering menunjukkan hipereaktivitas bronkus. Prevalensinya berbedabeda tergantung metode dan definisi reaktivitas yang dipakai. Diperkirakan 11% sampai 32% penderita rinitis menunjukkan hipereaktivitas bronkus dalam derajat lebih ringan dibanding penderita asma dengan inhalasi zat-zat seperti histamin, metakolin atau karbakol.11-12 Di antara penderita rinitis alergik musiman tanpa asma terjadi kenaikan reaktivitas bronkus selama musim tepung sari (pollen). Madonni dkk11 melaporkan kenaikan insiden hipereaktivitas bronkus pada penderita rinitis alergik musiman sebelum dan selama musim tepung sari dari 11% menjadi 48%. Juga dilaporkan bahwa penderita rinitis alergik perennial mempunyai derajat reaktivitas yang lebih tinggi dibanding rinitis alergik musiman.13 Meskipun ada peneliti yang menyatakan reaktivitas bronkus dalam derajat asma pada penderita rinitis merupakan faktor resiko untuk asma (PC20 metakolin < 8 mg/ml)13, penelitian lain menemukan bahwa hipereaktivitas bronkus pada penderita rinitis tidak bermanfaat dalam meramalkan penderita rinitis untuk berkembang menjadi asma.14 Sampai sekarang masih sulit menentukan apakah rinitis merupakan manifestasi pertama dari alergi pernapasan yang kebetulan mempunyai asma atau mempunyai peranan langsung sebagai penyebab asma. Masalah ini memerlukan penelitian epidemiologi jangka panjang pada penderita dengan rinitis alergik, termasuk penilaian reaktivitas bronkus. Data penelitian laboratorium maupun hasil terapi akan sangat membantu.15 EFEK TERAPI RINITIS TERHADAP ASMA Dalam menilai hubungan asma dan rinitis, efek terapi secara tidak langsung memperkuat dugaan tersebut. Dua macam obat yang sering dipakai pada pengobatan rinitis alergik yaitu kortikosteroid aerosol intranasal dan antihistamin. Kortikosteroid aerosol intranasal Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai keefektifan kortikosteroid intranasal pada penderita rinitis alergik musiman dan perenial. Corren dkk16 melakukan penelitian pengaruh beklometason intranasal pada penderita rinitis alergik musiman yang mempunyai asma. Reaktivitas bronkus meningkat selama musim tepung sari pada penderita yang mendapat plasebo tetapi tidak meningkat pada penderita yang mendapat terapi kortikosteroid. Karena penderita yang diselidiki terlalu sedikit, tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam hal gejala asma, nilai arus puncak ekspirasi maupun nilai-nilai spirometri. Namun demikian paling tidak dapat disimpulkan bahwa terapi profilaksis kortikosteroid intranasal dapat mencegah peningkatan reaktivitas bronkus selama musim tepung Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 23

* Tidak ada riwayat asma saat ini atau sebelumnya

sari pada penderita rinitis yang disertai asma. Herrikson dkk17 serta Watson dkk18 melakukan penelitian pada penderita rinitis perenial yang juga mempunyai asma. Setelah 4 minggu memakai budesonide intranasal terjadi perbaikan obstruksi hidung, pernapasan mulut berkurang dibanding dengan kontrol. Perbaikan fungsi hidung ini juga menurunkan gejala asma serta kejadian asma akibat kegiatan jasmani.20 Menurut Watson dkk18 perbaikan asma ini mungkin berhubungan dengan perbaikan fungsi hidung dan bukan efek langsung pada saluran napas bagian bawah. Kedua penelitian di atas juga didukung oleh Wood dan Eggleston19 bahwa triamsinolon intranasal juga menurunkan reaktivitas saluran napas bagian atas dan bawah terhadap pemajanan dengan alergen bulu kucing. Antihistamin Histamin merupakan salah satu mediator yang penting pada asma alergik. Sebagai antagonis reseptor H1, antihistamin mempunyai pengaruh pada fungsi paru. Penelitian menunjukkan bahwa obat ini dapat memperbaiki gejala dan fungsi paru pada asma. Oleh karena itu, tidak seperti pada kortikosteroid intranasal, perbaikan yang didapat karena antihistamin pada asma tidak hanya disebabkan perbaikan saluran napas bagian atas. Penelitian pada generasi pertama antihistamin menunjukkan sangat sedikit efek perbaikannya pada asma20 dan efek sampingnya sangat mengganggu; oleh karena itu antihistamin ditinggalkan; tetapi dengan munculnya generasi kedua antihistamin yang dikatakan lebih aman dan bekerja lebih spesifik terhadap reseptor H1, menjadi menarik untuk dipelajari kembali.21 Rafferty dkk22 menunjukkan bahwa terfenadin dapat mengurangi gejala asma serta kebutuhan bronkodilator dan sedikit memperbaiki fungsi paru, tetapi memerlukan dosis sangat besar yaitu 240-540 mg sehari. Grant dkk23 melaporkan bahwa cetirizin 15-20 mg sehari dapat mengurangi gejala rinitis dan asma, namun perbaikan fungsi paru tidak berbeda bermakna dibanding plasebo. Perlu dikemukakan bahwa pemakaian antihistamin perlu mempertimbangkan selain kefektifannya juga keamanan. Jika mungkin untuk pengobatan alergi dipakai antihistamin generasi kedua yang selain efektif, aman dan dapat dikatakan hampir bebas efek samping. Sejauh ini obat-obat yang memenuhi kriteria tadi adalah loratadin, setirizin dan feksofenadin. Ketiga obat tersebut selain mempunyai efek antihistamin juga anti-inflamasi alergik, artinya dapat menghambat migrasi eosinofil. Seperti diketahui eosinofil berperan penting pada inflamasi alergi yang terjadi pada rinitis alergik maupun asma.24-25 Penelitian menunjukkan bahwa ketiga antihistamin tadi mampu menekan produksi atau penampilan ICAM-1 (inter-cellular adhesion molecule-1) pada sel endotel kapiler,26-31 yang diperlukan untuk migrasi eosinofil dari kapiler ke jaringan. Konsekuensi pemakaian obat yang mempunyai aksi antihistamin maupun anti-inflamasi adalah berkurangnya gejala dan menurunnya reaktivitas jaringan terhadap zat-zat yang memprovokasinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antihistamin khususnya generasi kedua bermanfaat pada rinitis yang disertai asma. Pada penelitian paralel acak buta ganda terkontrol, kembali 24 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Ciprandi dkk32 melaporkan pemberian terfenadin secara kontinyu selama 12 bulan pada anak-anak sekolah yang menderita rinokonjungtivitis dan atau asma intermiten ringan yang alergi tungau debu rumah. Dibanding dengan pasien yang mendapat plasebo, pasien yang mendapat terapi terfenadin 1 mg/kgBB menunjukkan perbaikan gejala alergi secara bermakna (p< 0,003) dan penurunan inflamasi terlihat dari infiltrasi sel radang dan ekspresi ICAM-1 di hidung (p<0,001). Absensi sekolah dan kunjungan ke dokter juga berkurang (p<0,003). Tidak didapatkan efek samping pada kedua kelompok. Laporan terakhir dari Ciprandi dkk33 menyatakan bahwa pemberian cetirizin jangka panjang tidak saja mengurangi gejala alergi saluran napas bagian atas dan bawah (Gb. 1 dan 2) tetapi juga biaya pemakaian obat tambahan seperti pemakaian obat anti asma steroid topikal dan antibiotik dibandingkan pemakaian obat bila perlu (tabel 2).
Tabel 2. Rerata biaya pengobatan setiap anak selama 6 bulan33 Cetirizin (dosis tambahan) Cetirizin reguler Albuterol inhalasi Fluticasone inhalasi Acetaminophen Antibiotik Total Placebo (US$) 20.01 0.50 17.38 13.8 208.7 279.54 Cetirizin (US$) 3.5 43.7 0.38 11.55 16.2 18.2 181.83

Mekanisme hubungan asma dan rinitis Meskipun terdapat bukti-bukti bahwa rinitis alergik mempengaruhi asma tetapi mekanisme yang menghubungkan disfungsi saluran napas atas dan bawah dapat dikatakan belum terungkap. Berbagai teori diajukan untuk menerangkan hubungan antara rinitis dan asma, antara lain : (1) refleks naso-bronkial. (2) meningkatnya inhalasi melalui mulut terhadap udara dingin, kering atau alergen inhalasi. (3) drainase post-nasal bahan-bahan inflamasi ke saluran napas bagian bawah. (4) absorpsi mediator atau faktor kemotaktik. (5) menurunnya respons terhadap adrenergik beta. Refleks naso-bronkial, terungkap dari penelitian Kaufman dan Wirght34 yang membuktikan pemberian silikat di mukosa hidung manusia bukan penderita asma menyebabkan peningkatan resistensi saluran napas bagian bawah. Spasme bronkus yang terjadi pada pemberian silikat di hidung ternyata dapat dihambat dengan atropin34 dan reseksi saraf trigeminus35; kejadian tersebut mendukung peranan refleks kolinergik. Meskipun masih terdapat silang pendapat, Yan dan Salome36 melakukan uji provokasi histamin pada hidung penderita rinitis alergi dan asma yang stabil, ternyata didapatkan penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) lebih dari 10% pada 8 dari 12 penderita. Cepatnya respons saluran napas bagian bawah menunjukkan adanya kemungkinan peranan refleks naso-bronkial. Tetapi penelitian Little dkk37 tidak menyokong peranan refleks naso-bronkial, karena dengan pemberian fenilefrin yang bukan anti-kolinergik, refleks naso-bronkial dapat dihambat. Pernapasan mulut terjadi akibat hidung tersumbat oleh edem jaringan dan sekret. Penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa bernapas melalui mulut meningkatkan kemungkinan terjadinya serangan asma karena kegiatan jasmani.38 Perbaikan fungsi hidung diduga dapat memperbaiki gejala asma. Hal ini karena udara yang dihirup akan disaring, dihangatkan dan dilembabkan dulu sebelum mencapai bronkus. Alergen dan polutan akan tersaring di hidung. Drainase bahan-bahan inflamasi dari saluran napas bagian atas ke saluran napas bagian bawah mungkin terjadi (post-nasal drip). Meskipun pada kelinci percobaan rinosinusitis dapat meningkatkan reaktivitas saluran napas,39 Bardin, dkk40 membuktikan dengan zat radioaktif, tidak ada aspirasi cairan sinus ke dalam bronkus. Akibat reaksi alergi sangat mungkin terjadi absorbsi zatzat mediator atau kemotaktik, sebelum akhirnya mencapai bronkus.16 Teori ini menyatakan bahwa pada penyakit atopi, termasuk di dalamnya asma dan rinitis, kepekaan reseptor selselnya menurun terhadap rangsangan adrenergik beta. KESIMPULAN Penelitian epidemiologik menunjukkan bahwa rinitis alergik dan asma sering terdapat bersama-sama, dan hipereaktivitas bronkus non spesifik dapat dijumpai pada sebagian penderita rinitis alergik tanpa gejala asma. Sampai sekarang belum jelas mekanisme hubungan rinitis alergik dan asma, meskipun keduanya merupakan penyakit inflamasi. Pada penderita rinitis yang juga asma, kortikosteroid intranasal dan antihistamin khususnya generasi kedua dapat mengurangi gejala asma dan bahkan pada sebagian penderita dapat memperbaiki fungsi paru dan reaktivitas bronkus. Meskipun pengobatan rinitis alergik mempunyai efek perbaikan asma, belum jelas apakah pengobatan rinitis dapat mempengaruhi perjalanan penyakit asma.
KEPUSTAKAAN 1. Simon FER. Allergic rhinobronchitis: the asthma-allergic rhinitis link. J Allerg Clin Immunol 1994; 104 : 534-40. 2. Passalacqua G Ciprandi G, Canonica GW. United airway diseases: therapeutic implication. Thorax 2000: 55(Suppl 2)S26-S27. 3. Schleimer RP, Togias AG. Introduction. Systemic Aspects of Allergic Diseases. J Allerg Clin Immnunol 2000; 106(Suppl): 191s 4. Mygind N, Bisgaard H. Applied anatomy of the airways. Dalam : Mygind N, Pipkorn F, Dahl R, eds. Rhinitis and asthma. Similarities and differences. Copenhagen: Munksgaard. 1990: 21-37. 5. Persson CCA. Pipkorn U. Pathogenesis and pharmacology of asthma and rhinitis. Dalam : Mygind N, Pipkorn F, Dahl R, eds. Rhinitis and asthma. Similarities and differences. Copenhagen. Munksgaard, 1990: 275-88. 6. Smith JM. Epidemiology and natural history of asthma, allergic rhinitis and atopic dermatitis. Dalam: Middleton E, Reed CE, Ellis EF, Adkinson NF. eds. Allergy : Principle and practice. 3rd ed. St. Louis: Mosby, 1988: 891-929. 7. Dahl R. Rhinitis and asthma. Dalam : Mygind N, Naclerio RM, eds. Allergic and non allergic rhinitis. Clinical aspects. Copenhagen: Munksgaard, 1993: 184-8. 8. Broder I, Higgin MW, Mathews KP, Keller B. Epidemiology of asthma and allergic rhinitis in a total community. Tecumseh, Michigan. J Allerg Clin Immunol 1974; 54: 100-10. 9. Settipane RJ, Hagy GW, Settipane GA. Longterm risk factors for developing asthma and rhinitis : a 23-year follow up study of college students. Allerg Proc 1994; 15: 21-5. 10. NHLBI/WHO Workshop report. Global Initiative for Asthma. Publication No. 95-3859. January 1995; 1-176. 11. Madonini E, Briatico-Vangosa B, Pappacoda A, Maccagini G, Cardani A, Saporiti F. Seasonal increased bronchial reactivity in allergic rhinitis. J Allerg Clin Immunol 1987; 79: 358-63.

12. Ramsdale EH, Morris MM, Roberts RS, Hargreave FE. Asymptomatic bronchial hyperresponsiveness in rhinitis. J Allerg Clin Immunol 1985; 75: 573-7. 13. Verdiani P, Di Carlo S, Baronti A. Different prevalence and degree of nonspesific bronchial hyperreactivity between seasonal and perennial rhinitis. J Allerg Clin Immunol 1990; 86: 576-82. 14. Prieto L, Berto JM, Guiterrez V. Airway responsiveness to metacholine and risk of asthma in patients with allergic rhinitis. Ann Allerg 1994; 72: 534-9. 15. Corren J. Allergic rhinitis and asthma: How important is the link ? J Allerg Clin Immunol 1997; 99: 5781-6. 16. Corren J. Adinoff AD, Buchmeier AD, Irvin CG. Nasal beclomethasone prevents the seasonal increase in bronchial responsiveness in patients with allergic rhinitis and asthma. J Allerg Clin Immunol 1992; 98: 250-6. 17. Henriksen JW, Wenzel A. Effect of an intranasal administered corticosteroid (budesonide) on nasal obstruction, mouth breathing and asthma. Am Rev Respir Dis 1984; 130: 1014-8. 18. Watson WTA, Becker AB, Simmons FER. Treatment of allergic rhinitis with intranasal corticosteroids in patients with mild asthma: Effect on lower airway responsiveness. J Allerg Clin Immunol 1993; 91: 97-101. 19. Wood RA, Eggleston PA. The effects of intranasal steroids on nasal and pulmonary response to cat exposure. Am J Respir Crit Care Med 1995; 151: 315-20. 20. Karlin JM. The use of antihistamines in asthma. Ann Allerg 1972; 30: 342-7. 21. Meltzer EO. The use of anti-H1 drugs in mild asthma. Allergy 1995; 50: 41-7. 22. Rafferty P, Jackson L, Smith R, Holgate ST. Terfenadine: a potent H1receptor antagonist in the treatment of grass pollen sensitive asthma. Br J Clin Pharmacol 1990; 30: 229-35. 23. Grant JA, Nicodemus CF, Findaly SR et al. Cetirizine in patients with seasonal allergic rhinitis and concomitant asthma: prospective randomized, placebo-controlled trial. J Allerg Clin Immunol 1995; 95: 723-32. 24. Cristina Seminario M, Gleich GJ. The role of eosinophils in the pathogenesis of asthma. Curr Op Immunol 1994; 6: 860-4. 25. Mygid N. Pathophysiology of allergic rhinitis. Eur Respir Rev 1994; 4: 248-51. 26. Paolieri F, Battifora M, Riccio AM et al. Terfenadine and fexofenadine reduce in vitro ICAM-1 expression on human continuous cell link. Ann Allerg Asthma Immunol 1998; 81: 601-7. 27. Abdelaziz MM, Devalia JL. Kahir OA et al. Effect of fexofenadine on eosinophil-induced changes in epithelial permeability and cytokine release from nasal epithelial cells of patients with seasonal allergic rhinitis. J Allerg Clin Immunol 1998; 101: 410-20 28. Vignola AM, Crampetle L, Mondain M et al. Inhibitory activity of loratadine and descarboethoxyloratadine on expression of ICAM-1 and HLA-DR by nasal epithelial cells. Allergy 1995; 50: 2000-3. 29. Redier H, Chanez P, De Vos C et al. Inhibitory effect of cetirizine on bronchial eosinophil recruitment induced by allergen inhalation challenge in allergic patients with asthma. J Allerg Clin Immunol 1992; 90: 215-24. 30. Ciprandi G, Buscaglia S, Pesce G et al. Cetirizine reduces inflammatory cell recruitment and ICAM-1 (or CD-54) expression on conjunctival epithelium in both early and late phase reaction after allergen-specific challenge. J Allerg Clin Immunol 1995; 95: 612-21. 31. Fadel R, Herpin-Richard N, Rilioux JP, Henocq E. Inhibitory effect of cetirizine 2 HCl on eosinophil migration in vivo. Clin Allerg 1987; 17: 373-9. 32. Ciprandi G, Ricca V, Tosca M, Landi M, Passalaeque G, Cononica GW. Continuous antihistamine treatment controls allergic inflammation and reduces respiratory morbidity in children with mite allergy. Allergy 1999; 54: 358-65. 33. Ciprandi G, Tosca M, Passalaequa G, Cononica G. Longterm cetirizine treatment reduces allergic symptoms and drug prescriptions in children with mite allergy. Ann Allerg Asthma Immunol 2001; 87: 222-6. 34. Kaufman J, Wright GW. The effect of nasal and nasopharyngeal irritation on airway resistance in man. Am Rev Resp Dis 1969; 100: 626-30. 35. Kaufman J, Chen JC, Wright GW. The effect of trigeminal resection on reflex bronchoconstriction after nasal and nasopharyngeal irritation in man. Am Rev Resp Dis 1970; 101: 768-9. 36. Yan K, Salome C. The response of the airways to nasal stimulation in asthmatics with rhinitis. Eur J Resp Dis 1983; (suppl): 105-8.

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 25

37. Little NT, Carlisle CC,Millman RP, Braman SS. Changes in airway resistance following nasal provocation.Am Rev Respir Dis 1990;141:580-3. 38. Shurtman-Ellstein R, Zeballos RJ, Buckley JM, Souhrada JF. The beneficial effect of nasal aerating in exercise induced broncho-constriction. Am Rev Respir Dis 1978; 118: 65-73.

39. Brugman SM, Larson GL, Henson PM, Honor J, Irvin CG. Increased airway responsiveness associated with sinusitis in a rabbit model . Am Rev Resp Dis; 147: 314-20. 40. Bardin PG, Van-Heerden BB, Joubert JR. Absence of pulmonary aspiration of sinus contents in patients with asthma and sinusitis. J Allerg Clin Immunol 1990; 86: 82-8.

Gambar 1. Rerata skor mingguan gejala saluran napas bagian atas (rinitis) selama 24 minggu.* Perbedaan bermakna (p < 0.05). (Ciprandi dkk : Ann Allerg Asthma Immunol, 2001; 807: 222-6)

Gambar 2. Rerata skor mingguan saluran napas saluran bawah (asma) selama 24 minggu.* Perbedaan bermakna (p < 0.05). (Ciprandi dkk : Ann Allerg Asthma Immunol, 2001; 807: 222-6).

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

PRAKTIS

Penatalaksanaan LES pada Berbagai Target Organ


Nanang Sukmana
Subbagian Alergi-Imunologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat1,2,3. Pada keadaan awal, sering sulit dikenal sebagai LES, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui; ada dugaan faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES.4,5,6,7 Prevalensi bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Pada dekade terakhir terlihat adanya kenaikan kasus yang berobat di RSCM Jakarta. Salah satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus LES yang perlu diketahui sehingga diagnosis lebih dini dan pengobatan lebih adekuat. Baron dkk8 melaporkan keter-libatan ginjal lebih sering ditemukan pada LES dengan onset usia kurang dari 18 tahun. Sedangkan pada penelitian Font dkk9 lesi diskoid dan serositis lebih sering ditemukan sebagai manifestasi awal pasien LES laki-laki, sedangkan artritis lebih jarang. Samanta dkk10 pada penelitian populasi Asia dan kulit putih di Inggris melaporkan kelainan ginjal lebih sering ditemukan di populasi Asia. Wanita lebih sering terkena dibanding laki-laki dan umumnya pada kelompok usia produktif. PATOGENESIS LES Kelainan sistem imun pada LES ditandai dengan berbagai faktor dan lingkungan yang mampu mengubah sistem imun tersebut yang mungkin sudah didasari kelainan genetik, seper-ti terlihat pada gambar 1. Antigen dari luar yang akan diproses oleh makrofag (APC) akan menyebabkan berbagai keadaan seperti: apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa antigen di tubuh tidak dikenal (selanjutnya disebut Self Antigen) contoh nucleosomes, U1RP dan Ro/SS-A. Antigen tersebut akan diproses seperti umumnya antigen lain oleh APC dan sel B. Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat oleh sel B
Dibacakan pada acara Simposium Allergy & Clinical Immunology Update, Hotel Marcopolo, Lampung, 12-13 April 2003

pada reseptornya untuk selanjutnya menghasilkan suatu antibodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk oleh peptida ini dan antibodi yang dibentuk oleh antigen eksternal akan merusak organ target (glomerulus, sel endotel dan thrombosit). Di sisi lain antibodi juga dapat berikatan dengan antigennya untuk membentuk komplek imun (IC) yang dapat merusak berbagai organ tubuh bila terjadi endapan. Aktivasi sel T dan sel B tersebut sebetulnya akan dikontrol oleh gen-gen yang berbeda, yang mungkin dapat direspon tubuh dengan cara pembersihan antigen atau komplek imun di dalam sirkulasi. Perubahan abnormal di dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan protein RNA, DNA dan phospholipid ke dalam sistem imun tubuh. Beberapa autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat berikatan dengan glycoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Di sisi lain antibodi juga dapat bereaksi dengan antigen sitoplasmik trombosit dan eritrosit yang akhirnya akan menyebabkan proses apoptosis.

Gambar 1. Patogenesis LES

Peningkatan komplek imun di sirkulasi sering ditemukan Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 27

pada penderita LES dan keadaan ini sering menimbulkan kerusakan jaringan bila terjadi pengendapan. Komplek imun tersebut dapat juga berkaitan dengan komplemen yang akhirnya berikatan dengan reseptor C3b di sel darah merah yang akan menimbulkan hemolisis. Bila komplek imun melalui hepar maka akan dieliminasi dengan cara mengikat C3bR dan bila melalui limpa akan diikat oleh FcR. IgG. Ketidakmampuan kedua organ tersebut akan menimbulkan manifestasi klinik berupa hemolisis. Deposit komplek imun sirkulasi (CIC) tidak sederhana karena melibatkan aktivasi berbagai komplemen, PMN dan berbagai mediator inflamasi lainnya yang timbul karena kerusakan/disfungsi sel endotel pembuluh darah. Berbagai keadaan sitokin yang terjadi pada LES ialah : penurunan jumlah IL-1dan peningkatan IL-6, IL-4 dan IL-6. Ketidakseimbangan sitokin ini dapat meningkatkan aktivasi sel B untuk membentuk antibodi. Berbagai keadaan sel T dan Sel B yang terjadi pada LES: 1. Sel T - Limfopenia - Penurunan sel T supresor - Peningkatan sel T helper - Penurunan memori dan CD4 - Penurunan aktivasi sel T supresor - Peningkatan aktivasi sel T helper 2. Sel B - Aktivasi dan poliklonal sel B - Peningkatan terhadap respon sitokin PENATALAKSANAAN LES Salah satu aspek penting pada penatalaksanaan LES ialah adanya beberapa perbedaan pendapat Hal ini muncul karena laporan beberapa sentra yang mengemukakan keberhasilan pengobatan dan sampai sekarang belum ada satu panduan umum penatalaksanaan/pengobatan LES yang dapat diterima semua pihak.6,7,11 Keadaan ini sebetulnya dapat diatasi dengan dengan menentukan jenis LES dan derajat penyakitnya. Dengan makin berkembangnya beberapa pemeriksaan penunjang maka deteksi dini LES dapat dengan mudah dilakukan.8,11,12 Beberapa pertanyaan sebelum melakukan penatalaksanaan LES yaitu :6,10,11 1. Apakah pasien masuk kriteria ARA atau tidak. 2. Bila tidak, apakah pasien memenuhi kriteria biopsi. . Dengan panduan biopsi apakah pasien termasuk LES atau diskoid lupus. 3. Apakah keluhan yang muncul merupakan bagian dari penyakit konektif lainnya. 4. Setelah mengetahui LES, pastikan organ sasaran yang terkena dan derajat sakitnya. 5. Adakah penyakit lain yang dapat terjadi bersamaan dengan LES. Bila ada tentukan apakah primer atau sekunder. 6. Upaya pengobatan ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan mempertimbangkan untung-rugi dari suatu regimen pengobatan. Dari hal-hal tersebut di atas kita dapat mulai penatalaksanaan LES dengan baik; beberapa keberhasilan pengobat28 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

an dapat dijadikan panduan penatalaksanaan sesuai dengan derajat dan target organ sasaran yang terkena. Mengingat pengobatan akan berlangsung lama bahkan dapat seumur hidup maka pemberian obat harus rasional, efek samping se-minimal mungkin, mempunyai efektifitas tinggi, obat mudah didapat dan murah11,13,14. Pada makalah ini akan dibahas penatalaksanaan Lupus eritematosus sistemik, yang terbagi dua kelompok yaitu : 1. Penatalaksanaan umum. 2. Pengobatan farmakologis. PENATALAKSANAAN UMUM 1. Kelelahan Hampir setengah penderita LES mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena penyakit lain yaitu: anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi pengobatan dan emotional stress. Gejala ini merupakan manifestasi yang berhubungan dengan disfungsi sitokin dalam proses inflamasi sehingga peningkatan keluhan dapat sebagai parameter aktivitas inflamasi. Upaya mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah : cukup istirahat, batasi aktivi-tas dan mampu mengubah gaya hidup.3,15,16 2. Merokok Walaupun prevalensi LES lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena Raynaud yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan yang terkandung pada sigaret/rokok.6,15,16 3. Cuaca Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya ada dua musim akan tetapi pada sebagian penderita LES khususnya dengan keluhan artritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi 15,16. 4. Stres dan trauma fisik Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik dapat mempengaruhi sistem imun melalui : penurunan respon mitogen limfosit, menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK (Natural Killer).6,15,16 Keadan stres tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi LES-nya. Umumnya beberapa peneliti sependapat bahwa stres dan trauma fisik sebaiknya dikurangi atau dihindari karena keadaan yang prima akan memperbaiki penyakitnya7,15. 5. Diet Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien LES, makanan yang berimbang dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa minyak ikan (fish oil) yang mengandung eicosapentanoic acid dan docosahexanoic acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita dengan hiperkolesterol perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali normal.6,7,15 6. Sinar matahari (sinar ultra violet)

Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik. Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi s/d pukul 3 sore, sehingga semua pasien LES dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-waktu tersebut.4,7,15 7. Kontrasepsi oral Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat LES, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada penderita LES yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan menggunakan obat yang mengandung estrogen.4,6,7,15 PENGOBATAN FARMAKOLOGIS 1. Steroid sistemik Yang paling penting pada pengobatan LES adalah pertimbangan untuk memilih regimen pengobatan karena pengobatan akan berlangsung lama, dengan berbagai efek samping yang akan terjadi.6,12,15,16,17 LES dibagi dua kelompok besar (Dubois)16,17 yaitu : a. Kelompok ringan Termasuk pada kelompok ini ialah :demam, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan, kelelahan dan sakit kepala. b. Kelompok berat Termasuk pada kelompok ini ialah : efusi pleura dan perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik, trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis, lupus pneumonitis dan perdarahan paru. Keuntungan pembagian ini ialah untuk menentukan dosis steroid atau obat lainnya. 2. Panduan umum derajat LES ringan15,16,17 - Aspirin dan obat antiinflamasi non steroid merupakan pilihan utama. - Dosis disesuaikan dengan derajat penyakitnya. - Penambahan obat anti malaria hanya dikhususkan bila ada skin rash dan lesi di mukosa membran. - Bila pengobatan di atas gagal, dapat ditambah prednison 2,5 mg-5 mg/hari, dapat dinaikkan secara bertahap 20% tiap 12 minggu, sesuai kebutuhan. 3. Panduan umum derajat LES berat4,6,13,15,16,17 - Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama. - Obat anti inflamasi non steroid dan anti malaria tidak diberikan. - Pemberian prednison dan lama pemberian disesuaikan dengan kelainan organ sasaran yang terkena. Pengobatan pada kasus-kasus khusus 1. Anemia hemolitik autoimun.1,4,15,18 Prednison : 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kgbb/hari) Bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum ada perbaikan maka dosis dapat ditingkatkan sampai 100 mg-120 mg/hari. Umunmya respon penuh akan dicapai dalam 8-12 minggu. 2. Trombositopenia otoimun.6,15,18 Prednison : 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kgbb./hari).

Bila tidak ada respon dalam 4 minggu ditambahkan Imunoglobulin intravena (IVIG) 0,4 mg/kgbb./hari selama 5 hari berturut-turut. 3. Vaskulis sistemik akut.4,15,18 Prednison : 60-100 mg/hari, umumnya respon akan terlihat dalam beberapa hari; kecuali pada kasus dengan komplikasi gangren di tungkai, respon terlihat dalam beberapa minggu. Pada keadaan akut diberikan steroid parenteral. 4. Perikarditis1,15,18 - Ringan : obat anti inflamasi non steroid atau anti malaria. Bila dengan obat ini tidak efektif dapat diberi prednison 20-40 mg/hari. Berat : prednison 1 mg /kgbb./hari. 5. Miokarditis15,18 Prednison 1 mg/kgbb/hari; bila tidak efektif dapat dikombinasi dengan siklofosfamid. 6. Efusi pleura1,6,15,18 Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, lakukan pungsi pleura/drainage. 7. Lupus pneumonitis1,6,15,16,17,18 Prednison 1-1,5 mg/kgbb./hari selama 4-6 minggu. 8. Lupus serebral1,6,12,15,18 - Metil prednisolon 2 mg/kgbb./hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. - Metil prednisolon pulse dosis selama 3 hari berturut-turut. LUPUS NEPHRITIS (LN) Penatalaksanaan umun15,16,17 1. Bila tidak ada kontraindikasi semua pasien dengan LES sebaiknya dibiopsi. Biopsi dapat diulang jika dalam perjalanan pengobatan gejalanya menetap atau memburuk. 2. Diet rendah garam jika ditemukan hipertensi, rendah lemak jika ada hiperlipidemia atau sindrom nefritis, begitu juga diet rendah protein disesuaikan dengan derajat penyakit-nya. Kalsium dapat diberikan untuk mengurangi efek samping osteoporosis karena steroid. 3. Diuretika dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan. 4. Pemeriksaan rutin periodik meliputi pemeriksaan : Sedimen urin. Urin 24 jam ( protein) Kreatinin dan CCT Albumin serum C3 10. anti DNA Pemeriksaan diulang sesuai dengan perkembangan penyakit: 1. Pantau efek samping steroid dan komplikasi yang terjadi selama pengobatan (infeksi dll). 2. Hindari pemberian salisilat dan obat inflamasi non steroid karena akan memperberat kerja ginjal. 3. Penanganan hipertensi yang baik. 4. Hindari kehamilan bila LN masih aktif. 5. Aspirin hanya diberikan selektif bila ada anti fosfolipid. Pengobatan LN secara umum (memenuhi kriteria

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 29

ARA)1,4,6,15,16,17,18 Prednison : 1 mg/kgbb. /hari untuk 6-12 minggu. Setelah itu dapat diturunkan secara bertahap. Pengelolaan LN sampai sekarang masih kontroversial. Tujuan utamanya adalah mencegah perburukan penyakit. Panduan pengobatan sesuai kelas WHO15,17 Kelas I : Tidak ada pengobatan khusus. Kelas II : Mesangial (IIA) tidak memerlukan pengobatan. Pada pasien kelas II B; dengan protein lebih 1 g, titer DNA tinggi, dan C3 rendah dapat diberi prednison 20mg/hari selama 6 minggu sampai 3 bulan, setelah itu diturunkan bertahap. Kelas III : Umumnya pemberian steroid digabung dengan siklofosfamid Kelas IV : Prednison : 1 mg/kgbb/ hari selama 6-12 minggu Kelas V : Umumnya tidak diberi siklofosfamid. Protokol pemberian siklofosfamid 15,17,18 Dosis 0,5-1 g/m2 luas permukaan badan diberikan secara bolus (per infus) tiap bulan selama 6 bulan selanjutnya tiap 3 bulan sampai 1-2 tahun kemudian, atau total dosis mencapai 10 g. Protokol pemberian pulse metil prednisolon15,17,18 Dosis 1 g IV (bolus) selama 3 hari berturut-turut. Diindikasikan pada : 1. Oliguria akut (renal failure). 2. Lupus serebral dengan koma. 3. Lupus krisis (acute serious SLE) PENUTUP Penatalaksanaan LES masih terus berkembang, berbagai sentra melakukan penelitian dalam upaya meningkatkan kualitas hidup pasien LES. Tersedianya sarana laboratorium dan diagnostik yang memadai memudahkan diagnosis dini. Tingkat ekonomi pasien perlu dipertimbangkan dengan bijak agar pembiayaan dapat ditekan sekecil mungkin dengan memilih pemeriksaan yang sangat diperlukan sesuai dengan skala prioritas.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Pisetsky DS, Glikeson G, Clair EW. Systemic Lupus Erythematosus. Diagnosis and treatment. Med Clin North Am. 1997 ; 81 : 113-27. Mills JA. Systemic Lupus Erythematosus.N Engl J Med 1994; 330:18716. Boumpas DT, Austin HA, Fessler BJ, Balow JE, Klippel JH, Locksin MD. Systemic Lupus Erythematosus : Emerging Concept. Ann Intern Med, 1995; 122 : 940-50. Steinberg AD, Gourley MF, Klinman DM, Tsokos GC, Zscott DE, Krieg AM. Systemic Lupus Erythematosus. NIH Conference. Ann Intern Med, 1991 ; 115 : 548-57. Lewkonia RM. The clinical genetic of lupus. Lupus 1992 ; 1 : 55-62. Pisetsky DS, Gilkeson G. Systemic Lupus Erythematosus. Med Clin North Am, 1997 ; 81 : 113-127. Hochberg MC. The epidemiology of Systemic Lupus Erythematosus. Dalam: Wallace DJ, Hahn BH eds. Dubois'Lupus Erythematosus, fourth ed. Philadelphia : William & Wilkins, 1997 : 93-104. Barron KS, Silverman ED, Gonzales J, Reveile JD. Clinical, serologic and immunogenetic studies in childhood onset Systemic Lupus Erythematosus. Arthritis Rheum, 1993 ; 36 : 348-54. Font J, Cervera R, Novorro et al. Systemic Lupus Erythematosus in men; Clinical and immunological characteristics. Ann Rheum Dis 1992; 51: 1050-2. Samanta A, Feehally J, Roy S, Nichol FE, Sheldon PJ, Walls J. High prevalence of systemic disease and mortality in Asian subjects with Systemic Lupus Erythematosus. Ann Rheum Dis, 1991 ; 50 : 490-2. Wallace DJ. The Clinical presentation of SLE Dalam : Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois'Lupus Erythematosus, fourth ed. Philadelphia. William & Wilkins, 1997 ; 627-634. Wallace DJ, Metzger AL. Systemic Lupus Erythematosus and the nervous system. Dalam : Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois' Systemic Lupus Erythematosus, fourth ed. Philadelphia : William & Wilkins, 1997 : 723-754. Schur PH. Third International Conferences on Systemic Lupus Erythematosus. Arthritis and Rheumatism, 1992 ; 35 : 1238-1240. Kater L. Systemic Lupus Erythematosus. Diagnosis and treatment. Advance Posgraduate Course on Immunology. Jakarta, 7-9 November 1994. Faille HB, Kater L. Lupus Erythematosus. Dalam : Dela Faille HB, Kater, eds. Multi system Autoimmune Disease.Elsevier Science BV, 1994:85121. Kashgarn M. Lupus nephritis: pathology, pathogenesis, clinical correlation and prognosis. Dalam: Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois' Systemic Lupus Erythematosus, fourth ed. Philadelphia : William & Wilkins,1997;1037-51. Wallace DJ, Hahn BH, Kleppel JH. Lupus nephritis. Dalam : Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois' Systemic Lupus Erythematosus, fourth ed. Philadelphia : William & Wilkins, 1997 ; 1053-65. Kumberly RP. Steroid use in Systemic Lupus Erythematosus. Dalam: Lahita RG (ed) Systemic Lupus Erythematosus, second ed. New York; Churchill Livingstone, 1992 : 967-23.

13. 14. 15. 16.

17. 18.

Death is the farthest limit of our changing life (Horace)

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Keterlibatan Paru dan Pleura pada SLE


Zuljasri Albar
Sub Bagian Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang kronik sistemik yang timbul akibat proses otoimun. Penyakit ini dapat mengenai setiap organ tubuh, dengan frekuensi dan derajat yang berbeda-beda pada tiap penderita. Sebagai contoh, keterlibatan ginjal 74%, SSP 54%, paru 44% selama perjalanan penyakit.1 Istilah lupus nefritis atau lupus serebritis sudah sering didengar, sedangkan lupus pneumonitis atau lupus pleuritis relatif jarang. Mengingat keterlibatan paruparu dan pleura pada SLE cukup sering ditemukan bahkan ada penelitian yang menyatakan sampai 90%2, kami mencoba meneliti kekerapan keterlibatan paru dan pleura pada penderita SLE. Penelitian retrospektif ini tidak dapat memastikan penyebab keterlibatan paru dan pleura karena memerlukan pemeriksaan lebih khusus seperti spirometri, bilas bronkus, biopsi transbronkhial dan lain-lain1-4 yang tidak dilakukan seperti terlihat dalam catatan medik penderita. Di lain pihak, mengetahui penyebab kelainan paru dan pleura pada SLE memang sangat sulit karena SLE sendiri dapat menimbulkan kelainan paru dan pleura akibat kelainan perikardium, gagal jantung, uremia atau sindrom nefrotik2. Keterlibatan paru dan pleura yang cukup tinggi pada SLE merupakan peringatan untuk memberikan perhatian kepada hal ini karena keterlambatan penanganannya akan mempengaruhi prognosis. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan mengevaluasi rekam medik penderita SLE yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) selama periode 1 Januari 1996 s/d 31 Desember 2000. Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan kriteria American Rheumatology Association (ARA). Keterlibatan paru dan pleura ditetapkan berdasarkan adanya kelainan pada pemeriksaan jasmani dan atau foto toraks.

HASIL Dari 48 rekam medik yang ditemukan, hanya 34 penderita yang memenuhi kriteria diagnostik SLE dari ARA5. Usia penderita berkisar antara 13-50 tahun. Sebagian besar (33 kasus) adalah wanita, sedangkan penderita pria hanya 1 kasus, berusia 20 tahun (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi penderita SLE berdasarkan usia dan jenis kelamin. Jenis kelamin Wanita 2 9 7 6 4 1 3 1 33 Pria 1 1

Usia 11-15 tahun 16-20 tahun 21-25 tahun 26-30 tahun 31-35 tahun 36-40 tahun 41-45 tahun 46-50 tahun Jumlah

Tabel 2. Penderita SLE dengan keterlibatan paru dan pleura. Usia 11-15 tahun 16-20 tahun 21-25 tahun 26-30 tahun 31-35 tahun 36-40 tahun 41-45 tahun 46-50 tahun Jumlah Jenis kelamin Wanita 2 6 4 1 4 2 1 20 Pria 1 1

Kelainan paru pada pemeriksaan jasmani berupa ronkhi basah halus nyaring, ronkhi basah halus dan kasar, pleural Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 31

friction rub dan perkusi redup atau pekak didapatkan pada 20 kasus. Hanya 1 kasus yang tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan jasmani (kasus 9). Pada pemeriksaan radiologik (foto toraks), kelainan berupa infiltrat, edema paru dan efusi pleura didapatkan pada 17 kasus. Tidak terdapat peninggian diafragma. Penderita SLE yang menunjukkan kelainan pada pemeriksaan jasmani dan foto toraks - dengan perkataan lain tanda keterlibatan paru dan pleura - sebanyak 21 kasus (61.8%). Sesak napas merupakan keluhan utama pada 11 kasus (tabel 3). Dari 11 kasus ini gagal ginjal kronik ditemukan pada 4 kasus, gagal jantung kongestif 2 kasus, pneumonia 6 kasus; 4 kasus pneumonia/bronkhopneumonia ditemukan bersama-sama dengan gagal ginjal kronik; 2 kasus pneumonia lain berdiri sendiri (kasus 1 dan 11). Demam dan batuk sebagai keluhan utama hanya terdapat pada 1 kasus. Keluhan utama yang lain ialah miksi nyeri, lemah, mata dan kaki bengkak, nyeri ulu hati, sakit kepala hebat, demam, tak mau makan, tungkai lemah dan perdarahan bibir.
Tabel 3. Hubungan sesak napas sebagai keluhan utama dengan gagal ginjal kronik, gagal jantung kongestif dan pneumonia/ bronkhopneumonia
Keluhan utama Sesak napas Gagal ginjal kronik Gagal jantung kongestif Pneumonia/ Bronkhopneumonia

Tabel 4.
No. Kasus

Bentuk keterlibatan paru dan pleura pada SLE1.


PN/ BP Efusi pleura Perdarahan Peninggian diafragma Nonspesifik Tuberkulosis

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

+ + + + + + + + + + -

+ + + + +

+ + + -

+ +

No. kasus

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

+ + + + + + + + + + +

+ + + + -

+ +

+ + + + + + + + + + -

Dari 21 kasus dengan keterlibatan paru dan pleura, pada 12 kasus ditemukan kondisi yang mungkin berperan dalam keterlibatan tersebut, yaitu gagal ginjal kronik (5 kasus), tuberkulosis paru (2 kasus), sindrom nefrotik (2 kasus), gagal jantung kongestif (2 kasus) dan kelainan perikardium (efusi perikard - 1 kasus).Pada 9 kasus lainnya, keterlibatan paru dan pleura diduga merupakan akibat langsung SLE atau unfeksi nonspesifik berupa pneumonia/bronkopneumonikia (tabel 5). Dari 21 kasus SLE dengan keterlibatan paru dan pleura, 9 penderita meninggal; 5 karena gagal ginjal kronik, 1 karena gagal napas dan 3 karena syok septik dengan pneumonia disebutkan sebagai penyebab.
Tabel 5. Faktor-faktor yang diduga berperan dalam keterlibatan paru dan pleura pada SLE2. Jumlah 9 5 2 2 2 1 21

Jenis kelainan SLE/infeksi Gagal ginjal kronik Tuberkulosis paru Sindroma nefrotik Gagal jantung kongestif Efusi perikard Jumlah

Diagnosis pneumonia ditegakkan pada 13 kasus, 3 di antaranya disertai efusi pleura. Sebagai keluhan utama, kelainan paru/pleura ditemukan pada 3 kasus. Efusi pleura ditemukan pada 5 kasus, 1 di antaranya bersama-sama dengan TB paru, sedangkan pleural friction rub hanya pada 1 kasus (kasus 11) (Tabel 4). Tidak ditemukan perdarahan paru. Sejumlah 13 penderita diketahui pernah menderita SLE, lamanya berkisar antara 1 bulan sampai 14 tahun. Uji serologi berupa ANA atau anti-dsDNA dilakukann pada 5 penderita dengan hasil positip pada semua kasus dengan titer berkisar antara 767 sampai 1588.3 (titer normal <200). Fungsi paru hanya diperiksa pada 1 penderita yang telah menderita SLE selama 3 tahun. Hasilnya didapatkan restriksi sedang. 32 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

DISKUSI Dari seri ini kelainan paru dan pleura ditemukan sebanyak 61.8%; jika 2 kasus tuberkulosis paru tidak dimasukkan, angkanya sebesar 55,9%; kira-kira sama dengan yang dilaporkan dalam kepustakaan, yaitu antara 50-90%6,7, 38-89%2,4, 5060%.8,9 Inflamasi paru sering ditemukan pada otopsi penderita SLE. Dengan pemeriksaan yang lebih khusus, prevalensi di atas lebih tinggi lagi. Penelitian fisiologik pada penderita SLE menunjukkan adanya kelainan restriktif paru sebagaimana terlihat dari : penurunan kapasitas difusi pada 80% kasus, penurunan volume paru pada 65% kasus dan penurunan saturasi oksigen arterial pada 55% kasus (Guenter dan Welch, 1982);

pada seri ini hanya 1 kasus yang menunjukkan kelainan restriktif sedang pada spirometri. Secara klinis, sebagian besar penderita dengan kelainan paru mengeluh sesak napas disrtai batuk produktif(2,3). Sebelum menetapkan kelainan paru dan pleura sebagai penyebab sesak napas perlu dipikirkan penyebab lain, misalnya kelainan jantung karena kadang-kadang keduanya ditemukan bersama-sama. Keluhan utama yang paling sering pada SLE dengan kelainan paru/pleura ialah sesak napas (11 dari 21 kasus). Pada 11 kasus ini ditemukan juga kelainan lain yang mungkin berperan dalam mengakibatkan sesak napas itu, yaitu gagal ginjal kronik, gagal jantung kongestif, TB paru dan efusi perikard. Menetapkan SLE sebagai penyebab gangguan paru/ pleura memang tidak mudah.2,8 Banyak faktor harus dipertimbangkan. Keane dan Lynch mengemukakan bahwa dalam satu penelitian post-mortem, pada setiap kasus lupus pneumonitis yang didiagnosis secara klinis dapat pula diterangkan oleh faktor-faktor lain seperti infeksi, aspirasi, gangguan fungsi jantung atau gagal ginjal.2 Pemeriksaan yang lebih agresif diperlukan bukan hanya untuk memastikan ada tidaknya kelainan paru/pleura, melainkan juga untuk mencari penyebab dan bentuk kelainan paru/pleura tersebut karena bentuk keterlibatan paru/pleura pada SLE sangat bervariasi. Keterlibatan ini dapat berupa pneumonitis, pleuritis dengan atau tanpa efusi, perdarahan paru, emboli paru, hipertensi paru dan shrinking lung syndrome.1,2,6 Kelainan paru pada pemeriksaan jasmani berupa ronkhi basah kasar dan halus.3 Pada seri ini kelainan yang ditemukan berupa ronkhi basah halus nyaring, ronkhi basah halus dan kasar; pada keterlibatan pleura didapatkan pleural friction rub dan perkusi redup atau pekak yang ditemukan pada 20 kasus. Gambaran radiologis menunjukkan infiltrat nonspesifik yang tersebar mungkin sebagai akibat infeksi atau SLE.2,3,4 Pada seri ini kelainan yang ditemukan berupa infiltrat, edema paru dan efusi pleura pada 18 kasus. Pleuritis merupakan kelainan pleuropulmoner yang paling sering ditemukan. Paling sedikit 2/3 penderita SLE mengalami pleuritis dengan atau tanpa efusi pada satu waktu dalam perjalanan penyakitnya. Gejala ini merupakan keluhan utama pada 5% kasus. Keluhan yang paling sering ialah nyeri dada sebagai keluhan utama. Bunyi gesekan pleura disertai demam terdapat pada 1 kasus. Efusi pleura ditemukan sebanyak 40-60%, biasanya sedikit dan bilateral.2,3,4 Pada seri ini efusi pleura ditemukan sebanyak 28.5%, lebih sering unilateral (4 kasus) dibandingkan dengan efusi bilateral (2 kasus). Pada 1 kasus terdapat juga tuberkulosis paru. Dengan pemeriksaan antibodi antinuklir (ANA), anti ds-DNA dan sel LE pada cairan pleura dapat diketahui penyebab efusi.2,9 Pemeriksaan ini tidak dilakukan pada seri ini. Diagnosis pneumonia ditegakkan pada 13 kasus dengan usia berkisar antara 15-35 tahun. Sebagian besar di bawah 20 tahun (6 kasus 66.7%), lama menderita SLE rata-rata 2 tahun. Ini sesuai dengan kepustakaan bahwa penderita pneumonitis akut biasanya berusia muda dan merupakan keluhan utama pada 50% kasus. Pneumonitis lupus dapat akut atau kronik. Bentuk akut menyerupai pneumonia dan menunjukkan gejala demam, dispnea, batuk dan kadang-kadang hemoptisis. Ter-

dapat ronkhi basah kasar dan halus.2,3 Pneumonitis akut harus dibedakan dari infeksi. Jika timbul keragu-raguan dilakukan bilas bronkhoalveolar. Pneumonitis lupus kronik muncul dalam bentuk penyakit paru interstitial difus dan ditandai oleh sesak napas jika beraktifitas, batuk kering dan ronkhi basah basal. Secara histopatologi gambarannya tidak spesifik, berupa kerusakan dan nekrosis dinding alveoli, sebukan sel radang, edema, perdarahan dan membran hialin.2,3,8 Tidak ditemukan perdarahan paru pada seri ini. Perdarahan paru berupa batuk dan hemoptisis atau dalam bentuk infiltrat paru tidak sering ditemukan, tetapi merupakan bentuk SLE yang sangat serius. Mortalitasnya tinggi, dapat mencapai 70%. Diperkirakan kelainan ini akibat vaskulitis paru. Penyebab lain perdarahan paru seperti pneumonia akibat virus harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding. Perdarahan paru merupakan keluhan utama atau satu-satunya pada 1-2% kasus. Biasanya timbul akut dan rekuren. Hipertensi pulmoner tidak dapat dinilai pada seri ini karena data kurang lengkap. Hipertensi pulmoner pada SLE mirip dengan hipertensi pulmoner idiopatik. Penderita menunjukkan sesak napas, foto toraks normal dan kelainan restriktif pada pemeriksaan fungsi paru. Sering ditemukan fenomena Raynaud.Adanya hipertensi pulmoner dipastikan dengan Doppler dan kateterisasi jantug. Penyebab lain hipertensi pulmoner harus disingkirkan. Penting untuk mencari emboli paru multipel dan lokalisasi trombosis vena dalam. Jika timbul keragu-raguan, perlu dilakukan angiografi paru. Juga harus disingkirkan kemungkinan sindrom antibodi antifosfolipid dengan pembekuan intrapulmoner. Istilah shrinking lung syndrome dipakai untuk melukiskan suatu kompleks peninggian diafragma disertai penurunan fungsinya. Pada seri ini tidak tampak peninggian diafragma pada foto toraks, sehingga diperoleh kesan sindrom ini tidak ada. Mungkin kelainan ini berperan dalam sesak napas yang tak dapat dijelaskan, tanpa kelainan parenkim paru.2,6 Hubungan antara ANA, anti-dsDNA dan lama menderita SLE dengan keterlibatan paru/pleura tidak dapat dinilai karena data tidak lengkap. Dari 21 kasus SLE dengan keterlibatan paru dan pleura, 9 penderita meninggal (42,8%); 5 kasus meninggal karena gagal ginjal kronik (23.8%), 1 kasus karena gagal napas akibat kejang-kejang pada lupus serebri dan pneumonia (4.7%) dan 3 kasus (14.2%) karena syok septik akibat pneumonia (2 kasus), meningitis (1 kasus). Pada satu seri penelitian pernah dilaporkan kematian pada SLE akibat keterlibatan paru dan pleura tidak tinggi, yaitu sebanyak 7.9% (3 dari 38 kasus). Tetapi jika dihitung kasus per kasus, mortalitas pada pneumonitis lupus akut cukup tinggi yaitu 50%.2 RINGKASAN/KESIMPULAN Keterlibatan paru dan pleura pada SLE cukup sering terjadi. Di samping SLE, terdapat faktor lain yang berperan dalam keterlibatan ini, yaitu gagal ginjal kronik, gagal jantung, sindrom nefrotik, kelainan perikardium, infeksi dan tuberkulosis. Dengan pemeriksaan yang lebih khusus seperti spirometri, bilas bronkhus, biopsi transbronkhial dan lain-lain, angka keterlibatan paru dan pleura akan lebih tinggi. Pe-

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 33

meriksaan yang lebih khusus ini selain memberikan angka keterlibatan yang lebih tinggi, juga memungkinkan penentuan diagnosis etiologik yang lebih cepat. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menilai keterlibatan paru dan pleura pada SLE.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. Gladman DD, Urowitz MB. Systemic Lupus Erythematosus Clinical and laboratory features. Dalam Klippel JH (ed.) Primer on the Rheumatic Diseases. 11th ed. Arthritis Foundation, Atlanta; GA, 1997; hal 251-7. Keane MP, Lynch III JP. Pleuropulmonary manifestations of systemic lupus erythematosus. Thorax 2000; 55(2): 159-66. Orens JB, Martinez FJ, Lynch JP III. Pleuropulmonary manifestations of systemic lupus erythematosus. Rheum Dis Clin North Am 1994; 20 : 15993.

4. 5. 6. 7. 8. 9.

Haupt HM, Moore GW, Hutchins GM. The lung in systemic lupus erythematosus. Analysis of the pathologic changes in 120 patients. Am J Med 1981; 71 : 791-8. Tan EM, Cohen AS, Fries JF et al. Special article : The resived criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthr. Rheum 1982; 25 : 1271-7. Prakash UBS. Rheumatologic diseases. Dalam : Baum GL, Wolinsky E (eds.) Textbook of Pulmonary Diseases. 5th ed, New York : Little, Brown & Co, 1994; hal 1471-6. Mills JA. Medical Progress : Systemic Lupus Erythematosus. New Engl J Med 1994; 330 : 26; 1871-9. Quismorio Jr, FP. Pulmonary manifestations of Systemic Lupus Erythematosus. Dalam : Wallace DJ, Hahn BJ (eds). Dubois Lupus Erythematosus. 5th ed, Baltimore : Williams & Wilkins, 1997, hal 673-92. Petri MA. Systemic Lupus Erythematosus : Clinical aspects. Dalam : Koopman WJ (ed). Arthritis and Allied Conditions A Textbook of Rheumatology. 14th ed, Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2001; hal 1455-79.

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

HASIL PENELITIAN

Populasi Mesocyclops aspericornis pada Pengendalian Jentik Aedes aegypti Menggunakan Metode Simulasi Kandang Nyamuk
RA Yuniarti, Umi Widyastuti
Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Salatiga

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan intuk mengetahui peningkatan populas Mesocyclops aspericornis pada pengendalian jentik nyamuk Aedes aegypt di laboratorium menggunakan metode simulasi kandang nyamuk. Penelitian ini dilakukan di dalam kandang nyamuk, yang tempat perindukan nyamuknya (stoples plastik) diberi Mesocyclops aspericornis. Penelitian dilakukan selama 12 minggu pengamatan, dengan menghitung jumlah Mesocyclops aspericornis, pradewasa dan dewasa Aedes aegypti, 1 (satu) minggu sekali. Hasl penelitian menunjukkan bahwa populasi copepoda M. aspericornis meningkat secara eksponensial dengan adanya jentik Ae. aegypti yang melimpah sebagai sumber makanan, dalam waktu 3 minggu. Setelah 3 minggu, kepadatan populasi jentik nyamuk Ae. aegypti terlihat menurun, demikian pula jumlah nyamuk yang dihasilkannya. Setelah minggu ke-7 tidak dtemukan jentik. M. aspericornis mampu bertahan hidup antara 2,5-3 bulan di dalam stoples plastik dengan volume air 2 liter, dan makanan yang cukup.

PENDAHULUAN Penyakit demam berdarah di Indonesia sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit demam berdarah dilaporkan pertama kali terjadi di kota Surabaya dan Jakarta tahun 1968. Pada tahun 1985 penyakit ini telah meluas sampai 26 dari 27 provinsi di Indonesia. Penyakit tersebut endemis di kota-kota besar, kota kecil dan pedesaan.1 Berbagai upaya untuk mengendalikan vektor penyakit tersebut telah dilakukan baik secara kimia, fisik, maupun secara hayati. Timbulnya resistensi nyamuk terhadap insektisida mendorong dikembangkannya jasad hayati sebagai alternatif untuk mengendalikan jentik nyamuk vektor. Salah satu jasad hayati yang digunakan adalah Mesocyclops aspericornis. M. aspericornis telah dilaporkan sebagai jasad pengendali jentik Aedes
Dibacakan pada Seminar Hasil-hasil Penelitian Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Salatiga, 24 Maret 1998

albopictus di ban roda bekas di New Orleans Timur.2 Species ini juga telah digunakan dalam pengendalian jentik nyamuk Aedes aegypti di Honduras.3 Pada penelitian menggunakan metode simulasi kandang, dengan M. darwini populasi jentik Ae. aegypti berhasil diturunkan dalam waktu 3 minggu dan semua dewasa nyamuk mati dalam waktu 8 minggu.4 Dilaporkan pula bahwa populasi M. longisetus meningkat secara eksponensial dengan melimpahnya jentik Ae. aegypti.5 Evaluasi secara laboratorium sangat diperlukan sebelum dilakukan usaha pengendalian vektor penyakit di lapangan. Salah satu cara untuk mengetahui kemampuan berkembangnya M. aspericornis pada pengendalian jentik nyamuk adalah dengan menggunakan kandang nyamuk di laboratorium, sebagai tempat hidup nyamuk vektor. Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 35

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui populasi M. aspericornis pada pengendalian jentik Ae. Aegypti di dalam kandang nyamuk di laboratorium. BAHAN DAN CARA KERJA A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Salatiga, pada bulan Mei sampai Agustus 1997. B. Bahan Penelitian Penelitian ini menggunakan jasad hayati Copepoda M. aspericornis betina yang berukuran 1,3 mm dan nyamuk Ae. aegypti betina umur 5 hari yang kenyang darah, masing-masing 25 ekor. C. Cara Kerja Prosedur penelitian dilakukan menurut metode Brown et al. (1991) yang dimodifikasi4, sebagai berikut: M. aspericornis dan nyamuk Ae. aegypti diperoleh dari hasil pemeliharaan di laboratorium Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Salatiga. M. aspericornis betina sebanyak 25 ekor dimasukkan ke dalam stoples plastik yang berisi 2 liter akuades, sedangkan untuk kontrol, stoples tidak diberi M. aspericornis. Masing-masing stoples tadi dimasukkan ke dalam kandang yang terpisah dengan ukuran 60x60x60 cm3, kemudian nyamuk Ae. aegypti betina kenyang darah sebanyak 25 ekor dimasukkan ke dalam kandang tersebut. Medium di dalam stoples digunakan untuk tempat bertelur dan tempat hidup stadium pradewasa Ae. aegypti. Setiap 2 hari sekali nyamuk diberi makan darah marmut, sedangkan untuk pemelihaan stadium pradewasa Ae. aegypti diberi makanan berupa dog food setiap hari. Percobaan dilakukan selama 3 bulan dengan waktu pengamatan setiap 1 minggu sekali. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah M. aspericornis, stadium pradewasa dan dewasa Ae. aegypti. Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali. Suhu dan pH air selama pengamatan berkisar antara 2225 C dan 7. HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi M. aspericornis, pradewasa dan dewasa Ae. aegypti selama 12 minggu pengamatan, menggunakan metode simulasi kandang nyamuk, disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 1. Pada kandang perlakuan terlihat bahwa populasi Copepoda M. aspericornis meningkat secara eksponensial dengan adanya jentik Ae. aegypti yang melimpah, sebagai sumber makanan, dalam 3 minggu. Peningkatan jumlah Copepoda M. aspericornis terjadi pada minggu ke-2 (346 ekor), dan pada minggu ke-3 mencapai jumlah terbanyak yaitu 387 ekor, selanjutnya berangsur menurun, hingga pada minggu ke-12 menjadi 23 ekor. Peningkatan populasi M. aspericornis terjadi karena adanya populasi jentik nyamuk vektor yang melimpah sebagai sumber makanan, di dalam stoples yang digunakan sebagai 36 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

tempat hidup M. aspericornis dan pradewasa nyamuk Ae. aegypti. Dengan menurunnya populasi jentik Ae. aegypti yang merupakan makanan Copepoda M. aspericornis, jumlah Copepoda juga menurun; hal ini sesuai dengan keseimbangan populasi di alam, yang diatur oleh adanya sumber makanan alternatif. Penurunan jumlah M. aspericornis dapat disebabkan oleh kanibalisme di antara copepoda itu sendiri karena pada kondisi makanan yang minim M. aspericornis cenderung menjadi kanibal.6 Keterbatasan makanan menyebabkan reproduksi dan perkembangan copepoda menjadi lebih lama, karena menurunkan produktivitas clutch (kantong air), yang meliputi penurunan ukuran kantong telur dan pertumbuhan kantong telur yang lebih lama.6 Predasi M. aspericornis menyebabkan jumlah pradewasa yang menjadi dewasa sedikit sekali bahkan pada minggu ke-7 sudah habis, sehingga pada pengamatan minggu ke-12 tidak dijumpai nyamuk dewasa Ae. aegypti lagi (Gambar 1).
Tabel 1. Jumlah M. aspericornis, pradewasa dan dewasa Ae. aegypti selama 12 minggu pengamatan. Jumlah* Pradewasa Ae. aegypti Kontrol Perlk. 0 0 17 0 695 469 1556 71 1210 33 1225 31 1379 3 1175 0 1112 0 1280 0 1223 0 1372 0 1200 0

Minggu

M. aspericornis Kontrol 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Perlk. 25 28 346 387 340 298 281 278 248 269 222 30 23

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Dewasa Ae. aegypti Kontrol Perlk. 25 25 25 25 29 25 55 25 63 29 72 32 75 35 88 34 92 22 130 15 185 7 139 3 139 0

Keterangan : Purata 3 X ulangan

Di dalam kandang kontrol, pradewasa Ae. aegypti pada minggu 1 sudah memperlihatkan peningkatan (17 ekor), selanjutnya meningkat lagi pada minggu ke-2 dan ke-3 berturut-turut 695 dan 1556 ekor. Sedangkan jumlah dewasa Ae. aegypti meningkat mulai minggu ke-2 (29 ekor) dan mencapai jumlah terbanyak pada minggu ke-10 (185 ekor). Jumlah pradewasa dan dewasa nyamuk Ae. aegypti meningkat sampai batas daya dukung kandang yang optimum; yang dibatasi oleh faktor kompetisi makanan dan ruang (kandang). 7 Dari hasil pengamatan diketahui pula bahwa Copepoda M. aspericornis mampu bertahan hidup antara 2,5-3 bulan dalam stoples plastik dengan volume air 2 (dua) liter, dan makanan yang cukup. KESIMPULAN Populasi Copepoda M. aspericornis meningkat secara eksponensial dengan adanya jentik Ae. aegypti yang melimpah sebagai sumber makanan dalam 3 minggu. Akibatnya kepadatan populasi jentik Ae. aegypti terlihat menurun, demikian pula

jumlah nyamuk yang dihasilkannya. Setelah minggu ke-7 tidak ditemukan jentik nyamuk lagi. M. aspericornis mampu bertahan hidup antara 2,5-3 bulan, dalam stoples plastik dengan volume air 2 (dua) liter, dan makanan yang cukup.
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Stasiun Penelitian Vektor Penyakit dan Ketua Kelompok Peneliti SPVP, yang telah memberi saran dan bimbingan hingga selesainya makalah ini. Di samping itu kami ucapkan terima kasih kepada para teknisi yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. KEPUSTAKAAN 1. Sumarmo. Dengue Haemorrhagic Fever in Indonesia. Pathogenesis and Management of Dengue Haemorrhagic Fever in Southeast Asia. Seameo Tropmed. Bangkok, 1987 vol. 18(3).

2. 3. 4. 5. 6. 7.

Marten GG, ES Bordes, Nguyen. Evaluation of Cyclopoid Copepods for Ae. albopictus Control in Tires.. New Orleans Mosquito Control Board. New Orleans. LA, 1990; 70126. Marten. GG, G Borjas, Cush M, Fernandez E, Reid JW. Control of Larval Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) by Cyclopoid Copepods in Peridomestic Breeding Containers. J Med Entomol. 1994; 31(1): 36-44. Kay BH, Cabral CP, Sleigh AC, Brown MD, Ribeiro ZM, Vasconcelos AW. Laboratory Evaluation of Brazilian Mesocyclops (Copepoda : Cyclopidae) for Mosquito Control. J Med Entomol, 1992; 29(4): 599-602. Brown MD, Kay BH, Hendrikz JK.. Evaluation of Australian Mesocyclops (Cyclopoida : Cyclopidae) for Mosquito Control. Entomological Society of America, 1991; 28(5): 618-23. Williamson CE. Copepoda. In: Ecology aad Classification of North American Freshwater Invertebrates. Academic Press Inc, 1991; 787-822. Brown MD, Kay BH, Greenwood JG. The Predation Efficiency of NorthEastern Australian Mecocyclops (Copepoda : Cyclopoida) on Mosquito Larvae. Bull Plankton Soc Japan, Spec, 1991; Vol 329-38.

Jumlah nyamuk

Jumlah Copepoda

1800 1600 1400 1200 1000

M.aspericornis Nymk.pradewasa(K) Nymk.pradewasa(P) Ae.aegypti(P) Ae.aegypti(K)

400

300

200 800 600 400 200 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Minggu pengamatan 0 100

Gambar 1. Jumlah M. aspericornis, pradewasa, dan dewasa Ae. aegypti selama 12 minggu pengamatan.

Happy they who steadily pursue a middle course

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

37

HASIL PENELITIAN

Uji Efikasi Formulasi Cair (Liquid) Bacillus thuringiensis H-14 Galur Lokal pada Berbagai Fermentasi terhadap Jentik Nyamuk Vektor di Laboratorium
Blondine Ch.P, Damar Tri Boewono
Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Salatiga

ABSTRAK Bacillus thuringiensis H-14 yang juga disebut dengan Bt H-14 adalah bioinsektisida yang bersifat spesifik terhadap target serangga sasaran, aman bagi golongan mamalia, dan tidak mencemari lingkungan. Uji efikasi formulasi cair Bt H-14 galur lokal dilakukan pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam. Tujuan penelitian untuk mengetahui efikasi Bt H-14 galur lokal pada berbagai fermentasi terhadap jentik Anopheles aconitus dan Culex quinquefasciatus instar I akhir. Hasil perhitungan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup formulasi cair Bt H-14 galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam berturut-turut adalah 4,5x107 sel/ml dan 10,9x107 spora/ml; 5,5x108 sel/ml dan 8,6x108 spora/ml; 10,2x108 sel/ml dan 9,0x108 spora/ml; 10,0x108 sel/ml dan 12,8x108 spora/ml; sera 9,2x108 sel/ml dan 11,2x108 spora/ml. Konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus instar I akhir selama 24 jam pengujian pada frmentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam berturut-turut adalah 0,016 ml/1 (LC50), 0,082 ml/1 (LC90); 0,009 ml/1 (LC50), 0,058 ml/1 (LC90); 0,008 ml/l (LC50), 0,021 ml/1 (LC90); 0,002 ml/l (LC50), 0,008 ml/l (LC90) serta 0,005 ml/1 (LC50) dan 0,021 ml/1 (LC90). Pada 48 jam pengujian, membutuhkan konsentrasi sebesar 0,012 ml/ (LC50), 0,078 ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,011 ml/1 (LC90); 0,005 ml/1 (LC50), 0,016 ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,004 ml/1 (LC90); serta 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,012 ml/1 (LC90). Konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan 50% dan 90% jentik Cx. quinquefasciatus instar I akhir selama 24 jam pengujian pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam berturut-turut adalah 0,002 ml/1 (LC50), 0,008 ml/1 (LC90); 0,002 ml/1 (LC50), 0,009 ml/1 (LC90); 0,002 ml/l (LC50), 0,013 ml/1 (LC90); 0,001 ml/1 (LC50), 0,002 ml/1 (LC90); serta 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,002 ml/1 (LC90). Konsentrasi terkecil formulasi cair Bt H-14 galur lokal unuk mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus adalah konsentrasi pada fermentasi 24 jam Bt H-14 galur lokal. Dengan demikian formulasi cair Bt H-14 galur lokal efektif dalam mengendalikan jentik nyamuk vektor. Kata kunci: Uji efkasi, Bt H-14 galur lokal, An. aconitus, Cx. quinquefasciatus PENDAHULUAN Penggunaan Bacillus thuringiensis H-14 untuk pengendalian vektor malaria Anopheles aconitus dan vektor filaria Culex 38 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 quinquefasciatus telah dilakukan di laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU), Yogyakarta dan Balai Penelitian Vektor Penyakit (BPVRP), Salatiga. Bacillus thuringiensis H-14

adalah agen mikrobial yang bersifat spesifik terhadap target serangga sasaran khususnya jentik nyamuk dan jentik lalat hitam. Aman bagi golongan mamalia, dan tidak mencemari lingkungan sehingga dapat dikembangkan sebagai agen pengendali vektor, khususnya vektor malaria dan flaria. Salah satu karakteristik B. thuringiensis H-14 adalah dapat memproduksi kristal protein toksik di dalam sel bersama-sama dengan spora pada saat sel mengalami sporulasi(1). Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal hasil temuan BPVRP yang diperbanyak dalam formulasi cair (liquid) telah diketahui mempunyai daya bunuh yang tinggi terhadap jentik nyamuk vektor (2). Mengingat pentingnya penurunan kasus malaria dan filaria, maka perlu dilakukan penelitian pengendalian jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus menggunakan jasad hayati B. thuringinesis H-14 galur lokal. Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal formulasi cair akan diuji patogenisitasnya pada 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam fermentasi dengan tujuan untuk memperoleh dosis galur lokal yang efektif dalam mengendalikan jentik nyamuk vektor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efikasi formulasi cair (liquid) B. thuringiensis H-14 galur lokal pada berbagai fermentasi terhadap jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus di laboratorium.

BAHAN DAN CARA KERJA Bahan Formulasi cair (liquid) B. thuringiensis H-14 galur lokal. Jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus instar III akhir hasil kolonisasi laboratorium. Cara Kerja 1) Identifikasi koloni B. thuringiensis H.-14 galur lokal Inokulasi B. thuringiensis H-14 galur lokal pada media agar miring NYSMA diinkubasikan selama 48 jam pada suhu 30C. Biakan murni yang diperoleh dalam media NYSMA dimurnikan kembali dengan cara diinokulasi pada media BHIA (Brain Heart Infusion Agar) yang telah diberi 0,00018% antibiotik Chloramphenicol untuk menghambat pertumbuhan bakteri lain seperti Pseudomonas, Streptococcus dan Staphylococcus, sehingga diperoleh koloni tunggal B. thuringiensis H-14 yang kemudian diinkubasikan selama 48 jam pada suhu 30 C. Sesudah 48 jam diamati morfologinya, dilakukan pengecatan koloni B. thuringiensis H-14 tunggal tersebut dengan menggunakan Napthalene black 2 menit dan Gurrs improved R66 selama 1 menit untuk melihat adanya kristal protein toksin dan spora yang benar-benar murni (tidak terkontaminasi). Dari kultur murni B. thuringiensis H-14 galur lokal yang diperoleh, diambil 1 ose (sengkelit) dan dimasukkan ke dalam 50 ml TPB (Tryptose Phosphate Broth) dalam Erlenmeyer berukuran 250 ml, kemudian digoyang (shake) selama 24 jam, 175 rpm pada suhu 30 C. Sesudah diinkubasi, dibuat pengecatan kembali kultur tersebut, untuk melihat spora dan kristal protein toksik yang benar-benar murni. Biakan murni yang diperoleh diinokulasikan lagi ke dalam 100 ml TPB

(perlakuan 1), dan digoyang selama 24 jam, 175 rpm, pada suhu 30 C. 2) Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal Lima puluh inokulum yang diambil dari 100 ml TPB (perlakuan 1), dimasukkan ke dalam fermenter steril berisi 950 ml TPB, pada suhu 30C, 300 rpm dan aerasi 10%. Dilakukan sampling pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam. Sesudah itu dilakukan penghitungan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup menurut Soesanto (1992) serta uji patogenisitasnya pada berbagai fermentasi. 3) Uji patogenisitas formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal. Untuk mendapatkan konsentrasi formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal yang efektif (LC50 dan LC90) membunuh jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus dilakukan cara WHO (1989)(3). Larutan stok formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam, dibuat dengan cara mengambil 0,1 ml formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal dari masing-masing fermentasi dan berturut-turut dimasukkan ke dalam beaker glass berukuran 500 ml, ditambahkan 99,9 ml akuades dan dikocok sampai homogen. Dari masingmasing larutan stok tersebut selanjutnya diambil berturutturut sebanyak 1 ml, 3 ml, 5 ml, 7 ml, 10 ml, 30 ml dan 50 ml menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam mangkok plastik yang berisi 20 ekor jentik An. aconius instar III akhir dengan jumlah akuades sebanyak 99 ml, 97 ml, 95 ml, 93 ml, 90 ml dan 70 ml untuk memperoleh konsentrasi final yang dibutuhkan yaitu 0,0001 ml/1, 0,0003 ml/1, 0,0005 ml/1, 0,0007 ml/1, 0,001 ml/1, 0,003 ml/1 dan 0,005 ml/1 berturutturut dalam volume total sebanyak 100 ml. Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali. Sebagai kontrol, mangkok plastik hanya diisi dengan 100 ml akuades dan 20 ekor jentik An. aconitus. Pengujian patogenisitas formulasi cair B. thuringiensis H14 galur lokal terhadap jentik Cx. quinquefasciatus instar III akhir, dilakukan dengan cara yang sama. Kematian jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus diamati setelah 24 jam dan 48 jam pengujian. Penentuan nilai LC50 dan LC90 mengggunakan analisis probit (3). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penghitungan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam serta uji patogenisitasnya terhadap jentik An. aconitus instar III akhir disajikan pada Tabel 1. Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal selama 18 jam menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup masing-masing sebesar 4,5x107 sel/ml dan 10,9x107 spora/ml yang dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus pada konsentrasi 0,016 ml/ (LC50) dan 0,082 ml/1 (LC90) selama 24 pengujian. Pada pengujian selama 48 jam dibutuhkan konsentrasi sebesar 0,012 ml/1 (LC50) dan 0,078 ml/1 (LC90). Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal selama 20 jam, menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup berturut-turut sebesar 5,0x108 sel/ml dan 8,6x108 spora/ml yang dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 39

pada dosis 0,009 ml/1 (LC50) dan 0,058 ml/1 (LC90) selama 24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam membutuhkan konsentrasi 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,011 ml/1 (LC90). Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal selama 22 jam, menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup berturut-turut sebesar 10,2x108 sel/ml dan 9,0x108 spora/ml yang dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus pada konsentrasi 0,008 ml/1 (LC50) dan 0,021 ml/1 (LC90) selama 24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam membutuhkan konsentrasi 0,005 ml/l (LC50) dan 0,016 ml/1 (LC90). Fermentasi B. thuringiensis H-14 galur lokal selama 24 jam, menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup masing-masing sebesar 10,0x108 sel/ml dan 12,8x108 spora/ml dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus pada konsentrasi 0,002 ml/l (LC50) dan 0,008 ml/1 (LC90) selama 24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan konsentrasi sebesar 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,004 ml/1 (LC90). Fermentasi 25 jam menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup masing-masing sebesar 9,2x108 sel/ml dan 11,2x108 spora/ml dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus pada konsentrasi 0,005 ml/1 (LC50) dan 0,021 ml/1 (LC90) selama 24 jam pengujian. Pada pengujian selama 48 jam, dibutuhkan konsentrasi sebesar 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,012 ml/1 (LC90). Konsentrasi terkecil untuk mengendalikan jentik An. aconitus adalah formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada fermentasi 24 jam yaitu LC90 (0,008 ml/1) diikuti fermentasi 22 jam (0,021 ml/1), fermentasi 20 jam (0,058 ml/l) dan fermentasi 18 jam (0,082 ml/1). Sedangkan konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan jentik An. aconius pada fermentasi 25 jam adalah sama dengan fermentasi pada 22 jam yaitu 0,021 ml/1 (LC90). Ini menunjukkan bahwa toksin bakteri B. thuringiensis H-14.(1)
Tabel 1. Jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam serta uji patogenisitasnya terhadap jentik nyamuk Anopheles aconitus Bt H-14 Galur Lokal (jam) 18 20 22 24 25 Kematian 50% dan 90% jentik An. aconitus 24 jam (ml/l) 48 jam (ml/l) LC50 LC90 LC50 LC90 0,016 0,082 0,012 0,078 0,009 0,058 0,001 0,011 0,008 0,021 0,005 0,016 0,002 0,008 0,001 0,004 0,005 0,021 0,001 0,012

Tabel 2. Jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup formulasi cair B. thuringiensia H-14 galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam serta uji patogenisitasnya terhadap jentik Culex quinquefasciatus Bt H-14 Galur Lokal (jam) 18 20 22 24 25 Kematian 50% dan 90% jentik Cx. quinquefasciatus 24 jam (ml/l) 48 jam (ml/l) LC50 LC90 LC50 LC90 0,002 0,008 0,001 0,006 0,002 0,009 0,001 0,005 0,002 0,013 0,001 0,004 0,001 0,002 0,001 0,001 0,001 0,003 0,001 0,002

Jumlah sel hidup 4,5x107 5,0x108 10,2x108 10,0x108 9,2x108

Jumlah spora hidup 10,9x107 8,6x108 9,0x108 12,8x108 1,2x108

Jumlah sel hidup 4,5x107 5,0x108 10,2x108 10,0x108 9,2x108

Jumlah spora hidup 10,9x107 8,6x108 9,0x108 12,8x108 1,2x108

Pertumbuhan yang baik untuk memperbanyak spora dan kristal formulasi cair B. thuringiensis galur lokal adalah pada 24 jam fermentasi. Hal ini sesuai dengan fase pertumbuhan bakteri B. thuringiensis yang sempurna pada 24 jam inkubasi. Hasil perhitungan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada fermentasi 18 jam, 20 jam, 22 jam, 24 jam dan 25 jam serta uji patogenisitasnya terhadap jentik Cx. quinquefasciatus instar III akhir disajikan pada Tabel 2. Jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup B. thuringiensis H-14 masing-masing sebesar 4,5x107 sel/ml dan 10,9x107 spora/ml, mampu mengendalikan 50% dan 90% jentik Cx. 40 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

quinquefasciatus instar I akhir pada konsentrasi 0,002 ml/1 (LC50) dan 0,008 ml/l (LC90) selama 24 jam pengujian pada fermentasi 18 jam. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan konsentrasi sebesar 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,006 ml/1 (LC90). Fermentasi B. thuringiensis H-14 selama 20 jam, memperoleh jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup masing-masing sebesar 5,0x108 sel/ml dan 8,6x108 spora/ml, mampu mengendalikan 50% dan 90% jentik Cx. quinquefasciatus pada konsentrasi 0,002 ml/1 (LC50) dan 0,009 ml/1 (LC90) selama 24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan konsentrasi sebesar 0,001 ml/l (LC50) dan 0,005 ml/1 (LC90). Fermentasi selama 22 jam, menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup masing-masing sebesar 10,2x108 sel/ml dan 9,0x108 spora/ml, mampu mengendalikan 50% dan 90% jentk Cx. quinquefscitus pada konsentrasi 0,002 ml/l (LC50) dan 0,013 ml/1 (LC90) selama 24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan konsentrasi sebesar 0,001 ml/l (LC50) dan 0,004 ml/1 (LC90). Fermentasi selama 24 jam, menghasilkan jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup masingmasing sebesar 10,0x108 sel/ml dan 12,8x108 spora/ml mampu mengendalikan 50% dan 90% jentik Cx. quinquefasciatus pada konsentrasi 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,002 ml/l (LC90) selama 24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan konsentrasi sebesar 0,001 ml/l pada LC50 dan LC90. Fermentasi formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada fermentasi 25 jam, menghasilkan jumlah sel hidup dan spora hidup masing-masing sebesar 9,2x108 sel/ml dan 11,2x108 spora/ml, mampu mengendalikan 50% dan 90% jentik Cx. quinquefasciatus pada konsentrasi 0,001 ml/l (LC50) dan 0,003 ml/l (LC90) selama 24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan konsentrasi sebesar 0,001 ml/1 (LC50) dan 0,002 ml/1 (LC90). Seperti halnya jentik An. aconitus, konsentrasi terendah untuk mengendalikan jentik Cx. quinquefasciatus adalah konsentrasi pada 24 jam fermentasi yaitu LC90 (0,002 ml/1). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan spora dan kristal B. thuringiensis H-14 optimal atau sempurna selama 24 jam fermentasi. Perbedaan konsentrasi B. thuringiensis H-14 galur lokal pada berbagai fermentasi dapat disebabkan oleh perilaku makan instar jentik, ada tidaknya toksin di daerah makan jentik (larval feeding zone) serta tingkat sedimentasi/pengendapan yang dapat mempengaruhi efektivitasnya(4). Berdasarkan perilaku makan jentik, maka jentik An. aconitus biasa mengambil makanan di daerah permukaan air (lebih kurang 1-2 mm) sedangkan di bawah per-

mukaan air, merupakan daerah makan jentik Cx. quinquefasciatus (5). Jumlah sel hidup dan jumlah spora hidup tidak sama pada berbagai fermentasi formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal (Tabel 1, 2), tetapi hal ini tidak prinsipil; yang lebih penting adalah toksisitas atau daya bunuhnya terhadap jentik nyamuk (6).

formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal pada tempattempat perindukan jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus menggunakan konsentrasi aplikasi terkecil.
KEPUSTAKAAN 1. 2. WHO. Data sheet on the biological control agent Bacillus thuringiensis serotype H-14. WHO/VBC, 1979; 79.750.13 p. Blondine ChP. Penggunaan strain lokal Bacillus thuringiensis sebagai pengendalian vektor jentik nyamuk. Laporan Akhir Penelitian Rutin. 1998/1999. Finney DJ. Probit Analysis, 3rded. Cambridge Univ. Press. London. 1971. Mulla MS, Darwazeh HA, Aly C. Laboratory and field studies on new formulations of two microbial agents against mosquitoes. Bull. Soc. Vector. Ecol., 1986; 1 (2) : 255-63. Becker N, Djakaria S, Kaiser A, Zulhasril O, Ludwig HW. Efficacy of a new larvae tablet formulations of an Asporogenus strain of Bacillus thuringiensis israelensis against of Adese aegypti. Bull. Soc. Vector. Ecol.. 1991; 16 (1): 1-7. Bulla LA,Jr, Faust RM, Wabiko H, Raymond KC. Insecticidal Bacilli in DA Dubanau (ed) : The Molucular Biology of the Bacilli. Acad. Press. Inc. London, 1985; p.186-210. WHO. Informal consultation of becterial formulations for effective vector control in endemic area. WHO/VBC, 1989; 89.979.

KESIMPULAN DAN SARAN Konsentrasi formulasi cair B. thuringiensis H-14 galur lokal yang terkecil dan efektif mengendalikan jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus adalah konsentrasi pada fermentasi 24 jam dengan jumlah sel hidup dan spora hidup masing-masing sebesar 10,0x108 sel/ml dan 12,8x108 spora/ml dan dapat mengendalikan 50% dan 90% jentik An. aconitus dan Cx. quinquefasciatus berturut-turut pada konsentrasi 0,002 ml/l (LC50), 0,008 ml/l (LC90); 0,001 ml/l (LC50), 0,002 ml/l (LC90); selama 24 jam pengujian. Pengujian selama 48 jam, membutuhkan konsentrasi 0,001 ml/l (LC50), 0,004 ml/l (LC90) untuk jentik An. aconitus dan 0,001 ml/l (LC50 dan LC90) bagi jentik Cx. quinquefasciatus.

3. 4. 5.

6. 7.

Penelitian akan dilanjutkan dengan melakukan penebaran

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 41

HASIL PENELITIAN

Uji Efikasi Insektisida Abate 500 EC secara Pengabutan terhadap Aedes aegypti
Hasan Boesri, Damar Tri Boewono, Hadi Suwasono
Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Salatiga

ABSTRAK Uji penyemprotan terhadap Aedes aegypti menggunakan alat thermal fogging dengan insektisida Abate 500 EC (dosis 60, 100, 120, dan 240 ml/ha) dan Icon 25 EC (dosis 75 ml/ha) telah dilakukan pada pagi hari di perumahan Kotamadya Salatiga, tahun 1998. Hasil evaluasi uji hayati (air bioassay) menunjukkan bahwa dengan jarak 2 meter, dosis 100, 120, dan 240 ml/ha mampu memberikan efek kematian Aedes aegypti sebesar 100%, setelah diamati selama 24 jam di laboratorium.

PENDAHULUAN Di Indonesia penyebaran Aedes aegypti sebagai penular penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) makin meluas sesuai perkembangaan lingkungan.(1) Salah satu cara untuk menghadapi letusan penyakit DBD adalah penyemprotan dengan sistim thermal fogging karena memiliki kelebihan dapat memberikan kabut yang banyak sehingga dapat masuk ke dalam ruangan secara merata. Sejak tahun 1972 hingga sekarang digunakan insektisida Malathion 96 EC.(3) Meskipun belum ada tanda-tanda kekebalan Aedes aegypti, dipandang perlu melakukan uji coba insektisida alternatif. Bahan kimia aktif temefos (Abate) diketahui efektif membunuh nyamuk dan serangga lainnya(4). Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas beberapa dosis insektisida Abate 500 EC secara thermal fogging terhadap nyamuk Aedes aegypti.

Insektisida yang digunakan adalah Abate 500 EC dosis 60 ml/ha, 100 ml/ha, 120 ml/ha, 240 ml/ha dan Icon 25 EC dosis 75 ml/ha. Cara Kerja Pengujian dilakukan di daerah pemukiman penduduk di Desa Kauman Kidul Kecamatan Sidorejo dan pemukiman penduduk di Desa Warak, Kecamatan Sidomukti, Kodya Salatiga, pada bulan Nopember 1998. Pada uji bioassay, sebelum penyemprotan disiapkan terlebih dahulu kurungan nyamuk berukuran 12x12x12 cm, Kurungan tersebut digantung setinggi 1.60 meter dari tanah baik di dalam maupun di luar rumah, ditempatkan pada jarak 5 meter dari rute penyemprotan. Tiap lokasi menggunakan 25 kurungan dan masingmasing kurungan berisi 25 ekor nyamuk Aedes aegypti betina kenyang darah. Pengamatan dan penghitungan jumlah nyamuk yang mati atau pingsan dilakukan 15 menit dan 30 menit pasca penyemprotan. Setelah 60 menit, nyamuk di dalam kurungan dipindahkan ke dalam monocup bersih (tidak terkontaminasi) menggunakan aspirator kemudian dipelihara di laboratorium untuk diamati jumlah kematiannya setelah 24 jam. Sebagai kontrol dilakukan seperti di atas di daerah pembanding (tanpa penyemprotan). Suhu dan kelembaban nisbi udara selama

BAHAN DAN METODE Serangga uji adalah nyamuk Aedes aegypti betina kenyang darah berumur 3-5 hari yang diambil dari tempat koloni nyamuk. Alat yang digunakan berupa kurungan pemaparan berukuran 12x12x12 cm, aspirator, tabung penimpan (cup), kapas, kain kasa, karet dan penyimpan nyamuk (box). 42 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

periode pengujian diukur dan dicatat. Kriteria efikasi insektisida ditentukan berdasarkan persentase nyamuk pingsan (knockdown) dan kematian (mortalitas) pada periode waktu uji.(5) Analisa data Kriteria efikasi diambil berdasarkan waktu pingsan (knock down time) 50% dan 100% dari jumlah nyamuk uji. Persentase kematian dihitung dari data yang telah dikoreksi dengan jumlah nyamuk pingsan dan mati pada kontrol sbb :
Jumlah nyamuk pingsan /mati Persentase nyamuk pingsan/mati = ---------------------------------------- x 100% Jumlah nyamuk uji

Koreksi data Jika persentase kematian pada kontrol antara 5-20% maka data harus dikoreksi dengan rumus Abbot sbb :
A -B A.1 = --------------- x 100% 100 -B Keterangan : A.1 = Persentase kematian setelah dikoreksi A = Persentase kematian nyamuk uji B = Persentase nyamuk kontrol

ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk pingsan sebanyak 0,50%, dosis 100 ml/ha sebanyak 2,25%, dosis 120 ml/ha sebanyak 10,25%, dosis 240 ml/ha sebanyak 43,75% dan Icon 25 EC dosis 75 ml/ha sebanyak 75,25%. Pengamatan 2 jam pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk pingsan sebanyak 5,50%, dosis 100 ml/ha sebanyak 15,00%, dosis 120 ml/ha sebanyak 38,75%, dosis 240 ml/ha sebanyak 87,50% dan Icon EC dosis 75 ml/ha sebanyak 93,75%. Pengamatan 4 jam pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menunjukkan jumlah nyamuk mati sebanyak 10,50%, dosis 100 ml/ha sebanyak 40,75%, doiss 120 ml/ha sebanyak 38,75%, dosis 240 ml/ha sebanyak 100,00% dan Icon EC dosis 75 ml/ha sebanyak 100,00%. Pengamatan 8 jam pasca pengabutan dosis 60ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk mati sebanyak 48,00%, dosis 100 ml/ha sebanyak 93,25%, dosis 120 ml/ha sebanyak 100,00%, dosis 240 ml/ha sebanyak 100,00% dan Icon 25 EC dosis 75 ml/ha sebanyak 100.00%. Pengamatan 12 jam pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menunjukkan jumlah nyamuk mati sebanyak 52,00%, dosis 100,120,240 ml/ha (Abate 500 EC) dan Icon 25 EC dosis 75ml/ha masing-masing sebanyak 100,00%. Pengamatan 24 jam pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk mati sebanyak 52,25%,dosis 100,120,240 ml/ha (Abate 500EC) dan Icon 25 EC dosis 75 ml/ha masingmasing sebanyak 100,00%. Kematian nyamuk uji Aedes aegypti di dalam rumah Pengamatan 15 menit pasca pengabutan dosis 60, 100 ml/ha masing-masing menghasilkan jumlah nyamuk pingsan sebanyak 0,00%, dosis 120 ml ml/ha sebanyak 0,75%, dosis 240 ml/ha sebanyak 18,50% dan icon 25 EC dosis 75 ml/ha sebanyak 59,50%. Pengamatan 30 menit pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk pingsan sebanyak 0,05%, dosis 100 ml/ha sebanyak 2.75% dan dosis 120 ml/ha sebanyak 7,75%, dosis 240 ml/ha sebanyak 32,75% dan icon 25 EC dosis 75 ml/ha sebanyak 59,50%. Pengamatan 1 jam pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menunjukkan jumlah nyamuk pingsan sebanyak 1,00%, dosis 100 ml/ha sebanyak 9,50% dan dosis 120 ml/ha sebanyak 18,00%, dosis 240 ml/ha sebanyak 70,75% dan icon 25 EC dosis 75 ml/ha sebanyak 83,25%. Pengamatan 2 jam pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menunjukkan jumlah nyamuk pingsan sebanyak 8,25%, dosis 100 ml/ha sebanyak 39,25% dan dosis 120 ml/ha sebanyak 47,00%, dosis 240 ml/ha sebanyak 99,75% dan icon 25 EC dosis 75 ml/ha sebanyak 98,00%. Pengamatan 4 jam pasca pengabutan dosis 60 ml/ha diperoleh jumlah nyamuk mati sebanyak 20,25% dosis 100 ml/ha sebanyak 56,50 % dan dosis 120 ml/ha sebanyak 85,25% dosis 240 ml/ha dan icon 25 EC dosis 75 ml/ha masing-masing sebanyak 100,00%. Pengamatan 8 jam pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menunjukkan jumlah nyamuk mati sebanyak 55,50%, dosis 100 ml/ha sebanyak 99,75% dan dosis 120 ml/ha dosis 240 ml/ha, dan icon 25 EC dosis 75ml/ha sebanyak 100,00%. Pengamatan 12 jam pasca pengabutan dosis 60 ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk mati sebanyak 61,25% dosis 100 ml/ha sebanyak 99,75% dan dosis 120 ml/ha, dosis 240 ml/ha (Abate500 EC) dan dosis 75 ml/ha (Icon 25 EC) masing-masing sebanyak 100,00%. Pengamatan 24 jam pasca pangabutan dosis 60 ml/ha menghasilkan jumlah nyamuk Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 43

Bila kematian pada kontrol lebih besar dari 20%, maka pengujian dianggap gagal dan harus diulang. Efikasi insektisida dinyatakan baik, apabila hasil pengujian menunjukkan angka kematian 90-100%; kurang baik jika kematian kurang dari 90%.(5) Pengujian Data dianalisis dengan uji F dalam Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan 10 (sepuluh) rumah ulangan dan dilanjutkan dengan Uji Duncan (multiple range test) pada taraf 5% dan 1%.(6)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian uji insektisida Abate 500 EC dosis 60, 100, 120, 240 ml/ha yang dibandingkan dengan Icon 25 EC dosis 75 ml/ha terhadap nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus disajikan pada tabel 1 dan tabel 2. Pada penelitian ini pengaruh insektisida terhadap kematian nyamuk uji ditentukan oleh angka kematian 24 jam pasca pengabutan.(7)

Kematian nyamuk Aedes aegypti di luar rumah Pengamatan 15 menit pasca pengabutan dosis 60 dan 100 ml/ha masing-masing mendapatkan jumlah nyamuk pingsan sebanyak 0,00%, dosis 120 ml/ha sebanyak 1,00%. dosis 240 ml/ha sebanyak 10.75% dan Icon dosis 75 ml/ha sebanyak 53,75%. Pengamatan 30 menit pasca pengabutan dosis 60ml/ha mendapatkan jumlah nyamuk pingsan sebanyak 0,50%, dosis 100 ml/ha sebanyak 0,75%, dosis 120 ml/ha sebanyak 1,75%, dosis 240 ml/ha sebanyak 13,50% dan Icon EC dosis 75 ml/ha sebanyak 53,5%. Pengamatan 1 jam pasca pengabutan dosis 60

mati sebanyak 75/75%, dosis 100, 120, 240 ml/ha. (Abate500 EC) dan dosis 75 ml/ha (Icon 25 EC) masing-masing sebanyak 100,00 % (Gambar 1). Analisis menggunakan uji F pada rancangan acak kelompok dan dilanjutkan uji Duncan, menghasilkan bahwa antara keempat dosis 60, 100, 120, 240 ml/ha insektisida Abate.500 EC, yang dibandingkan dengan dosis 75 ml/ha Icon 25 EC pada pengabutan di luar rumah maupun di dalam rumah menunjukkan perbedaan bermakna pada tiap periode pengamatan (P > 0,05). Hal ini karena pengaruh daya bunuh pada perbedaan dosis aplikasi, sehingga diperoleh kisaran kematian Aedes aegypti pada setiap dosis. Pada waktu pelaksanaan penelitian kecepatan angin berkisar 0-4 km per jam, suhu udara berkisar 24,0-26,00 C di dalam rumah dan 25,5-29,00 C di luar rumah. Pada awal pengamatan kelembaban udara di dalam rumah berkisar 63,0-76,0% dan 62,0-72,0% di luar rumah. Sedangkan pada akhir pengamatan kelembaban udara 62,0-68,0% di dalam rumah dan 62,0-67,0% di luar rumah. KT 50 dan KT 90 di luar rumah Hasil perhitungan menggunakan program analisis probit, menunjukkan bahwa pada pengabutan di luar rumah dosis 60
100 90 80 70

ml/ha terhadap nyamuk Aedes aegypti, KT 50 nya 14,3 jam; dosis 100 ml/ha - 3,7 jam, dosis 120 ml/ha - 2,3 jam, dosis 240 ml/ha - 0,9 jam dan dosis 75 ml/ha Icon 25 EC - 0,3 jam. Sedangkan KT 90 pada pengabutan terhadap nyamuk Aedes aegypti di luar rumah dosis 60 ml/ha sebesar 76,0 jam; dosis 100 ml/ha sebesar 8,0 jam, dosis 120 ml/ha - 5,8 jam, dosis 240 ml/ha - 2,4 jam dan dosis 75 ml/ha Icon 25 EC - 1,7 jam. KT 50 dan KT90 di dalam rumah Hasil perhitungan menggunakan program analisis probit, menunjukkan bahwa pada pengabutan di dalam rumah dosis 60 ml/ha terhadap nyamuk Aedes aegypti, KT50 nya - 9,0 jam; dosis 100 ml/ha - 2,6 jam, dosis 120 ml/ha - 1,8 jam, dosis 240 ml/ha - 0,5 jam dan dosis 75 ml/ha Icon 25 EC - 0,2 jam. Sedangkan KT90 pada pengabutan terhadap nyamuk Aedes aegypti di dalam rumah dosis 60 ml/ha diperoleh sebesar 36,9 jam; dosis 100 ml/ha - 26,5 jam, dosis 120 ml/ha - 4,8 jam, dosis 240 ml/ha - 1,4 jam dan dosis 75 ml/ha Icon 25 EC - 1,2 jam. Hasil analisis probit kematian nyamuk setelah 24 jam pengabutan di dalam dan di luar rumah berdasarkan KT50 dan KT90 menunjukkan bahwa semua dosis (60,100,120,240 ml/ha) efektif (Gambar 2).

Persentase kematian

60 50 40 30 20 10 0 60.ml/ha 100.ml/ha.] 120.ml/ha 240.ml/ha 75.ml/ha.Icon 25 EC

Dosis Abate 500 EC


Dalam rumah Luar rumah Kontrol

Gambar 1. Histogram kematian nyamuk Aedes aegypti di dalam dan luar rumah akibat pengabutan insektisida Abate 500 EC dan Icon 25 EC di pemukiman penduduk

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

80 70 60 Waktu (Jam) 50 40 30 20 10 0
60.ml/ha 100.ml/ha 120.ml/ha 240.ml/ha 75 ml/ha Icon 25 EC LT .50.dalam rumah LT .90.dalam rumah LT .50.luar rumah LT .90.luar rumah

Dosis Abate 500 EC


Gambar 2. Lethal time (lt) 50 dan 90 nyamuk Aedes aegypti pada pengabutan di dalam dan luar rumah dengan insektisida Abate 500EC dan Icon 25 EC.

KESIMPULAN Dosis insektisida Abate 500 EC efektif membunuh nyamuk Aedes aegypti di dalam maupun di luar rumah adalah 100,120,240 ml/ha. Dosis tersebut pada uji efikasi menghasilkan kematian nyamuk sebanyak 100,00%. Dosis 60 ml/ha insektisida Abate 500 EC secara thermal fogging kurang efektif membunuh Aedes aegypti. KT90 pada pengabutan terhadap Aedes aegypti di luar rumah dosis 100 ml/ha adalah 8,0 jam, dosis 120 ml/ha adalah 5,8 jam dan dosis 240 ml/ha adalah 2,4 jam. Sedangkan KT90 di dalam rumah dosis 100 ml/ha adalah 6,5 jam,dosis 120 ml/ha - 4,8 jam dan dosis 240 ml/ha - 1,4 jam.
KEPUSTAKAAN 1. Hasan Boesri, Sukarno, Tri Suwaryono, M. Yasid, Sudipuryanto. Ke2.

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

padatan telur Aedes aegypti dan Aedes albopictus berdasarkan ketinggi-an daerah pemukiman di Jawa Tengah, Maj. Parasitol. Indon.1995; 8 (1). Hasan Boesri, Sumardi, Tri Suwaryono, Moh. Yasid, Heru Priyanto. Pengaruh pengasapan (thermal fogging) dengan insektisida Lorsban 480 EC, Icon 25 EC dan Malathion 96 EC terhadap larva Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus. Maj. Kes. Masy. 1996;54. Sudyono. Malathion. Ditjen. P3M. Departemen Kesehatan RI. Jakarta, 1983. Tarumingkeng RC. Pengantar Toksikologi Pestisida. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, 1989. Komisi Pestisida. Pedoman Efikasi Insektisida di Indonesia. Depar-temen Pertanian. Jakarta, 1978. Steel RGD, Tprrie JH. Prinsip dan Potensial Statistika. cet. ketiga. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 1993. WHO. Chemical methods for the control of artropo vectors and insect of public health importance. 1984. Departemen Kesehatan. Pedoman Pelaksanaan Program Pemberantasan DBD. Ditjen. P3M. Departemen Kesehatan. RI. Jakarta, 1987. Suharyono. Penanggulangan DBD dengan fogging Malathion pada tempat penularan potensial di Jakarta. Maj. Kesehatan. Dep.Kes. 1987.

A certain peace is better and safer than an expected victory

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

45

HASIL PENELITIAN

Tingkat Aktivitas Kholinesterase, Pengetahuan dan Cara Pengelolaan Pestisida pada Petani/Buruh Penyemprot Apel di Desa Gubuk Klakah, Jawa Timur
Sri Sugihati Slamet, Nimah Bawahab
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Dalam upaya meningkatkan produksi, petani menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama, penyakit tanaman serta jasad pengganggu lainnya. Penggunaan pestisida terbesar yaitu pada tanaman holtikultura apel. Penyemprotan dan pengelolaan yang tidak benar akan menyebabkan keracunan pestisida yang dapat ditunjukkan dengan Pemeriksaan Aktifitas Kholinesterase; untuk mengetahui tingkat keracunannya, dilakukan penelitian tentang tingkat aktivitas kholinesterase, pengetahuan dan cara pengelolaan pestisida pada petani/buruh penyemprot apel di dua musim. Pengukuran tingkat aktivitas kholinesterase darah petani/buruh penyemprot menggunakan alat Tintometer kit. Pengumpulan data mengenai pengetahuan dan cara pengelolaan pestisida menggunakan instrumen kuesioner. Hasil pemeriksaan menunjukkan penurunan aktivitas kholinesterase < 62,5% terjadi pada 4% petani/buruh di musim kemarau dan 13% di musim hujan. Tingkat pengetahuan pestisida > 64% petani/buruh baik dan pengelolaan pestisida > 78% baik, walaupun yang mendapat penyuluhan hanya 55%. Frekuensi penyemprotan 3-4 kali/ minggu meningkat 32% dari musim kemarau ke musim penghujan.

PENDAHULUAN Dalam upaya peningkatan produksi pertanian dan pengendalian hama, penyakit tanaman serta jasad pengganggu lainnya, petani menggunakan pestisida. Pestisida digunakan terutama dalam proses tanam jenis tanaman holtikultura. Berdasarkan data petugas penyuluh pertanian lapangan (PPL) tanaman holtikultura yang paling banyak menggunakan pestisida adalah tanaman apel; upaya untuk mempertahankan buah apel dari serangan hama dilakukan penyemprotan pestisida baik pada musim kemarau maupun pada musim peng46 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

hujan. Cara pengelolaan pestisida yang tidak baik dapat mengganggu kesehatan manusia. Golongan pestisida organofosfat dan karbamat dapat menghambat aktivitas kolinesterase, sehingga untuk mengetahui gambaran tentang paparan petani/ buruh penyemprot apel pada musim kemarau dan musim penghujan serta tingkat pengetahuan dan pengelolaan pestisida, dilakukan penelitian tingkat aktivitas kholinesterase dan pengetahuan serta cara pengelolaan pestisida petani/buruh penyemprot apel di Desa Gubuk Klakah, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

TUJUAN PENELITIAN Menetapkan tingkat aktivitas kholinesterase darah petani penyemprot apel pada musim kemarau dan musim penghujan. Menetapkan pengetahuan dan perilaku petani penyemprot apel dalam pengelolaan pestisida. METODA PENELITIAN Metoda penelitian cross-sectional Sampel adalah petani apel atau buruh penyemprot kebun apel di desa Gubuk Klakah Kabupaten Malang Jawa Timur. CARA PENELITIAN I. Pengukuran tingkat aktivitas kholinesterase petani atau buruh penyemprot. Petani atau buruh penyemprot diambil sampel darahnya sebanyak 0,01ml, kemudian diukur kadar kholinesterasenya dengan menggunakan alat Tintometer Kit. Pengukuran dilakukan yaitu pada musim kemarau dan musim penghujan. II. Pengumpulan data mengenai pengetahuan, sikap dan cara petani dalam pengelolaan pestisida. Data diperoleh melalui wawancara menggunakan instrumen kuesioner yang mencakup pengetahuan, bahaya, penggunaan pakaian pelindung, cara penyemprotan, cara pengelolaan pestisida dan apakah pernah mendapat penyuluhan mengenai pestisida. HASIL PENELITIAN 1) Sebanyak 100 orang petani apel dan buruh penyemprot kebun apel berhasil terkumpul di desa Gubuk Klakah, Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang, Jawa Timur. Hasil pengukuran kholinesterase darah mereka dengan menggunakan Tintometer Kit pada kedua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tingkat Aktivitas Kholinesterase darah petani/buruh penyemprot Apel di desa Gubuk Klakah, Jawa Timur Jumlah Petani/buruh (N : 100) Musim Kemarau Musim Penghujan (%) (%) 33 47 16 3 1 10 43 32 11 2

sama, dan dilakukan 2 kali yakni pada musim kemarau dan musim penghujan dengan tehnik bertanya berbeda. Adapun data mengenai pengetahuan pestisida, baik mencakup jenis pestisida yang digunakan, bahaya pestisida, manfaat pakaian pelindung, bahaya makan, minum dan merokok waktu menyemprot, dapat diketahui pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengetahuan Responden tentang Pestisida di Desa Gubuk Klakah, Jawa Timur Jumlah Responden (N = 100) Musim Musim Kemarau (%) Penghujan (%) 16 71 13 83 17 64 11 25 13 75 12 84 16 65 11 24

No.

Pengetahuan Pestisida

1.

Jenis Pestisida Tahu < 4 jenis pestisida Tahu > 4 jenis pestisida Tidak tahu Bahaya Pestisida Beracun Tidak beracun Manfaat pakaian pelindung - Melindungi tubuh dari keracunan pestisida - Melindungi tubuh dari panas dan hujan - Tidak tahu Bahaya merokok, makan dan minum sewaktu menyemprot - Menyebabkan keracunan - Menghambat pekerjaan - Tidak tahu

2.

3.

4.

83 8 9

90 5 5

Aktivitas Kholinesterase darah (%) 100 87,5 75 62,5 50

Tingkat aktivitas kholinesterase darah pada 70% merupakan batas, bahwa seseorang mulai keracunan pestisida dan memerlukan istirahat. Namun alat ini hanya bisa mendeteksi tingkat aktivitas kholinesterase pada 75% dan 62,5%. Sehingga yang diduga beracun adalah tingkat aktivitas kholinesterase <62,5%. Pada musim kemarau 4% petani/buruh tingkat aktivitas kholinesterasenya < 62,5%, sedangkan pada musim hujan mencapai 13% petani/buruh penyemprot. 2) Hasil wawancara terhadap responden petani/buruh penyemprot apel dengan menggunakan instrumen kuesioner yang

Baik mengenai jenis pestisida, bahaya pestisida, manfaat pakaian pelindung dan bahaya makan-minum atau merokok selama penyemprotan, pengetahuan responden > 64% adalah baik. Jawaban tidak tahu terbanyak (24%-25% responden) adalah tentang manfaat pakaian pelindung. Data pengetahuan responden mengenai cara penyimpanan, cara penyemprotan, frekuensi penyemprotan dan cara membersihkan bekas percikan/tumpahan pestisida dapat dilihat pada Tabel 3. Sebagian besar responden memahami cara pengelolaan pestisida seperti yang ditunjukkan >79% responden dan kedua jawaban antara kedua musim cukup konsisten, frekuensi penyemprotan pada musim hujan meningkat 32% dari musim kemarau untuk penyemprotan 3-4 kali per minggu. Data responden yang pernah maupun tidak pernah mendapat penyuluhan tentang pestisida dapat dilihat pada Tabel 4. DISKUSI Tingkat aktivitas kholinesterase darah petani/buruh penyemprot apel < 62,5% pada musim kemarau 4% dan meningkat pada musim hujan yang mencapai 13%. Makin tingginya tingkat keracunan pada musim hujan karena frekuensi penyemprotan meningkat, frekuensi penyemprotan 34 kali per minggu meningkat sampai 32% (Tabel 3) karena pada musim hujan pestisida yang telah disemprotkan akan Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 47

cepat hilang dan terbawa air hujan, sehingga perlu penambahan frekuensi penyemprotan agar dihasilkan tanaman yang bebas hama penyakit. Tingkat aktivitas kholinesterase <70% merupakan batas bahwa seseorang sudah mencapai tahap keracunan pestisida(7). Pengetahuan > 64% petani/buruh penyemprot tentang pestisida baik, dan perlakuan terhadap pengelolaan pestisida >78% petani/buruh baik, walaupun hanya 55% petani/buruh yang mendapat penyuluhan. Frekuensi penyemprotan pada musim hujan meningkat 32% untuk 3-4 kali per minggu,

Tabel 4. No.

Responden yang pernah mendapat penyuluhan pestisida. Jumlah Responden (N = 100) Musim Kemarau Musim Penghujan (%) (%) 55 45 58 42

Dapat Penyuluhan

1. 2.

Pernah Tidak pernah

Tabel 3. Pengetahuan Responden tentang Pengelolaan Pestisida. Pengetahuan Cara Pengelolaan Pestisida Cara penyimpanan pestisida : - Dalam botol khusus pestisida - Dalam tas plastik - Lain-lain Cara penyemprotan : - Tidak berlawanan arah angin - Tidak menyemprot pada waktu panas terik - Tidak tahu Frekuensi penyemprotan ratarata per minggu : 1 - 2 kali 3 - 4 kali 5 - 6 kali Cara membersihkan bekas percikan : - Dicuci dengan kain - Dicuci dengan air bersih - Dicuci dengan sabun + air Jumlah Responden (N = 100) Musim Musim Kemarau (%) Penghujan (%) 91 9 79 10 11 95 5 -

No.

1.

KESIMPULAN 1) Tingkat aktivitas kholinesterase yang menunjukkan batas keracunan < 62,5% ditemukan 4% petani/buruh penyemprot pada musim kemarau dan pada musim hujan mencapai 13% petani/buruh penyemprot. 2) Pengetahuan > 64% petani/buruh penyemprot tentang pestisida baik, sedangkan perlakuan terhadap pengelolaan pestisida > 78% baik, walaupun hanya 55% yang mendapat penyuluhan. Frekuensi penyemprotan pada musim hujan meningkat 32% untuk 3-4 kali penyemprotan per 4 mingguan.

2.

KEPUSTAKAAN 88 6 6 2. 3. 78 19 3 38 51 11 4. 5. 6. 1 9 90 1 8 91 7. 1. Fahmi. Pencemaran Pestisida di Indonesia, Bahan penataran Pestisida Regional bagi Petugas Hygiene & Sanitasi Tingkat Kabupaten dan Propinsi, Sub Dit. P3M Pestisida Dit.Jen. P3M Dep.Kes. RI, 1982. Sub Dit. Pestisida. Peraturan-Peraturan tentang Pestisida, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta. 1978. KOMPES. Pengembangan Industri Pestisida di Indonesia. Media Pestisida 1983;.6:8. Dit.Jen. P3M Dep.Kes. RI. Usulan Pengendalian Pencemaran dan Keracunan Pestisida, Sub Dit. P2 Pestisida Dit.Jen. Pengendalian Pencemaran dan Keracunan Pestisida, Jakarta, 1985; 3. Thomas LC. Colorimetric Chemical Analytical Method. Sansbury England, The Thintometer Ltd., 1974. Untuk, K. Pengendalian Hama Terpadu dan Masalah Penggunaan Pestisida, WALHI, Jakarta. 1982. WHO. Organophosphorus Insecticide : A General Introduction Environmental Health Criteria, 63 WHO Geneva, 1986.

3.

4.

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

HASIL PENELITIAN

Status Kesehatan Petani Perkebunan Rakyat Pengguna Paraquat Dibandingkan dengan Petani bukan Pengguna Paraquat di Lampung Selatan
Janahar Murad, D. Mutiatikum, SR. Muktiningsih
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Penggunaan herbisida telah terbukti bermanfaat meningkatkan hasil pertanian maupun perkebunan. Salah satu bahan aktif herbisida yang secara luas digunakan adalah paraquat, bahan aktif ini telah digunakan di Indonesia sejak tahun 1974. Karena sifat kimia dan toksisitasnya maka pada tahun 1979 statusnya diubah menjadi pestisida terbatas pakai yang hanya boleh digunakan oleh instansi atau perorangan yang telah mendapat izin. Pada akhir tahun delapanpuluhan beberapa kelompok perkebunan rakyat di Lampung Selatan masih menggunakan herbisida tersebut setelah mendapat pelatihan. Untuk melihat keberhasilan pelatihan tersebut dilakukan penelitian status kesehatan pengguna herbisida dengan bahan aktif paraquat dibandingkan dengan petani bukan pengguna paraquat. Kedua kelompok pengguna dan bukan pengguna paraquat masingmasing 50 orang diusahakan dari kelompok usia yang sama, demikian juga kebiasaan merokok serta tingkat pendidikan yang hampir sama. Karena keracunan paraquat tidak menunjukkan gejala yang spesifik, pemeriksaan pengaruh herbisida ini dilihat melalui antara lain: kesehatan umum, tingkat anemia, tekanan darah, Hb, Foto toraks untuk mengetahui terjadinya fibrosis, fungsi hati (SGOT, SGPT, alkalifosfatase, bilirubin) serta fungsi ginjal (ureum dan kreatinin). Status kesehatan kelompok pengguna herbisida dan bukan pengguna herbisida tidak berbeda bermakna. Kata kunci: Herbisida, Paraquat. mengganggu tanaman utama. Senyawa ini banyak digunakan di perkebunan seperti perkebunan teh, kopi, karet, kelapa sawit. Herbisida dengan bahan aktif paraquat telah digunakan di Indonesia sejak tahun 1974. Sifat racun paraquat tidak spesifik dan absorbsi lambat yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan paru-paru (fibrosis), gangguan fungsi Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 49

PENDAHULUAN Penggunaan herbisida untuk mengendalikan gulma pertanian atau perkebunan dapat meningkatkan hasil pertanian; salah satu bahan aktif herbisida yang digunakan secara luas adalah paraquat. Senyawa ini berupa racun kontak yang sangat aktif pada bagian tanaman yang hijau. Paraquat tidak bekerja sistemik jadi tidak merusak perakaran, struktur tanah dan tidak

hati dan fungsi ginjal manusia yang terpapar. Karena sifat racun tersebut, maka pada tahun 1979 senyawa ini ditetapkan menjadi herbisida terbatas dengan ketentuan antara lain hanya boleh digunakan oleh perorangan atau badan hukum tertentu yang memiliki izin menggunakan yang diberikan oleh Menteri Pertanian atau pejabat yang ditunjuk. Pada awalnya hanya perkebunan baik swasta maupun milik negara yang diberi izin penggunaan, tetapi para petani perkebunan rakyat juga membutuhkan herbisida ini, sehingga pada tahun 1988 Dinas Perkebunan Lampung melakukan pelatihan dan penyuluhan pada petani kopi di kecamatan Pagelaran Lampung Selatan. Sejak 1988 petani kopi daerah ini sudah menggunakan herbisida Gramoxon dengan bahan aktif paraquat untuk membasmi tanaman pengganggu pada perkebunan kopi mereka. Untuk mengetahui keberhasilan pelatihan/penyuluhan dilakukan studi tentang status kesehatan petani perkebunan rakyat pengguna paraquat dibandingkan dengan petani bukan pengguna paraquat. TUJUAN Tujuan Umum : Melindungi masyarakat dari dampak negatif pengguna herbisida. Tujuan Khusus : Mengetahui status kesehatan petani pengguna herbisida berbahan aktif paraquat yang telah mendapat pelatihan/penyuluhan dibandingkan dengan bukan pengguna. METODOLOGI Penelitian ini merupakan suatu studi cross sectional untuk mengetahui perbedaan status kesehatan antara petani pengguna paraquat yang telah mendapat pelatihan/penyuluhan dan petani bukan pengguna paraquat. Populasi kasus ini adalah masyarakat petani kopi di daerah Tangkit Serdang dan Talang Lebar kecamatan Pagelaran dan sebagai kontrol petani padi di daerah yang sama. Pengumpulan data dilakukan dengan: 1) Kuesioner untuk kasus dan kontrol meliputi: lokasi, identitas responden, riwayat pekerjaan, sanitasi lingkungan, riwayat kesehatan kerja dan riwayat kesehatan umum. 2) Pemeriksaan kesehatan meliputi: keadaan kesehatan umum, tingkat anemia, tekanan darah, Hb, foto Toraks untuk mengetahui adanya fibrosis, tes fungsi hati (SGPT, SGOT, alkali fosfatase, bilirubin) dan tes fungsi ginjal, (ureum dan kreatinin). Pemeriksaan kesehatan umum dilakukan oleh dokter puskesmas setempat. Pemeriksaan rontgen di UPF Radiologi RSU A. Moeloek, sedangkan pemeriksaan fungsi hati dan ginjal dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah Tanjung Karang Lampung. Analisis perbedaan status kesehatan dilakukan dengan uji test. HASIL Petani kopi di kecamatan Pagelaran Lampung Selatan telah menggunakan herbisida dengan bahan aktif paraquat lebih dari 5 tahun.
Tabel 1. Petani yang mengikuti penyuluhan penggunaan paraquat. Mengikuti Penyuluhan Pernah Jumlah sampel n 38 % 76

Tidak Pernah Jumlah

12 50

24 100

Sebagian besar petani (76%) pernah mengikuti penyuluhan tentang pengolahan herbisida dengan bahan aktif paraquat (Tabel 1).
Tabel 2. Frekuensi penyemprotan dalam bulan/tahun Lama 1 2 bulan 3 4 bulan 5 6 bulan 7 8 bulan Tidak mengisi Jumlah Jumlah yang menyemprot n % 9 18 26 52 10 20 3 6 2 4 50 100

Tabel 3. Frekuensi penyemprotan dalam hari/bulan. Lama 1 4 hari 5 8 hari 9 12 hari 13 16 hari > 16 hari Tidak mengisi Jumlah Jumlah yang menyemprot n % 27 54 14 28 5 10 1 2 2 4 1 2 50 100

Tabel 4. Frekuensi penyemprotan dalam jam/hari Lama 1 2 jam 3 4 jam 5 6 jam > 6 jam Jumlah Jumlah yang menyemprot n % 6 12 35 70 7 14 2 4 50 100

Sekitar 72% petani melakukan penyemprotan antara 3 6 bulan pertahun dengan frekuensi penyemprotan 1 8 hari perbulan (82%) dan 9 12 hari perbulan (10%), tiap hari penyemprotan lamanya 3 4 jam (70%) (Tabel 2, 3, 4). Demografi responden sampel dan kontrol adalah homogen (Tabel 5). Perilaku responden sampel dan kontrol yang berhubungan dengan kesehatan homogen (Tabel 6). Kesehatan umum, sistem peredaran darah dan sistem pernafasan baik sampel maupun kontrol normal (Tabel 7). Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan dilakukan terhadap darah tepi, fungsi hati dan fungsi ginjal. Hasil pemeriksaan dibandingkan antara sampel dan kontrol dengan uji t (t test) dengan tingkat kemaknaan 0,05 dan derajat kebebasan n1 + n2 2 dengan n1=n2=50.
Tabel 5. Demografi responden. No. 1 Ikhwal n Kelompok Umur Sampel % n Kontrol %

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

15 35 tahun > 35 tahun 2 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi Pekerjaanselain petani Tidak ada Pedagang Pegawai negeri Pensiun Lain-lain

18 32 49 1 4 30 9 6 1 37 2 11

36 64 98 2 8 60 18 12 2 74 4 22

17 33 49 1 3 31 9 6 1 37 2 11

34 66 98 2 6 62 18 12 2 74 4 22

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kesehatan umum baik Tekanan darah normal Jantung normal Bunyi jantung normal Anemia Auskultasi normal Rontgen (foto torax) normal Lesi TB aktif Lesi TB non aktif

50 41 49 49 49 44 3 2

100 82 98 98 98 88 6 4

50 47 50 48 1 47 46 2 2

100 94 100 96 2 94 92 4 4

Tabel 8. Hasil pemeriksaan darah tepi Pemeriksaan Hb (g %) Leukosit (/mm) Eritrosit x 106 (/mm) Trombosit x 103 (/mm) LED mm/jam Sampel 11 18,4 4.100 15.500 3,1 6,1 144 416 0 9,9 Kontrol 8,8 18,1 4.450 10.200 2,9 6,1 200 500 3 8,1

Tabel 6. Perilaku responden yang berhubungan dengan kesehatan.

Tabel 9. Hasil pemeriksaan fungsi hati Pemeriksaan Sampel 23 61 9 43 61 216 0,32 1,2 0,12 0,46 0,22 0,88 Kontrol 14 106 8 46 68 156 0,37 1,6 0,10 0,50 0,20 1,09

No. 1 2 3

Ikhwal Merokok Tidak merokok Minum alkohol Tidak minum alkohol Tempatmembersihkan alat semprot Di sumur Di kamar mandi Di sungai Lain-lain Tidak mengisi Tempat melakukan pengenceran Di rumah Di tempat menyemprot Tidak mengisi Mandi sesudah menyemprot Tidak mandi sesudah menyemprot Pakaian dicuci setiap selesai bekerja Pakaian tidak dicuci setiap selesai bekerja

Sampel n % 45 5 11 39 3 29 18 2 48 44 6 33 17 90 10 22 79 60 58 36 4 96 88 12 66 34

Kontrol n % 44 6 12 38 3 1 25 17 4 46 4 43 7 41 9 88 12 74 76 60 2 50 34 8 92 8 86 14 82 18

SGOT (u/l) SGPT (u/l) Alkali fosfatase (u/l) Bilirubin total (mg%) Bilirubin direk (mg%) Bilirubin indirek (mg%)

Tabel 10. Hasil pemeriksaan fungsi ginjal Pemeriksaan Ureum (mg %) Kreatinin (mg %) Sampel 18 57 0,11 1,5 Kontrol 10 46 0,48 1,47

5 6

Hasil pemeriksaan darah tepi sampel dan kontrol tidak berbeda bermakna (Tabel 8). Ada perbedaan bermakna pada kadar alkali fosfatase (p=0,05), sedangkan hasil pemeriksaan ginjal tidak ada perbedaan bermakna (Tabel 9, 10).
Tabel 7. Status kesehatan umum, peredaran darah dan sistem pernafasan. No. Pemeriksaan Sampel n % Kontrol n %

PEMBAHASAN Pada masing-masing kelompok sampel dan kontrol hanya ada 1 orang perempuan. Tingkat pendidikan terakhir yang terbanyak adalah Sekolah Dasar (sampel 60% dan kontrol 62%). Sebagian besar petani tidak mempunyai pekerjaan lain (sampel dan kontrol masing-masing 74%). Kedua kelompok mempunyai kebiasaan merokok yang hampir sama (kelompok sampel 90% dan kelompok kontrol 88% perokok); demikian juga kebiasaan minum beralkohol, kelompok sampel 78% dan kelompok kontrol 76% tidak minum minuman beralkohol. Dari uraian di atas terlihat bahwa kedua kelompok ini homogen. Kebiasaan lain yang berhubungan dengan kesehatan pada kedua kelompok seperti tempat penyimpanan, tempat membersihkan alat semprot, melakukan pengenceran, kebiasaan mandi setelah menyemprot dan pencucian pakaian kerja hampir sama (Tabel 6). Karena kelompok sampel adalah petani perkebunan kopi dan kelompok kontrol sebagian besar adalah petani padi, perbedaan hanya terdapat pada pestisida yang digunakan. Kelompok sampel mengguna-kan herbisida dengan bahan aktif paraquat di samping pesti-sida lain, sedangCermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 51

kan kelompok kontrol menggunakan pesti-sida golongan fosfat organik, karbamat dan piretrin sintetis. Dari hasil pemeriksaan kesehatan yang terdiri dari kesehatan umum, tingkat anemia, tekanan darah, keadaan jantung, tidak terdapat perbedaan antara kedua kelompok. Pemeriksaan rontgen (sinar X) paru kelompok sampel terdapat 5 orang yang tidak normal yang disebabkan oleh infeksi tuberkulosis (3 orang aktif dan 2 orang non aktif). Kelainan ini tidak ada hubungannya dengan pengguna paraquat. Keracunan paraquat sistemik terutama dapat dilihat pada paru antara 24 48 jam setelah menelan lebih kurang 50 ml paraquat pekat, berupa pembengkakan paru dan setelah beberapa hari dapat terjadi fibrosis (1 orang). Dari hasil foto rontgen baik kelompok kontrol maupun kelompok sampel tidak terdapat kelainan tersebut. Pada pemeriksaan kulit dan kuku juga tidak didapatkan kelainan oleh pengaruh penggunaan paraquat. Pada pemeriksaan laboratorium klinis meliputi pemeriksaan hemoglobin (Hb). Harga normal untuk Hb adalah antara 12-18 g%. Pada pemeriksaan tahap awal 50 sampel terdapat 3 orang dengan Hb di bawah normal yaitu 11,0; 11,5 dan 11,6 g%, sedangkan pada kelompok kontrol juga terdapat 3 orang di bawah normal yaitu 8,8; 11,5 dan 11,8 g%, tidak ada perbedaan antara sampel dan kontrol. Pada pemeriksaan leukosit kelompok sampel ada satu orang dengan kadar leukosit melebihi batas normal tetapi hal ini tidak ada hubung-annya dengan penggunaan paraquat. Pada pemeriksaan eritro-sit tidak terdapat penyimpangan dan tidak ada perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok. Pada pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) tidak terdapat penyimpangan pada kedua kelompok. Pada pemeriksaan SGOT tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok, hal ini tidak ada hubungannya dengan penggunaan paraquat, sedangkan pada pemeriksaan SGPT kelompok sampel ada tiga orang yang

melewati batas normal yaitu 40, 42 dan 43, dan kelompok kontrol ada tiga orang yang melewati harga normal yaitu 38, 41 dan 46 secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna. Pada pemeriksaan alkali fosfatase kelompok sampel 47 orang (94%) dalam batas normal dan 3 orang (6%) di atas normal, sedangkan pada kelompok kontrol 49 orang (98%) dalam batas normal 1 orang (2%) di atas normal. Walaupun perbedaan ini bermakna secara statistik tetapi secara klinis tidak terdapat perbedaan. Pemeriksaan bilirubin total, bilirubin direk dan indirek untuk kelompok sampel dan kontrol tidak menghasilkan perbedaan yang bermakna baik secara statistik maupun secara klinis. Status kesehatan kedua kelompok sampel dan kontrol ini tidak berbeda; petani pengguna paraquat sebagian besar (76%) sudah mengikuti pelatihan pengelolaan paraquat, sedangkan yang belum pernah mengikuti pelatihan mendapat bimbingan dari petani yang sudah dilatih. KESIMPULAN Tidak terdapat perbedaan status kesehatan antara kelompok pengguna herbisida dengan bahan aktif paraquat dan kelompok yang tidak menggunakan herbisida tersebut. Dapat disimpulkan bahwa pelatihan yang diberikan kepada para petani cukup efektif dan bermanfaat.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. Haddad LM, Winchester JF. Clinical Management of Poisoning and Drug Overdose. WB Saunders Co, 1983. Dreisbach RH. Handbook of Poisoning. 11th ed; Maruzen Asia Edition, 1983. Cassarett and Doulls Toxicology: The Basic Science of Poisons. 2nd ed; Macmillan Publ. Co. Inc. New York, 1875. Moss D. Liver Function Test. Medicine International, 1994; 7 (28).

Better be friends at a distance than enemies near each other

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Risiko Pemajanan Benzen terhadap Pekerja dan Cara Pemantauan Biologis


Satmoko Wisaksono
Direktorat Pengawasan Nazaba, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Tenaga kerja merupakan kelompok individu yang terlibat dalam kegiatan kerja dan mengharapkan imbalan dalam bentuk upah kerja. Di Indonesia ketentuan tentang lama kerja yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah adalah 8 jam sehari atau 40 jam dalam seminggu. Pemajanan terhadap tenaga kerja beserta lingkungan kerjanya secara terus-menerus akan merupakan beban fisik dan psikologis bagi tenaga kerja yang akhirnya menyebabkan penyakit akibat kerja.(1,2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per. 01/Men/1981 mengenai kewajiban melapor penyakit akibat kerja, mengatur bahwa terdapat 30 jenis penyakit akibat kerja yang berhubungan dengan bahan kimia termasuk benzen dan homolognya yang beracun. Beberapa peraturan penunjang lainnya yang berhubungan dengan kesehatan kerja adalah : Peraturan Menteri Tenaga Kerja No: Per. 02/Men/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No: Per. 03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja. Makalah ini menguraikan risiko pemajanan benzen terhadap pekerja dan cara pemantauannya secara biologis. Di negara maju seperti Amerika OSHA (Occupational Safety and Health Administration) mengawasi penyakit akibat kerja ini secara ketat, termasuk keracunan akibat pemajanan bahan kimia. Perkembangan yang pesat dalam sampling udara, ditambah dengan fakta bahwa benzen meracuni darah (hematotoksik), maka nilai ambang batas benzen ditekan terus menerus.(5,6,7) Dalam hal nilai ambang batas, masing-masing negara belum seragam; misalnya, di Jerman 8 ppm, Australia, Denmark, Finlandia, Jepang, Belanda, dan Amerika menetapkan 10 ppm., sedangkan Swedia menetapkan 5 ppm. Di Indonesia sesuai dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE 01/Men/1997 nilai ambang batas untuk benzen adalah 10 ppm.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1) Benzen = benzol, cyclohexatriene, phenyl hydride, coal napthta.(4) 2) Sifat Fisika dan Kimia Benzen merupakan senyawa hidrokarbon aromatik dengan rantai tertutup tidak jenuh, rumus kimia C6H6. Dalam keadaan normal merupakan cairan tak berwarna, jernih(1,2,4,8,10,11), berbau khas dan mudah terbakar.(4,8,11) Titik didih 80,1C, titik cair 5,5 C.(4) Indeks bias 1,5011, larut dalam 1430 bagian air, dapat campur dengan asam asetat glasial, aseton, etanol, eter, karbondisulfida, karbon tetraklorida, kloroform dan minyak.(4) Benzen termasuk bahan pelarut yang baik, secara kimia cukup stabil; tetapi mudah mengalami reaksi substitusi menjadi bentuk halogen, nitrat dan derivat alkil.(11) 3) Tancampurkan (incompatibility) Campuran benzen dengan bromipentafluorida, klorintrifluorida, klorin, oksigen (cair), ozon, perklorat, perklorilfluorida, aluminium klorida, permanganat, asam sulfat, perak perklorat atau natrium peroksida dapat menimbulkan api dan ledakan. Sedangkan campuran benzen dengan anhidrida kromat, nitril perklorat atau natrium peroksida dapat menimbulkan nyala(4) 4) Penggunaan Senyawa benzen dan hidrokarbon aromatik lainnya secara luas digunakan sebagai bahan bakar, bahan pelarut, bahan tambahan. Karena sifatnya yang cepat kering, maka benzen digunakan secara luas dalam industri perekat dan pernis. Selain itu benzen juga digunakan sebagai bahan antara dalam pembuatan stirena, fenol, sikloheksana, dan zat organik lain; pembuatan deterjen, pestisida, zat warna, linoleum, pelarut lilin, resin, penghapus cat, dan lain-lain. Benzen juga merupakan bahan penting dalam penerbangan dan motor serta penyiapan produk farmasi.(1,2,4,8,11,12) 5) Sumber Benzen dapat ditemukan dalam asap rokok sekitar 47-64 ppm tergantung jenis rokoknya. Selain itu ditemukan dalam air hujan meskipun konsentrasinya rendah antara 0,1-0,5 ug/l. Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 53

Pada industri pengilangan minyak bumi, batu bara serta ter arang, benzen dan derivatnya diperoleh dari hasil langsung maupun sampingan.(8,11,12) 6) Risiko tubuh terhadap pemaparan benzen a) Metabolisme Keracunan benzen umumnya terjadi melalui inhalasi uap, walaupun benzen dapat berpenetrasi melalui kulit(4). Gejala keracunan hebat adalah kejang-kejang, koma, dan akhirnya meninggal. Benzen apabila tidak segera dikeluarkan melalui ekspirasi, maka akan diabsorbsi ke dalam darah.(8,11) Benzen larut dalam cairan tubuh dalam konsentrasi sangat rendah dan secara cepat berakumulasi dalam jaringan lemak karena kelarutannya yang tinggi dalam lemak. Apabila benzen tertelan atau terinhalasi, maka 50% akan keluar melalui ekspirasi(4,5,11), atau ke luar bersama urin.(4,11) Metabolisme terjadi di dalam hati; benzen dioksidasi menjadi hidroksi benzen, 1,2 dihidroksi benzen atau 1,4 dihidroksi benzen.(3,4,8,11) Hidroksi benzen (fenol) kemudian mengalami konjugasi dengan sulfat anorganik menjadi senyawa fenilsulfat dan hidroksi benzen lain yang akhirnya diekskresi melalui urin. Jalur ini disebut Major Pathway. Beberapa peneliti Rusia menyatakan bahwa ekskresi fenilsulfat mencapai puncaknya 4-8 jam setelah pemaparan benzen. b) Reaksi terhadap pemaparan akut benzen. Keracunan melalui mulut. Tertelannya 9 12 g benzen melalui mulut akan menimbulkan tanda-tanda seperti: jalan sempoyongan, muntah, denyut nadi cepat, delirium, pneumonitis, hilang kesadaran; kehilangan kestabilan, dan koma.(3,4,5,7,11) Sedangkan pada konsentrasi sedang, benzen dapat menyebabkan pusing, lemah, mual, sesak napas, dan rasa sesak di dada.(7,12) Keracunan melalui kulit. Bila benzen terpapar di kulit, maka akan diabsorbsi, tetapi lebih kecil jika dibandingkan dengan absorbsi mukosa saluran napas. Secara lokal, benzen merupakan iritan kuat menimbulkan bercak merah dan terbakar serta menghilangkan lemak pada lapisan keratin yang menyebabkan dermatitis kering serta bersisik.(4,7,10,11) Keracunan inhalasi. Penguapan benzen dalam konsentrasi tinggi akan menyebabkan keracunan; paling banyak akibat penghirupan/inhalasi. Pada tingkat permulaan, benzen terutama berpengaruh terhadap susunan saraf pusat. Tanda-tanda utamanya ialah perasaan mengantuk, pusing, sakit kepala, vertigo, delirium, dan kehilangan kesadaran.(4,5,7,11) Pada pemaparan akut tingkat sedang dapat menyebabkan sindrom prenarkosis yang khas ialah sakit kepala, perasaan pusing, atau mabuk, dan kadang-kadang mengalami iritasi ringan pada saluran napas dan cerna. Pemaparan akut dengan konsentrasi tinggi dapat menyebabkan sesak napas, euforia, tinitus, dan anestesia yang dalam. Bila tidak segera ditolong, dapat terjadi kegagalan pernapasan, dan kejang.(1,2,11) Pengaruh terhadap sel Benzen mempengaruhi sel hemopoetik darah tepi dan 54 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

sumsum tulang. Otopsi menunjukkan adanya tanda-tanda perdarahan di otak, perikardium, saluran kemih, membran mukosa dan kulit.(3,7,11) 7) Pemaparan benzen kronis Pemaparan benzen kronis secara inhalasi pada manusia dengan kadar rendah menyebabkan gejala psikologis. Gejala tersebut dipengaruhi oleh variasi individu, antara lain keadaan gizi, faktor genetik, keadaan imunologis tertentu, dan penggunaan alkohol atau obat-obatan. Tanda-tanda yang dihubungkan dengan pemaparan benzen kronis secara inhalasi berupa sakit kepala, pusing, kelelahan, anoreksia. dispnea, gangguan penglihatan, pucat, vertigo dan hilang kesadaran.(3,7,11) Pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan beberapa pengaruh seperti hiperbilirubinemi, splenomegali, adrenomegali, anemia hemolitik, anemia aplastik, gangguan sistim limfatik, retikulositosis, leukopeni, pansitopeni, eosinofili, basofili, trombositopeni, monositosis, hiperplasi sumsum tulang dan penyimpangan kromosom.(3,4,5,8,11) Pengaruh pemaparan kronis melalui inhalasi mempunyai tiga tingkatan, ialah : Pemaparan konsentrasi rendah, menghasilkan perubahan sangat sedikit, hampir tidak jelas pada sistem hemopoetik. Pemaparan konsentrasi sedang akan mempengaruhi sintesis enzim tertentu, sensitisasi dan anemia. Pemaparan konsentrasi tinggi dapat menimbulkan gangguan sel darah yang irreversibel.(3,4,11) a) Pengaruh fisiologis Tenaga kerja yang terpapar kadar rendah secara kronis, menunjukkan tanda-tanda gangguan susunan saraf pusat(4,11), dan gangguan pandangan.(11) Pengaruh utama keracunan benzen kronis adalah terhadap susunan saraf pusat yang mungkin tidak dapat segera dikenali karena gejalanya tidak spesifik seperti sakit kepala, anoreksia, vertigo, dan sebagainya. Sedangkan konsentrasi yang sangat tinggi menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin dengan gejala denyut nadi cepat, sakit kepala, muntah, kehilangan kesadaran.(11) Pada penelitian terakhir ternyata benzen menurunkan tekanan darah arteri dan perifer. Gejala ini akan hilang bila pemaparan dihentikan.(3,4,11) b) Pengaruh pada kulit Pemaparan benzen pada kulit akan mengakibatkan kulit menjadi peka (dermal sensitizer). Pemaparan jangka lama dapat menimbulkan luka bakar. Bila kulit terkena benzen terus menerus, maka lemak kulit akan hilang, menyebabkan eritema, kulit bersisik dan kering. Pada beberapa kasus terjadi pembentukan vesikula, dan papula.(2,4,11) c) Pengaruh hematologis Pengaruh benzen terhadap sistem hemopoetik telah lama diketahui; gejalanya dapat dibagi atas tiga golongan sebagai berikut : Tingkat awal Pada tingkat awal dapat terjadi gangguan pembekuan darah yang disebabkan oleh perubahan fungsi, morfologi dan

jumlah trombosit, juga dapat menurunkan pembentukan semua komponen darah. Jika dapat didiagnosis dan segera diobati, dapat sembuh sempurna (reversibel). Tingkat lebih lanjut Pada tingkat lanjut, sumsum tulang menjadi hiperplastik kemudian hipoplastik, metabolisme besi terganggu, terjadi perdarahan sistemik. Diagnosis dan pengobatan harus cepat dan tepat dan hindari pemaparan selanjutnya. Dalam pemeriksaan jumlah eritrosit kurang dari 3,5 juta, leukosit kurang dari 4500, jumlah trombosit menurun, besi meningkat. Bila tidak segera ditangani berlanjut ke fase ketiga. Fase ketiga Dalam fase ini dapat terjadi aplasi sumsum tulang yang progresif. Mungkin ada penekanan regenerasi sumsum tulang dengan adanya kerusakan sel darah tepi, yang akhirnya mengakibatkan kelambatan daya regenerasi.(1,3,5,8,11) d) Pengaruh pada sub sel Pada pekerja yang terpapar benzen bertahun-tahun akan terjadi penyimpangan kromosom dalam limfosit darah tepi.(2,5,11) Pemantauan Biologis pada Pemaparan Benzen Pengukuran kadar benzen Secara kuantitatif pemantauan biologis sangat penting untuk mengetahui tanda permulaan keracunan akibat pemaparan benzen dan hidrokarbon lainnya. Pengukuran benzen dalam darah sebetulnya bukan indikator yang tepat pada kasus pemaparan benzen karena secara relatif benzen akan cepat menghilang; kira-kira 50% benzen akan keluar bersama udara pernapasan. Namun pengukuran kadar benzen dalam darah tetap diperlukan sebagai bukti bahwa seseorang terpapar benzen. Pengukuran tersebut menggunakan metode kromatografi gas.(5,7,11) Metabolit utama benzen adalah fenol. Pada percobaan menggunakan kelinci, kira-kira 25-50% benzen dimetabolisasi menjadi fenol(2). Oleh karenanya fenol dalam urin merupakan indikator yang baik dalam hal pemaparan benzen.(4,5,7,11) Peningkatan kadar fenol dalam urin menunjukkan adanya pemaparan benzen 8-10 jam sebelumnya. Pemaparan benzen di udara 25-30 ppm dapat menaikkan ekskresi fenol sampai 100 atau 200 mg/1 urin. Nilai fenol normal dalam urin adalah 20-30 mg/l.(3,11) Ekskresi fenol dalam urin dapat diukur secara kuantitatif dengan spektrofotometri menggunakan reaksi indol-fenol.(7) Pemeriksaan hematologis dan sitologis Keracunan benzen pada manusia dan hewan percobaan dapat diketahui dari pemeriksaan darah karena menyebabkan makroeritrositosis.(1,3,5,11) yang diketahui melalui peningkatan mean corpuscular volume (MCV) .(2) Selain indikator di atas terdapat indikator dini lain yaitu limfositopeni.(1,5,11) Hal di atas dapat diketahui melalui Complete Blood Count (CBC) yaitu pemeriksaan darah lengkap termasuk hitung jumlah trombosit, leukosit, eritrosit dan hitung jenis leukosit.(2)

DISKUSI Banyak peneliti mengatakan bahwa pemaparan benzen dapat menyebabkan kerusakan sistem hemopoetik. Namun sampai saat ini penelitian epidemiologis terhadap gejala yang ditimbulkan hasilnya belum memuaskan. Program pengawasan medis telah diketahui secara umum, namun belum ada prosedur pemantauan yang baku, sehingga hasilnya sulit ditafsirkan. Kesulitan penafsiran dalam pemantauan dapat dilihat, misalnya dalam hal : Pemantauan kadar benzen dalam darah hanya menunjukkan adanya pemaparan pada saat itu. Kasus makroeritrositosis selain diakibatkan oleh pemaparan benzen juga diakibatkan oleh defisiensi asam folat, vitamin B12, penggunaan alkohol berlebihan, dan penyakit hati. Dalarn hal penentuan nilai ambang batas masih terdapat perbedaan antar negara, namun ada kecenderungan untuk menurunkan kadar ambangnya. KESIMPULAN Risiko pemaparan benzen terhadap pekerja di lingkungan kerja perlu diperhatikan dan dipikirkan cara penanggulangannya. Dalam hal pemantauan biologis, perlu keseragaman metode agar hasil yang diperoleh mudah ditafsirkan. SARAN Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja berhubungan dengan benzen untuk mendapatkan data dasar dan seterusnya dilakukan pemeriksaan berkala. Penggunaan alat pelindung diri yang tepat.. Adanya laboratorium rujukan mengingat benzen dalam darah hilang relatif cepat.
KEPUSTAKAAN 1. 2. Dreisbach RH. Handbook of Poisoning. 10th ed. Lange Med Publ, 1980. Proctor NH. Chemical Hazard of the Work Place, Philadelphia, Toronto: JB Lippincott Co, 1980. 3. Goldfrauh. Toxicologic Emergencies 5thed. Norwalk, Connecticutt. 1994. 4. Panduan Bahan Berbahaya 1A Edisi I. Departemen Kesehatan RI. 1985. 5. Goldstein BD Biological and ambient monitoring of benzene in the workplace. J Occup. Med, 1986. 6. Tsai SP, Wen CP, et al. Restropective mortality and medical surveillance studies of works in areas of refineries. J Occup. Med, 1983 7. Buraena. S . Pemantauan biologis dan lingkungan akibat benzene. Maj Kes Mas Indon. 1990. 8. Helinberg B. Benzene : Standards, occurence and exposure. Ind Med, 1985 9. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE 01/Men/1997 tentang Nilai Ambang Batas. Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja. Departemen Tenaga Kerja. 10. Sumamur PK Keselamatan Kerja & Pencegahan Kecelakaan. PT Gunung Agung Jakarta, 1995 11. Cavender Finis Aromatic Hydrocarbons. Dalam: Clayton GD, Clayton FE. Pattys Industrial Hygiene and Toxicology, 4th ed. Vol II Part B Toxicology. John Wiley & Sons Inc. New York / Chichester / Brisbane / Toronto / Singapore, 1993 12. Budiman F . Pengamanan Risiko Bahan Kimia pada Pemaparan dalam Penggunaan. Training Course on Health Risk Assessment. 1990.

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004 55

Produk Baru Kaltrofen gel


Komposisi Tiap gram gel mengandung ketoprofen 0,025 g. Farmakologi Ketoprofen merupakan anti-inflamasi non-steroid (AINS) dengan daya analgesik, anti inflamasi. Hanya sebagian kecil ketoprofen diserap pada pemakaian topikal. Indikasi Trauma ringan, terutama yang disebabkan oleh cedera sewaktu berolah raga, terkilir, tendinitis, kontusio tendon dan otot, pembengkakan, dan nyeri pascatrauma. Dosis dan Cara Pemakaian Oleskan 2 - 3 kali sehari pada daerah yang nyeri atau meradang, lakukan pijatan lembut dan lama untuk menjamin penetrasi gel. Lama pemberian maksimal 7 hari. Sebaiknya tidak digunakan pada anak-anak karena belum terbukti keamanannya. Kontraindikasi Hipersensitif terhadap AINS, pasien yang menderita atau mempunyai riwayat asma bronkial atau alergi. Infeksi kulit, eksem atau luka terbuka, dan dermatitis eksudatif. Ketoprofen jelly sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang mempunyai reaksi alergi berupa asma, rinitis atau urtikaria yang disebabkan asetosal dan AINS yang lain. Efek Samping Reaksi kulit seperti pruritus dan eritema lokal, terutama bila terpapar sinar matahari atau sinar ultraviolet. Sebaiknya penderita menghindari paparan sinar matahari selama pengobatan dengan Kaltrofen gel. Pemakaian jangka panjang dapat menimbulkan reaksi hipersensitif. Walaupun pada penggunaan topikal jarang terjadi, beberapa efek samping dilaporkan pada penggunaan sistemik; efek samping minor yang bersifat sementara, antara lain gangguan pencernaan seperti dispepsia, mual, konstipasi, diare, nyeri ulu hati dan beberapa gangguan pencernaan lainnya. Efek lain yang jarang terjadi antara lain nyeri kepala, pusing, bingung, vertigo, mengantuk, udem, perubahan emosi dan gangguan tidur. Efek samping utama yang jarang terjadi adalah: ulkus peptikum dan perdarahan. Reaksi hematologi termasuk trombositopeni, gangguan hati atau ginjal, reaksi pada kulit, bronkospasme dan reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi. Peringatan dan Perhatian Jangan digunakan pada selaput lendir atau mata. Hati-hati penggunaannya pada pasien dengan riwayat atau sedang mengalami perdarahan saluran cerna aktif, tukak lambung, penyakit radang pada saluran cerna atau gangguan ginjal berat meskipun efek sistemiknya minimal. Wanita hamil atau menyusui : Kaltrofen gel sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil dan menyusui. Sebaiknya tidak digunakan pada anak-anak di bawah 12 tahun kecuali atas petunjuk dokter. Segera hentikan pemakaian jika terjadi kemerahan pada kulit setelah pemakaian. Seperti obat-obat AINS lainnya, ketoprofen tidak menyembuhkan penyakitnya. Interaksi Obat Belum pernah dilaporkan adanya interaksi antara Kaltrofen gel dengan obat lain; namun dianjurkan untuk melakukan pengawasan pada pasien yang mendapat pengobatan kumarin. Kemasan Jelly : Tube 30 g, No. Reg. DKL 0111631828A1

Marketing Office: PT. KALBE FARMA Tbk Gedung Enseval, Jl. Letjend. Suprapto, Jakarta 10510 PO Box 3105 JAK, Jakarta Indonesia Tlp.: (021) 428 73888-89, Fax. : (021) 428 73680 Website : http://www.kalbe.co.id Hotline service (bebas pulsa): 0-800-123-0-123, Senin Jumat (07.00-15.30)

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Kegiatan Ilmiah

Simposium Terintegrasi Heart Brain Soul, World Trade Center Jakarta, 27 September 2003 Diantara beta blocker yang digunakan untuk gagal jantung, Carvedilol tampaknya paling unggul. Secara teoritis, Carvedilol (V-Bloc) lebih unggul karena memiliki penghambatan reseptor beta1, beta2, dan alpha1. Secara praktis manfaat Carvedilol pada gagal jantung telah teruji pada berbagai uji klinis. Hal ini disampaikan oleh Prof. DR. dr. Teguh Santoso, PhD, SpPD-KKV dalam salah satu sesi kuliahnya pada acara Simposium Terintegrasi yang diadakan oleh CME FKUI bekerja sama dengan PT Kalbe Farma Tbk di Gedung World Trade Center Jakarta (foto). Laporan lengkap dari simposium, bisa diakses di http://www.kalbe.co.id/seminar. Pada topik yang diberi tanda Breaking News, berarti peserta simposium bisa memperoleh berita dalam bentuk cetak (print) bersamaan dengan acara di Stand Kalbe Farma, dan bisa langsung diakses pada homepage Kalbe Farma. Diabetes Update, Hotel Borobudur Jakarta, 6 Desember 2003 Bertempat di Hotel Borobudur Jakarta, malam Minggu, 6 Desember 2003, diselenggarakan suatu acara bagi para spesialis khususnya mereka yang meminati penyakit kencing manis (DM). Para peserta diajak berbincang seraya berbagi pengalaman dalam menangani pasien kencing manis. Sebagai pengantar, menurut dr. Sarwono, SpPD selaku moderator, di Indonesia rerata penderita DM yang datang berobat dan diterapi memiliki kondisi sel beta pankreas tinggal 50 persen saja. Padahal makin cepat diketahui makin baik. Seminar Doctor's Career Update, Aula FKUI Jakarta, 12-13 September 2003 Profesi dokter kini makin membias. Banyak yang menjadikan pendidikan dokter hanya sebagai dasar, sehingga ada dokter yang

berprofesi sebagai direktur, menekuni politik, atau malah kerja di bank. Padahal seyogyanya seorang dokter tetap harus konsisten karena ada banyak pilihan karir yang tersedia dan masih berhubungan dengan pendidikannya. Dr. Yanto Kadarusman, SpOGKFER selaku Wakil Dekan III Fakultas Kedokteran UI menyampaikan hal tersebut dalam sambutannya pada acara Seminar Doctor's Career Update di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta tanggal 12-13 September 2003 lalu. Kuliah Doktor : Cara Mudah Mengenali Gangguan Pendengaran & Keseimbangan Akibat Bising dan Getaran, Aula FKUI Salemba Jakarta, 4 September 2003 Kendaraan bajaj merupakan kendaraan angkutan yang sangat populer di Jakarta, karena selain tarifnya murah juga sangat meriah. Meriah karena alat angkut jenis ini memang terkenal dengan tingkat kebisingannya yang cukup tinggi. Kebisingan tersebut tentu saja akan merugikan, terutama untuk pengemudinya. Bahkan menurut Dr. dr. Jenny T. Basruddin, SpTHT berdasarkan hasil penelitiannya diketahui 72.28% pengemudi bajaj mengalami gangguan kesehatan telinga. 15th Weekend Course on Cardiology (WECOC), Hotel Shangri-La Jakarta, 11-13 September 2003 Hipertensi dalam kehamilan melalui 2 tahapan kejadian, yaitu tahap I dan II. Pada tahap I diketahui adanya peran plasenta abnormal yang merupakan biang keladi kejadian preeklamsi, namun begitu plasenta lahir masalah akan teratasi. Tahap I dapat diikuti dengan tahap II dengan terjadinya kelainan sistemik pada ibu. Pada tahap ini terjadi penurunan aliran darah ke semua organ yang akhirnya mengakibatkan disfungsi multiorgan. Penjelasan tersebut dipaparkan Dr. Ganesja M. Harimurti pada kuliahnya dalam acara 15th Weekend Course on Cardiology yang diselenggarakan di Hotel Shangri-La Jakarta, 11-13 September 2003.

Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003

57

Simposium Penatalaksanaan Kanker Payudara Terpadu, Hotel Borobudur- Jakarta, 18 Oktober 2003 Paclitaxel sebagai kemoterapi tunggal lini pertama pada kanker payudara metastasis memperlihatkan respon antara 3060%, dan sebagai lini kedua 20-40%. Sedangkan dalam beberapa kombinasi paclitaxel dengan gemcitabine diperoleh respon 39,9% lebih baik secara bermakna dibandingkan dengan paclitaxel (Paxus) secara tunggal 25,6%. Demikian diungkapkan dr. Ronald A. Hukom, SpPD-Onk dalam simposium "Penanggulangan Kanker Payudara Terpadu Paripurna" yang diadakan di hotel Borobudur 18 Oktober 2003 lalu. Bincang sehat bersama Dr. Ang Peng Tiam, Hotel Borobudur Jakarta, 7 September 2003 Meskipun terapi kanker saat ini telah mencapai banyak sekali kemajuan, namun tak ada satu pun jenis terapi yang efektif untuk pasien kanker kecuali dengan kerjasama kelompok terapi yaitu ahli bedah, radioterapi, kemoterapi dan terapi suportif. Hal ini terungkap pada acara 'Bincang sehat bersama Dr. Ang Peng Tiam' di Hotel Borobudur Jakarta, beberapa waktu lalu. The 5th International Meeting on Respiratory Care Indonesia (RESPINA), Jakarta Convention Center, 17-20 September 2003 Bila menemukan pasien dengan gejala sakit pada ulu hati/dada, atau batuk darah, yang keduanya bersamaan dengan siklus menstruasi, pikirkan kemungkinan adanya gejala thoracic endometriosis syndrome. Penyakit ini memang khusus dialami wanita yang sering kali berpindah-pindah dokter karena keluhannya tak sembuh-sembuh dan dengan berbagai pemeriksaan ternyata hasilnya normal. Dr. Yanto Kadarusman, SpOG menekankan hal ini dalam sesi kuliahnya di acara The 5th International Meeting on Respiratory Care Indonesia (RESPINA), yang berlangsung di Jakarta Convention Center. Forum Diabetes Nasional I : Diabetes dan Aterosklerosis, Hotel Sanur Beach - Denpasar, 20-21 September 2003 Kasus Diabetes Mellitus (DM) saat ini makin meningkat di masyarakat dan muncul kecenderungan bergesernya usia penderita

yang sebelumnya banyak terjadi di usia lebih dari 40 tahun, sekarang justru mulai sering ditemukan di usia 2530 tahun. Hal ini disampaikan oleh ketua PB PERKENI pusat, dr. Sidartawan Soegondo, Sp.PD-KEMD, dalam pembukaan acara seminar Forum Diabetes Nasional I di Bali beberapa waktu lalu. Muktamar Nasional VI PERABOI, Hotel Grand Candi Semarang, 18-20 September 2003 Sampai saat ini modalitas utama terapi kanker kepala dan leher adalah operasi dan radioterapi, dengan kemoterapi sebagai terapi ajuvan. Namun yang paling penting adalah penanganan secara multidisiplin dari dokter bedah, bedah plastik, radioterapi, onkologi medik dan terapi suportif. Hal ini disampaikan Prof. Dr. Sunarto Reksoprawiro, Sp.B.Onk dalam kuliahnya pada acara Muktamar Nasional VI Persatuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PERABOI) di Semarang tanggal 18-20 September 2003. Konas Gerontologi 2003, Jakarta , 1-3 Oktober 2003 Orang lanjut usia (> 65 tahun) sangat rentan terhadap pelbagai keluhan, baik bersifat psikologis maupun fisik. Demikian ungkap Guru Besar Ilmu Kesehatan Jiwa FKUI, Sasanto Wibisono saat memberikan ceramah tentang: Kontroversi dalam Pengobatan Depresi Usia Lanjut, di Jakarta Convention Center, Rabu 1 Oktober 2003. Acara tersebut merupakan sesi pertama dari acara ilmiah mengenai Gerontologi yang berlangsung hingga tanggal 3 Oktober 2003 di Jakarta. Selain simposium untuk para dokter juga diselenggarakan seminar awam. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2003, Jakarta, 27-28 September 2003 Bertempat di Hotel Sahid Jaya Jakarta, beberapa waktu yang lalu Bagian Penyakit Dalam FKUI menyelenggarakan acara rutin tahunan Current Diagnosis dan Treatment in Internal Medicine. Yang menjadi tema untuk tahun 2003 ini adalah "Practical Guidelines in Daily Practice". Simposium yang diadakan selama dua hari di penghujung bulan September 2003 tersebut dihadiri oleh sekitar 1000 dokter dari pelbagai kota. Topik-topik yang dibawakan antara lain: PPOK, Asma Bronkiale, Nyeri, Hipertensi, Tukak Lambung, Hepatitis, dll.

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Simposium Recent Advances in Management of Cervical Cancer and Ovarian Cancer, Hotel Borobudur Jakarta, 29-30 September 2003 Standar pilihan kemoterapi tunggal maupun kombinasi sebagai kemoterapi lini pertama untuk kasus kanker ovarium epitelial (Epithelial Ovarian Cancer=EOC) adalah Cisplatin, Carboplatin, Cyclophosphamide, dan Paclitaxel. Peran kemoterapi ini terutama pada stadium III, IV dan stadium II dengan derajat diferensiasi yang buruk. Hal ini menjadi salah satu pembahasan dalam pertemuan dokter ginekologi-onkologi Indonesia (ISGO) 2003 yang berlangsung di Hotel Borobudur Jakarta pada tanggal 29-30 September 2003. 17th Asia Pacific Cancer Conference, Discovery Kartika Plaza Hotel - Bali, 8-11 Oktober 2003(Breaking News) Tepat pkl 19:30 WITA, acara pembukaan "17th Asia Pacific Cancer Conference" dimulai. Tampak hadir sekaligus membuka konferensi yang diselenggarakan 8-11 Oktober 2003 ini adalah Menkes RI Ahmad Sujudi. Konferensi ini diikuti oleh pelbagai organisasi yang peduli terhadap kanker se-Asia Pasifik. Asia Pacific Cancer Conference (APCC) adalah sebuah kegiatan dalam bentuk kongres ilmiah di bidang penyakit kanker se-Asia Pasifik. Konferensi ini merupakan acara ilmiah rutin dari APFOCC (Asia Pacific Federation on Cancer Control). The 5th National Brain and Heart Symposium & XIIIth Post International Atherosclerosis Society Symposium (IAS), Hotel Sahid Jaya Jakarta, 3-5 Oktober 2003 Penanganan penyakit pada sistem saraf dan sistem kardiovaskuler hendaknya harus diupayakan secara terpadu agar pasien senantiasa mendapatkan pelayanan yang optimal, dr. Lukman H. Makmun menyampaikan hal ini dalam sambutannya di acara The 5th National Brain and Heart Symposium. Menurut beliau, selain penataksanaan yang optimal pasien juga harus diupayakan untuk mendapatkan upaya preventif agar angka kesakitan dan kematian akibat stroke bisa ditekan semaksimal mungkin, begitu pula angka kecacatan yang ditimbulkan akibat penyakit tersebut. Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Balikpapan, 7-11 Oktober 2003 Kesehatan merupakan masalah pokok dan menjadi kebutuhan vital setiap individu. Sehingga sudah menjadi kewajiban pemerintah, masyarakat, para dokter serta paramedis, rumah sakit, ormas dan organisasi profesi di bidang kesehatan lainnya untuk selalu mengupayakan terciptanya masyarakat yang sehat. Demikian disampaikan Walikota Balikpapan Bapak H. Imdaad Hamid, SE, yang mewakili Gubernur Propinsi Kalimantan Timur, membuka acara Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kongres Nasional PERHATI, Grand Bali Beach, 12-16 Oktober 2003 Pada dasarnya antihistamin mempunyai efektifitas yang sama, meskipun terdapat variasi individual antar penderita. Karenanya ada kemungkinan suatu antihistamin mungkin kurang responsif pada seseorang, sementara antihistamin lain lebih responsif. Demikian pula efek sedasi suatu antihistamin, yang umumnya ditemukan pada pemakaian antihistamin kelompok klasik. Oleh karena itu golongan obat ini tidak dianjurkan bagi penderita yang memerlukan konsentrasi tinggi dalam aktifitas sehari-harinya. Seminar Berhenti Merokok, RS Persahabatan Jakarta, 22 Oktober 2003 "Rokok adalah pintu gerbang narkoba" begitu papar

dr.Ahmad Hudoyo SpP(K). Sebagai latar belakangnya, diungkap hasil suatu penelitian yang pernah dilakukan di RS Persahabatan Jakarta bahwa di antara 70 kasus pecandu narkoba yang diteliti, 68 orang berawal dari merokok. Bukan hanya itu saja, kebanyakan para perokok pun berasal dari keluarga tak mampu. Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh para perokok tersebut, sekitar 40% dari jumlah penerimaannya. Misalnya, ada pekerja yang hanya memperoleh pendapatan Rp 10.000 tetapi rajin membelanjakan 1 pak rokok Rp 5.500 per hari. Tragis memang, sesal dr. Hudoyo. 6th International Conference of the Asian Clinical Oncology Society, Seoul-Korea, 16-19 November 2003 Konferensi perhimpunan onkologi klinik se-Asia ke-6 ini pada akhirnya berhasil terlaksana, setelah sebelumnya tertunda sekian bulan akibat wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang merajalela beberapa waktu lalu. Dengan mengambil tema Better Care for Asian Cancer Patients, konferensi tersebut cukup menarik minat sekitar 200 dokter dari beberapa bidang ilmu seperti bedah onkologi, hematologi onkologi medik, dan lainnya. Acara berlangsung selama empat hari di Hotel Lotte, Seoul, Korea. 8th Asian Pacific Society of Respirology Congress, Sunway Lagoon Resort Hotel - Selangor, 1-4 Desember 2003 Pada awal Desember 2003 lalu telah diselenggarakan 8th Asian Pacific Society of Respirology Congress di Sunway Lagoon Resort Hotel, Petaling Jaya, Selangor, yang berjarak sekitar 30 km dari Kuala Lumpur, Malaysia. Acara tersebut dibuka secara resmi oleh Paduka Seri Sultan Perak Darul Ridzuan, Sultan Azlah Shah, dan diikuti oleh kurang lebih 600 dokter dari Asia-Pasifik. Selain itu pertemuan itu juga menghadirkan beberapa pembicara dari luar Asia Pasifik seperti Australia, Amerika, Belgia dan Jerman. Jakarta Diabetes Meeting, Hotel Borobudur Jakarta, 6-7 Desember 2003 Obesitas merupakan faktor risiko yang penting dalam terjadinya diabetes melitus tipe 2. Suatu penelitian epidemiologi yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa individu dengan Indeks Massa Tubuh (BMI) > 35 akan memiliki 30-40 kali risiko terkena diabetes dan 2-4 kali risiko menderita penyakit lainnya. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Slamet Suyono yang membawa topik berjudul Diabesity pada acara Jakarta Diabetes Meeting di hotel Borobudur, Jakarta tanggal 6-7 Desember 2003 lalu. 6th Asia-Pacific Congress of Medical Virology, Hotel ShangriLa - Kuala Lumpur, 710 Desember 2003 Asia Pacific of Medical Virology (APCMV) merupakan salah satu kegiatan ilmiah yang diadakan teratur setiap 3 tahun. APCMV yang ke-6 kali ini dilaksanakan di Hotel Shangri-La, Kuala Lumpur pada tanggal 7 10 Desember 2003. Sekitar 300 peserta dari 30 negara ikut berperan serta dalam kegiatan yang mengambil tema "Viral InfectionConfronting the Challenges in the 21 th Century" ini. Seminar Sehari Konvensi Perdana HTA Indonesia, Hotel Aryaduta - Jakarta, 6 Desember 2003 Perkembangan teknologi kedokteran (termasuk obat-obatan) sangat pesat saat ini. Masing-masing produsen (vendor) ingin alat yang diciptakannya bisa dipergunakan semaksimal mungkin. Hal inilah yang membuat kemajuan teknologi tersebut, layaknya pisau bermata dua, bisa menguntungkan sekaligus merugikan pelbagai pihak terutama pasien. Pembiayaan kesehatan menjadi membengkak. Untuk mengantisipasi inilah, baru-baru ini diadakan seminar sehari Konvensi Perdana HTA Indonesia di Jakarta.

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

59

INTERNET UNTUK DOKTER


Panduan AMA bagi para Dokter Internet
Guna mengantisipasi makin berkembangnya media komunikasi antar pasien dan dokter di Amerika Serikat, maka Asosiasi Dokter negara tersebut mengeluarkan pedoman pemanfaatan internet bagi para dokter, seperti yang bisa dibaca pada website AMA, http://www.ama-assn.org/. Dalam pengantarnya disebutkan bahwa penggunaan media tulis dan bercakap-cakap secara langsung maupun via telepon saat ini telah menjadi bentuk tradisional dari komunikasi informasi kesehatan. Dengan teknologi maju saat ini, aplikasi internet yang digunakan dalam rangka berkomunikasi antara para dokter, termasuk dengan pasien merupakan suatu bentuk yang menjanjikan. Surat elektronik (e-mail) mengambil tempat yang cukup penting saat ini sebagai salah satu metode komunikasi yang ada antara pasien dan tenaga kesehatan. E-mail bisa digunakan para dokter untuk menjelaskan maupun menindaklanjuti instruksi yang telah diberikan. Menggunakan e-mail, secara tidak langsung menciptakan suatu rekaman atas instruksi yang diberikan. Dengan e-mail juga, para dokter bisa membuat link (hyperlink) ke materi pendidikan dan sumber-sumber pengetahuan kesehatan lainnya di internet. Dengan penggunaan yang terus menerus dari internet, e-mail bisa merupakan suatu hal yang sederhana dan ampuh. Berikut ini ditulis beberapa butir panduan untuk aktivitas tersebut. Tentu harus dipahami bahwa internet (termasuk e-mail) di Amerika Serikat merupakan hal yang sudah dimanfaatkan dan menjadi kebutuhan sehari-hari warga di sana. Panduan ini diperuntukkan bagi para dokter yang memilih menggunakan e-mail untuk membantu pasien-pasiennya: a. Sediakan waktu untuk mengakses e-mail. Sebaiknya sangat berhati-hati menggunakan e-mail untuk keadaan emergensi. Melihat kondisi infra struktur di Indonesia, penulis tidak menganjurkan penggunaan e-mail untuk keadaan emergensi. b. Beritahu pasien akan isu-isu privasi, misalnya dengan menggunakan e-mail, bisa saja e-mail kita terbaca oleh orang lain. c. Pasien juga harus diberitahu, jika ada, e-mail address lain dari dokter, selain e-mail address yang biasa digunakan. Atau e-mail address dokter pengganti yang biasa digunakan sewaktu dokter pergi berlibur (sayangnya di Indonesia, belum semua dokter memiliki e-mail address, apalagi lebih dari satu). d. Jika mungkin, dokter harus mempunyai arsip baik elektronik maupun cetakan dari komunikasi via e-mail dengan pasien. e. Beberapa hal lain bisa menggunakan komunikasi via e-mail seperti: pengulangan resep, penjadualan perjanjian, dll. f. Beritahu pasien untuk mencantumkan jenis transaksi pada Subject e-mail seperti [prescription], [appointment], [medical advice], [billing question]. g. Begitu juga, minta pasien mencantumkan nama dan nomor identifikasi mereka pada body / isi setiap e-mail yang dikirim. h. Konfigurasi 'automatic reply' untuk memberitahu bahwa pesan telah diterima, dan minta pasien untuk melakukan hal yang sama sehingga dokter tahu bahwa e-mailnya telah sampai ke tujuan. i. Buatlah daftar pasien yang bisa berkonsultasi via e-mail. j. Jangan sekali-kali mengirim e-mail ke banyak orang dengan membiarkan semua e-mail address yang dituju terbaca. Gunakan fasilitas bcc (blind carbon copy), agar e-mail address penerima terjaga kerahasiaannya. k. Hindari bertutur kata secara kasar, menunjukkan kemarahan, kritik yang pedas atau menjelek-jelekkan pihak lain l. Terapkan suatu signature (semacam kelompok text) yang berisi nama lengkap, informasi bagaimana menghubungi (telp, HP, dll) dan peringatan akan keamanan berkomunikasi via e-mail. Jadikan signature ini, standar dari setiap e-mail yang terkirim. m. Minta pasien untuk menulis e-mail sepadat mungkin. Ringkas tetapi jelas. n. Saat komunikasi via e-mail menjadi terlalu panjang dan bertele-tele, ada baiknya mengingatkan pasien untuk bertemu langsung atau telpon mereka. o. Ingatkan pasien untuk mematuhi panduan. p. Jika berkali-kali telah diingatkan, namun tetap tidak mematuhi, sangat bijaksana untuk segera mengakhiri komunikasi via email ini. Panduan medikolegal dan administratif Buat kesepakatan antara pasien dengan dokter sebagai informed consent atas penggunaan e-mail. Hal ini harus didiskusikan terlebih dahulu dan ditandatangani serta didokumentasi dalam medical record (catatan medik pasien). Perjanjian harus mencakup hal-hal seperti: a. Panduan syarat-syarat dalam berkomunikasi. b. Instruksi kapan dan bagaimana bisa mengunjungi tempat praktek atau menelpon. c. Menjelaskan mekanisme keamanan suatu tempat, yang terdiri dari: penggunaan screen saver yang berpassword untuk semua pc di kantor, rumah sakit dan rumah. tidak boleh meng-forward informasi identitas pasien kepada pihak ke-tiga (III) tanpa ijin pasien. tidak boleh menggunakan e-mail address pasien untuk keperluan marketing. tidak menggunakan e-mail address bersama (baik dokter maupun pasien). selalu mencermati (cek berulang-ulang) isi kolom to sebelum dikirim. d. pastikan bahwa jika terjadi kegagalan teknis, tidak ada kehilangan informasi yang bisa membahayakan institusi kesehatan. Demikian beberapa panduan yang bisa dijadikan referensi bagi dokter internet di Indonesia. Terlihat bahwa aturan tersebut hanya diperuntukan bagi konsultasi pribadi. Untuk konsultasi umum seperti pada pelbagai website dan mailinglist yang marak saat ini di Indonesia, penulis belum memperoleh referensi panduannya; pada prinsipnya sama seperti konsultasi via media cetak maupun elektronik lainnya seperti televisi maupun majalah/koran.

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Kapsul
BELLS PALSY
Apa sebenarnya Bells palsy Bells palsy merupakan kelumpuhan (relatif) mendadak otot-otot wajah sesisi; dapat mencemaskan karena umumnya terjadi tanpa gejala pendahuluan dan menyebabkan wajah miring/mencong; sehingga dikacaukan dengan gejala gangguan peredaran darah otak (stroke). Berbeda dari Gangguan Peredaran Darah Otak, kelumpuhan wajah sesisi ini tidak dibarengi dengan kelumpuhan anggota badan/tubuh lainnya. Apa penyebabnya Bells palsy disebabkan oleh pembengkakan n. facialis sesisi; akibatnya pasokan darah ke saraf tersebut terhenti, menyebabkan kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls/rangsangnya terganggu; akibatnya perintah otak untuk menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat diteruskan. Kausanya tidak diketahui, umumnya dianggap akibat infeksi semacam virus herpes simpleks; virus tersebut dapat dormant (tidur) selama beberapa tahun, dan akan aktif jika yang bersangkutan terkena stres fisik ataupun psikik. Sekalipun demikian Bells palsy tidak menular. Apa gejalanya Otot-otot wajah satu sisi lumpuh sehingga wajah menjadi miring/mencong, kelopak mata tidak dapat menutup sehingga bola mata akan berair terus-menerus, sebaliknya akan kering di malam hari (jika tidur). Kesulitan berbicara dapat terjadi akibat mulut/bibir yang tertarik ke satu sisi. Kadang-kadang kemampuan mengecap/merasa juga terganggu dan suara-suara terdengar lebih keras di satu sisi yang terkena. Siapa yang rentan terhadap Bells palsy Umumnya mengenai remaja usia 20-an dan lanjut usia setelah 60 tahun. Wanita hamil, penderita diabetes melitus dan pasca flu juga lebih berisiko. Bagaimana pengobatannya Kebanyakan akan pulih tanpa pengobatan dalam 2 minggu; tetapi umumnya digunakan kortikosteroid seperti prednison dan antivirus seperti asiklovir dalam 2 3 hari pertama; pengobatan dini dengan cara ini memperbaiki prognosis sampai 20%. Kira-kira 70% sembuh dalam beberapa bulan, 15% masih merasa sedikit kelemahan. Pada kira-kira 10 20% pasien, Bells palsy dapat terulang.

brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

61

ABSTRAK
RISIKO DEMENSIA Silent brain infarct area infark yang terlihat pada CT scan dan/atau MRI sering ditemukan secara kebetulan, terutama di kalangan lanjut usia. Suatu penelitian di Belanda bertujuan mencari hubungan antara adanya silent brain infarct dengan terjadinya demensia di kemudian hari pada 1015 orang sehat berusia 60-90 tahun mereka menjalani uji psikoneurologik dan MRI pada tahun 1995-1996 dan diulang pada 1999-2000. Selama 3697 person-years (rata-rata per orang 3,6 tahun), 30 di antara 1015 peserta di atas menunjukkan gejala demensia; dan ternyata adanya gambaran silent brain infarct meningkatkan risiko demensia hazard ratio 2,26 (95%CI: 1,09 4,70), juga dikaitkan dengan lebih buruknya hasil uji psikoneurologik dan penurunan fungsi kognitif global yang lebih cepat. Infark talamus tanpa gejala (silent) dikaitkan dengan penurunan daya ingat, sedangkan infark non talamik tanpa gejala dengan ketrampilan psikomotor; jika dipilah lebih lanjut, penurunan kognitif hanya ditemukan pada kelompok yang menderita infark tambahan selama periode follow up. Para peneliti menyimpulkan bahwa orang tua dengan silent brain infarct lebih berisiko menderita demensia dan penurunan fungsi kognitif yang lebih cepat.
N. Engl. J. Med. 2003; 348: 1215-22

39,1-55,0) dibandingkan dengan 40 di antara 146 pasien trombosis sekunderpasien dengan faktor risiko seperti kanker, postpartum, trauma/fraktur tungkai, imobilisasi lebih dari 1 minggu atau pengguna estrogen; dan di kalangan kontrol ditemukan pada 48 di antara 150 orang (32,0%; 95%CI: 24,5-39,5). Odd ratio plak karotis di kalangan trombosis spontan adalah sebesar 2,3 (95%CI: 1,4-3,7) dibandingkan dengan trombosis sekunder, dan sebesar 1,8 (95%CI: 1,1-2,9) dibandingkan dengan kontrol. Para peneliti menyimpulkan terdapat hubungan antara aterosklerosis dengan trombosis vena spontan, atau terdapat faktor risiko bersama antara dua keadaan tersebut.
N. Engl. J. Med. 2003; 348: 1435-41

brw

brw

HUBUNGAN ANTARA TROMBOSIS DAN ATEROSKLEROSIS Pada 299 pasien trombosis vena dalam di tungkai (deep vein thrombosis /DVT) dilakukan USG karotis, dibandingkan dengan 150 orang kontrol untuk mencari hubungan antara aterosklerosis dengan trombosis. Ternyata sedikitnya 1 plak karotis terdeteksi pada 72 dari 153 pasien trombosis spontan (47,1%; 95%CI:

RISIKO ALERGI KACANG Studi kohort atas 13971 anak prasekolah di Inggris dilakukan untuk mencari data mengenai anak yang alergi terhadap kacang. Ditemukan 49 anak yang alergi kacang, dan dari 36 anak yang diuji, 23 positif terhadap peanut challenge test; tidak ditemukan sensitisasi prenatal terhadap diet ibu dan IgE spesifik kacang tidak ditemukan dalam darah tali pusat. Ternyata kejadian alergi kacang dikaitkan dengan asupan susu kedelai atau formula kedelai (OR 2,6; 95%CI: 1,3-5,2), dengan adanya ruam sendi dan lipatan kulit (OR 2,6; 95%CI: 1,45,0) dan dengan adanya ruam berair dan berkerak (OR 5,2; 95%CI: 2,710,2). Analisis selanjutnya juga menunjukkan adanya hubungan dengan penggunaan salep/lotion kulit yang mengandung minyak kacang (OR 6,8; 95%CI: 1,4-32,9).
N. Engl. J. Med. 2003; 348: 977-85

MANFAAT BUDESONID PADA ASMA Telah dilakukan studi acak butaganda terhadap 7241 pasien di 32 negara untuk menilai manfaat budesonid pada pasien asma persisten ringan kurang dari 2 tahun dan belum pernah menggunakan glukokortikoid. Pasien berusia 5-66 tahun mendapat budesonid atau plasebo sekali sehari selama 3 tahun di luar pengobatan asma reguler mereka; dosisnya 200 ug untuk usia<11 tahun, dan 400 ug untuk usia11 tahun. Sedikitnya satu kali serangan asma berat diderita oleh 198 dari 3568 pasien plasebo dan 117 dari 3597 pasien budesonid (hazard ratio 0,56; 95%CI 0,45-0,71, p<0,0001). Pasien budesonid lebih sedikit membutuhkan kortikosteroid sistemik dan lebih lama bebas gejala daripada pasien plasebo. Dibandingkan dengan plasebo, budesonid meningkatkan FEV1 postbronkodilator sebesar 1,48% (p < 0,0001) setelah 1 tahun dan 0,88% (p=0,0005) setelah 3 tahun; sedangkan FEV1 prabronkodilator meningkat 2,24% (p < 0,0001) setelah 1 tahun dan 1,71% (p < 0001) setelah 3 tahun. Di lain pihak budesonid menghambat pertumbuhan di kalangan anak < 11 tahun; selama 3 tahun hambatan pertumbuhan sebesar 1,34 cm; terutama di tahun pertama 0,58 cm, sedangkan di tahun ke dua 0,43 cm dan di tahun ke tiga 0,33 cm.
Lancet 2003; 361: 1071-76

brw

CANDESARTAN Pengamatan atas 20 pasien hemodialisis kronis menunjukkan bahwa keadaan steady-state candesartan dua kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang normal; oleh karena itu penggunaannya pada pasien gagal ginjal harus dititrasi lebih cermat.
Clin.Drug Invest.2003; 23(8) : 545-50

brw

brw

62 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

ABSTRAK
TERAPI SULIH HORMON Womens Health Initiative merupakan studi longitudinal yang melibatkan 16 608 wanita berusia 50 79 tahun postmenopause dengan intact uterus selama sedikitnya 3 tahun. Mereka mendapat conjugated equine estrogen 0.625 mg + 2.5 mg medroksiprogesteron/hari,atau plasebo. Setelah periode follow up 5,2 tahun, panitia pemantau manganjurkan penghentian penggunaan hormon karena peningkatan risikonya melebihi potensi manfaatnya. Terapi hormon tersebut dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner (hazard ratio 1,24; 95%CI: 1.00-1.54) 95%CI setelah penyesuaian: 0,97-1,60). Peningkatan risiko ini terutama dalam 1 tahun pertama (hazard ratio: 1,81; 95%CI: 1,093,01). Meskipun wanita yang mendapat terapi hormon juga tingkat LDLnya lebih tinggi, peningkatan biomarker lain tidak mempengaruhi risiko penyakit jantung koroner tersebut secara bermakna.
N. Engl. J. Med. 2003; 349: 523-34

estrogen-progestin sebesar 1,24 0,80% (p=0,66). Perbedaan rata-rata antara kelompok estrogen dan kelompok kontrol sebesar 0,29% (95%CI: -1,83 - +2,36) dan perbedaan rata-rata antara kelompok kombinasi dengan kelompok kontrol sebesar -0,65% (95%CI: -2,87 +1,57). Kematian terjadi pada 4 orang di kelompok kontrol, 2 di kelompok estrogen dan 3 di kelompok kombinasi; penyebabnya kardiovaskuler (5 kasus), kanker paru (1 kasus), sepsis (1 kasus) sirosis kriptogenik (1 kasus) dan gagal napas (1 kasus).
N. Engl. J. Med. 2003; 349 : 535-45

brw PROGNOSIS PASIEN ICU Studi yang dilakukan atas 851 pasien ICU di 15 rumahsakit di AS menunjukkan bahwa 539 (63,3%) dapat lepas dari ventilator, 146 (17,2%) meninggal saat masih menggunakan ventilator dan 166 (19,5%) lainnya dilepas dari ventilator. Di antara yang dilepas dari ventilator tersebut, 160 (96,4%) meninggal di rumahsakit, termasuk 145 (87,3%) yang meninggal di ICU; hanya 6 (3,6%) yang bisa keluar dari rumahsakit. Faktor yang menentukan pelepasan ventilator tersebut ialah persepsi dokter terhadap keinginan pasien, ramalan dokternya terhadap kemungkinan survival, ramalan dokternya terhadap status kognitifnya dan faktor penggunaan obat inotropik dan vasopresor. Faktor usia dan perburukan fungsi organ ternyata bukan faktor penentu pada penelitian ini.
N. Engl. J. Med. 2003; 349 : 1123-32

brw ESTROGEN DAN ATEROSKLEROSIS Laporan penelitian lain juga menyimpulkan bahwa terapi estrogen atau kombinasi estrogen-progesteron tidak memperlambat proses aterosklerosis. Para peneliti di AS melakukan penelitian atas 226 wanita postmenopause (usia rata-rata 63,5 tahun) yang mempunyai sedikitnya satu lesi koroner. Mereka dibagi atas grup kontrol, grup estrogen yang mendapat 17betaestradiol 1 mg dan grup estrogenprogestin yang mendapat 1 mg 17betaestradiol + 5 mg medroksiprogesteron asetat. Setelah 3,3 tahun, perubahan keadaan stenosis koroner di kalangan kontrol sebesar 1,89 0,78% dibandingkan dengan kelompok estrogen sebesar 2,18 0,76% dan di kelompok

alendronat 10 mg/hari, atau hormon paratiroid 40 ug. sc/hari, atau keduanya pada 83 pria usia 46 85 tahun dengan densitas tulang rendah. Sejumlah 28 pria mendapat alendronat selama 30 bulan, sedangkan hormon paratiroid baru diberikan setelah 6 bulan dan dilanjutkan sampai 24 bulan. Asupan kalsium dijaga sekitar 1000 1200 mg/hari dan semua peserta mendapat 400 IU vitamin D/hari. Setelah 30 bulan ternyata densitas tulang yang diukur di vertebra lumbal lebih banyak meningkat secara bermakna di kelompok paratiroid (p 0,001), sedangkan densitas tulang di femoral neck meningkat secara bermakna di kelompok paratiroid, dibandingkan dengan kelompok alendronat (p 0,001). Setelah 12 bulan perubahan kadar alkalifosfatase serum lebih besar secara bermakna di kelompok paratiroid, dibandingkan baik terhadap kelompok alendronat (p 0,001) maupun terhadap kelompok kombinasi (p0,001). Disimpulkan bahwa alendronat mengurangi kemampuan hormon paratiroid dalam meningkatkan densitas tulang di vertebra lumbal dan femoral neck pria, mungkin karena melemahkan stimulasi hormon paratiroid pada pembentukan tulang.
N. Engl. J. Med. 2003; 349: 216-26

brw PENURUN DEMAM Studi perbandingan pada 252 anak berusia 6 bulan 14 tahun yang menderita demam dilakukan untuk membandingkan efektivitas ibuprofen 10 mg/kgbb. oral, nimesulid 2.5 mg/kgbb oral dan dipiron 10 mg/kgbb. im. Semua cara tersebut efektif menurunkan demam dalam 2 jam pengamatan; paling efektif adalah dipiron im (p=0.0036).
Clin. Drug Invest. 2003; 23(8) : 519-26

brw TERAPI OSTEOPOROSIS UNTUK PRIA Selama ini terapi osteoporosis terutama diberikan pada wanita; para peneliti di Boston, AS memberikan

Brw 63

Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran


Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Bisinosis disebabkan oleh reaksi alergi terhadap : a) Tungau b) Debu rumah c) Kapas d) Bulu binatang e) Serat sintetis Logam yang sering menyebabkan dermatitis kontak : a) Nikel b) Emas c) Perak d) Tembaga e) Lateks Pada rinitis, jalan napas/hidung terganggu terutama akibat: a) Edema jaringan b) Sumbat mukus c) Kontraksi otot polos d) Vasodilatasi e) Hipersekresi Leukosit yang mengandung histamin : a) Eosinolfil b) Basofil c) Netrofil d) Limfosit e) Polimorfonuklear Yang bukan sediaan antialergi : a) Klemastin b) Cetirizin c) Terfenadin d) Siproheptadin e) Efedrin Keracunan organofosfat dapat dideteksi melalui pengukuran : a) Hemoglobin b) Aktivitas kolinesterase c) SGOT/ SGPT d) Ureum - kreatinin e) Asetilkholin Pajanan akut terhadap benzen, terbaik diketahui melalui pengukuran/pemeriksaan : a) Hemoglobin b) Hitung trombosit c) SGOT/ SGPT d) Urine lengkap e) Fenol dalam urine Paraquat bersifat : a) Insektisida b) Herbisida c) Rodentisida d) Exfoliativa e) Fungisida

6.

2.

7.

3.

4.

8.

5.

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 142, 2004

You might also like