Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
BAB II
NEOPLASMA PADA RONGGA HIDUNG, SINUS PARANASAL,
NASOFARING, RONGGA MULUT DAN OROFARING
2
Drainase limfatik primer dari sinus maksilaris adalah ke nodus submandibular.
Sinus ethmoidalis juga ke submandibular selain ke nodus retrofaringeal. Rongga
hidung juga terdrainase ke daerah ini sepanjang alur pembuluh darah fasial ke segitiga
submandibular dan nodus periparotid.
2.1.3. Patologi
Sebagian besar tumor dari kavum nasi dan sinus paranasal adalah karsinoma
sel skuamosa. Berbeda dengan daerah lain di traktus aerodisgetif akrsinoma sel
skuamosa tidak terlalu mendominasi. Terdapat banyak variasi kanker yang secara
histopatologis berbeda yang dapat terjadi di daerah ini. Tumor yang ditemukan di
bagian superior kavum nasi termasuk adenokarsinoma dan estesioneuroblastoma. Di
sinus paranasal, neoplasma lainnya termasuk tumor yang berasal dari kelenjar ludah
minor termasuk adenokarsinoma, karsinoma adenoid kistik, dan karsinoma
mukoepidermoid. Tumor lain yang jarang di daerah ini adalah limfoma, melanoma
mukosa, teratokarsinoma, angiosarkoma dan berbagai tumor odontogenik dan tulang
lainnya.
3
pasien ini mempunyai penyebaran kanker ke nodus limfatis bilateral. Nodus limfe
regional menyebar lebih jarang pada tumor dari sinus ethmoid dan maksilar, sekitar
10%-15% pasien. Kemungkinana penyebaran ke nodus limfe akan menigkat seiring
dengan pertumbuhan tumor keluar dari rongga hidung dan sinus paranasal, terutama
dengan perkembangan ke arah rongga mulut.
Prognosis dari lesi rongga hidung sebanding dengan ukuran dari lesi dan
umumnya harapan hidup 5 tahunnya sekitar 60%. Prinsip utama yang menentukan
harapan hidup adalah keberadaan rekurensi lokal, yang merupakan adalah penyebab
seringnya kegagalan penatalaksanaan kanker. Prognosis untuk kanker snus paranasal
tergantung dari penyebaran penyakit primer pada saat presentasi dan sekitar 30%
untuk lesi T4 lanjut.
4
2.1.5. Penatalaksanaan
Untuk tumor di rongga hidung, radioterapi dan reseksi bedah meberikan hasil
yang sama untuk lesi-lesi dini. Untuk menghindarkan rekurensi tumor di rongga
hidung umumnya mengkombinasikan terapi bedah dengan radioterapi
Untuk kanker di sinus maksilaris, maksilektomi adalah prosedur pilihan dan
umumnya diiikuti oleh radiasi postoperasi. Untu kkanker yang menyebar ke arah
orbita, jika masih T1 atau T2, mata dapat tetap dipertahankan, akan tetapi jika sudah
mencapai lantai atau dinding rongga orbita sebaiknya dilakukan pembunagan dinding
orbita atau enukleasi.
Tantangan lain dalam pengobatan tumor sinus paranasal adalah rekonstruksi
wajah. Umumnya dilakukan dengan sling otot temporal, graft kulit dan flap komposit
dengan tulang.
5
2.2.2. Anatomi Relevan
Nasofaring adalah struktur kuboid yang ditutupi oleh epitel kolumnar
mukosiliar berlapis. Secara anterior merupaakn kelanjutan dari rongga hidung dari
koana posterior. Atapnya terbentuk oleh basisfenoid, basioksiput dan lengkung
anterior dari atlas. Atap ini secara bertahap melengkung ke arah inferior menjadi
dinding belakang. Ini dibentuk dari vertebra servikal pertama dan kedua. Dinding
lateral dari nasofaring terdapat muara tuba eustachii yang terletak di cekungan torus
tubarii. Dibelakang torus terdapat resesus faring lateral atau fossa Rosenmüller, yang
merupakan tempat paling sering dari perkembangan kanker nasofaring. Dasar lantai
nasofaring adalah permukaan atas dari palatum molle.
Drainase limfatik dari nasofaring melingkupi semua bagian di leher sepanjang
vena jugular dan nervus aksesoris spinal. Jarinngan limfatik ekstensif di nasofaring
juga mengalir ke nodus retrofaringeal di medial dari arteri karotis. Keterlibatan nodus
ini jarang dapat dideteksi secara klinis. Penilaian radiologis, antara CT dan MRI,
adalah metode diagnostik paling sensitif untuk mendeteksi pembesaran nodus
retrofaringeal.
2.2.3. Patologi
WHO membagi kanker nasofaring menjadi 3 tipe: tipe 1, karsinoma sel
skuamosa berkeratin; tipe 2, karsinoma sel skuamosa nonkeratin; dan tipe 3,
karsinoma tidak terdiferensiasi. Tipe 3 adalah karsinoma yang paling sering
ditemukan. Ditandai dengan adanya infiltrat limfosit sehingga dulu disebut
limfoepitelioma.
Tipe kanker lain yang juga dapat ditemukan termasuk limfoma, angiofibroma
belia, plasmasitoma dan adenokarsinoma yang berasal dari kelenjar liur minor.
6
ditemukan adalah gangguan pendengaran yang dikaitkan dengan otitis media serosa,
tinitus, obstruksi nasal dan nyeri. Pasien dapat mempunyai gejala yang menunujukkan
pertumbuhan ke struktur anatomi yang berdekatan. Tumor dapat tumbuh ke ruang
parafaringeal melalui sinus Morgagni yang menyebabkan gangguan pada otot
pterigoid dan trismus. Seringkali, keterlibatan saraf kranial menunjukkan adanya
pertumbuhan ekstensif ke basis kranii. Pertumbuhan ke sinus kavernosa dapat
menyebabkan gangguan pada saraf kranial II hingga VI. Selai nitu, kanker dapat
menembus fasia faringobasilar dan menyebar sepanjang selubung pembuluh darah
yang dapat berkembang di dalam basis kranii dan menyebabkan keterlibatan saraf
kranial.
WHO tipe 1 mempunyai kecenderungan tinggi untuk pertumbuhan lokal yang tidak
terkendali dan epliang penyebaran metastasis yang lebih rendah dari pada WHO tipe 2
atau 3. Metastasis nodus limfe lanjut dari WHO tipe 1 sekitar 60%. Untuk WHO tipe
2 dan 3, metastasis berkisar antara 80%-90%. Berbeda dengan kanker di rongga mulut
dan orofaring, metastasis umumnya terdapat di segitiga posterior. Nosul leher bilateral
terdapat pada 53% pasien. Daerah lain yang umum menjadi tempat metastasis kanker
adalah nodus limfe di ruang retrofaringeal yang disebut juga nodus Rouviere. Oleh
karena itu, rantai nodus limfatik multipel dapat terlibat termasuk rantau sepanjang
nervus aksesorius, vena jugular dan jalur retrofaringeal.
Prognosis harapan hidup 5 tahun untuk kanker ini bervariasi muali dari sekitar 15%
untuk lesi tipe 1 hingga 60% untuk lesi tipe 3 tergantung dari tingkatan penyakit.
Harapan hidup 5 tahun untuk stadium I sekitar 67% dan menurun hingga 15% untuk
stadium IV.
2.2.5. Penatalaksanaan
Radioterapi adalah pengobatan standar untuk semua kanker nasofaring. Bedah
biasanya tidak dapat dilakukan dan tidak dapat memberikan batas reseksi yang jelas.
Juga terdapat morbiditas yang cukup besar pada operasi nasofaring, bahkan pada
pasien pilihan sekalipun. Dapat juga diberikan regimen berbasis cisplatin untuk
mengendalikan rekurensi tumor atau untuk metastasis kanker.
7
2.3. Neoplasma pada Rongga Mulut
2.3.1. Epidemiologi
Kanker rongga mulut merupakan kumpulan dari banyak kanker. Epidemiologi
untuk setiap kanker berbeda-beda. akan tetapi mengingat bahwa karsinoma sel
skuamosa adalah kanker yang paling dominan, maka akan dijadikan perhatian dalam
sebagian besar pembahasan epidemiologi.
Diperkirakan di Amerika Serikat, 30.000 kasus baru terjadi setiap tahun. Hal ini telah
ditunjukkan berhubungan dengan faktor pajanan tembakau. Alkoho ljuga telah
diidentifikasikan sebagai koagen. Daerah mukosa yang terpajan secara lama dengan
alkohol memiliki resiko yang tinggi untuk menjadi kanker.
Merokok tidak dapat menjadi penyebab satu-satunya kanker rongga mulut. Faktor
genetik dipercaya juga memegang peranan penting, mungkin berhubungan dengan
faktor defisiensi mekanisme perbaikan DNA. Faktor genetik lain yang dipercaya juga
memepengaruhi adalah sistem enzim P-450.
Faktor resiko lainnya adalah diet. Pasien dengan defisiensi vitamin A memiliki resiko
yang lebih tinggi utnutk terjadi transformasi malignan pada mukosa mulut. Konsumsi
sayur dan buah ditunjukkan memiliki efek protektif. Iritasi kronik di rongga mulut
dari obat pencuci mulut, kesehatan gigi yang buruk dan sifilis juga dipercaya
termasuk salah satu faktor resiko.
Etiologi viral kanker mulut juga telah diselidiki dan dipercaya bahwa virus herpes
simpleks tipe 1 memainkan peranan. Penelitian lain juga mencari kaitan dengan virus
papiloma terutama tipe 2, 11 dan 16.
2.3.2. Patologi
Kanker paling umum di rongga mulut adalah karsinoma sel skuamosa. Selain
itu, kanker juga dapat berasal dari kelenjar liur minor yang berupa karsinoma adenoid
kistik, karsinoma mukoepidermoid, dan adenokarsinoma. Neoplasma jaringan lunak
jarang terjadi berupa melanoma mukosa, plasmasitoma dan sarkoma. Pada rongga
mulut juga dapat ditemukan kanker yang berasal dari tualng termasuk osteosarkoma.
Walalu bukan terhitung sebagai neoplasma dalam pengertian sesungguhnya namun
ameloblastoma mempunyai potensi untuk menghancurkan jaringan yang sama dengan
neoplasma oleh karena itu prinsip penanganan neoplastik juga berlaku untuk keadaan
ini.
8
2.3.3. Perjalanan Penyakit
Perubahan terdinni yang dihubungkan dengan karsinoma sel skuamosa adalah
eritema dan iregularitas permukaan mukosa ringan. Seringkali lesi pungtata juga
ditemukan. Seiring dengan perkembangan kanker, dapat terjadi beberapa pola
pertumbuhan kanker yang eksofitik atau infiltratif. Pola pertumbuhan infiltratif
dihubungkan dengan rusaknya struktur anatomi disekitar lesi. Sedangkan pola
pertumbuhan eksofitik lebih tidak agresif. Kedua pola pertumbuhan ini dapat
bermetastasis.
Karakterisitik dari penyakit ini ditunjukkan dari ciri histopatologis tertentu.
Tumor terdiferensiasi buruk dianggap mempunyai resiko metastasis yang lebih tinggi
dibanding dengan tumor yang terdiferensiasi baik. Akan tetap prinsip ini tidak selalu
berlaku.
2.3.4. Penatalaksanaan
Pada umumnya dilakukan reseksi radikal, terkadang bakhan hingga
membuang organ atau sebagian dari tulang. Radioterapi dan kemoterapi disarankan
namun dengan hasil bervariasi tergantung dari lokasi dan histopatologi dari kanker.
Rehabilitasi perlu dilakukan untuk melatih fungsi menelan dan berbicara, apabila
hasil operasi mengganggu fungsi menelan atau berbicara.
2.4.2. Patologi
Kanker di orofaring umumnya adalah karsinoma sel skuamosa, kanker lain
yang mungkin terjadi adalah kanker kelenjar liur minor dan limfoma.
9
2.4.3. Perjalanan Penyakit
Karena letaknya yang tidak terlalu terlihat dari luar dan hampir tidak
menimbulkan gejala pada stadium awal seringkali diagnosis kanker orofaring
ditegakkan pada saat kanker sudah memasuki stadium lanjut. Keluhan yang paling
sering dikeluhkan pasien adalah nyeri pada saat menelan, sakit tenggotokan, kesulitan
untuk berbicara, dan massa pada leher. Dapat pula meyebabkan gangguan pada telinga
karena dapat mempengaruhi tuba eustachius.
2.4.4. Penatalaksanaan
Pada umumnya radioterapi merupakan pilihan utama dengan pilihan bedah
tergantung dari lokasi lesi dan luasnya lesi kanker. Kemoterapi juga dapat dijadikan
terapi adjuvan bersamaan atau setelah radioterapi.
10
BAB III
NEOPLASMA PADA LARING DAN HIPOFARING
3.1. Neoplasma pada Laring
3.1.1. Epidemiologi
Secara epidemiologis kanker ini terjadi paling banyak pada orang usia
pertengahan puncaknya apda dekade keenam dengan riwayat perokok berat atau
mengkonsumsi alkohol rutin. Rasio laki-laki dengan wanita adalah 5:1.
Faktor etiologis yang dikaitkan dnegan kanker ini adalah penyalahgunaan suara (vocal
abuse), laringitis kronis, faktor diet, refluks lambung kronik dan pajanan terhadap
debu kayu, asbes dan radiasi. Namun faktor terpenting adalah efek karsinogenik pada
laring yang diakibatkan oleh rokok. Tampaknya virus papiloma manusia juga
memainkan peranan penting juga dalam proses terbentuknya kanker.
3.1.3. Patologi
Lebih dari 95% dari keganasan laring primer adalah karsinoma sel skuamosa.
Kanker yang mungkin terjadi lainyya adalah sarkoma, adenokarsinoma, tumor
neuroendokrin dan lainnya. Karsinoma sel skuamosa laring merupakan seperempat
dari seluruh karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher. 50% kasus kanker ini tidak
11
bermetastasis, 25% menyebar secara lokal, dan 15% bermetastasis ke jaringan lain
yang jauh. Terkadang karsinoma sel skuamosa di tempat ini berasal dari daerah lain
(tumor sekunder).
3.1.5. Penatalaksanaan
Dapat berupa bedah atau radioterapi, dengan hasil yang tidak jauh berbeda
maupun digabungkan. Kontrol lokal sangat baik walalupun resiko rekurensi dapat
12
tinggi akibat dari metastasis yang tidak terdeteksi. Karena bedah dapat mengganggu
struktur dan fungsi dari laring, kemoterapi dapat dilirik untuk digunakan sebagai
terapi untuk mempertahankan fungsi laring. Regimen berbasis cisplatin dan
flurourasil adalah yang paling banyak digunakan dan memebrikan hasil yang cukup
baik.
3.2.3. Penatalaksanaan
Mengingat kecenderungan tumor sudah s menyebar luas sebelum diagnosis
sempat ditegakkan dan strategi pengobatan dibuat seringkali terapi dengan bedah
13
memiliki daya tarik untuk dipilih sebagai terapi utama. Bedah sering kali digunakan
hanya untuk membebaskan jalan nafas dan esofagus dari massa tumor. Pengobatan
untuk mempertahankan struktur orang seringkali merupakan pilihan utama dengan
kombinasi radioterapi dan kemoterapi.
14
BAB IV
NEOPLASMA PADA KELENJAR LIUR
4.1. Neoplasma dari Kelenjar Liur Mayor
4.1.1. Patologi
Penyebab kanker kelenjar liur sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Beberapa faktor etiologi seperti radiasi, genetik, dan inhalasi serbuk kayu kronik telah
dihubungkan dengan kanker kelenjar liur tertentu walalupun masih berupa dugaan.
Sebagian besar neoplasma kelenjar liur adalah benigna. Tidaklah
mengherankan jika sebagian besar tumot yang terjadi di parotid adalah jinak.
Adapun tumor jinak yang sering ditemukan antara lain adalah adenoma
pleomorfik yang merupakan tumor kelenjar liur yang paling sering terjadi. Selain itu,
tumor jinak lain yang mungkin terjadi adalah: kistadenoma papiler limfomatosa atau
dikenal juga dengan nama tumor Warthin yang sering terjadi pada orang tua. Selain
itu terdapat juga adenoma monomorfik dan lesi limfoepitelial benigna yang
insidensnya mulai meningkat terutama pada penderita HIV.
Sedangkan untuk karsinoma ganas yang dapat timbul pada kelenjar liur mayor,
pada kelenjar parotis yang paling umum adalah karsinoma mukoepidermoid,
sedangkan untuk kelenjar submandibular adalah karsinoma adenoid kistik. Karsinoma
lain yang dapat terdapat di kelenjar liy mayor adalah karsinoma sel asinar,
adenokarsinoma, karsinoma sel skuamosa dan tumor malignan campuran, walalupun
beberapa karsinoma dari jaringan lain dapat saja timbul di kelenjar liur mayor.
15
prognosis yang buruk, karena normalnya jika tumor parotid benigna tidak akan
sampai mengganggu nervus fasialis. Oleh akrena itu jika ada tanda-tanda defisit
neurologis umumnya dihubungkan dengan adanya suatu malignansi (keganasan).
Sebagian besar tumor parotid, baik benigna maupun maligna ditandai dengan massa
asimptomatis di kelenjar.
4.1.3. Pentalaksanaan
Semua tumor yang berasal dari kelenjar liur umumnya dilakukan eksisi bedah,
dan jika perlu membuang kelenjar yang terkena. Kontrol lokal setelah operasi
umumnya baik dan demikian juga dengan prognosisnya. Beberapa penelitian
menunjukkan radioterapi tidak memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan
dengan bedah untuk kasus tumor benigna dan mungkin mempunyai manfaat klinis
yang lebih baik jika digunakan untuk penatalaksanaan metastasis kanker kelenjar liur.
16
Kurang dari 20% pasien dengan kanker kelenjar liur minor mempunyai
metastasis nodus limfe. Seperti tumor kelenjar liur mayor, insidens metastasis nodul
limfe sebanding dengan ukuran dan besarnya tumor.
Bedah adalah pilihan utama untuk pengobatan tumor kelenjar liur minor.
Karena enukleasi biasa sering mengakibatkan angka rekurensi melebihi 93%, maka
perlu dilakukan eksisi luas atau eksisi regional, bahkan jika harus membuang tulang
sekalipun. Efektivitas radioterapi untuk tumor kelenjar liur ini belum meberikan hasil
yang cukup memuaskan dan seringkali hanya menjadi terpai adjuvan dengan
kemoterapi dalam keadaan tertentu sehabis operasi.
17
DAFTAR PUSTAKA
18