You are on page 1of 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Etiologi Dermatitis seboroik adalah penyakit kulit inflamasi superfisial kronis yang mengalami remisi dan eksaserbasi dengan area seboroik sebagai area predileksi. Area seboroik adalah bagian tubuh yang banyak terdapat kelenjar sebasea yaitu kulit kepala, telinga bagian luar, saluran telinga, badan bagian atas (presternum, interskapula, areolla mammae) dan daerah lipatan ( ketiak, lipatan di bawah mammae, umbilikus, lipatan paha, daerah anogenital, dan lipatan pantat) (Pohan, 2005). Dermatitis seboroik memiliki karakterisitk efloresensi berupa eritema yang ditutupi dengan skuama berminyak, predileksi pada area tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea seperti kulit kepala, wajah, dada, punggung, dan area lipatan-lipatan (Valia, 2006). Berdasarkan penelitian pada 1.116 anak, dermatitis seboroik terjadi pada 10% anak laki-laki dan 9,5% pada anak perempuan, dengan prevalensi tertinggi pada usia 0-3 bulan (Schwartz, 2006). Dermatitis seboroik merupakan penyakit dermatosis papuloskuamus dengan karakteristik khas untuk penegakan diagnosisnya. Penyakit ini dapat dialami pasien dari berbagai usia mulai dari neonatus hingga dewasa yang diakibatkan oleh peningkatan produksi sebum (seborrhea). Kulit yang terkena akan tampak kemerahan, edematous, serta ditutupi dengan skuama dan krusta

kuning kecoklatan. Terdapat beberapa variasi klinis dari dermatitis seboroik mulai dari ringan sampai berat, termasuk bentuk-bentuk psoriasiform, pitiriasiform, dan eritroderma. Dermatitis seboroik adalah salah satu manifestasi kulit yang banyak ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV. Sehingga, penyakit ini termasuk dalam spektrum lesi premonitory dan harus dievaluasi dengan cermat pada pasien risiko tinggi. Walaupun banyak teori telah dikemukakan, penyebab pasti dari dermatitis seboroik masih belum diketahui dengan jelas (Wolff et al, 2008). Dermatitis seboroik bukan merupakan penyakit yang disebabkan oleh gangguan kelenjar sebasea. Banyak pasien dewasa normal dengan kulit yang tampak berminyak tetapi tidak mengalami dermatitis seboroik. Lebih lanjut, dari penelitian diketahui bahwa laju sekresi sebum pada pasien dermatitis seboroik masih pada rentang normal (Valia, 2006). Beberapa faktor seperti hormon, infeksi jamur, defisit nutrisional, dikaitkan dengan timbulnya dermatitis seboroik. Keterkaitan hormonal ini dapat menjelaskan alasan mengapa kondisi ini dapat hilang dengan spontan jika terjadi pada bayi, kemudian muncul lagi pada usia puber. Hubungan kausatif yang lebih kuat tampak pada proliferasi spesies Malassezia ( e.g Malassezia furfur dan Malassezia ovalis). Hubungan kausatif ini dikemukakan karena adanya respon terhadap agen terapi antijamur dan ditemukannya Malassezia pada lesi pasien dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik juga mungkin terkait dengan defisiensi nutrisi, tetapi mekanismenya masih belum diketahui (Schwartz, 2006). Perubahan pola asam lemak esensial merupakan patogenesis penting dalam dermatitis seboroik infantil. Penelitian terhadapa pola asam lemak esensial

serum pada 30 anak dengan dermatitis seboroik menunjukkan adanya gangguan transien fungsi enzim delta-6 desaturase. Teori neurogenik dapat menjelaskan hubungan antara dermatitis seboroik dengan parkinsonisme dan gangguan neurologis lainnya termasuk post CVA, epilepsy, trauma sistem saraf pusat, kelumpuhan nervus fasialis, dan siringomielia yang diinduksi oleh obat neuroleptic dengan efek ekstrapiramidal (Schwartz, 2006). Terdapat peningkatan hifa dari genus Malassezia pada skuama epidermis penderita dermatitis seboroik. Walaupun sebelumnya telah dikemukakan bahwa hal ini merupakan akibat sekunder dari adanya skuama yang memberikan habitat menguntungkan bagi pertumbuhan Malassezia, disetujui pula bahwa adanya hifa dapat menyebabkan munculnya kondisi ini. Mekanisme induksi inflamasi dan deskuamasi oleh Malassezia spp. masih belum diketahui dengan pasti (Jones, 2010). Schuster mengemukakan bahwa organisme Malassezia furfur atau bentuk hifanya yaitu Pityrosporum ovale merupakan etiologi dermatitis seboroik. Jumlah organisme ini diketahui meningkat pada pasien dermatitis seboroik dan dapat diketahui dengan pasti dari kultur lesi. Hasil penelitian eksperimental menunjukkan bahwa infeksi Malassezia furfur mengakibatkan timbulnya dermatitis seboroik (Valia, 2006). 2.2 Faktor Predisposisi dan Pencetus Dermatitis seboroik lebih banyak dijumpai dan bermanifestasi lebih berat pada pasien dengan infeksi HIV, terutama pada pasien dengan jumlah CD4 di bawah 400 sel per millimeter, dan dapat berkurang dengan terapi antiretroviral

aktif. Dermatitis seboroik dilaporkan terkait dengan beberapa kondisi seperti neuroleptic-induced parkinsonism, amyloidosis familial dengan polineuropati, dan trisomy 21, tetapi meknisme keterkaitannya masih belum diketahui. Kondisi ini juga dapat dipicu oleh adanya stres emosional. Pasien dermatitis seboroik juga banyak datang dengan keluhan kondisi yang semakin memberat karena paparan cahaya matahari (Naldi, 2009). Kelenjar sebasea lebih aktif saat lahir, tetapi dengan berkurangnya stimulasi dari androgen maternal, kelenjar ini inaktif selama 9-12 tahun. Hal ini terkait dengan insidensi dermatitis seboroik yang signifikan pada usia tertentu. Kondisi ini disebut dermatitis seboroik infantile yang normal terjadi pada bulanbulan pertama setelah lahir. Tetapi etiologi karena aktivitas kelenjar sebasea ini tidak dapat menjelaskan terjadinya dermatitis seboroik pada usia pubertas dan dewasa. (Jones, 2010). Beberapa penelitian mengemukakan adanya keterkaitan hormonal yang dibuktikan dengan dermatitis seboroik infantil yang dapat sembuh spontan dan muncul kembali pada usia pubertas (Schwartz, 2006). Adanya sedikit perbedaan prevalensi antara laki-laki dan perempuan (10% pada laki-laki, 9.5% pada perempuan) memberikan gambaran kemungkinan adanya keterkaitan androgen dalam patogenesis dermatitis seboroik (World Health Organization, 1997). Kematangan kelenjar sebasea merupakan faktor permisif bagi

berkembangnya dermatitis seboroik, peran seborrhea sendiri dalam patogenesis penyakit ini masih diperdebatkan (Jones, 2010). Seborrhea adalah kulit yang tampak berminyak (seborrhea oleosa), karena peningkatan produksi sebum (tidak selalu dapat ditemukan pada pasien). Walaupun seborrhea merupakan faktor

predisposisi, tetapi dermatitis seboroik tidak termasuk dalam penyakit kelenjar sebasea (Wolff, 2008). Banyak insidensi dermatitis seboroik didapatkan dari kelompok pasien dengan AIDS, dan pasien dengan peningkatan seropositive HIV yang belum menampakkan gejala klinis AIDS. Diabetes Mellitus terutama pada individu obesitas, sprue, gangguan alabsorbsi, epilepsy, mendapatkan terapi neuroleptic seperti haloperidol, dan reaksi terhadap arsenic dan emas biasanya memiliki gejala klinis erupsi berbentuk seperti dermatitis seboroik (James, 2002). Secara histologis, perbedaan antara dermatitis seboroik primer dengan yang disertai underlying disease AIDS dapat dilihat dalam tabel berikut :

Sumber : Wolff, 2008. 2.3 Epidemiologi Dermatitis seboroik merupakan salah satu penyakit kulit yang paling sering ditemukan walaupun perkiraan prevalensinya terbatas oleh kurangnya

validasi kriteria untuk diagnosis atau grading. Secara global, prevalensi dermatitis seboroik adalah 3-5%. Dandruff atau ketombe yang merupakan bentuk paling ringannya lebih umum dijumpai dengan estimasi prevalensi 15-20% populasi dunia (Selden, 2013). Bentuk infantil sangat banyak ditemukan, yang biasanya mengenai kulit kepala (cradle cap), wajah, dan area diaper. Kondisi ini dialami oleh 70% bayi usia 0-3 bulan dan biasanya sembuh dengan spontan sebelum usia 1 tahun. Survei oleh National Health and Nutrition Examination, yang mengikutsertakan sampel dengan rentang usia 1-74 tahun di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa prevalensi dermatitis seboroik adalah 11.6% secara keseluruhan dan 2.8% (3.0% laki-laki, 2.6% perempuan) pada kelompok yang signifikan secara klinis. Prevalensi signifikan secara klinis pada dermatitis seboroik berada pada tingkat paling rendah pada kelompok usia < 12 tahun (<1%) dan tertinggi pada kelompok 35-44 tahun (4.1%) (Naldi, 2009). Penelitian lain menunjukkan bahwa dermatitis seboroik ditemukan pada 10% anak laki-laki dan 9.5% anak perempuan. Prevalensi tertinggi pada usia 0-3 bulan kemudian menurun dengan drastis pada usia 1 tahun dan sedikit meningkat pada empat tahun berikutnya. Mayoritas pasien (72%) mengalami dermatitis seboroik skala ringan sampai sedang. Prevalensi menunjukkan perkiraan peningkatan lebih tinggi secara konsisten pada usia lanjut dibandingkan dengan populasi umum (Schwartz, 2006). 2.4 Patofisiologi

10

Dermatitis seboroik terkait dengan level normal Malassezia dengan respon imun abnormal. Pada pasien, ditemukan adanya penurunan Sel T helper, phytohemagglutinin, dan stimulasi konkanavalin serta titer antibodi dibandingkan dengan subjek kontrol. Kontribusi spesies Malassezia pada timbulnya dermatitis seboroik mungkin disebabkan oleh aktivitas lipase (pelepasan asam lemak bebas inflamatori) dan kemampuannya untuk mengaktivasi jalur komplemen alternatif (Selden, 2013). Etiologi dermatitis seboroik memang sangat kompleks, tetapi banyak peneliti yang menyebutkan adanya keterkaitan kuat dengan hifa lipofilik Pityrosporum ovale. Densitas hifa menentukan tingkat berat aau ringannya penyakit, dan penurunan jumlah hifa biasnaya terjadi sebagai respon terhadap terapi. Sehingga adanya hifa tersebut mungkin merupakan faktor patogenik pada individu yang memiliki faktor predisposisi. Pasien dengan dermatitis seboroik menunjukkan adanya peningkatan regulasi interferon , ekspresi interleukin 6, iterleukin 1-, dan interleuikin 4. Selain itu, juga ditemukan peningkatan ekspresi ligand sitotoksik aktif dan perekrutan NK sel (James, 2002). Dalam penelitian lain oleh Antonella, disebutkan bahwa patofisiologi dermatitis seboroik dalam gambar berikut ini :

11

Gambar 2.1 Patofisiologi Dermatitis Seboroik

Sumber : Antonella, 2012 2.4.1 Seborrhea Seborea adalah kulit yang tampak berminyak (seborrhea oleosa), walaupun penignkatan produksi sebum tidak selalu dapat terdeteksi pada pasien. Seborea merupakan faktor predisposisi, tetapi dermatitis seboroik bukan merupakan penyakit gangguan kelenjar sebasea. Insidensi tinggi dermatitis seboroik pada bayi terkait dengan ukuran dan aktivitas kelenjar sebasea pada usia tersebut. Diketahui bahwa bayi baru lahir memiliki kelenjar sebasea yang luas

12

dengan sekresi sebum yang tinggi. Lokasi predileksi (wajah, telinga, kulit kepala, dan bagian atas pundak) adalah area-area yang kaya folikel-folikel sebasea. Pada pasien dermatitis seboroik, sering didapatkan kelenjar sebasea yang lebih luas pada specimen histologis. Penelitian menunjukkan bahwa lemak permukaan kulit tidak meningkat tetapi komposisi lipid secara khusus memiliki karakteristik peningkatan proporsi kolesterol, trigliserida, dan paraffin, serta penurunan squalane, asam lemak bebas, dan wax ester (Wollf, 2008). 2.4.2 Pengaruh Mikrobial Pada dermatitis seboroik infantil, Candida albicans sering ditemukan pada lesi kulit dan specimen feses. Walaupun uji intrakutan, antibodi agglutinasi positif, dan transformasi limfosit positif pada bayi dengan dermatitis seboroik membuktikan adanya sensitisasi Candida albicans, hal tersebut tidak dapat menerangkan patogenesis penyakit ini (Wollf, 2008). Schuster mengemukakan bahwa organisme Malassezia furfur atau bentuk hifanya yaitu Pityrosporum ovale merupakan etiologi dermatitis seboroik. Jumlah organisme ini diketahui meningkat pada pasien dermatitis seboroik dan dapat diketahui dengan pasti dari kultur lesi. Hasil penelitian eksperimental menunjukkan bahwa infeksi Malassezia furfur mengakibatkan timbulnya dermatitis seboroik. Malassezia furfur mengakibatkan respon inflamasi dengan menginduksi produksi sitokin oleh keratinosit atau dengan keterlibatan sel Langerhans dan aktivasi T-limfosit (Valia, 2006).

13

2.4.3 Faktor Inflamasi Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya inflamasi adalah aktivitas lipase dari P.Ovale yang dapat menyebabkan lepasnya asam lemak bebas dari jaringan lemak kulit. Walaupun abnormalitas kualitatif dalam komposisi sebum tidak terlihat pada dermatitis seboroik, abnormalitas ringan pada permukaan lipid dapat diakibatkan oleh keratinisasi inefektif yang dapat terlihat secara histologis. Pada bayi dengan dermatitis seboroik, tampak adanya peningkatan kadar asam lemak esensial yang tidak terjadi pada anak normal. Abnormalitas tersebut dapat berubah menjadi normal pada tahap remisi spontan. Hal ini menguatkan teori mengenai gangguan fungsi enzim delta-6 saturase transien. Studi lain menunjukkan bahwa pasien dermatitis seboroik memiliki kadar asam lemak bebas rendah dan peningkatan kadar trigliserida (Valia, 2006). 2.4.4 Disfungsi Imun Terdapat kemungkinan adanya defek respon imun seluler terhadap P.Ovale pada pasien dermatitis seboroik, walaupun bukti-bukti pendukungnya masih belum lengkap, Meskipun hubungan antara dermatitis seboroik dan hifa Malassezia masih belum dipahami dengan jelas, tetapi hal ini mendukung postulat bahwa kolonisasi P.ovale yang kuat pada pasien diakibatkan oleh adanya

perubahan sistem imun seluler, sehingga perkembangan dermatitis seboroik tergantung pada reaksi sistem imun pasien terhadap antigen dari P.ovale (Valia, 2006).

2.4.5 Gangguan Nutrisi

14

Pada dermatitis seboroik infantil, terkait dengan adanya defisiensi biotin baik yang disebabkan oleh gangguan metabolisme asam lemak bebas maupun akibat sekunder dari defisiensi holokarboksilase atai biotinidase (Wollf, 2008). 2.5 Gejala Klinis Pada bayi, gejala dermatitis seboroik khas dengan adanya lesi pada kepala yang disebut cradle cap, dengan krusta tebal, pecah-pecah dan berminyak tanpa ada dasar kemerahan dan tidak gatal. Pada lokasi lain, tampak kemerahan atau merah kekuningan yang tertutup dengan skuama berminyak serta tidak gatal. Sementara pada dewasa, dermatitis seboroik muncul dengan keluhan gatal. Pada area seboroik pasien dewasa, tampak macula, folikular atau perifolikular atau papula kemerahan dan kekuningan dengan derajat ringan sampai berat, inflamasi, skuama, dan krusta tipis sampai tebal yang kering, basah, atau berminyak (Pohan, 2005). Terdapat beberapa varian klinis dermatitis seboroik, dapat dilihat pada tabel berikut :

Gambar 2.2 Varian Klinis Dermatitis Seboroik

15

Sumber : Naldi, 2009 Prevalensi tertinggi dermatitis seboroik memang tampak pada bayi (usia 0-3 bulan) dengan gejala klinis yang sangat khas (crusta lactea, milk crust, atau cradle cap). Pada bayi, sering didapatkan krusta yang tampak seperti sisik dengan akumulasi debris epitel yang melekat (James, 2002). Jarang terjadi kerontokan rambut dan inflamasi. Selama perjalanan penyakit, kulit bayi akan semakin tampak kemerahan, dan area yang berskuama

16

tampak sangat jelas dibatasi oleh macula eritematosa berbatas jelas yang ditutupi dengan skuama berminyak. Area lipatan retroaurikular biasanya terkena yang dapat berkembang dengan komplikasi berupa otitis eksterna. Dengan pakaian yang lembap dan pemakain popok pada bayi, akan semakin menyediakan lingkungan yang menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri. Area-area yang banyak terkena karena lembap adalah leher, axila, anogenital, dan selakangan. Banyak dijumpai kasus dengan infeksi oportunistik C. albicans, S.Aureus, dan bakteri lainnya (Wollf, 2008). Leiners syndrome adalah bentuk klinis dermatitis seboroik infantil berat dengan eritematosa dan lesi kulit eksematus ekstensif. Penyakit ini disebabkan oleh defisiensi komponen komplemen 5 (C5). Sindrom ini disertai dengan manifestasi klinis seperti diare dan penurunan berat badan (Schwartz, 2006). Keadaan umum pasien tampak sangat sakit, disertai anemia, diare, dan vomitin. Biasanya juga ditemukan infeksi bakterial sekunder. Terdapat dua bentuk dari Leiners syndrome, yaitu familial dan non familial. Bentuk nonfamilial disebabkan oleh defisiensi C5 yang mengakibatkan opsonisasi defektif. Pasien dengan Leiner syndrome umumnya memberikan respon baik terhadap antibiotik dan infus fresh frozen plasma atau whole blood. Etiologi dan patofisiologi penyakit ini masih belum diketahui (Wollf, 2008). Pada pasien dewasa, dandruff (pityriasis sicca) adalah bentuk ringan dari dermatitis seboroik. Pitiriasis steatoides adalah bentuk lain dari dermatitis seboroik yang khas dengan lesi berminyak, disertai dengan eritema dan akumulasi krusta tebal. Bentuk lain dari dermatitis seboroik pada kulit kepala meliputi macula arcuata, polisiklik, atau berkrusta, dan psoriasiform, serta plak berkrusta

17

atau eksudatif. Lesi biasanya tersebar di antara rambut-rambut kulit kepala, telinga, region post-aurikular, dan leher. Pada area-area tersebut akan ditemukan macula dengan tepi konveks berwarna kuning kemerahan. Pada individu berkulit hitam, lesi arcuata dan petealoid biasanya ditemukan di kulit kepala. Pada kasus yang berat, biasanya ditemukan lesi di seluruh kulit kepala dengan krusta yang tampak kotor dan bau tidak enak (James, 2002). 2.6 Diagnosis Banding dan Penegakan Diagnosis Diagnosis banding yang paling mendekati untuk dermatitis seboroik infantile adalah dermatitis atopi. Karakteristik yang paling penting untuk membedakan antara dermatitis seboroik dan dermatitis atopik adalah dengan melihat lokasi terbanyak ditemukannya lesi. Lesi banyak ditemukan di lengan atas dan tungkai adalah khas pada dermatitis atopi sementara lesi ditemukan meningkat di axilla pada dermatitis seboroik. Lesi yang hanya muncul hanya pada area diaper lebih condong pada dermatitis seboroik infantile. Pemeriksaan radioallergosorbent dan kadar immunoglobulin E total berguna untuk

membedakan antara dermatitis atopi pada fase awal dan dermatitis seboroik infantil. Gejala klinis berupa gatal ringan bahkan tidak ada, menunjukkan kecenderungan pada dermatitis seboroik. Tetapi, ada beberapa peneliti yang meyakini bahwa dermatitis seboroik bukan merupakan entitas tersendiri tetapi suatu varian klinis dari dermatitis atopi. Dengan tidak mengesampingkan kemungkinan scabies, psoriasis, dan histiosis sel Langerhans (Wollf, 2008).

Gambar 2.3 Dermatitis Atopi Infantil

18

Gambar 2.4 Histiositosis Langerhans

Gambar 2.5 Psoriasis pada bayi

19

Sementara, diagnosis banding untuk dermatitis seboroik pada orang dewasa adalah pityriasis kapitis, psoriasis vulgaris, dermatitis kontak, rosasea, kandidiasis intertrigo, eritrasma, tinea kruris, dermatitis kontak alergi, dan erupsi obat (Pohan, 2005). Berdasarkan predileksi spesifiknya, dapat dilihat dalam tabel berikut :

Sumber : Wolff, 2008 Gambar 2.6 Pitiriasis Kapitis

20

Gambar 2.7 Psoriasis vulgaris

Gambar 2.8 Pityriasis Rosea

Diagnosis terutama ditegakkan dengan adanya gejala klinis yang khas. Bila meragukan, dilakukan pemeriksaan penunjang seperti: histopatologis gambaran dermatitis kronis dan spongiosis jelas KOH 10-20% tampak spora/ blastokonidia, tidak ada hifa

21

Woods lamp fluoresensi negatif

(Pohan, 2005) Secara histologis, pada epidermis tampak akantosis regular dengan beberapa penipisan pada suprapapila.Didapatkan berbagai derajat spongiosisdan eksositosis limfosit. Gambaran karakteristik khas yaitu adanya krusta bersisik fokal yang menempel pada ostia folikuler (James, 2002). Dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Sumber : Antonella, 2012 Tabel perbedaan dermatitis seboroik dengan penyakit lainnya, dapat dilihat sebagai berikut : Tabel 2.1 Diagnosis Banding Dermatitis Seboroik dan Perbedaan Gejala Klinisnya

22

Sumber : Schwartz, 2006 2.7 Terapi

23

Rekomendasi terapi Dermatitis Seboroik dari American Association of Family Physician adalah sebagai berikut : Tabel 2.2 Terapi Dermatitis Seboroik rekomendasi AAFP

Sumber : Schwartz, 2006

Rekomendasi terapi Dermatitis Seboroik dari Fitzpatrics Dermatology adalah sebagai berikut :

24

PADA BAYI (INFANTIL DS) Pembersihan krusta dengan Asam Antijamur Metronidazol Litium

DEWASA

Salisilat 3% dalam olive oil atau larutan water soluble; kompres dengan olive oil hangat; potensi pemberian rendah kortikosteroid topikal

(e.g Analog vitamin D Isotreonin

hidrokortison) selama beberapa hari; penggunaan sampo bayi; agen

antijamur; perawatan kulit adekuat Fototerapi dengan krim kulit khusus untuk bayi.

Rekomendasi terapi Dermatitis Seboroik dari Pedoman Diagnosis dan Terapi RSU dr. Soetomo adalah preparat antifungi dan antiinflamasi. Sementara pada bayi, untuk skuama pada kepala dapat diberikan kompres dengan minyak mineral hangat 8-12 jam, dan dilanjutkan dengan sampo bayi. Untuk skuama yang tebal dan difus, dapat dikombinasi dengan coal tar dan keratolitik, losion kortikosteroid 1-3 kali sehari dan salep acidum salysilicum 5%. Untuk orang dewasa dengan gejala klinis khas berupa keluhan gatal, terapi pada wajah dapat diberikan krem ketokonazol 2% dioleskan 1-2 kali sehari untuk menekan eritema dan gatal. Terapi pada badan dapat diberikan zinc atau coal tar dalam shampoo atau mandi dengan sabun zinc. DS berat pada dewasa : Tablet kortikosteroid dan tablet ketokonazol 200 mg 1x1 selama 3 minggu. Rekomendasi terapi menurut WHO adalah penggunaan sampo keratolitik untuk mengurangi inflamasi dan krusta. Terdapat berbagai jenis sediaan suspensi

25

berbahan dasar deterjen atau sampo yang mengandung bahan aktif seperti asam salisilat, coal tar, pyrithione zinc, dan selenium sulfide. Cara penggunaan yang benar untuk mencpai hasil maksimal adalah dengan mengusapkan sampo di seluruh bagian kulit kepala kemudian dibiarkan 2-3 menit sebelum dibilas. Preparat yang mengandung kombinasi sulfur dan asam salisilat dapat digunakan di area-area lain yang terkena termasuk kulit kepala. Pemberian kortikosteroid topikal, gentian violet, dan golongan azole seperti kerokonazol dilaporkan efektif untuk mengurangi keluhan. Tetapi penggunaan ketokonazol kontraindikasi untuk anak berusia di bawah 2 tahun (World Health Organization, 1997).

You might also like