You are on page 1of 2

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Sedangkan, PKPU sendiri tidak diberikan definisi oleh UU Kepailitan. Akan tetapi, dari rumusan pengaturan mengenai PKPU dalam UU Kepailitan kita dapat melihat bahwa PKPU adalah sebuah cara yang digunakan oleh debitur maupun kreditur dalam hal debitur atau kreditur menilai debitur tidak dapat atau diperkirakan tidak akan dapat lagi melanjutkan pembayaran utangutangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan maksud agar tercapai rencana perdamaian (meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur) antara debitur dan kreditur agar debitur tidak perlu dipailitkan (lihat Pasal 222 UU Kepailitan jo. Pasal 228 ayat [5] UU Kepailitan). Sementara, Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek (hal. 177) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penundaan pembayaran utang ( Suspension of Payment atau Surseance van Betaling ) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut. Dalam hal terdapat permohonan PKPU dan kepailitan, permohonan PKPU didahulukan daripada kepailitan (Pasal 229 ayat [3] dan ayat [4] UU Kepailitan ): Pasal 229 ayat (3) dan ayat (4) UU Kepailitan: 1. .; 2. .; 3. Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus diputuskan terlebih dahulu. 4. Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan terhadap Debitor, agar dapat diputus terlebih dahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Berdasarkan pengertian tentang kepailitan dan PKPU di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam kepailitan, harta debitur akan digunakan untuk membayar semua utang-utangnya yang sudah dicocokkan, sedangkan dalam PKPU, harta debitur akan dikelola sehingga menghasilkan dan dapat digunakan untuk membayar utang-utang debitur.

Beberapa perbedaan lain antara kepailitan dan PKPU dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Perbedaan Upaya hukum Kepailitan Terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit, dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat [1] UU Kepailitan). Selain itu terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (Pasal 14 UU Kepailitan). Terhadap dapat PKPU putusan PKPU tidak hukum

diajukan

upaya

apapun (Pasal 235 ayat [1] UU Kepailitan).

Yang melakukan pengurusan harta debitur

Kurator (Pasal 1 angka 5, Pasal 15 ayat [1], dan Pasal 16 UU Kepailitan)

Pengurus (Pasal 225 ayat [2] dan ayat [3] UU Kepailitan)

Kewenangan debitur

Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, debitur kehilangan haknya mengurus untuk menguasai dan yang kekayaannya

Dalam PKPU, debitur masih dapat melakukan pengurusan terhadap hartanya selama mendapatkan persetujuan dari pengurus (Pasal 240 UU Kepailitan).

termasuk dalam harta pailit (Pasal 24 ayat [1] UU Kepailitan).

Jangka waktu penyelesaian

Dalam

kepailitan,

setelah

Dalam

PKPU,

PKPU tidak

dan boleh

diputuskannya pailit oleh Pengadilan Niaga, tidak ada batas waktu tertentu untuk penyelesaian seluruh proses kepailitan.

perpanjangannya

melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah putusan PKPU sementara diucapkan (Pasal 228 ayat [6] UU Kepailitan).

You might also like