You are on page 1of 3

REPO

Beberapa bulan terakhir, transaksi Repo kerap diangkat di berbagai berita ekonomi. Kasus Antaboga misalnya, termasuk salah satu kasus yang melibatkan transaksi repo. Tetapi apakah teman-teman pembaca blog ini tahu apa itu Transaksi Repo? Aritkel ini akan mencoba menjelaskan secara sederhana apa itu sebenarnya transaksi Repo. Repurchase Agreement atau Repo dapat dikatakan sebagai perjanjian meminjam uang dengan suatu jaminan. Dalam hal ini, jaminannya umumnya berupa instrumen investasi di pasar modal, seperti : saham, SUN, obligasi korporasi. Contoh sederhananya: Misalkan si A sedang butuh dana dalam waktu cepat. Si A meminjam sejumlah dana kepada si B. Si A memberikan jaminan kepada si B berupa saham yang dimiliknya. Nantinya ketika si A sudah mengembalikan dana yang dipinjam ditambah bunga yang disepakati si B akan mengembalikan saham yang dijaminkan kepada B. Nah jika si A tidak bisa mengembalikan dana yang dipinjam, maka saham A akan disita dan menjadi milik si B. ooO00 Sebelum transaksi Repo terjadi akan dibuat dulu ketentuan-ketentuan yang disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat. Secara sederhana instrumen yang terlibat dalam transaksi Repo ada 5 hal : 1. Seller (pihak yang butuh dana)

2. Buyer (pihak yang meminjamkan dana) 3. Nilai Repo (Jumlah uang yang akan dipinjamkan) 4. Instrumen Efek (yang dijadikan jaminan, bisa berupa SUN, Obligasi Korporasi, SBI, atau Saham) 5. Bunga (besarnya imbalan bagi pihak yang meminjamkan dana) Dari segi waktu jatuh temponya, Repo terbagi atas 3 jenis, yaitu : 1. Overnight (jatuh tempo dalam satu hari)

2. Term (jatuh tempo dalam kurun waktu tertentu) 3. Open Repo (tidak ditentukan waktu jatuh temponya) Dari segi transaksinya, Repo terbagi atas 2 jenis, yaitu : 1. Classic Repo : Transaksi Repo tanpa terjadi kepindahan kepemilikan efek, efek tetap berada di pihak penjual. Efek tersebut tidak dapat dijual sebelum Repo tersebut jatuh tempo. 2. Sell/Buy Back Repo : Transaksi Repo yang melibatkan transfer efek dan dana antara pihak penjual dan pihak pembeli. oOo

Dalam transaksi Repo, umumnya nilai transaksi Repo akan berada di bawah nilai jaminannya. Salah satu yang mempengaruhi nilai transaksi Repo ini tentunya adalah jenis jaminannya. Sebagai contoh, untuk untuk Repo Obligasi misalnya, nilai transaksi Reponya bisa berkisar di sekitar 70% dari nilai obligasinya. Jika nilai Obligasi yang dijaminkan Rp 1 milyar, maka nilai uang yang bisa dipinjam sebesar Rp 700 juta. Sebaliknya untuk Repo Saham, nilai Reponya mungkin akan berkisar sebesar 50% dari nilai saham yang dijaminkan. Jika nilai saham yang dijaminkan adalah Rp 1 milyar, maka uang yang akan dipinjamkan hanya sebesar Rp 500 juta. Ini tentunya wajar, karena harga obligasi biasanya lebih stabil dan pergerakannya tidak terlalu fluktuatif dibandingkan dengan harga saham. Hal lain yang akan mempengaruhi nilai transaksi Repo tentunya juga adalahkualitas dari barang jaminannya. Jika kita menjaminkan saham Coca-Cola misalnya, nilai yang bisa kita dapatkan tentunya akan lebih tinggi dibandingkan dengan saham PT. Antah Berantah. oO0 Jadi mengapa akhir-akhir ini transaksi Repo banyak dibicarakan? Sebagian besar transaksi Repo yang jadi pemberitaan adalah transaksi Repo dengan instrumen efek jaminannya berupa saham. Kenapa yang jaminan saham ini jadi masalah? Turunnya nilai saham-saham IHSG menjadi jawabannya. Agar lebih jelas simak ilustrasi berikut ini. Perusahaan A sedang mengalami kesulitan dana, untuk memperoleh dana, pada 20 April 2009 perusahaan A mengajukan Repo ke perusahaan Z dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Asset yang digadaikan berupa saham PTJS sebanyak 1 juta lembar dengan harga per lembar saham saat penawaran Repo Rp10,000, jadi nilai asset total Rp 10 milyar. 2. Nilai Repo yang ditawarkan bernilai Rp 5 milyar (50%). 3. Jangka waktu 3 bulan. 4. Bunga 12% per tahun. 5. Tipe Repo yang digunakan adalah Sell/Buy Back Repo. Setelah 2 bulan atau pada 20 Juni 2009 harga saham PTJS turun menjadi Rp 6,000. Asset jaminan Perusahaan A nilainya juga turun menjadi Rp 6 milyar atau hanya Rp 1 milyar di atas nilai Repo. Artinya, nilai uang yang dipinjamkan kini sudah menjadi 83% dari nilai barang yang dijaminkan. Perusahaan Z tentunya khawatir, karena jika harga saham PTJS turun terus, bisabisa nilai barang jaminannya malah akan dibawah uang yang sudah dipinjamkannya. Oleh sebab ini, Perusahaan Z pun meminta Perusahaan A untuk menambah jaminan sahamnya (top up) kepada Perusahaan Z. Misalkan dalam hal ini jaminan yang ditambahkan adalah 650 ribu lembar saham PTJS. Dengan demikian total asset penjaminan kembali naik menjadi Rp 9,9 milyar (yaitu nilai pasar 1 juta + 650 ribu lembar PT JS). Nilai Repo kini kembali menjadi 51% dari nilai penjaminan.

Setelah 3 bulan atau pada 20 Juli 2009 kontrak Repo berakhir. Perusahaan A harus mengembalikan uang Perusahaan B sejumlah Rp 5 milyar + bunga Rp 150 juta (terkadang bunga dibayar per bulan). Perusahaan Z juga harus mengembalikan saham PTJS sejumlah 1,65 juta lembar kepada Perusahaan A. Nah bagaimana jika Perusahaan A tidak mampu menambah jaminan sahamnya ? Perusahaan Z bisa menjual saham PTJS yang menjadi jaminannya bila khawatir nilai saham PTJS akan terus turun dalam waktu dekat. Karena jumlah saham yang dijaminkan biasanya banyak, penjualan saham ini bisa menekan harga saham di pasar untuk turun lebih dalam. Perusahaan Z boleh menjual sahamnya jika Perusahaan A tidak menambah jumlah saham yang dijaminkan. Nah jika ternyata hal itu terjadi, tentunya Perusahaan A tidak perlu lagi mengembalikan dana yang dipinjam ke Perusahaan Z karena Perusahaan Z sudah memperoleh bayaran dari hasil penjualan saham PTJS. Jadi Perusahaan Z tidak perlu membeli saham PTJS lagi. Ingat bahwa Repo merupakan suatu perjanjian meminjam uang dengan suatu jaminan. Dalam perjanjian tersebut pasti dibahas dengan detail hak dan kewajiban kedua belah pihak jika terjadi sesuatu. Ilustrasi yang saya berikan hanya ilustrasi sederhana.Jadi kembali lagi skenario realnya tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Saya tidak mungkin membuat skenario secara detail untuk ilustrasi di atas.

You might also like