You are on page 1of 4

BAB 3 TRANSFORMASI KONSEP PARTAI DI INDONESIA : DARI PARTAI MASSA KE PARTAI MEDIA

Jauh sebelum pemilu 1999 dilaksanakan baik partai baru maupun partai lama telah mulai berlomba-lomba menjual partainya dengan berbagai gayanya yang khas. Dengan pengamatan yang lebih rinci, kita akan memperoleh gambaran bahwa harapan utama dari masing-masing partai adalah mendapatkan dukungan dari massa pemilih sebanyak mungkin. Harapan ini sekilas tampak wajardan tidak mengandung persoalan penting. Dalam arti bahwa aktifitas partai sudah terbiasa hidup dalam era dimana pengumpulan massa sebanyak-banyaknya menjadi tolak ukur sukses atau kegagalan sebuah partai. Kharisma elit partai memainkan peran sentral untuk mempertahankan kebesaran partainya. Dalam dimensi kharisma seorang aktor politik selalu terselip didalamnya keinginan untuk dipatuhi sehingga unsur otoritarisme harus diperbesar porsinya apabila muncul ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Gejala ini berlangsung baik di negara Amerika maupun Eropa yang dalam literatur politik dikenali sebagai konsep partai massa di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Sejak teknologi radio maupun televise ditemukan secara bertahap model kampanye di Amerika mengalami perubahan. Konsep partai massa pun secara bertahap mulai ditinggalkan karena kalah bersaing dengan konsep partai yang mengutamakan pemanfaatan media massa. Konsep partai massa dipraktikkan oleh hampir semua negara-negara berkembang pasca kolonialisme. Pemimpin kharismatik, penduduk yang melarat dengan tingkat pendidikan yang minim dan kondisi ekonomi yang morat-marit selalu menjadi lahan subur bagi pertumbuhan dan perkembangan partai massa. Fakta sejarah mengajarkan bahwa partai massa tidak mungkin dipertahankan selamanya karena resikonya terlalu besar. Gerakan-gerakan massa dengan ukuran amsif pada saat dan sesudah perang dunia sangat efektif untuk tujuan mengusir penjajah dan integrasi nasional pada awal kemerdekaan. Setelah revolusi, aplikasi gerakan massa membuat partai massa lebih banyak menimbulkan persoalan daripada menciptakan solusi karena sulit terkontrol dan sangat mudah mengundang emosi, agresi dan destruksi publik yang pada akhirnya merugikan masyarakat luas.

Huntington mengingatkan kita dengan karya monumentalnya Political Order in Changing Societies bahwa setiap organisasi termasuk partai politik dituntut untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungan yang selalu berubah. Ia berhipotesa bahwa hanya partai yang melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang akan mampu bertahan melalui badai perubahan yang bersifat tidak terhindarkan. Pakar partai dari Universitas Vienna, Wolfgang C.Mueller mengamati bahwa perubahan partai tanpa didasari perubahan konsep partai tak banyak membantu kemajuan partai politik. Hasil penelitianya dengan mengambil SPO (Partai Sosial Demokrat Austria) sebagai studi kasus menunjukkan kegagalan partai massa dan perlunya memeluk konsep partai media. Konsep partai media pada prinsipnya melibatkan kerjasama antara partai politik, konsultan kampanye (biro iklan) dan media massa. Konsep ini meninggalkan konsep lama, partai massa yang hanya mengutamakan sisi output (penampilan didepan umum). Dengan konsep partai media, sisi input (masukan) berupa persepsi dan harapan pemilih terhadap partai digali dan dijaring untuk memperbaiki sisi output. Penampilan partai akan menjadi lebih tajam dan berakar ke sisi terdalam dari hati dan pemikiran pemilih. Penampilan menjadi maksimal karena factor media dan konsultan kampanye yang sangat menguasai aspek komunikasi massa. Dengan konsep ini partai tidak harus susah payah mencari dan menambah anggota yang sangat loyal pada partai. Kegiatan pengumpulan massa dalam ukuran massif dan melelahkan tidak menjadi prioritas utama. Pada negara-negara dengan tingkat penerapan konsep partai media pada tahapan tingkat lanjut menggiring kembali massa ke rumah masing-masing karena pertunjukan politik akan lebih banyak berlangsung di televise, radio, koran dan majalah. Konsep partai media mengurangi kemungkinan kembalinya pemimpin-pemimpin otoriter yang berlindung dibalik kharisma masa lalu. Konsep partai media pada hakikatnya merupakan konstruksi logis untuk menemukan kebenaran dari para pemilih melalui riset lapangan. Apa yang kemudian disampaikan oleh aktor partai media bukanlah berasal dari dirinya sendiri tetapi berasal dari rakyat yang digali lewat riset. Oleh sebab itu, partai media tak akan pernah kehilangan sumber inspirasi dan kreasi karena berasal langsung dari berjuta-juta hati dan pikiran penduduk. Sebaliknya, konsep partai massa sangat mengandalkan diri pada kharisma pemimpin partai. Aktor sangat mengandalkan sanjungan dan pujian dari massa seolah-olah dirinya adalah

Ratu Adil yang siap meyelematkan seluruh bangsa. Mitos adalah strategi yang diandalkan oleh konsep partai massa. Aktor pada partai massa sering berubah menjadi otoriter dan haus kekuasaan yang diwujudkan dalam bentuk tuntutan agar publik terus-menerus memberikan sanjungan dan pujian serta melawan segala bentuk kritikan dengan segala kekuasaan yang dapat diraihnya. Itulah yang dilakukan oleh Soekarno kemudian dilanjutkan oleh Soeharto. Saat ini partai-partai politik di Indonesia berada pada posisi transisional. Sebagian partai mulai meninggalkan konsep partai massa dan mulai memeluk konsep partai media. Sebagian yang lain merasa lebih aman dengan mempertahankan konsep partai massa. Sifat transisional ini dapat diidentifikasi pada kenyataan bahwa beberapa partai mulai menerapkan pendekatan intensif denagn media massa cetak maupun elektronik. PAN, PKB, PBB dan PK merupakan beberapa partai yang aktif memanfaaatkan media sebagai sarana komunikasi dengan masyarakat pemilih yang pontensial. Golkar sebenarnya lebih dahulu mengembangkan dirinya sebagai partai media melalui kebijakan Harmoko namun konektifitas Golkar dengan orde baru mempersulit pengembangan konsep partai media. PDI juga memanfaatkan media untuk berkomunikasi samapi tingkat tertentu namun PDI cenderung diuntungkan oleh media massa bukan karena kesadaran sendiri untuk memanfaatkan teknologi media massa. Ketergantungan PDI perjuangan pada kharisma almarhum Soekarno yang selalu didengung-dengungkan membuat partai ini kurang mandiri. Secara keseluruhan beberapa partai telah mulai menapak pada era partai media namun partai-partai tersebut masih perlu menyempurnakan strategi partai media khususnya pada tahap perbaikan sisi masukan. Pada tahapan ini jelas bahwa tak ada satupun partai yang telah melakukan secara sungguh-sungguh, terencana dan melibatkan sektor lain terutama sektor konsultan kampanye. Kalaupun ada mungkin masih dalam tahapan embrionik sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut. Para pemilih massa depan pada dasarnya sangat mendambakan perubahan kualitas kehidupan termasuk kualitas kehidupan berpolitik. Mereka berharap partai-partai politik mulai mempertimbangkan untuk meninggalkan konsep partai massa dengan segala warisan negatifnya. Sejarah memang bijaksana. Siapa yang tidak berubah pasti akan digilas sejarah. Sementara siapa yang mampu mencium bunga masa depan pasti akan memetik buahnya.

Peralihan kekuasaan dari Orde Baru ke Reformasi menjadi salah satu tonggak sejarah penting Indonesia. Penting, lantaran pergantian kekuasaan menjadi pintu ke alam demokrasi dan melepas dari kekuasaan otoriter yang membelenggu negeri ini. Partai-partai mulai melakukan transformasi seiring perkembangan kondisi politik yang lebih bebas dan untuk meraih suara maksimal menjelang pemilu 1999. Transformasi dan perubahan perilaku partai politik itulah yang di tulis pelaku dalam bab ini. Dalam menggambarkan rivalitas politik yang berubah seiring dengan perkembanagan teknologi media massa dan pemilu 1999. Penulis menggunakan gaya bahasa yang mengalir dengan menggunakan perbandingan dengan transformasi partai-partai di Amerika dan Eropa Ilmu komposisi mengajarkan karangan dinilai dari tiga aspek : bahasa, teknik penyajian dan isi. Saya mulai dengan segi bahasa dan teknik penyajian. Dalam bab 3 kata-kata yang digunakan cenderung formal dan tidak ada kata-kata menarik didalamnya. Ketika membaca paragraf demi paragraf tidak ada catatan pinggir yang memuat penilaian singkat maupun spontan serta sumber rujukan resmi dari hasil penelitian dalam negeri. Penulis hanya menyajikan hasil riset Wolfgang C.Mueller dan hasil interpretasi dari buku Political Order in Changing Societies karya Hutington untuk menggambarkan partai massa dan pertain media. Dua riset ahli luar negeri tersebut kemudian digunakan oleh penulis sebagai dasar gagasan yang ditulisnya mengenai transformasi dari partai massa ke partai media di Indonesia. Sedangkan, hasil riset politik dari ahli-ahli dengan studi kasus partai Indonesia tidak diikutsertakan padahal seperti yang kita ketahui bahwa setiap negara mempunyai ciri khas yang berbeda termasuk juga partainya. Konsep partai massa dan parta media yang dijelaskan merupakan gambaran umum saja dan tidak ada spesifikasi khusus ke setiap partai politik yang ada di Indonesia. Penggambaran transformasi partai media yang cenderung mengeksplorasi kasus-kasus yang sama di Eropa dan Amerika disatu sisi memperkaya wawasan kita tentang perkembangan menuju partai yang modern namun minimnya penggambaran tentang kasus transformasi partai di Indonesia membuat kita kurang yakin akan keefektifan penggunaan metode yang sama untuk Indonesia.

You might also like