You are on page 1of 12

PEMBERIAN KORTIKOSTEROID BAGI PENDERITA MENINGITIS BAKTERIAL DEWASA DI DAERAH SUB-SAHARA AFRIKA ABSTRAK Latar Belakang Di daerah sub-Sahara

Afrika, meningitis bakterial sangatlah umum dijumpai dan memiliki angka kematian yang tinggi. Terapi ajuvan dengan kortikosteroid dapat mengurangi angka kematian pada penderita meningitis bakterial dewasa di negaranegara maju, tapi belum cukup teruji di negara-negara berkembang atau negara dengan tingkat infeksi HIV yang tinggi. Metode Kami menyelenggarakan percobaan dengan deksametason (16 mg, dua kali sehari selama 4 hari) yang bersifat acak, buta-ganda, dan menggunakan kontrol plasebo, serta percobaan open-label yang membandingkan pemberian ceftriaxone (2 g, dua kali sehari selama 10 hari) secara intramuskular dan intravena pada orang dewasa yang dirawat dengan diagnosis meningitis bakterial di Blantyre, Malawi. Hasil utama yang ingin dinilai adalah angka kematian dalam waktu 40 hari setelah para penderita dipilih secara acak. Hasil Total ada 465 pasien, 90% positif HIV, secara acak menerima deksametason (233 pasien) atau plasebo (232 pasien) ditambah ceftriaxone intramuskular (230 pasien) atau intravena (235 pasien). Tidak dijumpai perbedaan angka kematian yang bermakna pada hari ke-40 antara kelompok kortikosteroid (129 dari 231 penderita meninggal) dibandingkan dengan kelompok plasebo (120 dari 228 pasien meninggal) setelah dilakukan analisis intention-to-treat (odds ratio 1,14; confidence interval [CI] 95% 0,79-1,64) atau ketika analisis dibatasi untuk pasien yang terbukti menderita meningitis pneumococcus (68 dari 129 penderita yang menerima kortikosteroid meninggal, sementara 72 dari 143 penderita yang menerima placebo meninggal) (odds ratio 1,10; 95% CI 0.68-1.77). Tidak dijumpai perbedaan bermakna antarkelompok dalam hal angka kecacatan dan kematian, gangguan pendengaran, dan efek samping pengobatan. Tidak dijumpai perbedaan angka kematian yang bermakna antara kelompok yang menerima ceftriaxone secara intravena (121 dari 230 pasien meninggal) dan intramuskular (128 dari 229 pasien meninggal) (odds ratio 0,88; 95% CI 0.61-1.27). Kesimpulan Terapi ajuvan dengan deksametason untuk pada penderita meningitis bakterial dewasa yang berasal dari daerah-daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi tidak dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan. Demikian pula, pemberian ceftriaxone secara intramuskular maupun intravena memiliki hasil yang sama baik bagi penderita meningitis bakterial di daerah-daerah tersebut.

Meningitis bakterial menempati urutan kesepuluh sebagai penyebab kematian karena penyakit infeksi di seluruh dunia1 dan sering dijumpai di negara-negara berkembang.2 Angka kejadiannya di Malawi, dimana hampir semua pasien rawat inap dewasa juga menderita infeksi HIV tahap lanjut, adalah 50 per 100.000 orang per tahun,3 lebih dari 10 kali lipat dibandingkan angka kejadian di negara maju. 4 Streptococcus pneumoniae adalah organisme penyebab tersering, dengan angka kematian mencapai 65% di negara tersebut,5 sementara angka kematian di negara maju hanya 26-34%6,7 sebelum diperkenalkan terapi ajuvan dengan kortikosteroid. Respon inflamasi penderita meningitis bakterial berperan dalam menyebabkan kerusakan saraf8 dan dapat dimodulasi dengan kortikosteroid.9 Di Eropa, kortikosteroid yang diberikan sebagai terapi ajuvan telah terbukti dapat mengurangi angka kematian penderita dewasa, terutama untuk kasus-kasus meningitis pneumoccocus,7 serta mengurangi angka kejadian kehilangan pendengaran pada penderita anak-anak yang sebelumnya menderita meningitis akibat Haemophilus influenzae tipe B.10 Dengan demikian, pemberian kortikosteroid telah menjadi prosedur tetap11,12 untuk menatalaksana penderita meningitis bakterial, dan terutama dianjurkan bagi penderita meningitis pneumoccocus.13 Data dari negara berkembang atau negara dengan tingkat infeksi HIV yang tinggi masih sangat jarang. Di Mesir, sebuah penelitian open-label yang mengikutsertkan orang dewasa dan anak-anak menunjukkan penurunan angka kematian pada pasien dengan meningitis pneumococcus.14 Penelitian pada anak-anak di Malawi menunjukkan bahwa tidak ada keuntungan dari pemberian kortikosteroid bagi anak-anak yang menderita meningitis bakterial.15 Penelitian pada penderita dewasa di negara berkembang menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid tidak memberikan keuntungan atau hanya sedikit bermanfaat.16-19 Kortikosteroid murah, aman, dan mudah didapat, sehingga sangat baik sekali diberikan pada pasien jika terbukti efektif. Kami mengadakan penelitian buta-ganda, acak, menggunakan kontrol plasebo untuk melihat dampak pemberian kortikosteroid sebagai terapi ajuvan bagi orang dewasa yang menderita meningitis bakterial di Malawi. Pada beberapa daerah di sub-Sahara Afrika, terapi intravena tidak mudah untuk dilaksanakan. Ceftriaxone intramuskular telah diterapkan untuk meningitis bakterial pada anak-anak tetapi belum pada dewasa.20,21 Jika terapi intramuskular cukup efektif, maka akan dapat mempermudah pemberian antibiotika dini di daerah terpencil. Untuk menilai perbedaan hasil pemberian ceftriaxone secara intravena dan intramuskular, kami membagi para penderita secara acak menjadi dua kelompok. METODE Penelitian ini dilaksanakan antara bulan Mei 2002 dan Januari 2005 di Rumah Sakit Pusat Queen Elizabeth di Blantyre, Malawi. Rumah sakit ini menawarkan gratis perawatan terhadap 10.000 pasien rawat inap dewasa setiap tahunnya, dimana 70% menderita infeksi HIV. Pasien yang menjalani pemeriksaan lumbal punksi langsung dirujuk ke staf peneliti untuk dinilai apakah memenuhi syarat penelitian atau tidak. Kriteria inklusi (keikutsertaan) adalah kecurigaan klinis akan adanya meningitis

bakterial dan bila cairan serebrospinal positif pada mikroskopis (didefinisikan sebagai adanya mikroorganisme Gram negatif atau adanya sel darah putih lebih dari 100/mm3, dimana 50% merupakan neutropil) atau cairan cerebrospinal keruh bila pemeriksaan mikroskopis tidak dapat langsung dilakukan. Kriteria eksklusi antara lain usia kurang dari 16 tahun, telah menerima kortikosteroid dalam 48 jam sebelumnya, didapatkan adanya cryptococcus pada spesimen cairan serebrospinal pada pemeriksaan mikroskopis, atau kontraindikasi terhadap obat-obat yang diteliti. Pasien atau walinya memberikan informed consent tertulis atau bagi mereka yang buta huruf maka ada saksi yang menyaksikan pernyataan kesediaan mereka. Penyusunan rancangan penelitian dan pengumpulan data dilakukan oleh anggota Universitas Kedokteran Malawi. Badan pendanaan (Meningitis Research Foundation) dan perusahaan yang menyumbang obat (Emcure Pharmaceuticals dan Cipla) tidak ikut campur dalam penyusunan rancangan penelitian, penyelenggaraan penelitian, analisis data, atau pelaporan hasil, dan tidak pula terlibat dalam penulisan atau persetujuan makalah ini. Penelitian ini telah memperoleh izin dari komite etika penelitian Universitas Kedokteran Malawi dan Liverpool School of Tropical Medicine. Pasien secara acak dibagi menjadi kelompok-kelompok yang menerima deksametason (Dexacip, Cipla) dengan dosis 16 mg dalam 4 mg cairan steril dua kali sehari atau plasebo (aqua pro injeksi steril, Cipla) dengan dosis 4 ml dua kali sehari secara intravena untuk 4 hari, dan kelompok-kelompok yang menerima ceftriaxone secara intramuskular atau intravena (C-Tri, Emcure Pharmaeuticals) dengan dosis 2 g dua kali sehari selama 10 hari. Deksametason atau plasebo langsung diberikan sebelum pemberian ceftriaxone. Pasien dirawat inap di bangsal penyakit dalam. Bila diperlukan, pasien dirujuk ke ICU dan terapi antibiotik dimodifikasi sesuai pola sensitivitas antimikrobial dan perbaikan klinis. Pengacakan pasien dilakukan menggunakan komputer dengan program faktorial dua arah. Pemberitahuan alokasi pengobatan dilakukan melalui ampop tertutup yang langsung diberikan ke pasien bersangkutan atau keluarganya; membuka amplop berarti setuju untuk ikut serta dalam penelitian. Deksametason dan plasebo dalam bentuk cairan jernih tanpa warna dan dengan kemasan yang identik dan hanya ditandai dengan nomor acak, sehingga kortikosteroid dalam penelitian ini jadi bersifat buta-ganda. Spesimen cairan serebrospinal diperiksa secara mikroskopis untuk jumlah dan hitung jenis sel, dan pewarnaan menggunakan tinta India. Pewarnaan Gram dilakukan jika sampel keruh atau hasil hitung sel darah putih lebih dari 10 /mm 3. Endapan cairan serebrospinal hasil sentrifugasi diinkubasi dengan agar darah-domba pada suatu wadah dengan suhu 370C selama 48 jam, lalu diisolasi dan diperiksa dengan peralatan yang sesuai dengan teknik standar.22 Darah dikultur pada suhu 370C minimal selama 48 jam (BacT/Alert, bioMrieux). Pada 51 spesimen cairan serebrospinal pertama dengan pewarnaan Gram dan kultur negatif, dilakukan pula pemeriksaan polimerase chain reaction (PCR) untuk meningococcus dan

pneumococcus.23 Sensitivitas mikroorganisme terhadap antibiotik dinilai dengan teknik disc diffusion.24 Pasien yang berhasil bertahan hidup hingga boleh pulang dari rumah sakit, dilakukan tes HIV dengan konseling pre-tes dan pasca-tes yang dilakukan setelah ada persetujuan. Pada pasien yang meninggal, tes HIV dilakukan minimal 3 bulan setelah kematian. Tes dilakukan dengan two-enzyme-linked immunosorbent assay (Vironostika, Organon Teknika, dan HIV-1/HIV-2 Go EIA, Abbot); untuk hasil yang meragukan dilakukan test ketiga (Uni-Gold, Trinity Biotech). Pasien dirawat di rumah sakit minimal selama 10 hari dan dievaluasi ulang pada hari ke-40 dan bulan ke-6. Efek samping pengobatan yang terbukti secara klinis dicatat secara sistematis selama percobaan. Pada follow-up, pasien mendapatkan pemeriksaan neurologis yang telah distandarisasi dan pemeriksaan fungsi pendengaran. Pasien yang tidak datang kembali untuk follow-up dikunjungi ke rumahnya. Rincian mengenai hasil pemeriksaan fungsi pendengaran adalah seperti tampak dalam Lampiran Tambahan, yang dapat diperoleh dari situs www.nejm.org. Hasil primer yang dinilai adalah angka kematian dalam waktu 40 hari setelah pemilihan pasien secara acak dengan analisis intention-to-treat. Hasil sekunder adalah waktu sampai pasien meninggal, gabungan angka kematian dan kecacatan yang ditentukan berdasarkan Glasgow Outcome Score pada hari ke-40, gangguan pendengaran pada hari ke-40, kematian pada hari ke-10, serta kematian pada bulan ke-6. Analisis subkelompok dilakukan pada pasien yang terbukti atau dicurigai menderita meningitis bakterial, terbukti menderita meningitis bakterial saja, dan terbukti menderita meningitis pneumococcus. Pasien terbukti menderita meningitis bakterial bila ditemukan mikroorganisme pada pemeriksaan mikroskopis, kultur, atau PCR, atau dari kultur darah spesimen cairan serebrospinal mengandung sel darah putih lebih dari 100/mm3 dengan neutrofil lebih dari 50%. Pasien dicurigai menderita meningitis bakterial bila spesimen cairan serebrospinal mengandung sel darah putih lebih dari 100/mm3 dengan neutrofil lebih dari 50% tanpa ditemukan adanya mikroorganisme. Rencana analisis telah disetujui oleh dewan pengawas keselamatan dan data dan komite pelaksana penelitian sebelum label buta-ganda dibuka. Analisis sementara terencana dilaksanakan oleh dewan pengawas keselamatan dan data setelah 100 kematian. Dengan dasar latar belakang angka kematian 56% dan kemampuan mengenali 20% atau lebih perbedaaan angka kematian, ukuran sampel awal sebesar 660 pasien dimodifikasi menjadi hanya 420 pasien untuk mendeteksi perbedaan angka kematian sebesar 30% setelah publikasi hasil penelitian di Eropa yang menunjukkan bahwa risiko relatif kematian pasien yang menjalani terapi kortikosteroid ialah sebesar 0,59 (dengan kata lain, angka kematian penderita meningitis bakterial dalam penelitian di Eropa tersebut dapat ditekan hingga hampir setengahnya dengan pemberian kortikosteroid). Untuk hasil primer, nilai P kurang dari 0,05 dianggap bermakna secara statistik. Semua nilai P bersifat dua-ekor. Odds ratio dan confidence interval 95% sudah diperhitungkan dan dicocokkan untuk faktor prognosis dalam model

regresi logistik. Perbedaan angka kematian antarkelompok pada hari ke-40 diuji dengan Cox proportional-hazard ratio. Data dianalisis menggunaan program Stata versi 8.2. HASIL Dari 522 pasien yang memenuhi syarat untuk ikut serta dalam penelitian ini, sebanyak 465 (89%) pasien dibagi secara acak. Dari jumlah pasien yang diacak tersebut, 233 (50.1%) pasien menerima kortikosteroid dan 232 (49.9%) menerima plasebo (Gambar.1). Status serologi HIV tersedia untuk 434 pasien (93.3%) dimana 389 (89.6%) menderita HIV positif. 4 pasien diketahui positif HIV pada saat masuk dirawat dan belum ada yang menerima terapi antiretroviral atau profilaksis melawan infeksi oportunistik. Median jumlah sel CD4 pada pasien yang dirawat dengan HIV positif adalah 102/mm3 (jangkauan interkuartil 51-169). Rincian lebih lanjut mengenai penghitungan CD4 dan HIV setelah perawatan dicantumkan dalam Lampiran Tambahan. Karakteristik klinis dan hasil tes laboratorium adalah serupa pada setiap kelompok yang dibandingkan (Tabel 1). Total 325 pasien (70%), 158 diantaranya termasuk kelompok kortikosteroid, terbukti secara mikrobiologis menderita meningitis bakterial. Total 102 pasien (22%), 52 diantaranya termasuk kelompok kortikosteroid, dicurigai menderita meningitis bakterial. Total 38 pasien (8%), 23 diantaranya termasuk kelompok kortikosteroid, yang ikut diacak tetapi kemudian didiagnosis menderita penyakit selain meningitis bakterial; 20 menderita meningitis cryptococcus (12 diantaranya termasuk kelompok kortikosteroid), 7 menderita meningitis tuberkulosis (6 diantaranya termasuk kelompok kortikosteroid) dan 11 mengalami trauma lumbal punksi (5 diantaranya termasuk kelompok kortikosteroid). 4 pasien yang mengalami kesalahan pengacakan (2 pasien berumur di bawah 16 tahun, 1 pasien memiliki spesimen cairan serebrospinal dengan jumlah sel darah putih hanya 92/mm3, dan 1 pasien telah menerima prednisolon oral dalam kurun waktu 48 jam sebelum penelitian dimulai). Semua pasien dimasukkan dalam analisis intentionto-treat. Mikroorganisme ditemukan pada perwarnaan Gram pada 263 dari 452 spesimen (58%). Total 39 pasien memiliki kultur positif cairan serebrospinal tapi pewarnaan Gram tidak ditemukan, dan 6 pasien memilki kultur positif darah dengan specimen cairan serebrospinal menunjukkan neutrofil pleocytosis tapi perwarnaan Gram tidak ditemukan dan kultur negatif. Dari 51 spesimen cairan serebrospinal kultur negatif yang diuji menggunakan PCR, ternyata 17 spesimen positif dimana 12 pasien terinfeksi pneumococcus dan 5 terinfeksi meningococcus dan diklasifikasikan, menderita meningitis bakterial. Pengklasifikasian ulang untuk kasus ini sebagai kemungkinan meningitis bakterial tidak mempengaruhi interpretasi dampak pemberian kortikosteroid pada masing-masing subkelompok. Sepuluh pasien secara mikrobiologis terbukti menderita infeksi ganda; semuanya menderita meningitis pneumococcus dengan septikemia salmonella non-typhi (pada 7 pasien), septikemia Enterococcus faecalis (pada 1 pasien) dan crytococcemia (pada 2 pasien).

Semua pasien yang diacak menerima sedikitnya satu dosis terapi yang diteliti. Seluruh 437 pasien yang memenuhi kriteria terbukti klinis atau dicurigai menderita meningitis bakterial pada temuan awal dari spesimen cairan serebrospinal menerima kortikosteroid atau plasebo selama 4 hari atau sampai meninggal dan ceftriaxone untuk 10 hari atau sampai meninggal. Dari 28 pasien sisanya yang diacak, 5 menerima kortikokosteroid atau plasebo selama 4 hari atau sampai meninggal dan ceftriacone 10 hari atau sampai meninggal. Kortikosteroid ditambahkan setelah 4 hari terapi awal untuk tiga pasien, dua pasien mengalami edema serebri (satu di antaranya termasuk kelompok kortikosteroid), dan 1 pasien di kelompok kortikosteroid mengalami alergi obat. Hasil dari pasien-pasien ini dianalisis sesuai dengan kelompok awalnya ketika diacak. Hasil pada hari ke-40 sejak penelitian dimulai tersedia untuk 459 pasien (98.7%). Dari 6 pasien yang tidak di- follow-up (dimana 2 diantaranya termasuk kelompok kortikosteroid), 2 pasien tidak menderita meningitis bakteri dan satu mundur karena umur (14 tahun). Angka kematian secara umum ialah 249 dari 459 pasien (54.2%). Hubungan antara faktor dasar dengan angka kematian ditunjukkan pada Tabel 2. Angka kematian 40 hari sejak pengacakan adalah 129 dari 231 pasien pada kelompok kortikosteroid (55.8%) dan 120 dari 228 pasien pada kelompok plasebo (52.6%) (odds ratio 1,14; 95% CI 0.79-1.64; P=0,49). Odds ratio yang disesuaikan adalah 1,13 (CI 95%, 0.73-1.76). Analisis pada waktu perawatan menunjukkan angka kematian tidak jauh berbeda, yakni 125 dari 222 pasien pada kelompok kortikosteroid (56.3%) dan 117 dari 223 pasien pada kelompok plasebo (52.5%). Dengan kekuatan penelitian ini sebesar 80%, uji satu-ekor menunjukkan suatu pengurangan pada angka kematian pada kelompok kortikosteroid sebesar 23% atau lebih. Waktu kematian tidak jauh berbeda pada kedua kelompok (hazard ratio 1,07; 95% CI 0.84-1.38) (Gambar 2). Ketika interaksi untuk perbandigan antara ceftriaxone intramuskular dan intravena dimasukkan, odds ratio untuk angka kematian pada 40 hari pertama pada kelompok kortikosteroid menjadi 1.09 (95%CI 0.64-1.83). Hasil dari analisis intention-to-treat dan analisis pasien yang terbukti atau dicurigai menderita meningitis bakterial, pasien yang terbukti menderita meningitis bakterial, dan pasien yang menderita meningitis pneumococcus pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 3. Tidak ada perbedaan bermakna dalam hal angka kematian, kecacatan, atau hilangnya pendengaran yang dapat dideteksi secara klinis pada 40 hari atau kematian pada 10 hari atau 6 bulan. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa tidak ada bukti bahwa kortikosteroid efektif pada salah satu subkelompok (Tabel S2 dalam Lampiran Tambahan). Pola hilangnya pendengaran dan kecacatan diantara yang bertahan hidup ditunjukkan pada Tabel S3A dan S3B dalam Lampiran Tambahan. Sebagai perbandingan dengan pasien yang menerima plasebo, suhu tubuh pada kelompok kortikosteroid lebih rendah selama pengobatan (perbedaan rata-rata sebesar 0.49C pada hari ke 4; P<0,001) (Gambar S1 dalam Lampiran Tambahan). Sehubungan dengan cara pemberian antibiotika, angka kematian setelah 40 hari ialah 121 dari 230 pasien pada kelompok intravena (52.6%) dan 128 dari 229

pasien pada kelompok intramuskular (55.9%) (odds ratio 0.88; 95%, CI 0.61-1.26 (Tabel 4). Analisis pada waktu perawatan menunjukkan angka kematian tidak jauh berbeda, yakni 119 dari 225 pasien pada kelompok intravena (52.9%) dan 124 dari 219 pasien pada kelompok intramuskular (56.6%). Dengan kekuatan penelitian ini sebesar 80%, uji dua-ekor menunjukkan peningkatan atau penurunan pada angka kematian 40 hari pada kelompok intramuskular secara berturut-turut sebesar 25% dan 24%. Ketika interaksi antara kortikosteroid dan plasebo dimasukkan, odds ratio untuk angka kematian setelah 40 hari pada kelompok intravena menjadi 0.84 (95%CI 0.51,14). Pada 7 pasien, nyeri pada waktu injeksi intramuskular memaksa dokter untuk mengubah cara pemberian ke intravena. Hanya satu isolasi (S. Pneumoniae) menunjukkan penurunan efek pada ceftriaxone (Tabel S4 dalam Lampiran Tambahan). Tidak dijumpai efek samping merugikan sehubungan dengan terapi kortikosteroid dan tidak ada yang mengundurkan diri dari penelitian ini (Tabel S3 dalam Lampiran Tambahan). 19 pasien mengalami efek samping akibat antibiotika; 9 diantaranya mengalami demam lama (termasuk 7 pasien kelompok kortikosteroid), 5 mengalami ruam (termasuk 2 pasien kelompok kortikosteroid), 3 mengalami diare (termasuk 1 pasien kelompok kortikosteroid), dan 2 menderita ikterus (keduanya termasuk kelompok kortikosteroid). PEMBAHASAN Tantangan terberat dalam menatalaksana meningitis bakterial pada orang dewasa adalah di negara berkembang dimana angka kematian akibat penyakit ini masih tinggi. Jika efektif, kortikosteroid sebagai terapi ajuvan dapat dijadikan intervensi yang murah dan layak. Hasil dari penelitian kami menunjukkan, dengan tatanan dimana pasien mayoritas menderita infeksi HIV tingkat lanjut, dan diagnosis umumnya terlambat, dan kuman patogen yang banyak adalah S. pneumoniae, bahwa terapi ajuvan dengan deksametason untuk meningitis bakteri tidak dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan dalam waktu 40 hari sejak terapi dimulai. Pada penelitian kami, kematian lebih tinggi dibandingkan negara maju tapi kurang lebih sama dengan daerah lain di sub-Sahara Afrika. Angka kematian dalam penelitian ini lebih rendah daripada dalam penelitian sebelumnya di Malawi,3-5 kemungkinan karena adanya penggunaan ceftriaxone (dibandingkan penicillin ditambah kloramfenikol pada penelitian sebelumnya) dan efek dari peningkatan kualitas perawatan karena pasien yang dirawat termasuk dalam penelitian. Temuan negatif dari penelitian ini, didominasi pasien infeksi HIV tingkat lanjut, bertentangan dengan hasil penelitian di Eropa yang menilai dampak pemberian kortikosteroid pada 301 orang dewasa penderita meningitis. 7 Penelitian di Eropa menunjukkan adanya penurunan angka kematian secara umum dari 15% menjadi 7% minggu ke-8 (P=0.04), dan keuntungan dari kortikosteroid sangat terlihat pada pasien dengan meningitis pneumococcus. Temuan penelitian sekarang ini sama dengan penelitian di Malawi yang melibatkan anak-anak,15 dimana tidak ada penurunan angka kematian setelah pemberian kortikosteroid.

Beberapa perbedaan pada populasi penelitian, baik secara tersendiri maupun bersama-sama, dapat menjelaskan perbedaan hasil antara Malawi dan tempat lainnya. Pada penelitian sekarang ini, 434 pasien yang status serologinya diketahui, 90% positif HIVdan mayoritas pada tahap lebih lanjut. Walaupun status HIV tidak dilaporkan dalam penelitian Eropa, tampaknya proporsi pasien positif HIV jauh lebih rendah. HIV merupakan faktor resiko untuk terjadinya meningitis pneumococcus invasif26 dan walaupun penelitian kami menunjukkan HIV sebagai pemicu kematian, telah ditunjukkan sebelumnya bahwa hasil pengobatan meningitis pada pasien dengan infeksi HIV yang positif lebih baik dibandingkan pasien dengan HIV negatif. 27 Karena pasien dengan HIV sudah memiliki respons imun yang lemah, kortikosteroid tidak memberikan keuntungan tambahan. Karena hanya 45 pasien pada percobaan sekarang ini yang dinyatakan HIV negatif, kami belum dapat untuk menguji hipotesis ini, walaupun akan terdapat angka perkiraan kematian yang konsisten antara pasien HIV postif dibandingkan HIV negatif. Terdapat banyak halangan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di subSahara Afrika, dan diagnosis penyakit umumnya terlambat. Rata-rata riwayat perjalanan penyakit dalam penelitian ini adalah 72 jam, dibandingkan dengan penelitian Eropa yang hanya 24 jam. Diagnosis yang terlambat ini dihubungkam dengan keluaran yang jelek dari penelitian ini, walaupun penyesuaian untuk faktor ini pada waktu analisis tidak memberikan efek. Kesehatan secara umum dari peserta penelitian ini tampaknya jauh lebih rendah (contoh, kadar Hb 10.4 pada waktu masuk) dibandingkan penelitian di Eropa, dan intensitas dari pertolongan medis lebih rendah. Beberapa faktor hampir sangat berpengaruh terhadap angka kematian yang tinggi ini, tetapi belum dapat menjelaskan kurangnya keuntungan dari kortikosteroid. Total 36% pasien pada penelitian Eropa menderita meningitis pneumococcus, dan pasien ini mendapatkan keuntungan yang besar dari kortikosteroid sebagai terapi ajuvan. Pada penelitian sekarang, 59% pasien menderita penyakit pneumococcus tapi mereka tidak mendapat keuntungan dari penggunaan terapi kortikosteroid. Tampaknya tidak benar bahwa organisme ini menunjukkan perbedaan hasil dari kedua penelitian ini,. Kami tidak memiliki jumlah pasien yang cukup untuk mengadakan analisis subkelompok yang dapat dipercaya untuk organisme lainnya, tapi studi perbandingan menunjukkan bahwa kortikosteroid tidak terlalu bermanfaat pada pasien dengan meningitis meningococcal. Pajanan dengan antibiotika sebelumnya tidaklah menjadi kriteria eksklusi, dan hal ini dapat membuat penelitian tidak representatif untuk Afrika. Mayoritas pasien tidak menerima antibiotika sebelumnya, dan analisis terbatas untuk kelompok pasien ini tidak menunjukkan manfaat terapi kortikosteroid. Dengan melihat perbedaan rata-rata berat badan laki-laki di Malawi (60,0 28 kg) dan laki-laki di Eropa (80,6 kg)29, pemberian dosis untuk deksametason (16 mg dua kali sehari dibandingkan 10 mg tiap 6 jam pada penelitian Eropa) menunjukkan bahwa dosis harian sudah disesuaikan dengan berat badan pasien. Dengan mempertimbangkan waktu paruh biologis deksametason yang panjang maka perbedaan regimen dosis akam mempengaruhi hasil penelitian..

Kami mempertimbangkan bahwa angka kematian dalam penelitian ini yakni 249 kematian, dibandingkan dengan 32 kematian di penelitian Eropa, bukanlah merupakan kebetulan belaka. Hasil negatif dari penelitian ini menunjukkan bahwa bukti dari keuntungan kortikosteroid pada temuan penelitian Eropa tidak dapat dipakai pada tatanan yang sangat berbeda pada angak kejadian HIV positif yang tinggi di sub-Sahara Afrika. Implikasi untuk orang dewasa yang positif HIV yang menderita meningitis pneumococcus di luar Afrika atau yang menerima terapi retroviral tidaklah jelas. Hasil dari penelitian ini menunjukkan pemberian ceftriaxone intramuskular cukup efektif untuk meningitis bakteri pada daerah dimana pemberian terapi intravena terbatas. Hasil penelitian ini tidak mendukung pemberian rutin kortikosteroid untuk menatalaksana meningitis bakterial pada orang dewasa di daerah miskin sumber daya dimana pneumococcus merupakan kuman patogen utama dan proporsi pasien yang substansial menderita penyakit HIV tingkat lanjut. Sampai alternatif terapi ajuvan terbukti efektif atau vaksin yang layak tersedia secara luas,30 angka kematian akibat meningitis bakterial pada tatanan seperti ini pastilah tetap tinggi. *******

6.426 pasien menjalani lumbal punksi 643 menderita meningitis cryptococcus 282 menderita meningitis tuberkulosis 215 memiliki spesimen cairan serebrospinal yang nondiagnostik atau menderita meningitis viral 4764 memiliki spesimen cairan serebrospinal normal 522 memenuhi kriteria inklusi 34 menolak ikut serta dalam penelitian 10 dikeluarkan karena tidak memberikan informed consent 9 meninggal sebelum pengacakan 4 berumur kurang dari 16 tahun 465 dibagi secara acak

233 termasuk kelompok kortikosteroid

232 termasuk kelompok plasebo

233 menerima ceftriaxone

232 menerima ceftriaxone

116 IV

117 IM

119 IV

113 IM

1 keluar dari followup

1 keluar dari followup

4 keluar dari followup

0 keluar dari followup

115 sampai hari-40 63 meninggal

116 sampai hari-40 66 meninggal

115 sampai hari-40 58 meninggal

113 sampai hari-40 62 meninggal

Gambar 1. Pendaftaran, Pengacakan, dan Analisis Pasien Gambar 2. Perkiraan Harapan Hidup 459 Pasien Selama 40 Hari Sejak Awal Terapi dengan Metode KaplanMeier.

10

Tabel 1. Karakteristik Dasar Pasien.*


Karakteristik Umur tahun 32,611,4 Jenis kelamin laki-laki jumlah (%) 108 (47) Glasgow Coma Scale 10,83,3 Hemoglobin g/dl 10,73,1 Median waktu sampai diagnosis ditegakkan 72 (48-144) jam (jangkauan interkuartil) Riwayat terapi antimikrobial sebelumnya jumlah (%) Oral 35 (15) 42 (18) 34 (15) 43 (18) Parenteral 48 (21) 47 (20) 49 (21) 46 (20) Tidak diketahui 4 (2) 8 (3) 6 (3) 6 (3) Diagnosis mikrobiologis jumlah (%) Terbukti bakterial 158 (68) 167 (72) 155 (67) 170 (72) Streptococcus pneumoniae 130 (56) 145 (62) 131 (57) 144 (61) Neisseria meningitidis 10 (4) 10 (4) 13 (6) 7 (3) Mikroorganisme Gram-negatif lain 15 (6) 10 (4) 9 (4) 16 (7) Lain-lain 3 (1) 2 (1) 2 (1) 3 (1) Dicurigai bakterial (mikroorganisme tidak 52 (22) 50 (22) 56 (24) 46 (20) teridentifikasi) Bukan meningitis bakterial 23 (10) 15 (6) 19 (8) 19 (8) Meningitis cryptococcal 12 (5) 8 (3) 8 (3) 12 (5) Mycobacterium tuberculosis 6 (3) 1 (0,4) 5 (2) 2 (1) Bukan meningitis 5 (2) 6 (3) 6 (3) 5 (2) Kultur darah positif jumlah (%)** 82 (35) 68 (29) 69 (30) 81 (34) Kultur darah tidak tersedia jumlah (%) 6 (3) 5 (2) 3 (1) 8 (3) HIV-positif jumlah/total jumlah yang dites (%) 194/216 (90) 195/218 (89) 191/215 (89) 198/219 (90) Status HIV tidak diketahui jumlah (%) 17 (7) 14 (6) 15 (7) 16 (7) Dipilih acak untuk menerima ceftriaxone IM 117 (50) 113 (49) jumlah (%) Dipilih acak untuk menerima kortikosteroid 117 (51) 116 (49) jumlah (%) * nilai dinyatakan dalam rata-rataSD. Glasgow Coma Scale berkisar antara 3 sampai 15, dimana 3 menandakan pasien tidak responsif dan 15 menandakan pasien sadar penuh. Rincian mengenai antibiotika ini tercantum dalam Tabel S1 dalam Lampiran Tambahan. Mikroorganisme Gram-negatif lain meliputi Escherichia coli (pada 11 pasien), salmonella non-typhi (pada 7 pasien), Haemophillus influenzae (pada 3 pasien), Klebsiella sp. (pada 3 pasien), dan Enterobacter gergoviae (pada 1 pasien). Bakteria lain meliputi Staphyllococcus aureus (pada 2 pasien) dan streptococcus -hemolitikus (pada 3 pasien). Dari 20 pasien, 10 dicurigai menderita meningitis bakterial berdasarkan jumlah dan hitung jenis sel dalam spesimen cairan serebrospinalis tetapi kemudian terbukti menderita meningitis cryptococcus berdasarkan masa inkubasi yang lama atau setelah dilakukan lumbal punksi. ** Dari 150 kultur darah positif, 7 positif untuk Cryptococcus neoformans. Kortikosteroid (n=233) 32,310,1 122 (52) 10,73,5 10,42,8 72 (48-120) Plasebo (n=232) Ceftriaxone IM (n=230) 32,410,9 115 (50) 113,4 10,53,0 72 (48-144) Ceftriaxone IV (n=235) 32,610,6 115 (49) 10,43,4 10,72,8 72 (48-120)

11

Tabel 2. Hubungan antara Karakteristik Dasar dan Angka Kematian pada Hari Ke-40.
Analisis Univariat Analisis Multivariat* Odds Ratio (95% CI) P Odds Ratio (95% CI) P Jenis kelamin laki-laki 1,09 (0,75-1,57) 0,67 0,98 (0,62-1,55) 0,94 Umur 32 tahun 1,92 (1,32-2,79) 0,001 1,96 (1,24-3,10) 0,004 Glasgow Coma Scale <12 2,77 (1,90-4,06) <0,001 4,10 (2,51-6,69) <0,001 Hemoglobin <10 g/dl 1,82 (1,23-2,69) 0,003 2,19 (1,39-3,45) 0,001 Perjalanan penyakit >48 jam 1,64 (1,07-2,50) 0,02 1,48 (0,87-2,49) 0,14 Infeksi pneumococcus 0,76 (0,52-1,10) 0,15 0,56 (0,34-0,93) 0,02 Riwayat terapi antibiotika sebelumnya 1,19 (0,81-1,75) 0,364 0,93 (0,58-1,49) 0,76 HIV-positif 1,96 (1,05-3,69) 0,035 1,35 (0,67-2,72) 0,40 * Semua aktor dalam tabel ini diikusertakan dalam model analisis terakhir. Rata-rata usia ialah 32,5 tahun. Glasgow Coma Scale berkisar antara 3 sampai 15, dimana 3 menandakan pasien tidak responsif dan 15 menandakan pasien sadar penuh. Rata-rata Glasgow Coma Scale pada awal penelitian ialah 11. Median kadar hemoglobin pada awal penelitian ialah 10,4 g/dl. Perjalanan penyakit >48 jam sebelum diagnosis ditegakkan dianggal sebagai diagnosis yang terlambat. Karakteristik

12

You might also like