You are on page 1of 13

EPILEPSI DAN TRAUMA Sebuah Tantangan Persisten

L. James Willmore, MD, Daniel H. Lowenstein, MD

Trauma cidera otak telah dikenal sebagai penyebab epilepsi sejak zaman dahulu. Selama ribuan tahun, mekanisme cidera otak telah berkembang dari trauma tumpul kepala hingga trauma penetrasidengan kecepatan tinggi dan gelombang tekanan balistik selama konflik militer hingga kecelakaan kendaraan bermotor dalam populasi sipil. Masa laten antara cidera dan perkembangan epilepsi dilaporkan oleh Duretus (1527-1286) dengan deskripsi seorang anak 17 tahun dengan kejang yang dimulai 5 tahun setelah dia mengalami patah tulang tengkorak dan tertekan. Charcot membagi etiologi epilepsi menjadi langsung dan tidak langsung dimana terdapat segera, kejang periconcussive atau kejang yang terjadi setelah trauma yang dihubungkan dengan riwayat klinis. Berbagai studi detail mengenai tentara yang terluka menyediakan informasi yang berharga mengenai populasi spesifik dengan cidera penetrasi kepala. Resiko veteran militer yang berkembang menjadi post traumatic epilepsy (PTE, perkembangan berulang, kejang spontan lebih dari 1 minggu setelah cidera kepala) dalam hal ini sangat tinggi, dan observasi dari perang yang berbeda juga didapatkan hasil yang konsisten. Studi Veteran US pada Perang Dunia I, Perang Dunia II, atau perang Korea secara konsisten menunjukkan insidensi PTE sekitar 50% dalam 10 tahun atau lebih setelah cidera kepala. Sebuah pendekatan prospektif longitudinal awal dari 1221 veteran vietnam dengan ciderapenetrasi 15 tahun sebelumnya diungkapkan bahwa sejumlah 53% mengalami PTE. 189 pasien dengan cidera penetrasi kepala dari perang Iraq-Iran memiliki probabilitas 74,7% untuk kejang persisten setelah 21 tahun. Insidensi PTE di dalam populasi masyarakat susah untuk ditentukan karena kurangnya keseragaman dalam pendefinisian dari derajat keparahan trauma kepala. Dari awal sebuah kasus yang luas, ketika 29,5% pasien memiliki satu atau lebih riwayat kejang, hanya sekitar 14-15% dinyatakan memiliki PTE, setengah dari pasien ini memiliki kejang yang berat. Sekitar 20% orang yang selamat dari trauma yang berat yang membutuhkan perawatan rehabilitasi memiliki insidensi PTE. Pasien dengan cidera penetrasi kepala memiliki insidensi epilepsi 35-50%. Resiko tertinggi untuk kejang pasca trauma yang terlambat ditemukan pada pasien dengan multipel atau bilateral kontusi, subdural hematoma yang membutuhkan

pembedahan, kejang pasca trauma awal, pembedahan cranial multipel, atau midline shift besar yang berhubungan dengan cidera. Dalam edisi Neurology ini, Raymontet al melakukan pendekatan cohort dengan jangka waktu yang panjang pada tentara veteran yang terdaftar dalam Vietnam Head Injury Study. Dari 199 pasien dalam penelitian cohort ini, prevalensi epilepsi adalah 43,7%. Hal yang penting adalah data yang menunjukkan bahwa masa laten kejang pertama setelah cidera awal dapat terjadi 10 tahun setelah cidera; dalam suatu kasus, kegawatan epilepsi muncul 35 tahun setelah trauma kepala. Kejang parsial kompleks adalah tipe kejang yang paling umum (31%). Kejadian kejang pasca trauma juga didukung dengan temuan bahwa 53% pasien mengalami kejang pada tahun sebelum penelitian ini. Pada sebuah penilaian sementara penelitian cohort yang dilaporkan pada tahun 1980-an, faktor resiko terkait dengan PTE adalah berkurangnya jumlah volume otak moderat, terdapatnya fragmen logam di dalam otak, dan hematoma. Raymon et al mengkonfirmasi hubungan antara cidera dalam dengan adanya fragmen logam. Observasi ini menekankan pentingnya fenomena epilepsi (proses, terjadi dalam beberapa tahun, dari yang awalnya otak normal hingga menjadi rawan untuk kejang berulang kali). Bagaimana kaskade peristiwa dan efek yang terjadi dengan cidera tembus otak? Pembentukan cicatrix, gliosis dan hemosiderin, dan cidera geser dari akson dengan cortical yang tidak terhubung telah diusulkan. Predisposisi genetik merupakan pertimbangan yang menarik tetapi tidak ada bukti yang menyatakan bahwa genetik memainkan peran signifikan, sebuah observasi dapat mendukung penelitian terbaru ini. Apakah toksisitas darah dalam neuropil dengan formasi radikal bebas? Bagaimana dengan hilangnya neuron kritis selektif dan koneksi mereka atau reorganisasi dari tunas akson? Sayangnya, mekanisme epilepsi yang mengikuti cidera kepala belum jelas, dan rasional, target terapi yang dapat mencegah kegawatan epilepsi juga belum dikembangkan. Sejumlah penelitian yang dirancang dengan baik untuk mencari efek potensial dari obat antiepilepsi yang umum digunakan untuk mencegah PTE mendapatkan hasil yang mengecewakan, menekankan pentingnya kebutuhan kritis bagi pemahaman yang lebih dalam mengenai dasar bilogis epileptogenesis Pentingnya pendekatan longitudinal yang dilaporkan Raymont et al mengingatkan kita mengengai kenyataan PTE bagi tentara, serta masyarakat sipil yang mengalami cidera dalam perang. Kita perlu melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk mengerti komplikasi dari cidera orak dan mengembangkan perawatannya.

KORELASI EPILEPSI PASCA TRAUMA (PTE) 35 TAHUN SETELAH CIDERA OTAK AKIBAT PERANG

V. Raymont, MB ChB, A.M. Salazar, MD, R. Lipsky, PhD, D. Goldman, MD, G. Tasick, PA, J. Grafman, PhD

ABSTRAK Latar Belakang The Vietnam Head Injury Study (VHIS) adalah sebuah pendekatan prospektif longitudinal dari 1221 veteran perang Vietnam dengan cedera kepala akibat luka penetrasi. Tingginya prevalensi (45%-53%) dari epilepsi post trauma (PTE) dalam studi kohort ini, membuat hal ini layak untuk diteliti. Metode Standarisasi multidisiplin neurologi, kognitif, tingkah laku, dan evaluasi gambaran otak pada 199 veteran VHIS ditambah dengan kontrol non-traumatik, sekitar 30-35 tahun setelah cidera, sebagai bagian dari fase ketiga dari penelitian ini. Hasil Prevalensi dari kejang (87 pasien, 43,7%) serupa dengan penemuan pada fase 2 evaluasi 20 tahun sebelumnya, tetapi 11 dari 87 (12,6%) diantaranya dilaporkan memiliki onset epilepsi post trauma setelah fase 2 (lebih dari 14 tahun setelah cidera). Pasien-pasien itu tidak berbeda dengan pasien epilepsi post trauma dengan onset lebih awal pada beberapa penelitian. Dalam kohort fase 3, tipe kejang yang paling sering terjadi adalah kejang parsial kompleks. Dengan subjek epilepsi post trauma, 88% mendapat terapi antikonvulsan. Lesi lobus parietal sinistra dan terdapatnya fragmen logam besi berhubungan dengan epilepsi post trauma dalam model regresi logistik. Berkurangnya jumlah volume otak dapat memprediksi frekuensi kejang. Simpulan Pasien dengan luka penetrasi kepala memiliki risiko tinggi untuk epilepsi post trauma beberapa dekade setelah terjadinya luka, dan juga membutuhkan perawatan medis jangka panjang. Lokasi lesi, ukuran lesi, dan tipe lesi merupakan prediktor dari epilepsi post trauma. Epilepsi post trauma adalah penyebab utama dari epilepsi onset baru pada dewasa muda, dengan mencapai 30.000 kasus baru per tahun di Amerika Serikat, dan terkait dengan region, tipe, dan beratnya cidera. Tingginya insiden dari epilepsi post trauma akibat perang, dibandingkan dengan populasi sipil, membuat populasi ini berarti untuk diteliti. VHIS terdiri dari 1221 veteran Vietnam dengan trauma kepala. Fase 1 dari penelitian ini adalah review dari rekam medis subjek 5 tahun setelah trauma.

Fase 2 mengevaluasi 520 subjek dengan trauma kepala dan 85 relawan normal. 92% memiliki trauma penetrasi kepala. Prevalensi dari epilepsi post trauma adalah 53%, berhubungan dengan berkurangnya jumlah volume otak dan ditemukannya hematom atau terdapatnya fragmen logam. Onset epilepsi post trauma paling banyak ditemukan pada tahun pertama setelah trauma. Dari pasien dengan kejang persisten, 66% menggunakan medikasi antikonvulsan. Hanya 5 area otak yang signifikan menunjukkan kejadian kejang, substansi grisea vertex kanan, korteks kiri, substansi grisea temporal kiri, substansi albae frontal kanan, dan korona radiata kanan. Lesi pada hipokampus kiri berkorelasi dengan peningkatan frekuensi kejang, dimana lesi splenium dan insula berhubungan dengan frekuensi kejang yang lebih rendah. Lesi dari caliosum posterior dan nucleus kaudatus berhubungan dengan rendahnya kejang persisten. Performa kognitif secara umum tidak berhubungan dengan epilepsy post trauma setelah kompensasi untuk berkurangnya volume otak dan intelegensi sebelum trauma. Pengecualian intelegensi non-verbal, kemampuan berbahasa, memori, motor speed dan kontrol. Peneliti meninjau populasi ini untuk menaksir hubungan jangka panjang dari cedera otak akibat trauma dan epilepsy post trauma.

METODE 520 subyek dengan cedera kepala dinilai di PH2, 484 yang masih hidup, dan 182 yang mengikuti PH 3, 35 tahun setelah cedera. 17 subyek dengan cidera kepala yang diidentifikasi pada PH1 dan tidak mengikuti PH2 juga dinilai. Dari 80 subyek kontrol yang direkrut saat PH2 (veteran Vietnam yang tidak cidera, disesuaikan dengan usia), 32 orang mengikuti dan lebih lanjut 23 direkrut melalui iklan dalam publikasi veteran. Subyek dinilai selama 5 sampai 7 hari di Nasional Naval Medical Center, Bethesda, Maryland. Ini termasuk sejarah dan pemeriksaan oleh seorang ahli saraf berpengalaman dengan populasi ini (AMS). Diagnosis PTE didasarkan pada wawancara semistruktur. Pengujian meliputi 2 pengukuran Inteligensi, armed Force Qualification Test (AFQT) dan Wechler Adult Intelligence Score (WAIS) III

Persetujuan protokol standar, Pendaftaran, dan persetujuan pasien. Kami Menerima persetujuan dari intitut Komite Standar Etika. Persetujuan tertulis didapat dari semua subjek.

CT scan analisis. Lesi otak diidentifikasi dengan CT scan, dan datadirekonstruksi dengan ketebalan potongan 1 mm yang tumpang tindih dan dengan interval 1 mm. Lesi yang dievaluasi oleh dokter spesialis radiologi dan diproses dengan menggunakan Analysis of Brain Lession (ABLe) software. ABLe adalah program interaktif yang dijalankan dengan MEDX Medical Imaging software (Medical numeric Inc, Sterling, VA). Dengan ABLe, lesi digambar secara manual di ruangan oleh V.R. dan dikaji oleh J.G., dan didapatkan sebuah keputusan konsensus mengenai batasan setiap lesi.Volume lesi dihitung dan gambar Otak secara otomatis terdaftar ke template otak dalam ruang Talairach. Gambar template berasal dari CT scan seorang pria 27 tahun, sesuai dengan dimensi Talairach pada MEDx dengan menggunakan 12 parameter transformasi yang didapatkan dari Automated Image Registration (AIR) software di dalam MEDx. Dari parameter transformasi berasal Automated Image registraction (AIR) dalam MEDx softwere. Gambaran komputer area Broadman diperoleh dengan pemetaan

pemotongan kembali di CT scan. Perpotongan lesi area Broadman ditentukan dengan menggunakan VOTL database dalam ABLe. Prosedur ini dapat digunakan untuk mengukur volume lesi yang normal dan persentasi otak yang terkena. Tiga pengukuran atrofi dibuat melalui keputusan konsensus antara AMS dan VR: Luas Corpus callosum (Berdasarkan 3 pengukuran: genu, splenium dan bagian tengah), penilaian atrofi otak secara keseluruhan, dan atrofi pada masing-masing lobus. Luas Ventikel ketiga telah diketahui sebelumnya berkorelasi dengan pengukuran lain dari atrofi. Kami menemukan luas ventrikel ketiga berkorelasi dengan lebar corpus callosum (r=0,416, p<0,001; r=0,352,p<0,001),serta atropi keseluruhan (r=0,377,p<0,001).

Analisis genetik. Karena baik satu maupun beberapa mutasi gen terkait dengan epillepsy, kami menyaring sejumlah penanda genetik. Termasuk APOE 4, asam dekarboksilase gutamic (GAD), katekol-o-methyltransferase, GRIN (reseptor glutamat dan memiliki subunit NMDA), faktor yang diturunkan dari neurothropic otak, dan dopamin -hidroksilase. DNA Genomik diisolasi dari leukosit dengan menggunakan nukleon BACC2 seuasi protokol pabrik (Amersham Life Science, Piscataway, NJ). Kualitas dan kuantitas DNA genom ditentukan secara spektrofotometri dengan menggunakan absorbansi 260 nm dan 280 nm. Beberapa sampel DNA yang dimurnikan kembali dengan penambahan ekstraksi fenolkloroform (24:1 vol/vol) sebelum pemulihan dengan presipitasi etanol. Konsentrasi DNA yang diukur dengan menggunakan Nano Drop ND-1000 spektrofotometer (Nano Drop

Technologies, Wilmington, DE). Tingkat penyelesaian setiap pengujian > 99%, dengan tingkat kesalahan <1%.

Analisis statistik. Sebuah variasi prosedur parametrik digunakan dalam penelitian ini. Analisis varian dan logistic linier sertaprosedur regresi multipel bertahap dilakukan untuk menilai pengaruh intellegensi sebelum cidera, intellgensi saat ini atau selama perubahan berlangsung, kehilangan volume otak, lokasi lesi, karakteristik luka, dan penanda genetik riwayat PTE, durasi kejang, frekuensi, atau tipe. Tingkat signifikansi p = 0,05 atau kurang diperlukan untuk prosedur regresi bertahap.

HASIL Prevalensi kejang dan sifat-sifatnya Keseluruhan Prevalensi PTE dari kelompok yang mengalami cedera kepala adalah 43,7% (87 dari 199 sampel). Ini sama dengan hasil penelitian cohort di fase 2, yakni 53%. Durasi rata-rata periode kejang terakhir (diukur dari awal sampai dengan akhir laporan kejang) adalah 33 bulan. Dari hasil penelitian kejang pada beberapa tahun terakhir ini, frekuensi yang paling sering adalah 2 sampai 10 kali kejang per tahun. Kejang parsial kompleks terjadi sekitar 31%, dan kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi kejang umum terjadi 25%. Berlawanan dengan hasil di atas, kejadian yang paling banyak dan biasa dilaporkan ialah kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi kejang umum (33,3%), diikuti oleh kejang umum (20,7%; sebagai diagnosis adalah semata-mata berdasarkan pada cerita sampel, kita tidak dapat menentukan apakah ini merupakan yang pertama atau yang kedua). Seperti pada PH2, ada sebuah hubungan antara durasi dan frekuensi dari kejang selama laporan pertama periode kejang (r = 0,320, p = 0,008).

Sebelas pasien (12,6% dari mereka dengan PTE; 5,5% dari keseluruhan) dilaporkan mengalami kejang awal sejak PH2. Tidak ada hubungan antara onset laten dan riwayat penyakit jantung, kecerdasan sebelum cedera, perubahan kecerdasan, kemunculan dari kepingan tulang atau logam, atau ukuran luka. Bagi mereka yang mengalami onset PTE sebelum PH3, 73,8% digambarkan tidak ada perubahan pada tipe kejang, 3,2% dari hasil di atas, dilaporkan mengalami sebuah perubahan kejang dari kejang parsial sederhana menjadi kejang umum, dan 4,7% berubah dari kejang umum menjadi kejang parsial sederhana atau kejang parsial kompleks. Dua sampel kontrol juga dilaporkan mempunyai sebuah pengalaman kejang, 13 tahun sebelum PH3. Dari 520 pasien yang diperkirakan di PH2, 336 pasien tidak mengalami PH3. Ketika kami memeriksa pasien yang mengalami cedera kepala dan termasuk dalam P2 dan P3, prevalensi PTE pada PH3 adalah 45,1% (82 dari 182 sampel), bandingkan dengan 39,6% pada PH2. 19,2% melaporkan mengalami kejang pada tahun sebelum P3. Seperti pada Keseluruhan sampel PTE, pada beberapa tahun belakangan ini kebanyakan mengalami kejang sebanyak 2 hingga 10 kali dalam satu tahun, dan kejang parsial kompleks adalah tipe yang paling umum, terjadi pada 15,1%. Pada 17 sampel yang berada pada P3 tetapi bukan P2, prevalensi PTE 29,4%. Tiga sampel melaporkan serangan kejang sejak P2, dan empat telah mengalami satu serangan kejang pada tahun sebelum P3. Sampel-sampel yang telah lama mengalami kejang tetapi tidak mengalami PH3 mendapatkan cedera awal yang sangat ringan, dan nilai kecerdasan PH2 (pada table 2), dan juga sebuah kecenderungan untuk kehilangan volume otak lebih besar, mengingat tidak ada perbedaan yang berarti pada istilah dari tipe kejang dan frekuensi. Dari sampel-sampel dengan cedera kepala yang mengalami PH2 dan bukan PH3, 43,9% positif mengalami sebuah riwayat kejang pada PH2. Pada saat PH2, 28,0% dari sampel ini mengalami kejang umum, dibandingkan dengan 21,7% dari mereka yang menuju ke PH3, mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan pada istilah dari tipe kejang pada peserta PH3 dan bukan peserta (p = 0,486). Tabel 1 Masa laten onset dan durasi kejang < 12 bln 1-5 thn n 133 49 103 22 46 13 8 14 32,5 5-10 th 10-15 th 15-35 th

Masa laten onset

Rata-rata durasi kejang, 98,5 bulan

Tabel 2

Perbedaan antara kehadiran fase 3 dan ketidakhadiran Kehadiran fase 2 Kehadiran fase 3 14.16 (2.28) 60.87 (25.11) Nilai P 0.004 0.000

Tahun pendidikan Pre trauma AFQT Perekaman AFQT akhir Kehilangan hemisfer kanan, cc Kehilangan hemisfer kiri, cc Total

12.98 (5.26) 50.56 (24.48)

48.28 (26.53)

63.14 (25.15)

0.000

19.04 (30.76)

18.95 (29.02)

0.976

20.47 (34.60)

14.33 (26.44)

0.044

kehilangan 42.51 (45.94)

35.45 (38.87)

0.089

volume otak Singkatan: AFQT= Armed Forces Qualification Test. *Data dipresentasikan sebagai mean (rata-rata)

Pengobatan dari PTE Lebih dari 88% (n =77) dari sampel yang memiliki riwayat PTE pada PH3 masih menggunakan pengobatan dari waktu kejang terakhir mereka. 70% diresepi phenitoin, pengobatan tersering ke dua adalah Phenobarbital (14,5%). Dan pilihan terapi umum yang terakhir adalah carbamazepine (4,5%) dan sodium valproate (4,5%). Antikonvulsan yang terbaru tidak sering diresepkan. Bagaimanapun 53% dari sampel (n = 41) dilaporkan mengalami kejang pada tahun sebelum PH3, yang mana menunjukkan tingkatan yang tinggi dari kesulitan penyembuhan atau kegagalan, tapi kita tidak dapat menilai faktor mana yang bertanggung jawab pada pembelajaran ini.

Hubungan dengan lesi otak Seperti pada PH2, kehilangan volume otak pada PH3 berhubungan dengan PTE (t = 3,758, df = 186, p = 0,000). Ada hubungan antara ukuran dari lesi dan frekuensi kejang pada tahun pertama (r = -0,203, p = 0,005) dan tahun terakhir dari laporan kejang (r = -0,274, p = 0,000) sama seperti pada durasi dari riwayat kejang (r = -0,179, p = 0,014). Tetapi, berkebalikan dengan hasil pada PH2, kami menemukan bahwa mereka dengan lesi parietal (X2 = 13,603, df = 2, p = 0,001) dan keterlibatan insula kiri (X2 = 12,845, df = 2, p = 0,002)

yang mana lebih mirip dengan laporan sebuah riwayat kejang. Tidak ada hubungan lain yang berarti antara lokasi lesi dan kejang. Tapi ada suatu hubungan antara jumlah dari lobus yang terlibat dan PTE (r = 0,196, p = 0,006), dan kejang parsial kompleks lebih umum pada mereka dengan keterlibatan beberapa lobus. Tidak ada hubungan yang berarti antara atrofi dan PTE. Tabel 3 Karakteristik pasien dengan dan tanpa Post Traumatic Epilepsy (PTE) SubjektanpaPTE (n=112) Rata-rata usia, y Rata-rata AFQT Rata-rata PH2 AFQT Rata-rata PH3 AFQT Rata-rata PH3 69.7 (23.0) 59.7 (24.5) 54.6 (25.9) 44.3 (23.1) 98.0 (14.4) 0.000b 0.000b 0.000b 58.8 (3.5) SubjekdenganPTE (n=87) 57.8 (2.3) 57.2 (25.9) 0.007b 0.151 nilai p

pretrauma 62.8 (25.1)

WAIS 106.2 (14.3)

skalapenuh IQ Perubahan AFQT,pretraumake PH3 Perubahan ke PH3 CT volumsisikanan yang 17.4 (29.8) hilang,cc CT volumsisikiri yang 12.2 (17.6) hilang,cc Riwayatkardivaskular. Positif,n (%) 45 (40.2) 39 (44.8) 0.942 27.7 (46.2) 0.004b 24.8 (32.8) 0.111 AFQT,PH2 -8.0 (11.2) -11.0 (12.9) 0.131 -4.3 (17.9) -13.3 (20.0) 0.002b

Keberadaan metal/fragmentulangpada CT scan,n (%)

59 (52.7)

67 (77.0)

0.001b

AFQT = Armed Forces Qualification Test PTE= Post Traumatic Epilepsy WAIS = Wechsler Adult Intelligence Scale

a. Data dipresentasikan sebagai rata-rata (SD) dinotasikan sebagai n (%) b. Signifikan secara statistik

Hubungan dengan penanda genetik Kami mencari hubungan antara beberapa kandidat gen dengan PTE (tabel 3). Terdapat hubungan antara keberadaan GRIN2A rs11074504 dan kejang pada PH3

(x2=14.126, df=4, p=0.007) dan GAD2 rs1330582 dan PTE pada PH2 (x2=11,779, df=4, p=0.019). Terdapat juga hubungan antara GAD1 rs 769395 dan kejang pada PH2 (x2=9.351, df=4, p=0.053), tetapi tidak ada hubungan antara PTE dan keberadaan alel APOE 4. Bagaimanapun, ketika nilai p dikoreksi untuk beberapa perbandingan, nilai ini tidak mencapai signifikansi.

Hubungan dengan intelejensi Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai pre trauma AFQT antar subjek dengan dan tanpa PTE (tabel 3), sedangkan terdapat perbedaan signifikan antara grup ini dalam nilai AFQT PH3 dan PH2 mereka dan perubahan dalam skor dari PH2 ke PH3 (PH3 menunujkkan penurunan yang lebih besar) Terdapat hubungan antara frekuensi kejang yang terahir dan nilai AFQt PH3 (F=5.876, df=6, p=0.000), dan perubahan pada nilai AFQT dari pre trauma ke PH3 (F=4.140, df=6, p=0.001) dimana pada frekuensi kejang yang lebih sering mempunyai nilai AFQT yang lebih rendah dan penurunan intelejensi yang lebih besar. Terdapat pula hubungan antara tipe dari kejang terahir dengan nilai AFQT PH3 (F=6.010, df=5, p=0.000) dan perubahan dalam nilai AFQT dari pre trauma ke PH3 (F=4.140, df=6, p=0.000). Mereka dengan kejang parsial yang berkembang menjadi kejang umum mempunyai nilai AFQT pada PH3 yang terendah dan penurunan dalam pretrauma ke PH3 yang terbesar, dimana mereka dengan kejang parsial sederhana mempunyai nilai AFQT pada PH3 dan level penurunan yang terkecil Kami memeriksa riwayat kejang, durasi, frekuensi, dan tipe dan intelejensi yang sekarang menggunakan model regresi linear. Tidak seperti pada PH2, PTE memprediksi intelejensi yang sekarang, walaupun ketika kehilangan volume otak dan intelejensi yang sekarang diperkenalkan dalam suatu model (F=4.102, df=2, p=0.018). Keberadaan PTE juga memprediksi penurunan nilai AFQt pada pre trauma ke PH3 (F=4.102, df=2, p=0.018). Durasi PTE merupakan prediktor dari penurunan penurunan dalam skala penuh IQ dari PH2 ke PH3 (F=4.559, df=1, p=0.034), begitu juga penurunan intelejensi dari pre trauma ke PH2 (F=6.883 df=1, p=0.010)

Kemampuan memprediksi PTE secara keseluruhan Kami mempresentasikan analisis regresi logistik linear untuk menilai kemampuan prediksi dari kejadian dan frekuensi PH3 dengan total volum yang hilang, lokasi lesi, karakteristik luka, dan 3 penanda genetik yang ditemukan yang berhubungan dengan PTE. PTE diprediksi oleh keberadaan GRIN2A rs 11074604 (F=3.944, df=2, p=0.021) dan

keterlibatan parietal kiri (F=5.931, df=1, p=0.041). Seperti pada PH2, keberadaan fragmen metal merupakan prediksi PTE (F=5.522, df=1, p=0.020) dan kesimpulannya dalam analisis mereduksi akibat dari GRIN2A rs11074504 (F=8.091, df=2, p=0.059) dan keterlibatan temporal kiri (F=0.737, df=1, p=0.609). Total volum yang hilang (F=7.230, df=1, p=0.008) hanyalah satu-satunya prediktor dari frekuensi kejang. Tidak satupun prediktor yang signifikan ketika analisis diulang pada PTE yang onsetnya sangat terlambat (>14 tahun setelah cedera). Bagaimanapun karena hanya melibatkan sedikit subyek, analisa ini hanya bisa dilihat sebagai penelitian.

DISKUSI Studi PTE dalam populasi militer telah dilaporkan lebih tinggi daripada masyarakat sipil (32%-43%), yang dimungkinkan karena luka lebih sering terjadi pada kasus perembesan dan perdarahan dural, yang mana dihubungkan dengan kenaikan resiko untuk PTE. Dalam kelompok ini, kejadian PTE adalah 53% selama 15 tahun, tetapi 18 % diantaranya tidak menunjukkan epilepsi yang mereka miliki hingga 10 tahun lebih setelah TBI. Hasil ini nampak memeperkuat tingginya pengaruh serangan dalam kelompok ini, dengan resiko PTE dan frekuensi serangan yang lebih tinggi, menjadi lebih besar dengan lesi otak yang luas. Data kami menunjukkan bahwa insiden terjadi lebih sering daripada sesudah konflik sebelumnya, yang dimungkinkan karena ketahanan dalam perbaikan dan pemantauan jangka panjang. Bagaimanapun juga, meskipun kami menemukan pola serangan dengan PH3 dan tanpa PH3, kami yakin bahwa kami tidak dapat memasukkkan 65% sampel dari PH2 dalam evaluasi ini. Sebagai tambahan, karena peserta dengan trauma kepala dengan tingkat inteligensi terendah pra injuri dan cenderung dengan lesi yang besar, tidak disertakan dalam PH3, karena dapat menyebabkan bias yang signifikan, meskipun dapat dijelaskan dengan penurunan prevalensi PTE pada PH3 yang dibandingkan dengan PH2. Selama ini, studi genetik bertitik fokus pada molekuler epileptogenesis setelah terjadinya luka akibat trauma. APOE 4 telah dikelompokkan dengan kenaikan PTE dalam 6 bulan setelah TBI, diluar dari fungsi yang lain. Bentuk genetik lainnya telah dilengkapi dengan reseptor gen asam -aminobutirat dan alel haptoglobin HPh2-2. Penelitian terakhir

juga menunjukkan bahwa TBI menghasilkan transmisi glutamatergic yang dapat diganti dan dari itu semua, maka ada jendela penting yang bersifat sementara dalam aturan epileptogenesis. Oleh karena respon inisial seluler telah menjadi fokus studi sebelumnya, maka kami memiliki hipotesa bahwa kejadian kejadian yang ada dapat menjadi pemicu melekular yang bersifat spesifik, yang dapat merubah hubungan spesifik genotip. Ketika terdapat koreksi untuk membuat perbandingan pada analisis kami, tidak didapatkan hasil yang signifikan untuk analisis genetik. Sehingga, pendapat terkini menyebutkan bahwa faktor faktor genetik dapat mempengaruhi kecenderungan untuk mengembangkan PTE, dan sebagai keperluan pembelajaran lebih lanjut. Hubungan antara outcome kognitif dan PTE masih menjadi perdebatan seperti penggunaan jangka panjang anti konvulsan. Data kami menunjukkan terdapat hubungan antara PTE, tingkat kecerdasan dan penurunan kognitif di masa lalu. Penemuan kami sedikit berbeda dengan ketentuan hubungan dalam PH2 antara PTE dan tempat lesi. Disaat kami menemukan lesi parietal kiri dan serpihan logam, lebih tampak seperti riwayat serangan, yang mana juga merupakan kasus dengan lesi yang meliputi insula bagian kiri. Bukti dalam literatur menganggap hubungan antara tempat lesi di otak dan kecenderungan PTE pada dasarnya terdiri atas studi injuri kepala akibat penetrasi (PHI) dan mekanismenya.Bagaimanapun juga, studi prospektif terakhir CHI dan PHI, sebuah hubungan juga ditemukan antara lesi frontal dan parietal pada CT scan dan PTE. Hal ini sesuai dengan penelitian PHI yang lain. Studi PHI lainnya menemukan hubungan antara lesi frontal dan temporal dan PTE. Di sisi lain, penelitian CHI dan PHI, tidak didapatkan korelasi antara tempat lesi dan PTE. Dilaporkan juga terdapat peningkatan insiden onset PTE dalam kasus ini dengan lesi bilateral di parietal, yang mengindikasikan adanya kemungkinan proses terjadinya lesi berdasarkan durasi pada subtipe PTE tertentu.Seperti studi yang lainnya, kami menemukan korelasi antara terjadinya injury otak dan kecenderungan PTE, dan serangan parsial komplek yang umum dalam kasus ini dengan keterlibatan kedua lobus. Meskipun kami tidak menemukan antara atrofi dan kecenderungan PTE, mungkin saja dapat disebabakan efek iatrogenik seperti pemakaian jangka panjang fenitoin, dapat menyebabkan perubahan menjadi atrofi, karena sebagian besar subjek mendapatkan perawatan jangka panjang dengan anti konvulsan tradisional. Patogenesis mengenai perjalanan PTE, dan yang lebih spesifik, bagaimana karakteristik seperti outcome klinis dan kedudukan lesi dapat berpengaruh pada onset terjadinya serangan masih belum jelas. Meskipun, data kami menunjukkan bahwa onset terjadinya serangan bisa tak tampak lebih dari 30 tahun setelah TBI. Tipe kejang umumnya

juga berubah seiring jalannya waktu, yang cenderung meningkat menjadi kejang parsial kompleks pada tahun tahun berikutnya untuk TBI. Tingkat kesembuhan dengan PTE telah ditemukan lebih rendah pada onset kejang berikutnya. Meskipun studi sebelumnya tidak menemukan hubungan yang demikian. Bagaimanapun juga, kemungkinan dengan luka akibat kekerasan yang sering ditemukan pada populasi militer, mengindikasikan bahwa para veteran membutuhkan pemantauan neurologis dalam jangka panjang. Kelompok kami ialah bagian pertama dari para veteran yang dipantau terus menerus seperti, periode ekstensifnya, sebagian hasil dari kenaikan ketahanan yang dibandingkan dengan studi sebelumnya. Memberi tingkat ketahanan lebih besar yang sama pada konflik ini, bersama dengan insiden injuri pada trauma otak, kami berpendapat bahwa skrining untuk PTE harus menjadi komponen penting perawatan jangka panjang para veteran dengan pemasukan TBI.

You might also like