You are on page 1of 16

KOMUNIKASI RISIKO SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN

STRUKTUR ANALISIS RISIKO


Witono Adiyoga

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517 Lembang, Bandung – 40391

Apakah yang disebut risiko?

Risiko bagi kebanyakan orang sering diartikan sebagai suatu kejadian yang tidak atau kurang
menyenangkan, misalnya cedera atau kehilangan. Oleh karena itu, risiko cenderung dianggap sebagai
sesuatu yang harus dihindarkan. Banyak ahli mendefinisikan risiko sebagai probabilitas dari suatu
kejadian yang tidak direncanakan. Estimasi probabilitas dan konsekuensi dari kejadian-kejadian
tersebut sejak lama telah dimanfaatkan oleh ilmu penaksiran risiko (risk assessment). Risiko sering
pula dihubungkan dengan ketidak-pastian yang dalam banyak kasus melibatkan konflik persepsi dan
sudut pandang. Persepsi publik tentang risiko terkadang memainkan peranan penting, sebagaimana
pandangan para pakar dalam debat mengenai teknologi baru, misalnya isu tanaman transgenik.

Risiko juga didefinisikan sebagai ketidak-pastian hasil (outcome), baik berupa oportunitas positif atau
ancaman negatif, dari suatu tindakan dan kejadian. Risiko merupakan kombinasi dari kemungkinan dan
pengaruh/impak, termasuk persepsi kepentingan. Sebagian besar kebijakan pemerintah pada dasarnya
melibatkan penanganan atau pengalihan risiko kepada publik. Risiko tertentu dapat bersifat lebih
signifikan pada konteks yang lain atau jika dipandang dari perspektif yang berbeda. Eliminasi semua
risiko merupakan hal yang mustahil, sehingga keputusan yang sulit sebenarnya adalah menentukan
risiko mana yang sebenarnya masih dapat diterima. Identifikasi dan pengenalan suatu ancaman poten-
sial seharusnya juga mengandung arti bagaimana cara mengatasinya, atau bagaimana agar lebih siap
menghadapi jika insiden tersebut terjadi.

Jenis-jenis risiko seperti apakah yang dihadapi publik?

Pemahaman mengenai bagaimana risiko mempengaruhi publik dapat membantu proses identifikasi
risiko. Risiko dapat dibedakan dari cara-cara pandang berikut ini:
• Berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi sumber risiko, misalnya pada saat
melakukan kegiatan olahraga atau bepergian dengan menggunakan mobil
• Berhubungan dengan ancaman/bencana, misalnya kabel terbuka bermuatan listrik atau adanya
organisme penyebab penyakit
• Berhubungan dengan kejadian-kejadian yang terjadi sebagai akibat dari aktivitas berisiko atau
terekspos kepada ancaman/bencana, misalnya kecelakaan atau sakit
• Berhubungan dengan konsekuensi dari suatu kejadian, misalnya cedera, gangguan kesehatan
atau kerugian finansial

Beberapa contoh kejadian-kejadian berisiko: (a) kejadian alami, misalnya banjir, cuaca dingin; (b)
kecelakaan, misalnya kecelakaan jalan raya, kebocoran atau pencemaran bahan kimia; (c) penyakit
atau infeksi; (d) politis, misalnya perang, terorisme; (e) kriminal, misalnya kekerasan, pencurian,
penipuan; (f) kejadian ekonomi, misalnya resesi; dan (g) polusi atau kemusnahan/destruksi habitat

Sementara itu, beberapa contoh kemungkinan konsekuensi dari kejadian berisiko diantaranya adalah:
(a) kematian, (b) cedera, (c) sakit, (d) kehilangan atau kerusakan properti, (e) kerugian finansial, (f)

1
kehilangan kesempatan meraih sumber pendapatan potensial, (g) kehilangan waktu, (h) kerusakan
lingkungan, dan (i) derita/tekanan emosional.

Timbulnya jenis jenis risiko tertentu dapat menyebabkan kekhawatiran publik yang serius, terutama jika
mengandung ketidak-pastian berkenaan dengan outcomenya. Kekhawatiran publik tersebut jika tidak
ditangani secara cepat dan efektif dapat berekskalasi menjadi krisis.

Mengapa komunikasi yang baik menjadi penting dalam menghadapi risiko?

Berdasarkan asumsi proses komunikasi dua arah, komunikasi dengan publik dapat membantu pena-
nganan risiko secara lebih efektif, yaitu:
• Membantu untuk mencegah berkembangnya krisis
• Membantu pengambilan keputusan yang lebih baik dalam menangani risiko
• Membantu untuk menjamin kelancaran implementasi kebijakan penanganan risiko
• Membantu untuk memberdayakan dan meyakinkan publik
• Membantu untuk membangun kepercayaan publik

Mengapa mengkomunikasikan tentang risiko menjadi semakin penting?

Mengkomunikasikan risiko kepada publik menjadi isu yang semakin penting, terutama bagi pihak
pemerintah. Beberapa alasan yang melatar-belakangi kepentingan ini diantaranya adalah:
• Sifat risiko cenderung menjadi semakin kompleks dan semakin tidak pasti. Kecepatan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengarah pada kekhawatiran baru
mengenai manufactured risiko yang seringkali sukar dibuktikan. Sejalan dengan keadaan
dunia yang semakin interconnected dan interdependent, maka probabilitas seseorang
terekspos pada risiko yang dahulunya tidak mungkin, menjadi semakin tinggi.
• Perilaku publik terhadap risiko maupun pemerintah telah berubah. Rasa skeptis yang
semakin tinggi terhadap institusi, kekhawatiran terhadap risiko yang semakin meningkat,
serta akses terhadap informasi yang semakin luas, telah menempatkan pemerintah pada
posisi yang semakin menjadi sorotan publik. Hal ini mengimplikasikan bahwa pemerintah
harus bekerja lebih keras dan beroperasi secara lebih transparan untuk menjaga keperca-
yaan publik berkaitan dengan informasi yang disebarkan.
• Berbagai kasus mutakhir, misalnya mengenai tanaman transgenik, memberikan gambaran
bahwa pengkomunikasian risiko kepada publik harus lebih didasarkan pada bukti, lebih
terbuka dan dilakukan secara partisipatif.

Prinsip-prinsip panduan komunikasi risiko

Sandman (1993) mengemukakan bahwa perkataan “awas!” dan “jangan khawatir” merupakan dua
frasa yang sering digunakan untuk: (a) mengingatkan orang lain akan adanya potensi bahaya, dan (b)
memberitahu orang lain bahwa tidak perlu terlalu khawatir terhadap potensi bahaya tersebut.
Komunikasi risiko seperti di atas pada dasarnya merupakan proses komunikasi satu arah yang
mengasumsikan: (a) orang yang mengingatkan/memberitahu memiliki pengetahuan lebih mengenai
risiko dimaksud dibandingkan dengan orang yang diingatkan/diberitahu, (b) orang yang mengingatkan/
memberitahu sangat memperhatikan/khawatir terhadap kepentingan orang yang diingatkan/diberitahu,
dan (c) peringatan/pemberitahuan lebih didasarkan kepada informasi aktual, tidak hanya sekedar nilai
atau preferensi.

2
Penggunaan frasa awas!” dan “jangan khawatir” tidak lagi efektif dalam rangka mendiseminasikan
informasi tentang suatu teknologi yang kompleks dan kontroversial. Ketidak-efektifan terjadi karena
semakin disadari bahwa (a) sumber pemberi peringatan/pemberitahuan terkadang bersandar pada
pengkajian teknis yang kurang akurat, dan (b) konteks politis, ekonomis serta budaya dari difusi
teknologi baru akan mempengaruhi sumber untuk memberikan pertimbangan nilai (value-judgment)
terhadap peringatan/pemberitahuan tersebut. Oleh karena itu, Sandman (1993) merekomendasikan
agar komunikasi risiko untuk teknologi yang kompleks dan kontroversial harus: (a) bersifat multi-
directional, dan (b) menstimulasi debat, tidak hanya sekedar transfer pengetahuan. Kriteria untuk
mengevaluasi efektivitas komunikasi risiko harus terdiri dari keterbukaan dalam proses pengambilan
keputusan dan sampai sejauh mana klaim nilai dapat dibedakan dari klaim ilmiah yang kurang akurat/
cacat. Rogers (1962) juga memberikan argumentasi yang serupa bahwa difusi informasi mengenai
teknologi yang kompleks dan kontroversial harus menghindarkan kelemahan-kelemahan model jarum-
hipodermik. Paradigma komunikasi risiko yang salah, yaitu menginjeksikan pengetahuan mengenai
risiko aktual kepada publik yang masih belum cukup mendapatkan informasi, harus dihindarkan.
Proses difusi harus merupakan komunikasi dua arah antara publik dengan pihak pengembang
teknologi baru.

Komunikasi risiko merupakan suatu disiplin ilmu terapan yang mulai berkembang sejak awal tahun
1970an. Disiplin ini mengkombinasikan kerangka teoritis psikologi, sosiologi, teori utilitas, ilmu
pengambilan keputusan, pendidikan dan komunikasi. Komunikasi risiko pada awalnya banyak
digunakan berkenaan dengan risiko/bahaya lingkungan, namun kemudian berkembang ke bidang-
bidang kesehatan, ekonomi serta isu-isu risiko sosial lainnya. Pada waktu yang lalu, kegagalan
komunikasi risiko terkadang mengakibatkan terjadinya akselerasi kekhawatiran publik menjadi
sengketa berlarut-larut antara konsumen, regulator dan industri. Outrage merupakan terminologi yang
digunakan oleh komunikator risiko untuk menjelaskan reaksi publik terhadap bahaya/risiko yang tidak
dapat diterima (Sandman, 1987). Sementara itu, stigma merupakan terminologi yang digunakan untuk
mengindikasikan suatu risiko atau kontroversi yang mengakibatkan terjadinya ketakutan dan
mempengaruhi industri secara keseluruhan (Slovic, 2000; Flynn, 2002). Pada saat orang mencapai
tahapan outrage atau stigma, pemecahan masalah dan kompromi-kompromi menjadi semakin
problematik, dan pengambilan keputusan menjadi semakin terpolarisasi serta mudah diperdebatkan.

Hasil-hasil penelitian dalam tiga dekade terakhir menunjukkan bahwa besaran ketakutan atau
kekhawatiran yang dirasakan publik bergantung pada persepsi karakteristik risiko dari setiap bahaya
tertentu. Beberapa jenis bahaya tertentu memang kurang dapat ditoleransi seperti yang lainnya dan
seringkali tidak ada hubungannya dengan probabilitas statistik. Secara umum, karakteristik risiko
sebagai determinan penting bagi publik untuk menetapkan risiko dari suatu bahaya seringkali berkaitan
erat, antara lain dengan kemauan, pengendalian/pengawasan, fairness, familiaritas dan dampak
terhadap generasi yang akan datang (Fischhoff et al., 2002). Paling tidak ada tiga faktor yang secara
konsisten muncul sebagai determinan penting untuk menghindarkan kontroversi, yaitu mengenal
persepsi publik, membuka kesempatan partisipasi publik secara dini dan berarti, serta meraih
kepercayaan publik. Strategi baru komunikasi risiko mengandung suatu gerakan yang mendorong
keterlibatan stakeholders serta partisipasi publik dalam isu-isu pemerintah dan kebijakan, termasuk
validasi persepsi publik mengenai risiko (Chartier and Gabler, 2001).

Menurut laporan FAO/WHO (1998), sasaran dari komunikasi risiko diantaranya adalah:
• Memperbaiki efektivitas dan efisiensi proses analisis risiko
• Mempromosikan konsistensi dan transparansi dalam mengimplementasikan keputusan-
keputusan manajemen risiko
• Mempromosikan kepedulian dan pemahaman isu-isu spesifik dari proses analisis risiko

3
• Memperkuat hubungan kerja serta saling menghormati antara asesor risiko dengan pihak
manajemen
• Saling tukar menukar informasi antara pihak-pihak yang tertarik dengan analisis risiko dan
manajemen
• Meningkatkan kepercayaan dan keyakinan publik terhadap analisis risiko dan manajemen

Laporan tersebut juga mempertimbangkan komunikasi risiko sebagai bagian integral dari pengembang-
an teknologi, bukan hanya sekedar transfer pengetahuan satu arah dari ilmuwan kepada pengguna.
Komunikasi risiko juga merupakan salah satu dari tiga komponen dalam proses analisis risiko.
Penaksiran risiko (risk assessment) adalah proses yang digunakan untuk mengestimasi dan
mengkarakterisasi risiko secara kuantitatif atau kualitatif. Manajemen risiko (risk management)
diarahkan sebagai alat untuk menimbang dan menseleksi berbagai opsi serta melaksanakan
pengendalian/pengawasan agar dapat menjamin suatu tingkat proteksi yang tepat. Komunikasi risiko
sebagai bagian integral dari analisis risiko merupakan suatu alat yang diperlukan dan kritikal untuk
mendefinisikan isu-isu, serta mengembangkan, memahami dan memutuskan keputusan pengelolaan
risiko terbaik.

Sebelum penaksiran risiko formal dimulai, berbagai informasi dari pihak-pihak yang berkepentingan
harus dikumpulkan untuk menyiapkan suatu profil risiko. Profil ini menguraikan masalah, misalnya
keamanan pangan, beserta kontekstualnya dan mengidentifikasi elemen-elemen bahaya atau risiko
yang relevan dengan berbagai keputusan manajemen risiko. Hal ini seringkali melibatkan kegiatan
evaluasi risiko awal yang sangat bergantung pada komunikasi risiko yang efektif. Karakterisasi risiko
merupakan cara utama untuk mengkomunikasikan temuan-temuan penaksiran risiko, misalnya
keamanan pangan, kepada manajer risiko dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Estimasi
numerikal dalam karakterisasi harus ditunjang informasi kualitatif mengenai sifat risiko serta bobot bukti
yang mendefinisikan dan mendukung risiko tersebut.

Hadden (2001) memberikan argumentasi bahwa publik (a) berhak mengetahui risiko yang dihadapi
serta kebijakan apa yang ada untuk mengatur risiko tersebut, dan (b) berhak berpartisipasi dalam
pengkajian risiko serta pengambilan keputusan manajemen. Elemen esensial dari komunikasi risiko
adalah fasilitasi proses identifikasi risiko serta pembebanan alternatif keputusan oleh manajer risiko
dan publik. Dengan demikian, komunikasi risiko yang tepat adalah komunikasi risiko interaktif.

Elemen-elemen dari komunikasi risiko efektif

Uraian sebelumnya memberikan gambaran bahwa transmisi pengetahuan ilmiah saja tidak cukup untuk
mengimplementasikan komunikasi risiko secara efektif. Pengetahuan ilmiah jangan dianggap tidak
memiliki cacat, bebas nilai dan tidak bias. Pengetahuan ilmiah juga jangan dipertimbangkan sebagai
kriteria tunggal untuk adopsi teknologi. Namun demikian, kebijakan teknologi harus berdasarkan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, walaupun bukan satu-satunya komponen, transmisi pengetahuan ilmiah
merupakan komponen penting dalam komunikasi risiko.

Bergantung pada apa yang akan dikomunikasikan dan kepada siapa, pesan-pesan komunikasi risiko
dapat berisi informasi mengenai:
• Sifat dari risiko (The nature of the risk)
o Karakteristik dan tingkat kepentingan dari suatu bahaya (hazard)
o Besaran dan keparahan (severity) dari suatu risiko
o Urgensi dari situasi tertentu

4
o Risiko tersebut cenderung semakin besar atau semakin kecil (trends)
o Probabilitas dari eksposur terhadap bahaya
o Distribusi eksposur
o Jumlah eksposur yang mengandung risiko signifikan
o Sifat dan ukuran populasi yang berisiko
o Pihak mana yang menghadapi risiko tertinggi?
• Sifat dari manfaat (The nature of the benefits)
o Manfaat aktual dan yang diharapkan dari setiap risiko
o Siapa yang mendapatkan manfaat dan dengan cara bagaimana
o Dimanakah titik keseimbangan antara risiko dan manfaat
o Besaran dan tingkat kepentingan manfaat
o Manfaat total yang mempengaruhi seluruh populasi
• Ketidak-pastian dalam penaksiran risiko (Uncertainties in risk assessment)
o Metode yang digunakan untuk menaksir/mengkaji risiko
o Tingkat kepentingan dari setiap ketidak-pastian
o Kelemahan atau ketidak-akurasian dari data yang tersedia
o Asumsi-asumsi yang digunakan dalam proses estimasi
o Sensitivitas estimasi terhadap perubahan-perubahan asumsi
o Pengaruh perubahan estimasi terhadap keputusan manajemen risiko
• Opsi-opsi manajemen risiko (Risk management options)
o Tindakan-tindakan yang diambil untuk mengendalikan atau mengelola risiko
o Tindakan individual yang mungkin diambil untuk mengurangi risiko personal
o Justifikasi dalam memilih suatu opsi manajemen risiko yang spesifik
o Efektivitas dari suatu opsi yang spesifik
o Manfaat dari suatu opsi yang spesifik
o Biaya dalam mengelola risiko dan siapa yang membayarnya
o Risiko-risiko yang masih tertinggal setelah suatu opsi manajemen risiko dilaksanakan

Aspek-aspek esensial atau prinsip-prinsip dari komunikasi risiko yang tepat seperti diuraikan dalam
laporan FAO/WHO diantaranya adalah:
• Mengetahui audiens target. Audiens harus dianalisis sehubungan dengan upaya untuk
memahami pengetahuan dan pendapat/opini audiens berkenaan dengan teknologi baru.
Mendengarkan berbagai pihak yang terkait merupakan salah satu elemen kritikal dari
aspek ini.
• Melibatkan pakar atau ilmuwan. Keputusan-keputusan kebijakan teknologi harus berlan-
daskan pertimbangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ahli-ahli ilmu pengetahuan harus
dilibatkan untuk menguraikan pengetahuan saat ini (aktual) mengenai teknologi baru
secara jelas dan ringkas.
• Melibatkan keahlian tertentu di bidang komunikasi. Keberhasilan komunikasi risiko memer-
lukan keahlian dalam meneruskan informasi dengan jelas agar mudah dipahami publik.
Dalam kaitan ini, publik juga harus menunjukkan upaya yang seimbang untuk lebih
memahami ilmu pengetahuan.

5
• Memanfaatkan sumber informasi yang kredibel. Faktor-faktor yang mempengaruhi kredibili-
tas sumber diantaranya adalah persepsi menyangkut kompetensi dan rasa kepercayaan.
Pesan-pesan yang konsisten dapat membantu terbangunnya kredibilitas.
• Melakukan “sharing” tanggung jawab. Ilmuwan, lembaga regulator dan industri harus share
tanggungjawab dalam mengembangkan serta mengelola teknologi yang efektif dan aman.
Pihak-pihak ini juga semakin menuntut agar konsumen turut bertanggung jawab secara
lebih aktif berupaya mencari informasi mengenai pengembangan teknologi dan pembuatan
kebijakan.
• Membedakan antara “science” dan “value-judgment”. Komunikasi risiko harus fokus
berdasarkan kenyataan-kenyataan, bukan nilai-nilai. Namun demikian, pendekatan
terhadap komunikasi risiko ini hampir tidak mungkin, karena mustahil suatu ilmu
pengetahuan bebas dari bias dan value-judgment. Oleh karena itu, ilmuwan harus
berupaya semaksimal mungkin untuk menghapuskan value-judgmentnya dari komunikasi
risiko.
• Menjamin transparansi. Dalam batas-batas tertentu menyangkut kerahasiaan suatu
teknologi, ilmuwan tetap harus membantu publik untuk memahami proses pengembangan
teknologi dan pengkajian risiko.
• Menempatkan atau memposisikan risiko dalam perspektif. Risiko dan manfaat serta proba-
bilitasnya masing-masing harus diperbandingkan satu sama lain. Namun demikian,
memperbandingkan risiko ini harus dilakukan secara hati-hati, karena pilihan risiko-risiko
yang hendak diperbandingkan tersebut mungkin saja merefleksikan bias.

Hambatan-hambatan terhadap komunikasi risiko efektif

• Hambatan-hambatan dalam proses analisis risiko:

Komunikasi memainkan peran vital selama proses analisis risiko untuk menjamin agar strategi
manajemen risiko secara efektif dapat meminimalkan risiko yang dihadapi publik. Banyak langkah-
langkah komunikasi selama proses merupakan hal yang bersifat internal serta pertukaran interaktif
antara manajer risiko dan asesor risiko. Dua langkah kunci, yaitu identifikasi bahaya/hazard dan seleksi
opsi manajemen risiko, memerlukan komunikasi risiko dengan semua pihak terkait untuk membantu
perbaikan transparansi pengambilan keputusan dan meningkatkan potensi tingkat penerimaan
outcome.
o Kurangnya informasi yang tersedia
Secara praktis, informasi mengenai keragaan dan keberhasilan teknologi baru
biasanya relatif terbatas. Temuan baru dan kegunaan baru dari suatu teknologi dapat
memperbaiki kekurangan yang sebelumnya tidak diketahui atau tidak diantisipasi.
o Akses terhadap informasi
Informasi vital yang dibutuhkan untuk melaksanakan proses analisis risiko belum tentu
disediakan secara sukarela oleh yang memilikinya. Pihak industri atau swasta
terkadang memiliki informasi mengenai suatu risiko, namun tidak bersedia berbagi
dengan lembaga pemerintah untuk melindungi posisi kompetitifnya, atau karena
alasan bisnis lainnya. Di sisi lain, karena berbagai alasan, lembaga pemerintahan
mungkin juga tidak bersedia secara terbuka mendiskusikan kenyataan atau bukti-bukti
mengenai risiko tertentu. Akses penuh terhadap data relevan berkenaan dengan suatu
risiko, belum tentu tersedia disetiap situasi. Kurangnya akses terhadap data yang

6
bersifat kritikal mengenai risiko tertentu menyebabkan langkah-langkah identifikasi
bahaya dan manajemen risiko menjadi semakin sukar.

o Partisipasi di dalam proses


Kurangnya partisipasi pihak-pihak terkait dalam proses analisis risiko dapat menjadi
hambatan penting untuk mengkomunikasikan risiko secara efektif. Partisipasi luas di
dalam proses akan memperbaiki komunikasi risiko dengan memanfaatkan
kesempatan untuk mengidentifikasi dan menjawab kekhawatiran dari pihak-pihak
berkepentingan, pada saat keputusan dibuat. Partisipasi ini dapat meningkatkan
pemahaman proses secara keselu-ruhan, sehingga akan mempermudah untuk
mengkomunikasikan keputusan-keputusan tersebut kepada publik.

• Hambatan-hambatan berhubungan dengan human agency:

o Perbedaan dalam persepsi. Manusia dari segmen masyarakat berbeda atau dari
masyarakat yang memiliki orientasi nilai yang berbeda akan memandang fakta ilmiah
yang sama secara berbeda. Kekhawatiran tentang biaya dan sudut pandang mengenai
cara pengelolaan risiko yang terbaik akan bervariasi antar individu maupun sub-
populasi. Ekspos terhadap bahaya serta komitmen untuk menganalisis risiko akan
berbeda dari orang ke orang. Efektivitas dari komunikasi risiko akan meningkat pada
saat orang menjadi peduli tentang adanya perbedaan persepsi serta alasan-alasan
yang menyebabkan terjadinya perbedaan tersebut.
o Perbedaan dalam reseptivitas/penerimaan. Berdasarkan persepsi risiko yang serupa,
kekhawatiran orang tentang risiko tersebut juga akan berbeda. Sebagian orang akan
menimbang 1% peluang kegagalan suatu teknologi sebagai sesuatu yang dapat
diterima, sedangkan sebagian lain menganggap bahwa peluang kegagalan tersebut
terlalu berisiko.
o Kurangnya pemahaman mengenai proses ilmiah. Kebanyakan orang yang tidak
memiliki pemahaman lengkap mengenai proses ilmiah, bukan semata-mata karena
yang bersangkutan pendidikan formalnya rendah atau kesadarannya terhadap isu-isu
sosial kurang, tetapi karena ketidak-peduliannya terhadap ilmu pengetahuan. Orang
yang berpendidikan tinggipun banyak yang kurang peduli terhadap ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, komunikasi risiko harus menggunakan terminologi-terminologi non-
teknis untuk mengatasi hambatan-hambatan yang berkaitan dengan ketidak-pedulian
(ignorance). Dalam hal ini, komunikasi risiko juga harus dapat memberikan edukasi
kepada publik mengenai proses ilmiah atau ilmu pengetahuan.
o Kredibilitas sumber informasi. Kepercayaan terhadap sumber informasi teknologi baru
merupakan faktor paling penting yang mempengaruhi opini publik. Kepercayaan ini
berhubungan erat dengan persepsi menyangkut keakhlian (expertise), akurasi dan
kekhawatiran berkenaan dengan kesejahteraan masyarakat/publik. Ketidak-percayaan
akan semakin meningkat sejalan dengan kecurigaan terhadap adanya penyimpangan/
bias atau konflik kepentingan. Sekali hilang, kepercayaan ini akan sangat sukar untuk
dipulihkan.
o Efek/pengaruh media. Kebanyakan orang menerima informasi teknologi baru dari
media. Oleh karena hanya sebagian kecil reporter yang memiliki latar belakang kuat

7
mengenai iptek, maka ketergatungan tinggi kepada ilmuwan untuk mempresentasikan
informasi iptek secara jelas dan singkat dengan menggunakan bahasa non-teknis akan
terjadi. Reporter disatu sisi secara etis terikat untuk mempresentasikan informasi
tersebut berdasarkan sudut pandang yang berbeda dengan apa yang dianggap oleh
seorang ilmuwan sebagai kebenaran (truth). Ilmuwan seringkali menuduh media
sebagai penyebab terjadinya kontroversi publik yang seharusnya dapat dihindarkan
seandainya media tidak mempresentasikan pandangan-pandangan dari kelompok
oposisi. Hal ini mengimplikasikan perlunya pelatihan ketrampilan media bagi
komunikator risiko serta perlunya pelatihan iptek bagi reporter.
o Karakteristik-karakteristik sosial. Hambatan bahasa, perbedaan budaya, buta huruf,
hambatan geografis, diskriminasi, eksploitasi kekuasaan dan berbagai karakteristik
masyarakat lainnya akan sangat berpengaruh terhadap persepsi risiko, penerimaan
pesan-pesan risiko, kredibilitas sumber informasi, serta opini mengenai risiko. Oleh
karena itu, perbedaan-perbedaan sosial yang mungkin dapat mempengaruhi persepsi
dan efektivitas komunikasi risiko perlu diidentifikasi secara teliti.

Strategi komunikasi risiko yang efektif

Komunikasi risiko terjadi dalam berbagai konteks yang berbeda. Penelitian dan pengalaman
menunjukkan bahwa strategi komunikasi yang berbeda perlu dirancang untuk konteks yang berbeda-
beda tersebut. Pendekatan sistematis yang harus dipertimbangkan pada saat mengembangkan strategi
komunikasi risiko adalah sebagai berikut:

• Latar belakang/informasi
o Pahami dasar ilmu pengetahuan dari teknologi, risiko dan ketidak-pastian
o Pahami persepsi publik mengenai risiko tersebut, melalui survai risiko, wawancara dan
fokus grup
o Temukan dan simpulkan informasi mengenai risiko seperti apa yang dikehendaki
publik
o Pelihara kepekaan terhadap isu-isu terkait yang mungkin bahkan lebih penting
dibandingkan dengan risiko itu sendiri
o Pelihara kepekaan terhadap perbedaan-perbedaan dalam persepsi, akses informasi,
penerimaan informasi dan konteks sosial.
• Persiapan
o Hindarkan penyederhanaan perbandingan antara risiko yang telah dikenal dengan
risiko baru, karena mungkin saja keduanya tidak akurat
o Kenali dan tanggapi aspek-aspek emosional dari persepsi risiko. Sandman menyata-
kan bahwa risk = hazard + outrage. Hazard adalah kajian teknis dari risiko, sedangkan
outrage adalah respon emosional terhadap hazard analysis. Hazard dan outrage
merupakan determinan kajian (assessment) risiko publik yang sama pentingnya.
o Ekspresikan risiko ke dalam berbagai cara berbeda, tanpa menghindarkan isu-isu
sentral tentang teknologi baru.
o Jelaskan faktor-faktor ketidak-pastian yang digunakan dalam pengkajian risiko (risk
assessment) dan penentuan standar
o Jaga keterbukaan, fleksibilitas dan rekognisi tanggung jawab publik dalam semua
kegiatan komunikasi
o Bangun kepedulian/kesadaran publik mengenai manfaat dan risiko teknologi baru

8
• Diseminasi/distribusi
o Terima dan libatkan publik sebagai mitra resmi dalam perumusan kebijakan teknologi.
Uraikan informasi mengenai risiko/manfaat dan cara-cara pengendaliannya secara
jelas.
o Rasakan atau terima kekhawatiran publik (public’s concern), jangan sampai ditolak/
dihindarkan karena dianggap tidak penting.
o Diskusikan semua isu secara jujur, baik-baik dan terbuka
o Jika menjelaskan data statistik yang dihasilkan dari pengkajian risiko, jelaskan proses
dari pengkajian risiko tersebut terlebih dahulu
o Koordinasi dan kolaborasi dengan sumber-sumber informasi kredibel lainnya
o Penuhi kebutuhan-kebutuhan dari media
• Kaji ulang dan evaluasi
o Evaluasi efektivitas pesan-pesan risiko dan saluran-saluran komunikasi
o Berikan penekanan pada tindakan-tindakan untuk memantau, mengelola dan
mengurangi risiko
o Buat perencanaan secara hati-hati dan lakukan evaluasi terhadap setiap tindakan

Komunikasi risiko berkaitan dengan keamanan pangan

Struktur analisis risiko sebagai model untuk menetapkan standar keamanan pangan terdiri dari tiga
komponen, yaitu pengkajian risiko (risk assessment), pengelolaan risiko (risk management) dan
komunikasi risiko (risk communication) (FAO, 1997). Setiap komponen merupakan bagian terpisah
dengan fungsi dan tanggung jawab unik, namun seperti diperlihatkan pada gambar di bawah ini, ketiga
komponen tersebut saling tumpang tindih dan berbagi area yang sama (overlap and share common
areas). FAO (1997) menekankan pentingnya memisahkan pengkajian risiko dengan pengelolaan risiko
untuk menjamin agar proses pengkajian bersifat independen dan terbebas dari tekanan-tekanan, serta
pengambilan keputusan didasarkan pada ilmu pengetahuan, bukan mitos atau faktor-faktor politis.
Penekanan juga diberikan agar proses tersebut berlangsung secara terbuka dan transparan untuk
mengindikasikan peranan dari komunikasi risiko yang efektif. Paradigma baru komunikasi risiko
menekankan partisipasi dini stakeholders dan publik sebagai sesuatu yang relevan dengan konteks
pergerakan menuju demokratisasi (Slovic, 2000). Keterlibatan partisipatif ini merupakan kunci untuk
membangun penerimaan dan pemahaman keputusan-keputusan kebijakan pemerintah. Model
partisipatif komunikasi risiko secara potensial dapat memfasilitasi proses demokrasi dan meningkatkan
keyakinan serta persetujuan terhadap keputusan-keputusan yang dibuat (Smith and Halliwell, 1999).

Kemampuan untuk mengkomunikasikan secara efektif risiko keamanan pangan atau risiko-risiko yang
dipersepsi maupun yang diinduksi oleh teknologi baru, merupakan komponen integral dari strategi
pengelolaan risiko terpadu (Powell, 2000). Sektor pangan/makanan internasional pada saat ini sedang
menghadapi krisis kepercayaan sejalan dengan semakin meningkatnya kepedulian terhadap risiko-
risiko yang berkaitan dengan pangan/makanan (misalnya E. coli , bovine spongiform encephalopathy –
BSE, dan pangan/makanan yang direkayasa secara genetis). Penggunaan bahan-bahan kimia dalam
pertanian dan teknologi pangan lainnya, teknik manajemen serta kekhawatiran etis (ethical concerns)
semakin mendapat sorotan dan semakin dipertanyakan manfaatnya. Namun demikian, kemampuan
untuk mengaplikasikan solusi berbasis ilmu pengetahuan akan sangat bergantung pada isu-isu persep-
si publik, regulatory environment, kejujuran, keadilan, akuntabilitas dan kepercayaan. Pengkajian risiko
ilmiah teknologi pertanian pangan harus didukung oleh pengelolaan risiko berbasis penelitian dan
kegiatan-kegiatan komunikasi. Dengan demikian, konsumen, media dan lainnya secara seimbang
dapat memperoleh pengkajian berbasis ilmu pengetahuan mengenai manfaat dan risiko suatu

9
teknologi, serta dapat berdampak positif terhadap pengembangan kebijakan publik. Dalam hal ini,
tantangannya adalah menggabungkan/memasukkan persepsi publik ke dalam perumusan/pengem-
bangan kebijakan tanpa meninggalkan peranan kepemimpinan ilmu pengetahuan.

Penilaian publik terhadap risiko sangat peka terhadap banyak faktor. Penelitian di bidang psikologi
telah mengidentifikasi 47 faktor yang berpengaruh terhadap persepsi publik mengenai risiko, termasuk
apakah risiko-risiko tersebut mematikan, tidak terkontrol, menjurus ke bencana dan tidak dapat
dikompensasi oleh manfaat (Covello, 1992). Persepsi dari agen-agen pengendali/pengawas juga
mempengaruhi persepsi risiko. Diskoneksi antara cara publik dan ilmuwan dalam mengukur risiko
dapat menjelaskan mengapa kekhawatiran publik tidak selalu merefleksikan tingkat risiko yang
ditetapkan secara ilmiah, bahkan pada beberapa kasus menjurus pada kesalahan persepsi tentang
risiko yang dimaksud.

STRUKTUR ANALISIS RISIKO

Pengkajian risiko Pengelolaan risiko


• Identifikasi bahaya • Evaluasi risiko
• Karakterisasi bahaya • Pengkajian opsi
• Pengkajian eksposur • Implementasi opsi
• Karakterisasi risiko • Pemantauan & review

Komunikasi risiko

Kemajuan teknik produksi bahan-bahan kimia berakibat langsung pada penggunaan insektisida,
fungisida maupun fumigan dalam kegiatan produksi pertanian/pangan. Keinginan untuk meningkatkan
produktivitas dalam rangka menjawab semakin meningkatnya permintaan pangan merupakan salah
satu kekuatan penghela penggunaan material kimiawi di sektor pertanian. Saat ini, disamping
menyemprotkan pestisida secara eksternal, bahan kimia alami bahkan direkayasa secara genetis ke
dalam tanaman. Diskusi publik mengenai bioteknologi pertanian berkembang hampir serupa dengan
diskusi publik sebelumnya mengenai pestisida. Namun demikian, diskusi tersebut terutama lebih
menyoroti masalah risiko vs manfaat, bukan topik diskusi yang lebih menarik, misalnya mengenai
memaksimalkan manfaat sambil meminimalkan risiko.

Selama dekade terakhir, informasi/pengetahuan telah banyak dihimpun untuk membantu pemahaman
mengenai persepsi publik tentang bioteknologi pertanian, bagaimana media menterjemahkan informasi
ini, dan bagaimana pemerintah, industri serta organisasi-organisasi lain dapat menghubungkan
informasi risiko tersebut dengan berbagai disiplin ilmu. Komunikasi risiko – ilmu untuk pemahaman

10
risiko ilmiah dan teknologi serta bagaimana risiko tersebut dikomunikasikan dalam suatu struktur
sosiopolitis – merupakan disiplin ilmu yang relatif baru. Beberapa koleksi, panduan dan kaji ulang
komunikasi risiko telah dipublikasikan dalam 15 tahun terakhir ini (Covello, Sandman, & Slovic, 1988;
Covello, von Winterfeldt, & Slovic, 1986; Hance, Chess, & Sandman, 1988; Leiss, 1989; Lundgren,
1994; Morgan, 1993; Morgan, et al., 1992; Powell, 2000; Powell & Leiss, 1997; US National Research
Council, 1989).

Soby, Simpson dan Ives (1993) dalam suatu kaji ulang penelitian komunikasi risiko dan kegunaannya
untuk mengelola risiko-risiko yang berkaitan dengan pangan/makanan, telah mengembangkan suatu
konsep siklus pengelolaan risiko. Dalam model ini, kekhawatiran (concern) publik dan stakeholder
lainnya secara aktif disoroti di setiap tahapan pengkajian proses manajemen. Pendekatan integratif
analisis risiko ini dirancang mengikuti tahapan:
• Mendefinisikan masalah dan meletakkannya dalam konteks tertentu
• Menganalisis risiko yang berkaitan dengan masalah dalam konteks
• Memeriksa opsi-opsi yang dapat digunakan untuk menangani risiko
• Mengambil keputusan menyangkut opsi yang akan dilaksanakan
• Melakukan tindakan sebagai implementasi dari keputusan yang telah diambil
• Melakukan evaluasi terhadap hasil dari tindakan

Sesuatu hal yang bersifat fundamental dari pendekatan ini adalah penggunaan komunikasi risiko untuk
mengikut-sertakan stakeholders di seluruh proses. US National Research Council mendefinisikan
komunikasi risiko sebagai suatu proses interaktif dari pertukaran informasi dan opini antara individu,
kelompok serta institusi. Penelitian terakhir mengenai pengelolaan risiko dan komunikasi
mengindikasikan bahwa pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan risiko keamanan
pangan harus sungguh-sungguh memperlihatkan upayanya untuk mengurangi, meringankan atau
meminimalkan risiko tertentu. Pihak-pihak bertanggung jawab ini harus dapat mengkomunikasikan
upayanya secara efektif dan membuktikan bahwa upaya-upaya tersebut secara aktual dapat
mengurangi tingkat risiko. Kondisi pada saat ini yang menyangkut ketidak-percayaan terhadap
regulatory agencies dan industri, terutama di Eropa, membuat komunikasi risiko tidak saja semakin
menantang, tetapi juga menjadi semakin penting.

Peliputan media mengenai pangan/makanan yang direkayasa secara genetik (dan bioteknologi secara
umum) seringkali dipolarisasi menjadi: keamanan vs risiko; ilmu pengetahuan yang semakin
berkembang vs ilmu pengetahuan yang tidak terkontrol; kebersaingan vs keamanan (Powell and Leiss,
1997). Film dan novel telah sejak lama menjejali publik dengan citra ilmu pengetahuan yang lepas
kendali/tidak terkontrol. Pada saat hal ini juga dibarengi dengan tendensi masyarakat Barat yang
menetapkan ekspektasi tidak realistis terhadap suatu teknologi, maka terciptalah lingkungan ideal
untuk berkembangnya ketakutan/keprihatinan publik. Sampai tahun 1994, pada saat rBST dan produk
bioteknologi lainnya muncul di USA, banyak laporan yang menuliskan tentang ilmu pengetahuan yang
tidak terkontrol (out of control). Kondisi ini diperhebat dengan munculnya fim Jurassic Park pada tahun
1993 yang menceritakan teknologi rekombinan DNA sebagai salah satu kegagalan ilmu pengetahuan
yang membahayakan masyarakat. Cerita-cerita lain seperti: Research Skewed: Bioengineered Food
Serves Corporate, Not Public, Needs (Dubey, 1993); Science Is Playing With Our Food (Murray, 1993);
Invasion Of The Mutant Tomatoes (Powell, 1992); dan Genetics Expert Fears Mutant Monsters (1993);
telah memberikan banyak bahan/material untuk editorial kartun yang sebagian besar diturunkan atau
diadaptasi dari metaphor Frankenstein.

Analisis media merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk memahami formasi opini publik
– melihat apa yang dikatakan orang dan apa yang telah diceritakan kepada mereka. Penelitian

11
sebelumnya telah mendemonstrasikan bahwa konsumen di Amerika Utara banyak menerima informasi
ilmu pengetahuan dari media (Powell & Griffiths, 1994; Consumers Association of Canada, 1990;
Nelkin, 1987). Kebergantungan terhadap media ini dapat membantu pendefinisian rasa publik
mengenai realitas (public’s sense of reality) dan persepsi publik mengenai risiko maupun manfaat.
Media tidak hanya merefleksikan persepsi publik mengenai suatu isu tertentu, tetapi juga membentuk
persepsi publik dengan menceritakan kepada masyarakat mengenai apa yang harus dipikirkan.
Dengan demikian, cara-cara yang digunakan media untuk menggambarkan isu-isu sekitar bioteknologi
pertanian dan keamanan pangan dapat mempengaruhi persepsi konsumen. Bagaimana hal ini dapat
diterjemahkan ke perilaku konsumen masih belum ada informasi yang jelas, bahkan cenderung lebih
kontroversial. Walaupun demikian, secara umum disepakati bahwa pengaruh pesan-pesan media akan
sangat bergantung pada konteks sosial dan budaya masyarakat yang menerima pesan tersebut.

Hal yang paling mengkhawatirkan adalah terjadinya diskusi publik mengenai bioteknologi pertanian
yang cenderung mengikuti jejak adopsi secara luas input produksi kimiawi setelah Perang Dunia II,
dimana pendukungnya menganjurkan edukasi yang lebih baik, sedangkan kritikusnya mencemoohkan
nilai kegiatan pertanian produktivitas tinggi. Diskusi lebih terfokus pada pembicaraan risiko vs manfaat,
bukan pada topik diskusi yang lebih mengarah pada memaksimalkan manfaat dan meminimalkan
risiko.

Dalam merespon kontroversi risiko publik (seperti bioteknologi pertanian), politikus, eksekutif
perusahaan dan akademisi mendorong masyarakat agar memperoleh edukasi/pendidikan yang lebih
baik berkenaan dengan hal-hal yang bersifat ilmiah. Hal ini diarahkan untuk mengatasi ketakutan/
kekhawatiran publik yang merupakan salah satu hambatan kemajuan. Strategi retorikal seperti ini telah
sering disarankan oleh promotor teknologi di dalam diskusi-diskusi mengenai risiko teknologi sejak 200
tahun yang lalu. Promotor bahan-bahan kimia pertanian pada tahun 1960an serta promotor enerji nuklir
pada tahun 1970an juga telah memanfaatkan model pendidikan publik (public education model) dan
gagal.

Hasil survai berulang-ulang menunjukkan bahwa orang-orang yang lebih peduli tentang bioteknologi
dan berpendapat bahwa bioteknologi akan lebih menawarkan manfaat, juga berpendapat bahwa
bioteknologi tersebut lebih menimbulkan risiko bahaya (Angus Reid Group Inc., 1999; Environics, 2000;
Frewer, Howard, & Shepherd, 1995; Hoban, 1997). Dugaan bahwa peningkatan/penguatan pendidikan
secara otomatis dapat meningkatkan penerimaan terhadap bioteknologi ternyata tidak tergambarkan
dari hasil survai. Pendapat alternatif lainnya menyatakan bahwa mereka yang memiliki latar belakang
pendidikan lebih baik akan dapat secara lebih kritis mengkaji risiko dan manfaat suatu teknologi baru,
seperti bioteknologi. Dalam alam demokrasi, pemilih (voters) secara rutin akan membuat keputusan
mengenai kebijakan-kebijakan yang sebenarnya tidak mereka miliki detil pemahaman akademisnya.
Konsumen akan terus membuat keputusan mengenai bioteknologi, terlepas apakah mereka memiliki
latar belakang pendidikan yang baik atau tidak.

Beberapa survai di Amerika Utara dan Inggris menemukan bahwa kepercayaan terhadap regulasi
pemerintah (dan industri) berkenaan dengan pestisida (Dittus and Hillers, 1993), maupun produk
bioteknologi (Frewer et al., 1995) merupakan prediktor paling kuat untuk dukungan konsumen. Orang
dapat menaruh kepercayaan atau tidak mempercayai bahwa pestisida dan produk bioteknologi telah
cukup diatur oleh pemerintah. Mereka yang memiliki kepercayaan rendah akan sangat khawatir
mengenai kemungkinan risiko bahaya, sedangkan mereka yang menaruh kepercayaan tinggi akan
mempersepsi adanya manfaat tinggi dari kedua jenis produk tersebut. Secara singkat, kepercayaan
kepada pemerintah dan industri mungkin berpengaruh lebih penting terhadap persepsi risiko
dibandingkan dengan keamanan atau bahaya yang sebenarnya melekat (inherent) pada produk
pestisida atau bioteknologi tertentu.

12
Konsumen memerlukan informasi berasal dari sumber terpercaya yang dapat menjelaskan mengenai
risiko serta langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menangani risiko tersebut, disamping aspek
keamanan dan manfaat dari teknologi bersangkutan. Sebagai contoh, untuk orang Kanada, sumber
informasi yang paling dapat dipercaya untuk makanan, kesehatan dan isu-isu pertanian adalah
kelompok konsumen, kelompok tani dan organisasi nirlaba (Ipsos-Reid, 2001). Penelitian lainnya
mengindikasikan kredibilitas yang tinggi bagi ilmuwan independen (berafiliasi dengan universitas atau
lembaga penelitian publik) dan profesional kesehatan (Earnscliffe Research and Communication,
2001).

Produsen harus tetap konsisten dalam menerapkan praktek pengelolaan yang baik (good management
practices) dan mengkomunikasikannya. Konsumen menginginkan informasi yang jujur mengenai sifat
risiko tertentu. Program-program pengelolaan risiko yang bersifat producer-led merupakan strategi
pengelolaan risiko yang tepat untuk mendemonstrasikan bahwa produsen peduli terhadap
kekhawatiran konsumen mengenai keamanan pangan dan bioteknologi pertanian. Bekerjasama
dengan media dan mengkomunikasikan program tersebut secara dini dapat menguatkan persepsi
kepercayaan.

Dalam suatu penelitian mengenai penerimaan konsumen terhadap tanaman pangan yang dimodifikasi
secara genetik di Ontario, Kanada, jagung manis Bt dan kentang Bt (Bacillus thuringiensis) yang
direkayasa secara genetik, ditanam berdampingan dengan varietas konvensional. Jagung manis Bt
maupun kentang Bt tidak membutuhkan insektisida. Panen jagung dan kentang dipisahkan dan diberi
label, kemudian uji konsumen langsung dilakukan untuk mempelajari preferensi pembelian. Secara
keseluruhan, penjualan jagung manis Bt (680 lusin) ternyata mengalahkan penjualan jagung manis
reguler (452,5 lusin). Survai konsumen mengindikasikan bahwa pengurangan penggunaan pestisida
dan perbaikan rasa serta kualitas mempengaruhi keputusan pembelian jagung manis Bt (Powell et al.,
2002). Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa konsumen dapat menangani pesan-pesan
mengenai risiko. Jagung manis secara jelas diberi label hasil rekayasa genetik, dan latar belakang
informasi mengenai arti rekayasa genetik juga diberikan. Mayoritas konsumen setelah membaca
informasi tersebut ternyata memilih untuk membeli jagung manis yang direkayasa secara genetik.
Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan risiko yang satu dengan risiko lainnya
(pestisida vs bioteknologi), tetapi untuk mengenali kekhawatiran-kekhawatiran yang terjadi di
masyarakat dan memberikan informasi secara terbuka mengenai apa yang dikehendaki konsumen.

Penutup

Beberapa pertimbangan penting untuk komunikasi risiko (misalnya untuk keamanan pangan) di masa
depan adalah sebagai berikut:
• Publik atau konsumen dibagi ke dalam banyak segmen-segmen yang berbeda dan
menunjukkan tingkat upaya pencarian informasi yang berbeda-beda pula. Komunikasi risiko
efektif untuk populasi besar yang heterogen sangat sukar dilaksanakan, bahkan cenderung
tidak mungkin
• Strategi komunikasi risiko dengan target yang jelas sangat diperlukan untuk segmen-
segmen yang berbeda. Kegiatan identifikasi harus ditempuh untuk menentukan kelompok
spesifik yang berisiko (at risk)
• Kelengkapan/ketersediaan informasi tidak selalu menjamin terjadinya perubahan perilaku.
Upaya untuk mempromosikan perubahan perilaku keamanan pangan mungkin lebih sulit
dibandingkan dengan mempromosikan perubahan diet.

13
• Pendidikan mengenai keamanan pangan pada usia dini (melalui kurikulum sekolah) sangat
dianjurkan
• Kepercayaan merupakan sesuatu yang sangat kompleks serta lebih bergantung pada faktor-
faktor sosial dan kelembagaan, dibandingkan dengan persepsi risiko individual
• Tindakan-tindakan yang diambil untuk memperbaiki keamanan pangan secara positif telah
mempengaruhi tingkat kepercayaan konsumen
• Pendekatan baru untuk komunikasi risiko, khususnya peningkatan transparansi dan
keterlibatan publik, juga mengandung kelemahan. Hal ini mengimplikasikan perlunya upaya
perbaikan secara terus menerus
• Konsumen di masa depan tidak hanya akan memberikan perhatian terhadap keamanan
pangan, tetapi juga akan menyoroti masalah nutrisi, kualitas pangan dan isu-isu etikal.

Pustaka

Angus Reid Group Inc. 1999. International awareness and perceptions of genetically modified foods.
The Economist/Angus Reid Poll, 1-5.
Chartier, J. & Gabler, S. 2001. Risk communication and government: theory and application for the
Canadian Food Inspection Agency. Chapter 2: Theoretical aspects of risk communication.
Available at http://www.inspection.gc.ca/englishcorpaffr/publications/ riscomm/ricomm/
ch2e.shtml. Accessed end of 2002.
Consumers. Association of Canada. 1990. Food safety in Canada. Ottawa: Consumers. Association of
Canada.
Covello, V.T. 1992. Risk communication: An emerging area of health communication research. In S.
Deetz, Communication Yearbook (15th ed., pp. 359-373). Newbury Park: Sage Publications.
Covello, V.T., Sandman, P., and Slovic P. 1988. Risk communication, risk statistics and risk
comparisons: A Manual for plant managers. Washington, DC: Chemical Manufacturers
Association.
Covello, V.T., von Winterfeldt, D., and Slovic, P. 1986. Risk communication: A review of the literature.
Risk Abstracts, 3, 171-182.
Dittus, K.L. and Hillers, V.N. 1993. Consumer trust and behavior related to pesticides. Food
Technology, 477, 87-89.
Dubey, A. 1993, May 29. Research skewed. Kitchener-Waterloo Record, p. A7.
Earnscliffe Research and Communications. 2001. Presentation to the CFIA consultation on plant
molecular farming. Ottawa, Canada. November 1.
Environics. 2000, July. Risk/benefit perceptions of biotechnology products (Final Report Pn4593).
Prepared for Health Canada.
FAO. 1997. Risk management and food safety. Report of a Joint FAO/WHO Consultation. FAO Food
and Nutrition Paper No. 65. Rome. 27 pp. Available at
http://www.fao.org/docrep/W4982E/W4982E00.htm.
FAO/WHO. 1998. The application of risk communication to food standards and safety matters. Report
of a Joint FAO/WHO Expert Consultation. FAO Food and Nutrition Paper No. 70. Rome. 46 pp.
Fischhoff, B., Slovic, P., Lichtenstein, S. & Combs, B. 2002. How safe is safe enough? A psychometric
study of attitudes toward technological risks and benefits. In P. Slovic, ed., The perception of
risk. London, Earthscan Publications. 474 pp.

14
Flynn, J. 2002. Nuclear stigma: notes on the social history of radiation. Report to the U.S. Department
of Energy Low Dose Radiation Research Program. Available at
http://www.decisionresearch.org/Projects/Low_Dose/research_reports.html.
Frewer, L., Howard, C., and Shepherd, R. 1995. Genetic engineering and food: What determines
consumer acceptance? British Food Journal, 97, 31-36.
Genetics expert fears mutant monsters. 1993, March 24. Kitchener-Waterloo Record, p. A3.
Greenpeace. 2001. Fishtomato.com. Available on the World Wide Web: http://www.fishtomato.com/.
Hadden, S.G. 2001. A citizen’s right to know: Risk communication and public policy. Battelle Press.
Hance, B.J., Chess, C., and Sandman, P.M. 1988. Improving dialogue with communities: A Risk
communication manual for government. New Brunswick, NJ: Rutgers University Environmental
Communication Research Program.
Hoban, T.J. 1997. Consumer acceptance of biotechnology: An International perspective. Nature
Biotechnology, 15, 232-234.
Ipsos-Reid. 2001, March. New thoughts for food: Consumer perceptions and attitudes toward foods
(Final Report). Wave 1, Winnipeg, Manitoba.
Leiss, W. 1989. Prospects and problems in risk communication. Waterloo, Ontario: University of
Waterloo Press.
Lundgren, R. 1994. Risk comunication: A Handbook for communicating environmental, safety and
health risks. Battelle Press: Columbus, Ohio.
Morgan, M.G. 1993, July. Risk analysis and management. Scientific American, 32-41.
Morgan, G.M., Fischhoff, B., Bostrom, A., Lave, L., and Atman, C.J. 1992. Communicating risk to the
public. Environmental Science & Technology, 26, 2048-2056.
Murray, M. 1993, May 11. How to build a better potato chip. Toronto Star, p. A1.
Nelkin, D. 1987. Selling science: How the press covers science and technology. New York: W.H.
Freeman and Company.
Powell, D.A. 2000. Food safety and the consumer.perils of poor risk communication. Canadian Journal
of Animal Science, 80(3), 393-404.
Powell, D.A. 1992, September 12. Invasion of the mutant tomatoes. Globe and Mail, p. D8.
Powell, D.A., Blaine, K., Morris, S., and Wilson, J. 2002. A comparative analysis of the agronomic,
economic and consumer considerations regarding genetically engineered Bt and conventional
sweet corn and table potatoes on a commercial fruit and vegetable farm in Ontario, Canada.
Manuscript submitted for publication.
Powell, D.A. and Griffiths, M.W. 1994, June. Public perceptions of agricultural biotechnology in Canada.
Paper presented at annual meeting of the Institute of Food Technologists, Atlanta, GA.
Powell, D.A. and Leiss, W. 1997. Mad cows and mother.s milk: The Perils of poor risk communication.
McGill-Queen's University Press.
Sandman, P. 1987. Risk communication: facing public outrage. EPA Journal. Nov., pp. 21-22. Available
at http://www.psandman.com/articles/facing.htm.
Sandman, P. 1993. Responding to community outrage: Strategies for effective risk communication.
American Industrial Hygiene Association.
Slovic, P. 2000. Trust, emotion, sex, politics and science: surveying the risk-assessment battlefield. In
P. Slovic, ed., The perception of risk. London, Earthscan Publications. 474 pp.
Smith,W. & Halliwell, J. 1999. Principles and practices for using scientific advice in government decision
making; international best practices. Ottawa, Canada, Report to the S & T Strategy Directorate,
Industry Canada. Available at http://csta-cest.gc.ca/pdf/bestprac1_e.pdf.

15
Soby, B.A., Simpson, A.C.D., and Ives, D.P. 1993. Integrating public and scientific judgements into a
tool kit for managing food-related risks, stage 1: Literature review and feasibility study (ERAU
Research Report No. 16). Report to the UK Ministry of Agriculture, Fisheries and Food.
Norwich, UK: University of East Anglia.
United States National Research Council. 1989. Improving risk communication. Washington, DC:
National Academy Press Committee on Risk Perception and Communication.

16

You might also like