Professional Documents
Culture Documents
Witono Adiyoga
Rachman Suherman
T. Agoes Soetiarso
Budi Jaya
Bagus Kukuh Udiarto
Rini Rosliani
Darkam Mussadad
2004
I. Pendahuluan
Pada awalnya, nama latin untuk tanaman tomat adalah Solanum lycopersicum L. atau Lycopersicon
lycopersicum L. Pada tahun 1768, Miller mengusulkan nama Lycopersicon esculentum Mill dan nama
tersebut tetap digunakan sampai sekarang. Sistematika tanaman tomat menurut para ahli botani
adalah sebagai berikut (Atheron dan Rudich, 1986; Purseglove, 1974) :
a. Divisi : Spermatophyta
b. Subdivisi : Angiospermae
c. Kelas : Dicotyledonae
d. Ordo : Tubiflorae
e. Famili : Solanaceae
f. Genus : Lycopersicon
g. Species : Lycopersicon esculentum Mill.
Seluruh anggota dari genus Lycopersicon merupakan tanaman setahun atau tanaman tahunan yang
berumur pendek, tanaman berupa semak, diploid dengan kromosom somatis yang berjumlah 24
(Budijaya, 1997).
Menurut sejarahnya tanaman tomat berasal dari Amerika, yaitu daerah Andean yang merupakan
bagian dari negara-negara Bolivia, Chili, Colombia, Equador, dan Peru. Sejalan dengan penemuan
benua Amerika, tanaman tomat juga kemudian dikenal di Eropa (Esquinas dan Alcasar, 1981 dikutip
Purwati, 1997). Di Italia, tanaman ini dikenal sebagai tanaman yang buahnya berwarna merah,
sedangkan di Eropa dikenal sebagai tanaman yang buahnya berjumlah banyak.
Tomat dapat dikategorikan sebagai tanaman sayuran utama yang semakin populer keberadaannya
sejak abad terakhir. Bagian yang dikonsumsi dari tanaman tersebut adalah bagian buahnya. Selain
memiliki rasa yang enak, buah tomat juga merupakan sumber vitamin A dan C yang sangat baik
(Wener, 2000). Disamping itu, kandungan lycopenenya sangat berguna sebagai antioksidan yang
dapat mencegah perkembangan penyakit kanker.
Akhir-akhir ini konsumsi tomat di negara-negara maju semakin meningkat dan sering diasosiasikan
sebagai luxurious crop. Contohnya, di Israel buah tomat merupakan komoditas yang sangat penting
bagi konsumen, sehingga seringkali digunakan sebagai acuan dalam menghitung indeks harga
konsumen. Di negara-negara sedang berkembang tomat sudah mulai menjadi sayuran yang penting,
namun orientasi petani dalam mengusahakannya masih lebih mengacu pada peningkatan produksi
dibandingkan dengan peningkatan kualitas.
Data terakhir dari FAO (2002) menunjukkan bahwa produksi tomat dunia pada tahun 2002 mencapai
109 juta ton dan diusahakan pada luasan lahan sekitar 4 juta hektar (Tabel 1). Perkembangan terakhir
juga menunjukkan bahwa USA adalah negara produsen tomat terbesar di dunia dengan kontribusi
sekitar 10%, diikuti oleh Turki dengan kontribusi sekitar 8%. Sedangkan kontribusi Indonesia terhadap
produksi tomat dunia hanya sekitar 0,5%. Hal ini selain disebabkan oleh kecilnya areal pertanaman
tomat juga oleh tingkat produktivitasnya yang relatif masih rendah.
1
Tabel 1 Areal panen, produksi dan produktivitas tomat dunia serta lima negara penghasil
terbesar.
Dunia A (ha) 3 585 411 3 865 518 3 927 220 3 935 091 4 044 759
P (t) 95 111 656 107 811 495 107 696 582 104 782 317 109 444 554
Y (t/ha) 26,53 27,89 27,42 26,63 27,06
China A (ha) 708 776 778 826 869 355 934 438 1 005 153
P (t) 17 096 915 18 608 594 22 324 767 24 116 211 26 151 121
Y (t/ha) 24,12 23,89 25,68 25,81 26,02
Egypt. A (ha) 177 243 189 411 195 444 181 721 181 000
P (t) 5 753 279 6 273 760 6 785 640 6 328 720 6 350 000
Y (t/ha) 29,07 33,12 43,72 35,02 33,08
India A (ha) 410 000 470 000 460 000 500 000 520 000
P (t) 6 180 000 8 270 000 7 430 000 7 280 000 7 420 000
Y (t/ha) 15,07 17,59 16,15 14,56 14,27
Turki A (ha) 200 000 220 000 225 000 225 000 225 000
P (t) 8 290 000 8 956 000 8 890 000 8 425 000 9 000 000
Y (t/ha) 41,45 40,71 39,51 37,44 40,00
USA A (ha) 170 640 195 540 167 050 161 510 176 730
P (t) 10 009 000 13 310 800 11 558 800 10 001 720 12 266 810
Y (t/ha) 58,65 68,38 69,19 61,93 69,41
Sumber: FAOSTAT
Beberapa hal berkaitan dengan ekonomi pembangunan yang diperkirakan berpengaruh terhadap
produksi dan konsumsi tomat adalah: (i) peningkatan pendapatan per kapita, (ii) urbanisasi, (iii)
perbaikan sarana transportasi, dan (iv) penurunan harga relatif input/masukan produksi. Dalam konteks
pembangunan ekonomi, hal-hal tersebut secara intrinsik erat kaitannya dengan ekspansi dan integrasi
pasar. Sebenarnya hampir tidak mungkin untuk memprediksi secara akurat pengaruh pembangunan
2
ekonomi terhadap produksi tomat. Namun demikian, ada beberapa hal penting yang masih dapat
digeneralisasi. Jika terjadi ekspansi pasar, pembelian input yang bersifat meningkatkan hasil (yield-
increasing inputs), misalnya pupuk dan pestisida, akan tetap memberikan keuntungan bagi usahatani.
Ekspansi pasar juga membuka kemungkinan untuk spesialisasi produksi. Fenomena ini akan diikuti
oleh meningkatnya jumlah petani kecil yang mengusahakan tomat secara padat-input (input-intensive)
untuk dijual ke pasar. Di negara berkembang seperti Indonesia, jika produksi tomat dibatasi oleh
kendala-kendala: kondisi pertumbuhan yang kurang cocok, teknologi yang tidak tepat-guna, harga input
mahal, dan kecilnya peluang pasar, maka proses atau aktivitas pembangunan ekonomi diharapkan
dapat menekan biaya produksi serta menstimulasi produksi dan konsumsi tomat. Generalisasi lainnya
adalah pertumbuhan penduduk pedesaan yang mengakibatkan semakin sempitnya luas lahan garapan
serta semakin tingginya harga tanah, cenderung dapat menstimulasi pengusahaan tanaman-tanaman
berpotensi daya hasil tinggi (high-yielding crops) -- salah satu diantaranya adalah tomat.
Selama periode penanaman 1998 – 2002 terjadi penurunan luas panen dari tahun ke tahun, kecuali di
tahun 2002 (Tabel 2). Tahun 2002 peningkatan luas panen cukup besar yaitu sebesar 14,7 persen
dibanding tahun sebelumnya dan merupakan luas panen terbesar pada periode 1998 – 2002. Pada
tahun tersebut produkstivitas tomat mencapai angka tertinggi, yaitu 8 ton per hektar, sehingga produksi
tomat nasionalpun mencapai angka tertinggi ( 396 208 ton). Tahun 2001 merupakan tahun dengan
luas panen terendah yang juga diikuti dengan produktivitas terendah, kondisi tersebut mengakibatkan
produksi tomat terendah terjadi di tahun tersebut.
Berkaitan erat dengan tingkat adaptabilitasnya, pertanaman tomat di Indonesia tersebar terutama di
daerah dataran tinggi. Tabel 3 menunjukkan perkembangan areal tanam dan produksi di beberapa
propinsi penting penghasil tomat, serta data agregatnya. Berdasarkan data tersebut Propinsi Jawa
barat merupakan sentra produksi terbesar di Indonesia dengan kontribusi sebesar 45 – 61 persen
terhadap produksi nasional selama periode 1998 – 2002. Propinsi lainnya sebagai sentra produksi
setelah Jawa Barat tercatat Sumatera Utara, Jawa Timur dan Bengkulu.
Ditinjau dari produktivitasnya, hasil yang dicapai jauh di atas propinsi-propinsi lainnya, sebagai contoh
pada tahun 2002 produktivitas tomat di Jawa Barat mencapai 22,22 ton per hektar, sementara propinsi
lainnya berkisar antara 2-6 ton per hektar, angka tersebut masih jauh di atas produktivitas rata-rata
nasional yang hanya mencapai 8 ton per hektar. Hal tersebut secara tidak langsung mencerminkan
bahwa proses alih teknologi di sentra produksi Jawa Barat sudah lebih baik dibandingkan dengan
propinsi lainnya.
3
Tabel 3 Areal panen (ha), produksi (ton) dan produktivitas (ton/ha) tomat, 1998-2002.
Indikator penting yang dapat digunakan untuk menjelaskan status perkembangan komoditas tomat
adalah kecepatan serta pola pertumbuhan produksi yang diperagakan oleh usahatani tomat. Disamping
dapat menggambarkan tingkat pertumbuhan yang bersifat konstan, menurun atau meningkat, indikator
4
ini juga dapat mengidentifikasi sumber atau faktor dominan penentu pertumbuhan -- peningkatan areal
tanam, peningkatan hasil/produktivitas atau kombinasi peningkatan keduanya. Lebih jauh lagi, indikator
tersebut dapat pula mengidentifikasi komponen-komponen serta sumber ketidak-stabilan produksi
(Hazell, 1984).
Analisis data tahunan produksi dan areal tanam tomat mencakup periode waktu 1969-1995
menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan rata-rata produksi tomat di Indonesia cukup tinggi yaitu
sekitar 12,63 % dengan pola pertumbuhan produksi yang bersifat meningkat dari tahun ke tahun
(Adiyoga, 1999). Tingkat pertumbuhan produksi rata-rata tomat pada dasarnya dapat dipilah ke dalam
pertumbuhan yang disebabkan oleh peningkatan areal tanam dan peningkatan produktivitas.
Berdasarkan analisis data tahun 1969-1995 pertumbuhan produksi pada tanaman tomat terutama
disebabkan oleh kontribusi peningkatan dari komponen areal tanam. Lebih jauh lagi, keragaman areal
tanam menunjukkan kontribusi yang lebih tinggi terhadap ketidak-stabilan produksi sayuran secara
umum, dibandingkan dengan keragaman produktivitas.
Pola pertumbuhan produksi yang didominasi oleh peningkatan areal tanam (kontribusi areal tanam
lebih besar dibandingkan dengan kontribusi produktivitas), mengandung beberapa implikasi sebagai
berikut: (a) strategi dan kegiatan/usaha yang berhubungan dengan inovasi teknologi/penelitian yang
ada belum dapat memacu pola pertumbuhan produksi berbasis peningkatan produktivitas, atau
program penyuluhan belum berjalan secara optimal, terutama dikaitkan dengan proses alih teknologi di
tingkat petani, dan (b) peningkatan produksi dimungkinkan oleh adanya insentif akibat kebijakan
pemerintah yang berasal dari subsidi terhadap harga masukan dan luaran, maupun penyediaan
infrastruktur pemasaran yang ditujukan agar kebijakan harga tersebut secara operasional berjalan
efektif, sehingga memungkinkan adanya kestabilan profitabilitas relatif dari komoditas yang diusahakan
(Bisaliah, 1986).
Indikator-indikator yang diperoleh dari hasil analisis, memberikan gambaran perlunya strategi
pendekatan pengembangan yang lebih memberikan penekanan pada peningkatan akselerasi
pertumbuhan produksi tomat berbasis peningkatan produktivitas atau inovasi teknologi. Sementara itu,
variabilitas areal tanam menunjukkan kontribusi yang lebih tinggi terhadap ketidak-stabilan produksi
tomat selama periode 1969-1995, dibandingkan dengan variabilitas produktivitas. Hal ini
mengindikasikan masih dominannya pengaruh berbagai faktor, misalnya profitabilitas tomat relatif
terhadap komoditas sayuran lain, kendala ketersediaan lahan siap tanam secara kontinyu, kendala
musim (iklim dan cuaca), dan respon produsen terhadap harga tomat yang bersifat fluktuatif, terhadap
realisasi areal tanam.
Buah tomat dapat dikonsumsi dalam keadaan segar sebagai pengganti buah-buahan atau digunakan
sebagai pelengkap bumbu masak. Hasil survei terhadap 162 orang ibu rumah tangga (Tabel 4)
memberikan informasi, bahwa umumnya rumah tangga sering mengkon-sumsi tomat baik dalam
keadaan segar maupun untuk bumbu. Dilihat dari frekuensi konsumsinya, ternyata tomat merupakan
bahan makanan yang cukup dikenal oleh konsumen rumah tangga, persentase rumah tangga yang
jarang mengkonsumsi tomat sangat kecil.
Kurang lebih 5–10 tahun yang lalu konsumen membedakan jenis tomat untuk konsumsi segar dan
untuk pelengkap bumbu masak. Untuk konsumsi segar konsumen memilih jenis tomat apel dengan
warna yang merah menarik, kulit tebal dan rasa lebih manis. Sementara untuk bumbu konsumen sering
menggunakan jenis tomat sayur dengan warna kulit kuning/oranye, kulit tipis, kandungan biji lebih
5
banyak, serta rasa lebih asam. Namun dari hasil survei tersebut diperoleh informasi, bahwa saat ini
konsumen tidak membedakan jenis tomat yang digunakan untuk konsumsi segar maupun untuk
bumbu.
Di tingkat industri, buah tomat digunakan sebagai bahan baku untuk minuman segar seperti juice,
bahan baku pasta dan bahan baku pembuatan pure tomat. Di tingkat konsumen rumah tangga atau
lembaga, pasta tomat dapat digunakan untuk membuat berbagai jenis makanan. Konsumen rumah
tangga mempunyai pilihan tempat pembelian buah tomat. Dari beberapa tempat penjualan yang ada di
kota Bandung, ternyata yang paling banyak dipilih berturut-turut adalah pasar tradisional, supermarket,
pedagang sayuran keliling dan warung sayur di sekitar kompleks perumahan.
Data konsumsi tomat di Indonesia memberikan informasi mengenai konsumsi di daerah perkotaan dan
pedesaan. Tabel 5 menggambarkan bahwa konsumsi rata-rata tomat per kapita per tahun bagi
penduduk perkotaan cenderung lebih tinggi dari penduduk pedesaan. Walaupun kuantitasnya tidak
terlalu besar, jumlah konsumsi rata-rata per tahun di daerah pedesaan menunjukkan adanya
peningkatan, yaitu dari 0,90 kg per kapita di tahun 1993 menjadi 1,26 kg di tahun 2002. Sementara itu,
perubahan konsumsi di daerah perkotaaan terlihat tidak konsisten. Secara umum, tingkat konsumsi
tomat menunjukkan peningkatan sejalan dengan peningkatan tingkat pengeluaran seperti diperlihatkan
pada Tabel 6.
6
Table 6 Konsumsi kentang di perkotaan dan pedesaan berdasarkan tingkat pengeluaran
Tahun Perkotaan Pedesaan
Keterangan:
o Tingkat pengeluaran kelas rendah adalah sebesar < Rp 20 000 untuk 1990, < Rp. 20 000 untuk 1993, < Rp. 40 000 untuk 1996, < Rp. 80 000
untuk 1999 dan 2002 (kapita per bulan).
o Tingkat pengeluaran kelas sedang/menengah adalah sebesar Rp. 20 000 – 99 999 untuk 1990, Rp. 30 000 – 99 999 untuk 1993, Rp. 40 000 –
149 999 untuk 1996, Rp. 80 000 – 199 999 untuk 1999 dan Rp. 80 000 – 199 999 untuk 2002 (kapita per bulan).
o Tingkat pengeluaran kelas tinggi adalah sebesar > Rp.99 999 untuk 1990 dan 1993, > Rp. 149 999 untuk 1996, > Rp. 199 999 untuk 1999 dan
2002 (kapita per bulan).
Secara keseluruhan, konsumsi tomat domestik dihitung dengan menambahkan kuantitas impor dan
mengurangkan kuantitas ekspor ke kuantitas produksi total. Tabel 7 memperli-hatkan bahwa konsumsi
tomat domestik selama periode 1998 – 2002 perubahannya tidak konsisten dari tahun ke tahun, yang
ditunjukkan oleh peningkatan dan penurunan kuantitas konsumsi. Penurunan konsumsi yang cukup
besar terjadi di tahun 2001, pada tahun tersebut produksi domestik rendah namun tidak diikuti oleh
kuantitas impor yang tinggi. Namun pada tahun berikutnya, konsumsi domestik meningkat cukup tajam,
yaitu sebesar 36,12 %. Sedangkan dibandingkan dengan tahun 1998, konsumsi domestik di tahun
2002 meningkat sebesar 19,21 %.
7
IV. Pemasaran, perdagangan dan standardisasi
Seperti halnya pada komoditas sayuran lainnya, kegiatan pemasaran tomat bertujuan untuk
memindahkan produk dari tangan produsen ke tangan konsumen. Pada umumnya kegiatan produksi
berlangsung di daerah pedesaan, sementara daerah konsumen terletak di perkotaan. Hal ini
memberikan gambaran besarnya kontribusi lembaga-lembaga pemasaran dalam menjembatani
produsen dan konsumen. Hampir seluruh sektor pemasaran tomat ditangani oleh pihak swasta dan
intervensi pemerintah dalam hal ini relatif minimal, khusus terbatas pada penyediaan infrastruktur. Oleh
karena itu, pasar tomat seringkali dianggap beroperasi berdasarkan kekuatan penawaran dan
permintaan.
Dibandingkan komoditas sayuran lainnya seperti kentang, bawang merah dan bawang putih, tomat
termasuk sayuran yang mudah rusak. Oleh karena itu jarang sekali petani tomat yang mempunyai gudang
penyimpanan. Pada umumnya, petani menjual hasil produksi segera setelah panen. Cara penjualan tomat
yang paling sering dilakukan oleh petani adalah dengan cara menimbang berat (kiloan) dan tebasan
(Nurtika., dkk, 1992). Penjualan secara ditimbang dilakukan apabila panen telah selesai. Penentuan harga
jual dilakukan berdasarkan harga kiloan yang berlaku. Hampir seluruh petani di sentra produksi Lembang
dan Pangalengan menggu-nakan sistem penjualan tersebut. Tebasan merupakan cara penjualan yang
dilakukan berdasarkan taksiran hasil produksi. Transaksi dilakukan menjelang panen, sedangkan biaya
pemeliharaan selanjutnya dibebankan kepada pembeli. Sistem tebasan ini banyak dilakukan oleh petani
tomat di daerah Garut Jawa Barat.
Pasar dapat diartikan sebagai tempat terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli. Pengertian pasar di
sini tidak selalu pasar tersebut berwujud bangunan fisik, tetapi cukup dicirikan dengan adanya kontak
antara penjual dan pembeli. Pada umumnya jenis pasar tomat yang ada dapat dibedakan menjadi a) pasar
pengumpul, b) pasar grosir/pasar besar, dan c) pasar eceran (Soetiarso, 1997). Pasar pengumpul tomat di
beberapa sentra produksi seperti Pangalengan dan Lembang tidak mempunyai bangunan fisik sebagai
tempat transaksi. Umumnya transaksi antara pedagang pengumpul dan petani dilakukan di kebun. Pasar
besar/grosir biasanya terletak di berbagai daerah konsumsi di kota-kota besar, para pembeli di pasar grosir
tersebut sebagian besar terdiri dari para pedagang pengecer. Pasar pengecer banyak terdapat di daerah
konsumsi baik di kota besar maupun kota kecil. Dalam perkembangannya, pasar-pasar pengecer di kota-
kota besar dapat dibedakan menjadi pasar eceran tradisional dan pasar eceran moderen (super market).
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kelas sosial konsumen di pasar eceran secara nyata berbeda
dengan konsumen di pasar eceran moderen (Ameriana, 1994).
Sebelum menjual hasil panennya, petani biasa melakukan sortasi (memisahkan/memilih tomat yang
marketable dan non-marketable) dan grading (pada umumnya berdasarkan ukuran /berat tomat).
Grading atau pengkelasan ternyata banyak memberikan keuntungan baik bagi produsen maupun
konsumen tomat, antara lain: 1) memudahkan pembeli untuk mendapatkan tomat sesuai dengan
kualitas yang diinginkan, 2) dapat meningkatkan keperca-yaan konsumen, 3) memberikan kepuasan
kepada konsumen, dan 4) bagi produsen dapat menamba nilai keuntungan yang cukup besar.
Berdasarkan Standarisasi Nasional Indonesia (SNI), grading pada komoditas tomat dapat dibedakan
menjadi tiga kelas yaitu :
- Kelas A : SPL = spesial besar besar (> 150 gram)
- Kelas B : GH = menengah (100 – 150 gram)
- Kelas C : TO = kecil (<100 gram)
Secara umum harga tomat untuk masing-masing kelas berbeda, semakin tinggi kelas grading harga akan
semakin mahal. Namun demikian, generalisasi hubungan harga antar kelas, sukar untuk ditetapkan,
karena terlalu banyaknya kemungkinan kombinasi perubahan penawaran dan permintaan berdasarkan
pengkelasan ini. Terlepas dari hal tersebut, sebagian besar petani dan pedagang mengindikasikan bahwa
8
perbedaan harga antar kelas secara proporsional meningkat/ menurun sejalan dengan
peningkatan/penurunan harga tomat.
Beberapa tipe saluran pemasaran yang menggerakkan tomat dari sentra produksi ke daerah konsumsi
adalah sebagai berikut:
Secara lebih spesifik, lembaga pemasaran yang ada di daerah sentra produksi Pangalengan dan
Lembang Jawa Barat terdiri dari pedagang pengumpul (besar, sedang dan kecil) dan bandar. Jumlah
untuk masing-masing kategori pedagang tercantum pada Tabel 8.
Tabel 8 Lembaga pemasaran di daerah sentra produksi tomat Kecamatan Pangalengan dan
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Jawa Barat.
Lembang 6 9 22 37 9
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, Tahun 2003
Tomat yang dihasilkan dari kedua sentra produksi di atas sebagian besar diperuntukkan bagi
konsumen di luar daerah sentra produksi. Sebagai contoh, tomat dari Kecamatan Pangalengan 30%
diperuntukkan untuk konsumen di Jawa barat dan 70% untuk konsumen di luar propinsi dan ekspor.
Umumnya pedagang pengumpul sedang dan besar merupakan perusahaan yang menampung hasil
panen tomat langsung dari petani, kemudian melakukan kegiatan pengemasan dan bertindak sebagai
pemasok (supplier) ke supermarket, hotel dan restoran. Sedangkan pedagang pengumpul kecil hanya
menampung hasil dari petani dan menjualnya ke bandar, selanjutnya bandar membawa tomat tersebut
ke pasar induk di daerah konsumen.
Pedagang pengumpul dan bandar biasanya memiliki informasi paling lengkap mengenai perkembangan
harga tomat di pasar-pasar perkotaan. Pedagang ini pada umumnya memiliki contact persons di pasar-
pasar tersebut. Berdasarkan informasi ini, para pedagang tersebut tidak saja dapat menentukan harga beli
tomat dari petani, tetapi juga dapat memutuskan ke pasar mana tomat tersebut akan dijual. Petani sering
mengeluhkan bahwa kemudahan bagi pedagang untuk mengakses informasi cenderung memperlemah
posisi tawar petani.
Dari catatan data ekspor tahun 1996–2002 (Tabel 9), Indonesia telah mengekspor komoditas tomat ke
berbagai negara, dengan kuantitas yang bervariasi dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu tersebut,
ekspor tertinggi dicapai pada tahun 2001, yaitu sebesar 4 082 ton atau sekitar 1, 4% dari produksi
domestik pada tahun bersangkutan. Ekspor tersebut terdiri dari tomat segar, tomat pasta, juice, saus
9
dan bentuk olahan tomat lainnya. Tomat segar tercatat paling banyak diekspor, sementara pasta tomat
baru diekspor tahun 1999 dalam jumlah yang relatif kecil. Ekspor saus tomat tampaknya cukup
prospektif, hal ini terlihat dari peningkatan jumlah ekspor dari tahun ke tahun yang cukup besar.
Adapun negara-negara pengimpor tomat Indonesia secara tetap adalah Malaysia, Singapura,
Hongkong dan Filipina. Sedangkan negara-negara yang juga mengimpor tomat Indonesia secara
insidental, meliputi Brunei Darussalam, Italia, Jepang, Belgia, Taiwan, dan Spanyol.
Kuantitas (1000 t)
Tahun Total Segar Pasta/Pure Juice Sauce Olahan lain
Harga (US$/t)
Tahun Total Segar Pasta/Pure Juice Sauce Olahan lain
Sumber: Biro Pusat Statistik (a), berbagai tahun. Ekspor sampai September 2002. Ekspor termasuk:
Kode SITC 05440000 tomat segar
05672100 tomat segar dalam container hampa udara
05672900 tomat segar dalam container lainnya
05673190 tomat olahan lainnya dalam container hampa udara
09842100 tomat saus
09842900 tomat saus lainnya
05673110 tomat pasta atau tomat pure
05992100 tomat juice siap dikonsumsi
05992990 tomat juice bukan untuk eceran
10
Tabel 10 Impor tomat Indonesia, 1996 – 2002
Kuantitas (1000 t)
Tahun Total Segar Pasta/Pure Juice Sauce Olahan lain
Harga (US$/t)
Tahun Total Segar Pasta/Pure Juice Sauce Olahan lain
Sumber: Biro Pusat Statistik (b), berbagai tahun. Impor sampai Agustus 2002. Impor termasuk:
Kode SITC 05440000 tomat segar
05672100 tomat segar dalam container hampa udara
05672900 tomat segar dalam container lainnya
05673190 tomat olahan lainnya dalam container hampa udara
09842100 tomat saus
09842900 tomat saus lainnya
05673110 tomat pasta atau tomat pure
05992100 tomat juice siap dikonsumsi
05992990 tomat juice bukan untuk eceran
11
Kuantitas impor tomat yang tercantum pada Tabel 10, menunjukkan bahwa tomat dalam bentuk pasta
relatif paling banyak diimpor. Pasta tomat tersebut paling banyak diimpor dari negara Turki dan Cina.
Kualitas pasta dari kedua negara tersebut dianggap paling baik oleh industri saus tomat di Indonesia,
terutama dalam hal warna dan kekentalannya. Namun pada tahun 1999 Indonesia tidak mengimpor
pasta. Hal ini disebabkan oleh tingginya nilai tukar dollar pada saat itu sehingga harga pasta impor
meningkat hampir tiga kali lipat. Keadaan tersebut berdampak pada industri-industri makanan yang
menggunakan pasta tomat, sehingga beberapa diantaranya berhenti beroperasi.
Seperti halnya pada ekspor, trend impor selama periode 1996-1996 tidak konsisten. Namun impor
tertinggi terjadi pada tahun 1997 yaitu sebesar 9 020 ton yang didominasi oleh impor pasta tomat,
sedangkan impor terendah terjadi di tahun 1999 yaitu hanya sebesar 410 ton. Untuk tomat segar dan
olahan lainnya negara yang tercatat mengekspor tomat ke Indonesia adalah Malaysia, Australia, USA,
Itali, United Kingdom dan Taiwan.
Salah satu kebijaksanaan operasional pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian
adalah pembinaan mutu dan standardisasi pertanian. Keberhasilan pengembangan pembinaan mutu
dan standardisasi pertanian diharapkan akan mampu menunjang peningkat-an daya saing serta
keberhasilan menembus pasar. Program pemerintah dalam pembinaan mutu hasil pertanian melalui
program standardisasi dan akreditasi sejalan dengan tuntutan konsumen baik di dalam maupun di luar
negeri. Untuk dapat bersaing di pasar yang bebas dan kompetitif saat ini, komoditas pertanian yang
dipasarkan harus benar-benar dapat menarik minat pembeli. Hal ini perlu ditanamkan terhadap pelaku
agribisnis bahwa di dalam produk yang akan dipasarkan haruslah terdapat unsur jaminan kepastian
mutu. Kepastian mutu ini hanya dapat diperoleh melalui penerapan standar. Pada awalnya standar ini
hanya merupakan suatu tuntutan pasar, namun dalam perkembangannya, ternyata standar membe-
rikan banyak sekali nilai tambah bagi petani yang menerapkannya, sehingga mulai dirasakan sebagai
kebutuhan bagi petani.
Dari aspek pertumbuhan dan pengembangan kegiatan/usaha agribisnis, penerapan SNI dapat
memberikan manfaat: (a) mewujudkan tercapainya persaingan yang sehat dalam perda-gangan, (b)
menunjang pelestarian lingkungan hidup, (c) meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan
melalui sistematika dan pendekatan yang terorganisir pada pemastian mutu, (d) meningkatkan citra
dan daya saing petani/pelaku agribisnis, (e) meningkatkan efisiensi di dalam berproduksi, dan (f)
mengantisipasi tuntutan konsumen atas mutu produk dan tingkat persaingan usaha yang telah
mengalami perubahan sehingga pelaku agribisnis dapat menanggapinya melalui pendekatan mutu,
pengendalian mutu, pemastian mutu, manajemen mutu dan manajemen mutu terpadu.
Sesuai dengan Keputusan Presiden nomor: 12 tahun 1991, standar yang berlaku di seluruh wilayah
Indonesia adalah Standar Nasional Indonesia, yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 April
1994. Sebagai tindak lanjut penetapan Standar Nasional Indonesia, melalui Keputus-an Menteri
Pertanian Nomor: 303/Kpts/OT.210/4/1994 tanggal 27 April 1994, Standar Nasio-nal Indonesia sektor
pertanian adalah standar yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian setelah mendapatkan persetujuan
dari Dewan Standardisasi Nasional (yang sekarang menjadi Badan Standardisasi Nasional,
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 13 tahun 1997) dan berlaku secara nasional di seluruh
wilayah Indonesia. Tabel 11 menunjukkan daftar standarisasi untuk tomat segar yang telah ditetapkan
menjadi Standar Nasional Indonesia oleh Badan Standardisasi Nasional, dengan nomor sni 01-3162-
1992.
12
Tabel 11 SNI 01-3162-1992 untuk tomat segar
Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa standarisasi buah tomat masih belum
diterapkan pada pemasaran tomat, khususnya di tingkat domestik. Hal paling umum yang berlaku saat
ini hanyalah sortasi antara buah tomat yang penampilannya baik dengan buah tomat yang rusak.
Kadang-kadang para pedagang juga memisahkan antara buah yang berukuran besar dengan yang
berukuran sedang/kecil.
Harga berfungsi sebagai pengendali arah aktivitas ekonomi sayuran dan berperan sebagai rationing
mechanism untuk suatu produk yang diproduksi pada suatu periode waktu serta menjadi barometer
yang mengukur dimensi perilaku bekerjanya pasar sayuran. Berbagai faktor yang mempengaruhi
penawaran dan permintaan akan selalu berubah, sehingga jalur waktu harga sayuran akan selalu
menunjukkan variasi. Pada kondisi persaingan, fluktuasi harga dapat disebabkan oleh pergeseran
penawaran dan permintaan. Komparasi variabilitas harga di tingkat pasar yang berbeda dapat
memberikan indikasi lokus instabilitas harga. Table 12 membandingkan variabilitas harga bulanan
kentang, tomat, kubis dan siampo di tingkat sentra produksi dan tingkat grosir selama periode 1997-
2001. Koefisien variasi harga tomat ternyata paling tinggi dibandingkan tiga komoditas lainnya di kedua
tingkat pasar.
Table 12 Variasi harga tomat di tingkat sentra produksi (Pangalengan) dan tingkat grosis (PIKJ),
1997-2001
13
Hal ini mengindikasikan bahwa harga tomat kurang stabil dibandingkan dengan harga kentang, kubis
dan siampo. Sifat buah tomat yang mudah busuk, tampaknya memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap tingginya variasi harga. Besaran koefisien variasi harga kentang, tomat, kubis dan siampo di
tingkat sentra produksi secara konsisten ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan di tingkat grosir. Hal
ini mengimplikasikan bahwa produsen harus menghadapi risiko harga yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pedagang besar/grosir. Dari perspektif lain, hal ini konsisten dengan kondisi pasar persaingan
sempurna dimana penawaran jangka pendek komoditas pertanian biasanya relatif inelastis jika
dibandingkan dengan permintaan konsumen (Tomek and Robinson, 1981).
Salah satu kunci sukses pemasaran sayuran adalah pemahaman utuh menyangkut pergerakan harga
musiman suatu komoditas. Perkiraan pola harga musiman dari suatu komoditas dapat diduga dengan
menghilangkan pengaruh trend dan menghitung harga rata-rata bulanan. Perkiraan pola harga
musiman dapat terlihat dengan mengekspresikan rata-rata harga setiap bulan sebagai persentase dari
rata-rata total harga dalam periode waktu tertentu. Tabel 13 menunjukkan pola harga musiman tomat di
tingkat sentra produksi dan tingkat grosir dalam periode waktu 1997-2001. Untuk harga tomat di
tingkat sentra produksi, pada bulan Juli, harga tomat rata-rata ternyata berada 53% di bawah harga
rata-rata total selama periode1997-2001, sedangkan pada bulan Desember harga tomat rata-rata
berada 36% di atas harga rata-rata total selama periode 1997-2001. Pola musiman yang sama ternyata
juga berlaku untuk harga tomat di tingkat grosir. Hal ini mengindikasikan bahwa selama periode 1997-
2001, harga tomat terendah terjadi pada bulan Juli, sedangkan harga tomat tertinggi tercapai pada
bulan Desember.
Tabel 13 Pola musiman harga tomat di tingkat sentra produksi (Pangalengan) dan tingkat grosir
(PIKJ), 1997-2001
Bulan
J P M A M J J A S O N D
Tingkat
Rata-rata harga bulanan (Rp/kg)
Sentra 495,0 448,0 736,2 697,0 778,4 528,8 274,2 284,8 369,0 366,4 649,4 948,0
Grosir 1058,2 1020,6 1350,6 1301,8 1425,2 1271,8 721,6 770,4 820,8 887,6 1259,0 1515,6
Sentra 0,85 0,77 1,27 1,20 1,34 0,91 0,47 0,49 0,64 0,63 1,12 1,63
Grosir 0,95 0,91 1,21 1,16 1,27 1,14 0,65 0,69 0,73 0,79 1,13 1,35
a Dihitung dengan membagi setiap harga rata-rata bulanan dengan harga rata-rata bulanan total selama periode 1997-2001
(Rp. 579,96 pada tingkat sentra produksi dan Rp. 1 116,93 pada tingkat grosir)
14
VI. Karakteristik tanaman, syarat tumbuh, sistem pengelolaan (budidaya), hama-penyakit
Panen.
Karakteristik Tanaman
Berdasarkan tipe pertumbuhannya, tanaman tomat dapat dibedakan ke dalam tipe determinate dan
indeterminate (Budijaya, 1997). Tanaman tomat tipe determinate dicirikan dengan adanya tandan pada
setiap ruas batangnya, misalnya pada kultivar Intan, Ratna, dan Berlian. Sedangkan pada tipe
indeterminate, tandan bunga tidak terdapat pada setiap ruas batang serta pada ujung tanaman
terdapat pucuk muda, contohnya pada kultivar Money maker, Gondol, Santa Cruz dan Kada.
Bunga tanaman tomat berjenis kelamin dua, jumlah kelopaknya lima buah berwarna hijau dan lima
buah mahkota bunganya berwarna kuning. Pada keadaan tertentu, putik dapat menonjol di atas kubah
sehingga tidak terjadi penyerbukan sendiri. Pembuahan terjadi 96 jam setelah penyerbukan, dan buah
masak 45 – 50 hari setelah pembuahan (AVRDC, 1979). Jumlah bunga yang terdapat pada setiap
tandan bunga berbeda antar varietas, selain itu jumlah bunga pada setiap tandan juga berbeda. Buah
tomat sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, warna, kekerasan, rasa dan kandungan bahan padatnya,
hal ini juga sangat ditentukan oleh varietasnya.
Syarat Tumbuh
Tanaman tomat dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi. Lahan yang dapat
dimanfaatkan untuk pertanaman tomat meliputi lahan kering dan lahan bekas sawah. Temperatur yang
baik untuk pertumbuhan tanaman tomat adalah 210-280 C di siang hari dan 150-200 C di malam hari
(Sutarya, dkk dikutip Nurtika dan Abidin, 1997).
Secara umum tanaman tomat tidak memerlukan jenis tanah yang khusus untuk pertum-buhannya. Hal
terpenting yang perlu dimiliki adalah kandungan lempung serta drainase yang baik (Hidayat, 1997).
Derajat kemasaman tanah (pH tanah) yang diperlukan untuk pertanam-an tomat berkisar antara 5,5
sampai 6,5 sehingga tanah yang mempunyai pH tanah terlalu rendah perlu diberi kapur dolomit atau
kaptan (CaCO3), yaitu 3 – 4 minggu sebelum tanam.
Konsumsi air pada tomat mengikuti kurva sigmoid. Pada tanaman tomat yang masih muda kebutuhan
air masih sedikit, meningkat sedikit demi sedikit pada saat tanaman berbunga dan mencapai tingkat
maksimum pada fase pematangan buah. Untuk beberapa saat, konsumsi air stabil dan setelah itu
terjadi penurunan kebutuhan air (Rudich dan Luchinsky, 1986).
Tanggapan tanaman tomat terhadap unsur hara akan berkurang apabila temperatur udara dan substrat
tidak sesuai dengan temperatur optimal yang diinginkan oleh tanaman. Temperatur yang rendah di
sekitar tanaman, di bawah 130 C akan menghambat penyerapan unsur hara dan pertumbuhan tidak
memberikan tanggapan terhadap unsur hara Nitrogen dan Kalium.
Cahaya merupakan faktor yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman tomat, penyerap-an unsur
hara juga dipengaruhi oleh cahaya. Penyerapan unsur hara yang maksimal oleh tanaman tomat
tercapai apabila pencahayaan berlangsung selama 12 sampai 14 jam per hari, sedangkan intensitas
cahaya yang dikehendaki adalah 0,25 mj/m2 per jam (Kuo., dkk. 1979l; Adams, 1979; Aung, 1979).
15
Tanaman tomat yang masih muda memerlukan kelembaban udara yang relatif tinggi (95%) dapat
merangsang pertumbuhan. Namun demikian kelembaban yang relatif tinggi juga dapat merangsang
pertumbuhan mikrroorganisme pengganggu tanaman.
a. Persemaian
Sebelum tanaman tomat ditanam di lapangan diperlukan penyemaian terlebih dahulu. Media
persemaian terdiri dari campuran tanah + pupuk kandang steril dengan perbandingan 1 : 1. Tempat
(persemaian diberi naungan) atap plastik bening agar benih tidak rusak karena hujan atau sinar
matahari yang berlebihan. Atap menghadap ke arah timur agar tanaman mendapat sinar matahari
yang cukup.
Setelah tempat persemaian siap, benih disebar merata di atas media persemaian, kemudian ditutup
dengan daun pisang. Untuk keperluan penyiraman, daun pisang dapat dibuka terlebih dahulu. Setelah
lima hari daun penutup dibuka, bibit dipindahkan ke dalam bumbunan daun pisang yang berisi media
tumbuh. Setelah berumur tiga minggu, tanaman dapat dipindahkan ke lapangan.
b. Persiapan lahan
Pengolahan tanah diperlukan bila kepadatan, kekuatan agregat dan aerasi tanah tidak dapat
mendukung penyediaan air dan perkembangan akar tanaman. Sistem guludan tidak selalu diperlukan
pada pertanaman tomat, khususnya pada lahan kering yang mempunyai struktur tanah remah. Teknik
pertanaman dengan menggunakan guludan sangat baik dilakukan untuk penanaman di musim
penghujan, karena drainase akan lebih baik.
Cara bertanam tomat ada dua cara yaitu sistem bedengan dengan dua baris tanaman untuk setiap
bedengan dan sistem guludan dengan satu baris tanaman. Cara bedengan umumnya dilakukan di
daerah dataran rendah dan medium, sedangkan cara barisan tunggal biasa dilakukan di dataran tinggi.
Setelah tanah dicangkul dan diratakan, dibuat guludan dengan lebar 60 cm atau bedengan dengan
lebar 1,20 cm sampai 1,60 cm. Selanjutnya di atas guludan atau bedengan dibuat lubang tanaman
sesuai dengan jarak tanam yaitu jarak lubang antar barisan 60 – 80 cm, jarak lubang dalam barisan 40
– 50 cm, sehingga diperoleh jarak tanam 60 cm x 50 cm atau 80 cm x 40 cm (Sutarya., dkk, 1995).
c. Penanaman
Pupuk kandang yang telah matang diberikan sebelum tanam dengan cara memasukkan ke setiap
lubang tanam, kemudian pupuk buatan diberikan di atas pupuk kandang kemudian ditutup tanah.
Pupuk kandang dan pupuk fosfor (TSP) diberikan sekaligus sebelum tanam bersama-sama dengan
setengah dosis pupuk Nitrogen dan setengah dosis pupuk Kalium. Sedangkan setengah dosis pupuk
Nitrogen dan Kalium sisanya diberikan setelah tanaman berumur 3 – 4 minggu, dengan cara ditugal.
Bibit yang telah siap tanam dari pesemaian ditanam dalam lubang yang telah disediakan. Setelah
berumur 3 minggu, tanaman diberi turus khususnya untuk tanaman indeterminate. Sedangkan pada
tanaman tomat determinate biasanya tidak diberi turus.
16
d. Pemupukan
- Musim kemarau: pupuk kandang dosis 15 ton/ha ditambah pupuk buatan majemuk NPK 15-
15-15 sebanyak 600 kg/ha.
- Musim penghujan: pupuk kandang dosis 30 ton/ha dan NPK 15-15-15 sebanyak 1000 –
1200 kg/ha (Nurtika, 1984; Sutapradja, 1979).
- Penggunaan pupuk tunggal yang dianjurkan berkisar 100-180 kg N, 50 – 150 kg P2O5/ha
dan 50 – 100 kg K2O/ha. Kisarannya akan semakin meningkat untuk penggunaan di musim
penghujan (Sahat, 1989; Satsijati, 1980; Hilman dan Suwandi, 1989; Nurtika, 1992).
- Sumber pupuk Nitrogen yang paling baik adalah berasal dari ½ Urea + ½ ZA, sumber Fosfor
berasal dari TSP dan sumber Kalium berasal dari KCl, ZK atau Kamas (Nurtika dan
Sumarna, 1992; Nurtika dan Sumarni, 1992).
- Penanaman tomat di atas tanah yang berpH rendah, sebaiknya dilakukan pengapuran, yaitu
dengan memberikan Dolomit sebanyak 1,5 ton/ha (Suwandi, 1982) atau CaO3 4 ton /ha
(Nurtika dan Suwandi, 1992).
- Pupuk daun dapat diberikan dua minggu sekali, mulai tanaman berumur 3 - 7 minggu. Jenis
pupuk daun yang dianjurkan diantaranya Bayfolan, Gandasil, Vegimax, Massmikro. Dalam
aspek budidaya tanaman tomat, untuk mengatasi masalah fruitset penggunaan zat pengatur
tumbuh Ergostim 1,0 ml/lt atau Atonik 1,5 ml/lt dapat meningkatkan hasil buah tomat sebesar
30% (Sumiati, 1990; Sumiati dan Hilman, 1990).
e. Pemangkasan
Pemangkasan umumnya dilakukan terhadap tanaman tomat tipe indeterminate. Pembuangan tunas
samping yang tidak produktif dilakukan secara rutin, dengan meninggalkan dua cabang utama, dan
jumlah tandan 2 + 3 tandan atau 3 + 4 tandan. Sedangkan pertumbuhan tanaman ke atas dihentikan
dengan memotong tunas pucuk apabila telah dicapai jumlah tandan buah yang diinginkan.
f. Penggunaan mulsa
Mulsa berguna untuk mereduksi evaporasi dan aliran permukaan, menjaga kelembaban tanah dan
menekan pertumbuhan gulma. Disamping itu juga dapat menahan percikan air hujan yang deras,
sehingga dapat menekan gugurnya bunga dan buah serta menekan kemungkinan timbulnya penyakit.
Jenis mulsa yang dapat dipakai adalah mulsa jerami, mulsa plastik bening dan mulsa plastik hitam.
Namun dalam perkembangannya mulsa plastik hitam paling banyak digunakan oleh petani.
Berbagai macam media tumbuh telah banyak dikembangkan dalam kultur hidroponik seperti pasir,
kerikil, fertilite, vermekulite, dan rockwool (Marvel, 1974; Schippers, 1979; Jensen, 1990). Demikian
juga berbagai formula larutan nutrisi standar telah dilaporkan memberikan hasil yang cukup baik, tetapi
masih perlu dimodifikasi untuk mendapatkan larutan formula yang lebih efisien.
Larutan nutrisi yang dapat digunakan dalam kultur agregat sistem hidroponik ada 2 macam:
17
2) Nutrisi modifikasi :
Penggunaan larutan standar, namun unsur N dan K yaitu Ca(NO3)2.4H2O, KNO3 dan KH2PO4 diganti
dengan pupuk 0,425 gr/lt Urea, 2,3 gr/lt KCl, dan 2 gr/lt ZA.
Campuran media kuntang + pasir merupakan media tumbuh yang paling baik untuk pertumbuhan dan
hasil buah tomat. Campuran ini lebih baik jika dibandingkan dengan pemakaian kuntang saja. Adapun
yang dimaksud kuntang adalah sekam padi yang telah diarangkan (smoked rice husk). Dari
penggunaan sistem hipdroponik tersebut menunjukkan, bahwa tanaman tomat dapat tumbuh dan
menghasilkan buah dengan baik walaupun tanpa menggunakan tanah sebagai media tumbuhnya.
Secara ringkas sistem budidaya tanaman tomat dapat di lihat pada Tabel 14.
Pemupukan :
a. Kapur Dolomit (ton/ha) 1,5 4,0
b. Pupuk kandang
- kuda (ton/ha) MH : 30 -
MK : 15 -
- domba (ton/ha) 30 30
c. Pupuk buatan
-N (kg/ha) 100 90 –135
- P2O5 (kg/ha) 100 100 – 135
- K2O (kg/ha) 50 50 – 100
- NPK 15-15-15 (kg/ha) MH : 1000 –2000 -
MK : 600 -
d. Pupuk daun Massmikro Massmikro
Pemeliharaan :
a. Pemangkasan Tunas samping dan tunas Tidak dipangkas
pucuk dibuang, dibiarkan 2
cabang utama dan 5 tandan
b. Turus Menggunakan turus Tidak menggunakan turus
c. Mulsa Mulsa plastik hitam Mulsa plastik hitam
d. Naungan Plastik bening Plastik bening
18
Hama dan Penyakit
Walaupun belum ada data secara rinci dan lengkap mengenai kehilangan hasil tomat akibat serangan
hama dan penyakit, tetapi kehilangan hasil tersebut ternyata cukup besar. Sebagai contoh, kehilangan
hasil akibat serangan ulat buah (Helicoverpa armigera Hubn.) diperkirakan dapat mencapai 56%
(Setiawati, 1990). Keadaan tersebut mendorong para peta-ni tomat melakukan upaya pengendalian
secara preventif dengan menggunakan pestisida secara intensif. Hasil penelitian Ameriana (2004)
menunjukkan, bahwa petani tomat di Lembang dan Pangalengan melakukan aplikasi penyemprotan
pestisida sebanyak 21 – 25 kali per musim tanam, dengan konsentrasi di atas anjuran. Hal tersebut
disebabkan karena menurut petani kegagalan panen yang diakibatkan serangan hama dan penyakit
mempunyai probabilitas yang cukup tinggi. Jenis hama dan penyakit yang banyak menyerang tanaman
tomat adalah sebagai berikut :
Hama
Gejala serangan: ditandai dengan terpotongnya tanaman pada pangkal batang, sehingga tanaman
mati muda.
Gejala serangan: Larva H. amigera melubangi buah tomat. Buah tomat yang terserang busuk dan
jatuh ke tanah. Kadang-kadang larva menyerang pucuk tanaman dan melubangi cabang-cabang
tomat.
Gejala serangan: Nimfa dan serangga dewasa mengisap cairan sel pada aun, merusak sel
dan jaringan daun. Gejala serangan berupa bercak nekrotik.
Gejala serangan: Pada daun oleh larva instar satu dan dua berupa bercak-bercak putih
menerawang. Serangan oleh larva dewasa menyebabkan daun berlubang-lubang. Gejala
serangan pada buah ditandai dengan timbulnya lubang tidak beratuan.
Gejala serangan: kerusakan yang diakibatkan oleh larva Liriomyza sp dapat mengurangi kapasitas
fotosintesa serta dapat menggugurkan daun pada tanaman muda. Di darah tropika tanaman yang
terserang hama ini seperti terbakar.
Penyakit
Gejala serangan : tanaman tomat menjadi rebah, banyak terjadi pada saat pertanaman ada
di pesemaian.
19
b. Penyakit bercak daun Septoria (Septoria lycopersici Speg.)
Gejala serangan: terdapat bercak-bercak sirkuler (lingkaran) pada daun, batang dan petiol.
Bercak ini biasanya berwarna ke abu-abuan dan dikelilingi warna hitam, bagian tengah
bercak terdapat bintik hitam.
Gejala serangan: Terdapat bercak-bercak pada daun, batang dan buah tomat. Bentuk bercak
sirkuler, berwarna coklat tua sampai hitam.
Gejala serangan: daun yang terserang penyakit ini menunjukkan bercak yang tidak beraturan,
daunnya agak basah. Bercak bertambah lebar bilamana cuaca sangat lembab. Buah tomat yang
terserang menunjukkan bercak-bercak berwarna coklat kehijauan, sedikit bergelombang an basah.
Gejala serangan: daun tomat yang terserang menjadi “bulukan”, daun berwarna hijau kekuningan.
Gejala serangan: Menyerang buah matang. Gejala awal tampak bercak-bercak kecil yang
berbentuk bercak melingkar. Bercak dapat melebar sampai mencapai diameter 12 mm. Kadang-
kadang bercak yang satu bergabung dengan yang lainnya, sehingga menutupi seluruh permukaan
buah yang terserang.
Gejala serangan: tanaman tomat yang terserang menjadi layu. Daun yang terserang menunjukkan
warna kuning, berbentuk V dari bagian sisi daun. Tanaman yang terserang penyakit ini tidak
langsung mati, tetapi daun-daun yang tua menjadi kuning dan mati.
Gejala serangan: tanaman tomat yang terserang penyakit ini menunjukkan layu dan kemudian mati.
Fusarium menyerang akar tanaman pada bagian pembuluh kayu.
Gejala serangan: daun-daun tanaman menjadi layu, yang dimulai dari pucuk daun. Tanaman
tampak seolah-olah kekurangan air.
j. Penyakit mosaik
Penyebab: disebabkan oleh salah satu atau gabungan berbagai jenis virus seperti virus tomat
mosaik (tomato mosaic virus = ToMV), virus mosaik tembakau (tobbaco mosaic virus = TMV), virus
mosaik ketimun (cucumber mosaic virus = CMV), virus kentang Y (potato virus Y = PVY) dan
virus X kentang (potato virus X = PVX).
20
Gejala serangan: Pertumbuhan tanaman relatif lebih kerdil. Daun tomat menjadi belang atau
mosaik yang bervariasi antara hijau tua dan hijau muda atau hijau kekuningan. Gejala sering diikuti
dengan perubahan bentuk daun menjadi lebih panjang, pendek atau menggembung seperti blister.
k. Penyakit kuning dan daun menggulung (tomato yellow leaf curl virus = TYLCV).
Gejala serangan: Tanaman yang terserang menjadi kerdil dengan arah cabang dan tangkai daun
cenderung tegak. Anak daun kecil-kecil, mengjerut dan sering memperlihatkan bentuk cekungan
pada pinggiran daunnya dengan atau tanpa warna kuning. Bunga dan buah sering tidak terbentuk,
kalaupun ada buahnya jarang dan ukurannya kecil.
Gejala serangan: tanaman tomat yang terserang membentuk “gall” (benjolan-benjolan) pada silem
akar-akar tanaman. Daunnya berwarna pucat, klorotik, pertumbuhannya merana serta diikuti
matinya daun-daun tua.
Panen
Tomat merupakan tanaman yang dipanen berkali-kali. Rata-rata pada satu kali pertanaman tomat
dapat dipanen sebanyak 8 – 10 kali, namun jika pertumbuhan baik dapat mencapai 15 kali. Petani
tomat membedakan tiga tingkat kematangan saat dipetik, yaitu hijau tua, merah muda (pecah warna)
dan merah tua (Marpaung, 1997). Buah yang mencapai kemasakan hijau tua ditandai apabila warna
gading mulai tampak pada ujung buah, di sekitar biji terdapat lendir licin, dan jika buah dipotong maka
biji-biji tersebut akan menyamping (tidak terpotong).
Cara lain untuk menentukan indeks panen adalah adalah dengan mengadakan perubahan fisiko-kimia
yang terjadi selama proses pematangan buah yaitu berturut-turut: green mature, break, turning, pink,
light red dan red. Perubahan kimia selama proses pematangan buah tomat terjadi pada :
a. Warna: berubah dari hijau menjadi merah.
b. Karbohidrat: dari pati menjadi gula.
c. Asam organik semakin menurun.
d. Level pembebasan asam amino meningkat diikuti kerusakan jaringan-jaringan sel.
e. Aroma: tergantung pada perubahan enzim-enzim dan menurunnya kandungan bahan organik
terlarut untuk kegiatan metabolisme.
Buah tomat dapat dipanen dengan cara dipetik dengan tangan (cara tradisional), panen dilakukan
secara periodik satu atau dua klai seminggu tergantung keadaan buah yang masak.
Pascapanen
Setelah dipanen buah dipisahkan antara yang sehat dan buah yang sakit/rusak. Kemudian buah
tomat dibersihkan cukup dengan menggunakan kain, agar tidak cepat busuk dan penampilan buah
lebih menarik.
Penyimpanan
Syarat penyimpanan buah tomat adalah bersih dan berventilasi untuk sirkulasi udara. Tomat yang
dipetik pada stadia hijau masak (green mature) akan menjadi matang sempurna setelah 12 hari
21
penyimpanan pada suhu kamar (18o – 20o C) dan 29 hari pada suhu dingin (3o – 8o C). Buah tomat
pada tingkat kemasakan stadia merah jambu dan merah tua dapat disimpan pada suhu lebih
rendah. Ruang penyimpanan buah tomat membutuhkan kelembaban tinggi (RH + 90%).
Kemasan buah tomat terbuat dari bahan kayu, bambu, kardus, kantong plastik, dan karung. Untuk
pengiriman jarak jauh biasanya digunakan kemasan peti (kayu, bambu) berventilasi udara, dengan
kapasitas 10 – 50 kg/peti. Setelah dikemas buah tomat siap untuk diangkut ke tempat konsumen
baik yang berjarak dekat maupun berjarak jauh. Pengangkutan dapat dilakukan dengan alat
transportasi truk, kapal laut dan kapal udara.
Dalam beberapa tahun terakhir masalah food safety (keamanan pangan) sudah menjadi masalah
global terutama di negara-negara maju seperti Amerika dan negara-negara Eropa (Nyako dan
Thompson, 1999; Govindasamy dan Italia, 1999). Kepedulian terhadap keamanan pangan pada pada
produk segar di negara-negara maju juga diindikasikan oleh semakin berkembangnya teknik budidaya
yang menghasilkan produk bersih seperti integrated pest management (IPM), LEISA serta pertanian
organik.
Hasil survei di Amerika Serikat menunjukkan adanya peningkatan volume penjualan produk bersih
sebesar 20 – 30% selama tahun 90an, buah-buahan dan sayuran mencapai 45% dari total volume
yang diperdagangkan (USDA, 2000). New Zealand telah mengekspor produk bersih secara rutin ke
negara-negara Eropa dan Jepang (Saunders, 1999). Di Jepang kesadaran konsumen terhadap
gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh makanan cenderung semakin meningkat dan ditunjukkan
oleh adanya permintaan produk bersih sebesar 20% selam tahun 1990an.
Buah tomat, berpeluang mengandung zat-zat kimia berbahaya bagi kesehatan manusia, Namun
demikian hasil survei konsumen di Amerika Serikat menunjukkan, bahwa kandungan residu pestisida
dipersepsi oleh konsumen sebagai zat kimia yang paling berbahaya (Waldrum., dkk. 1996). Residu
pestisida memang tidak menimbulkan dampak negatif yang bersifat langsung terhadap manusia, tetapi
dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan, diantaranya gangguan syaraf,
kerusakan ginjal dan metabolisme enzim serta efek karsinogenik.
Adanya residu pestisida pada buah tomat terutama diakibatkan oleh penggunaan pestisida yang
berlebihan selama proses produksi. Metode pengendalian organisme pengganggu tumbuhan yang
dilakukan oleh petani tomat adalah dengan menggunakan pestisida kimia. Penggunaan pestisida
tersebut cenderung berlebih ditinjau dari jenis, komposisi, takaran, waktu dan interval penggunaannya.
Sebagai kasus pada usahatani tomat, penggunaan pestisida di sentra produksi Pangalengan dan
Lembang dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Penggunaan pestisida rata-rata pada usahatani tomat di dua sentra produksi, 2003.
22
Di kedua sentra produksi tersebut tercatat sekitar 36 jenis pestisida tepung dan 40 jenis pestisida cair
yang digunakan ada usahatani tomat. Namun jenis pestisida yang paling banyak digunakan disajikan
pada Tabel 16.
Tabel 16 Jenis pestisida yang banyak digunakan oleh petani tomat di sentra produksi
Pangalengan dan Lembang Tahun 2003.
Pada prakteknya petani mencampurkan minimal dua jenis pestisida pada setiap aplikasi. Petani
beranggapan bahwa pencampuran akan meningkatkan efisisiensi penggunaan pestisida baik dalam hal
pengendalian OPT maupun tenagakerja. Namun demikian dikaitkan dengan kandungan bahan
aktifnya, maka pencampuran tersebut dapat memberikan efek sinergistik, antagonistik atau netral
(Matsumura, 1976). Akibat ketidak tahuan petani dalam melakukan pencampuran pestisida, sejumlah
petani mencampur insektisida dengan insektisida sehingga dapat menurunkan daya racun pestisida
tersebut (antagonistik). Hal tersebut dapat mendorong petani untuk meningkatkan dosis dan frekuensi
penggunaan pestisida, karena petani merasa bahwa dosis yang telah diberikan kurang efektif.
Dikaitkan dengan masalah keamanan pangan, tomat dapat dikatakan sebagai jenis sayuran yang
cukup berisiko bagi kesehatan konsumen, karena buah yang dikonsumsi terkena penyemprotan
pestisida secara langsung selama proses produksi. Observasi lapangan juga mengindikasikan bahwa
penyemprotan menjelang panen masih sering dilakukan oleh petani. Tabel 17 berikut ini menyajikan
data mengenai deteksi residu pestisida pada sampel buah tomat yang diperoleh dari beberapa lokasi
dengan beberapa periode.
23
Tabel 17 Deteksi residu pestisida pada buah tomat dari berbagai tempat.
Tabel 17 memberikan informasi bahwa aplikasi pestisida yang dilakukan petani tomat meninggalkan
residu pestisida, terutama insektisida, pada tingkat yang sudah dapat dikategorikan membahayakan
kesehatan konsumen. Sebenarnya bahaya residu pestisida yang terkandung pada sayuran, khususnya
tomat, sudah disadari oleh sebagian konsumen terutama konsumen dengan tingkat pendidikan minimal
SLTA (Ameriana., dkk. 2000). Namun konsumen mendapat kesulitan dalam memilih buah tomat yang
bebas residu pestisida, karena secara umum belum ada informasi khusus mengenai hal tersebut.
Untuk meminimalkan risiko tersebut konsumen melakukan pencucian sebelum mengkonsumsinya,
karena konsumen mempunyai keyakinan bahwa tindakan pencucian dapat menghilangkan kandungan
residu pestisida.
Sebagai konfirmasi dari keyakinan konsumen tersebut, maka dilakukan analisis kandungan residu
terhadap sampel buah tomat yang diperoleh dari pasar grosir di Kota Bandung (Tabel 18). Deteksi
residu pestisida dilakukan dengan menggunakan metode bio-assay. Metode tersebut secara kualitatif
hanya dapat menentukan apakah tomat yang dideteksi layak dikonsumsi atau tidak, melalui indikasi
nilai inhibisinya. Untuk insektisida maksimum inhibisi yang diperbolehkan adalah 25% sedangkan untuk
fungisida 50%. Kedua inhibisi tersebut merupakan MRL (maksimum residue limit) masing-masing untuk
insektisida ethyl bisdithiocarbamate, oragnofosfat piretroid, organochlorida dan insektisida yang bekerja
menghambat acetil chalin serta golongan fungisida ethyl bisdithiocarbamate, organofosfat,
organochlorida, triazole folfet, dan sebagainya.
Tabel 18 Analisis Residu Pestisida pada Buah Tomat dengan Berbagai Perlakuan.
24
Tabel 18 tersebut mengindikasikan, bahwa tindakan konsumen dalam mempersiapkan buah tomat
sebelum dikonsumsi masih memberi peluang tertinggalnya residu pestisida, bahkan di atas ambang
batas aman untuk dikonsumsi. Perlakuan pencucian hanya mampu menurunkan kadar pestisida
sebesar 1 – 20,36%. Sementara itu, data pola konsumsi tomat memberikan informasi bahwa sekitar
40% dari konsumen yang diwawancara mengkonsumsi tomat dalam bentuk segar (tanpa dimasak). Hal
tersebut menghadapkan konsumen tomat pada tingkat risiko kesehatan yang cukup tinggi.
Walaupun tidak secara rutin, beberapa supermarket mulai memasarkan tomat bebas residu pestisida
dengan harga yang lebih mahal, namun produk tersebut selalu habis terjual. Kondisi tersebut didukung
oleh suatu studi yang mengkaji mengenai kesediaan konsumen untuk membayar premium bagi tomat
aman residu pestisida (Tabel 19).
Dari 162 orang responden yang diwawancara, 59,26% menyatakan bersedia untuk membayar premium
bagi tomat aman residu pestisida. Artinya, seandainya tomat tanpa informasi mengenai kandungan
residu pestisida dijual dengan harga Rp 2.000 per kg, mereka bersedia membayar lebih dari Rp 2.000
per kg untuk tomat dengan informasi aman residu pestisida. Adapun harga yang sanggup mereka
bayar berkisar antara Rp 2.250 sampai Rp 6.000 per kg atau sekitar 12,50 sampai 200 persen lebih
mahal dari tomat tanpa label. Namun demikian, dari sebarannya, harga premium yang paling banyak
disanggupi oleh responden berkisar antara Rp 2.500 sampai Rp 3.000 per kg (81,24%).
Tabel 19 Kesediaan konsumen untuk membayar premium bagi tomat berlabel aman residu
pestisida (n = 162).
Kesediaan konsumen Persentase (%)
Bersedia membayar premium 59,26
Tidak bersedia membayar premium, alasan : 40,74
o Ketidak tahuan terhadap residu pestisida dan bahayanya
o Ketidak yakinan terhadap kebenaran tomat berlabel
o Keterbatasan finansial
o Keyakinan residu pestisida dapat dihilangkan dengan pencucian
Sumber : Ameriana (2004).
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa tomat berlabel aman residu pestisida sudah mulai mempunyai
segmen pasar tertentu, yaitu konsumen dengan karakteristik tingkat pendapatan sedang-tinggi, umur
relatif muda, jumlah anggota keluarga sedikit, mempunyai tingkat kepedulian yang cukup terhadap
residu pestisida, serta mempunyai keyakinan yang tinggi terhadap tomat aman residu pestisida. Namun
demikian, di sisi lain pihak petani tomat masih enggan untuk mengurangi penggunaan pestisida. Hal
tersebut disebabkan karena: 1) tingginya persepsi petani terhadap risiko kegagalan panen akibat
pengurangan pestisida, 2) kultivar tomat yang beredar kurang tahan terhadap OPT, serta 3) masih
rendahnya penge-tahuan petani terhadap bahaya residu pestisida, baik bagi produk yang dihasilkan
maupun lingkungan.
25
Tabel 20 Harga premium yang sanggup dibayar oleh konsumen untuk tomat berlabel aman
residu pestisida (n = 96)
Secara umum usahatani tomat dapat dikategorikan sebagai usaha yang bercorak komersial. Hal ini
tercermin dari proporsi hasil panen yang sebagain besar diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan
pasar. Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan usahataninya, petani menempuh berbagai cara
diantaranya dengan pengalokasian input produksi seefisien mungkin dan perkiraan/kalkulasi waktu
tanam. Keberhasilan suatu usahatani dapat diukur melalui analisis finansial, yang merupakan
perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dengan tingkat penerimaan yang diperoleh. Besarnya
penerimaan sangat dipengaruhi oleh tingkat produksi serta harga. Usahatani tomat ternyata juga dapat
dikategorikan sebagai usahatani yang cukup berisiko, tercermin dari variabilitas hasil dan variabilitas
harga yang cukup tinggi.
Secara teoritis, setiap pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari bidang
usaha yang dipilihnya. Keuntungan maksimal dapat diperoleh dengan memini-malkan biaya produksi
pada tingkat output tertentu, atau sebaliknya memaksimalkan ouput pada tingkat biaya produksi
tertentu. Selain itu, keuntungan maksimal juga dapat diperoleh melalui substitusi faktor produksi yang
satu dengan lainnya, sepanjang nilai yang dikeluarkan untuk input pengganti lebih kecil dibandingkan
dengan nilai input yang digantikan (pada tingkat output yang sama). Pelaku ekonomi akan terus
meningkatkan produksinya sepanjang penerimaan dari setiap unit ouput masih lebih besar
dibandingkan dengan biaya produksinya (Colman and Young, 1989). Dalam pengambilan keputusan
seperti di atas, pelaku ekonomi membutuhkan indikator kelayakan yang dapat diperoleh dari analisis
biaya dan pendapatan (ABP). ABP dapat mencerminkan perencanaan fisik dan finansial
operasionalisasi suatu usahatani pada periode waktu tertentu. ABP merupakan teknik sederhana yang
paling banyak digunakan dalam analisis ekonomi untuk membantu pengelola dalam mengambil
keputusan usahatani yang dapat memaksimalkan keuntungan (Dillon & Hardaker, 1980).
Tabel 21 menyajikan data usahatani tomat di sentra produksi Pangalengan, dengan periode waktu
yang berbeda. Dari data tersebut terlihat bahwa perbedaan hasil dan harga dari kedua usahatani
26
tersebut cukup mencolok, sehingga secara langsung mengakibatkan adanya perbedaan tingkat
penerimaan. Selanjutnya dari Tabel 21 juga dapat dilihat bahwa komponen biaya pestisida mempunyai
porsi yang paling besar. Hal ini secara tidak langsung mencerminkan masih tingginya ketergantungan
petani terhadap cara pengendalian kimiawi. Pencegahan dan resiko kegagalan panen merupakan
pertimbangan utama yang mendorong petani melakukan penyemprotan rutin dan bahkan pencampuran
pestisida. Hasil penelitian Ameriana (2004) memberikan informasi bahwa keputusan petani dalam
menggunakan pestisida kimia terutama disebabkan karena petani mempunyai persepsi, bahwa risiko
kegagalan panen yang disebabkan oleh serangan hama penyakit sangat tinggi.
Komponen biaya untuk sarana produksi di luar pestisida sekitar 36%, biaya pestisida berkisar antara
30 – 40%, biaya tenaga kerja sekitar 16% sedangkan biaya lain-lain antara 6 – 10%. Informasi input-
output yang dihimpun pada Tabel 18 menunjukkan bahwa R/C rasio untuk kedua usahatani tersebut
Tabel 21 Biaya produksi dan pendapatan usahatani tomat per hektar (Kasus pada usahatani
di sentra produksi Pangalengan, Jawa Barat ).
Uraian Tahun 2003 Tahun 2004
A. Sarana Produksi Jumlah Nilai % Jumlah Nilai %
(Rp 000) (Rp 000)
Bibit 25 000 pohon 3 125 12,12 25 000 pohon 1 875 5,7
Pupuk Organik 12 000 kg 2 400 9,31 18 000 kg 3 600 11,03
Pupuk Buatan
• NPK 850 kg 2 550 9,89
• ZA 500 kg 525 1,61
• SP-36 700 kg 1 085 3,32
• KCl 300 kg 510 1,56
• PPC/GIARO 10 liter 100 0,39 30 liter 390 1,19
Mulsa plastik 10 golong 2 470 7,57
Turus 25 000 buah 1 250 4,85 25 000 buah 1 250 3,83
Bambu 20 batang 100 0,31
Pestisida
• Insektisida 27 liter 2 700 10,47 45 liter 4 320 13,24
• Fungisida 95 kg 4 750 18,43 75 kg 8 625 26,43
• Perekat 20 liter 400 1,55
B. Tenaga Kerja
• Pengolahan tanah 198 hok 1 386 5,38 155 hok 1 085 3,32
• Pemupukan 265 1,03 65 hok 455 1,39
• Pemasangan mulsa - 65 hok 422,5 1,29
• Tanam 50 hok 250 0,97 55 hok 357,5 1,09
• Penyiangan 110 hok 670 2,59 145 hok 942,5 2,89
• Pemasangan turus 53 hok 315 1,22 50 hok 350 1,07
• Pengikatan tomat 40 hok 200 0,77 60 hok 390 1,19
• Pembuangan tunas 60 hok 300 1,16 60 hok 390 1,19
• Pengangkutan 642,5 2,49 80 hok 560 1,71
• Panen dan pascapanen 1 925 7,46 265 hok 560 1,71
C. Lain-lain
Sewa lahan 2 100 8,18 1 ha 1 875 5,84
Penyusutan alat 250 0,97 250 0,76
Transportasi 200 0,77 250 0,76
Biaya Total 25 778 100 32 637 100
o Produktivitas (kg/ha) 25 000 kg 48 500 kg
o Harga jual (Rp/kg) 1 500 2 200
o Pendapatan kotor (Rp/ha) 37 500 000 106 700 000
o Pendapatan bersih (Rp/ha) 11 721 500 74 062 500
o R/C rasio 1,45 3,26
27
> 1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa usahatani tomat dengan alokasi input dan hasil panen yang
dipoeroleh seperti yang tercantum pada Tabel 21 menguntungkan. Nilai R/C rasio untuk kedua
usahatani tomat tersebut mengandung arti bahwa setiap satu rupiah dana yang diinvestasikan dapat
memberikan tingkat pengembalian sebesar Rp 1,45 dan Rp 3,26 masing-masing untuk usahatani tahun
2003 dan 2004. Namun demikian, indikator tersebut perlu diinterpretasikan secara hati-hati, karena
besaran nisbah penerimaan/biaya sangat sensitif terhadap perubahan harga (terutama harga luaran).
Fluktuasi harga kentang seringkali menghadapkan petani pada tingkat harga di bawah titik impas,
sehingga peluang mengalami kerugian yang secara eksplisit tidak tergambarkan pada Tabel 21
sebenarnya juga cukup tinggi.
Pemuliaan
Penelitian pemuliaan dan plasma nutfah tomat periode 1980-2002 yang telah dipublikasikan sebanyak
31 artikel. Penjelasan mengenai penelitian pemuliaan tomat dibagi menjadi penelitian pemuliaan tomat
(meliputi : persilangan, seleksi, introduksi, uji adaptasi, uji daya hasil dan uji resistensi); penelitian
perbenihan tomat (meliputi : uji germinasi dan vigor, penelitian produksi benih dan penelitian
kesehatan benih); serta plasma nutfah tomat (meliputi : evaluasi, koleksi dan karakterisasi plasma
nutfah; eksplorasi, identifikasi dan pelestarian plasma nutfah). Lebih lanjut dijelaskan dalam bentuk
tabel-tabel yang memperlihatkan sebaran topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem tempat
penelitian pada masing-masing bidang pemuliaan tanaman. Beberapa catatan penting yang dapat
ditarik adalah:
1. Persilangan tomat
Penelitian persilangan tomat (4 artikel) banyak dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman
Sayuran Lembang saat yang tepat untuk melakukan persilangan adalah pagi hari (jam 07.00 –
11.00). Pengujian hasil persilangan biasanya dilakukan di lapangan. Berikut hasil kegiatan
persilangan yang telah dilakukan hingga pelepasan varietas:
• Persilangan tomat Monalbo x Venus didapat galur unggul No.240-9-1-6-21 yang merupakan
hasil pemuliaan yang telah dilepas sebagai varietas unggul dengan nama Mutiara.
• Persilangan tomat kultivar Ratna x Gondol hijau dengan cara satu benih keturunan diperoleh 6
galur tomat yang berproduksi tinggi, berkualitas buah baik dan tahan penyakit layu bakteri.
• Pewarisan sifat tebal daging buah tomat dikendalikan banyak gen sesuai hasil pengujian
persilangan Money Maker x Intan yang mempunyai tebal daging buah yang berbeda,
selanjutnya nilai duga heritabilitas sifat tebal daging buah tomat nilainya rendah, artinya banyak
faktor yang mempengaruhinya.
• Pendugaan nilai pewarisan sifat jumlah rongga buah pada tomat melalui persilangan Money
Maker (lokul 2-3) x Intan (lokul 3-8) adalah sedang, artinya seleksi tidak bisa dilakukan pada
generasi awal.
Seleksi galur/varietas tomat ada 2 artikel dengan tujuan seleksi yang berbeda yaitu:
• Seleksi 40 progeni tomat terhadap ketahanan penyakit layu dan berkualitas buah baik di
dataran rendah menunjukkan progeni LV-762 dan PT-4165 mempunyai ketahanan yang sama
28
dengan varietas kontrol (Berlu). Selanjutnya 39 progeni yang diuji cocok untuk bahan baku
tomat olahan.
• Seleksi 14 galur/varietas tomat terhadap kualitas buah menunjukkan F1 Precious dan F1
Dombito merupakan kualitas buah tomat yang terbaik (keras, kandungan bahan padat tinggi,
daging buah tebal).
Introduksi galur/varietas tomat berasal dari banyak negara terutama AVRDC-Taiwan, Amerika, Jepang,
Belanda dan Australia. Introduksi galur/varietas tomat yang telah dipublikasikan sebanyak 2 artikel.
• Introduksi galur tomat asal AVRDC-Taiwan menunjukkan galur P3/0 memberikan hasil
tertinggi (1,0 kg per tanaman) sedangkan yang terendah galur P4/4 (0,5 kg per tanaman).
• Introduksi 28 galur tomat yang diuji di dataran tinggi menunjukkan bobot buah per tanaman
yang tinggi di capai galur Roma VFN, Walter, Santa C.Kada, L4670 dan Gondol hijau sebagai
galur terseleksi.
Uji adaptasi galur/varietas tomat sebanyak 7 artikel yang dilaksanakan di dataran rendah dimana
temperatur lingkungan tinggi, hal ini berhubungan dengan sifat tanaman tomat yang kurang tahan
panas. Sehingga perlu dicari galur/varietas yang toleran terhadap panas.
• Uji adaptasi 5 galur tomat di dataran rendah pada musim penghujan menunjukkan 3 galur
harapan yaitu AV-22, AV-24 dan CL-647 dengan hasil masing-masing 12,3 t/ha, 10,8 t/ha dan
10,0 t/ha.
• Uji adaptasi 3 varietas tomat di daerah aliran sungai Citandui-Ciamis menunjukkan varietas
NTR memberikan hasil lebih tinggi (15,8 t/ha) dibandingkan Intan (11,9 t/ha) dan Ratna (11,7
t/ha).
• Uji adaptasi 22 genotip tomat di dataran rendah menunjukkan hibrida PT-4225 memberikan
hasil tertinggi (3,2 kg pertanaman) dibandingkan Intan (1,8 kg per tanaman).
• Uji adaptasi 32 genotip tomat di dataran rendah menunjukkan hasil tertinggi hanya mencapai
0,6 kg per tanaman pada genotip CLN-65.
• Uji adaptasi 37 genotip tomat di 2 lokasi dataran rendah menunjukkan lokasi Kramat
menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan lokasi Subang. Di Kramat hasil bobot buah
per tanaman berkisar 2,0-4,9 kg, sedangkan di Subang berkisar 0,2-2,1 kg.
• Uji adaptasi varietas tomat pada musim kering di dataran rendah menunjukkan galur dengan
hasil yang cukup tinggi yaitu CL 113 1 a (34,8 t/ha), SCL 4210 (32,9 t/ha), Berlu-6 (30,8 t/ha)
dan CL 1131b (30,5 t/ha).
• Uji adaptasi galur/varietas tomat pada agroekologi specific di Jawa Timur menunjukkan
BPH96-16-02 dapat beradaptasi baik di Tulungagung (85 m dpl) maupun di batu (950 m dpl)
dengan hasil mencapai 24,0 t/ha.
29
layu bakteri merupakan penyakit utama pada tomat baik di dataran tinggi maupun di dataran
rendah, sedangkan penyakit busuk daun juga merupakan penyakit utama pertanaman tomat di
dataran tinggi.
• Uji resistensi 20 galur/varietas tomat di dataran tinggi menunjukkan galur/varietas Ratna, CL-32,
Intan, AV-22 dan AV-15 tahan terhadap patogen P. seudomonas solanacearum penyebab
penyakit layu bakteri pada tanaman tomat.
• Uji resistensi 6 kultivar tomat di dataran tinggi menunjukkan kultivar Intan dan Ratna tahan
terhadap patogen P. solanacearum penyebab penyakit layu dibandingkan Money Maker dan
No. 829 termasuk toleran serta Gondol dan Monalbo termasuk peka.
• Uji resistensi 20 varietas tomat di dataran tinggi menunjukkan tidak ada varietas yang tahan
terhadap patogen Phytophthora infestans. Selanjutnya makin tua umur tanaman makin rentan
terhadap P. infestans.
• Uji resistensi 33 genotip tomat di dataran tinggi menunjukkan tidak ada genotip yang tahan
terhadap CMV, tetapi genotip PT-4172, PT-3027 dan Alcobaca termasuk yang agak tahan.
• Uji resistensi 14 genotip tomat terhadap P. solanacearum menunjukkan reaksi moderat tahan
yaitu genotip VC 48-1, PT 862, CL 1904 dan Berlian.
• Skrining resistensi 14 genotip tomat terhadap P. solanacearum menunjukkan reaksi tahan
adalah genotip Intan (LV 456), Marikit (LV 670), Apel Tasik (LV 1092), Lokal Oedipus (LV 1962),
Lokal Kelang (LV 2099) dan Lokal PB (LV 2100).
Tabel 22 Topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem penelitian pemuliaan tanaman periode
1980-2002.
30
1301; CL 1405; L 187; Gondol
hj., Gecci birce, Sun fast
Akafuku; Camp 4; Camp 8;
Marter 2; Monresist; Camp 1;
Geraldton; Super mark; Bonset
Pusa; Indian; River; Extase
FQ (1) F1 Counter; LSU 34; LSU 42;
Geraldton; LSU 40; PT 858;
Gondol pth. Santa C.K; Money
M; Gondol Hj; Tn.sel.2; F1
Precious; F1 Dombito;
3. Introduksi 2 Money M; Maascross; DT (2)
Pomadoro; Amerika w.; Gondol
; Geraldton; Monalbo;
Monresist; Rostaro
4. Uji adaptasi 7 Intan; Ratna; NTR; AV-24; No. DR (7)
3378; No. 4210; Intan; CL-
1094; CL-555; Int x Venus; Int
x Ohio; Ohio Int; CL-647 a; CL-
647 b; CL-32 d; No. 7796;
Intan 22 B; MR 227 B; GEMI
MOBW; MOR, GR
CLN 475; LV-2099; LV-2100;
LV-762; IG-47; CL-1131
LV-2471; LV-459; LV-1283;
F1FMTT 3; F1FMTT 22;
F1FMTT 95; F1FMTT 13;
F1PT3027; F1PT4121;
F1PT4225; Tnsel-2; Peto-86
Intan, Ratna, Berlian
CL-143; CL-1131a; CL-1131 b;
CL-5915 a; CL-5915 b; CLN-65
CLN-698; CLN-475; LV-2009;
CL-657; CL-5915 c; CL-5915 d;
CLN-657; LV-3465; TN-2;
FMTT 95; FMTT 22; FMTT 33;
FMTT 3
FMTT 138; CLN-475; PT-4172;
PT-4121; PT-4225; TN Sel-2
Peto-86; LV-2471; Intan,
Ratna, Berlian; 16-4-7-4-0; LV-
2894
1 Berlian; GH-4; Berlu 6; SCL DR (1)
4210; LG 154; LG 153; CL
5915; CL 1131 a; CL 1131 b;
CLN 95
5. Uji daya hasil 1 Money M; Maascross; Extase; DR
Jupiter; Surprise; Monresist;
Exgros; Indian; River
6. Uji resistensi 4 (BW) Intan, CL-32, Ratna. AV-22, DT (4)
AV-15,Apel Belgi. Monresist,
Venus, Geraldton, Bonset,
Rostaro, Monalbo, Gondol hj.,
Money M., Basket vee, Tpset
RR, Marvel, Swift 367, F197
TM, Lucy TM.
Gondol, ratna, Intan, Money M,
Monalbo, No. 829
I (P.i) Monterey, Walter, Bony vee, DT (1)
Tamu chico, Santa C.K.,
31
Paceseter a; ; Paceseter b;
Paceseter c; Paceseter d;
Paceseter e; VC82; XP994;
Ranti ; L 1197 a; L1197 b; VF
145 B; LG10; No. 29; No. 30;
Monalbo; Geraldton; Gondol;
West; Verg; Money M.
1 (CMV) CLN-698; CLN-475; PT-4026; DT (1)
PT-4121; PT-4172; PT-4225;
PT-3027; TN-2; UC-82; PETO-;
6; CLN-65; CLN-145; CL-1131
; CL-1131 b; CL-591 a
CL-591 b; ; CL-591 c; CLN-
657 a; CLN-657 b; FMTT-3;
FMTT-33; FMTT-95; FMTT-;
38; CLN-466; LV0762; Gondol
; th; Geraldton; Monalbo;
Money M; Santa C.K; Ranti;
Alcobaca
VC-48-1; PT-862; CL-1904;
Berlian ; AV-24; Ranta, CL ;
094, CL32, Intan, HBWR;
Gondol pth, CL 555,;
Geraldton; Monalbo
7. Pembenihan Tomat
Perbanyakan tanaman tomat pada umumnya dilakukan secara generatif melalui biji. Penelitian
perbenihan tanaman tomat tercatat sebanyak 6 artikel meliputi :
7.1.1. Penelitian germinasi dan vigor benih tomat menurun dengan bertambahnya
konsentrasi garam NaCl.
7.1.2. Tingkat kematangan buah tomat memberikan pengaruh yang nyata terhadap daya
kecambah benih. Tingkat kematangan buah 60-90% merah memberikan kualitas
benih yang terbaik.
7.2.1. Penelitian produksi benih pada 5 kultivar tomat menghasilkan bobot benih per kg
buah berkisar 3,0 – 5,6 g.
7.2.2. Penerapan teknologi produksi benih hibrida tomat secara tepat dapat
menghasilkan benih mencapai 210 kg per ha.
7.2.3. Ukuran benih tomat dengan diameter 3,4 mm menghasilkan pertumbuhan dan
hasil buah tomat yang lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran yang lebih kecil.
32
Tabel 23. Topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem penelitian perennial tanaman
periode 1980-2000.
Plasma nutfah
Evaluasi 122 genotip tomat koleksi Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang terhadap sifat
morfologis tanaman, daya hasil, kualitas buah dan ketahanan terhadap patogen Pseudomonas
solanacearum penyebab layu bakteri pada tanaman tomat.
Eksplorasi dan identifikasi galur/varietas tomat yang paling banyak ditanam petani di dataran tinggi
Lembang sampai tahun 1990an yaitu F1 Tomato 375 (Precious), F1 Farmers 209, F1 Kingkong,
Gondol hijau, gondol putih dan NTR.
Tabel 24. Topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem penelitian plasma nutfah
tanaman tomat periode 1980-2000.
33
Petomech; Market Q; Top
forcer
Marvel; Pink Saturn; No. ; Mikado-Jpn
9BH; UHN 52; UHN 63; UHN Yates-Austr
; 5; Mikado; Mikado red; Belanda
Floradade b; Tropic c; Burnly KY-Taiwan
; Burnly Gen; Duke hy; UC AVRDC
34; Topzet ; Lucy; Vemone; Lokal-Jabar
Tropic ace; Vanguard; L 1; L Balithort
15; L 96; L 127; L 187; L 285; Belanda
L 365; L 366; L 1197; L 1714; Brazil
L 4081; L 4092; L 4094; L ; Australia
095; L 4670; L 4728; CL 9; Belanda
CL11 p; CL11d-64; CL11d- AVRDC
65; CL11d-66; CL143-; Lokal-sumu
CL170-; CL551-; CL607-; Lokal-Jabar
CL847-; CL 1094-; CL1104-; Sumatra
CL1131-; CL1561-; CL1591-; Lokal-Jabar
; CL1591-b; CL1591-c; Lokal –Jabar
CL2729-; CL2731-; CL2749-; Lokal-Jabar
CL2784-; CL2797-; CL2815-; Australia
CL1405-; CL1430
Yc-4; Ip2UKM; Bonset ; Taiwan
Gondol pth.; Gondol hj.; Lembang
Intan; Money M.; Alcobaca; Peru
Geraldton; Monalbo; AV15; Hongaria
Cherry pink; Berastagi; Large Polandia
; ruit; Pimpinelifoli; Garut; Belanda
Wild tomato; Apel Belgi; Balithort
Rostaro; Gemet; No. 3027; Lokal-Jabar
No. 1804FP; VF105-2; TW;
LG154; Lawdrace; Csikos B.;
Astragale; Mewa; Zorta;
LG153 a; LG153 b; Ratna;
Gondol
2. Eksplorasi dan 1 F1 Precious; F1 Farmers; F1 Known-You DT (1)
identifikasi Kingkong; Gondol hj.; Gondol
pth; NTR
Agronomi
Beberapa catatan umum yang dapat ditarik dari penelitian agronomi (Tabel 25) adalah :
• Topik penelitian pemupukan porsinya di atas 50 %
• Jenis kultivar yang digunakan pada penelitian agronomi adalah Berlian (18), Gondol (12) dan
Intan (11).
• Ekosistem yang digunakan untuk penelitian tomat adalah dataran tinggi (29), dataran mdium
(6), rumah kasa (3), dan dataran rendah (13).
34
Tabel 25. Topik, Kultivar dan Ekosistem Penelitian Agronomi 1982 – 2002.
6. Penggunaan pupuk majemuk 2 Mutiara (2), dt, rk, rm BPH 16(2), 1988;18(4), 1989
GH2
7. Penggunaan pupuk N+P+K 2 Gondol, dt, dr BPH 18 (EK.1), 20(1), 1990
TW,Intan,
Berlian,
Mutiara, NTR
9. Penggunaan pupuk daun dan ZPT 11 Gondol (4), dr (5),dt(6), BPH 10(3),1983;
Moneymaker dm 11(2),1984;15(1), (2), 1987;
(2(, TW (2), Sumsel, 17(4), 1989; 19(2),1990;
Berlian (3) Bogor 23(3),(4), 1992; 26(1), 1993;
27(3),1995; J,Hort. 11(1),2001.
10. Penggunaan pupuk organik 10 Mutiara (3), dt(5), dr(3), BPH 18(2), 1989;19(1),(3),20(1),
Berlian (2), dm 1990; 21(2), 1991;21(3),22(4),
Intan, TW- 23(3),24(2),1992;
375(2), Gondol J.Hort.8(1),1998.
(3)
15. Perlakuan cara tanam 10 Berlian (6), dt(4),dm,dr BPH 15(2),1987; 17(4),
Intan, 18(1)18(2),198918 LHP
Ratna,NTR,Go 1990/1991
ndol,
Moneymaker.
16. Hidroponik 4 Cherysitha dt(3),Rk BPH 10(2),1983;
(2),Berlian, 27(2),1995;J.Hort.6(2),1996;LHP
Gondol 1993/1994
TOTAL 54
Keterangan : BPH = Buletin Penelitian Hortikultura, LHP = Laporan hasil Penelitian
J.Hort = Jurnal Hortikultura.
35
Hasil penelitian agronomi per topik sampai dengan tahun anggaran 2002 adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan pupuk N
1.1. Gondol Hijau, dt, Cipanas, mh:
• Penggunaan pupuk Chilean Nitrat sampai taraf 50% nitrogen memberikan hasil tomat
sebaik pupuk Urea dengan taraf 100% nitrogen
1.2. Berlian, dm, Cicalengka, mk:
• Pupuk Chilean Nitrat sampai 1000 kg/ha dapat meningkatkan hasil buah tomat paling
tinggi (22,876 ton/ha) dan nyata peningkatannya dari kontrol (Urea, TSP + KCl)
2. Penggunaan pupuk P
2.1. CL 5915-153, Taiwan, rk:
• Kandungan P daun, serapan P total dan serapan N total meningkat sejalan dengan
peningkatan dosis P (0, 0.3, 0.6, 1.2, 6 g P2O5/4 kg tanah)
• Terdapat hubungan antara hasil buah dengan kand. hara daun pada 2, 4 dan 8 mst.
3. Penggunaan pupuk K
3.1. ………, dt, Lembang, Andosol, mh:
• Pupuk KCl merupakan sumber pupuk Kalium paling ekonomis dibandingkan K2SO4
dan KMgSO4 untuk tan. tomat dengan dosis 50 kg K2O/ha yang diberikan sekaligus
pada saat tanam.
4.2. Berlian, dr, Subang, Latosol, mh, Urea, TSP, KCl 90 kg/ha:
• Kombinasi pemupukan 90 kg N/ha dan 45 kg P2O5/ha merupakan kombinasi paling
efisien dalam menghasilkan bobot buah tomat, sedangkan pemberian dolomit 1,5 t/ha
tidak berpengaruh pada tan. tomat yang ditan. pada tanah Latosol.
36
• Tomat Mutiara (GH4) : NPK 1200 kg/ha dengan jarak tanam 50 x 50 cm (33,47
kg/15 m2) atau NPK 900 kg/ha dengan jarak tanam 75 x 50 cm (18,41 t/ha)
8. Residu Mg
8.1. Intan, dt, Lembang, 20 t/ha pukan, 300 kg Urea, 200kgTSP, 30 kg ZK/ha:
• Pemupukan Magnesium 150 kg/ha yang diberikan dua musim tanam sebelumnya
masih efektif dalam meningkatkan hasil buah tomat, sedangkan sumber Magnesium
yang paling efektif dibandingkan sumber lainnya (MgO, MgSO4 dan terak baja) adalah
dolomit
37
• Pemberian pupuk Vegimax 1,5 cc/20 l air setiap 2 minggu mulai umur 3 – 7 minggu
nyata meningkatkan hasil buah tomat sebesar 80,6% dibanding kontrol maupun zpt lain
(Atonik dan Hydrasil)
38
o Varietas Intan dengan pukan 7,5 t/ha dengan cara tanam baris ganda
serta varietas Mutiara dengan 7,5 t/ha dengan cara tanam baris tunggal
menghasilkan jml dan bobot buah per tan. paling tinggi.
39
• Pemberian dolomit 1,5 t/ha nyata meningkatkan hasil dan kualitas hasil tomat dan
dapat mengatasi masalah kekurangan kalsium dan magnesium yang sudah muncul
pada beberapa tanaman sayuran di lapangan.
• Pengapuran dengan sumber N
15.1.2. Berlian, dt, Lembang, mh 100 kg N/ha (Urea+ZA), 100 kg P2O5/ha (TSP), 100 kg
K2O/ha (KCl):
40
o Aplikasi mulsa plastik hitam atau naungan plastik bening nyata
meningkatkan kualitas buah tomat (kekerasan buah tomat saat dipanen
dan kand. gula total stlh 7 hari).
o Penggunaan zpt (Atonik, Dharmasri, Mixtalol dan Hydrasil) memberikan
efek yang bervariasi terhadap komponen kualitas hasil buah tomat.
15.1.4. Intan, Ratna, NTR, dm, DAS Atas Citanduy, 100 kg (N, P2O5, K2O)/ha, 20 ton/ha
pukan:
o Cara pengolahan tanah (penuh sejajar lereng dan kontur, pada barisan
tan. sejajar lereng dan kontur) tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi
tan. jml buah per tan. dan hasil bersih tomat, sedangkan NTR lebih tinggi
hasilnya dari pada Intan dan Ratna.
15.2. Tumpangsari
15.2.1. Gondol, dt, Lembang, mk:
o Pola tanam 1 (1 brs kc. Jogo dalam 2 brs tomat) dengan kc.jogo ditanam
setelah tomat merupakan pertanaman ganda tomat dan kc.jogo yang
paling menguntungkan. Sistem tumpang sari tersebut meningkatkan
produktivitas lahan tanpa menurunkan hasil tan. tomat
41
o Dosis 100 atau 200 kg N/ha (Urea) tidak berbeda nyata terhadap
pertumb., hasil dan kualitas hasil
16. Hidroponik
16.1. Gondol, dt, Lembang, rk:
• Pasir kali merupakan media tumbuh paling baik untuk tanaman tomat var. Gondol,
sebaliknya dengan kerikil.
17. Gulma
17.1. Intan, dm, Rancaekek, mk:
• Pengendalian gulma terbaik adalah penyiangan 2 x (1/3 umur 30 hst dan 2/3 umur 60
hst), sedangkan penyiangan terus menerus (bersih dari gulma) menghasilkan buah
sehat yang rendah.
Hama Penyakit
Beberapa catatan umum yang dapat ditarik dari hasil-hasil penelitian hama dan penyakit pada
tanaman tomat selama kurun waktu 1982-2002 adalah sebagai berikut:
• Topik penelitian penyakit proporsinya lebih besar (79.5 %) dibandingkan dengan penelitian hama.
42
• Topik penelitian yang dominan adalah mengenai pengendalian kimiawi (efikasi) dan pemanfaatan
tanaman resisten.
• Tiga jenis kultivar yang dominan digunakan adalah Gondol, Intal, dan Ratna.
• Ekosistem yang digunakan untuk penelitian tomat adalah dataran tinggi (26), dataran medium (2),
dataran (3), laboratorium/rumah kaca (8).
Tabel 26 memperlihatkan penelitian-penelitian hama penyakit yang telah dilakukan selama periode
1982 – 2002.
Tabel 26. Topik, Varietas dan Ekosistem penelitian Proteksi Tomat (1982-2002).
No. Topik Σ Komponen Varietas Lokasi
Artikel Pengendalian
Hama
1. Pengendalian 8 Kehilangan hasil (2) Gondol DT (4)
Helicoverpa armigera Daur Hidup (1) Putih, Intan, DM (1)
P. Kimiawi/Efikasi (2) TW 375, Berlian, LV-2471 dan DR (@)
P. Biologi (1) Artaloka Laboratorium (1)
P. Biologi +
P. Kimiawi (1)
P. Kultur Teknis (1)
Penyakit
2. Nematoda Bengkak 12 Kehilangan hasil (1) Rutgers (2); Ratna, Gondol, DT (8)
Akar Meloidogyne Interaksi Nematoda + Atkinsor, RV 12, PI 126930, Laboratorium
spp Penyakit (4) Gondol Hijau (2), MM Extra (4)
P. Kimiawi/efikasi (2) NVFe, Nematex VFN
P. Fisik (2)
P. Biologi (1)
P.Tanaman Resisten (1)
P. Kultur Teknis (1)
3. Phytophora infestans 2 P. Kimiawi (1) Gondol (2), Intan, Ratna, DT (2)
P. Tanaman resisten (1) Moneymaker, Monalbo, Ranti,
VC 82, XP 994, West Virginio,
Monresist
4. Alternaria solani 1 P. Kimiawi/efikasi (1) Intan DR (1)
5. Leveilulla 1 P. Kimiawi/efikasi (1) Moner maker DT (1)
taurico(Bercak
bertepung)
6. Fusarium oxysporum 2 P. Biologi (1) Monery maker, Gondol DT (1),
P. Kultur Teknis (1) R. Kaca (1)
7. Pseudomonas 10 Kehilangan hasil (1) Gondol (2), Monalbo (2), Intan DT (9)
solanacerum P. Kimiawi/efikasi (2) (2), Ratna (2), Money maker (3), DM (1)
P. Tanaman resisten (5) Apel balqi, Monresist, Venus,
P. Biorasional (2) Geraldton, Bonset, Rostaro,
Gondol hijau (3), Boshet voc,
Toset RR, Marvel, Lucy TM,
Swift 367.
8. Virus 3 Identifikasi/Deteksi (3) Gondol (2), Intan, Topset RR, Laboratorium
Delisa, Elfira, Virosa, Tropita
dst. Ada 41 varietas.
39
Secara rinci hasil-hasil penelitian hama penyakita pada tanaman tomat adalah sebagai berikut :
43
1. Helicorverpa armigera
1.1. Daur hidup dan kehilangan hasil oleh H. armigera
• Daur hidup H. armigera berkisar antara 52-82 hari. Daur hidup pada musim kemarau
lebih pendek dibandingkan pada musim penghujan, lama hidup stadia yang merusak
tanaman (larva) 12-23 hari. kemampuan bertelur 19-159 butir dengan daya tetas 63-
82%.
• Kepadatan populasi 5 larva/tanaman dapat menyebabkan kehilangan hasil 36,43%.
• Fase kritis tanaman tomat terhadap serangan H. armigera terjadi pada umur tanaman
47 HST (di dataran tinggi).
• Kehilangan hasil buah tomat akibat serangan H. armigera mencapai 32,37%-56,94%.
Kehilangan hasil oleh H. armigera pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan
musim penghujan.
1.2. Pengendalian Kimiawi (Efikasi)
• Insektisida yang pernah diuji efikasinya terhadap H. armigera antara lain: asefat 75 SP,
Atobran 50 EC (Chlorfluazuron), Teflubenzuron (penghambat kitin), Decis 25 FW
(Deltametrin), Sumicidin 5 EC (fenvalerat), Decis 25 EC (deltametrin), Baytroid 50 EC
(Siflutrin), Hostathion 40 EC (Triazofos), Bayruzil 250 EC (Quinolfos) interval aplikasi 7
hari sekali.
• Aplikasi insektisida pada umur 40 HST sebelum tanaman tomat mencapai fase kritis
(47 HST), dapat menghemat insektisida sebesar 60% dan tetap efektif terhadap H.
armigera.
1.3. Pengendalian Biologi
• Penggunaan Ha-NPV (H. armigera-Nuclear polyhedrosis Virus). Ha-NPV dengan
9 10
konsentrasi 7,12 x 10 PIB s/ml dan 7,12 x 10 PIB s/ml, efektif terhadap H. armigera.
kematian (mortalitas) larva mulai terlihat pada 3 hari setelah aplikasi. Catatan PIB
(Polyhedrosis Inclusion Bodies)
1.4. Interaksi Pengendalian Biologi + Pengendalian Kimiawi
• Insektisida Fenvallorat, Siflutrin dan Deltametrin memberikan pengaruh sinergistik bila
dicampur dengan Bacillus thuringensis (BT).
• BT 0,1% + Sifluthrin 0,1 % paling efektif terhadap H. armigera.
1.5. Pengendalian dengan Kultur Teknis
• Penggunaan tanaman perangkap tegetes dan jagung dapat menekan serangan H.
armigera pada tanaman tomat.
1.6. Kombinasi Pengendalian Biologi dengan Kultur Teknis
• Tumpang sari tanaman tomat dengan tanaman Tagetes dan dikombinasikan dengan
penggunaan Ha-NPV dapat menekan infestasi hama sebesar 58,4% dan
mempertahankan hasil panen sebesar6,46 t/ha.
44
• Hubungan antara kerapatan populasi awal M. incognita ras 1 dengan hasil tomat mengikuti
korelasi yang negatif.
2.2. Interaksi Meloidogyne (NBA) dengan penyakit
• M. Incognita berinterkasi sinergistik dengan Fusarium sp dan Pseodomonas sp. , NBA
sebagai parasit primer (epistatik), sedangkan Fusarium sp dan Pseodomonas sp. sebagai
parasit sekunder (hypostatic) pada tanaman tomat.
• Tidak ada interaksi antara Meloidogyne sp dengan virus mioalbaccomosaik virus = TMV.
Bahkan perkembangan Meloidogyne sp cenderung tertekan pada tanaman tomat yang
terkena TMV.
2.3. Pengendalian Kimia (Efikasi)
• Nematisida yang telah diuji efikasinya terhadap NBA antara lain : Aldicarb 10, Carbofuron 3,
1, 3-D 50% L, Ethoprophos 10, Fenomiphos 5, Fensulfothion 10, Methansodium 40 L,
Methomil 5, Triozophos 5.
2.4. Pengendalian secara fisik
• Patogenitas dan reproduksi NBA tidak terpengaruh oleh tingkat salinita antara 50-100 ppm
(NaCl + CaCl2.
• Perendaman dengan air pada tanah bera sangat efektif dalam NBA.
• Perendaman dengan air setiap dua hari sekali dan dikombinasikan dengan aplikasi
Carbofuran (4 kg/ha) cukup efektif menekan serangan Meloidogyne spp pada tanaman
tomat.
2.5. Pengendalian secara Biologi
• Dari hasil penelitian belum ada yang mengindikasikan efektif terhadap Meloidogyne spp.
2.6. Pengendalian dengan Tanaman Resisten
• Ada empat varietas tomat : Atkinson, Nemared, Patriot dan Rossol sangat resisten terhadap
Meloidogyne spp sedangkan varietas Kewolo, RV 12, PI 126930 dan MM extra NVFC
mempunyai mempunyai tingkat resistensi ysng sedikit lebih rendah.
• Kultivar Nematex VFN resisten baik terhadap NBA maupun Fusarium sp
2.7. Pengendalian secara Kultur Teknis
• Dari ke-6 tanaman yang diduga sebagai repelen (Crotalaria usaramoensis, C. suncea,
Chrysanthemum morifolium, Ricinos sp, Tagetes patula dan Asparagus sp) ternyata tidak
dapat menekan serangan NBA.
3. Phytophtora infestans
3.1. Pengendalian Kimiawi
• Strategi pengendalian kimiawi yang paling efektif terhadap P. infestans ialah penyemprotan
14 hari setelah tanam (HST) dengan interval 2 kali seminggu, kemudian diikuti oleh 7 HST
dengan interval 1 kali seminggu, dan disemprot setelah nilai serangan 25% dengan interval
2 kali seminggu. Fungisida yang digunakan Cuptafol (25%).
3.2. Pengendalian dengan Tanaman Resisten
• Dari 25 varietas yang diuji tidak ada yang resisten terhadap P. infestans. Varietas Ranti,
Intan dan VC 82 toleran terhadap P. infestans.
45
4. Alternaria solani
4.1. Pengendalian Kimiawi (Efikasi)
• Fungisida yang pernah diuji efikasinya terhadap A. solani antara lain : Antracol 70 WP,
Cupravit OB 21 50 WP, Brestan 60 72 WP, Alton 50 WP, Daconil 75 WP, Delsen MX-200
80 WP, Dithane M-45, Divolatan 4 F, Polyrum M 80 WP, Topsin M 80 WP, Phycozan 70
WP, Trimiltox 57 WP, Viligram 59 5 WP, Zincofal 60 WP, Interval Aplikasi 3-7 hari sekali.
5. Leveilulla taurico (bercak bertepung)
• Pengendalian Kimiawi (Efikasi)
• Fungisida yang diuji efikasi terhadap L. taurico antara lain: Karbendazim + Maneb, Benomil,
Tiofomat, Bubuk belerang, Kapur belerang, Klorotalonil, Propineb, Metiram, dan Binokap.
6. Fusarium exyspurum
• Pengendalian Biologi
• Tridhodrma harzianum mempunyai harapan untuk dikembangkan sebagai komponen
penanggulangan Fusarium spp. Perlu penelitian lebih lanjut.
7. Pengendalian Kultur Teknis
• Pemberian campuran unsur hara mikro; Borat (B) 0,1 ppm + Tembaga Sulfat (Cu) 0.1 ppm
+ Besi Sulfat (Fe) 0,1 ppm + Mangan Sulfat (Mn) 0,5 ppm + Natrium Mobalt (Mo) 0,01 ppm
+ Seng Sulfat (Zn) 0,5 ppm, kedalam tanah dapat menekan serangan patogen F.
oxysporum dan memacu pertumbuhan tanaman.
• Unsur hara Zn pada media biakan dapat merangsang pembentukan canidia Fusarium sp
dan unsur hara B merangsang pembesaran macronidianya.
8. Pseudomonas solanacearum
8.1. Kehilangan Hasil
• Dari hasil penelitian hanya mengindentifikasikan bahwa kehilangan hasil yang tinggi akan
terjadi bila persentase tanaman yang layu juga tinggi.
8.2. Pengendalian Kimiawi/Efikasi
• Bakterisida yang telah diuji efikasinya terhadap P. Solanacearum adalah Streptomycin
15/15 WP dan Agromycin 15/15 Wp. Interval aplikasi 4-7 hari sekali.
8.3. Pengendalian dengan Tanaman Resisten
• Varietas tanaman yang resisten terhadap P. solanacearum antara lain: Ratna, Intan, CL 32-
6-ps-d-0, AV-22, dan AV-15.
• Varietas tomat yang moderat resisten terhadap P. solanacearum antara lain: Money maker,
No. 829, apel balqi, Venus, Monresist dan bansit.
8.4. Pengendalian Biorasional
• Penyiraman 10 ml larutan umbi bawang putih/tanaman (10 ml larutan tersebut berasal dari
35 gram umbi/75 ml air steril) atau membenamkan 6 gram umbi bawang putih tumbukan
disekitar tanaman tomat. (dari 2 tulisan atau hasil 2 kali penelitian).
9. Virus
9.1. Identifikasi (Deteksi) Virus
• Penyebab penyakit mosaik pada tomat adalah Cucumber mosaic Virus (CMV).
• Penyakit kerdil pada tomat disebabkan oleh infeksi ganda dua jenis virus yaitu: Tomato
Mosaic Virus (ToMV) dan Potato Virus X (PVX).
• ToMV dapat terbawa biji tomat oleh karena itu biji-biji yang akan dijadikan sebagai benih
harus dipilih dari tanaman tomat yang terinfeksi oleh ToMV.
• Perlakuan benih melalui perendam dalam larutan Na3PO4 selama 20 menit.
46
Pasca Panen
Tabel 27. Topik, varietas dan ekosistem penelitian pasca tomat panen 1982-2002
1 Pra Panen
Pengaruh pemangkasan batang • Tanaman tomat yang tidak dipangkas BPH XI(3),
terhadap mutu buah beberapa menghasilkan buah 2,6 – 3,8 kali hasil 1984
varietas tomat tanaman dipangkas pada musim hujan dan
0,8 – 1,4 pada musim kemarau.
• % buah besar (grade A) pada tanaman yang
dipangkas lebih tinggi 15-25% dibanding
dengan tanaman yang tidak dipangkas
Pengaruh Kultivar dan Cara Pemangkasan dengan meninggalkan 2 cabang BPH 27 (3)
Pemangkasan terhadap Mutu dan 5 tandan bunga memberikan bobot buah ‘95
Buah Tomat tertinggi dan kekerasan buah terbaik. Teknik
pemangkasan tidak memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap sifat kimia buah tomat.
Dampak Vaksin Carna-5 dan Perlakuan Carna-5 tidak memberikan pengaruh LHP
CMV-2 terhadap Kualitas Tomat nyata terhadap kualitas buah tomat. 1998/1999
2 Perawatan segar
Daun Glirisidia Sebagai Etilen • Waktu pemeraman yang terbaik pada suhu BPH XV
Generator untuk Proses 25°C ialah 4 hari, dan membiarkan tomat (3), 1987
Pematangan Buah Tomat terbuka di udara selama 4 hari agar matang
100%. Perlakuan pemeraman 6 –7 hari hanya
memerlukan 3,2 dan 2,2 hari agar 100%
matang. Sedang kontrol memerlukan waktu
15,8 hari untuk mencapai matang 100%.
• Pada tingkat kematangan sempurna, buah
tomat berwarna merah tua (indeks warna 6)
dengan komposisi kimia tidak berbeda dengan
kontrol yang dimatangkan secara normal.
• Kecepatan terbentuknya warna merah setelah
50% matang, tidak banyak berbeda antar
perlakuan pemeraman 4, 6 dan 7 hari
pemeraman, sedang kontrol 2,6 hari lebih
lambat.
• Mutu buah setelah proses pematangan sama
dengan tomat yang matang dengan sendirinya
secara normal.
3 Pengemasan
Perbaikan Cara Pengemasan Pemberian 5 g bata dijenuhi KMn04 tambah 10 g BPH XVI
Tomat dalam Simulasi abu sekam per kg tomat didalam plastik tertutup (3) , 1988
pengangkutan yang dibuka selama 30 menit selang 4 hari berada
dalam kardus, mampu menahan kematangan
merah penuh 8-12 hari dengan kekerasan 1,12-
1,96 kg/cm2 dan kebusukan dibawah 8% dengan
goncangan s/d 350 rpm.
Penggunaan beberapa Desain • Desain kemasan A (karton tak bergelombang) BPH 21 (4),
Kemasan Karton untuk tidak dapat digunakan sebagai kemasan 1992
Mengurangi Kerusakan Buah dalam pengangkutan karena menimbulkan
Tomat dan Kemasan selama kerusakan buah tomat yang cukup besar pada
pendinginan dan tanpa pendinginan, pendinginan 3hari dan 6
Pengangkutan. hari (4,53%; 10,44%; dan 8,9%).
• Karton tidak bergelombang dapat digunakan
47
sebagai kemasan buah tomat dalam
pengangkutan setelah dilengkapi dengan
tangkai kayu.
• Karton bergelombang tunggal dan majemuk
dapat mengurangi kerusakan buah tomat
dalam pengangkutan atau penyimpanan dan
kerusakan tersebut dapatdiperkecil lagi
dengan penggunaan tangkai kayu.
4 Pengolahan
Pengaruh Suhu Pengentalan Komposisi perlakuan suhu pengentalan 95o C + LHP
dan Bahan Penstabil terhadap maizena 2 % menghasilkan pasta yang baik 1998/1999
Mutu Pasta Tomat dengan kadar air yang rendah, kekentalan dan
TPT tinggi. Dari sisi organoleptik suhu 95o C +
gum xanthan 0,2 % maupun 4 % memiliki warna,
rasa dan aroma yang disukai panelis.
Teknik Pembuatan Pasta dari LV 2471, Ada beberapa galer yang disukai panelis yaitu LV LHP
Berbagai Kultivar Tomat LV 6046, 2471, LV 6046, LV 2862, CLN 399 dan CL 05. 1998/1999
LV 2862,
CLN 399
danCL05.
48
Seleksi Varietas Tomat Berdasarkan pengamatan terhadap hasil olahan LHP 2000
Prosesing di Dataran Medium (pasta) terdapat beberapa galur/ varietas yang
mempunyai prospek baik yang dikembangkan
sebagai tomat prosesing yaitu F1 PT 4225; CLN
2001-7; CLN 2001-15
Kelayakan Teknis & Finansial LV 2471, • Galur LV 2471 mempunyai manfaat ganda LHP
Budidaya Tomat Prosesing di Presto yaitu dapat dipasarkan sebagai buah segar 1999/2000
Dataran Medium. dan dapat digunakan sebagai tomat
prosesing.
• Dari segi hasil, Presto > dibanding LV 2471.
Penilaian Mutu Kimia Buah Kadar asam, vitamin C dan kadar gula lebih tinggi BPH
Beberapa Varietas Tomat pada panenan terakhir; kadar asam 0,27 – 1,38%, XI(4),1984
X 0,64%, vitamin C 9,34% - 30,45 mg/100g, X
17,96 mg/100g.
Penilaian Mutu Fisis Buah Tomat varietas Gondol lebih disenangi oleh BPH XI(4),
Beberapa Varietas Tomat konsumen karena warnanya merah menarik, 1984.
bentuk dan ukuran serasi.
Agro Ekonomi
Sebaran topik serta ekosistem pada penelitian agro-ekonomi tomat selama kurun waktu 1979-2001
dapat dilihat pada Tabel 1. Beberapa catatan umum yang dapat ditarik dari Tabel 1 adalah sebagai
berikut:
• Dibandingan dengan topik penelitian agro-ekonomi lainnya, topik penelitian ekonomi produksi
proporsinya paling besar (50%).
• Mayoritas ekosistem yang digunakan untuk penelitian bawang putih adalah dataran tinggi (14)
dan hanya sebagian kecil yang dilaksanakan di dataran medium (3) dan dataran rendah (5).
2. Studi ekonomi produksi 11 dr (5), dm (2); dt BPH 7 (7); 15 (1); 15 (2); 26 (2)
(4) JH 3 (1); 5 (1); 5 (2); 5 (3);
9 (3); LHP 1999/2000
Total 22
Keterangan :
dt = dataran tinggi
dm = dataran medium
dr = dataran rendah
BPH = Buletin Penelitian Hortikultura
JH = Jurnal Hortikultura
LHP = Laporan Hasil Penelitian
49
Hasil penelitian per topik sampai dengan tahun anggaran 2001 adalah sebagai berikut :
• Kombinasi perlakuan mulsa jerami jagung dan pupuk kandang sapi paling menguntungkan
dibandingkan dengan kombinasi perlakuan (tanpa mulsa; mulsa jerami padi) dan (tanpa pupuk
kandang, pupuk kandang domba), yaitu yang diindikasikan dengan tingkat pemgembalian
marjinal tertinggi (275,06%).
• Komponen biaya produksi tomat (1992) terbesar adalah biaya tenaga kerja (37,58%),
selanjutnya diikuti biaya pestisida (30,40%), pupuk (17,92%), bunga modal (5,69%), bibit
(4,66%), sewa tanah + alat (3,36%) dan biaya lain-lain (0,40%). Dengan produksi 25.006,29
kg/ha maka R/C rationya 1,20.
2.3. Di dataran Medium (Garut) – Kelayakan teknis dan finansial budidaya tomat prosesing
• Secara umum, hasil produksi penggunaan teknologi anjuran tidak berbeda nyata dengan
teknologi lokal.
50
• Dengan menggunakan teknologi anjuran Balitsa, produktivitas tomat varietas Presto lebih tinggi
(105 ton/ha) dibandingkan dengan galur LV.2471 (82 ton/ha).
• Secara finansial, penggunaan tomat galur LV.2471 dengan menerapkan teknologi lokal, biaya
produksi per-unitnya lebih tinggi (Rp. 567/kg) dibandingkan dengan varietas Presto (Rp.
429/kg).
• Sementara itu, biaya produksi per-hektar galur LV.2471 dengan menerapkan teknologi lokal
lebih murah (Rp. 41.700.000) dibandingkan dengan tomat Presto (Rp. 42.700.000).
• Komposisi biaya produksi tomat varietas Ratna di Kalangdosari-Grobogan pada musim hujan
adalah : bibit (1,45%), pupuk (23,76%), pestisida (6,14%), tenaga kerja (41,24%), sewa tanah
(8,64%), lain-lain (14,45%), bunga modal (4,32%). R/C ratio 0,81 (rugi).
• Pada usahatani tumpangsari tomat + jagung, komposisi biaya produksinya adalah : bibit
(4,05%), pupuk (10,12%), pestisida (27,63%), tenaga kerja (44,11%), sewa tanah (5,52%), lain-
lain (8,58%). R/C ratio 1,06.
2.6. Indonesia
• Pola pertumbuhan produksi tomat di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun.
• Faktor dominan sumber pertumbuhan tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan areal tanam.
• Variabilitas areal tanam menunjukkan kontribusi yang lebih tinggi terhadap ketidakstabilan
produksi tomat selama periode 1969-1995.
3.2. Tataniaga
• Selama periode 1985-1995, marjin tataniaga tomat di Jawa Barat dan Sumatera Utara
menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat.
51
• Marjin tataniaga riil atau nominal tomat di Jawa Barat lebih tinggi dibandingkan dengan
Sumatera Utara.
• Kisaran bagian petani dari harga tomat yang dibayarkan konsumen adalah sebesar 44-
80%.
• Usaha-usaha perbaikan system pemasaran tomat perlu lebih ditekankan untuk
memecahkan masalah ketitakstabilan atau tingginya variasi harga di tingkat produsen.
• Usaha-usaha perbaikan dapat ditempuh melalui : (a) perbaikan komponen teknologi --
teknik pascapanen untuk memperpanjang masa simpan, gudang pendingin, (b) perbaikan
kelembagaan -- pemberdayaan koperasi dalam fungsi pemasaran, pembentukan marketing
boards, dan (c) intervensi pemerintah -- penyempurnaan grading.
4. Studi konsumen
52
5. Studi pengembangan/pewilayahan
• Balitsa telah memperoleh tiga formula pasta tomat yang layak secara teknis, namun dalam skala
laboratorium masih belum layak secara finansial.
• Varietas tomat merupakan unsur terpenting dalam menentukan formula tomat, karena sangat
mempengaruhi warna pasta yang dihasilkan.
• Varietas Presto, Beta dan Delta merupakan varietas-varietas yang cocok untuk pembuatan
pasta tomat.
• Formula pasta Balitsa berpeluang untuk dikembangkan dalam skala industri, namum kendala
yang masih dihadapi adalah katersediaan bahan baku tomat segar.
• Varietas tomat prosesing yang dihasilkan disarankan mempunyai warna merah muda, berdaging
tebal, kandungan air rendah,dan berbiji sedikit.
• Biaya pembuatan saus tomat secara laboratorium adalah Rp. 19.428,675/kg.
Berdasarkan analisis data tahunan periode 1965 – 1995, pola pertumbuhan tomat
menunjukkan pola meningkat, dengan faktor dominan penambahan areal pertanaman. Hal ini
secara tidak langsung mengindikasikan bahwa teknologi yang digunakan petani tidak mampu
meningkatkan produktivitas tomat secara optimal. Kondisi tersebut juga didukung oleh data
produktivitas tomat nasional periode 1998 - 2002 yang hanya mencapai 6,7 sampai 8 ton per
hektar. Rendahnya tingkat adopsi teknologi pada usahatani tomat dapat disebabkan ketidak
layakan teknologi dalam memecahkan permasalahan petani atau metoda penyampaian alih
teknologi yang kurang tepat. Dari sisi penelitian, dalam beberapa tahun terakhir komoditas
tomat bukan merupakan prioritas utama sehingga penelitian yang berkaitan dengan perakitan
teknologi komoditas tersebut kurang intensif. Sebagai akibatnya teknologi yang tersedia saat
ini sudah kurang sesuai dengan tuntutan permasalahan yang ada di lapangan.
Walaupun buah tomat merupakan produk yang sudah cukup dikenal oleh konsumen rumah
tangga, tetapi variasi konsumsinya tomat masih sangat terbatas. Di tingkat rumah tangga
tomat digunakan sebagai pelengkap bumbu masak atau dikonsumsi dalam bentuk segar
sebagai pengganti buah-buahan. Alternatif diversifikasi produk yang ditawarkan kepada
konsumen sangat kurang. Padahal dilihat dari sifat komoditas serta kandungan gizinya, buah
tomat mempunyai peluang yang besar untuk diolah menjadi berbagai produk baru. Hal
tersebut menjadi salah satu penyebab masih rendahnya konsumsi tomat per kapita di
Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Pada akhirnya rendahnya konsumsi dan permintaan
tomat juga menjadi salah satu faktor pembatas pengembangan produksi tomat di Indonesia.
Berdasarkan analisis harga selama periode 1997 - 2001, harga tomat dapat dikategorikan tidak
stabil terutama bila dibandingkan dengan kentang, kubis dan siampo. Dari pengamatan di
lapangan juga menunjukkan bahwa petani tomat sering dihadapkan pada risiko harga yang
cukup tinggi. Pada musim panen raya harga tomat dapat mencapai tingkat terendah,
contohnya pada bulan Mei 2003 harga tomat di tingkat petani hanya mencapai Rp 100 per kg.
Pada kondisi harga seperti itu, petani tomat tidak melakukan panen karena biaya panen akan
jauh lebih tinggi dari pendapatan kotor. Koefisien variasi harga tomat di tingkat sentra produksi
secara konsisten lebih tinggi dibandingkan dengan di tingkat grosir. Hal ini mengimplikasikan
bahwa petani tomat sebagai produsen harus menghadapi risiko harga yang lebih besar
dibandingkan pedagang besar/grosir.
53
Berdasarkan data ekspor-impor tomat periode 1996-2002, Indonesia secara konsisten
mengekspor tomat. Selain tomat segar, ekspor saus tomat menunjukkan perkembangan yang
positif bahkan pada tahun 2002 mencapai 2 430 ton, kuantitas tersebut melebihi kuantitas
ekspor tomat segar yang hanya mencapai 1 120 ton. Namun demikian industri saus tomat
tersebut dihadapkan pada kendala bahan baku pasta tomat yang sampai saat ini masih harus
impor, yang ditunjukkan oleh tingginya impor pasta tomat setiap tahun. Impor pasta tomat
mempunyai konsekuensi tertentu diantaranya tingginya harga pasta sesuai dengan nilai mata
uang dollar. Selain itu dapat terjadi seperti di tahun 1998-1999, dengan melonjaknya harga
pasta akibat krisis moneter para importir tidak sanggup melakukan impor. Sebagai dampaknya
industri saus tomat menjadi terhambat, bahkan sejumlah pabrik sama sekali tidak melakukan
proses produksi.
Melimpahnya tomat pada musim panen raya mengakibatkan jatuhnya harga tomat. Dikaitkan
dengan impor pasta tomat yang dilakukan setiap tahun, kondisi tersebut dapat dijadikan
peluang untuk pengembangan industri pasta tomat. Sehingga kebutuhan pasta untuk industri
saus tomat dapat dipenuhi oleh pasta domestik. Sebenarnya industri pasta tomat tersebut
mempunyai prospek yang cukup menjanjikan baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun
untuk ekspor. Namun dari hasil-hasil penelitian tentang teknologi pasta tomat, pembuatan
pasta masih dihadapkan pada kendala ketersediaan kultivar yang sesuai. Pasta yang
dihasilkan dari kultivar tomat seperti TW, Kada tidak dapat memberikan warna yang sesuai
untuk bahan baku saus tomat. Hal ini terbukti dari tidak lolosnya pasta hasil penelitian Balitsa
pada saat dilakukan quality control oleh industri.
Dari sisi kepentingan konsumen, tomat yang dipasarkan mengandung residu pestisida di atas
ambang batas aman untuk dikonsumsi. Belum adanya informasi seperti pelabelan yang
menginformasikan hal tersebut mengakibatkan konsumen tomat berada pada risiko kesehatan
yang cukup tinggi. Belum adanya standar kualitas bagi tomat yang aman dari residu pestisida
maupun zat-zat kimia berbahaya lainnya merupakan faktor penghambat bagi pengembangan
tomat, khususnya dikaitkan dengan akan diberlakukannya pasar bebas secara penuh. Hal
tersebut dapat dijadikan penghambat non-tarif (non-tafiff barrier) oleh negara pengimpor tomat,
sehingga dapat dijadikan praktek terselubung untuk melakukan pembatasan (proteksi)
terhadap barang impor. Sementara itu, negara-negara yang belum mempunyai standar seperti
Indonesia dapat dijadikan tempat pembuangan (dumping) bagi tomat yang tidak memenuhi
persyaratan keamanan pangan.
Dari segi teknis kendala usahatani terberat bagi petani adalah pengendalian OPT terutama
penyakit busuk daun (phytophthora infestans) dan penyakit layu bakteri (pseudomonas
solanacearum). Pestisida yang beredar selain mahal juga dirasakan oleh petani sudah kurang
efektif lagi dalam mengendalikan OPT, sehingga petani cenderung untuk menambah dosis
atau interval penyemprotan.
Penggunaan pestisida secara berlebih di tingkat petani, selain disebabkan oleh rasa aman
petani dalam menghindarkan risiko kegagalan panen, juga disebabkan oleh faktor-faktor lain
seperti tidak tersedianya kultivar tomat tahan OPT terutama terhadap penyakit busuk daun
(phytophthora infestans) dan penyakit layu bakteri (pseudomonas solanacearum).
54
XI. Prospek, kebijakan dan strategi pengembangan
• Prospek pengembangan tomat masih cukup baik. Produktivitas masih dapat ditingkatkan
dengan menyediakan teknologi yang lebih sesuai dengan permasalahan petani baik dari segi
teknis, sosial maupun ekonomi. Teknologi yang cukup mendesak adalah tersedianya varietas-
varietas tomat, baik yang berdaya hasil tinggi maupun yang tahan terhadap OPT. Demikian
juga dengan teknologi penanaman seperti pemupukan perlu dikaji ulang, karena rekomendasi
yang ada belum bersifat spesifik lokasi.
• Tingkat konsumsi tomat masih dapat ditingkatkan diantaranya dengan diversifikasi produk
olahan, peningkatan kualitas tomat yang dipasarkan. Meningkatnya konsumsi tomat secara
tidak langsung dapat memotivasi petani untuk meningkatkan produktivitasnya. Adanya
diversifikasi produk olahan dapat mengatasi masalah yang terjadi pada saat panen raya,
sehingga risiko harga yang dihadapi petani dapat diminimalkan.
• Pasta mempunyai prospek yang cukup baik. Seandainya kualitas tidak bisa menyamai kualitas
impor, maka pasta dalam negeri diharapkan dapat menggantikan pasta impor tapi tentu harus
diikuti dengan kegiatan seperti promosi dsb.
Daftar Pustaka.
Adiyoga, W. 1996. Marjin tataniaga dan bagian petani untuk kentang, kubis dan tomat di Jawa Barat
dan Sumatera Utara. Jurnal Hortikultura 7(3): 840-851.
Ameriana., M. 2004. Kesediaan Konsumen untuk Membayar Premium serta Kepedulian Petani
terhadap Usaha Pengurangan Residu Pestisida pada Sayuran Tomat. Disertasi. Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Ameriana., M, W. Adiyoga, R. S. Basuki dan E. Suryaningsih. 2000. Kepedulian Konsumen terhadap
Sayuran Bebas Residu Pestisida: Kasus pada Sayuran Tomat dan Kubis. J. Hort 9 (4) : 366-377.
Aung, L.H. 1979. Temperature Regulation of Growth and Development Tomato during Ontogeny.
Proceedings of the International Symposium on Tropical Tomato. Oct 23 – 27, 1978. Shanhua,
Tainan, Republic of China.
Atrheron, J.G and J. Rudich. 1986. The Tomato Crops, A Scientific Basis for Improvement. Chapman
and Hall Ltd. New York-USA.
Bisaliah, S. 1986. Soybean development in India: A methodological frame. In CGPRT. Socio-
economic research on food legumes and coarse grains: Methodological issues. CGPRT No. 4.
Bogor, Indonesia.
55
Colman, D & Young, T. 1989. Principles of agricultural economics: Markets and prices in less
developed countries. Cambridge University Press, Great Britain.
Dillon, J. L. & Hardaker, J. B. 1980. Farm management research for small farmer development. Food
and Agriculture Organization Agricultural Services Bulletin, Rome
FAO. 1998. Potato: Production, utilization and consumption. FAOSTAT (June, 1998)
Govindasamy., R and J. Italia. 1999. Evaluating Consumer Usage of Nutritional Labeling; The
Influence of Socio-Economic Characteristics on Food Advertisement Usage. Rutgers Cooperative
Extention, New Jersey Agricultural Experiment Station.
Gunawan., O. S, E. Suryaningsih dan A. T. Duariat. 1997. Penyakit-penyakit Penting Tanaman Tomat
dan Cara Pengendaliannya dalam Teknologi Produksi Tomat. Balai Penelitian Tanaman Sayuran,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Hidayat. A. 1997. Ekologi Tanaman Tomat dalam Teknologi Produksi Tomat. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Hilman., Y dan Suwandi. 1989. Penetapan P Tersedia pada Tanah Andosol. Bul. Penel. Hort. 18(2) :
91-97.
Jensen., M. H. 1990. Hidroponic Culture for the Tropics. Opportunities and Alternatives. Proc. Int.
Seminar on Hydroponic of Value Crops in the Tropics. Malaysia. November 25 –27, 1990.
Kuo, C. G., B. W. Chen, M. H. Chou C. L Tsai and Tsay. 1979. Tomato Fruit-set at High Temperatures.
Proceedings of the International Symposium on Tropical Tomato. Oct 23 – 27, 1978. Shanhua,
Tainan, Republic of China.
Marpaung., L. 1997. Pemanenan dan Penanganan Buah Tomat dalam Teknologi Produksi Tomat.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Marvel., M. E. 1974. Hydroponic Culture of Vegetable Crops. University of Florida, Gainesville, Florida.
Matsumura., F. 1976. Toxicology of Insecticide. Plenum Press. New York and London.
Nurtika., N. 1984. Penaruh Pupuk Kanang dan NPK 15-15-15 tehadap Pertumbhan dan Produksi
Tomat. Bul. Penel Hort 11(4) : 1-7.
---------------. 1992. Pengaruh Pupuk N, P, K dan Sumber Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Tomat Kultivar Mutiara. Bul. Penel. Hort. 24(2) : 112-117.
Nurtika., N dan N. Sumarni. 1992. Pengaruh Sumber, Dosis dan Waktu Aplikasi Pupuk Kalium
terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tomat. Bul. Penel. Hort. 22(1) :96-101.
Nurtika., N dan suwandi. 1992. Pengaruh Pemberian Kapur dan Sumber Pupuk Nitrogen terhadap
Pertumbuhan dan hasil Tomat. Bul. Pnel. Hort. 22(4) : 16 – 21.
Nyako., K. A and A. Thompson. 1999. Food Safety Risk Perceptions and Behavior of Consumer in the
Shoutern Black Belt Region of the US. Paper Presented at AAEA Anual Meetings, Nashville,
Tennessee, August 8 – 11. Departement of Agricultural Education, Economics and Rural Sociology.
North Carolina A & T State University, Greensboro, NC.
Nurtika. N dan Z. Abidin. 1997. Budidaya Tanaman Tomat dalam Teknologi Produksi Tomat. Balai
Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
Purseglove, J.W. 1974. Tropical Crops, Dicotyledons. Longman. London.
Purwati, E. 1997. Pemuliaan Tanaman Tomat dalam Teknologi Produksi Tomat. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
56
Sahat., S. 1989. Bercocok Tanam Sayuran Dataran Rendah. Badan Litbang Pertanian. Balithort,
Lembang.
Satsiyati. 1980. Laporan Penelitian Pemupukan sayuran. Kerjasama Lembaga Penelitian Hortikultura
dengan PT. Pupuk Sriwijaya.
Saunders., C. 1999. The Potential for Expansion of The Organic Industry in New Zealand : A
Contingent Valuation Method of Consumer WTP for Organic Produce. Discussion Paper No 77.
Commers Division, Lincoln University Canterbury.
Schippers., P. A. 1979. The Nutrient Plnt Technique. Dept. Of Vegetabke Crops. State College of
Agriculture, Cornell Univ. Ithaca, New York.
Setiawati., W. 1997. Hama-hama Penting Tanaman Tomat dan Cara Pengendaliannya dalam
Teknologi Produksi Tomat. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Soetiarso., T. A. 1997. Analisis Uahatani dan Pemasaran Tomat dalam Teknologi Produksi Tomat.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sumiati., E dan Y. Ilman. 1990. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Ergostim dan Dosis Pupuk NPK
terhadap Hasil dan Kualitas Buah Tomat Kultivar Berlian. Bul. Penel. Hort. 19(2) : 61 – 69.
Sutarya, R., G. J. H. Gruben, dan H. Sutarno. 1995. Pedoman Bertanam Sayuran Dataran Rendah.
Gajah Mada University Press, bekerjasama dengan Prosea Indonesia dan Balithort Lembang.
USDA. 2000. Oranic Food : Niche Marketers Venture into Mainstream. Agricultural Outlook/June-July
2000.
Waldrum., J. D, P. L. Badri and J. P. Spradley. 1996. Pesticide Residues in Food : The safety Issue.
Southern Extension and Research Activity Information Exchange Group I. U.S. Departement of
Agriculture Extension Service National Agricultural Pesticide Impact Assessment Program Special
Project 03-EPIX-1-145.
Wenner, B. Z. H. 2000. Importance of The Tomato. AgriSupportOnline. Melbourne, Australia.
57