You are on page 1of 20

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori
1. Hakekat Persepsi Masyarakat
a. Pengertian Persepsi Masyarakat
Sejak individu dilahirkan, saat itu pula individu secara langsung
berhubungan dengan dunia luarnya. Mulai saat itu individu secara langsung
menerima stimulus atau rangsangan dari luar di samping dari dalam dirinya
sendiri. Individu mengenali dunia luarnya dengan menggunakan alat inderanya.
Persepsi merupakan suatu proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh
individu melalui alat reseptornya. Stimulus yang di indera itu oleh individu
diorganisasikan, kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan
mengerti tentang apa yang di indera itu (Bimo Walgito, 1977: 53).
Persepsi seringkali dimaknakan dengan pendapat, sikap, dan penilaian.
Persepsi selalu melibatkan aktivitas manusia terhadap obyek tertentu, sehingga
persepsi selalu menggambarkan pengalaman manusia tentang obyek dan peristiwa
yang diperoleh dengan cara menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan
tentang obyek tersebut. Persepsi itu tidak akan lepas dari peristiwa, obyek, dan
lingkungan di sekitarnya, sehingga tercapai komunikasi antara manusia dengan
lingkungannya. Persepsi merupakan proses internal yang dilakukan untuk
memilih, mengevaluasi, dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan
eksternal. Dengan kata lain persepsi adalah cara seseorang untuk mengubah
energi–energi fisik lingkungan menjadi pengalaman yang bermakna (Deddy
Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 2002: 25-26).
Setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda–beda dalam
menanggapi suatu obyek. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan pengalaman
atau lingkungan, maka persepsi dapat berubah–ubah sesuai dengan suasana hati,
cara belajar, dan keadaan jiwa (Jalaluddin Rakhmat, 2002: 56). Jadi persepsi itu
tergantung pada proses berpikir atau kognitif seseorang, sehingga persepsi akan
selalu berubah setiap saat. Perubahan itu tergantung pada kemampuan selektivitas

11
informasi yang diterima setelah diolah ternyata bermakna positif maka seseorang
mendukung informasi yang diterima, tetapi bila negatif maka yang terjadi
sebaliknya.
Dalam bahasa Inggris masyarakat disebut Society, asal katanya Socius
yang berarti “kawan”. Kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu Syiek,
artinya “bergaul”. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk–bentuk
akhiran hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai pribadi melainkan
oleh unsur–unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan
kesatuan. (Ahmadi, 2003: 200)
Bagaimanakah kata masyarakat didefinisikan dalam sosiologi? Marion
Levy (Inkeles, 1965) mengemukakan empat kriteria yang perlu dipenuhi agar
suatu kelompok dapat disebut masyarakat, yaitu (1) kemampuan bertahan
melebihi masa hidup seorang individu, (2) rekruitmen seluruh atau sebagian
anggota melalui reproduksi, (3) kesetiaan pada suatu “sistem tindakan utama
bersama”, (4) adanya sistem tindakan utama yang bersifat “swasembada”. Inkeles
mengemukakan bahwa suatu kelompok dinamakan masyarakat bila kelompok
tersebut memenuhi keempat kriteria tersebut, atau bila kelompok tersebut dapat
bertahan stabil untuk beberapa generasi walaupun sama sekali tidak ada orang
atau kelompok lain di luar kelompok tersebut.
Seorang tokoh sosiologi modern, Talcott Parsons (1968), merumuskan
kriteria bagi adanya masyarakat. Menurutnya masyarakat ialah suatu sistem sosial
yang swasembada (self-subsistent), melebihi masa hidup individu normal, dan
merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap
generasi berikutnya.
Seorang tokoh sosiologi modern lain, Erdward Shils, juga menekankan
pada aspek pemenuhan keperluan sendiri (self-sufficiency) yang dibaginya dalam
tiga komponen : pengaturan diri (self-regulation), reproduksi sendiri (self-
reproduction), dan penciptaan diri (self-generation). Dari berbagai perumusan ini
dapat dilihat bahwa konsep masyarakat mempunyai makna khusus, dan berbeda
dengan penggunaan kata masyarakat dalam bahasa sehari–hari, dalam sosiologi

12
tidak semua kelompok dapat disebut masyarakat (Prof Dr Kamanto Sunarto,
2004: 54).
Menurut Niniek Sri Wahyuni dalam bukunya Manusia dan Masyarakat
(2005: 23), objek sosiologi adalah masyarakat (society) yang dilihat dari sudut
hubungan antara manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di
dalam masyarakat. Untuk memahami konsep ini biasanya orang akan mengaitkan
dengan tempat tinggal, misalnya masyarakat di desa atau masyarakat di kota.
Unsur–unsur dalam masyarakat mencakup hal–hal berikut ini :
1) Manusia bukan hidup sendiri–sendiri tetapi hidup bersama
2) Setiap individu sadar bahwa mereka adalah suatu kesatuan
3) Masyarakat hidup bersama
4) Bercampur untuk jangka hidup waktu yang lama
Dilihat dari unsur–unsur di atas dapat diberikan sebuah contoh. Keluarga
merupakan masyarakat yang paling kecil yang terdiri dari suami dan istri, di mana
ada sistem interaksi yang mengatur hubungan di antara mereka dan ada
pembagian kerja yang biasanya disesuaikan dengan adat setempat.
Masyarakat tidak hanya dipandang sebagai kumpulan individu atau
penjumlahan dari individu–individu akan tetapi masyarakat merupakan suatu
pergaulan hidup karena manusia itu hidup secara bersama. Setiap manusia dalam
masyarakat tersebut masing–masing mempunyai persepsi yang berbeda – beda
dalam menanggapi suatu obyek. Namun tidak menutup kemungkinan ada
sejumlah individu yang mempunyai persepsi yang sama terhadap suatu obyek,
keseluruhan persepsi tersebut termasuk ke dalam persepsi masyarakat.
Jadi persepsi masyarakat adalah keseluruhan atau rata–rata persepsi
individu terhadap suatu obyek yang kurang lebih mempunyai persepsi yang sama.
Kesamaan–kesamaan tersebut biasanya diwujudkan ke dalam pengakuan bersama
terhadap suatu obyek, misalnya memakai simbol, tanda–tanda, dan bahasa–bahasa
verbal dan non verbal yang sama (Alo Liliweri, 2001: 113).
Persepsi masyarakat terhadap suatu obyek merupakan landasan pokok bagi
timbulnya perilaku dari masing–masing individu dalam setiap kegiatan. Makna
positif dan negatif sebagai hasil persepsi masyarakat terhadap suatu obyek sangat

13
tergantung dari bentuk dan proses interaksinya. Masing–masing individu
mempunyai persepsi yang berbeda dalam menanggapi suatu obyek. Kemudian
masing–masing individu akan melakukan proses pertukaran persepsi di antara
masing–masing individu. Proses pertukaran persepsi tersebut dapat berlangsung
antara individu yang tergabung dalam komunitas tertentu.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi
masyarakat timbul karena adanya persepsi dari masing–masing individu di mana
persepsi dari masing–masing individu tersebut terhadap suatu obyek dikumpulkan
menjadi satu sehingga timbullah suatu persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat
merupakan proses mengamati obyek melalui indera kemudian diorganisasikan dan
diinterpretasikan melalui bentuk–bentuk rangsangan suatu obyek atau peristiwa
berdasarkan latar belakang masing–masing individu sehingga tercapai komunikasi
antara manusia dengan obyek.
b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat
Persepsi masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi masyarakat, yaitu pengalaman, proses belajar, dan
pengetahuan. Faktor pengalaman dan proses belajar memberikan bentuk dan
struktur terhadap apa yang dilihat. Sedangkan pengetahuan manusia memberikan
inti terhadap obyek psikologi tersebut. Melalui komponen kognisi ini akan timbul
ide-ide dan konsep mengenai apa yang dilihat.
Persepsi masyarakat Surakarta terhadap seni batik klasik sangat
beranekaragam, dimana setiap individu di Surakarta mempunyai persepsi atau
pandangan yang berbeda-beda mengenai seni batik klasik tersebut. Persepsi dari
masing-masing individu di Surakarta kemudian dikumpulkan menjadi satu
sehingga muncullah suatu persepsi masyarakat Surakarta terhadap seni batik
klasik, tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan jika suatu saat persepsi dari
masyarakat Surakarta tersebut mengalami perubahan.

14
2. Kebudayaan
a. Pengertian kebudayaan
Secara sosiologis lingkungan budaya merupakan lingkungan sosial. Hal ini
disebabkan karena kebudayaan merupakan hasil karya, hasil cipta dan hasil rasa
yang didasarkan pada karsa. Dengan demikian maka lingkungan budaya terdiri
dari aspek materiil dan spiritual. Aspek spiritual dari lingkungan budaya pada
dasarnya berintikan pada nilai–nilai. Suatu nilai merupakan pandangan yang baik
atau buruk mengenai sesuatu. Biasanya nilai–nilai itu timbul dari pengalaman
interaksi. Dari proses interaksi dengan pihak–pihak lain itu, manusia akan
mendapatkan pandangan tertentu mengenai interaksi tersebut.
Yang dimaksud dengan kebudayaan itu sendiri dalam arti yang sempit
adalah sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia karena kebudayaan itu muncul
dari kebiasaan dan perilaku manusia dalam berinteraksi dengan masyarakat pada
suatu lingkungan.
Apabila ditinjau dari segi bahasa (etimologis) kebudayaan berasal dari
bahasa Sansekerta “budhaya” yang berarti akal, hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan Koentjaraningrat (1981 : 181) yang mengatakan bahwa “budaya
berasal dari bahasa Sansekerta ‘budhaya’, kata ini adalah bentuk jamak dari
“budhi” yang berarti “budi atau akal”. Kata “budi” sering dirangkaikan dengan
“akal” sehingga menjadi akal budi yang mempunyai arti kepandaian. Dari
pengertian di atas maka kebudayaan selalu berkaitan dengan tingkah laku manusia
karena hanya manusia yang berkebudayaan. Manusia adalah makhluk Tuhan yang
paling sempurna, yang mempunyai akal budi sejak dilahirkan. Akal budi dan jiwa
inilah yang membedakan manusia dari ciptaan Tuhan yang lainnya, misalnya
manusia mempunyai jiwa mempunyai pula kebudayaan, sedangkan yang lainnya
tidak mempunyai jiwa ataupun kebudayaan. Dengan demikian yang membedakan
manusia dengan makhluk Tuhan yang lain adalah jiwa dan perbedaan konkritnya
adalah kebudayaan.
Kebudayaan menurut Sidi Gazalba (1980 : 12) adalah sebagai cara berfikir
(cipta) dan merasa (karsa) yang menyatukan dari dalam sebuah segi kehidupan
sekelompok manusia yang membentuk masyarakat dalam suatu ruang dan suatu

15
waktu. Selo Sumarjan (1980: 50) mengartikan kebudayaan sebagai hasil cipta,
rasa, karya masyarakat yang dipimpin dan diarahkan oleh karsa. Yang dimaksud
dengan cipta adalah proses yang memakai daya pikir, rasa yaitu kemampuan
untuk menggerakkan indera dan hati, dan karya adalah keterampilan alat–alat
tubuh. Sedangkan batasan–batasan lain tentang kebudayaan juga dikemukakan
oleh S. Budi Santoso (1985 : 45) yang mendefinisikan kebudayaan sebagai
berikut:
Kebudayaan sebagai suatu pengetahuan, pilihan hidup dan suatu praktek
komunikasi dari perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran, perasaan dan
kemauan yang bersumber pada budi (luhur) manusia dalam mengelola
cipta, rasa dan karsa serta mengungkapkan identitas kemanusiaannya
dalam rangka memilih dan merencanakan tanggapan untuk pelaksanaan
kegiatan yang mengarah pada tujuan hidup.

Kebudayaan menurut C. Kluckhohn yang dikutip oleh Clifford Geertz


(1992 : 4-5) adalah sebagai :
(1) Keseluruhan cara hidup suatu masyarakat, (2) Warisan sosial yang
diperoleh individu dari kelompoknya, (3) Suatu cara berpikir, merasa dan
percaya, (4) Suatu abstraksi dari tingkah laku, (5) Suatu teori pada pihak
antropolog tentang cara suatu kelompok masyarakat nyatanya bertingkah
laku, (6) Suatu gudang untuk mengumpulkan hasil belajar, (7)
seperangkat orientasi–orientasi standar pada masalah–masalah yang
sedang berlangsung, (8) Tingkah laku yang dipelajari, (9) Suatu
mekanisme untuk penataan tingkah laku yang bersifat normatif, (10)
Seperangkat teknik untuk menyesuaikan baik dengan lingkungan luar
maupun dengan orang–orang lain.

R. Soekmono (1983 : 17) mengartikan kebudayaan sebagai dimensi


manusia dari manusia itu sendiri, artinya kebudayaan manusia terwujud dari
perkembangan norma hidup manusia dan lingkungan. Kebudayaan sebagai
ciptaan manusia dibedakan menjadi dua segi, yaitu : (1) Segi kebudayaan yang
meliputi segala benda buatan manusia sebagai perwujudan dari akalnya. Hasilnya
dapat diraba oleh tangan manusia, (2) Segi kerohanian tidak dapat diraba hanya
dapat dipahami lewat dengan keagamaan, kesenian dan kemasyarakatan.
Sedangkan Koentjaraningrat (1981: 186-187), berpendapat bahwa apabila
ditinjau dari wujudnya, maka kebudayaan paling sedikit memiliki tiga wujud
yaitu:

16
1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide–ide, gagasan, nilai–
nilai, norma–norma, peraturan dan sebagainya. Wujud kebudayaan ini
adalah wujud ideal dari kebudayaan yang bersifat abstrak, tidak dapat
dirasa dan diphoto.
2) Wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas serta berpola dari
manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan ini disebut sistem
sosial mengenai tindakan yang berpola dari manusia itu sendiri.
3) Wujud kebudayaan sebagai benda–benda hasil karya manusia. Wujud
kebudayaan ini disebut juga kebudayaan fisik, aktivitas, perbuatan dan
karya manusia dalam masyarakat. Maka sifatnya paling konkrit dan
berupa benda–benda yang dapat diraba, dilihat dan diphoto.
Selain memiliki wujud sebagai suatu kompleks ide, kompleks aktivitas dan
benda–benda, kebudayaan menurut Koentjaraningrat yang dikutip M. Suprihadi
(1982) juga mempunyai unsur–unsur universal. Suatu unsur universal artinya
bahwa unsur–unsur yang terkandung dalam kebudayaan tersebut dapat ditemukan
dimanapun di dunia, baik yang kecil maupun yang besar dan kompleks dengan
suatu jaringan yang cukup luas. Unsur–unsur universal tersebut sekaligus
merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini yaitu ; (1) Sistem
religi, (2) Sistem organisasi kemasyarakatan, (3) Sistem pengetahuan, (4) Bahasa,
(5) Kesenian, (6) Sistem mata pencaharian, (7) Sistem teknologi dan peralatan.
Dari ketujuh unsur di atas, ada yang mudah berubah dan ada yang sulit
untuk mengadakan perubahan. Unsur religi merupakan salah satu unsur
kebudayaan yang sulit sekali untuk mengadakan perubahan sebab religi
merupakan unsur yang hakiki dalam diri manusia. Manusia dengan
kebudayaannya selalu berkembang, berproses atau menyejarah. Demikian pula
cabang–cabang budayanya terus berkembang dan mengalami perubahan–
perubahan baik lambat ataupun cepat. Perubahan kebudayaan menurut R.
Soekmono (1983) disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor dari dalam dan dari
luar. Yang dimaksud dengan faktor dari dalam adalah merupakan faktor–faktor
yang berasal dari manusia itu sendiri sebagai pendukung kebudayaan, sedangkan
faktor–faktor dari luar yaitu merupakan faktor–faktor yang berasal dari alam,

17
yang bisa berupa gunung meletus dan lain–lain. Kedua faktor tersebut
menyebabkan perubahan kebudayaan, baik akan mengakibatkan semakin
berkembangnya kebudayaan atau bahkan akan menjadikan kebudayaan itu runtuh.
M. Suprihadi (1982), membagi ciri–ciri kebudayaan menjadi tiga yaitu :
(1) Kebudayaan itu bersifat menyejarah dan kebudayaan manusia berkembang
dan senantiasa berjalan terus, (2) Kebudayaan itu berada dan berkembang dalam
ruang geografis tertentu. Dalam hal ini ada kebudayaan Jawa, Batak dan lain–lain,
(3) Kebudayaan itu berpusat pada perwujudan nilai–nilai tertentu.
Kebudayaan nasional dalam penjelasan UUD 1945 pasal 32 adalah
kebudayaan yang timbul sebagai usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya
termasuk kebudayaan lama dan asli sebagai puncak kebudayaan daerah–daerah
seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan harus merupakan budaya yang
menuju ke arah kemajuan, adab, budaya, persatuan dengan tidak menolak bahan–
bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan dan memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan Indonesia.
Kebudayaan daerah berpuncak pada budaya yang mempunyai nilai–nilai budaya
yang bermutu tinggi dan berasal dari kehidupan masyarakat di Indonesia.
Kebudayaan tradisional seharusnya mempunyai tujuan memperdalam identitas
karena dengan adanya identitas, kebudayaan dapat berkembang dan melahirkan
kebudayaan baru.
b. Kebudayaan Jawa

Lahir dan berkembangnya kesenian tradisional Jawa tidak dapat


dilepaskan dari proses perkembangan kebudayaan Jawa. Sebenarnya tidak saja
berlangsung secara harmoni tetapi penuh pula dengan berbagai konflik. Secara
historis akar konflik kebudayaan Jawa berupa pertentangan budaya antara :

1) Budaya pedalaman dengan budaya pesisiran.


2) Budaya Karaton Mataram dengan budaya rakyat.
3) Budaya santri dengan budaya abangan.
Ketiga konflik ini terjadi bersama-sama, saling terkait, dan saling
mempengaruhi. Namun dalam hal ini penulis akan lebih menjelaskan tentang

18
pertentangan budaya yang ke dua, yakni Pertentangan antara budaya Karaton
dengan budaya rakyat.

Perbenturan budaya pesisir dan pedalaman melahirkan konflik budaya


baru, yakni budaya tradisional/rakyat dengan budaya karaton. Ini terjadi ketika
budaya pedalaman semakin kokoh dan kekuasaan Mataram membuat benteng
budaya baru berupa keraton dan pembagian daerah keraton.

Karaton merupakan sentrum dan daerah yang lain misalnya mancanegari,


brang wetan, pesisiran, dan lain-lain dianggap sebagai kesenian 'resmi' dan
adiluhung, sedangkan kesenian lain di luar wilayah karaton dianggap sebagai seni
pinggiran yang secara estetis dan etik di bawah kesenian karaton.

Kesenian dalam kosmologis karaton merupakan kesenian yang mengalami


sofistikasi, perumitan, pecanggihan, sekaligus pensakralisasian. Kesenian karaton
menjadi kesenian yang mengambil jarak sedemikian rupa dengan varian
kebudayaan dan masyarakat di luar karaton. Masyarakat di luar karaton dianggap
tabu untuk menyelenggarakan atau melakukan kesenian produk karaton. Tari
bedhaya misalnya, merupakan tarian sakral yang hanya boleh dilakukan,
dipentaskan, dan ditonton oleh pihak karaton, yang merupakan penguasa.

Tari bedhaya sebagai kreasi kesenian karaton memformulasikan diri


sebagai sesuatu yang serba halus, hati-hati, selaras, dan teratur. Karena itu, sangat
menutup kemungkinan adanya improvisasi. Kesenian di luar wilayah karaton
menemukan tandingannya dengan munculnya kesenian-kesenian baru yang
terutama sekali menemukan lahan subur di wilayah pengaruh budaya pesisiran.

Muncul kesenian-kesenian rakyat yang merupakan produk dari sistem


masyarakat grass-root yang menafikan keteraturan, kecanggihan, dan kerumitan
yang menjadi ciri kebudayaan karaton. Timbul kesenian-kesenian seperti tayub,
ledek, janger, tandak, ronggeng, dan sejenisnya. Kehalusan, kerumitan, dan
keteraturan yang menjadi standar estetika budaya karaton dilawan dengan
kebebasan, keekspresifan, dan kebebasan improvisasi.

Kesenian karaton yang bersikap tertutup dan mensyaratkan suasana yang

19
khusus, maka kebalikannya kesenian rakyat atau pesisiran berlangsung dengan
suasana pesta dan hiruk-pikuk yang kemudian menghadirkan suasana yang serba
permisif. Dengan demikian estetika kesenian rakyat atau pesisiran secara sadar
mendudukkan dirinya sebagai kesenian atau kebudayaan massa.

Kebudayaan karaton juga memunculkan fenomena baru di mana pihak


penguasa dapat mensahkan kehadiran seorang kreator seni sebagai abdi atau
pegawai karaton (penguasa). Hal ini dapat dilihat dengan munculnya pujangga
karaton yang digaji untuk berkarya. Produk-produk sastra kapujanggan seperti
misalnya Wedhatama, Tripama, dan serat-serat Ronggowarsito merupakan produk
karaton yang isinya hampir semuanya menceritakan dan mengatur perilaku rakyat
terhadap penguasa atau perilaku penguasa terhadap rakyat. Pada titik ini kesenian
karaton lebih menekankan kesenian atau estetika dalam bingkai politis dan
filosofis, sedangkan kesenian rakyat (pesisiran) lebih menekankan pada fungsi
ekonomis (www.karatonsurakarta.com/kebudayaanjawa)

1) Kebudayaan Karaton Mataram


Kerajaan Mataram didirikan pada abad ke-8 oleh Sanjaya. Selama kurang
lebih dua abad lamanya, kerajaan ini mengalami kejayaan dan menguasai seluruh
wilayah Jawa Tengah, sebagian Sumatera, dan Bali. Sekitar abad ke-10 kekuasaan
Mataram semakin menyusut dan tenggelam di antara kerajaan lain, seperti
Majapahit, Demak, dan Pajang. Baru sekitar abad ke-15 kerajaan ini bangkit lagi,
dan sempat mengalami kejayaan kembali di bawah pemerintahan Sultan Agung.
Sejak berdiri pada abad ke-8, kerajaan Mataram sudah dipengaruhi oleh
kebudayaan Hindu karena Sanjaya sebagai raja pertama menganut agama Hindu.
Baru setelah Mataram bangkit kembali di abad ke-15, Senopati sebagai raja
pertama ketika itu menganut Islam. Akulturasi antara kebudayaan Jawa, Hindu,
dan Islam mendominasi kehidupan tradisi Mataram seperti yang masih dapat kita
lihat sampai sekarang.
Pada pertengahan abad ke-18, Mataram kembali mengalami kemunduran
akibat perpecahan di antara kerabat raja sendiri. Soekmono (1983: 69-70) menulis
tentang hal itu, yakni sebagai berikut :

20
“Dalam pertengahan pertama abad ke-18 Mataram sampai tiga kali
mengalami peperangan perebutan tahta, yang akhirnya mengakibatkan
terpecahnya kerajaan yang sudah sempit itu (sejak tahun 1743 hanya
tinggal daerah Bagelen, Kedu, Surakarta, dan Yogyakarta saja) menjadi
kerajaan Surakarta dengan Paku Buwono III dan Yogyakarta dengan
Hamengku Buwono I, yaitu menurut perjanjian Gianti dalam tahun 1754.
Dua tahun kemudian daerah Surakarta malahan dibagi lagi antara Paku
Buwono III dan Mangkunegoro I. ...tahun 1812 daerah Yogyakarta dibagi
antara Hamengku Buwono I dengan Paku Alam I, sehingga pada masa itu
Mataram memiliki 4 buah Karaton yang terpisah.”

Karaton Paku Buwono III menempati desa Sala yang terletak di tepi
sungai Bengawan Sala, sedangkan Karaton Mangkunegoro I terletak di sebelah
barat laut Karaton Paku Buwono III, yaitu di tepi sungai Pepe. Daerah Karaton
Paku Buwono, atau lebih dikenal sebagai Kasunanan dan sekitarnya, yang
digabung dengan daerah Karaton Mangkunegoro dan sekitarnya, seluruhnya
disebut Hing Soera Karta Adiningrat atau sekarang kota Surakarta. Di tempat
itulah Karaton Kasunanan dan Mangkunegara kemudian didirikan, sebagian
penduduk aslinya bekerja sebagai abdi dalem, dari pengurus karaton, pelayan raja
dan keluarganya, pengawal dan prajurit, sampai pembatik karaton. Para pembatik
ini membuat batik hanya untuk keperluan lingkungan karaton. Pada masa itulah,
yakni sekitar abad ke-18 batik mengalami penyempurnaan dalam teknik
pembuatan karena mulai dikerjakan dengan canting yang dapat menghasilkan
motif rumit dan halus. Sebelumnya, batik dikerjakan dengan sepotong bambu
yang dihaluskan pada bagian ujungnya untuk memindahkan malam panas ke
permukaan kain (Darsiti Soeratman, 1989).
Setiap karaton memiliki pembatik yang memberikan ciri khas pada
batiknya. Mengenai pembuatan motif batik pada masa kejayaan Mataram itu,
Hardjonagoro dalam bukunya Batik Tradisional Selayang Pandang mengatakan :
“Di zaman Mataram berjaya, tidak sembarang orang boleh menciptakan
motif batik. Penciptaan motif harus atas perintah raja atau pejabat tinggi
kerajaan yang diberi wewenang untuk itu. Si pencipta, yaitu pembatik
Karaton yang ditugaskan untuk menciptakan motif, mencari ilham dengan
melalui beberapa tahap membersihkan diri, seperti semedi, doa dan puasa,
mutih.”

21
Karena proses penciptaan motif yang tidak sembarang itulah, kalangan
karaton pada khususnya, dan masyarakat yang mengerti adat istiadat karaton pada
umumnya, sungguh-sungguh mematuhi aturan pemakaian batik tradisi.
Ciri khas yang terdapat pada batik karaton, seperti di Karaton Kasunanan
pada umumnya adalah penggunaan motif tumbuhan pola ceplok dan warna soga,
dan di Karaton Mangkunegara umumnya penggunaan motif tumbuhan pola semen
dan warna kekuningan. Batik tersebut kemudian banyak ditiru oleh pembatik di
luar karaton, khususnya para pengusaha.
2) Kebudayaan Rakyat.
Setelah Mataram tidak lagi mempunyai kekuasaan politik di sekitar tahun
1930-an, sebagian besar kegiatannya, termasuk membatik, berubah menjadi
kegiatan berdagang. Hubungan dagang antara wilayah Surakarta dan sekitarnya,
terutama wilayah pesisir, banyak berpengaruh terhadap perkembangan usaha batik
di Surakarta.
Setelah pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, yang
menyebabkan kegiatan batik berhenti sesaat, memunculkan ide untuk
menggiatkan kembali usaha batik melalui berbagai upaya yang antara lain,
menggabungkan motif tradisi Surakarta dengan warna batik pesisir. Upaya ini
dipelopori oleh Hardjonagoro, dan hasilnya dikenal sebagai ‘batik Indonesia’
sekitar tahun 1950-an.
Upaya yang dilakukan Hardjonagoro banyak ditiru oleh pengusaha batik
Surakarta, di samping muncul pula batik buketan khas Pekalongan, yang
umumnya dibuat oleh pengusaha batik Surakarta keturunan Cina. Penggabungan
motif tradisi Surakarta dengan warna batik pesisir ini terutama memberikan
pengaruh terhadap batik modern Surakarta.
Menurut Hardjonagoro dalam bukunya Batik Tradisional Selayang
Pandang, ada tiga jenis batik Surakarta yang mendapat pengaruh batik pesisir,
yaitu:
a) Batik dengan gabungan motif tradisi dan motif baru, menggunakan
warna-warni pesisir, serta masih memiliki arti perlambangan.

22
b) Batik yang sama dengan di atas, tetapi tidak lagi memiliki arti
perlambangan apapun.
c) Batik dengan motif yang meniru batik buatan petani, menggunakan
warna gabungan tradisi dan pesisir.
Ketiga jenis batik di atas dikerjakan dengan teknik tulis dan dalam jumlah
terbatas. Motif baku batik pesisir yang mendapat pengaruh kebudayaan asing,
seperti Cina, Belanda, Arab, juga digunakan pada beberapa batik Surakarta.
Contohnya batik naga raja dan batik sapanti nata yang dibuat oleh R.A Partini
Partaningrat pada tahun 1964. Kedua batik tersebut menggunakan motif baku
yang diambil dari mitos Cina, yang juga banyak digunakan pada batik pesisir.
(Hardjonagoro, 1991)

3. Batik
Menurut sejarahnya batik merupakan barang seni yang memiliki nilai –
nilai kultural yang unik. Semula batik hanya digunakan sebagai pakaian eksklusif
keluarga Keraton (Edward Soaloon Simanjuntak, 1982: 73). Pada awal
perkembangannya batik hanya dimonopoli oleh kerabat keraton baik dalam
pembuatannya ataupun dalam hal pemakaian. Batik merupakan salah satu seni
budaya keraton dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh latar belakang
budaya dan agama yang berkembang di keraton. Batik di keraton Surakarta sangat
dipengaruhi oleh berbagai latar belakang budaya Hindu dan Jawa. Hal ini
tercermin pada seni batik di daerah ini baik ragam hias dan warna, serta aturan
atau tata cara pemakaiannya (Nian S. Djoemena, 1990: 10). Keberadaan batik
selain terpengaruh oleh latar belakang budaya keraton ternyata tidak lepas dari
pengaruh budaya asing.
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa batik adalah suatu cara
untuk melukis di atas kain (mori, katun, teteron, ada kalanya kain sutera dan lain –
lain) dengan cara melapisi bagian – bagian yang tidak berwarna dengan lilin yang
disebut malam (bahasa Jawa : lilin) yang sering dicampur dengan parafin, damar
atau colophonium (Sri Hastuti, 2003: 12).

23
Menurut Achmad Sanusi dalam bukunya Batik (2000), kata batik semula
dari kata “tik” yang artinya titik. Membuat titik sebagai kata kerja dapat
menggunakan kata “matik” (“ma” sebagai kata awal yang artinya mengerjakan
sesuatu). Kata “mataik” berkembang menjadi mbatik...........batik. Jadi pekerjaan
membuat titik – titik dengan cara meneteskan cairan lilin pada kain (mori) disebut
membatik (mbatik, bahasa Jawa).
Menurut Soedardjo (1990 : 1) dapat pula diartikan sebagai suatu cara
pembuatan ragam hias permukaan kain yang berprinsip penolakan atau riset,
dimana bagian yang dikehendaki tidak terkena tinta atau warna ditutup dengan
lilin dengan memakai alat canting atau cap.
Sedangkan Clifford Geerzt (1983 : 385) mendefinisikan batik sebagai
berikut : “Batik adalah lukisan kain yang kebanyakan bersifat abstrak, dengan
menggunakan canting serta warna biru tinta atau coklat, kadang kuning atau
coklat kemerah – merahan”.
Batik secara etimologi dihubungkan dengan suku kata “tik” yang diartikan
sebagai akhiran kata yang bersifat kecil. Salah satu contoh misalnya bagian yang
terkecil dari jari disebut “jentik”. Bila dilihat dalam Kamus Bahasa Jawa Kawi
yang terdapat kata “tikan” yang berarti huruf atau lebih tepatnya sebagai “serat”
berarti menulis. Sedangkan “baya” yang mempunyai arti suatu kain atau pola.
Bila digabung menjadi satu terjadilah kata “bayantikan” yang mempunyai arti
sebagai kain atau pola yang ditulis, bermakna sebagai seratan. Dalam
perkembangannya kain tersebut menjadi “batikan” yang merupakan kata seperti
istilah sekarang.
Pengertian batik juga dikenal di lingkungan keraton di Jawa sebagai
“mbatik” atau seratan yang merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh
subur. Dalam kesusastraan Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan kain batik dengan
proses tulis tangan ini semula dibahasakan sebagai “serat nitik”. Baru kemudian
setelah pindahnya Keraton Kartasura ke Surakarta muncul istilah “mbatik” yaitu
gabungan dua kata Jawa Ngoko (Jawa Kasar) “mbat” yang artinya memainkan
dan “tik” dari kata “nitik” yang artinya memberi titik (Sofwandi, 1980: 3 dalam
Sri Hastuti, 2003: 13).

24
Perkataan batik merupakan penegasan kata mbatik yang berlaku di Jawa,
adalah suatu proses pembuatan ragam hias permukaan kain dengan teknik
pengalaman yang semula sebagai meditasi dan konsentrasi oleh putri – putri
keraton.
Pengertian batik juga dijelaskan oleh Hamzuri dalam bukunya yang
berjudul Batik Klasik sebagai berikut :
........pengertian batik adalah lukisan atau gambaran pada mori dengan
menggunakan alat bernama canting. Orang melukis atau menggambar
pada kain mori memakai canting inilah yang disebut membatik (bahasa
Jawa : mbatik). Membatik menghasilkan batik atau batikan berupa macam
–macam motif dan mempunyai sifat–sifat khusus yang dimiliki batik itu
sendiri (Hamzuri, 1981: 6).

Batik adalah sehelai wastra yakni sehelai kain yang dibuat secara
tradisional, yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam
atau lilin batik sebagai bahan perintang warna. Dengan demikian, suatu wastra
dapat disebut batik bila mengandung dua unsur pokok : teknik celup rintang yang
menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas
batik (Doellah, 2002: 10).
Dari berbagai pendapat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
batik merupakan suatu lukisan di atas kain mori dengan rangkaian titik hingga
membentuk suatu pola atau ornamen tertentu dan proses tertentu pula serta
canting sebagai alat lukisannya. Meskipun pada perkembangan sekarang batik
dapat juga dilakukan dengan alat selain canting, misalnya cap maupun alat – alat
lainnya.
Batik telah lama sekali dikenal di Indonesia, khususnya di Jawa dan
Sumatra. Batik mengalami perkembangan yang pesat, hal itu dilihat dari pola-pola
batik yang masih ada dan bermunculan motif-motif baru walaupun belum bisa
dikategorikan klasik karena motif-motif tersebut sangat variatif, maka perlu
adanya pendekatan, yaitu melalui pendekatan jenis-jenis motifnya, antara lain
sebagai berikut :

25
a. Batik Klasik
Arti klasik adalah merupakan suatu karya (umumnya dari masa lampau)
yang bernilai seni serta ilmiah tinggi berkadar keindahan dan tidak luntur
sepanjang masa (Shadily, 1991: 1793). Berdasarkan pengertian di atas maka batik
klasik merupakan suatu karya seni yang bersifat kuno atau tradisi yang memiliki
kadar keindahan tinggi. Berkembang pesat dan mencapai puncaknya serta tidak
luntur sepanjang masa, karena bermakna filosofis, yaitu mengandung unsur-unsur
ajaran hidup yang banyak digunakan, khususnya oleh masyarakat Jawa.
Keindahan batik klasik ada 2 macam, yaitu :
1) Keindahan visual, yaitu rasa indah yang diperoleh karena perpaduan
yang harmoni dari susunan bentuk dan warna melalui penglihatan
panca indera.
2) Keindahan jiwa atau filosofi, yaitu rasa indah yang diperoleh karena
susunan arti atau lambang yang membuat gambar sesuai dengan
paham yang dimengerti (Susanto, 1980: 179).
Keindahan batik klasik terletak pada susunan motif, warna, pola dan
teknik pembuatannya yang sangat sempurna, motifnya banyak yang menerapkan
motif gubahan (slitiran) baik bentuk binatang, batu-batuan, awan, air, tumbuhan,
gunung api dan sebagainya (Hamzuri, 1981: 36). Pada batik klasik susunan
motifnya selalu terikat oleh suatu ikatan tertentu dan isen-isen tertentu, apabila
menyimpang dari ikatan yang sudah menjadi tradisi itu dikatakan menyimpang
dari ikatan tradisi dari batik klasik (Susanto, 1980: 15).
Batik di Indonesia telah mengalami perkembangan desain sebagai akibat
dari perpaduan dengan berbagai budaya yang pernah masuk ke Nusantara. Daerah
penghasil kain batik yang paling menonjol adalah pulau Jawa yang berpusat,
antara lain di Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, Cirebon, Tasikmalaya dan
Garut. Berdasarkan sejarah batik berkembang dengan pesatnya kira-kira tahun
1755, yaitu zaman Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Pada waktu itu masing-
masing Keraton mengembangkan gayanya sehingga kaya akan motif, corak
maupun pewarnaannya. Keraton bukan hanya sekedar kediaman raja, namun juga

26
merupakan pusat pemerintahan, agama dan kebudayaan. Keadaan ini
mempengaruhi ragam hias warna serta aturan (tatacara) pemakainya.
b. Batik Kontemporer (Modern)
Menurut Bambang Utoro dan Kuwat, dalam bukunya yang berjudul “Pola-
Pola Batik dan Pewarnaan” arti kata kontemporer adalah dewasa ini atau masa
kini. Maka motif-motif batik kontemporer yaitu motif-motif batik dewasa ini.
Batik kontemporer sebagian besar dibuat oleh para seniman, juga para desainer
batik.
Batik kontemporer dibuat bukan untuk dipakai, tetapi untuk keperluan
dekorasi atau hiasan dinding. Motif yang dibuat dalam batik kontemporer sangat
bebas tergantung seniman atau desainernya. Memang pada batik ini dibuat dengan
teknik seperti melukis, dan terikat pada alat yang biasa dipakai, yaitu canting.
Pelaksanaannya persis seperti melukis, hanya teknik dan proses pewarnaannya
sama dengan proses batik (Utoro, Kuwat, 1979: 101).
Menurut Sewan Susanto dalam bukunya Teknik Membuat Batik
Tradisional dan Batik Modern, yang dimaksud dengan “Batik Kontemporer” ialah
semua jenis batik yang motif dan gayanya tidak seperti batik klasik. Pada batik
klasik susunan motifnya terikat oleh suatu aturan tertentu dan dengan isen – isen
tertentu. Bila menyimpang dari ikatan atau aturan yang sudah menjadi tradisi itu,
dikatakan menyimpang dari batik, maksudnya menyimpang dari batik klasik.
Mulai tahun 1967 mulailah ada usaha perubahan dan pembaruan dalam
motif batik dan gaya motif batik, dan ternyata pada tahun 1970 perubahan ini
mendapat sambutan dari beberapa seniman dan dapat diterima oleh masyarakat.
Pada tahun-tahun berikutnya, para tokoh batik yang dinamis dan beberapa
seniman turut serta mengambil bagian dalam pengembangan batik bukan klasik
atau batik kontemporer ini. Maka timbullah beberapa jenis batik dalam batik
kontemporer ini antara lain :
1) Gaya abstrak dinamis, misalnya menggambarkan burung terbang,
ayam tarung atau beradu, garuda melayang, ledakan senjata, loncatan
panah, rangkaian bunga dan sebagainya.

27
2) Gaya gabungan, yaitu pengolahan dan penggabungan motif-motif dari
berbagai daerah menjadi suatu rangkaian yang indah.
3) Gaya lukisan, jenis ini menggambarkan yang serupa lukisan, seperti
pemandangan, bentuk bangunan dan sebagainya, diisi dengan isen
yang diatur rapi sehingga menghasilkan suatu hasil seni yang indah.
4) Gaya khusus dari ceritera lama, misalnya diambil dari Ramayana, atau
Maha Bharata. Gaya ini kadang-kadang seperti campuran antara riil
dan abstrak. (Susanto, 1975: 19)
Dengan pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa batik kontemporer
merupakan variasi dalam perkembangan batik, dengan motif-motif yang masih
dapat dibedakan menjadi unsur-unsurnya, tetapi ornamen di dalamnya tidak lagi
berupa ornamen-ornamen tradisional melainkan sudah diadakan modifikasi atau
perubahan. Begitu pula dengan pewarnaannya, yaitu dengan cara
mengkombinasikan warna-warna batik tradisional.

B. Kerangka Berpikir

Kebudayaan

Kesenian

Kontemporer
Bentuk kesenian lain

Seni Batik

Klasik Pengembangan
Batik Klasik

Persepsi Masyarakat

28
Keterangan :
Kebudayaan itu memiliki unsur–unsur universal yang dapat menunjang
perkembangannya, yakni diantaranya ; (1) Sistem religi dan upacara keagamaan,
(2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) Sistem pengetahuan, (4) Bahasa,
(5) Kesenian, (6) Sistem mata pencaharian, (7) Sistem teknologi dan peralatan
(Koentjaraningrat, 2004: 2).
Unsur–unsur di atas, dapat dilihat bahwa unsur kesenian atau seni
mempunyai fungsi yang penting yakni sebagai cermin masyarakat Indonesia,
yaitu sebagai suatu bentuk kesenian yang diekspresikan untuk menopang identitas
dan pola perilaku pada masyarakat. Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan
yang merupakan perintis dari perkembangan manusia baik sosial maupun
individual. Setiap kebudayaan mengembangkan suatu jenis seni.
Dalam hal ini, salah satu bentuk atau hasil seni adalah batik klasik. Batik
merupakan karya adiluhung yang unik karena di dalam prosesnya membutuhkan
waktu yang panjang, perlu kesabaran, ketelitian, serta ketekunan. Sebagai suatu
hasil seni, batik mengutamakan seni keindahan dari sudut lain, dimana batik
berkembang sebagai suatu kebutuhan sandang sehingga dalam perkembangannya
mencari cara yang lebih praktis.
Batik itu sendiri secara umum dibedakan menjadi dua jenis yaitu batik
klasik dan batik multi warna atau batik kontemporer. Perbedaannya adalah dalam
pembuatan batik klasik terdapat empat aspek yang harus diperhatikan, yakni :
motif, warna, teknik pembuatan, dan fungsinya. Batik klasik memiliki keindahan
visual karena semua ornamen, isian dalam pola atau “carik” tersusun dengan rapi
dan harmonis. Pola batik klasik merupakan suatu pola yang sudah pakem, seperti
pola : truntun, sido mukti, dan wahyu tumurun. Batik yang diproduksi atau yang
dibuat merupakan suatu kesatuan yang runut karena sudah ada pakemnya, aturan–
aturannya serta mempunyai maksud tersendiri. Sedang batik kontemporer
pembuatannya sesuai dengan kreatifitas atau sesuka pembatik yakni dengan cara
penggabungan motif-motif yang sudah ada atau murni kreasi sendiri.
Pertimbangan dibuatnya batik kontemporer dari segi kebebasan ekspresi dan
disesuaikan dengan pangsa pasar.

29
Pada masa sekarang, batik dapat dipakai oleh semua jenis golongan
masyarakat, bangsawan, ningrat maupun rakyat biasa. Batik digunakan tidak
hanya dalam upacara ataupun kegiatan–kegiatan resmi, namun sering juga
digunakan dalam kegiatan harian. Masalah yang kemudian timbul adalah telah
terjadi pergeseran makna dari batik itu sendiri. Dahulu, batik itu memiliki nilai,
makna dan fungsi yang sakral, namun sekarang ini masyarakat umumnya hanya
menilai batik hanya sebagai busana atau pakaian dalam acara–acara resepsi
belaka. Salah satu penyebab dari pergeseran makna ini menurut penulis adalah
disebabkan oleh era zaman yang telah berganti. Sehingga mengakibatkan pada
masa sekarang ini semakin minim pengetahuan dan pengenalan masyarakat
tentang makna dan fungsi batik itu sendiri. Hal ini semakin diperparah dengan
munculnya batik printing atau cap yang menguasai pasar perbatikan. Sehingga
menyebabkan semakin berkurangnya apresiasi atau penghargaan masyarakat yang
masih awam terhadap batik klasik yang merupakan aset dan warisan budaya yang
wajib dikaji dan dilestarikan.
Dari latar belakang di atas mendorong penulis untuk mengadakan
penelitian tentang “Persepsi Masyarakat Surakarta Terhadap Seni Batik Klasik”.
Penulis ingin mengetahui persepsi masyarakat Surakarta terhadap seni batik klasik
sebagai upaya melestarikan kebudayaan bangsa dan mendukung pengembangan
budaya klasik yang ada di Surakarta.

30

You might also like