You are on page 1of 25

Volume 88 Number 862 June 2006

Prinsip-prinsip yurisdiksi universal dan saling melengkapi: bagaimana dua prinsip berhubungan?
Philippe Xavier * Philippe Xavier adalah Legal Advisor ICRC untuk Eropa Timur di Moskow dan Profesor Hukum Publik di Universities of AixMarseille III dan Western Cape Abstrak Artikel ini membahas hubungan antara prinsip-prinsip yurisdiksi universal dan saling melengkapi dan kesulitan-kesulitan dalam implementasinya. Bahkan jika kedua prinsip sangat terkenal, masih ada sejumlah hambatan - hukum dan non-hukum - untuk implementasi yang tepat dan lebih baik. Selain itu, universalitas dan saling melengkapi (complementarity) cukup sering diterapkan dalam lingkungan politik yang sulit, mengingat prinsip-prinsip ini harus berhadapan dengan kendala internasional dan nasional. Jumlah kendala sedemikian banyaknya sehingga kedua prinsip tersebut menghadapi banyak tantangan. Artikel ini mendukung bahwa prinsip saling melengkapi merupakan salah satu aspek dari prinsip universalitas dan harus mengandalkan penerimaannya secara umum untuk memajukan efisiensi dan implementasinya. Dalam kesimpulan, artikel ini mengeksplorasi beberapa ide yang dimungkinkan untuk dikembangkan guna mencapai tujuan ini. Dapatkah sesuatu yang asli atau baru ditemukan atau ditegaskan mengenai prinsip-prinsip yurisdiksi universal dan saling melengkapi?1 Banyak artikel telah ditulis mengenai topik yang hangat diperdebatkan ini, dan sulit untuk mempercayai bahwa sesuatu yang baru bisa diungkapkan. Namun, kontroversi seputar prinsip saling melengkapi yang muncul seiring pengadopsian Statuta Roma di tahun 1998, pendirian Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC), dan proses pengadilan terhadap mantan-mantan kepala negara seperti Augusto Pinochet dari Chili di Inggris atau Hissene Habr dari Chad di Senegal telah menunjukkan bahwa sesuatu telah berubah, meskipun
* Artikel ini merefleksikan pandangan penulis sendiri dan belum tentu pandangan ICRC. 1 Artikel ini tidak mengklaim kajian mendalam tentang prinsip-prinsip yurisdiksi universal dan saling melengkapi tetapi untuk mengevaluasi hubungan dan implikasi praktis mereka. Jumlah literatur tentang kedua prinsip ini substansial.

kebanyakan dari usaha semacam itu berakhir dengan kegagalan. Selain itu, berbagai aspek tentang isu tersebut - mulai dari kesesuaian Statuta ICC dengan ketentuan-ketentuan konstitusional hingga imunitas kepala negara dan undang-undang amnesti belakangan mulai dipertimbangkan oleh beberapa mahkamah konstitusi. Ada titik awal yang tidak dapat diabaikan ketika berhadapan dengan subjek yurisdiksi universal dan saling melengkapi: walaupun prinsip-prinsip ini dibahas secara luas, pada prakteknya masih ada berbagai kejahatan internasional yang tidak dihukum kendati kewajiban internasional untuk mengadili mereka yang melakukannya. Dalam banyak kasus prinsip aut dedere aut judicare tetap murni bersifat teoritis, dan menyatakan bahwa negara-negara yang dengan berani mencoba menerapkan prinsipprinsip yurisdiksi universal dan saling melengkapi dengan cara yang lebih sistematis dan konkret melalui legislasi nasional mereka tidak terlalu lama untuk menyadari bahwa kendala nyata politik atau diplomasi berbentrokan dengan konsep yurisdiksi universal. Sayangnya, alasan-alasan politik mengungguli pertimbangan hukum dalam sejumlah kasus! Kadang kala seseorang bertanya-tanya apakah diskusi tentang prinsip-prinsip yang dikatakan tidak lebih dari sebuah latihan akademis tanpa hasil yang nyata. Dengan mencermati makna dan implementasi prinsip-prinsip yurisdiksi universal dan saling melengkapi, artikel ini berupaya mengevaluasi hubungan antara keduanya, mendukung bahwa komplementaritas merupakan cara yang lebih baik untuk menegakkan tujuan yang dikejar oleh yurisdiksi universal.2 Sampai saat ini hanya good will dari Negara-negara yang bisa diandalkan untuk menjamin implementasinya dalam itikad baik (good faith), karena tidak ada mekanisme sanksi yang dibuat untuk mempengaruhi mereka, tanpa persetujuan mereka, untuk mematuhi kewajiban-kewajiban mereka. Apakah situasi tersebut kini bertahan, mengingat perubahan yang terjadi tentang selama sepuluh tahun terakhir oleh ICC atau pembentukan mahkamah-mahkamah ad hoc atau gabungan? Apakah ada dinamika baru di balik prinsip yurisdiksi universal? Apakah prinsip saling melengkapi merupakan suatu solusi yang akan memungkinkan yurisdiksi universal menjadi lebih pragmatis untuk ditegakkan? Belum perlu ada jawaban yang jelas terhadap semua pertanyaan ini. Yurisdiksi universal masih sering terjawab dengan benar oleh legislasi nasional karena kurangnya ketentuan-ketentuan penegakan yang tepat. Selain itu, ICC belum memberikan keputusan apapun, meninggalkan ruang untuk sebuah kandungan virtual dari prinsip saling melengkapi. Setelah definisi tentatif untuk istilah 'yurisdiksi universal' dan 'prinsip saling melengkapi', artikel ini mempertimbangkan hubungan antara keduanya. Kemudian menggarisbawahi hambatan penegakan
Hubungan ini diingatkan dalam mukadimah Statuta ICC: (prinsip aut dedere aut judicare) "Menegaskan bahwa kejahatan paling serius yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan tidak terhukum dan bahwa penuntutan efektif harus dipastikan dengan mengambil langkah-langkah di tingkat nasional dan dengan meningkatkan kerjasama internasional (para. 4); (yurisdiksi universal) Mengingatkan bahwa adalah kewajiban dari setiap Negara untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan internasional (para. 6); ( prinsip saling melengkapi) Menekankan bahwa Mahkamah Pidana Internasional yang didirikan berdasarkan Statuta ini harus bersifat melengkapi yurisdiksi pidana nasional (para. 10).
2

prinsip-prinsip tersebut, sebelum mengakhiri dengan beberapa solusi yang dimungkinkan untuk meminimalkan ancaman potensial terhadap penegakan praktis dari yurisdiksi universal. Definisi prinsip-prinsip 'yurisdiksi universal' dan 'saling melengkapi' Walaupun makna umum dari kedua prinsip ini dikenal, definisi keduanya memberi pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas dan batas keduanya. Yurisdiksi universal Makna umum Prinsip yurisdiksi universal secara klasik didefinisikan sebagai 'suatu prinsip hukum yang memperbolehkan atau mengharuskan suatu negara untuk melakukan proses pidana mengenai kejahatan tertentu terlepas dari lokasi kejahatan dan kewarganegaraan pelaku atau korban.3 Prinsip ini dikatakan mengurangi aturan-aturan biasa yurisdiksi pidana yang mewajibkan hubungan teritorial atau personal dengan kejahatan, pelaku atau korban.4 Tetapi dasar pemikiran di balik itu lebih luas: "didasarkan pada pemikiran bahwa kejahatan tertentu begitu berbahaya bagi kepentingan internasional sehingga Negara-negara diberi hak - dan bahkan diwajibkan melakukan gugatan terhadap pelaku, terlepas dari lokasi kejahatan dan kewarganegaraan pelaku atau korban.5 Yurisdiksi universal memungkinkan persidangan kejahatan internasional6 dilakukan oleh siapa saja, di mana saja di seluruh dunia.7 Pengurangan ini secara tradisional dibenarkan oleh dua pemikiran utama. Pertama, ada
Lihat misalnya Kenneth C. Randall, Universal jurisdiction under international law, Texas Law Review, No. 66 (1988), hal. 785-8; International Law Association Committee on International Human Rights Law and Practice, Final Report on the Exercise of universal jurisdiction in respect of gross human rights offences (Laporan Akhir Pelaksanaan yurisdiksi universal sehubungan dengan pelanggaran HAM berat), 2000, hal. 2. Perlu dicatat bahwa prinsip yurisdiksi universal tidak per se terbatas pada yurisdiksi pidana dan bisa diperluas, misalnya, tanggung jawab sipil. Ini misalnya kasus di Amerika Serikat mengenai Alien Tort Act (28 U.S.C. para. 1350.) dan keputusan terkenal Filartiga v. Pena-Irala 630F2d876 (2d Cir. 1980). Namun, mengingat kerangka artikel ini, hanya yurisdiksi universal terkait tanggung jawab pidana individu yang akan dipertimbangkan. 4 Hubungan teritorial secara bertahap telah teratasi oleh dua kriteria yang memungkinkan yurisdiksi ekstrateritorial, seperti yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan di luar teritori oleh warga negara suatu negara (yurisdiksi personalitas aktif/ active personality jurisdiction) atau kejahatan yang dilakukan terhadap warga negara suatu negara (yurisdiksi personalitas pasif/ passive personality jurisdiction). Kemungkinan kedua telah ditentang oleh beberapa negara. 5 Mary Robinson, 'Foreword', The Princeton Principles on Universal Jurisdiction (Prinsip Princeton mengenai Yurisdiksi Universal), Princeton University Press, Princeton, 2001, hal. 16. 6 Kejahatan internasional tidak didefinisikan secara tepat. Ada kejahatan yang diakui oleh hukum internasional sebagai sesuatu yang dapat dihukum oleh negara manapun. Secara tradisional, pembajakan di laut lepas dianggap sebagai salah satu kejahatan internasional pertama, didasarkan pada pelanggaran hukum internasional kebiasaan. Setelah Perang Dunia Kedua, Perjanjian London tanggal 8 Agustus 1945 yang membentuk Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg menetapkan kejahatan-kejahatan internasional yang diangkat dari hukum perjanjian dan hukum kebiasaan (kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan). Kemudian, perjanjian dan konvensi internasional menetapkan berbagai bentuk perilaku terlarang yang diakui sebagai kejahatan internasional. Prinsip 2 dari Prinsip Princeton mengenai Yurisdiksi Universal berbunyi: 1. Untuk tujuan Prinsip ini, kejahatan serius berdasarkan hukum internasional meliputi (1) pembajakan; (2) perbudakan; (3) kejahatan perang; (4) kejahatan terhadap perdamaian; (5) kejahatan terhadap kemanusiaan; (6) genosida; dan (7 ) penyiksaan. 2. Penerapan yurisdiksi universal terhadap kejahatan yang tercantum dalam paragraf 1 tidak mengurangi ketentuan penerapan yurisdiksi universal untuk kejahatan lain menurut hukum internasional'. Robinson, pada catatan 6 di atas. 7 Geraud de La Pradelle, La compe'tence universelle, dalam Herve Ascencio, Emmanuel Decaux dan Alain Pellet (eds.), Droit international penal, Ed. Pedone, Paris, 2000, hal. 974.
3

beberapa kejahatan yang begitu serius sehingga kejahatan-kejahatan tersebut merugikan seluruh masyarakat internasional. Kedua, tidak ada surga (safe havens) bagi mereka yang melakukannya. Meskipun pembenaran ini mungkin terlihat tidak realistis, keduanya dengan terang menjelaskan mengapa masyarakat internasional, melalui semua komponennya - negara atau organisasi internasional - harus mengintervensi dengan mengadili dan menghukum para pelaku kejahatan tersebut. Yurisdiksi universal menjadi perhatian semua orang. Secara historis, yurisdiksi universal dapat ditelusuri kembali ke tulisan-tulisan sarjana-sarjana besar dahulu kala, seperti Grotius,8 dan ke penuntutan dan penghukuman terhadap tindak pidana pembajakan.9 Namun, setelah Perang Dunia Kedua gagasan tersebut mendapat pijakan melalui pembentukan Mahkamah Militer Internasional10 dan pengadopsian konvensi baru yang mengandung klausul eksplisit atau implisit tentang yurisdiksi universal. Konvensi Jenewa tahun 1949 adalah yang terpenting dalam hal ini, memberikan syarat-syarat yang jelas tentang yurisdiksi universal atas pelanggaran berat dari Konvensi-konvensi tersebut.11 Kejahatan internasional tidak lagi tak terhukum. Pemikiran bahwa dalam keadaan tertentu kedaulatan dapat dibatasi untuk kejahatan keji seperti itu diterima sebagai prinsip umum.12 Kemudian, konvensi internasional lain dan, sampai batas tertentu, aturan-aturan hukum kebiasaan memperbesar lingkup penerapan prinsip tersebut. Hal ini diperkuat oleh beberapa kasus, dimulai dengan kasus Eichmann tahun 1961,13 kasus Demanjuk tahun 1985,14 dan baru-baru ini kasus Pinochet tahun 199915 dan kasus Butare Four tahun 2001,16 yang menekankan bahwa yurisdiksi universal dapat menyebabkan pengadilan terhadap pelaku kejahatan internasional. Hukum internasional memberdayakan dan dalam kasus tertentu memberikan amanat kepada Negaranegara untuk menuntut kejahatan yang dianggap merugikan masyarakat internasional secara keseluruhan. Meskipun demikian, implementasi prinsip umum tetap sulit, karena prinsip yurisdiksi universal merupakan suatu isu bukan hanya hukum internasional, tetapi juga hukum nasional. Negara-negara

Lihat Grotius, De Jure Belli ac Pacis, 1625, Vol. II, Buku II, Bab. XXI, para. 3, 1-2. Lihat misalnya Amerika Serikat v. Smith, 18 US (5 Weat.) 153 pada 161-2 (1820). 10 Berdasarkan Perjanjian London tanggal 8 Agustus 1945, Pasal 1 menyatakan yurisdiksi Mahkamah atas kejahatan yang tidak memiliki lokasi geografis yang tepat dan Pasal 4 untuk yurisdiksi pengadilan nasional untuk penjahat perang lainnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Eric David, ini lebih berkaitan dengan kerjasama yudisial antara negara-negara daripada dengan yurisdiksi universal (Le droit des conflits Annes, edisi ke-3, Bruylant, Brussels, 2002, hal. 722). Namun, dalam ketentuan-ketentuan ini spirit yurisdiksi universal (tidak ada tempat yang aman (safe haven) bagi pelaku kejahatan internasional) sudah ada. 11 Juga kadang-kadang disebut pelanggaran berat hukum humaniter internasional. Lihat ketentuan yang sama KJ I, Pasal 49; KJ II, Pasal 50; KJ III, Pasal 129; KJ IV, Pasal 146. Lihat juga perluasan yang dibuat oleh Pasal 85 Protokol Tambahan I pada Konvensi Jenewa untuk kejahatan-kejahatan terdaftar. 12 Lihat Mahkamah Agung Israel, kasus Eichmann, pada 298-300; Mahkamah Agung Kanada, Finta, 24 Maret 1994, ILR, 104, pada 305. 13 Kasus Eichmann, pada catatan 12 di atas. 14 Demanjuk v. Petrovsky, Pengadilan Banding AS, 6th Cir., 31.20.1985, ILR 79, 546. 15 House of Lords, 24 Maret 1999, [1999] 2 WLR 827 (HL). 16 Cour d'Assises de Bruxelles, 8 Juni 2001, dapat diakses di http://www.asf.be/AssisesRwanda/fr/fr_VE. (Terakhir dikunjungi bulan Maret 2006).
8 9

berhak untuk memberikan pengadilannya sendiri yurisdiksi universal atas kejahatan tertentu sebagai hasil dari keputusan nasional, dan tidak hanya hasil dari aturan atau prinsip hukum internasional. Akibatnya, prinsip yurisdiksi universal tidak diterapkan secara seragam di mana-mana. Sementara suatu inti pokok memang ada, ruang lingkup yang tepat dari yurisdiksi universal bervariasi dari satu negara ke negara lain, dan pengertian ini menentang presentasi homogen. Yurisdiksi universal dengan demikian bukan konsep unik namun dapat digambarkan memiliki beberapa aspek hukum internasional dan nasional yang dapat menciptakan suatu kewajiban atau suatu kemampuan untuk menuntut. Oleh karena itu sulit untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang situasi keseluruhan. Sarana implementasi Pengakuan yurisdiksi universal oleh negara sebagai suatu prinsip tidak cukup untuk menjadikannya sebuah norma hukum yang berlaku. Pada dasarnya ada tiga langkah yang diperlukan untuk membuat prinsip yurisdiksi universal bekerja: eksistensi landsan khusus untuk yurisdiksi universal, definisi yang cukup jelas tentang pelanggaran dan unsur-unsur konstitutif, dan sarana penegakkan nasional yang memungkinkan peradilan nasional untuk menjalankan yurisdiksi mereka atas kejahatan-kejahatan ini. Jika salah satu langkah-langkah ini kurang, maka prinsip itu sangat mungkin tetap sekedar keinginan mulia. Beberapa upaya untuk mengidentifikasi kandungan dan makna konkrit yurisdiksi universal telah dilaksanakan melalui pertemuan para pakar.17 Dalam istilah praktis, kesenjangan antara keberadaan prinsip tersebut dan implementasinya masih cukup luas. Dari perspektif hukum perbandingan, negara-negara mengimplementasikan prinsip universalitas dengan cara sempit atau luas.18 Konsep sempit memungkinkan seseorang yang dituduh melakukan kejahatan internasional untuk dituntut hanya jika dia ada untuk persidangan, sedangkan konsep yang lebih luas mencakup kemungkinan memulai proses tanpa kehadiran orang yang dicari atau dituduh (persidangan in abstentia).19 Hal ini sangat mempengaruhi cara di mana prinsip itu

Lihat misalnya Laporan akhir, pada catatan 4 di atas. Empat belas prinsip berikut ini biasanya diterima sebagai prinsip panduan tentang yurisdiksi universal. Prinsip-prinsip tersebut terinspirasi oleh prinsip-prinsip Princeton, pada catatan 5 di atas, dan juga sering dirujuk oleh organisasi-organisasi non-pemerintah (LSM) yang mempromosikan prinsip yurisdiksi universal. Lihat Amnesty International: Yurisdiksi Universal: 14 Prinsip mengenai Pelaksanaan Efektif Yurisdiksi Universal ", Mei 1999, AI Index: IOR 53/01/99: 1. Pengadilan Negara harus mempunyai yurisdiksi atas pelanggaran hak asasi manusia berat dan pelanggaran hukum humaniter internasional 2. Tidak ada imunitas bagi orang-orang dalam kapasitas resmi 3. Tidak ada imunitas untuk kejahatan masa lalu 4. Tidak ada statuta pembatasan 5. Perintah atasan, paksaan dan kebutuhan tidak bisa menjadi pembelaan yang diperbolehkan 6. Hukum dan keputusan nasional yang dirancang untuk melindungi orang-orang dari penuntutan tidak dapat mengikat pengadilan di negara lain 7. Tidak ada campur tangan politik 8. Kejahatan berat menurut hukum internasional harus diselidiki dan dituntut tanpa menunggu pengaduan korban atau orang lain dengan kepentingan yang cukup 9. Jaminan-jaminan yang diakui secara internasional untuk pengadilan yang adil 10. Persidangan publik dengna pemantauan internasional 11. Kepentingan korban, saksi dan keluarga mereka harus dipertimbangkan 12. Tidak ada hukuman mati atau hukuman lain yang bersifat kejam, tidak manusiawi atau merendahkan lainnya 13. Kerjasama internasional dalam penyelidikan dan penuntutan 14. Pelatihan efektif hakim, penuntut, penyelidik dan pengacara pembela. 18 Lihat Antonio Cassese, International Criminal Law (Hukum Pidana Internasional), Oxford University Press, Oxford, 2003, hal. 285. 19 Tentang isu pengadilan in abstentia, lihat kasus ICJ Republik Demokratik Kongo v. Belgia, Kasus Surat Penangkapan tanggal 11 April 2000, 14.02.02. ICJ Rep. 2002.
17

diimplementasikan dalam fakta aktual. Sumber-sumber hukum internasional sering merujuk pada konsep sempit,20 tetapi keputusan untuk merujuk kepada konsep yang lebih luas yang cukup sering21 menjadi pilihan nasional. Namun, meskipun beberapa negara seperti Belgia atau Spanyol telah melakukan sejumlah upaya untuk memberikan efek konkrit pada prinsip yurisdiksi universal dengan mengamandemen Hukum Pidana mereka, dalam banyak kasus tetap belum diimplementasikan, sehingga lebih bersifat teoritis daripada praktis. Prinsip saling melengkapi Makna umum Prinsip komplementaritas dapat didefinisikan sebagai suatu prinsip fungsional yang ditujukan untuk memberikan yurisdiksi kepada lembaga tambahan/pendukung di saat lembaga utama gagal melaksanakan yurisdiksi utamanya. Ini tidak lain dari prinsip prioritas di antara beberapa lembaga untuk melaksanakan yurisdiksi.22 Dalam kerangka yurisdiksi universal, prinsip saling melengkapi - bahkan jika tidak baru mendapatkan kembali minat dengan penadopsian Statuta Roma di tahun 1998, di mana prinsip keutamaan yurisdiksi diakui dalam Statuta dua mahkamah ad hoc sebelumnya, Mahkamah Pidana Internasional untuk eksYugoslavia dan Rwanda (ICTY dan ICTR), dibentuk kembali menjadi prinsip saling melengkapi untuk kepentingan negara-negara anggota.23 Seperti yang ditekankan oleh M. El Zeidy,24 prinsip saling melengkapi dalam hukum pidana internasional mensyaratkan eksistensi sistem peradilan pidana nasional dan internasional yang berfungsi secara subsider untuk mengatasi kejahatan-kejahatan hukum internasional: ketika sistem nasional gagal melakukannya, sistem internasional mengintervensi dan memastikan bahwa para pelaku tidak tak terhukum. Prinsip komplementaritas didasarkan pada kompromi antara penghormatan terhadap prinsip kedaulatan negara dan penghormatan terhadap prinsip yurisdiksi universal, dengan kata lain berdasarkan penerimaan oleh Negara bahwa mereka yang telah melakukan kejahatan internasional dapat dihukum melalui penciptaan dan pengakuan lembaga pidana internasional. Statuta ICC tentu saja
Lihat, misalnya, empat Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahan I 1977 mengenai pelanggaran-pelanggaran berat Konvensi Jenewa (yakni hukum humaniter internasional) atau Pasal 7 Konvensi Anti Penyiksaan. Konsep sempit tampaknya diberi preferensi oleh sejumlah perjanjian internasional karena lebih realistis. 21 Ada beberapa pengecualian, seperti Peraturan 2000/15 Pemerintah Transisi PBB di Timor Timur (UNTAET) (lihat Pasal 2.1 dan 2.2), tetapi peraturan ini, yang lebih didedikasikan pada suatu situasi tertentu, lebih dekat ke peraturan hukum kota daripada ke instrumen internasional. 22 Bartram S. Brown, Primacy or complementarity: Reconciling the jurisdiction of national courts and international criminal tribunals (Keutamaan atau saling melengkapi: merekonsiliasi yurisdiksi pengadilan nasional dan mahkamah pidana internasional), Yale Journal of International Law, Vol. 23, hal. 386. 1998. 23 Tapi lihat, tentang dampak terbatas dari perubahan ini: Michael A. Newton, Comparative complementarity: Domestic jurisdiction consistent with the Rome Statute of the ICC (Komplementaritas komparatif: yurisdiksi domestik sesuai dengan Statuta Roma tentang ICC), Militer Law Review, Vol. 167 (Maret 2001), hal. 20. 24 Mohamed M. El Zeidy, The principle of complementarity: A new machinery to implement international criminal law (Prinsip komplementaritas: Sebuah mesin baru untuk mengimplementasikan hukum pidana internasional), Michigan Journal of International Law, Vol. 23 (Musim Panas 2002), hal. 870.
20

menjadi ilustrasi akurat dari gagasan ini, dan mungkin yang paling canggih. Sejarah pengadopsiannya adalah pengingat tentang bagaimana Negara-negara ingin tetap mengontrol situasi dan bertindak sebagai pemain utama, bukan sebagai penonton, menunjukkan perhatian mereka untuk penghormatan terhadap prinsip kedaulatan.25 Namun, pendukung keadilan internasional menganggap prinsip saling melengkapi sebagai sarana memberikan kata terakhir kepada Mahkamah Pidana Internasional ketika Negara-negara gagal memenuhi kewajiban mereka dengan itikad baik. Di sini barang kali terdapat keseimbangan dalam prinsip saling melengkapi antara Negara-negara dan Mahkamah. Sekalipun prinsip saling melengkapi dapat ditemukan di tempat lain,26 Statuta Roma menjadi simbol implementasinya. Pertama dan yang terpenting, prinsip saling melengkapi merupakan cara menghubungkan keutamaan yurisdiksi ke pengadilan nasional, tapi meliputi 'jaring keselamatan' yang memungkinkan ICC meninjau kembali pelaksanaan yurisdiksi apabila persyaratan yang ditentukan oleh Statuta terpenuhi. Kedua, prinsip saling melengkapi dalam Statuta ICC tidak hanya merupakan prinsip umum sebagaimana dinyatakan dalam mukadimah27 dan pada Pasal 1, tetapi juga mancakup sarana implementasi konkrit, karena Statuta menetapkan syarat-syarat terkait pelaksanaan yurisdiksi.28 Syaratsyarat memberi ruang kepada Mahkamah untuk interpretasi yang dimungkinkan dan dapat membuat Mahkamah dianggap sebagai arbitrase.29 Prinsip komplementaritas - tanpa keraguan - akan memberi kebebasan kepada negara-negara anggota untuk melakukan proses pengadilan, tetapi juga akan member ruang bagi ICC untuk memutuskan apakah proses tersebut telah memuaskan atau tidak: Harus ada proses yang tidak memihak, dapat diandalkan dan tidka dipolitisasi untuk mengidentifikasi kasus-kasus terpenting yang menjadi perhatian internasional, mengevaluasi tindakan sistem peradilan nasional berhubungan dengan kasus-kasus tersebut dan memicu yurisdiksi ICC ketika hal itu benarbenar diperlukan.30 Tanggung jawab karenanya ada di pundak negara dan ICC. Tantangannya adalah menemukan keseimbangan yang tepat! Rezim hukum prinsip saling melengkapi dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional Sebagaimana dikemukakan oleh J.T. Holmes, implementasi prinsip saling melengkapi menimbulkan dua pertanyaan praktis: (1) bagaimana Mahkamah menyadari bahwa ada konflik antara pelaksanaan yurisdiksinya pada suatu situasi atau kasus dan penegasan dan asumsi yurisdiksi oleh

Lihat misalnya Cassese, pada catatan 18, hal. 351. Berdasarkan Statuta ICTY (Pasal 9) dan ICTR (Pasal 8), versi lain prinsip komplementaritas diadopsi. Pengadilan nasional dan Mahkamah internasional diberi yurisdiksi bersama-sama untuk mengadili kejahatan internasional sebagaimana dimaksud dalam Statuta, tetapi dalam hal terjadi sengketa, Statuta memberikan keutamaan pada mahkamah internasional. 27 Lihat mukadimah para. 10: "Mahkamah Pidana Internasional ... harus bersifat melengkapi terhadap yurisdiksi nasional." 28 Seperti dijelaskan dalam Pasal 17f. 29 John T. Holmes, ' Complementarity: National courts versus the ICC (Komplementaritas: Pengadilan nasional versus ICC), dalam A. Cassese, P. Gaeta, J.R.W.D. Jones (eds.), The Rome Statute of the International Criminal Court: A Commentary, Oxford University Press, Oxford, 2002, bab. 18.1, hal. 672. 30 Brown, pada catatan 22 di atas, hal. 389.
25 26

suatu negara? (2) apa yang Mahkamah lakukan ketika dihadapkan pada konflik semacam itu?31 Prinsip saling melengkapi dalam Statuta ICC bukan pernyataan belaka. Prinsip tersebut memerlukan sebuah rezim hukum tepat yang menyerukan agar masalah yurisdiksi dievaluasi dengan menerapkan syaratsyarat substansi dan penerimaan. Pertama, isu saling melengkapi dapat diangkat hanya jika kejahatan itu berada dalam syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 5 sampai 8 Statuta,32 yang mengharuskan ICC untuk mendalami aspek-aspek substantif kejahatan dalam rangka menegaskan yurisdiksi atas kasus tertentu. Kedua, Statuta mewajibkan pemenuhan dan analisis beberapa persyaratan yang berkaitan dengan penerimaan: 'penyidikan dan penuntutan sungguh-sungguh',33 'keengganan' dan 'ketidakmampuan' untuk melakukan penuntutan. Kurangnya penyelidikan dan penuntutan nasional yang sungguh-sungguh harus dianggap sebagai kriteria inti untuk pelaksanaan yurisdiksi oleh ICC. Jika suatu kejahatan internasional telah benar-benar dituntut dan diadili, ICC tidak memiliki yurisdiksi. Namun, masih ada pertanyaan tentang apa itu 'penuntutan sungguh-sungguh' (genuine prosecution). Bisa dibayangkan bahwa 'sungguhsungguh' berarti nyata, bukan pura-pura. Bagaimanapun ini bisa subyektif jika tidak dibingkai lebih jelas. Sebagai contoh, bisakah dikatakan bahwa penuntutan nasional tidak 'sungguh-sungguh' jika butuh waktu lebih dari semestinya jika dilakukan oleh ICC? Pemikiran pendukung prinsip saling melengkapi sebenarnya untuk memastikan bahwa kejahatan internasional akan dituntut dan dihukum secara efektif oleh Negara-negara, tetapi kata sungguh' tampak lebih netral dari pada kata 'efektif' atau 'efisien'.34 Adalah tanggung jawab penuntut untuk menunjukkan kurangnya penyelidikan atau penuntutan sungguh-sungguh. Harus diakui bahwa penghargaan semacam itu bisa tetap terbuka untuk diskusi dan harus dipertimbangkan bergandengan tangan dengan syarat-syarat lain keengganan dan ketidakmampuan. Keengganan cukup sederhana untuk dimengerti namun lebih rumit untuk dievaluasi. Yang dimaksud dengan 'keengganan untuk bertindak' diatur dalam Pasal 17.2 Statuta ICC.35 Ketentuan ini
Holmes, pada catatan 29 di atas, bab. 18.1, hal. 671. Ini membatasi implementasi prinsip saling melengkapi untuk 'kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan. Mahkamah memiliki yurisdiksi sesuai dengan Statuta berkenaan dengan kejahatankejahatan sebagai berikut: (a) kejahatan genosida; (b) Kejahatan terhadap kemanusiaan, (c) kejahatan perang; (d) Kejahatan agresi' (Pasal 5.1). Kejahatan agresi harus dikecualikan dari yurisdiksi Pengadilan untuk sementara waktu, karena belum didefinisikan (Pasal 5.2). 33 Pasal 17.1 Statuta ICC menyediakan kriteria dapat diterimanya perkara terkait dengan prinsip saling melengkapi: 1. Dengan mengingat ayat 10 Mukadimah dan pasal 1, Mahkamah menetapkan bahwa suatu kasus tidak dapat diterima apabila: (a) kasusnya sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu Negara yang memiliki jurisdiksi atas kasus tersebut, kecuali kalau Negara tersebut tidak bersedia atau benar-benar tidak dapat melaksanakan penyelidikan atau penuntutan; (b) kasusnya telah diselidiki oleh suatu Negara yang mempunyai jurisdiksi atas kasus tersebut dan Negara itu telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang bersangkutan, kecuali kalau keputusan itu timbul dari ketidaksediaan atau ketidakmampuan Negara tersebut untuk benar-benar melakukan penuntutan; (c) orang yang bersangkutan telah diadili atas perbuatan yang merupakan pokok pengaduan itu, dan suatu sidang oleh Mahkamah tidak diperkenankan berdasarkan pasal 20, ayat 3; (d) kasusnya tidak cukup gawat untuk membenarkan tindakan lebih lanjut oleh Mahkamah. 34 Lihat misalnya analisis dari J.T. Holmes yang membandingkan Statuta ICC dengan Draft Statuta ILC, pada catatan 29 di atas, hal. 673-4. 35 Pasal 17.2 menyatakan: "Untuk menentukan ketidaksediaan dalam suatu kasus tertentu, Mahkamah mempertimbangkan, dengan mengingat prinsip-prinsip proses yang seharusnya yang diakui oleh hukum internasional, apakah satu atau lebih dari
31 32

menyebut tiga kriteria untuk menentukan apakah terjadi keengganan: (i) melindungi seseorang dari tanggung jawab pidana, (ii) keterlambatan yang tidak dapat dibenarkan dalam proses yang tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang tersebut ke pengadilan; dan (iii) proses tidak dilakukan secara independen atau tidak memihak dan dengan cara yang tidak sesuai dengan membawa orang itu ke pengadilan. Ketiga kriteria ini bisa memberi pemikiran yang lebih baik tentang apa itu keengganan, tapi ketiganya juga agak subjektif dalam hal apresiasi. Akibatnya, proses implementasi juga akan menentukan kandungan aktualnya. Bagaimanapun, keengganan menunjukkan kurangnya sikap positif negara dalam menuntut dan mengadili pelaku kejahatan internasional. Dalam beberapa kasus tidak akan ada keraguan, karena Negara-negara yang bersangkutan bahkan tidak ingin menyembunyikan ketidaksediaan untuk membawa para pelaku kejahatan ke hadapan pengadilan. Namun, dalam kasus-kasus lain pertanyaan tentang ambang batas tidak dapat terhindarkan. Tanggung jawab Mahkamah akan mencakup hingga mendiskusikan semua unsur untuk menentukan apakah kriteria keengganan terpenuhi. Sebagai contoh, eksistensi beberapa bentuk imunitas atau amnesti bisa menunjukkan keengganan untuk menuntut atau mengadili para penerima manfaat dari klausa tersebut. Jika 'praduga keengganan' dapat ditetapkan dalam rangka menuntut para pelaku kejahatan tersebut, situasi harus dievaluasi secara kasus per kasus, karena ada banyak antara situasi di tengah-tengah di mana imunitas atau pengampunan tidak diberikan secara otomatis dan untuk semua jenis kejahatan. Ketidakmampuan didefinisikan dalam Pasal 17.3 Statuta ICC36 secara lebih sederhana daripada keengganan/ketidaksediaan. Ketidakmampuan pertama-tama meliputi tidak berfungsinya sistem peradilan sedemikian rupa sehingga investigasi, penuntutan dan pengadilan terhadap pelaku tidak mungkin. Seperti yang digarisbawahi oleh para ahli tertentu,37 ini adalah sebuah situasi yang didorong fakta, karena ketidakmampuan dapat terjadi karena keruntuhan secara fisik sistem peradilan (tidak ada bangunan yang tersisa) atau keruntuhan intelektual (tidak ada lagi, atau hanya hakim atau personil peradilan yang tersisa). Ketidakmampuan juga meliputi situasi dimana kesimpulan pengadilan tidak mungkin, yaitu, sistem peradilan masih bisa berfungsi namun tidak dapat menghadapi tantangan keadaan luar biasa yang biasanya akibat suatu krisis. Di sini juga, ambang batas akan lebih sulit untuk

yang berikut ini ada, dan dapat diterapkan: (a) langkah-langkah hukum sudah atau sedang dilakukan atau keputusan nasional diambil untuk tujuan melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana atas kejahatan yang berada di bawah jurisdiksi Mahkamah sebagaimana tercantum dalam pasal 5; (b) ada suatu penangguhan yang tidak dapat dibenarkan dalam langkah-langkah hukum yang dalam keadaan itu tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke depan Mahkamah; (c) langkah-langkah hukum dulu atau sekarang tidak dilakukan secara mandiri atau tidak memihak, dan langkah-langkah tersebut dilakukan dengan cara dimana, dalam hal itu, tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke depan Mahkamah' (penekanan ditambahkan). 36 Pasal 17.3 menyatakan, 'Untuk menentukan ketidakmampuan dalam suatu kasus tertentu, Mahkamah mempertimbangkan apakah, disebabkan oleh keruntuhan menyeluruh atau sebagian besar dari sistem pengadilan nasionalnya, Negara tersebut tidak mampu menghasilkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang perlu atau sebaliknya tidak dapat melaksanakan langkah-langkah hukumnya. (penekanan ditambahkan). 37 Holmes, pada catatan 29 di atas, hal. 677.

dievaluasi, tapi mungkin dapat dicapai ketika jumlah kasus-kasus untuk diperiksa secara nyata melebihi jumlah kasus yang biasanya bisa diatasi oleh sistem peradilan dalam situasi damai. Pasal 17.2 Statuta Roma juga memberikan dua kriteria lain tentang diterimanya perkara.38 Salah satunya cukup klasik: prinsip non bis in idem, dimana berdasarkan itu seseorang tidak bisa diadili dua kali untuk kejahatan yang sama. Ini tidak perlu dikomentari secara khusus kecuali bahwa, berdasarkan kriteria ketidaksediaan, pengadilan pertama tidak boleh digunakan oleh negara sebagai tameng untuk melindungi pelaku kejahatan internasional. Kriteria kedua adalah kegawatan (gravity) atau keseriusan dari kejahatan tersebut, yang berdasarkan itu hanya kejahatan yang paling penting yang harus diadili di hadapan ICC. Kedua syarat ini tampaknya logis dan mudah dimengerti. Namun, keduanya menawarkan satu daya kebijaksanaan untuk melaksanakan prinsip saling melengkapi dan membentuk kebijakan pidana ICC.39 Sementara semua kriteria ini masih menimbulkan berbagai ketidakpastian terkait implementasinya, keriteria tersebut memberikan gambaran tentang implementasi konkrit yang dimungkinkan dari prinsip saling melengkapi. Lebih penting lagi, kriteria tersebut menggambarkan bagaimana ICC terikat untuk membuat tes-tes tertentu yang menghubungkan isu yurisdiksi dengan isu diterimanya perkara dan hukum substantif. Meskipun yurisdiksi tidak tergantung pada syarat-syarat lain, keriteria harus dinilai bersamaan dengan jurisdiksi untuk ditafsirkan dan diterapkan. Prinsip saling melengkapi dalam sistem pidana nasional Bagaimanapun prinsip komplementaritas tidak boleh dianalisis hanya dari sudut pandang ketentuan Statuta ICC. Setiap konteks nasional harus dipertimbangkan, karena akan mempengaruhi kemampuan negara untuk melaksanakan yurisdiksinya atas kejahatan internasional. Hal Ini menyiratkan suatu analisis sistem peradilan pidana nasional untuk mengevaluasi kemampuan sistem tersebut menegaskan yurisdiksi. Tiga elemen harus dicermati: (i) sarana teknis yang ditawarkan oleh negara untuk menuntut jenis tindak pidana seperti ini; (ii) metode kerja dari sistem peradilan pidana, dan (iii) peraturan prosedural dan ketentuan bukti yang berlaku untuk proses peradilan. Tanpa masuk ke detail, secara logis dapat diasumsikan bahwa perbedaan yang melekat antara sistem hukum akan mempengaruhi cara di mana prinsip saling melengkapi akan dilaksanakan. Oleh karena itu tidak akan diimplementasikan secara seragam. Ini harus diakui sebagai interaksi normal antara sistem hukum internasional dan nasional dan harus dipertimbangkan. Meski sederhana untuk dipahami dalam definisi, prinsip saling melengkapi mengungkapkan kompleksitas dalam konfrontasi dengan sistem nasional. Dipahami sebagai sarana untuk meningkatkan
Pasal 17.1 menyatakan, '... (c) orang yang bersangkutan telah diadili atas perbuatan yang merupakan pokok pengaduan itu, dan suatu sidang oleh Mahkamah tidak diperkenankan berdasarkan pasal 20, ayat 3; (d) kasusnya tidak cukup gawat untuk membenarkan tindakan lebih lanjut oleh Mahkamah'. 39 Daya kebijaksanaan dimiliki bersama-sama oleh kantor Penuntut, Kamar Pra-Peradilan dan mungkin Dewan Keamanan PBB. Peran negara anggota dalam perdebatan ini mungkin terbatas dalam kasus perselisihan.
38

implementasi prinsip yurisdiksi universal, prinsip saling melengkapi yang tercantum dalam Statuta ICC dirancang untuk mewujudkan penuntutan kejahatan internasional yang terlalu sering disisihkan karena tidak adanya sarana semacam itu. Namun hal ini tidak boleh mengaburkan tantangan dan kesulitan yang tersisa. Tantangan yang dihadapi oleh prinsip-prinsip yurisdiksi universal dan saling melengkapi Meskipun hubungan antara prinsip yurisdiksi universal dan prinsip saling melengkapi dapat dipahami dari definisi keduanya, analisis yang lebih dalam terhadap interaksi keduanya, baik secara teoritis maupun praktis, tetap diperlukan. Hal ini diharapkan mengarah pada asesmen yang lebih baik terhadap situasi saat ini dan memungkinkan peran yang tepat untuk dimainkan oleh prinsip saling melengkapi akan dievaluasi dalam waktu dekat. Penerimaan umum prinsip yurisdiksi universal Meskipun kesulitan-kesulitan inherennya, prinsip yurisdiksi universal tetap diterima secara luas oleh negara karena sifat khusus kejahatan internasional. Tidak ada negara yang dapat menegakkan secara resmi kejahatan-kejahatan dan tidak adanya hukuman bagi mereka! Pertimbangan yang benarbenar universal ini adalah salah satu kekuatan utama prinsip tersebut. Namun dikatakan, kesulitan muncul ketika menyangkut implementasi konkret. Makna persisnya hingga batas tertentu tidak jelas, dan implikasi hukum sebenarnya terus didiskusikan. Dapatkah itu dianggap setara dengan prinsip hukum umum yang meminta semata-mata suatu kewajiban untuk menyediakan sarana yang harus dipenuhi? Atau apakah itu juga termasuk beberapa panduan operasional untuk diikuti oleh masyarakat internasional secara keseluruhan? Apakah referensi umum prinsip ini di luar bidang hukum - terutama melalui media atau dengan dimasukkan ke dalam politik belum melemahkan efektivitasnya? Menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan betapa pentingnya menempatkan prinsip ini dalam kerangka yang lebih hukum guna menentukan nilai normatifnya. Dalam upaya mengidentifikasi asal-muasal yurisdiksi universal, tiga sumber dapat dipertimbangkan: perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional dan hukum nasional. Konvensi-konvensi internasional kadang-kadang memaksakan kewajiban untuk menuntut dan menghukum mereka yang telah melakukan kejahatan internasional.40 Ini yang terjadi dengan Konvensi
Lihat, misalnya, Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Institusi dan Praktik yang Sama dengan Perbudakan, 4 September 1956, 266 UNTS 3; Konvensi Internasional tentang Pemberantasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid, diadopsi tanggal 30 November 1973, 1015 UNTS 244; Konvensi untuk Pemberantasan Perampasan Tidak Sah terhadap Pesawat, terbuka untuk ditandatangani tanggal 16 Desember 1970 10 ILM 133; Konvensi untuk Pemberantasan Aksi-aksi Tidak Sah terhadap Keselamatan Penerbangan Sipil, terbuka untuk ditandatangani tanggal 23 September 1971, 10 ILM 1151; Konvensi Internasional menentang Penyanderaan, diadopsi tanggal 12 Desember 1979, GA Res. 34/146 UN GAOR, sesi ke-34, Supp. No. 99, UN Doc. A/34/819, 18 ILM 1456 (1979); Konvensi Anti Penyiksaan dan Hukuman Lain yang bersifat Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan, diadopsi tanggal 10 Desember 1984, S. Treaty Doc. N. 100-20, 1465 UNTS 85. Untuk rincian lebih lanjut, lihat H. Osofsky, Foreign sovereign immunity for severe human rights violations: New directions for common law based approaches (Imunitas kedaulatan asing untuk pelanggaran40

Jenewa melalui pengertian pelanggaran berat hukum humaniter internasional.41 Kewajiban ini dinyatakan secara jelas dalam konvensi tersebut dan memaksakan kepada Negara-negara peserta tugas untuk bertindak (kewajiban hasil), tetapi menyerahkan kepada negara untuk menentukan cara menegakkannya. Hal ini bisa menciptakan beberapa kesulitan, karena setiap sistem nasional bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban ganda ini, mencari penjahat-penjahat bersangkutan dan membawa mereka ke pengadilan. Dimasukkannya yurisdiksi universal dalam konvensi internasional dengan syarat tidak ada keberatan yang dapat dilakukan - menyiratkan bahwa negara memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menegakkan tetapi tidak menawarkan jaminan bahwa pengadilan dan penghukuman efektif akan benar-benar terjadi, karena sistem hukum nasional menerapkan aturan prosedural dan bukti berbeda. Hukum kebiasaan internasional juga bisa menjadi sumber untuk pengakuan yurisdiksi universal ketika menyangkut kejahatan-kejahatan internasional.42 Namun, hukum kebiasaan internasional hanya menyediakan untuk prinsip itu sendiri dan tidak selalu mengandung arahan atau pedoman yang tepat untuk implementasi yurisdiksi universal. Hal ini menyebabkan kendala normatif praktis yang lebih lemah untuk negara, meskipun secara teoritis tidak ada perbedaan nilai harus dibuat antara ketentuanketentuan kebiasaan dan konvensional; antara keduanya, hanya ada perbedaan tingkat presisi dalam hal normatif. Hukum internasional kebiasaan dapat dilihat dalam dua cara. Juga dapat dilihat sebagai suatu kewajiban umum kemana konvensi kemudian memberi pengaruh nyata melalui kewajiban yang lebih presisi. Hal ini juga dapat dilihat sebagai suatu perhitungan aturan-aturan konvensional yang
pelanggaran berat hak asasi manusia: Arah baru untuk pendekatan berbasis hukum umum), New York International Law Review, Vol. 11 (1998), hal. 35. 41 Ketentuan yang Sama Konvensi Jenewa (KJ) I, Pasal 49; KJ II, Pasal 50; KJ III, Pasal 129; KJ IV, Pasal 146: Pihak Peserta Agung berjanji untuk menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu di antara pelanggaran berat atas Konvensi ini seperti ditentukan dalam Pasal berikut. Tiap Pihak Peserta Agung berkewajiban untuk mencari orang-orang disangka telah melakukan, atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan, dan harus mengadili orang-orang tersebut, dengan tidak memandang kewarganegaraannya. Pihak Peserta Agung dapat juga, jika dikehendakinya, dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangannya sendiri, menyerahkan kepada Pihak Peserta Agung lain yang berkepentingan, orang-orang tersebut untuk diadili, dengan ketentuan Pihak Peserta Agung tersebut dapat menunjukkan suatu perkara prima facie. Tiap Pihak Peserta Agung harus mengambil tindakan-ntindakan yang perlu untuk memberantas selain pelanggaran berat yang ditentukan dalam Pasal berikut, segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini. (penekanan ditambahkan). 42 'Peraturan 157: Negara berhak menaruh yurisdiksi universal ke tangan pengadilan nasional mereka menyangkut kejahatan perang', Jean-Marie Henckaerts and Louise Doswald-Beck, Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan. Vol. 1: Aturan, Cambridge University Press, Cambridge, 2005, hal. 604. Lihat juga secara lebih umum bab 44 penelitian ini (hal. 568-621) menyangkut aturan-aturan yang berkaitan dengan kejahatan perang. Berikut adalah aturan kebiasaan internasional yang dapat dikaitkan dengan pelaksanaan yurisdiksi universal: Aturan 156: pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional merupakan kejahatan perang; Peraturan 158: Negara harus menyelidiki kejahatan perang yang diduga telah dilakukan oleh warganya atau oleh angkatan bersenjatanya atau di wilayahnya, dan, bilamana perlu, mengadili para tersangka. Negara juga harus menyelidiki kejahatan perang lainnya dimana mereka memiliki yurisdiksi dan, bilamana perlu, mengadili para tersangka; Aturan 159: pada akhir permusuhan, pihak berwenang terkait harus berusaha untuk memberikan amnesti seluas mungkin kepada orang-orang yang telah berpartisipasi dalam konflik bersenjata noninternational tersebut, atau orang-orang yang dicabut kebebasannya untuk alasan-alasan yang berkaitan dengan konflik bersenjata tersebut, kecuali kepada orang-orang yang dicurigai, dituduh atau dipidana atas kejahatan perang; Aturan 160: Azas kadaluwarsa tidak boleh berlaku bagi kejahatan perang; Peraturan 161: Negara-negara harus melakukan segala usaha untuk bekerja sama sejauh mungkin dengan satu sama lain untuk memfasilitasi proses penyelidikan kejahatan perang dan proses penuntutan hukum terhadap para tersangkanya.

diterima secara sangat luas bahwa negara-negara bukan pihak dalam perjanjian setuju untuk terikat pada prinsip tersebut setara pada aturan umum. Berkenaan dengan yurisdiksi universal, ini bisa menjadi situasi negara-negara yang menolak menjadi pihak dalam instrumen khusus untuk alasan politik, tetapi menerima substansi prinsip itu. Kombinasi aturan-aturan hukum kebiasaan internasional benar-benar memberikan dukungan untuk implementasi yurisdiksi universal dan prinsip saling melengkapi, namun tidak akan menyediakan pedoman yang tepat atau arahan tindakan yang siap pakai bagi negara. Yurisdiksi universal juga bisa diterima oleh negara sebagai komitmen sukarela, dalam kerangka kerja domestik mereka, untuk menghukum beberapa kejahatan dimana tidak ada kewajiban internasional umum untuk melakukannya. Yurisdiksi universal kemudian berasal dari komitmen nasional terhadap masyarakat internasional oleh satu negara yang, misalnya, bukan pihak terhadap konvensi tertentu. Untuk mengakui yurisdiksi universal dengan cara ini dapat menciptakan kewajiban asimetris bagi beberapa negara. Ini bisa terjadi pada negara-negara bukan pihak terhadap Statuta ICC, walaupun tidak memiliki kewajiban internasional untuk melakukannya. Analisis sumber-sumber yurisdiksi universal dengan demikian akan muncul untuk menunjukkan bahwa prinsip tersebut tidak cukup mandiri untuk diimplementasikan. Prinsip ini membutuhkan pengakuan umum dan langkah-langkah implementasi, atau setidaknya kewajiban yang jelas untuk mengidentifikasi tugas-tugas negara. Dalam hal ini, akan lebih akurat untuk mempertimbangkan bahwa prinsip yurisdiksi universal harus dilengkapi oleh norma-norma hukum yang memberi landasan yang tepat dan menandakan syarat-syarat atau sifat-sifat yang tepat dari kewajiban-kewajiban itu. Ini akan menimbulkan beberapa landasan untuk yurisdiksi universal, atau 'jurisdiksi-jurisdiksi universal'. Masingmasing akan menjadi suatu sarana dalam dirinya sendiri. Pemisahan prinsip yurisdiksi universal ini penting untuk menciptakan kewajiban-kewajiban negara yang lebih jelas. Bukan revolusioner untuk mengatakan hal ini, tetapi dapat menjelaskan mengapa prinsip tersebut sering kali masih tetap mengecewakan dalam praktek. Namun, jika hukum internasional mau membuat kemajuan dalam merumuskan definisi konkrit dari kewajiban-kewajiban tersebut, daya kebijaksanaan bersubstansi sama - menyatu dengan kedaulatan negara masih akan meninggalkan margin apresiasi yang tidak dapat dipahami ketika menyangkut implementasi akhir dari ketentuan-ketentuan. Aspek lain yang sering tidak dimasukkan dalam analisis yurisdiksi universal adalah kepemilikan gandanya, pada hukum internasional dan hukum domestik. Kewajiban universal meminta tugas pertama dari negara untuk mengatur - dan jika perlu, untuk mengubah - sistem hukumnya untuk membuat pelaksanaan yurisdiksi universal dimungkinkan oleh pengadilan nasional. Tidak boleh dilupakan bahwa yurisdiksi universal cukup tidak normal untuk pengadilan pidana nasional, dan bahwa bisa sulit bagi hakim untuk mengimplementasikannya tanpa ketentuan munisipal presisi yang membingkai atau mengorganisir pemberdayaan itu. Aspek yurisdiksi universal pada kenyataannya bisa merusak sistem secara keseluruhan atau efisiensinya apabila legislasi nasional, paling sering ketentuan

undang-undang, tidak diadopsi. Jurisdiksi universal dapat menjadi - dan kadang-kadang merupakan prinsip palsu karena kurangnya penetapan secara keseluruhan atau sebagian. Jurisdiksi universal bahkan bisa menjadi bermasalah ketika teks konstitusional nasional berkonflik dengan kewajiban yurisdiksi universal, karena misalnya berkaitan dengan imunitas atau hak untuk memberikan pengampunan; hal-hal ini sering dimasukkan secara umum dan kadang-kadang diserahkan kepada kebijaksanaan kepala negara atau pemerintah, meskipun biasanya harus ada pengecualian menyangkut kejahatan internasional. Namun, cukup sering bentrokan antara kewajiban internasional dan konstitusional tidak terjadi karena tumpang tindih yang terbatas dari lingkup masing-masing. Ini tidak berarti bahwa konflik antara keduanya tidak bisa ada! Hubungan antara prinsip yurisdiksi universal dan prinsip saling melengkapi Dalam kerangka kerja umum ini, prinsip saling melengkapi - sebagaimana tercantum dalam Statuta ICC - harus dianggap sebagai katup pengaman yang memungkinkan rasionalisasi dan peningkatan efisiensi prinsip yurisdiksi universal. Prinsip saling melengkapi pertama-tama menghormati dua prinsip hukum internasional, yaitu prinsip kedaulatan negara dan prinsip keutamaan aksi yang berhubungan dengan penuntutan pidana.43 Kedua, prinsip saling melengkapi memberikan kepada negara hak untuk melaksanakan yurisdiksi universal dan memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap pelaku sesuai dengan aturan pidana Negara itu sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Presiden Konferensi Roma, mengacu pada hukuman yang dapat dikenakan kepada mereka yang melakukan kejahatan internasional, '... sesuai dengan prinsip saling melengkapi antara Mahkamah (ICC) dan yurisdiksi nasional, sistem peradilan nasional memiliki tanggung jawab utama untuk menyelidiki, menuntut dan menghukum individu-indivisu, sesuai dengan hukum nasional mereka untuk kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi ICC'.44 Prinsip saling melengkapi tidak boleh diremehkan atau dilebih-lebihkan. Prinsip itu tidak akan memperbaiki segala kekurangan dalam upaya masyarakat internasional atau masing-masing Negara untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional. Prinsip saling melengkapi dimaksudkan untuk membantu Negara-negara dan masyarakat internasional, melalui Statuta Roma, untuk semakin baik dalam menegakkan prinsip yurisdiksi universal. Ia dapat dilihat sebagai alat prosedural yang memungkinkan masyarakat internasional mengambil kembali inisiatif jika negara-negara tidak mampu atau alpa melaksanakan yurisdiksi mereka. Prinsip saling melengkapi
Ini adalah bagian tak terpisahkan dari Statuta ICC. Sebagaimana diuraikan oleh beberapa penulis (lihat misalnya Kriangsag Kittichaisaree, International Criminal Law (Hukum Pidana Internasional), Oxford University Press, Oxford, 2001, hal. 25f.), tidak demikian halnya dengan ICTY dan ICTR, karena statuta keduanya disediakan untuk keutamaan mahkamah ad hoc internasional dan saling melengkapi atau setidaknya yurisdiksi bersama untuk pengadilan-pengadilan nasional. Berdasarkan Statuta ICC sistem terbalik. 44 Lihat siaran pers Konferensi Roma L/ROM/22, tanggal 17 Juli 1998. Pernyataan tersebut dibuat sehubungan dengan kemungkinan Negara-negara menjatuhkan hukuman mati untuk kejahatan semacam ini. Berdasarkan Pasal 80 Statuta, masalah ini diserahkan kepada sistem hukum negara dan tidak terpengaruh oleh Statuta ICC, tidak secara langsung berhubungan dengan yurisdiksi tetapi menunjukkan bagaimana aspek prosedural dan sistem peradilan pidana secara keseluruhan berkaitan dengan isu yurisdiksi.
43

dimaksudkan untuk menyediakan negara dan komunitas internasional jalan keluar yang dimungkinkan ketika ketiadaan pengadilan atau hukuman untuk kejahatan internasional tidak dapat diterima. Kemungkinan itu bisa memiliki efek jera terhadap pelaku yangjika tidak akan merasa aman karena mereka tahu bahwa tidak akan ada penuntutan terhadap mereka. Tidak pasti bahwa penuntutan efektif akan dilakukan, tetapi mereka akan hidup dengan pedang Damocles senantiasa terhunus di atas kepala mereka ... Kendati ini barangkali tidak cukup untuk menghentikan mereka yang melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida atau kejahatan internasional lainnya, setidaknya mekanisme memang ada dan harus didukung sebagai alat untuk melangkah maju menuju implementasi yang lebih baik hukum hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter internasional. Prinsip saling melengkapi juga dapat membantu mengatasi beberapa dilema yang belum tentu hasil dari kegagalan hukum tetapi justeru berhubungan dengan masalah diplomatik atau politik. Prinsip saling melengkapi juga menawarkan solusi alternatif untuk dilema hukum internal. Meskipun yurisdiksi universal adalah tanggung jawab negara, sistem hukum atau politik internal dapat membuat penegasan yurisdiksi menjadi tidak mungkin karena alasan-alasan di luar kemauan negara. Jika negara menganggap yurisdiksinya mustahil untuk dilaksanakan, prinsip saling melengkapi menawarkan kemungkinan untuk menyerahkannya. Jurisdiksi universal kemudian dapat dianggap sebagai prakarsa negara-negara melalui penggunaan prinsip itu secara aktif.45 Sebagai contoh, terkait kasus yang saat ini dibawa ke ICC pada akhir tahun 2005,46 tiga Negara mengungkapkan ketidakmampuan mereka untuk menuntut orang-orang yang diduga melakukan kejahatan internasional. Dalam kasus-kasus tersebut (Republik Demokratik Kongo, Uganda dan Republik Afrika Tengah), masalah itu diserahkan langsung kepada ICC oleh negara, yang menganggap bahwa penuntutan atas kejahatan seperti di hadapan pengadilannya sendiri adalah tidak mungkin, kasus terbaru - Sudan - dirujuk ke Mahkamah oleh Dewan Keamanan PBB. Dalam semua kasus ini, Penuntut tidak memulai penuntutan sendiri, menunjukkan bahwa prinsip saling melengkapi tidak bisa dilihat sebagai prinsip satu arah, tetapi lebih pada menawarkan kemungkinan kerjasama antara otoritas negara dan ICC. Dalam hal situasi keseluruhan, prinsip saling melengkapi merupakan kemajuan terhadap penuntutan kejahatan internasional dan harus mengesampingkan harapan tempat yang aman bagi mereka yang telah melakukannya. Namun jelas keliru apabila melihat prinsip saling melengkapi sebagai obat terakhir untuk kelemahan-kelemahan yurisdiksi universal. Tapi sebaliknya harus dianggap sebagai tahap sementara dalam memperbaiki situasi, daripada sebagai kemajuan definitif. Ini adalah cara,

Berlawanan dengan suatu 'penggunaan pasif prinsip saling melengkapi', di mana negara tidak akan mengambil inisiatif apapun jika tidak mampu atau tidak mau mengadili pelaku kejahatan internasional. Sikap positif menunjukkan perhatian Negara untuk mengadili para penjahat tersebut, berusaha menemukan melalui ICC struktur dan sarana yang tidak mereka miliki. 46 Mengenai kasus-kasus ini, http://www.icc-cpi.int/cases.html. (Terakhir dikunjungi bulan Maret 2006).
45

bukan tujuan! Seperti cara-cara lain, diperlukan kemauan politik untuk menjadi efektif dan efisien. Selain itu, prinsip itu sendiri bukan tanpa cacat. Batas-batas melekat dari prinsip saling melengkapi Ada alasan subyektif dan obyektif untuk membatasi efektivitas prinsip saling melengkapi dalam meningkatkan penegakkan yurisdiksi universal. Alasan-alasan tersebut tidak dapat diabaikan. Alasan-alasan obyektif Alasan-alasan obyektif berasal dari sistem internasional dan sistem nasional. Dalam sistem hukum internasional, dua jenis masalah dapat diidentifikasi: kurangnya definisi yang tepat dari kejahatan internasional, dan syarat-syarat implementasi prinsip saling melengkapi sebagaimana didefinisikan dalam Statuta ICC. Tidak adanya definisi yang tepat dan penghitungan unsur-unsur kejahatan internasional mungkin terlihat sebagai masalah yang agak mengejutkan, karena daftar kejahatan dalam Statuta ICC Pasal 6 sampai 8 cukup luas dan rinci. Namun, ketika seseorang melihat definisi kejahatan, kualifikasi kejahatan sebagai kejahatan internasional oleh hakim nasional bisa sulit, karena elemen-elemen spesifik untuk memenuhi kualifikasi sebagai kejahatan internasional relatif tidak memadai dibandingkan dengan sistem nasional. Diseminasi ynag dilakukan oleh Mahkamah mengenai praktek dan hukum kasus-nya sendiri bisa membantu menutup kesenjangan, namun kelemahan ini tidak bisa diabaikan, terutama pada tahap-tahap awal pekerjaan Mahkamah sekarang ini.47 Sebuah kebijakan komunikasi dibutuhkan, karena hakim-hakim nasional tidak terbiasa dengna 'definisi terbuka' atau 'unsur-unsur kejahatan'. Sementara bahaya ini tidak boleh dibesar-besarkan, ada resiko disparitas antara negaranegara dalam implementasi dan apresiasi mereka terhadap definisi dan unsur-unsur kejahatan yang bisa menciptakan implementasi yang secara fundamental berbeda dengan yurisdiksi universal. Sebagaimana didefinisikan oleh Statuta ICC pada Pasal 1, 15 dan 17 sampai 19, prinsip saling melengkapi justru dibingkai melalui berbagai syarat implementasi. Ini semestinya memungkinkan implementasi yang lebih baik. Namun, apresiasi terhadap syarat-syarat yang dikatakan itu, seperti yang disebutkan di atas, dapat cukup sulit untuk dinilai: secara persis apa yang dimaksud dengan 'ketidasediaan' atau 'ketidakmampuan' untuk mengadili? Istilah-istilah terbuka ini memberi otoritas penuntutan kuasa kebijaksanaan untuk menentukan kandungan dan kerangka kerja impelementasi mereka. Istilah-istilah tersebut cukup luas untuk memberi ruang bagi pemilihan kasus yang harus dibawa ke hadapan Mahkamah dan menganggap prinsip saling melengkapi sebagai alat untuk menentukan kebijakan pidana. Hal ini tidak abnormal per se, karena definisi kebijakan pidana
Hukum kasus ICTY dan ICTR jelas akan membantu sebagai perangkat referensi. Namun, dari sudut pandang hukum murni, harus diingat bahwa ICC bebas mengadopsi atau menolak alasan mahkamah-mahkamah ad hoc. Hukum kasus memiliki nilai interpretatif, bukan normatif.
47

bersubstansi sama yang menyatu dengan otoritas penuntutan apapun, tetapi ini tidak berarti bahwa prinsip saling melengkapi akan pasti selektif.48 Selain itu, kuasa kebijaksanaan Penuntut akan ditinjau kembali oleh Kamar Pra-Peradilan, meninggalkan ruang untuk pelaksanaan kekuasaan kebijaksanaan lain. Pada gambar ini harus ditambahkan fakta bahwa Dewan Keamanan juga dapat memprakarsai langkah-langkah hukum yang mengarah ke dakwaan,49 sehingga memungkinkan pengenalan apresiasi lain dari prinsip saling melengkapi. Ini dapat menyebabkan fragmentasi makna prinsip komplementaritas oleh jenis apresiasi yang berbeda-beda. Dalam sistem hukum nasional ada juga kesulitan objektif yang tidak dapat diabaikan: definisi kejahatan internasional dalam perundang-undangan domestik harus sejalan dengan definisinya di tingkat internasional. Ini adalah persyaratan jelas dan, meskipun dibutuhkan waktu yang tidak singkat untuk adaptasi, adaptasi harus dilakukan secepat mungkin. Tapi yang terjadi tidak selalu seperti itu, dan beberapa jenis kejahatan internasional masih didefinisikan berbeda dalam dua sistem hukum. Misalnya, beberapa kejahatan perang pada level nasional dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, atau genosida kadang-kadang dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini harus diatasi, dan peran komunikasi ICC menjadi penting dalam hal usulan untuk menyelesaikan dilema. Sekali lagi terbukti di sini bahwa prinsip saling melengkapi berhubungan dengan substansi hukum. Mungkin ada beberapa kontradiksi serius dalam implementasi prinsip saling melengkapi, bahkan jika negara-negara ingin menghormatinya, karena negara-negara bisa tidak setuju terhadap syarat-syarat implementasi dengan berargumen bahwa beberapa jenis kejahatan tidak tercakup oleh Statuta Roma. Risiko pertentangan obyektif lain mengenai prinsip saling melengkapi terletak pada perbedaan yang melekat antar sistem-sistem hukum nasional. Bahkan jika kejahatan internasional didefinisikan dalam cara yang sama di tingkat internasional dan nasional, perbedaan dalam prosedur pidana dan diterimanya bukti dapat menyebabkan perbedaan apresiasi. Misalnya, seseorang dituduh melakukan kejahatan internasional, tapi tidak cukup bukti terkumpul atau aturan-aturan untuk peradilan yang adil tidak terpenuhi, hakim nasional mungkin enggan atau menolak untuk mengadili terdakwa. Mereka akan mematuhi kerangka kerja hukum nasional mereka, tetapi belum tentu dengan persyaratan internasional. Apakah ICC menerima situasi seperti itu, atau akankah ICC melakukan proses pengadilan atas dasar ketidaksediaan atau ketidakmampuan mengadili penjahat perang? Apapun barangkali situasinya, risiko ini tidak boleh diremehkan dan saat ini belum ada solusi untuk potensi konflik seperti itu. Idenya mungkin memiliki peraturan khusus dan umum mengenai prosedur dan/atau bukti untuk kejahatan internasional semacam itu guna memastikan pendekatan harmonis. Tapi hingga saat ini belum seperti itu!
Sebagai contoh, kasus dapat dipilih tidak berdasarkan kejahatan, tetapi berdasarkan kemudahan mengumpulkan bukti atau kemampuan melakukan penuntutan yang sukses. 49 Lihat Pasal 13(b) Statuta ICC.
48

Imunitas dan pengampunan yang diberikan pada level nasional, walaupun dilarang untuk pelaku kejahatan internasional karena sifat dari kejahatan-kejahatan tersebut, masih menimbulkan pertanyaan tentang prinsip saling melengkapi. Kalau amnesti umum belum pernah menjadi hambatan bagi pengadilan pelaku kejahatan internasional di ICC, ada sejumlah situasi menengah dimana isu-isu ini dalam praktiknya akan melemahkan prinsip saling melengkapi. Meskipun amnesti dilarang untuk kejahatan internasional tertentu, misalnya penyiksaan, amnesti dapat diberikan secara individu di tingkat nasional dalam kerangka proses kuasi-yudisial. Cukup sering imunitas ini secara konstitusional diberikan kepada kepala negara atau pejabat tinggi negara secara umum dan tanpa pembatasan.50 Bagaimana ICC memandang kasus-kasus ini? Sulit untuk mengatakan! Namun, ICC, melalui Kantor Penuntut, dapat mempertimbangkan situasi tersebut dan memutuskan bahwa demi kepentingan terbaik keadilan tidak mengadili para pelaku tertentu.51 Isu lain yang dimungkinkan terkait dengan prinsip saling melengkapi adalah kasus pelaku kejahatan internasional yang diadili oleh pengadilan nasional, dinayatakan bersalah dan kemudian diberi pengampunan. Dalam kasus seperti itu, bisa jadi sulit bagi Mahkamah untuk menunjukkan bahwa syarat-syarat untuk diterimanya yang diatur dalam Pasal 17 Statuta ICC terpenuhi.52 Struktur Negara dan pengaruh rezim politik terhadap kemungkinan dakwaan pelaku kejahatan internasional Sistem konstitusional suatu negara dapat memberi kemerdekaan penuh pada kekuasaan peradilan. Akibatnya ada risiko pertentangan antara otoritas-otoritas penuntutan suatu kejahatan internasional. Bahkan jika otoritas eksekutif atau legislatif lebih mendukung penuntutan suatu pidana internasional, mungkin ada beberapa perbedaan dari sudut pandang peradilan. Kebalikannya juga benar, sebagaimana digambarkan oleh situasi Belgia terkait implementasi undang-undang tentang yurisdiksi universal: walaupun diamandemen tahun 1999, Undang-Undang tahun 1993 yang relevan terbukti memalukan bagi pihak berwenang.53 Karena penyelidikan harus dimulai ketika ada dugaan kejahatan internasional, otoritas peradilan terikat untuk melakukannya. Otoritas peradilan harus mendukung penuntutan kejahatan internasional, tetapi dalam hal prinsip saling melengkapi ada dua
Lihat kasus Yerodia (RDK v. Belgia: Surat Penangkapan dari Kasus 11 April 2000, ICJ, 14 Februari 2002), di mana isu ini telah dibahas. 51 Lihat Pasal 53.2 Statuta ICC. 52 Lihat Holmes, pada catatan 29 di atas, hal. 678. Kasus hipotetis yang digambarkan oleh Holmes cukup menarik. Penulis menganjurkan bahwa jika pelaku telah dituntut, diadili, dihukum, dan kemudian diberi pengampunan, akan sangat sulit dalam kasus-kasus tertentu untuk memberikan bukti bahwa syarat-syarat Pasal 17 belum terpenuhi ketika pengadilan terjadi di pengadilan nasional. 53 Walaupun prinsip saling melengkapi tidak dipertaruhkan dalam kasu RDK v. Belgia (pada catatan 50 di atas), batas-batas yurisdiksi universal v. realitas diplomasi muncul. ICJ tidak secara tegas mencermati isu yurisdiksi universal in abstentia, dan hampir bisa dikatakan bahwa keputusan mengesampingkan isu ini. Namun, kasusnya sendiri serta beberapa dakwaandakwaan lain terhadap politisi terkenal di seluruh dunia menyebabkan amandemen Undang-Undang Yurisdiksi Universal 1993/1999 pada tahun 2003. Lihat David, pada catatan 10 di atas, hal. 817; M. Halberstam, Belgiums universal jurisdiction law: Vindication of international justice or pursuit of politics?", 2003, Cardozo Law Review, Vol. 25, hal. 247.
50

risiko bertentangan. Yang pertama adalah kemungkinan kebuntuan (deadlock) antara otoritas negara, yang menyebabkan krisis antara negara dan ICC jika peradilan nasional kukuh dengan aturannya sendiri. Yang kedua adalah kemungkinan ketidaksediaan otoritas eksekutif (pemerintah) untuk melakukan intervensi yang dapat menyulitkan hubungan diplomatik mereka. Dalam salah satu dari kedua kasus, risiko-risiko ini bisa meningkatkan kesulitan dalam hubungan antara Mahkamah dan negara. Struktur peradilan nasional Sistem peradilan nasional juga dapat menjadi sumber komplikasi jika yurisdiksi kejahatan internasional ditugaskan ke pengadilan khusus, atau sebaliknya diberikan kepada pengadilan biasa. Kejahatan internasional sering kali pertama dan terutama adalah kejahatan mala in se (tindakantindakan yang salah atau tidak bermoral dalam diri mereka sendiri), yang berarti bahwa tindakan tersebut sering dapat diadili secara langsung berdasarkan dakwaan yang lebih umum.54 Kedua, jika kejahatan internasional yang terjadi dalam kerangka konflik bersenjata , yurisdiksi eksklusif dapat diberikan kepada pengadilan militer yang mana bisa tergoda untuk moderat atau mengurangi sanksi untuk kejahatan semacam itu. Pertanyaannya kemudian bukan tentang 'penuntutan atau pengadilan sungguh-sungguh' tetapi tentang perbedaan pendekatan pengadilan biasa dan pengadilan militer. Masalah ini menjadi inti dari kasus Calley,55 di mana pengurangan sanksi oleh Pengadilan Banding menimbulkan masalah ketidaksediaan untuk mengadili terdakwa. Jika kasus seperti itu diadili hari ini, bagaimana prinsip saling melengkapi memainkan perannya? Apakah itu berarti bahwa kemungkinan bobot hukuman akan mempengaruhi isu yurisdiksi? Bisa jadi seperti itu, mengingat bahwa apresiasi yang dibuat oleh pengadilan militer bisa memasukkan pemahaman yang lebih murah hati akan situasi terdakwa. Tantangan lain yang dihadapi oleh prinsip saling melengkapi ada pada keragaman prosedur ekstradisi dan kerjasama peradilan antar negara. Ekstradisi dan kerjasama peradilan jelas bertujuan untuk meningkatkan penegakan yurisdiksi universal. Namun, meski ada beberapa contoh kerjasama regional, ekstradisi dan kerjasama yudisial masih terutama berdasarkan hubungan bilateral antara negara. Akibatnya, bisa ada perbedaan antara syarat-syarat yang tercantum pada masing-masing teks. Salah satu dilema yang lazim terjadi adalah pengecualian untuk ekstradisi karena kejahatan politik. Ini biasanya tidak boleh berpengaruh pada kejahatan internasional, tetapi dalam sejumlah kasus, argumen
Pembunuhan tetap pembunuhan!' Ini kadang-kadang menjelaskan keengganan dari beberapa negara untuk menyesuaikan undang-undang mereka ketika mereka menjadi pihak dalam perjanjian terkait kejahatan internasional. Namun, sifat khusus dari kejahatan internasional harus diakui, karena bisa mempengaruhi kegawatan (gravity) kejahatan. Itulah sebabnya mengapa suatu kategori khusus dan terpisah dari tindak pidana tertentu perlu ditetapkan untuk kejahatankejahatan ini untuk menghindari pencampurannya dengan kejahatan biasa. Jika kebingungan seperti itu timbul, pasti akan memiliki dampak pada yurisdiksi universal dan prinsip saling melengkapi. 55 Pada catatan 15 di atas. Kendati persetujuan peradilan Inggris untuk ekstradisi mantan kepala Negara Chili itu, pemerintah tidak melaksanakannya untuk alasan medis.
54

itu dapat dipergunakan untuk mencegah dilaksanakannya ekstradisi, dan perbedaan apresiasi antar berbagai otoritas dapat melemahkan proses peradilan. Persoalan tambahan lain adalah daya kebijaksanaan yang diberikan kepada pihak eksekutif untuk memutuskan apakah ekstradisi tepat. Ini jauh dari sekedar masalah yang murni bersifat teoritis, seperti yang ditunjukkan oleh kasus Pinochet.56 Alasan subjektif Tidak hanya kesulitan subjektif yang berhubungan dengan aspek hukum hubungan antara yurisdiksi universal dan prinsip saling melengkapi; keduanya juga jelas akan mempengaruhi implementasi prinsip-prinsip tersebut dan karenanya tidak dapat diabaikan. Seperti alasan-alasan obyektif, alasan subyektif juga bersifat internasional dan internal. Alasan-alasan hukum internasional Sebuah definisi memadai tentang kejahatan internasional dan kepatuhan terhadap Statuta Roma tidak cukup untuk menjamin penuntutan kejahatan-kejahatan tersebut. Salah satu syarat pertama penuntutan efisien atas kejahatan internasional adalah adanya sebuah sistem peradilan yang efisien, yaitu pengadilan yang berfungsi dengan hakim yang kompeten. Tapi ini tidak selalu terjadi, terutama setelah konflik bersenjata atau krisis melanda Negara tersebut. Asesmen harus dilakukan dalam kondisi seperti itu, tetapi besar kemungkinan yurisdiksi universal dan prinsip saling melengkapi akan kabur jika struktur yang layak masih kurang. Bahaya meningkat karena angka kejahatan meningkat. Ini tidak boleh dipandang remeh, karena meski selalu ada kemungkinan mendirikan suatu sistem ad hoc (internasional atau campuran), itu tergantung pada kemauan masyarakat internasional. Jika ICC dibiarkan dengan prinsip saling melengkapi - dan dengan ketentuan bahwa negara bersangkutan akan bekerja sama perannya barangkali terbatas pada praktek untuk sejumlah kecil kasus, tanpa jaminan bahwa penyelidikan akan dimungkinkan dan bukti yang dikumpulkan akan memadai. ICC tidak dapat mengimbangi kekurangan negara atau komunitas internasional dalam skala besar. Ada juga risiko tinggi perlakuan tidak setara antar negara-negara yang dapat menimbulkan terjadinya tawar-menawar di antara mereka, terutama Negara yang bukan pihak pada Statuta Roma. Menimbang bahwa kejahatan internasional secara teoritis tunduk pada yurisdiksi universal tetapi tidak selalu bisa diadili dalam praktek,57 seberapa efektif prinsip saling melengkapi sebenarnya? Ketimpangan bisa merupakan hasil kebutuhan kontradiktif bagi negara. Jika, misalnya, itu adalah negara berkembang, kepatuhan terhadap Statuta ICC atau menandatangani perjanjian berdasarkan Pasal 98 Statuta ICC bisa menjadi cara untuk menegosiasikan dukungan ekonomi sebagai imbalannya. Hubungan dan politik internasional tidak boleh diabaikan dalam perdebatan ini. Keduanya jelas
56 57

Amerika Serikat v. William L. Calley, Jr, Pengadilan Banding Militer AS, 21 Desember 1973, 22 USCMA 534 (1973).

Karena tekanan dari negara-negara lain dengan membuat dukungan ekonomi mereka tergantung pada tidak adanya kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait.

memainkan bagiannya di luar kepatuhan negara pada prinsip-prinsip umum. Risiko menciptakan 'zona bukti penuntutan' bagi para pelaku kejahatan internasional, dengan sedikit cara untuk memaksa negara memenuhi kewajiban 'yurisdiksi universal'-nya, cukup besar. Kekuatan negara dan posisi yang mereka ambil memiliki pengaruh yang jelas di sini.58 Aspek subjektif lain berkaitan dengan situasi politik secara keseluruhan di masing-masing negara. Ini harus dipertimbangkan, karena sifat rezim politik, tergantung pada jenis pemisahan kekuasaan dan adanya checks and balances (rezim otoriter atau demokratis), juga akan mempengaruhi pelaksanaan kedua prinsip ini. Secara historis, prinsip saling melengkapi cukup baru dibandingkan dengan hubungan antar negara yang seringkali sudah berjalan lama. Oleh karena itu untuk mengabaikan situasi individual dan global setiap negara dan pengaruh implementasi prinsip saling melengkapi terhadap hubungan antar negara adalah tidak realistis. Misalnya, kedekatan dua negara bisa membuat pengadilan terhadap kejahatan internasional sulit jika tuntutan itu akan berdampak terlalu dalam dan negatif pada hubungan antara kedua negara, yang mengarah ke krisis yang bisa lebih buruk daripada pengadilan itu sendiri. Di luar pidato resmi untuk mendukung penuntutan dan kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional, ada dimensi geopolitik yang tidak bisa diabaikan dan bisa menciptakan resiko tinggi kelambanan. Sikap masyarakat internasional juga tidak boleh dipandang berlebihan. Di balik konsensus resmi bahwa penjahat internasional harus dibawa ke pengadilan, politik riil menutupi dan situasi dipandang secara berbeda. Kekuasaan yang diberikan kepada Dewan Keamanan PBB untuk merujuk suatu persoalan ke Mahkamah59 bisa menjadi contoh. Ini bisa dilihat sebagai satu aspek positif dari prinsip saling melengkapi yang diterapkan untuk memberi efek konkrit yang lebih besar dibandingkan dengan prinsip universalitas, dan bahkan telah digunakan dalam kasus situasi Darfur di Sudan. Namun, contoh ini tidak boleh mengaburkan risiko tinggi selektivitas pendekatan masyarakat internasional kepada kejahatan internasional. Bahkan jika ada asesmen komprehensif kejahatan internasional di seluruh dunia, metode kerja dan aturan prosedur Dewan Keamanan dapat menyebabkan pendekatan selektif dalam hal langkah-langkah hukum yang dapat diprakarsai oleh ICC. Jika langkah-langkah hukum tersebut merugikan kepentingan dari beberapa negara anggota, akan sangat sulit mendapatkan persetujuan mereka terlepas dari sifat dari kejahatan-kejahatan tersebut. Cukup bagi mereka untuk
Lihat Henry J. Steiner, Three cheers for universal jurisdiction or is it only two?" (Bersoraklah tiga kali untuk yurisdiksi universal - atau hanya dua?), Theoretical Inquiries in Law, Vol. 5 (2004), hal. 201 f. dan 229 f. 59 Lihat Pasal 13 Statuta ICC mengenai pelaksanaan yurisdiksi: "Mahkamah dapat melaksanakan jurisdiksinya berkenaan dengan kejahatan yang dicantumkan dalam pasal 5 sesuai dengan ketentuan Statuta ini, kalau: ... (b) Suatu situasi di mana satu atau lebih 59 Karena tekanan dari negara-negara lain dengan membuat dukungan ekonomi mereka tergantung pada tidak adanya kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait. 59 Lihat Henry J. Steiner, Three cheers for universal jurisdiction or is it only two?" (Bersoraklah tiga kali untuk yurisdiksi universal - atau hanya dua?), Theoretical Inquiries in Law, Vol. 5 (2004), hal. 201 f. dan 229 f. 59 Lihat Pasal 13 Statuta ICC mengenai pelaksanaan yurisdiksi: "Mahkamah dapat melaksanakan jurisdiksinya berkenaan dengan kejahatan yang dicantumkan dalam pasal 5 sesuai dengan ketentuan Statuta ini, kalau: ... (b) Suatu situasi di mana satu atau lebih kejahatan yang tampak telah dilakukan tersebut diteruskan kepada Penuntut Umum oleh Dewan Keamanan yang bertindak berdasarkan Bab VII Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
58

menjadi anggota tetap Dewan Keamanan, dan situasi dapat diblokir. Juga, ada 'ambang batas masalah' yang harus dicapai bagi masyarakat internasional untuk merasa prihatin dan mengangkat masalah ini. Sayangnya, kejahatan internasional dievaluasi di sini berdasarkan jumlah dan visibilitasnya. Jika masalah tersebut tidak cukup high profile atau hanya dilakukan secara sporadis, resiko kurangnya minat dan kelambanan/keengganan bertindak bisa tinggi. Aturan-aturan hukum yang berasal dari prinsip saling melengkapi biasanya harus mengarah pada penuntutan pelaku kejahatan internasional. Namun, aplikasi praktis prinsip itu mungkin terganggu oleh perlunya Mahkamah menentukan kebijakan pidananya. Logikanya, dan berdasarkan pernyataan yang dibuat oleh Kantor Penuntut dan Presiden ICC,60 Mahkamah menargetkan mereka yang paling bertanggung jawab atas kejahatan internasional - kadang-kadang disebut dengan 'ikan besar' - dengan demikian terutama para pejabat tinggi dan pemimpin militer yang cukup sering tidak dapat diakses oleh pengadilan nasional karena posisi mereka dan karena undang-undang nasional pembatasan atau imunitas, meskpun undang-undang tersebut tidak berlaku untuk kejahatan internasional.61 Namun, ini tidak cukup untuk memastikan pemberantasan yang memadai terhadap kejahatan semacam itu. Jika dilakukan oleh sejumlah orang di suatu negara tertentu dan ICC diminta atas dasar rujukan, dalam satu atau lain cara, untuk mengadili pelaku yang berada di level atas, mereka yang berada di bawahnya mungkin terbebas dari penuntutan meskipun telah melakukan kejahatan internasional, jika sistem peradilan pidana negara tersebut pada prakteknya tidak dapat mengadili mereka. Ini adalah salah satu keterbatasan implementasi prinsip saling melengkapi. Klausa ketidakmampuan pada Pasal 17 Statuta ICC bisa menjadi sia-sia jika ICC juga tidak dapat mengadili pelaku pelanggaran karena jumlah mereka - risiko yang jauh dari sekedar hipotesa! Tidak ada solusi klasik yang tampaknya bisa mengatasi kesulitan semacam itu. Tidak saja kebijakan pidana ICC dipertaruhkan, tetapi juga keseluruhan kriteria yang disebutkan di atas. Kombinasi keduanya bisa sangat merusak baik efektivitas prinsip saling melengkapi, maupun implementasi yurisdiksi universal secara keseluruhan.62 Alasan-alasan nasional subjektif Ada alasan-alasan subyektif lain, berhubungan dengan faktor-faktor nasional, yang menciptakan kesulitan bagi implementasi prinsip saling melengkapi. Beberapa dijelaskan berikut ini. Pertama, karakteristik budaya spesifik masing-masing negara harus dipertimbangkan. Pengetahuan tentang dimensi ini terbukti sangat penting untuk mengatasi kejahatan internasional secara efisien. Hubungan antar otoritas/pemerintah, kemampuan saksi untuk berbicara, keengganan warga untuk bekerja sama, prioritas yang diberikan pada proses rekonsiliasi dan rekonstruksi ... ada
Lihat presentasi P. Kirsch dalam laporan pertama ke Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa [UN Doc A.60/177], dapat diakses di http://www.icc-cpi.int/press/pressrelease/120.htm. (Terakhir dikunjungi bulan Maret 2006). 61 Sebagai pengingat, jurisdiksi universal atas kejahatan internasional tidak boleh meminta penerapan suatu ketentuan nasional tentang imunitas atau amnesti dan, secara umum, tidak ada undang-undang pembatasan apapun. 62 Mengenai hambatan terhadap pelaksanaan yurisdiksi universal, lihat 'Laporan Akhir', pada catatan 3 di atas, hal. 10.
60

banyak faktor yang bisa membuat penerapan prinsip saling melengkapi lebih sulit dalam praktek.63 Situasi, misalnya, di negara-negara Balkan atau lebih menggejala di Kamboja menunjukkan keengganan sebelumnya dan mungkin terus berkembang - setidaknya - untuk menggelar pengadilan dan untuk menyelesaikan cerita masa lalu. Ini tidak pernah menjadi penolakan resmi, tapi pengaturan prioritas. Prioritas terdekat dari suatu negara belum tentu sama dengan prioritas masyarakat internasional, sama seperti prioritas korban tidak selalu sama dengan prioritas negara. Hukum internasional dan konstitusional jelas tentang prioritas-prioritas ini, tetapi belum tentu demikian halnya dengan para pengambil keputusan internasional dan nasional. Kedua, sarana yang tersedia untuk implementasi yurisdiksi universal dan prinsip saling melengkapi mungkin tidak cukup. Kendati keputusan untuk melakukan penuntutan dibuat di tingkat internasional, ada kesulitan-kesulitan yang sudah diperkirakan. Investigasi adalah salah satu contoh. Investigasi yang tepat diperlukan untuk mengadakan pengadilan, tetapi bagaimana seorang petugas internasional akan melaksanakannya? Apakah ia menggunakan seorang penterjemah? Bagaimana dengan keandalan informasi, terjemahan, dan sebagainya? Ada banyak kekhawatiran dalam hal itu. Kesulitan tersebut bukan mustahil untuk diatasi, tapi secara keseluruhan keberhasilan ICC dalam melakukannya tergantung tidak hanya pada kerjasama dari pejabat negara tetapi juga pada akses aktual ke informasi yang dibutuhkan. Ini menunjukkan peran yang dimainkan dalam menangani isu-isu tersebut oleh hubungan Mahkamah dengan negara, dan kebutuhan sikap positif dan konstruktif oleh keduanya guna mencapai hasil yang konstruktif. Kesimpulan Hubungan antara yurisdiksi universal dan prinsip saling melengkapi bukan topik yang revolusioner dan isi artikel ini dimaksudkan hanya untuk mendorong perdebatan. Dengan mengidentifikasi secara lebih jelas peran dan tanggung jawab masing-masing pemain, barangkali dimungkinkan untuk mengajukan serangkaian tindakan untuk membuatnya bisa berjalan lebih baik. Berikut ini adalah beberapa ide untuk dibagikan. Pertama-tama, tampaknya perlu untuk mengidentifikasi dengan jelas - secara praktis - peran yang harus dimainkan oleh ICC. Mulai dari penggunaan kata-kata dalam Statuta, peran negara-negara dan Mahkamah tampak jelas sekali. Tapi hal ini barangkali tidak cukup untuk memastikan bahwa prinsip saling melengkapi akan efektif pada prakteknya. ICC adalah lembaga internasional otonom, yang didirikan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara-negara Anggota harus bertanggung jawab memastikan keberhasilan atau kesuksesan Mahkamah di masa mendatang. Untuk itu, Majelis Negara-negara Pihak pada Statuta ICC bisa menggunakan posisi sentral dan kebijakan-kebijakan untuk

Lihat dalam hal ini Yohanes Dugard, 'Possible conflicts of jurisdiction with truth commissions', dalam Cassese et al., pada catatan 29 di atas, bab. 18.3, hal. 693.
63

menjelajahi peluang-peluang berikut. Pertama, Majelis bisa mengusulkan kepada Negara-negara harmonisasi definisi dan prosedur kerja tertentu dalam rangka meningkatkan efisiensinya dan mengarah pada kesetaraan yang lebih besar di antara mereka dalam hal penuntutan dan persidangan. Misalnya, bisa dibayangkan untuk penuntutan kejahatan internasional, beberapa pengurangan dapat dilakukan pada undang-undang pidana nasional, sehingga perbedaan antara sistem hukum dapat dikurangi. Organ-organ ICC harus bertujuan membantu negara-negara, bukan untuk memerangi mereka. Ini bukan sekedar kata-kata. Ini mencakup pelaksanaan Statuta dan kebijakan komunikasi yang kuat baik dari negara-negara peserta maupun lembaga-lembaga Mahkamah atau Pengadilan. Meskipun ICC belum menjatuhkan putusan, kontak dan komunikasinya sampai sekarang tampaknya menunjukkan bahwa ICC melaksanakan pemikiran ini. Kedua, Majelis Negara-negara Pihak, tanpa campur tangan dalam urusan internal negaranegara, juga bisa merumuskan dan mengusulkan beberapa panduan langkah-langkah praktis untuk meningkatkan penegakan prinsip universalitas. Ini harus dilakukan berdasarkan konsultasi dengan negara-negara anggota, namun juga dengan seluruh masyarakat internasional. Ketiga, Majelis Negara-negara Pihak dan ICC, kemudian melalui hukum-kasusnya, juga dapat memainkan peranan federatif antar negara - tidak memaksakan solusi tetapi untuk meyakinkan mereka bahwa yurisdiksi universal adalah jalan yang perlu ditempuh. Selain itu, ini akan memungkinkan memasukkan negara-negara non-anggota ICC ke dalam gambar dan melanjutkan dialog universal. Ide kedua adalah memberikan tanggung jawab lebih kepada organisasi internasional regional dalam hal prakarsa dan tindak lanjut penuntutan kejahatan internasional. Situasi saat ini cukup sering seperti ini: kejahatan internasional dilakukan; negara tidak mampu atau secara politik tidak bersedia mengadili penjahat internasional yang melakukan kejahatan mereka di luar negeri; ICC tidak memiliki alasan yang cukup untuk memprakarsai langkah-langkah hukum, dan kejahatan tersebut tetap tidak dihukum. Situasi seperti ini lebih karena kurangnya suatu lembaga yang tepat yang dapat menggabungkan dua atribut: pengetahuan tentang konteks khusus, dan kemandirian yang cukup untuk berbicara atas nama beberapa negara yang sama-sama menanggung beban tanggung jawab. Organisasi-organisasi politik regional bisa menjadi solusi yang dimungkinkan, karena organisasiorganisasi tersebut memenuhi kedua syarat. Harus dipahami bahwa organisasi-organisasi tersebut tidak akan memainkan peran ini sendiri, tapi akan mengambil tanggung jawab untuk menyampaikan inisiatif kepada satu negara anggota yang akan mengatur penuntutan dan pengadilan atas nama kemunitas Negara-negara tersebut atau merujuk persoalan itu ke Dewan Keamanan. Jelas solusi seperti itu membutuhkan pemikiran yang lebih dalam, tapi memiliki keuntungan menggunakan lembaga yang sudah ada untuk memberikan efek konkrit pada prinsip universalitas dan terutama menegakkan prinsip saling melengkapi secara lebih efektif.

Akhirnya, peran sanksi dalam implementasi prinsip saling melengkapi tidak dapat diabaikan. Meskipun keduanya biasa dilihat sebagai hal yang terpisah dan tanpa hubungan apapun, harus diingat bahwa keadilan sering dipandang dilakukan melalui sanksi dan, lebih tepatnya, sanksi pidana. Penting untuk memikirkan kembali proses peradilan sebagai suatu rantai di mana setiap elemen diperlukan untuk melakukan proses sampai akhir. Jika prinsip saling melengkapi dianggap semata-mata sebagai sebuah klausul yang menghubungkan yurisdiksi, pemahamannya tidak akan lengkap. Jika sanksi dipandang sebagai isu terpisah, penegasan yurisdiksi tidak akan dipahami dengan baik. Bahkan lebih dari sanksi, keseluruhan isu keadilan dipertaruhkan di sini. Memikirkan kembali yurisdiksi universal dan prinsip saling melengkapi hanya dapat menjadi proses multidimensional tanpa suatu jawaban tunggal. Kombinasi solusi, mulai dari proses kebenaran dan rekonsiliasi nasional melalui penuntutan nasional hingga penuntutan pidana campuran atau internasional terhadap pelaku yang memiliki tanggung jawab terbesar, harus didalami dan dilaksanakan. Ini jelas menjadi titik awal perdebatan lain untuk mengikuti perdebatan yang kini sedang berjalan ... Prinsip saling melengkapi tidak diragukan lagi merupakan kemajuan terhadap efisiensi yang lebih besar dari yurisdiksi universal. Upaya telah dilakukan dalam artikel ini untuk menunjukkan sejumlah pertimbangan yang saling terkait yang harus dilakukan jika masyarakat internasional ingin mengatasi masalah ini secara lebih baik. Namun demikian, harus diingat bahwa pada akhirnya, dan kendati instrumen-instrumen yang dirancang paling baik, hanya kesediaan negara dan komunitas internasional yang akan menghasilkan perbedaan. Keadilan bagi dan martabat para korban adalah tujuan yang mendasari setiap kata dari sumbangan ini, dan tidak boleh diabaikan oleh pemikiran bahwa yurisdiksi universal adalah impian semata hanya bagi akademisi atau idealis. Hanya upaya bersama yang akan membawa pada perubahan sikap. Sebuah pesan sederhana mengenai yurisdiksi universal dan prinsip saling melengkapi harus disampaikan kepada semua pihak yang peduli dengan implementasinya: "Jangan berpikir atau berbicara terlalu banyak tentang hal itu. Lakukan saja!"

You might also like