You are on page 1of 17

(bagian 2 dari 3 tulisan)

PENGARUH HINDU-BUDHA
di Sumatera dan Jawa

cin pratipa hapsarin

I. Pengaruh Sistem Kerohanian Hindu-Budha di Sumatera


Pengaruh India di wilayah ini memang terjadi hingga paruh abad 8. Tetapi sulit memastikan
apakah ini berjalan lantaran ekspansi, perjalanan dagang atau usaha pelarian politik dari
India ke Nusantara atau sebaliknya. Yang jelas pada masa-masa awal telah dikenal nama-
nama India seperti Mulawarman (dari Kutai), Açwawarman dan Purnawarman (dari
Tarumanagara, Jawa Barat) dan agama yang dianut adalah agama Brahma dan Hindu dengan
tiga dewa utamanya: Brahma, Çiwa dan Wisnu.

Penggunaan nama-nama India boleh jadi merupakan bagian dari usaha untuk melegitimasi
kekuasaan. Seperti diketahui wilayah-wilayah kerajaan pada waktu itu tidak mengenal
sentrum kekuasaan tunggal dan masih terpecah dalam bagian-bagian kecil. India adalah
salah satu locus yang memiliki sejarah panjang kebudayaan dan menghasilkan banyak
peradaban besar, mulai dari filsafat, agama, tehnologi, ekonomi hingga politik. Sekiranya hal
itulah yang mendorong pengambilan nama ataupun simbol-simbol lain yang ada di India.
Transformasi atau sebutlah pengutipan tersebut tidak lain dari usaha untuk menyamakan diri
dengan pusat kekuasaan atau kebudayaan yang berfungsi untuk mengikat daerah lain yang
lebih kecil di dalam satu payung kekuasaan. Implikasi logis dari kedekatan dengan
kebudayaan India itu adalah lahirnya kekuasaan pendeta atau heirocratic civilisation. Di sini
peran pendeta menjadi tak tertolak karena ialah yang berkuasa penuh untuk menghubungkan
raja dengan sumber kekuasaan yang mutlak. Akhirnya konsolidasi kekuasaan terlihat pula
pada digunakannya aksara Dewanagari dan Pallawa.1

Kehadiran Hindu segera disusul oleh Gunawarman yang masuk ke Nusantara tahun 420 M
untuk melakukan syiar Budha. Raja Kashmir tersebut datang bersama rombongan pendeta
Budha dan sejak saat itu agama Budha menjadi agama kalangan atas.

1
Lebih lengkap lih. Simbolon, 1995: 8-9.
Berita pada masa itu diperolah melalui catatan yang dibuat oleh Fa Hien, seorang rahib
Budha yang dari Cina yang sedang singgah di Nusantara, khususnya Sumatera dan Jawa
karena perahunya terkena badai. Fa Hien berada di Nusantara selama lima bulan, antara
Desember 412 – Mei 413. Dalam laporannya, Fa Hien mengatakan bahwa kebanyakan
penduduk menyembah berhala. Berita selanjutnya baru datang dari It Sing yang mengadakan
perjalanan suci antara tahun 671-695. It Sing mengatakan bahwa ketika ia singgah di
Sumatera, ia telah mendapati beribu orang menjadi penganut Budha. Tampaknya
keberhasilan Gunawarman yang juga menyebarkan Budha di Tiongkok menyebabkan
peziarah Tiongkok yang akan ke India masuk ke Sumatera. Iklim itu menyebabkan
maraknya perkembangan agama Budha di Sumatera khususnya di Sriwijaya.

Hindu-Budha kemudian menjadi agama resmi di banyak kerajaan baik di Sumatera ataupun
di Jawa. Sriwijaya bahkan pernah menjadi salah satu pusat pengajaran Budha terbesar.
Diantara yang terkemuka itu terdapat seorang pemuka agama yang bernama Dharmapala.
Pada abad ke-7, tokoh inilah yang menyebarkan dalil Mahayana di Sumatera sedangkan pada
waktu itu Sumatera masih dikuasai oleh Budha Hinayana. Dharmapala sebelumnya adalah
seorang guru yang mengajar di Nalanda, kota biara di dekat Sungai Gangga. Di Sumatera,
Hindu-Budha bertahan lebih dari 600 tahun, kira-kira mulai abad 7-13 M.

II. Pengaruh Sistem Kerohanian Hindu-Budha di Jawa


Sumardjo mengatakan bahwa kekuasaan Hindu-Budha di Jawa bertahan kurang lebih 1000 tahun.
Diduga Hindu-Budha masuk mulai abad ke 6-7 dan berkembang di sepanjang lereng Merapi-
Merbabu (wilayah Tuk Mas). Kekuasaan Hindu-Budha baru mengalami kemunduran setelah
Majapahit dijatuhkan kekuatan Pantai Utara Jawa. Sementara di Sunda, kekuasaan Hindu-Budha
berdiri hingga lebih dari 1100 tahun dan baru hancur ketika Pajajaran di taklukan oleh kekuatan
Banten (1579) yang telah menjadi Islam (Sumardjo, 2002: 28).2

Kalingga, Tarumanegara dan Taruma


Awalnya, berita tertulis tertua di Nusantara di temukan di tepi Sungai Mahakam, Kutai,
Kalimantan Timur, menggunakan hurup Pallawa dan bahasa Sanskrit. Prasasti bertarikh 400
M itu menjelaskan bahwa saat itu telah terdapat seorang Pangeran yang termasyur. Pangeran
tersebut bernama Kundungga dan telah memiliki anak yang bernama Açwawarman, sang
pendiri wangsa. Prasasti itu didirikan oleh ‘pemuka dari yang lahir dua kali’ dan ditujukan
untuk mengenang segala jasa baik Mulawarman, anak Açwawarman yang telah
mempersembahkan banyak emas. Setelah itu baru ditemukan data arkeologis yang
menunjukan adanya seorang Raja di barat Pulau Jawa, yakni Purnawarman. Kerajaannya
disebut dengan Tarumanegara dan Raja tersebut memerintah selama 22 tahun. Diperkirakan
prasasti yang ditemukan di Bogor dan di Tugu merujuk pada kitaran abad ke-4 atau ke-5.

2
Yang menarik, pada kasus Sumatera dan Sunda, setelah Islam masuk sedikit sekali
peninggalan atau kebudayaan Hindu-Budha yang tersisa atau membekas. Fenomena tersebut berbeda
dengan Jawa, walaupun Islam berhasil menguasai wilayah politik tetapi secara kultural, kekuatan
Hindu-Budha tidak tergeser dalam artian penuh atau kemudian berhasil dilebur. Banyak kebudayaan
atau ritual di Jawa yang hingga hari ini secara genetik berasal dari peninggalan atau kebudayaan
Hindu-Budha.
Lepas itu diperkirakan lebih dari 200 tahun tidak didapati berita mengenai Nusantara.
Namun demikian ada beberapa berita resmi Dinasti Liang (502-556) yang menyebut nama
Kerajaan Lang-ga-su yang terletak di Pantai Selatan Jawa. Beberapa pihak berspekulasi
bahwa yang dimaksud dengan lang-ga-su atau Langg-ga adalah Kalinga (tetapi data
mengenai Kalinga baru di buat pada masa Dinasti Tang, 618-906 M). Kerajaan ini sangat
kaya karena memiliki 28 negri yang mengakui kekuasaan rajanya. Kalinga / Kaling atau
Holing sempat dipimpin oleh Ratu yang sangat ternama karena kebijaksanaannya, yakni
Ratu Sima. Ratu ini sangat terkenal karena ketegukan dan kebijakannya. Pada jamannya,
hukum nagari ditegakkan. Negara menjadi sangat teratur dan tidak ada satu penyamunpun
berani berkeliaran disana. Ia pernah menghukum anaknya sendiri karena menyentuh emas
yang milik Pangeran Arab yang ada diperbatasan negri (di tempat umum). Namun atas
permintaan para mentri hukuman dikurangi menjadi memotong kaki dan kembali atas
desakan para mentri akhirnya Ratu Sima hanya memenggal jempol kaki putranya. Melihat
hal itu Pangeran Arab yang sebelumnya berniat menyerang Kalinga pun membatalkan
niatnya. Ratu Sima ditasbihkan pada tahun 647 M.

Di Jawa Barat sendiri, selain Taruma terdapat beberapa kerajaan di bawah hukum Hindu-
Budha. Sebut saja Galuh, Saunggaluh dan Pajajaran. Sayangnya, sedikit sekali peninggalan
arkeologis maupun susastra yang cukup representatif untuk menggambarkan keadaan pada
waktu itu sehingga hanya dapat diketahui bahwa pada masa itu agama Hindu-Budha pertama
kali dipelajari melalui jalan literal. Dengan demikian dapat dikatakan jika kegiatan
intelektual menempati posisi penting dalam perkembangan Kerajaan, sementara ketika
agama Hindu-Budha berkembang dikalangan Istana, agama Rakyat—yang kerap disebut
dengan Agama Sunda—tetap berkembang di luar pagar istana. Dikenalnya konsep Sang
Hyang Tunggal pada masyarakat Sunda adalah bukti transformasi kosmologi dan teologi
Hindu dengan Agama Sunda.

Selain itu, berbeda dengan wilayah lain, di Sunda hampir tidak diketemukan data-data yang
menunjukkan hasrat penguasaan wilayah (baca: ekspansi) dari satu kerajaan ke kerajaan lain
(sehingga sedikit prasasti diketemukan). Puncak kekuasaan baru terbangun beberapa waktu
kemudian, itupun di bawah penguasaan kekuatan Islam yang masuk melalui ekspan Sunan
Gunung Jati. Selepas itu tidak ada berita apapun yang menceritakan sisa-sisa kejayaan
Hindu-Budha di Tanah Sunda.

Prijohutomo (1953: 97) menganggap kejatuhan Hindu-Budha sebenarnya terjadi setelah


Kerajaan Pajajaran hancur akibat perang Bubat dengan Majapahit. Seperti diketahui
kegagalan pernikahan Hayam Wuruk dengan Puteri Sunda berakhir dengan tewasnya seluruh
anggota kerajaan. Puteri Sunda dan ibunya sendiripun kemudian melakukan bela pati yang
waktu itu memang menjadi tradisi Hindu-Budha. Tak lama setelah itu, menurut Prijohutomo,
Pasundan pun segera diislamkan (1522-1526).
Sanjaya dan Çailendra
Sementara itu di Jawa Tengah berdiri satu kerajaan yang kelak menjadi salah satu dinasti
terbesar, Çailendra. Prasasti Tjangal – Kedu (Barat Daya Magelang), tahun 732 menyebut
Sanjaya putra Sanna adalah Raja yang memerintah kerajaan dengan adil, walau dalam cerita
Prahyangan, Sanjaya atau Rake Mataram dianggap sebagai raja yang banyak melakukan
peperangan untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Sanjaya dipercaya pernah mencoba
merampas Criwijaya, Khmer di Birma hingga Bali.

Dalam pemerintahannya itu, Sanjaya di bantu oleh seorang kakak perempuannya. Secara
spekulatif beberapa pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kakak perempuan
Sanjaya adalah Sima. Namun tidak terdapat bukti yang cukup mendukung pernyataan ini.
Selain kemungkinan letak Medang ibhumi Mataram (walaupun tidak dapat dipastikan
dengan jelas) secara geografis tidak begitu jauh dengan Kalinga. Berdasar prasasti Tjangal
diketahui pembuatan Lingga (lambang Çiwa) di Selatan Muntilan atau tepatnya daerah
sekitar Salam. Sementara daerah kekuasaan Çailendra sendiri terbentang luas sepanjang
wilayah Klaten – Jateng, DIY dan Magelang kini dan wilayah Kalinga dalam berita Cina
(dari masa Dinasti Tang) di sebut berada di Laut Selatan, sebelah timur Sumatera dan barat
Bali. Namun demikian, menurut Simbolon (1995: 381) di Prasasti Tjangal disebutkan pula
bahwa ada pulau yang begitu sempurna karena terkenal kaya akan padi-padian dan kaya
akan tambang emas. Pulau itu disebut Yawa dan Sanjaya adalah Raja Yawa yang berasal
dari Kunjarakunja. Menurut Krom, Kunjarakunja adalah daerah di sekeliling Gunung
Agastyamalai dan dahulu dikenal sebagai Kunjara. Letak Gunung tersebut di sebelah ujung
selatan India.

Sanjaya sendiri penganut agama Bhrama atau mungkin Hindu Çiwa namun penggantinya,
Tejahpurnapana Panangkarana / Kariyana Panangkarana atau disebut Pancapana adalah
penganut Budha Mahayana. Di bawah kekuasaan Pancapana dan anaknya inilah,
Dharanindra (dari hasil pernikahan dengan seorang perempuan keturunan Fu Nan - Hindia
Belakang) berbagai candi besar didirikan.

Menurut Prijohutomo (1953: 23), Rake Panangkaran atau Pancapana boleh jadi telah
membagi dua wilayahnya. Yang satu diberikan kepada Dharanindra yang kemudian
menghasilkan dinasti Çailendra sementara satu bagian lain dipegang oleh Rake Panunggalan.
Kemungkinan Rake Panunggalan ini adalah anak dari selir. Setelah kekuasaan Rake
Panunggalan tidak dapat diceritakan secara detail apa yang terjadi dengan Dinasti Sanjaya
karena minimnya data yang ditinggalkan. Yang pasti secara berturut-turut, setelah Rake
Panunggalan, tampuk kekuasaan dipegang oleh Warak, Gerung dan Pikatan. Mereka ini
kemungkinan penganut Çiwa.

Satu versi lain mengenai Sanjaya-Çailendra wangsa, berasal dari cerita tutur. Dikabarkan
bahwa sebenarnya Sanjayalah yang telah membagi kerajaan. Satu bagian diberikan kepada
Pancapana dan bagian lainnya kepada Indrayana. Menurut cerita itu, Istana Indrayana lebih
besar dan megah dibanding miliki Pancapana, namun entah mengapa nama Indrayana sendiri
‘tidak termuat’ dalam bagan Dinasti Mataram. Tidak diketahui dengan pasti apa atau
bagaimana kelanjutan cerita dari Indrayana ini. Versi ini secara tidak langsung dibenarkan
oleh Pramoedya Ananta Toer dalam kisah Arok Dedesnya. Dalam kisah tersebut diberitakan
jika wangsa Çailendra yang kalah dari Sriwijaya masuk ke Jawa dibawah perlindungan
Sunnaha (Sanna) dan mendapat daerah dari wilayah milik Mataram. Namun pada masa
kepemimpinan Pancapana, wangsa Çailendra menjadi lebih berkuasa. Kedudukan kaum
Çiwa dari wangsa Sanjaya tergeser sampai-sampai Pancapana harus membuat Candi
Kalasan, sebagai perlambang berkuasanya Budha dari Tantrayana dan Yoga, di bawah
petunjuk Indra. Kekuasaan kaum Çiwa sendiri baru mendapat tempat kembali setelah Rakai
Pikatan menikahi Pramodawarddhani.

Tahun 778, Pancapana mendirikan Candi Kalasan. Menurut Prasasti Kalasan, yang berhuruf
Pra-nagari, berbahasa Sanskerta dan berangka tahun 778 M, Kalasan merupakan candi
pemujaan kepada Tara, isteri Avalokitesvara, seorang Dewi bagi penganut Mahayana. Setiap
delapan tahun sekali para yogin dan mahasiddha dari berbagai wilayah berkumpul di candi
ini untuk memuliakan Tara. Kemungkinan Dharanindra, yang awalnya dikenal sebagai
penganut Budha, menjadi penganut Mahayana setelah anaknya, Samaratungga atau
Samaragrawira menikah dengan putri mahkota Çriwijaya, Tara. Seperti diketahui Mahayana
masuk ke Çriwijaya pada awal abad ke-7, barang pasti besan Dharanindra ini telah memeluk
Mahayana pula. Pernikahan Smaratungga ini terjadi pada tahun 775 M.

Putra Dharanindra, Samartungga kemudian naik menduduki kursi kekuasaan hingga


wafatnya, 812. Tahun 824 Samaratungga diketahui telah membuat candi Wenuwana /
Ngawen di sebelah barat Muntilan. Anehnya, seperti halnya Kalasan, pemberi tanah untuk
bangunan tersebut adalah seorang raja keluarga Sanjaya, yaitu Rakai Garung. Boleh jadi
kedudukan wangsa Sanjaya pada masa ini memang masih berada di bawah angin terutama
setelah naiknya Indra dari wangsa Çailendra. Borobudur di Bhumisambhara kemungkinan
juga dibangun pada masa Samaratungga. Kekuasaan Samaratungga dilanjutkan oleh
puterinya Pramodawarddhani yang menikah dengan Rake Pikatan, dari Dinasti Sanjaya.

Dengan demikian pernikahan Pramodawarddhani dan Pikatan ini adalah perkawinan politik
karena mencoba menyatukan cabang keturunan dua wangsa. Seperti diketahui Agama Budha
yang mekar bersama datangnya wangsa Çailendra di Jawa telah dianggap ‘memaprasi’
candi-candi Çiwa Sanjaya sebagai umpak kuil stupa mereka. Ini berarti Kamahayanikan
(buku suci kaum Mahayana) membahayakan posisi Brahmandapura (buku suci kaum Çiwa).
Keadaan ini tidak sepenuhnya dapat diterima para Brahmana Çiwa. Mereka dalam
perjuangannya terus mencoba mengembalikan kedudukan kaum Çiwa, bahkan hingga jaman
Airlangga dan Angrok kelak. Perkawinan Pramodawarddhani dan Pikatan boleh jadi adalah
upaya awal untuk meredam konflik sosial yang dilakukan dengan jalan meleburkan Budha-
Çiwa walaupun belum bersifat resmi. Salah satu peninggalan arkeologis yang cukup
representatif untuk menggambarkan persenyawaan itu adalah Candi Plaosan. Candi ini
dibangun oleh Pramodawarddhani, sementara Pikatan membangun kelompok candi Hindu,
Loro Jonggrang. Yang menarik, kedua candi itu dibangun dalam satu wilayah (berjarak
sangat dekat).
Sebelum dilanjutkan oleh Rake Kayuwangi, tampuk kekuasaan sempat di serang oleh
Balaputradewa pada 856 M. Namun demikian serangan tersebut gagal. Balaputradewa
melarikan diri ke Suwarnadwipa dan pada gilirannya justru menjadi salah satu raja yang
membesarkan Çriwijaya. Seperti diketahui Balaputeradewa adalah adik dari
Pramodawarddhani. Awalnya ia adalah calon pengganti tahkta wangsa Çailendra sebelum
akhirnya dihalau Pikatan. Di bawah Rake Kayuwangi sendiri Budha-Çiwa menjadi agama
resmi kerajaan. Selain itu ia pulalah yang mengembangkan pertanian sebagai ganti biaya
pembangunan candi yang telah berlangsung selama beberapa waktu itu.

Kekuasaan sendiri segera berpindah. Berturut-turut setelah Rake Kayuwangi, Rake


Humalang, Rake Watukara atau terkenal dengan sebutan Balitung, lalu menyusul Daksa,
Tulodong dan Wawa.3 Semenjak jaman Balitung sampai dengan Wawa sendiri dikatakan
jika kekuasaan kerajaan telah meluas hingga ke Jawa Timur. Tidak dapat dipastikan apakah
alasan yang mempersatukan wilayah kekuasaan Jawa Timur dan Jawa Tengah itu. Satu-
satunya kemungkinan adalah perluasan wilayah akibat pernikahan dengan keluarga Raja
daerah sekitar (mungkin pernikahan keluarga wangsa Mataram dengan keluarga Kerajaan
Kanjuruhan, Jawa Timur telah terjadi). Dan untuk pertama kalinya, pada pemerintahan
Balitung inilah kerjaan di sebut dengan nama ‘Mataram’.

Untuk menutup bagian ini, patut disebutkan bahwa kedua wangsa ini, walau mengandung
benih seteru tetapi setidaknya berhasil menunjukkan ikatan yang saling mengisi. Hal ini
minimal terlihat dari bagaimana misalkan Wangsa Sanjaya ‘menghibahkan’ tanah mereka
kepada penguasa Çailendra ketika mereka berencana mendirikan candi atau lainnya. Seperti
diketahui peninggalan candi dari kedua wangsa ini sangatlah banyak. Selain yang sudah
disebut masih terdapat pula misalkan Candi Mendut, Pawon, Sewu dan Candi Sari,
sementara Dieng sendiri didirikan oleh Sanjaya sekitar tahun 732 sebagai persembahan
kepada Çiwa.

Kanjuruhan
Di masa yang hampir sama dengan berdirinya Sanjaya-Çailendra Wangsa, rupanya di ada
kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (sekarang desa Kejuron). Rajanya bernama
Dewasimha dan ia berputra Limwa (bernama Gajayana saat mengganti ayahnya). Mereka ini
mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk dewa Agastya dan diresmikan tahun 760.
Upacara peresmian sendiri dilakukan oleh para pendeta ahli Weda (agama Çiwa).4 Cuplikan
mengenai Kanjuruhan ini sendiri diperoleh dari Prasasti Dinoyo: berangka tahun 760,
berhuruf Kawi, berbahasa Sanskerta, diketemukan di desa Dinoyo (barat laut Malang).

3
Lih. Prijohutomo, 1953: 32.
4
Bangunan kuno yang saat ini masih ada di desa Kejuron adalah Candi Badut. Berlanggam
Jawa Tengah, sebagian masih tegak dan terdapat lingga (mungkin lambang Agastya).
Kahuripan
Panggung sejarah tanpa diketahui pasti penyebabnya kemudian pindah ke Jawa Timur,
tepatnya ke hulu Sungai Brantas. Adalah Sindok yang bergelar Çri Maharaja Çri Içana
Wikramadharmottunggadewa yang berhasil mendirikan dinasti yang pada gilirannya mampu
bertahan selama 3 abad lamanya.

Perpindahan panggung sejarah ini sebenarnya tidak serta merta. Walaupun sebab kepindahan
sulit dipastikan kecuali spekulasi meletusnya Merapi di sekitar tahun 1006, Prijohutomo
(1953: 35-37) mengatakan bahwa sebenarnya hampir selama 10 tahun Sindok menjadi
pejabat tinggi pada masa pemerintahan Tulodong dan selanjutnya menjadi Rakryan Mapatih
pada masa Wawa. Sindok naik tahta pada 929-947 M. Selama masa pemerintahannya ia
menjalankan kekuasaan bersama dengan Parameçwari atau isterinya, yakni puteri dari
Rakryan Bawang. Dengan silsilah demikian Sindok dalam statusnya adalah raja menantu.

Setelah wafat, Sindok digantikan oleh puterinya, Çri Icanatunggawijaya. Dari pernikahan
Icanatunggawijaya dengan Lokapala, lahirlah Makutawangçawardana yang kelak menjadi
ibu dari Mahendradatta. Dijelaskan oleh Wojowasito (1954: 27) bahwa setelah
Makutawangçawardana berkuasa, keturunan Sindok tidak lagi memeluk Budha Mahayana
melainkan Wihsnuisme.

Mahendradatta sendiri setelah menikah dengan seorang Pangeran Bali, Dharmodayana atau
Udayana yang tidak memerintah di Jawa Timur tetapi di Bali. Menurut Wojowasita (1954:
27) Udayana berada dibawah penguasaan Makutawangçawardana dan Dharmawangça.
Mahendradatta sendiri kemudian melahirkan Erlangga yang kemudian menjadi salah satu
raja besar yang terkenal karena kebesaran dan kebijaksanaannya.

Seperti diketahui setelah di jodohkan dengan puteri Dharmawangça, Erlangga menetap di


Jawa. Namun pada saat yang bersamaan keadaan politik tidak menguntungkan. Pada saat itu
Dharmawangça tengah menyerang Çriwijaya, namun serangan tahun 1006 itu dapat
digagalkan. Sebaliknya, tahun 1007 Çriwijaya datang menyerang. Seketika itu kekuatan
Dharmawangça dapat dilumpuhkan sementara Dharmawangça sendiri gugur dalam pralaya
itu. Beruntung Erlangga yang masih berumur sangat muda berhasil menyelematkan diri
walau telah kehilangan mertua sekaligus isterinya. Ia lari keluar dari Istana, hidup sebagai
pertapa di sembarang tempat sambil ditemani oleh pengawalnya yang setia Resi Narottama.
Erlangga sendiri kemudian dapat membangun kekuatan terutama setelah sebuah kebetulan
membantunya.

Dharmawangça sendiri di duga adalah pengganti Makuta dan memerintah antara 991-1007
M. Menurut Simbolon (1995: 15), Dharmawangça adalah raja pertama yang melakukan
politik luar negeri. Ia melakukan perluasan kekuasaan tidak saja di Pulau Jawa melainkan
hingga ke timur: Bali, utara: Kalimantan dan ke barat: Çriwijaya. Penyerangan ini sendiri di
duga berangkat dari hasrat untuk menguasai jalur perdagangan dan bandar Çriwijaya. Seperti
diketahui pada saat itu, Çriwijaya merupakan daerah transit terbesar selain merupakan pusat
pengajaran Budha terbesar (kebetulan Budha di India sedang surut sementara di Cina sedang
dimusuhi). Faktor eksternal lain yang di duga turut memicu perluasan kekuasaan
Dharmawangça adalah kebijakan yang baru saja dikeluarkan oleh Dinasti Sung (960-1279).
Revolusi birokrasi memberi kesempatan yang sama kepada setiap rakyat untuk dapat
menduduki posisi pejabat negara. Hal ini mendorong pula aktivitas perdagangan yang
sebelumnya bergerak stagnan. Akibatnya pasar Nusantara kembali ramai dikunjungi oleh
para padri dan pedagang Cina.5

Mengenai ekspansi Dharmawangça ke Çriwijaya, dalam Arok Dedes, Pramoedya Ananta


Toer berpendapat jika salah satu alasannya adalah guna memukul mundur akar kekuatan
Mahayana yang telah menekan kekuatan Çiwa Jawa. Sayangnya hal ini dinodai oleh
penerusnya setelah pralaya, Erlangga, karena raja muda ini lebih memilih Dewa Pertanian-
pedalaman, Wishnu sebagai sesembahan.

Kebetulan yang menyelamatkan Erlangga mulai berlangsung ketika pada tahun 1023 dan
1030, Raja Cola Rayendraçoladewa I menyerang Çriwijaya. Tidak hanya itu
Rayendraçoladewa juga menyerang Kerajaan Melayu (Jambi), Panai, Pantai Sumatera
Timur, Kedah, Lamoeri (Aceh Besar) dan Nikobar. Dengan begitu kekuatan yang
sebelumnya di dominasi kerajaan di bagian barat mulai melemah. Pada saat itulah Erlangga
segera menggalang konsolidasi dan menundukkan raja-raja yang dulu pernah berada dalam
vasal Dharmawangça namun karena kejatuhan Dharmawangça kemudian melepaskan diri.
Kerja itu dilakukannya hingga tahun 1037. Setelah kemenangannya itu Erlangga segera
memindahkan istana ke ibu kota baru dan menasbihkan kerajaannya yang bernama
‘Kahuripan’. Sementara itu di Bali, Anak Wungsu, adik bungsu Erlangga berkuasa dan pada
gilirannya mengembangkan kebudayaan Jawa Kuno.

Erlangga sendiri tercatat sebagai seorang raja yang memperhatikan pengembangan kesenian
dan kebudayaan, selain berhasil memajukan kesejahteraan rakyat melalui perbaikan ekonomi
dan perbaikan fasilitas umum. Beberapa hal yang patut dicatat pada masa pemerintahannya
adalah, pertama, secara revolusioner ia menghapuskan perbudakan (bahkan jauh sebelum
Magna Charta dikumandangkan Raja John tahun 1215 di Inggris) melalui peniadaan kasta
waisya (kasta terendah) dan hanya mengakui triwangsa. Pada klausul ini disebutkan jika
urusan manusia dengan dewa menjadi bukan monopoli para pandita-brahmana saja dan
dengan demikian seorang sudra dapat menjadi satria ataupun menjadi brahmana karena
dharmanya. Kedua, untuk mewartakan ‘suara dewa’ Erlangga mempergelarkan pagelaran
wayang. Dalam pagelaran ini bayang-bayang leluhur dalam wayang dapat dianggap sebagai
bayangan dewa sendiri—hal mana ditolak mentah-mentah oleh kaum Çiwa karena selama ini
mereka tidak menggunakan leluhur sebagai lantaran.

Sementara itu untuk mengikat dan memperkuat hubungan, terutama dengan Çriwijaya yang
sebelumnya bersengketa dengan mertuanya, Erlangga kemudian menikahi puteri Çriwijaya
setelah penyerangan kedua Raja Cola. Dan untuk mengenang pernikahan agung tersebut

5
Lebih lengkap mengenai masa kekuasaan Dharmawangça berdasar berita Cina, lih.
Simbolon, 1995: 383-385.
Mpu Kanwapun menggubah Arjunawiwaha dalam Jawa—yang merupakan saduran parwa
ketiga Mahabharata, Aranyaparwa—sebagai persembahan. Menurut Pramoedya, inilah kali
pertama tokoh manusia raja didewakan dalam buku suci. Gejala yang akan diikuti oleh
banyak raja kemudian; Kresnayana karangan Mpu Triguna pada jaman Jayawarsa,
Smaradhahan gubahan Mpu Dharmaja pada masa Kamecwara, Hariwangsa buatan Mpu
Panuluh jaman Jayabaya, Gatotkacasraya ciptaan Mpu Tanakung masa Kertajaya, dsb.

Selain itu Erlangga juga memerintahkan para pujangganya untuk mengadaptasi


Mahabaratha dari Sanskerta ke Jawa. Dengan cara ini kebudayaan Hindu-Jawa (aliran
Wishnu) kembali hidup dikalangan rakyat kebanyakan dan mulai menggeser Hindu-Budha
(Çiwa) yang sebelumnya berkembang melalui jalur literer. Tidak hanya itu, Erlangga juga
diyakini mengadakan kodifikasi hukum untuk pertama kalinya yang disebut dengan
Siwasasono.

Raja yang terkenal bijak ini sebenarnya menyisakan nasib tragis. Walaupun ia berhasil
mensejahterakan rakyatnya, tidak serta merta ia dapat diterima sebagai bagian dalam wangsa
Isana. Kaum Brahmana mengecam lengsernya kedudukan Ciwa pada masa ini yang
digantikan oleh Wishnu. Adapun kedudukannya sebagai raja menantulah yang dijadikan
alasan untuk menggantikan kedudukannya.

Adalah Samarawijaya, cucu langsung Dharmawangça, penerus wangsa Isana yang dianggap
sah sebagai putera mahkotanya untuk menggantikan dirinya sekaligus menggeser kedudukan
Sanggramawijaya puteri kandungnya sebagai penerus. Polemik Erlangga dengan janda dari
Jirah, ketua kabikuan Budha pada gilirannya memaksa dirinya untuk membelah kerajaan.
Awam mengetahui jika pembagian ini terjadi lantaran puteri mahkota Kahuripan,
Sanggramawijaya menolak menjadi raja dan lebih memilih menjadi pertapa. Hingga saat ini
tidak pernah diketahui dengan pasti apakah alasan penolakan dari Sanggramawijaya, walau
rumor mengatakan bahwa alasan sebenarnya adalah karena sang puteri mahkota telah
mengidap penyakit kedi (kelainan seksual; perempuan berlaku sebagai laki-laki ataupun
sebaliknya). Erlangga sendiri sebenarnya setelah kematian isterinya, sang puteri Çriwijaya –
tahun 1041, membangun Biara Pucangan lalu mengikuti jejak anaknya tersebut dengan
tinggal di biara tersebut.

Jenggala dan Panjalu


25 tahun kebesaran Erlangga segera surut. Sebelum wafatya, 1049, Erlangga sempat
membagi dua kerajaan menjadi Janggala di pesisir utara dan Panjalu yang terletak di bagian
pedalaman atau selatan.6 Barang pasti Janggala lebih maju karena pada saat itu kegiatan
maritim juga tegah menggeliat namun entah mengapa Janggala yang secara geografis lebih
besar justru mundur dan kekuasaannya kemudian jatuh berada di bawah Panjalu.

6
Mengenai pembagian kerajaan yang dilakukan oleh Mpu Bharada, lih. Simbolon, 1995: 17.
Bdk. Wojowasito, 1954: 30.
Simbolon (1995: 18-19) mengatakan sulit menafsirkan apa sebab-sebab sebenarnya dari
kemunduran Janggala ini. Apakah kemajuan perdagangan menyebabkan rakyatnya apatis
terhadap perkembangan kerajaan ataukah ada penguasa dari lain daerah yang menguasai
perdagangan maritim (misalkan kekuatan dagang dari Dinasti Sung ataupun kekuatan Islam
India). Lainnya adalah kemungkinan bahwa pada masa itu perdagangan masih dikuasai oleh
pertanian. Namun perpecahan Janggala-Panjalu ini sempat berusaha disatukan kembali
dengan pernikahan Kamecwara I, Raja Panjalu dengan Tjandra Kirana dari Jenggala. Ande-
Ande Lumut, Topeng Panji dan Panji Klana.adalah bagian dari legenda kedua tokoh tersebut
yang masih bertahan hingga hari ini.

Adapun legitimasi bagi kedudukan Panjalu dinyatakan dalam lakon Baratayudha yang dibuat
oleh Mpu Sedah. Gubahan ini dibuat berdasar perintah dan perlindungan Prabu Jayabaya
(memerintah 1130-1160) sebagai raja Kediri. 7 Mpu Sedah sendiri adalah lelaki yang
menerima hukuman mati dari Jayabaya dengan berdiri. Ia tidak menyelesaikan karyanya
lantaran Jayabaya mengetahui bahwa hati dan tubuh Parameçwarinya, Prabarini, hanyalah
untuk dirinya. Kisah ini bermula ketika Jayabaya memberikan Prabarini sebagai gambaran
Setyawati yang sangat sulit dilukiskan oleh Sedah pada proses pembuatan Salyaparwa. Baru
kemudian diketahui jika Prabarini adalah stri dari Sedah yang dirampas Jayabaya pada masa-
masa sebelumnya. Usaha Sedah untuk masuk ke Istana sendiri adalah bagian dari hasratnya
untuk bertemu dengan isteri tercinta.

Singasari
Setelah Jayabaya, sejarah kembali gelap. Hanya dijelaskan bahwa pada satu masa Kertajaya
telah memerintah Kediri. Kertajaya adalah turunan kelima dari Erlangga yang berkuasa di
Kediri. Pada masa pemerintahannya Kertajaya memanfaatkan hukum triwangsa Erlangga
namun membuang segala aturan mengenai pelarangan perbudakan hingga ‘Magna Charta
Jawa’ tinggallah kisah.

Namun kekuasaan Kertajaya tak berlangsung lama. Kertajaya berhasil dijatuhkan Ken
Angrok pada Perang Ganter yang didukungan para pandita, termasuk didalamnya Loh Gawe.
Pada waktu itu para pandita membelot karena Kertajaya mengharuskan para pandita untuk
menyembah raja yang mengaku diri sebagai titis Batara Guru. Rupanya pada waktu itu
kebiasaan pandita menyembah raja tidak didapati, yang terjadi adalah sebaliknya. Boleh jadi
masalah sebenarnya adalah terusan dari konflik kaum Çiwa dan Wishnu semasa Erlangga
dahulu.8

7
Jayabaya sendiri, bersama dengan Sabdo Palon dan Ranggawarsita dikenal karena berbagai
ramalan yang menggambarkan rentet kejadian yang akan menimpa Tanah Jawa (atau Indonesia)
dalam berberapa pembagian jaman hingga rentang tahun 2100. Kepercayaan terhadap datangnya ratu
Adil dan maraknya gerakan milenaris di jawa pun ditengarai berangkat dari akar ramalan ini.
8
Kenyataan ini membuat penulis bertanya mengenai konsep Sabdo Pandito Ratu. Sejak
kapankah sebenarnya konsep ini diberlakukan? Karena permintaan Kertajaya menegaskan konsep raja
mungkin dielukan tetapi panditalah yang dimuliakan (Simbolon, 1995: 9 atau lih. fn. 11). Barang pasti
konsep ini berangkat dari akar Hindu dimana pandita memegang status sosial tinggi bahkan ialah yang
pada hakikatnya berhak melegitimasi sebuah kekuasaan sebagai sah atau justru sebaliknya. Kasus
Yang menarik adalah, pertentangan raja dan kaum pandita itu terjadi di waktu yang sama
dengan masa penolakan kebijakan Gereja oleh para Raja Eropa. Kejadian itu berlangsung
antara tahun 1212-1228 pada masa jabatan Paus Innocentius III dan Paus Gregorius IX.
Perselisihan terjadi antara lain dengan Frederick II (anak raja Jerman, Henry VI dan ratu
Sicilia, Constance) yang menolak terlibat dalam Perang Salib. Menurut Simbolon (1995:
390-391), untuk menentang kekuasan Gereja, konon Frederick II ini menulis “De Tribus
Impostoribus” atau “Tiga Pelagak Besar” (yakni Musa, Jesus dan Muhammad). Sebagai
akibatnya Frederick II dan beberapa raja lainnya dipecat dari keanggotaan Gereja. Pada
waktu itu para raja akhirnya mengalah terhadap kekuasaan Gereja namun tak lama kemudian
kekuasaan Gereja merapuh dan rajalah yang kemudian berkuasa.

Mengenai Angrok sendiri seperti diketahui ia adalah bekas penyamun dan berhasil
menduduki tampuk kekuasaan, menjadi raja sekaligus mendirikan Singasari setelah
membunuh Tunggu Ametung, pemimpin Tumampel, yang waktu itu menjadi akuwu yang
tunduk bawah Kediri. Setelah membunuh Tunggul Ametung, Angrok menikahi Ken Dedes,
isteri Tunggul Ametung yang saat itu tengah hamil. Dengan laku demikian dapat dipastikan
kekuasaan Singasaripun bergulir secara cepat dari satu tangan ke tangan lain. Sengketa
antara keturunan Angrok-Umang, Angrok-Dedes, Dedes-Tunggul Ametung terus terjadi dan
hal ini tidak lain adalah efek dari pembunuhan Angrok pada Ametung. Beberapa mitos
menyebutkan jika seteru terus terjadi juga lantaran ‘sabda’ Mpu Gandring, seorang pembuat
keris yang juga mati ditangan Angrok.9

Tewasnya Mpu Gandring di tangan Angrok sendiri sebenarnya dapat dimengerti. Pada masa
itu banyak kekuatan yang berhasrat menurunkan Tunggul Ametung, salah satunya adalah
kekuatan Mpu Gandring yang didukung oleh klik militer akuwu Tumampel. Maka setelah
berhasil menekan Gandring untuk mempersiapkan persenjataan bagi laskarnya, Angrok
segera menghabisi lawan politiknya itu. Selain kekuatan Angrok yang didukung para
brahmana Ciwa, Mpu Gandring yang dibantu militer, masih ada satu kubu lain yang
berusaha memainkan klik militer, yakni kekuatan milik ketua pandita (Wishnu) awuku
Tumampel yang merupakan wakil Kediri. Pramoedya menyebut tokoh tersebut sebagai
Belakangka.

Singasari mulai kembali stabil setelah Jaya Wisnuwardhana bersama saudaranya Mahesa
Campa menguasai tampuk kepemimpinan. Dalam Nagarakartagama kedua penguasa ini
diibaratkan Wishnu dan Indra karena kerukunannya sementara Pararaton menyebut mereka
sebagai dua ular satu liang. Keadaan sedikit tenang, tampuk kekuasaan pun diteruskan oleh
Kertanegara, anak Jaya Wisnuwardhana.

yang sama seperti dapat diingat terjadi setelah Islam menguasai Nusantara. Khususnya di Jawa,
hampir sebagian besar putusan politik jelas membutuhkan legitimasi kultural dari Dewan wali.
9
Mengenai kisah Ken Angrok ini lih. Pararaton sementara untuk intrik politik antara kaum
agamawam dan militer di dalamnya lih. Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.
Berdirinya Majapahit
Sejarah Kertanegara dan penggantinya, Raden Wijaya-pendiri Majapahit, sebenarnya tidak
berbeda jauh dengan apa yang menimpa Dharmawangça maupun Erlangga.

Kertanegara pernah melakukan ekspedisi yang sangat terkenal, yakni ekspedisi militer
disepanjang Jawa, Bali (1824) dan Sumatera (1275). Ekspedisi kedua yang dikenal dengan
nama Ekspedisi Pamalayu tidak seberhasil Ekspedisi Bali. Walau demikian Ekspedisi ini
berhasil menanamkan persatuan antara Singasari dan Melayu. Hal ini terbukti dengan
banyak piagam dan patung Budha yang ditinggalkan di sepanjang Sungai Langsat, Jambi.
Kertanegara sendiri tampaknya cukup puas dengan bukti ‘kemenangan’ itu. Sebenarnya
tujuan utama ekspedisi ini adalah membuat Kerajaan Melayu yang pada waktu itu
berkedudukan di Jambi menjadi vasal Singasari. Namun demikian ekspedisi ini sendiri boleh
dikatakan tidak memiliki motif ekonomis karena pada saat itu kerajaan bisa dipastikan tidak
mencampuri urusan perniagaan.

Nama Kertanegara sendiri cukup banyak disebut khususnya di Nagarakartagama dan


Pararaton. Hanya saja Pararaton cenderung menampilkan kekurangan Kertanegara. Disana
Kertanegara ditampilkan sebagai pemabuk bodoh yang selalu menghabiskan waktu dengan
makan dan minum sedangkan hal sebaliknya ditampilkan oleh Nagarakertagama. Sosok
Kertanegara justru dianggap lebih ideal di banding pendahulu-pendahulunya. Adapun
mengenai proses pemutlakan kekuasaan Kertanegara, C.C. Berg (dalam Simbolon, 1995:
392) berpendapat bahwasanya proses tersebut bersifat damai dan jauh berbeda dengan apa
yang dilakukan Hayam Wuruk ketika menyerang Sadeng, Keta dan Bali. Adapun faktor
dominan yang mendorong ekspedisi Kertanegara itu di duga berasal dari hasrat unjuk gigi
terutama untuk mengcounter kekuatan Kubhilai Khan yang baru saja menduduki Tiongkok.

Seperti diketahui, tahun 1206 Jenghis Khan mendirikan kerajaan yang terdiri dari bangsa
Mongol dan Turkestan. Setelah konsolidasi internal, Jenghis Khan berusaha menaklukan
Cina namun gagal. Usaha Jenghis diteruskan oleh Ogotai, namun keberhasilan baru dicapai
pada masa kepemimpinan Kubhilai (cucu Jenghis). Tahun 1280, Kubhilai berhasil
meruntuhkan Dinasti Sung dan mendirikan Dinasti Yuan di Cina. Selanjutnya perluasan
diarahkan ke luar Cina yakni sepanjang Asia Timur dan Asia Selatan hingga akhirnya
sampai pula ke Nusantara, khususnya Singasari dibawah kepemimpinan Kertanegara.

Keinginan Kubhilai untuk memperluas wilayah kekuasaan diwujudkan dengan mengirim


duta, salah satunya ke Singasari. Kubhilai menuntut raja Singasari datang menghadap ke
Peking yang sayangnya selalu ditolak oleh Kertanegara. Tahun 1289 Kubhilai kembali
mengirim utusan. Merasa terus didesak Kertanegarapun memenggal hidung Meng Ch’i, sang
utusan sebagai pernyataan ketidaksenangan atas tekanan Kubhlai. Menurut Wojowasito
(1954: 41) pada jaman itu telah dibuat semacam hukum internasional terutama berkenaan
dengan tugas duta, yakni larangan untuk membunuh duta yang sedang menjalankan
kewajiban. Adapun hukum yang dapat diberikan kepada seorang duta hanyalah hukum dera,
puluk (?) atau hukum yang hanya membuat cacat. Walau demikian penderaan terhadap satu
utusan sebenarnya sama dengan melakukan penghinaan terdapap raja / kerajaan yang
mengutusnya sehingga penderaan memang banyak dihindari kecuali dalam keadaan benar-
benar terpaksa.

Sudah pasti jika Kubhlai bereaksi keras menanggapi hal tersebut. Tahun 1292 Kubhilai
segera mengirim tiga panglima: Shih-pi, Ike Mese dan Kau Hsing bersama 20.000 ribu
pasukan dan 1000 kapal untuk menghukum Kertanegara. Namun pada saat yang bersamaan
Kertanegara telah tewas oleh pemberontakan Jayakatwang, seorang raja muda Kediri yang
dibantu oleh Wiraraja dari Madura.

Jatuhnya Kertanegara pada waktu itu belum diketahui Khubilai Khan dan pasukannya.
Pasukan Jayakatwang sendiri diperkirakan menyerang dari dua arah. Pasukan Singasari
dipancing menuju utara dan dipertemukan dengan pasukan yang lebih lemah dan seketika itu
pasukan selatan yang jauh lebih kuat masuk menyerang. Raden Wijaya menantu Kertanegara
bersama dengan Nambi, anak Wiraraja kebetulan memimpin pasukan utara, berhasil
menghalau pasukan utara. Namun demikian pasukan Raden Wijaya buyar ketika mengetahui
bahwa pasukan Kertanegara di Selatan berhasil dihancurkan Jayakatwang. Raden Wijaya
sendiri kemudian berhasil menyelamatkan diri dan dibantu oleh Kades Kudadu di tepi
Sungai Brantas. Kades ini membantu Raden Wijaya berlayar menuju Madura untuk
selanjutnya meminta bantuan Wiraraja. Kesepakatan dibuat. Wiraraja berbalik membantu
Raden Wijaya dengan imbalan setengah wilayah kekuasaan. Rencanapun disusun. Raden
Wijaya kembali ke Jawa dan mengaku tunduk pada Jayakatwang. Raden Wijaya diberi tanah
dilokasi yang diminta, yakni perbatasan Kediri-Singasari. Ditanah itulah buah Maja yang
pahit kelak menjadi ‘patok’ bagi kerajaan baru yang akan didirikan Raden Wijaya. Raden
Wijaya sendiri di lokasi itu dibantu oleh pekerja-pekerja dari Madura yang telah disusupkan.

Seperti halnya Erlangga yang tertolong Raja Cola, kali ini Raden Wijayapun tertolong
dengan kedatangan pasukan Mongol. Dengan kecerdasannya membaca situasi Raden Wijaya
berhasil meyakinkan pasukan Mongol untuk mempercayai bahwa Jayakatwang adalah
pengganti Kertanegara dan dengan begitu harus dihukum. Akhirnya Raden Wijaya dengan
kekuatan Mongol berhasil mengalahkan Jayakatwang. Raja tersebut akhirnya menyerah dan
kemudian menjadi tawanan perang. Setelah memastikan kemenangannya, Raden Wijaya
memukul balik pasukan Mongol. 3000 pasukan Mongol tewas, sisanya melarikan diri dan
sebagian takluk dan menjadi bagian dari dinasti baru yang didirikan oleh Raden Wijaya.
Antara kedatangan pasukan Mongol dan keberhasilan Raden Wijaya hanya ada selisih waktu
satu dua bulan saja. Dapat dilihat betapa cermat perhitungan yang dilakukan Raden Wijaya.
Sementara itu untuk memperbaiki hubungan dengan Kubhilai Khan, Raden Wijaya
mengirim utusan ke Peking. Hal itu terjadi tahun 1297. Lepas kepulangan utusan itu Raden
Wijaya ditasbihkan menjadi raja Majapahit. Gelarnya adalah Kertarajasa Jayawardhana. Dan
dua minggu sekembalinya utusan Mongol, Ekspedisi Pamalayu kembali sambil membawa
beberapa puteri Melayu. Mereka itu adalah Dara Petak dan Dara Jingga. Pada gilirannya,
Dara Jingga menikah dengan seorang bangsawan dan melahirkan Adityawarman. Tokoh ini
kelak memilih kembali ke tanah leluhur ibunya dan menjadi Raja Melayu menggantikan
Mauliawarmadewa. Adityawarman sendiri pada puncak pemerintahannya tercatat
beberapakali sempat membantu Gadjah Mada, terutama pada penumpasan pemberontakan
Sadeng. Raden Wijaya sendiri kemudian menikahi Dara Petak yang kemudian akan
melahirkan penerusnya, Jayanagara.

Segera setelah meduduki tampuk kekuasaan tahun 1309, Jayanegara harus menghadapi
pemberontakan. Yang pertama adalah pemberontakan Ranggalawe yang mengambil titik
koordinasi di Tuban, pemberontakan Sora, Nambi—yang awalnya bersama Raden Wijaya
turut mendirikan kerajaan—dan yang paling dasyat adalah pemberontakan Kuti. 10
Pemberontakan ini sendiri lahir karena ketidakpuasan para pejabat tinggi itu terhadap
kebijakan yang sebelumnya pernah dibuat oleh Raden Wijaya. Selain itu ada seorang pejabat
pemerintahan, Mahapati (pendahulu Gadjah Mada) yang kerap mengadu domba dengan cara
melemparkan fitnah. Gadjah Mada sendiri baru mulai berperan ketika ia bersama
pasukannya, Bhayangkara berusaha menumpas pemberontakan Kuti. Pada waktu itu bahkan
Jayanagara harus keluar pergi – meninggalkan istana untuk menyelamatkan diri. Selama
masa persembunyiannya, Gadjah Madalah yang mengatur semua siasat penyelamatan.
Beberapa kebijakan yang ditetapkan Gadjah Mada sangat keras, misalkan saja ia sempat
membunuh beberapa pegawai yang meminta cuti karena ia khawatir keselamatan raja
menjadi terancam karenanya. Namun setelah pemberontakan Kuti ini nagara dalam keadaan
aman. Tidak lagi ada ditemui pemberontakan kecuali satu insiden, yakni tragedi Tanca yang
akhirnya juga menjadi catatan penutup riwayat hidup Jayanagara.

Dalam Paraton disebutkan bahwa Tanca melakukan aksi balas dendam kepada Jayanagara
lantaran Jayanagara diduga berhasrat untuk merebut isteri Tanca. Kebetulan Tanca sendiri
adalah seorang bangsawan dan tabib istana. Tanca menjalankan aksinya ketika ia harus
mengoperasi daging tumbuh yang ada di tubuh Jayanagara. Tidak lama setelah kematian
Jayanagara, Gadjah Mada sendirilah yang langsung mengirim Tanca ke penjara dan tak lama
kemudian menghabisi hidup Tanca. Banyak spekulasi mengenai kasus ini, misalkan saja
dugaan bahwa sebenarnya Gadjah Mada sendirilah yang melakukan intrik dan menggunakan
Tanca sebagai badan ganti. Dalam tradisi Bali, isteri Gadjah Madalah yang sebenarnya
digauli oleh Jayanagara.11

Jayanagara sendiri wafat tanpa meninggalkan seorang putera mahkota, oleh karena itu
saudara perempuannya yang sulunglah, Ratu Kahuripan - Tribhuwanattunggadewi yang
menggantikannya, walau sebenarnya mandat berada ditangan ibundanya, permaisuri yang
paling dikasihi Raden Wijaya, Gayatri atau lebih dikenal dengan Rajapatmi.

Hampir selama dua puluh lamanya (1329-1350) pemerintahan ada di kedua tangan
perempuan ini. Seluruh putusan penting sepenuhnya berada di tangan Rajapatni dan
Tribhuwanattunggadewi menjalankannya atas nama. Mengenai Rajaptmi sendiri, seperti
diketahui umum, selain menikahi Dara Petak, Raden Wijaya sekaligus menikahi keempat
anak Kertarajasa. Tindakan ini diduga merupakan langkah pengamanan untuk menjaga
kelangsungan dinastinya, karena bagaimanapun darah Kertarajasalah yang sesungguhnya

10
Mengenai pemberontaka-pemberontakan yang sempat merongrong kedudukan Jayanagara ini
lih. Wojowasito, 1954: 49-51.
11
Lih. Simbolon, 1995: 396.
mengikat Raden Wijaya untuk tampil sebagai raja. Dengan demikian kekuasaan memang ada
pada keempat perempuan tersebut dan Raden Wijaya, dapatlah dikatakan hanya berfungsi
sebagai penyatu dan pelaksana tugas istana. Salah satu isteri Raden Wijaya yang terkenal
adalah Gayatri atau Rajapatni, nenek dari Hayam Wuruk. Raden Wijaya sendiri sebelum
wafatnya, selain menobatkan Jayanagara yang waktu itu masih sangat belia (15 tahun)
sebagai raja juga sempat menempatkan masing-masing puterinya, yakni Bhre Daha atau
Radjadewi Maharajasa dan Tribhuwanattunggadewi untuk berkuasa di Daha, Kediri dan
Jiwana-Kahuripan. Tidak ada pertentangan yang terjdi pada masa kepemimpinan keduanya.
Bhre Daha kemudian menikah dengan Wijayarajasa – Raja Wengker sementara
Tribhuwanattunggadewi menikah dengan kertawardhana. Anak mereka inilah, Hayam
Wuruk, yang kelak akan menjadi penerus kerajaan.

Pada masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi, Gadjah Mada yang sebelumnya sempat


menjadi Patih Kahuripan (1319-1321) dan Daha (1331) kemudian menjadi Patih-
Mangkubumi dibawah perlindungan Arya Tadah, setelah sebelumnya berhasil memadamkan
pemberontakan Sadeng. Segera setelah pengangkatan tersebut, Gadjah Mada mengucapkan
sumpahnya yang terkenal, Sumpah Palapa di hadapan sidang paseban dan justru menjadi
bahan tertawaan.12 Kata-kata Gadjah Mada itu tercatat dalam Pararaton,

Sira Gadjah Mada patih amungkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gadjah
Mada: ‘Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring
Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali,
Sunda, Palembang, Tumasik samana iksun amukti palapa.’”

“Gadjah Mada, Sang Maha Patih, berjanji tidak akan memakan buah palapa: ‘Agar
supaya Nusantara dapat dikuasai, agar Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang,
Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik (Singapura), dapat dikuasai, maka hamba
harus lebih dulu makan buah palapa.” (Pararaton)

Setelah Rajapatni wafat (1350), Tribhuwanattunggadewi juga turut melepaskan jabatan dan
memberikannya kepada puteranya, Hayam Wuruk.

Prabu Hayam Wuruk berkuasa mulai tahun 1350-1389. Pada masa pemerintahannya
Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Amukti Palapa yang dianggap sebagai upaya
pencapaian kekuasaan pun mendapatkan ruang dibawah penguasaan mutlak Hayam Wuruk.
Baik Hayam Wuruk maupun Gadjah Mada berada dalam keterikatan untuk saling
mendukung. Hal itu menurut Simbolon (1995: 397-398) nampak pada penataan perangkat
dan pendukung kekuasaan negara macam birokrasi, angkatan bersenjata dan status
masyarakat kalangan atas.

Arogansi dari hasrat penguasaan itu sendiri pada gilirannya memukul balik Hayam Wuruk.
Tahun 1357 terjadi perang yang sangat terkenal dan terjadi di daerah Bubat; Perang Bubat
dan karenanya membuat Hayam Wuruk gagal menikahi Puteri Pasundan yang dicintainya.

12
Lih. Wojowasito, 1954: 53.
Ringkas cerita, Hayam Wuruk sedang mencari permaisuri untuk dinikahi. Kebetulan
pamannya, raja Daha dan Kahuripan memberi lukisan Puteri Sunda. Hayam Wuruk demikian
terpikat dan segera mengirim utusannya, Madhu. Utusan itu kembali dengan membawa surat
balasan mengenai kesediaan keluarga Sunda tersebut. Tak lama kemudian bertolaklah
seluruh anggota keluarga Kerjaan Sunda disertai iring-iringan besar. Tercatat 2000 kapal
berikut kapal kecil mengiringin mereka. Setelah mendengar kedatangan keluarga Kerajaan
Pajajaran di Bubat, Hayam Wuruk berkehendak menghampiri untuk melakukan
penyambutan.

Namun Gadjah Mada mengatakan bahwa hal itu tidak layak dilakukan seorang raja besar
kepada kerajan lain yang demikian. Gadjah Mada menyarankan agar Hayam Wuruk tinggal
diam menunggu kedatangan utusan maupun Raja Pajajaran sendiri untuk datang
menyembah. Padjajaran demi mendengar kabar terakhir tersebut begitu marah karena
menganggap bahwa Hayam Wuruk telah ingkar dan karenanya mereka berniat kembali ke
Pajajaran. Pada waktu itu dikirimlah Patih Anepakěn untuk pergi ke Majapahit. Anepakěn
disertai tiga pejabat dan 300 serdadu. Mereka tiba di rumah Gadjah Mada dan hampir terjadi
pertumpahan darah disana karena masing-masing pihak berkeras pada kemauannya. Raja
Sunda sendiri kemudian mengatakan ia akan menghadapi perkara tersebut sebagai seorang
ksatria. Ia tidak rela Pajajaran direndahkan dan dianggap sebagai bawahan Majapahit
(Pajajaran bukanlah vasal Majapahit dan menjadi salah satu kerajaan yang tidak pernah
tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Selain itu pada masa sebelumnya kedua kerajaan itu
juga tidak pernah berusaha untuk saling menyerang satu sama lain). Perang tak terelakkan.
Pasukan Sunda habis oleh prajurit Majapahit, begitu pula dengan Raja maupun Patih
Anepakěn. Puteri Sunda, ibundanya dan semua isteri perwira Sunda kemudian pergi ke
medan perang dan melakukan bela pati - bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami
mereka.

Dalam Kidung Sunda dan satu versi lainnya Kidung Sundayana atau Perjalanan (orang)
Sunda dikisahkan menjadi betapa merananya Hayam Wuruk dan raja besar itupun mangkat.
Tak lama setelah itu Gadjah Mada yang dipersalahkan dan diburu karena kasus tersebut
segera melakukan yoga samadi untuk moksha. Walaupun nama Puteri Sunda tidak pernah
disebutkan, namun bayak orang beranggapan bahwa puteri tersebut adalah Dyah Pitaloka.
Kisah ini sendiri menjadi mitos yang terus hidup hingga hari ini dan dianggap menjawab
pertanyaan mengapa Orang Jawa tidak pernah (atau tidak dapat) hidup harmonis dengan
Orang Sunda. Antipati itu dapat pula terlihat dari adanya anggapan di sebagian masyarakat
bahwa tabu bagi seorang Jawa menikah dengan seorang Sunda. Perasaan yang sama rupanya
juga berkembang di daerah Jawa Barat (Bandung kini). Di sana tidak didapati jalan raya
yang menggunakan nama Hayam Wuruk maupun Gajah Mada, berbeda halnya dengan kota-
kota besar lain di Indonesia.

Hayam Wuruk kemudian mangkat pada 1389. Setelah itu kerajaan mulai redup.
Wikrawardhana, menantu Hayam Wuruk (yang menikah dengan Kusumawardhani) segera
menggantikannya. Namun di wilayah lain Bhre Wirabhumi, anak Hayam Wuruk dari selir
menguasai wilayah timur. Pertentangan segera terjadi. Perang Paregreg berlangsung selama
5 tahun (1401-1406). Bhre Wirabhumi dapat dikalahkan dan Wikrawardhana dapat bertahan
hingga kematiannya, 1429.

Wikrawardhana sendiri pada waktu mengalahkan Bhre Wirabhumi sempat mendapat


hukuman dari Raja Cina. Ia diwajibkan membayar R. 45000.000 sebagai ganti rugi, yang
kemudian dibayar Wikrawardhana walau tidak hingga lunas (Wikrawardhana hanya
membayar separuhnya). Hal ini terjadi karena sebelumnya Bhre Wirabhumi sebelumnya
sempat mengadakan hubungan dengan kerajaan Cina. Sayangnya pada waktu itu wilayah
seperti Kahuripan, Jenggala-Tumampel, Singosari-Lasem, Daha-Kediri mulai berdiri
mandiri dan berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.

Setelah kematian Wikrawardhana sejarah Majapahit mulai gelap. Beberapa raja yang sempat
berkuasa diantaranya adalah: Suhita (1429-1447), Kertawijaya (1447-1451), Rajasawardhana
(1451-1453), lalu kekuasaan kosong selama tiga tahun lamanya dan kemudian diteruskan
oleh Purwawicesa (1456-1466) dan akhirnya Kertabhumi (1466-1478) sampai dengan
digantikannya Majapahit oleh Kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak Bintara.

Secara umum, untuk menutup bagian ini, rekapitulasi kebudayaan Jawa pada abad 15 dan 16
dapat ditilik pada karya H. J. de Graff (2004: 179-195).

You might also like