You are on page 1of 13

(bagian 3 dari 3 tulisan)

PENGARUH ISLAM
di Sumatera dan Jawa

cin pratipa hapsarin

I. Pengaruh Islam di Sumatera1


Kepulauan Barus di pantai barat Sumatera diyakini merupakan daerah pengislaman pertama.
Hal ini tidak lain bermula dari daya tarik akan hasil alam Barus bagi kepentingan dagang
Timur Tengah. Seperti diketahui saat itu Barus dikenal sebagai salah satu wilayah penghasil
kapur barus terbaik yang pernah ada dan pedagang-pedagang Timur Tengah membutuhkan
barus dalam jumlah besar sebagai bahan pengawet mumi. Periode ini berjalan bersamaan
dengan pengislaman daerah Perlak atau yang dalam kronik Cina tahun 650 di sebut dengan
nama Ta Sha. Ta Sha merupakan pengistilahan dari Tajik atau panggilan orang Parsi kepada
orang Arab yang sudah masuk Islam (Kabilah Taii). Kerajaan ini kemudian menjadi wilayah
Kerajaan Perlak dan disebut dengan sebagai Ta Jihan dalam berita Cina. Boleh jadi pada
masa itu pengislaman pertama dilakukan oleh pedagang dan pelayar Arab yang berasal dari
Yaman (Sumardjo, 2002: 54). Sisa-sisa kejayaan Barus minimal berlangsung terus hingga
abad 16. Paling tidak terlihat dari dikenangnya Hamzah Fansuri seorang tasawuf Melayu
yang kemudian dianggap heterodoks oleh beberapa kalangan.

Kejayaan Islam kemudian dilanjutkan oleh Perlak. Perlak merupakan negri yang sangat
kaya. Menurut legenda dinasti ini dibangun oleh Khafilah. Ia dan anak buahnya kemudian
tinggal menetap dan menikahi gadis sekitar. Salah satunya adalah pernikahan puteri meura
(anak raja) dengan laki-laki Qurais yang kemudian melahirkan Sayid Abdul Aziz, Raja
pertama Islam pertama di Perlak.

Daerah yang terkenal sebagai penghasil kayu peureula, bahan pembuat kapal ini pernah
dikunjungi oleh serombongan pendakwah sekaligus pedagang Timur Tengah. Rombongan
itu berjumlah 100 orang dan berasal dari wilayah Arab, Parsi dan India. Mereka datang

1
Uraian pada bagian ini didasarkan pada Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan
Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-artefak Kebudayaan Indonesia, khususnya bagian ‘Sejarah
Ringkas Kerohanian Indonesia’.
ketika masyarakat atau penguasa Perlak masih menganut agama Hindu-Budha atau sekitar
tahun 800 M. Dinasti Islam di wilayah ini berhasil mempertahankan kekuasaan lebih hingga
450 tahun lamanya. 17 raja berkuasa antara tahun 840-1292 M.

Kerajaan ini surut setelah dijadikan wilayah kekuasaan Samudra Pasai tahun 1289 oleh
Sultan Malik Al Saleh. Mereka mempertahankan hidup melalui jalur niaga dan perdagangan
internasional. Perebutan hegemoni wilayah dagang maritim ini pernah terjadi dan membuat
Perlak harus berhadap-hadapan dengan Sriwijaya yang menganut agama Budha. Perang ini
terjadi tahun 975-986 dan mengakibatkan Sultan Perlak pesisir gugur. Setelah itu Perlak
pesisir dikuasai oleh Perlak pedalaman yang beraliran Ahli Sunnah wal Jama`ah dan
perlawanan dilanjutkan oleh Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat.

Sebelumnya, yakni pada masa Sultan Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat berkuasa
(956-988), telah terjadi perang saudara yang berlangsung selama 4 tahun lamanya.
Kesepakatan damai tercapai dengan membagi Perlak menjadi dua yakni Perlak Utara atau
pesisir di bawah kaum Syi’ah sementara Perlak pedalaman di kuasai oleh kelompok Ahli
Sunnah Wal Jama’ah.

Perang berakhir tiba-tiba karena pada saat yang sama (1006 M) Sriwijaya mendapat
gempuran dari Raja Jawa, Dharmawangça. Sayangnya sedikit sekali peninggalan yang
diberikan dinasti ini, terutama dalam bentuk artefak. Peninggalan yang ada hanya dalam
bentuk kesusasteraan namun itupun dalam jumlah sangat terbatas.

Berturut-turut kekuatan Islam menancapkan hegemoninya di seluruh Sumatera. Terlebih


ketika pengaruh Budha di Sriwijaya mulai mengendur sementara sebaliknya peran para
mubaliq ke pedalaman makin meningkat. Selain itu syiar Islam juga mendapat dukungan
moril ketika pada tahun 1556 Akbar Agung akhirnya berhasil ‘memenangkan’ pertandingan
dengan kaum Hindis dan memploklamirkan diri sebagai raja Islam pertama di India. Saat itu
pasukan Gajah yang merupakan pasukan utama kaum Hindis harus bertempur mati-matian
dengan pasukan kavaleri kaum Muslim yang dilengkapi dengan pedang bengkok. Namun
harus dipahami, kejatuhan Hindu tidak selamanya berasal dari pertentangannya dengan kaum
Muslim melainkan karena beberapa faktor lain, seperti, kesibukan pada Brahmana dan para
Raja kecil Hindu untuk menghalau kekuatan Budha Hinayana maupun Budha Mahayana.
Sementara itu untuk memperkuat legitimasinya, Akbar Agung berusaha menyadur prinsip
kerja Açoka (273-232 SM), Raja besar dari Candragupta Maurya yang dikenal sangat toleran
dan bijak; seorang Raja besar yang bertobat.

Hancurnya Hindu di barat India dan kebekuan Mongol di timur sendiri setidaknya
memperkuat semangat pengembangan sayap dagang sekaligus islamisasi yang akhirnya
dapat dengan mudah merembes masuk hingga ke Nusantara.
II. Pengaruh Islam (di) Jawa
Islam diduga masuk ke Jawa sudah sejak awal. Hal ini dapat dilacak dari berita mengenai
datangnya Ali Syamsu Zein, ulama Timur Tengah, utusan Bani Abbasiyah, Baghdad pada
masa berkuasanya Jayabaya di Daha, Kediri.2 Dan kedua, hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya makam Fatimah binti Maimun (dikenal juga sebagai Putri Leran atau Swara)
yang meninggal pada 7 Rajab 475 H atau 1082 M di Leran, Gresik dan Malik Ibrahim pada
12 Rabiulawal 822 H (1419 M) di Surabaya. Dipercaya kedua lokasi inilah yang menjadi
cikal bakal perkembangan Islam selanjutnya di Jawa.

Menarik untuk mengamati perkembangan Islam di Jawa. Banyak orang mengira jika
berkibarnya Islam adalah karena ‘perpindahan kekuasaan secara paksa’ dari Hindu-Budha ke
Islam. Artinya fenomena ini terjadi dengan begitu tiba-tibanya dan sumber masalahnya tidak
lain adalah penyerangan Demak Bintara—yang Islam—ke Kerajaan Hindu-Budha terbesar,
Majapahit. Namun berdasar data yang dibuat Tome Pires—dalam Suma Oriental—yang
menggambarkan keadaan Jawa dikitaran tahun 1515 (dalam de Graaf & Pigeaud, 1986:28)
diketahui jika perpindahan kekuasaan ke tangan kelompok Islam di sepanjang pesisir utara
Jawa tidaklah dengan serta merta.

Perpindahan kekuasaan itu terjadi dengan dua cara. Pertama, para bangsawan Jawa itu telah
pindah dengan kemauannya sendiri. Hal ini tidak terjadi dengan semata-mata namun
didorong pula oleh kenyataan terbentuknya kelas menengah baru—dalam hal ini adalah
orang Cina dan Islam—yang telah menguasai perdagangan di Nusantara. Pilihan ini praktis
demi menjaga kekuasaan para pemangku jabatan otoritas lokal itu sendiri. Tuban adalah
salah satu contoh dari keadaan ini. Kedua, orang-orang asing yang telah memeluk Islam
konon berada dalam satu pemukiman tersendiri. Mereka membangun kampung-kampung
dan membangun rumah mereka sekaligus sebagai kubu pertahanan. Dari sana mereka mulai
melancarkan serangan dan merebut bandar. Pengislaman dengan gaya mengambil gaya ini
konon terjadi di Demak dan Jepara.

Satu hal yang juga menarik, perkembangan Islam di Jawa sendiri tidak lepas dari apa yang
disebut Dewan Wali atau yang lebih familiar disebut dengan Wali Sanga, kelompok dakwah
alim ulama.

Di tataran ini tiap wilayah misie biasanya memiliki satu kelompok pemandu iman. Biasanya
kelompok pemandu iman ini terdiri dari, sebutlah, satu imam besar yang dibantu oleh
beberapa rekan ataupun abdi dan muridnya. Seringkali walau jelas berada di bawah satu
induk yang sama, namun pemandu iman ini tidak berasal dari golongan yang sama. Maka
tidak mengherankan jika pada banyak kesempatan pemandu iman di satu lokasi dan lokasi
lain kerap bersaing untuk menanamkan pengaruh dan mendapatkan simpati massa. Hal yang

2
Menurut Hasanu Simon (2004: 12-18) keterangn itu dapat dilacak dari Serat Mahadewa yang dibuat
oleh Mpu Padma dari Mamenang, (atas perintah Jayabaya berdasar keterangan) yang kemudian
digubah oleh R. Ng. Ranggawarsita dalam Serat Pamitiradya. Mahadewa dibuat atas perintah
Jayabaya berdasar cerita atau keterangan dari tokoh Ali Syamsu Zein tadi.
sama bukan tidak terjadi di Jawa, walau tidak didapati sengketa terbuka macam di Perlak
kecuali berkenaan dengan perdebatan kaum ‘mistik’ dan syariatnya saja, namun boleh
dikatakan bahwa Jawa memiliki ke-khasan tersendiri, yakni jaringan pemandu iman di Jawa
beroperasi dibawah kendali satu otoritas pusat yang secara integral mengelola dan
mengendalikan wacana (belum dipastikan apakah kelompok pemandu iman ini rekayasa
Internasional ataukah sebuah ’pernyataan tulus’, yang personal dan lokal saja sifatnya, bagi
perkembangan dakwah Islam). Puncak pencapaian dari kerja besar ini tidak main-main
yakni, berdirinya Kasultanan Islam pertama di tanah Jawa sekaligus ‘Islamnya’ tanah Jawa.

Demak Bintara dan Berbagai Versi Mengenai Jatuhnya Majapahit 3


Banyak cerita lisan yang menyebutkan bahwa Kerajaan Demak Bintara naik menggantikan
Dinasti Majapahit dengan jalan kekerasan. Adapun risalahnya adalah sebagai berikut:

Raden Patah adalah Sultan Demak Bintara, Kerajaan Islam pertama di Jawa. Menurut
catatan Tome Pires dalam Suma Oriental yang dikutip oleh de Graaf & Pigeaud (1986: 41-
43), kakek raja Demak yang memerintah tahun 1513 adalah seorang budak belian (abdi). Ia
menetap di Gresik dan awalnya mengabdi kepada penguasa Demak. Pada gilirannya ia
diangkat menjadi Capitan dan ditugasi untuk memimpin ekspedisi melawan kafir Cirebon
yang pada akhirnya dapat dikuasai pada tahun 1470. Capiten itupun mendapat gelar Paté dari
tuannya. Sementara menurut Hikayat Hasanuddin, asal moyang Cina itu adalah Cek Ko Po
dari munggul. Soal Munggul, kata ini dekat dengan moechoel yang disebut oleh Cornelis de
Bruin maupun mogael yang dikatakan oleh Hendrick van der Horst, juru bahasa VOC.

Banyak kalangan mempercayai bahwa Patah adalah putera Brawijaya dari selir Cina 4 yang
telah diserahkan Brawijaya sebagai hibah kepada Arya Damar, Patih di Palembang. Dalam
sejarah lisan Jawa, Arya Damar ini seringkali disebut-sebut sebagai raksasa. Tidak heran
dalam Darmo Gandhul penggambaran berbangsa tiga, Jawa dari bapak, Cina dari ibu dan
raksasa seringkali menjadi argumen yang diajukan untuk memperlihatkan watak ‘buruk’
Patah. Pernyataan ini paling tidak terlihat dalam perbincangan antara Brawijaya dan
Kalijaga. Waktu itu Kalijaga minta diterangkan mengapa Brawijaya hanya ‘mengijinkan
Patah menjadi Ratu di Tanah Jawa selama tiga turunan’, dan Brawijaya menjawab
“...mulane ênggonku mangêni madêge Ratu mung têlung turunan, amarga si Patah iku wiji
têlu, Jawa, Cina lan raksasa, mula kolu marang bapa sarta rusuh tindake, mula wêkasku,

3
Bagian ini disarikan dari Graaf, H.J dan Th. G. Th. Pigeaud. 1986. Kerajaan-kerajaan Islam
Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16 (terjemahan). Jakarta: Grafitipers, dan
Huda, Nurul. 2005. Tokoh Antagonis Darmo Gandhul: Tragedi Sosial Historis dan Keagamaan di
Penghujung Kekuasaan Majapahit. Yogyakarta: Pura Pustaka.
4
Cina atau Campa? Ataukah keduanya berbeda atau justru sama? Darmo Gandhul sendiri
menyebutnya berasal dari Campa, tetapi dari cerita tutur atau tradisi lisan Jawa mengatakan kalau
keduanya berbeda. Selir Campa bernama Darawati atau Andarawati sementara selir Cina—dalam
tradisi lisan Jawa, dikenal dengan nama—Rara Subhanci. Pada intinya, de Graaf & Pigeaud
mengatakan, bahwa “asal usul dinasti Demak itu dari ‘Cina’ pada waktu ini dapat dipercayai”.
anak putuku aja entuk seje bangsa, amarga sajroning sihsinihan di seje bangsa mau
nganggo ngobahake agamane, bisaa ngapêsake urip...” (Huda, 2005: 197).

Menurut Darmo Gandhul (2005: 3-4) setelah besar, Raden Patah bersama Raden Husein
(saudara seibu berbeda ayah) pergi menghadap pada Brawijaya. Patah—yang mendapat
julukan Babah untuk mengingatkan akan asal moyangnya (leluhur ibu dari Cina), yakni lahir
di (atau dari?) negeri lain—kemudian diangkat Brawijaya menjadi Bupati Demak dan
dinikahkan dengan cucu Kyai Ampel Gading, sementara Raden Husein ditempatkan di
wilayah lain.

Mudah ditebak bahwa pada saat itu Islam juga tengah berkembang di sepanjang wilayah
pesisir. Hal ini terutama semenjak hadirnya kemenakan puteri Campa, Sayid Rahmat ke
tanah Jawa. Atas ijin Brawijaya pulalah Sayid Rahmat kelak boleh tinggal dan menetap di
Gresik.

Menurut cerita lisan, bahwasanya Puteri tersebut memiliki ipar yang berasal dari Arab. Ia
adalah ulama sohor yang kemudian menyebarkan Islam ke Gresik dan Surabaya. Dari
pernikahan dengan kakak Puteri itu, Sang Ulama memiliki dua anak, yang pertama disebut
Raja Pandita dan yang kedua disebut Raden Santri atau lebih dikenal dengan nama Raden
Rahmat atau Pangeran Ngampel Denta. Dalam Sedjarah Dalem, yang sulung disebut sebagai
Sayid Ngali Murtala dan yang muda Sayid Ngali Rahmat. Bersama salah seorang sepupunya,
ketiga anak muda itu mengunjungi bibi mereka di Jawa. Sayid Rahmat - Ngampel Denta
sendiri adalah satu tokoh tertua dan terkenal di Jawa. Ia adalah salah satu dari Empat Orang
Suci Agama Islam pada zaman kuno: a) Jumadil Kubra di Mantingan; b) Nyampo di Suku
Dhomas, Dada Petak, Bromo; c) Maolana Iskak—atau kerap disebut juga Syeh Wali
Lananng—dari Blambangan, yang dianggap sebagai ayah Sunan Giri I). Lih. Graaf &
Pigeaud, 1986: 19-20.

Lewat masa itu, Babad Meinsma menuturkan bahwa Brawijaya telah memperingatkan Patah
agar taat kepada kerajaan. Tetapi yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Patah dengan
dukungan Ulama—khususnya Dewan Wali—malahan menggempur kota Kerajaan
Majapahit. Kepungan terhadap Kerajaan tua itu tidak menghadapi perlawanan yang berarti,
maka tanpa halang rintang naiklah Patah menggantikan kedudukan ayahnya. Gelarnya
adalah Ratu, Senapati Jimbuningrat atau Sultan Syah `Allam Akbar Siru’llah Kalifatu’rrasul
Amiri`lmukminin Tajudi`l`Abdu`lhamid atau Sultan Adi Surya `Alam ing Bintara (Huda,
2005:163), atau Senapati Jimbun Ngabdu’r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin
Panata’Gama (Graaf & Pigeaud, 1986: 61).

Pararaton mengisahkan jika setelah wafatnya Sunan Ngampel para santri dan kaum ulama
memutuskan untuk menyerang Majapahit, tetapi waktu itu Sunan Kalijaga berusaha
menghalangi niat itu. Menurut Kalijaga, Brawijaya tidaklah mengganggu maupun
menghalangi Islam. Selain itu, Demak juga masih mengirimkan upeti (seba) tahunan dan
belum lagi berencana memberhentikannya. Tetapi serangan tetap dilaksanakan.

Sunan Ngundung, Imam Masjid Demak, bersama pemimpin agama dan santri bergerak
menuju Majapahit. Namun pasukan itu berhasil dipukul mundur oleh Patih Gajah Mada di
Tuban. Menurut de Graaf & Pigeaud (1986: 165), meski menggunakan Tuban sebagai
‘markas sementara’ tetapi keluarga Dipati Tuban yang telah separuh Islam tidaklah
membantu penyerangan para santri itu. Hal ini mungkin untuk menjaga ‘kenetralan’ mereka
karena selama ini Tuban memang berada di bawah penguasaan Majapahit selain memiliki
kedekatan dengan Maharajanya.

Serangan kedua dilancarakan kembali tetapi kali ini para santri muda sajalah yang
dikerahkan. Seluruh panglima besar Majapahit turun ke gelanggang kecuali Gajah Mada.
Mereka antara lain Aria Gugur sang putera mahkota, Adipati Klungkung dan Andayaningrat.
Peperangan terjadi di Wirasaba (beberapa menyebut lokasi peperangan berada di sekitar
Sungai Sidayu). Pihak Majapahit kehilangan Andayaningrat sementara pihak Demak harus
kehilangan Sunan Ngundung (rupa-rupanya Antakusuma yang dikenakan Sunan Ngundung,
baju ajaib yang diterima Sunan Kalijaga dari ‘langit’ pada sidang permufakatan sebelum
penyerangan, tidak kuasa menahan tusukan para Panglima Majapahit). Setelah kejadian itu,
Sunan Nurullah atau Gunung Jati segera menetapkan putera Sunan Ngundung untuk
mengganti kedudukan ayahnya. Pada serangan ketiga, di bawah kepemimpinan Penghulu
Demak inilah Majapahit akhirnya jatuh.

Banyak versi yang menceritakan kejadian pasca jatuhnya Majapahit. Brawijaya sendiri,
menurut versi Darmo Gandhul (Huda, 2005: 165), melarikan diri menuju daerah Jawa bagian
Timur. Ditemani oleh dua abdinya, Sabdopalon dan Nayanggenggong, ia berencana menuju
Blambangan dan Bali guna meminta dukungan sekaligus membangun pusat kekuatan baru
untuk memukul mundur pasukan Islam-Demak.

Namun sebelum mencapai tempat itu, Sunan Kalijaga yang mendapat tugas untuk mengejar
Brawijaya berhasil menemukan raja itu dalam keadaan yang agak mengenaskan. Setelah
mendengar keluh kesah mengenai tak berbaktinya anaknya, Kalijaga berusaha memberi
penjelasan maksud segala sesuatunya itu adalah kehendak Allah agar manusia tidak kafir dan
menjadi Muslim sejati. Kalijaga berusaha mengislamkan Brawijaya dan dengan beberapa
mukjizat akhirnya Brawijaya luluh. Detik itu Brawijaya menjadi seorang Muslim. Kenyataan
itu ditentang oleh Sabdopalon, abdi para raja Jawa. Setelah menjelaskan panjang runtut
sejarah Jawa dan keberadaannya Sabdopalon berjanji bahwa pada saatnya kelak ia akan
kembali, “...ing besuk yen ana wong Jawa ajeneng tuwa, agegaman kawruh, iya iku sing
diemong Sabdopalon, wong jawan arep diwulang weruha marang bener luput (...) besuk
wong Jawa padha ninggal agama Islam ganti agama Kawruh” (Huda, 2005: 180-193).
Sementara beberapa versi lain menyebut jikalau Brawijaya, ketika masih berada dalam
Istana dan telah mengetahui kedatangan pasukan anaknya tetap berdiam diri. Ia menanti
dengan tenang sampai kemudian berhadap-hadapan langsung dengan anaknya atau kepala
pasukan yang ada. Setelah pertemuan yang sejenak itu Brawijaya beserta seluruh
pengikutnya moksa. Maka menyesallah Patah dalam hati kecilnya ketika mengetahui
kebenaran itu dan bahwa ia telah diperdayai Dewan Wali.

Patah kemudian digantikan oleh Sabrang Lor atau Dipati Unus. Lepas masa itu Trenggana
naik tahta hingga wafatnya dalam ekspedisi menaklukan Panarukan, 1546. de Graaf &
Pigeaud mengutip Mendez Pinto dalam Peregrinacao mengatakan, wafatnya Trenggana
disusul oleh pecahnya kerajaan karena perebutan kekuasaan antar anggota dinasti. Ibukota
Demak hancur. Delapan raja yang mempunyai hak untuk menentukan raja memilih
meninggalkan Demak. Pembesar kerajaan yang masih tinggal tanpa sepengetahuan
‘kelompok delapan’ pergi menuju Surabaya, dan menetapkan “Pate Sudayo yang
berkedudukan di Pisammanes” sebagai raja. Dalam sembilan hari ia muncul di Demak
dengan bala tentara besar dan segera memulihkan ketertiban. Sunan (dari Gunung) Prawata
atau Sunan Mukmin kemudian naik menggantikan Trenggana, setelah sebelumnya tanpa
alasan yang diketahui, membunuh Seda Lepen, saudara Trenggana. Pada masa
berkuasanya—karena kekuasaan pemerintahan sebenarnya telah beralih tangan—Sunan
Prawata tak kuasa menahan pergerakan nagari-nagari setengah merdeka di Jawa Barat,
macam Cirebon dan Banten, maupun di Jawa Timur, Gresik-Giri dan Surabaya. Hal ini
agaknya sudah mulai terjadi pada pertengahan abad 16.

Sunan Prawata sendiri kemudian tewas ditangan Arya Panangsang dari Jipang yang berusaha
menuntut balas kematian ayahnya, Seda Lepen (menurut Babad Giyanti keduanya meninggal
pada 1549 atau 1471 J). Selain membunuh Prawata, Arya Penangsang juga membunuh
Adipati Jepara, Pangeran Kalinyamat karena diduga masih memiliki pertalian darah dengan
raja Demak. Arya panangsang juga berencana membunuh Jaka Tingkir. Akibatnya, Arya
Penangsang mendapat perlawanan dari berbagai penguasa di wilayah lain. Namun akhirnya
Arya penangsang dapat dikalahkan oleh Djaka Tingkir, anak Kebo Kenanga sekaligus
menantu Prawata. Diduga Ratu Kalinyamatlah yang menggerakkan Jaka Tingkir untuk
menghancurkan Jipang dan menundukkan Aria Panangsang. Bagi Jaka Tingkir sendiri
pembalasan ini tidak semata ‘demi’ Sunan Prawata, karena dengan demikian ia telah
membalas kematian Kebo Kenanga, ayahnya, yang tewas ditangan Sunan Kudus, guru Arya
Panangsang (lih. profil Sunan Kudus).

Setelah itu dapat dikatakan kewibawaan Demak runtuh dan digantikan oleh kota pelabuhan
Jepara. Mulai saat itu kekuasaan sepanjang pesisir utara pada perempat ketiga abad 16 ada
ditangan Ratu Kalinyamat di Jepara. Di sana ia juga mengasuh anak-anak saudaranya yang
telah tewas terbunuh. Dengan demikian pemerintahan Prawata (1546-1549) adalah anti-
klimaks dari kejayaan Demak dimasa sebelumnya.
Demikianlah sekilas urutan pemangku kekuasaan dalam Dinasti Demak hingga Mataram
Islam:

1. Raden Patah
2. Sabrang Lor* (&/ Patê Unus)**
3.
* Adapun menurut Pires, raja kedua Demak adalah Paté Rodim Sr, ‘persona de grande
syso “orang yang tegas mengambil keputusan” dan cavaleiro “seorang ksatria”
bangsawan dan teman tertua Paté Zeynall dari Gresik—Patih tertua di Jawa.’ Konon ia
memiliki armada laut yang terdiri dari 40 kapal jung.

** Paté Unus adalah penguasa Jepara yang mendapatkan kedudukan itu ketika ia berusia
17 tahun (atau sekitar tahun 1507). Konon kakek Paté Unus adalah buruh asal
Kalimantan Barat yang berhasil mengadu nasib ke Malaka setelah berdagang dengan
pedagang Jawa. Tak lama kemudian ia menetap di Jepara. Tahun 1470, ia menyuruh
membunuh Patih Jepara hingga akhirnya membuat ia dapat berkuasa secara penuh.
Keluarga Paté Unus disebut De Barros, seorang penulis Portugis, bekerja dengan cara
bajak laut. Pires sebenarnya hidup sejaman dengan tokoh yang disebut sebagai Paté
Rodim Jr. Menjadi bias keterangan berdasar Suma Oriental, apakah yang dimaksud
dengan Pangeran Sabrang Lor adalah sama dengan Paté Rodim Sr.? Sejarah mencatat
(paling tidak ambilah Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer sebagai referensi)
setelah penyerangan Paté Unus ke Malaka dihancurkan Portugis (1512-1513), kekuatan
maritim setelah itu menjadi kolaps. Jika demikian Pangeran Sabrang Lor bukan tidak
mungkin adalah Paté Unus, terutama mengingat asal usulnya, sementara Paté Rodim Jr
yang dimaksud Pires pastilah Trenggana, karena Trenggana—dalam Arus Balik—
berkuasa setelah kekalahan Paté Unus. Atau jika tidak demikian, sekurang-kurangnya
kekuasaan Demak setelah Raden Patah memang berada di tangan Pangeran Sabrang Lor,
dan secara ‘tidak resmi’ dijalankan oleh Paté Unus (Ingat! Menurut data Pires, Paté
Unus menikah dengan puteri Paté Rodim Sr. Selisih umur Paté Unus dan Paté Rodin Sr
adalah lima tahun, dengan demikian Paté Unus tetaplah kerabat dekat Demak.
Disamping kenyataan itu, faktor lain yang tak boleh dilupakan adalah kedudukan Demak
dan Jepara. Demak adalah penguasa bagian selatan Pegunungan Muria dan Jepara
mengendalikan sisi barat pegunungan. Keduanya menjadi dwitunggal terutama setelah
Jepara menjadi pelabuhan bagi Demak dan Juwana yang pada abad sebelumnya, abad
ke-15, memegang kendali penimbunan beras berhasil dihancurkan oleh Panglima Besar
Kerajaan Majapahit. Menjadi masuk akal hubungan antara Sabrang Lor dan Paté Unus,
jika seandainya keduanya bukan orang yang sama, walaupun sejarah Jawa mempercayai
cerita sebaliknya). Baru setelah itu Trenggana naik ke atas pentas, melanjutkan masa
emas Dinasti Demak yang tinggal sejenak.

4. Trenggana

Menurut Serat Kandha, Trenggana adalah saudara Pangeran Sabrang Lor (keduanya
putra Patah). Ada tokoh yang disebut Paté Rodim Jr. oleh Pires. Ia seringkali
digambarkan sebagai orang yang senang menghabiskan waktu di keputren, hidup dalam
kemewahan dan selalu berfoya-foya. Ia tidak menggagas masalah kenegaraan. Pada
tahun 1513, 40 kapal jung pada masa Paté Rodim Sr sudah berkurang menjadi 10 jung
saja.

5. Prawata
------------------------------------------------
Arya Panangsang - Jipang
------------------------------------------------
Djaka Tingkir - Pajang
------------------------------------------------
Senopati - Mataram

Setelah Djaka Tingkir mengalahkan Panangsang segera ia Keraton dialihkan dari Demak
menuju Pajang hingga ia dikenal sebagai Sultan Pajang. Melalui beberapa periode
kesemrawutan paska kekuasaannyalah akan terbangun kemudian salah satu Dinasti terbesar
yang pernah bertahan di Jawa, Mataram.

Djaka Tingkir, kelak Hadiwijaya menurut kepercayaan adalah anak Kebo Kenanga (anak
dari putri Brawijaya yang menikah dengan Andayaningrat dari Pengging—sebagai tanda jasa
karena ia berhasil mengalahkan Blambangan dan Bali. Andayaningrat sendiri adalah
keturunan dari Raja Buaya dari Semanggi dan ibu dari trah Raden Juru, keturunan Gajah
Mada) yang dititipkan kepada penguasa Tingkir sehingga ia disebut dengan nama jejaka dari
Tingkir. Kelahirannya bertepatan dengan pertemuan “Empat Serangkai Suci” pada pagelaran
wayang beber hingga ia juga disebut dengan Mas Karebet. Masyarakat Jawa
menganggapnya sebagai orang ‘Jawa asli’ sama halnya dengan Senapati Mataram.
Anggapan ini mengacu pada mitos yang mengelilinginya, seperti persekawanannya dengan
buaya—yang boleh jadi berasal dari leluhurnya (sejenis hubungan rahasia antara Senapati
dengan Ratu Kidul). Bagi orang Jawa kisah macam ini menunjukkan asal sejatinya ia.
Terutama setelah Islam berkembang kisah macam ini jarang lagi terdengar karena mungkin
dianggap bi’dah.

Sekedar melengkapi catatan mengenai kehidupan sosial yang terjadi saat Demak berkuasa,
berikut cuplikan Graaf & Pigeaud (1986: 75-81):
1. Sultan Demak pertama sempat membuat Undang-undang di bidang pelaksanaan
hukum yang dikenal sebagai Salokantara.
2. Istilah pra Islam masih banyak digunakan, macam: pengadilan pradata,
dharmadhyaksa dan Kertopapatti (pemimpin rohani yang menjadi anggota
Mahkamah Agama Kerajaan).
3. Fiqh sebagai hukum tertinggi Islam yang seharusnya digunakan dimana tempat yang
mengaku Islam, tidaklah pernah digunakan secara penuh. Sejauh ini fiqh seringkali
hanya digunakan untuk menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan masalah
perkawinan dan tata cara ibadat.
4. Pola arsitektur Kraton Majapahit pada abad 14-15 tetap digunakan pada masa
Demak, Pajang, Mataram Islam bahkan hingga pada masa kini: Surakarta dan
Yogyakarta.
5. Sekularisasi disegala bidang. Pada abad 15-16 semua cara kafir harus ditinggalkan,
termasuk juga pada bidang kesenian (ingatlah bagaimana perilaku Sunan Bonang
dalam Darmo Gandhul digambarkan: ia menghancurkan arca peninggalan masa pra-
Islam, menyumpahi perawan dan tiap laki-laki disebuah desa di Kediri karena tak
diberi air bersih untuk wudhu, membelokkan aliran sungai, dll sampai-sampai Buta
Locaya, Raja Lelembut di kaki Gunung Wilis turut mengomentari kelakukannya
itu). Sebagai akibat, misalkan saja berkurangnya nilai sakral gamelan dan wayang.
Tidak hanya itu sekularisasi juga terjadi pada bidang lain macam sastra.
6. Lahirnya kelompok ‘penghulu bersenjata’, yang dipimpin oleh Kudus. Fanatisme
barang jadi lahir sebagai wujud kecintaan dan bela ‘negara’ terutama ketika
kelompok tersebut berhadapan dengan kafir lama. Sebagai contoh, sejak abad 17,
para suronata menjadi kelompok rohani yang dipersenjatai dan biasanya mereka
memiliki kedekatan lebih dengan Raja. Mungkin hal ini pulalah yang menyatukan
banyak kekuatan Islam ketika mereka—di bawah kepemimpinan Demak Bintara—
mengepung dan menyerang Majahit. Menurut de Graaf & Pigeaud pengerahan
pasukan ini dapat terjadi karena

“pertama, keimanan kelompok-kelompok alim ulama Islam, yakni


golongan menengah, dipimpin oleh para pemuka yang semula merupakan
imam-imam di masjid; kedua, cita-cita politis yang mengarahkan ke
perluasan wilayah kekuasaan dan kemerdekaan kerajaan-kerajaan Islam
muda di Jawa Tengah” (de Graaf & Pigeaud, 1986: 61.)

Mataram
Tak berapa lama setelah beberapa kericuhan terjadi paska wafatnya Sultan Pajang, Senapati
akhirnya berkuasa di Kota Gede. Senapati adalah putera Pamanahan, keturunan Ki Ageng
Nis (yang tinggal di Laweyan) dan Ki Ageng Sela asal Grobogan, penangkap petir yang
terkenal itu. Kota Gede ditempati Pamanahan tahun 1577 setelah ia melakukan babat alas
mentaok. Baru setelah wafatnya Pamanahan (1583), sekitar tahun 1584 Senopati naik tahta
hingga wafatnya, 1601.

Ia berhasil menduduki tahta berkat keberhasilan Pamanahan, ayahnya dan Panjawi yang
waktu itu sempat menjadi angota korps tamtama Demak dan bekerja untuk raja yang
berkuasa. Setelah membantu Sultan Pajang mereka memperoleh hak memerdekakan diri
karena Demak sendiri telah runtuh. Panjawi mendapat lokasi di Pati sementara Pamanahan di
pedalaman Mataram (secara sosial Pati lebih besar dari pedalaman Mataram, ini
menunjukkan ‘posisi’ Panjawi dan Pamanahan dimata Sultan Pajang).

Sultan Pajang sendiri wafat tahun 1587 di taman kerajaannya dan dimakamkan di Butuh
(nama salah satu daerah dari kelompok ‘Empat Serangkai Suci’). Entah oleh sebab penyakit
tua, kecelakaan ataupun tindakan dari “Juru Taman”. Tidak diketahui secara pasti siapakah
Juru Taman ini kecuali bahwa ia adalah seseorang yang ingin dianggap berjasa oleh Senapati
Mataram. Setelah tewasnya Sultan Pajang, Babad Meinsma menceritakan Pajang dalam
keadaan kacau. Raja Demak dan sejumlah pasukan (sebagian adalah budak belian asal Bali,
Bugis dan Makasar) muncul di Pajang untuk menuntut hak raja. Tetapi pasukan ini dapat
dihalau oleh pengikut bersenjata raja Mataram yang telah bersekutu dengan Benawa, anak
Sultan Pajang dan calon raja. Pada waktu itu, dengan hormat Senapati mengantar kembali
Raja Demak yang sudah tua, kembali dengan tandu yang dikawal ketat dan tangan diikat
cinde – selendang sutera saja. Raja Demak ini, yang hanya disebut Adipati Demak saja,
rupanya ia menikah dengan anak perempuan Sultan Pajang. Benawa sendiri sempat menjadi
menduduki tahta Pajang, 1587-1588, di bawah perlindungan Senapati.

Senapati terkenal sebagai agresor. Ia berhasrat menundukkan seluruh raja pesisir yang telah
tercerai berai sejak runtuhnya Demak juga raja-raja di pedalaman Jawa. Selama masa
berkuasanya boleh dikatakan ia berhasil dalam bidang politik dan kemiliteran. Namun
demikian ia tidaklah diakui sebagai raja yang sejajar oleh raja-raja lain karena cara-cara
berpolitik, perilaku maupun status sosialnya yang dianggap tidak setara. Hal ini sangatlah
kontras terutama jika dibandingkan dengan pengakuan yang diterima Sultan Pajang tahun
1581. Pada Musyawarah Khikmad di Giri Kedaton Sultan Pajang memperoleh pengakuan
sebagai Raja Islam sekaligus Sultan dari raja-raja penting di Jawa Timur maupun Pesisir
Timur. Mengenai cara berpolitik dan perilaku yang tidak dapat diterima adalah ketika ia
mengalahkan Madiun dengan ‘cara kotor’, mengumpankan Nyai Adisara (kelak isterinya
sendiri, ibunda Pangeran Puger), membuat berita bohong-tidak dapat dipercaya, sekaligus
‘merampas’ Puteri Madiun, Retno Dumilah. Perkara inilah yang pada gilirannya memicu
sengketa dengan Adipati Pati, Pragola. Pragola merasa Senapati telah melecehkan
keberadaan saudarinya (Dipati Pragola adalah anak Panjawi. Saudara perempuannya, Putri
Pati adalah isteri Senopati yang kelak menjadi neneknda Sultan Agung).

Rupa-rupanya masa itu memang secara total digunakan untuk mengkonsoldasikan kekuatan
politik, menggarap lahan yang cenderung tandus sehingga tidak ada satupun kegiatan
mengembangkan sastra atau bidang kesenian lain. Ini tentu berbeda dengan masa Pajang.
Paling tidak waktu itu kegiatan pada bidang sastra, tasawuf, agama dan arsitektur
berkembang maju. Baru setelah Sultan Agung, Raja ketiga Mataram berkuasa,
perkembangan seni dan budaya kembali berkembang pesat.

Kekuasaan Mataram setelah wafatnya Senopati berada ditangan Raden Mas Jolang. Pada
waktu itu raja muda ini sempat mengangkat kakak sulung tidak sekandung, Pangeran Puger
sebagai Adipati Demak, pada tahun 1601. Pangeran ini adalah putra dari Nyai Adisara yang
telah membantu Senopati menaklukan Madiun. Menurut Sedjarah Dalem, dengan
kecantikannya Nyai Adisara menggoda Adipati Madiun. Ia membawa surat Senopati yang
mengatakan Mataram akan takluk kepada Madiun. Surat itu adalah tipuan belaka. Tetapi
Adipati Madiun sudah keburu menarik pasukannya. Akibatnya Senopati dapat masuk
Madiun dengan mudah.

Pangeran Puger tidak berpuas hati dan karna pengaruh Yang Dipertuan di Gending dan
Panjer (mungkin Jawa Timur), ia mengangkat senjata menyerang Mataram. Pangeran Puger
dapat dikalahkan di Tambak Uwos dan ditawan oleh prajurit Mataram yang dipimpin oleh
Sang Raja langsung. Sebagai hukuman ia bersama sanak saudaranya, tanpa pengikut,
diharuskan menetap di Kudus. Demak kemudian diberikan pada Tumenggung Endranata I
atau Ki Gada Mestaka. Tapi rupanya ia juga tidak bebas dari pengaruh politik pesisir yang
berbeda dengan pedalaman Mataram. Tahun 1627 ia terlibat pertempuran antara Adipati
Pati, Pragola II dengan Sultan Agung. Akhirnya, ia dibunuh dengan keris sebagai
pengkhianat oleh perintah Sultan Agung. Sayang kekuasaan Raden Mas Jolang begitu
singkat. Tahun 1613 dikabarkan ia tewas di Krapyak dan sejak itu ia dikenal sebagai
Pangeran Seda ing Krapyak. Posisinya digantikan oleh Sultan Agung, Raja Mataram yang
liat – yang telah dimenangkan sekaligus dikalahkan oleh jaman.

Sultan Agung menandai era emas Dinasti Mataram. Namanya terus dikenang hingga hari ini,
antara dipuja sebagai pahlawan sekaligus dipertanyakan. Terutama berkenaan dengan
kebijakan-kebijakan yang dibuat, yang dianggap banyak kalangan akademisi maupun para
peneliti, telah mencederai kekuatan maritim Nusantara. Lombard maupun de Graaf sama-
sama menganggap masa-masa keperintahan Sultan ini adalah titik balik Nusantara dan bukan
sekedar sejarah Jawa. Bukan hanya itu, Sultan Agung dan Mataram dianggap sebagai salah
satu pilar utama, selain VOC – kaum Kolonial Belanda, yang merenggut kekuatan Jawa itu
sendiri. Termasuk perluasan kekuasaan yang secara terang-terangan terus dilakukan ke
wilayah pedalaman selama masa berkuasanya: 1615 Mataram merebut Wirasaba, 1616
menaklukan Lasem, 1617 menyerang Pasuruan, 1619 melumpuhkan Tuban dan sebagai
puncaknya adalah penaklukan Surabaya 1625. Walaupun sempat menghadapi kekuatan
Demak, Pati dan beberapa wilayah di daerah pesisir, namun tampaknya hanya Blambangan
dan Banten, yang tidak dapat dikuasai Mataran secara penuh. Hampir seluruh Jawa berada
dalam wilayah kekuasaan kerajaan ini.

Meski demikian, ekspansi-ekspansi yang dilakukan Agung dapat dikatakan terbayar dengan
prestasi atau katakanlah dengan usahanya untuk menundukkan VOC di Batavia, 1628 dan
1629. Walaupun gagal, penyerangan dari laut maupun darat itu menjadi catatan sejarah
terakhir bagi perlawanan Jawa sebelum akhirnya ditutup oleh Perang Jawa yang kelak
dikomandani oleh Dipanegara, 1825-1830. Antusiasme Agung terhadap perkembangan
dunia, teknologi, kesenian maupun sastra sangatlah tinggi. Atas perintahnya, dibuat beberapa
babad yang menceritakan kronologi Dinasti Jawa. Ia sendiri sempat menciptakan Sastro
Gendhing yang berisi mengenai paham-paham moral. Selain itu pada masanya tercipta satu
tokoh wayang, yakni buto cakil. Raksasa bertaring dengan rambut terurai berwarna kuning,
yang mungkin dibuat sebagai representasi kaum kolonialis pada masa itu. Agung juga
dikenal sebagai arsitek yang cakap. Istana di Pleret yang sepenuhnya terbuat dari kayu,
walau kini tak bersisa diduga adalah rancangannya. Satu bukti kebesaran peninggalannya
adalah Makam Raja Imogiri yang dibangun atas perintahnya kurang lebih sekitar tahun
1630-an.

Tak dapat disangkal bahwa legitimasi kekuasaannya menjadi semakin terangkat terutama
ketika pada tahun 1633, ia berhasil memadu-madankan perhitungan tahun Caka, Hijriah
menjadi tahun Jawa yang dititahkan berlaku secara umum setelah masa itu. Kedudukannya
Agung menjadi makin mantap ketika tahun 1641 ia mendapat gelar Sultan Abdul
Muhammad Maulana Matarami dari Mekkah.

Pengganti Agung adalah Mangkurat Agung / Mangkurat I (1646-1677) atau juga dikenal
sebagai Sunan Seda Tegalarum yang bertahta di Kartasura, selanjutnya Mangkurat Amral /
Mangkurat II (1677-1703), yang kemudian digantikan oleh Mangkurat Mas / Mangkurat III
(1703-1704). Pangeran Puger / Sunan Pakoeboewono I (1708-1719) berkuasa dan kemudian
digantikan oleh Mangkurat Jawi / Mangkurat IV (1719-1727), dan dilanjutkan oleh
Pakoeboewono II (1727-1745) dan memindahkan karaton ke Surakarta (1745-1749). Pada
masa Sunan Pakoeboewono III (1749-1788), berdasar perjanjian Giyanti, 1755 yang dibuat
dengan persetujuan Belanda akhirnya Mataram terpecah menjadi 2 (dua): Surakarta
diperintah Pakoeboewono III, sedang Jogja diberikan kepada pamannya sendiri yang
bergelar Sultan Hamengkoeboewono I (1755-1792). Setahun kemudian Putra dari pangeran
Mangkunagara (salah satu putra Mangkurat IV) yaitu raden mas Said atau dikenal dengan
julukan pangeran Sambernyawa, memperoleh kekuasaan serupa raja, tapi dengan beberapa
pengecualian. Ia mendirikan Pura Mangkunegaran. Jejak sama terjadi di Jogja. Tahun 1813
Kasultanan Jogja terbagi dua dan sebagian kecilnya menjadi milik Pangeran Paku Alam I.

Banyak hal terjadi terutama pada rentang setelah wafatnya Agung hingga meleburnya
kerajaan-kerajaan Mataram di bawah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Satu
dua hal yang patut dicatat adalah berlakunya cultuurstelsel yang mengakibatkan bertambah
luasnya peran Kyai di pedalaman akibat kewenangan yang diberikan Belanda kepada para
elite dan priyayi. Menurut Magnis-Suseno (2001: 35) tampaknya hal ini melahirkan
anggapan bahwasanya elite / priyayi sama dengan penjajah. Islamlah yang kemudian
dianggap menjadi basis pertahanan rakyat. Selain itu kegagalan perang Jawa dan dibukanya
terusan Suez memberi dampak pada perkembangan Islam. Pembaharuan Islam menjadikan
Islam di Jawa cenderung mengikuti corak Arab. Keadaan ini menjadikan polarisasi antara
abangan dan santri makin mengerucut, terus bergerak pada masa-masa selanjutnya.

You might also like