You are on page 1of 22

January 1

vitiligo

2011
www.doktermuda.co.cc

Vitilgo umunya ditandai dengan munculnya lesi depigmentasi yang berbagai-bagai saiz yang disebabkan oleh kehilangan atau detruksi pigmen melanosit kulit

VITILIGO
PENDAHULUAN Vitilgo umunya ditandai dengan munculnya lesi depigmentasi yang berbagai-bagai saiz yang disebabkan oleh kehilangan atau detruksi pigmen melanosit kulit. Penyebabnya sampai sekarang masih belum diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis mengatakan penyakit ini disebabkan oleh reaksi autoimun dan pernyataan ini didukungi dari penelitian menyatakan 1/3 pasien yang datang dan didiagnosa dengan vitiligo mempunyai penyakit autoimun yang lain. Vitiligo umumnya jelas diagnosanya ketika pemeriksaan fisis dan dapat dibedakan dengan penyakit lain dengan melakukan pemeriksaan lampu Wood, KOH atau biopsi kulit. Prinsip pengobatan vitiligo adalah repimentasi,maka banyak cara dapat dilakukan, umumnya pengobatan vitiligo melibatkan penggunaan kortikisteroid topikal, psoralens plus PUVA, atau untuk vitiligo yang berat, dimana dipigmentasi kulit agak menyebar luas, dapat digunakan teknik bleaching dengan hydroquinone. 1,2 Definisi Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit, seringkali bersifat progresif dan familial yang ditandai oleh makula hipopigmentasi pada kulit yang asimtomatik . Selain kelainan pigmentasi, tidak dijumpai kelainan lain pada kulit tersebut. Kata vitiligo berasal dan bahasa latin vitellus yang berarti anak sapi, karena kulit penderita berwarna putih seperti kulit anak sapi yang berbercak putih. Istilah vitiligo mulai diperkenalkan oleh Celsus, seorang dokter Romawi pada abad ke-2 A.D.2,3,4 Epidemiologi Vitiligo mengenai 1% penduduk dunia tanpa membedakan ras dan jenis kelamin. Frekuensi pada kedua jenis kelamin sama. Hanya saja, penelitian epidemiologik menunjukkan bahwa penderita yang berobat lebih banyak wanita. Hal ini mudah dimengerti karena masalah utamanya adalah kosmetika. Ternyata 30 40% kasus mempunyai riwayat familial.4
2

Etiologi Penyebab vitiligo yang pasti belum diketahui, diduga suatu penyakit herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. Dari beberapa referensi yang berbeda menyatakan faktor-faktor pencetus terjadinya vitiligo antara lain ialah faktor mekanis dimana penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi (fenol). Selain itu, terdapat beberapa kasus penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar matahari atau UVA dan ternyata 70% lesi pertama kali timbul pada bagian kulit yang terpajan, faktor emosi/psikis dimana dikatakan bahwa penderita vitiligo berkembang setelah mendapat gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat, dan pada keadaan tertentu vitiligo juga sering ditemukan pada penderita dengan gangguan absorpsi vitamin B12 (anemia defisiensi vitamin B12). Patogenesis Masih sedikit yang diketahui tentang patogenesis vitiligo, sehingga patofisiologi penyakit ini masih menjadi teka-teki Sampai saat ini terdapat 3 hipotesis klasik patofisiologi vitiligo yang dianut, yang masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan yaitu: 1,3,4,10,11,13,14,15 1) Hipotesis autositoksik Hipotesis ini berdasarkan biokimiawi melanin dan prekursornya.
1,2,3,18

Dikemukakan bahwa terdapat produk antara dari biosintesis melanin iaitu monofenol atau polifenol. Sintesis produk antara yang berlebihan tersebut akan bersifat toksik terhadap melanosit. Lerner (1959) mengemukakan bahwa melanosit normal mempunyai proteksi terhadap proses tersebut, sedangkan pada penderita vitiligo mekanisme proteksi ini labil, sehingga bila ada gangguan, produk antara tersebut akan merusak melanosit dan akibatnya terjadi vitiligo. Hal ini secara klinis dapat terlihat lesi banyak dijumpai pada daerah kulit yang mengandung pigmen lebih banyak (berwarna lebih gelap). Juga hal ini dapat terjadi pada pekerja-pekerja

industri karet, plastik dan bahan perekat karena banyak berkontak dengan bahan fenol dan katekol 2) Hipotesis neurohumoral Hipotesis ini mengatakan bahwa mediator neurokimiawi seperti asetilkolin, epinefrin dan norepinefrin yang dilepaskan oleh ujung-ujung saraf perifer merupakan bahan neurotoksik yang dapat merusak melanosit ataupun menghambat produksi melanin. Bila zat-zat tersebut diproduksi berlebihan, maka sel melanosit di dekatnya akan rusak. Secara klinis dapat terlihat pada vitiligo segmental satu atau dua dermatom, dan seringkali timbul pada daerah dengan gangguan saraf seperti pada daerah paraplegia, penderita polineuritis berat 3) Hipotesis imunologik Vitiligo merupakan suatu penyakit autoimun; pada penderita dapat ditemukan autoantibodi terhadap antigen sistem melanogenik, yaitu autoantibodi anti melanosit yang bersifat toksik terhadap melanosit. Dari hasil-hasil penelitian terakhir, tampaknya hipotesis imunologik yang banyak dianut oleh banyak ahli. Hal ini disokong dengan kenyataan bahwa insidens vitiligo meningkat pada penderita penyakit autoimun, yaitu antara lain adalah penyakit kelenjar tiroid, alopesia areata, anemia pernisiosa, anemia hemolitik autoimun, skleroderma, artritis rheumatoid. 4) Faktor genetik Vitiligo dapat terjadi secara sporadis atau bersamaan dengan adanya hubungan keluarga. Hal ini didukung oleh adanya pola herediterpada beberapa keluarga, dimana vitiligo diturunkan melalui gen autosomal dominan atau autosomal resesif.

5) Faktor bahan kimia Dipigmentasi kulit dapat terjadi akibat paparan monobenzil eter

hidroquinon yang terdapat pada sarung tangan. Terdapat sejumlah bahan kimia yang mampu menyebabkan terjadinya depigmentasi yaitu thiol, senyawa fenol, derivat katekol, merkaptoamin, dan beberapa quinon. Menghirup dan menelan senyawa kimia ini akan berperan dalam terjadinya dipigmentasi. Gambaran Klinik
Makula hipopigmentasi yang khas pada vitiligo berupa bercak putih seperti susu, berdiameter beberapa milimeter sampai sentimeter, berbentuk bulat, lonjong, ataupun tak beraturan, dan berbatas tegas. Selain hipopigmentasi tidak dijumpai kelainan lain pada kulit. Kadang-kadang rambut pada kulit yang terkena ikut menjadi putih. Pada lesi awal kehilangan pigmen tersebut hanya sebagian, tetapi makin lama seluruh pigmen melanin hilang.4,5,6 Vitiligo diklasifikasi berdasarkan distribusi dan bentuk lesinya dan klasifikasi ini penting dalam memahami prognosis penyakit. Berdasarkan beberapa pola distribusi

yang khas, vitiligo dibagi kepada tipe lokalisata, generalisata, dan universalisata. Tipe lokalisata terdiri daripada lesi (1) tipe fokal dimana satu makula yang terisolasi atau beberapa makula yang terbatas baik jumlah maupun ukurannya (terdapat pada satu atau dua tempat di bagian tubuh), (2) tipe segmental dimana distribusinya khas, dengan lesi vitiligo yang unilateral dalam suatu distribusi dermatom atau quasidermatom. Tipe ini dikatakan sebagai suatu jenis vitiligo yang bersifat stabil, dan (3) tipe mukosal yang hanya mengenai membran mukosa atau selaput lendir.1,7,8,9,15,18

Gambar 1(1): Vitiligo Fokal Satu makula yang terisolasi atau beberapa makula yang terbatas baik jumlah maupun ukurannya (terdapat pada satu atau dua tempat di bagian tubuh)

Gambar 2 (2): Vitiligo Segmental : Distribusi unilateral lengkap atau parsial sesuai dermatom. Kebanyakan pasien memiliki satu segmen yang mengalami depigmentasi. Jarang terjadi pada dua atau lebih segmen yang ipsilateral maupun
12

kontralateral.

http://books.google.co.id/books?id=cuZsZ5jqzQMC&printsec=frontcover&client=firefo x- a&source=gbs_navlinks_s#v=twopage&q=&f=false Alain Taeb MD, Mauro Picardo MD. Vitiligo. The New England Journal of Medicine. (serial online) 2005; [cited 2010 07/02]; Volume 360:160-169. Available from: http://content.nejm.org/cgi/ content/full/360/2/160 6

Gambar 3(3): Vitiligo


3

mukosal

Vitiligo tipe generalisata merupakan jenis vitiligo yang banyak dijumpai, khas dengan beberapa atau banyak makula yang tersebar. Makula ini seringkali bersifat simetris. Tipe ini dibagi lagi ke beberapa subkategori iaitu (1) vitiligo akrofasial dimana dipigmentasi kulit hanya melibatkan bahagian distal ektrimitas dan wajah, (2) vitiligo vulgaris dimana makula hipopigmentasi tersebar tanpa pola khas, dan (3) vitiligo campuran dimana merupakan campuran diantara vitiligo akrofasial, vulgaris dan/atau segmental. Vitiligo tipe universalisata merupakan depigmentasi kulit
secara total atau hampir seluruh tubuh. 1,7,8,9,15,18

http://dermnetnz.org/common/image.php?path=/colour/img/vitiligo4.jpg 7

Gambar 4(4) : Vitiligo


4

akrofasial

Gambar 5(5): Vitiligo vulgaris Bercak putih, biasanya simetris,ukurannya bertambah besar, berhubungan dengan kehilangan fungsi melanosit epidermal dan melanosit
5

folikel rambut.

Vitiligo yang diklasifikasi berdasarkan bentuk lesinya, antara lain : (vitiligo pg 1of 5) 1. Trichrome vitiligo : vitiligo yang terdiri atas lesi berwarna coklat, coklat muda dan putih 2. Vitiligo inflamatoar: lesi dengan tepi yang meninggi eritematosa dan gatal. 3. Lesi linear
4

http://books.google.co.id/books?id=cuZsZ5jqzQMC&printsec=frontcover&client= firefox -a&source=gbs_navlinks_s#v=twopage&q=&f=false Alain Taeb MD, Mauro Picardo MD. Vitiligo. The New England Journal of Medicine. (serial online) 2005; [cited 2010 07/02]; Volume 360:160-169. Available from: http://content.nejm.org/cgi/ content/full/360/2/160 8

Gambar 6(6) : Vitiligo Trichrome

Gambar 7(6): Vitiligo Inflamator

Diagnosis Kriteria diagnosis bisa didasarkan atas pemeriksaan klinis (anamnesis, pemeriksaan fisik), uji diagnostik (untuk membedakan dengan penyakit lain yang menyerupai), dan pemeriksaan laboratorium (untuk membantu mencari adanya kaitan dengan penyakit sistemik, seperti Diabetes melitus, insufisiensi adrenal, anemia pernisiosa, penyakit tiroid dan lain-lain). Dari anamnesis, perlu diketahui kapan lesi itu nampak, perjalanan penyakit (stabil atau progresif), riwayat adanya inflamasi, iritasi atau hal lain menjelang timbulnya depigmentasi, riwayat fotosensitivitas, disfungsi telinga atau mata, bentuk-bentuk pengobatan sebelumnya (termasuk dosis, efek dan atau toksisitas), hobi, riwayat keluarga atau diri sendiri tentang penyakit (tiroid, alopesia areata, diabetes, penyakit kolagen vaskuler, anemia pernisiosa, penyakit Addison), stres emosional akibat kehilangan pigmen, dll.
6

Vlada Groysman M, Naveed Sami M, FAAD. Vitiligo. Alabama: Department of Dermatology, University of Alabama School of Medicine; 2009 [updated Nov 30, 2009; cited 2010 11/2]; Available from: http://emedicine.medscape.com/article/ 1068962-overview 9

Pemeriksaan

fisik

perlu

dilakukan

pemeriksaan

umum,

adanya

depigmentasi yang asimptomatik, tanpa gejala inflamasi, ada tidaknya batas inflamasi sekitar lesi, tempat lesi pertama kali muncul (tangan, lengan, kaki, muka dan bibir), pola vitiligo (fokal, segmental, universal atau akral/akrofasial). Pemeriksaan lain antara lain perlu dicari adanya poliosis, perubahan pigmentasi pada choroid dan epitel pigmen retina, uveitis. Tes diagnostik dilakukan untuk membedakan dengan penyakit yang menyerupai, misalnya limfoma kutan sel T, LED/LES, lepra, pinta, nevus anemikus, depigmentosus, pielbadisme, pityriasis alba, hipopigmentasi pasca inflamasi, arkoidosis, skleroderma, tinea versikolor dan lain-lain. Tes laboratorium dilakukan untuk mendeteksi penyakit-penyakit sistemik yang menyertai, misalnya insufisiensi adrenal, diabetes melitus, anemia pernisiosa, penyakit tiroid. Tes-tes yang mungkin dapat membantu antara lain biopsi dari batas lesi (dengan teknik Fontana-Masson) untuk membedakan vitiligo dari beberapa keadaan yang disebut di atas. Penderita yang mempunyai kecenderungan untuk mendapatkan foto-khemoterapi, perlu diperiksa ANA (antinuclear antibody), tes faal hepar dan faal ginjal, dsb.4,5,8,14,15,17

10

Pemeriksaan Lampu Wood Pada pemeriksaanlampu wood didapatkan lesi vitiligo tampakputih berkilau dan dalam hal ini berbeda dengan kelainan hipopigmentasi lainnya. 2,14

Gambar 8(7): Pemeriksaan dengan menggunakan Lampu Wood. Lampu Wood merupakan alat pencahayaan yang menggunakan sinar ultraviolet A yang dipancarkan pada gelombang 365nm. Pemeriksaan ini dilakukan didalam ruang yang gelap. Pemeriksa dibiarkan beradaptasi dengan ruangan gelap selama 30s sebelum memulakan pemeriksaan. Lampu Wood memberi kesan putih berkilau pada lesi hipopigmentasi (Gambar A) berbanding pada pencahayaan 7 menggunakan sinar normal (Gambar B)

Alain Taeb MD, Mauro Picardo MD. Vitiligo. The New England Journal of Medicine. (serial online) 2005; [cited 2010 07/02]; Volume 360:160-169. Available from: http://content.nejm.org/cgi/ content/full/360/2/160

11

Histopatologi

Gambar 9(8): Anak panah menunjukkan batas yang memisahkan kulit yang
8

mempunyai pigmen melanin (kiri) dan tidak (kanan) Pada lesi yang baru, jumlah melanosit berkurang sedang pada lesi yang

sudah lama tidak terdapat melanosit dalam lapisan basal epidermis. Pada pemeriksaan mikroskop cahaya, terlihat hilangnya melanosit dan digantikan dengan sel-sel Langerhans. Kehilangan pigmen / depigmentasi sel melanosit dapat dikonfirmasi dengan pewarnaan dopa untuk tyrosinase atau pewarnaan Masson silver untuk melanin. Untuk vitiligo yang diikuti dengan inflamasi, didapatkan gambaran dermis yang diinfiltrasi oleh sel mononuclear dan sel mast. Hasil pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan jumlah melanosit di lamina basalis tergantung kepada durasi lesi itu muncul pada setiap individual. Pada vitiligo, pigment melanosit didapati hilang dan ditepi lesi didapatkan melanosit yang besar dengan prosesuss dendritikus yang panjang. Beberapa peneliti menemukan infiltrasi sel-sel limfotik didermis. 1,2,8,9,15

http://emedicine.medscape.com/article/1109642-overviewmedicine 12

Diagnosis Banding KAUSA Bahan Kimia Endokrin Genetik Infeksi CONTOH PENYAKIT Hidroquinone, subtituted phenols Hipopituitarisma Albinisma, fenilketonuria, tubero sklerosis, piebaldisma Leprosi, pityriasis versikolor

Pasca-inflamasi Krioterapi, ekzema, psoriasis, morfea, ptriasis alba Lainnya Vitiligo, Liken sklerosus, halo nevus

Tabel 1(9): PENYEBAB HIPOPIGMENTASI

Gambar 10 (10): TUBERKULOID LEPROSI Lesi hipopigmentasi pada tuberkuloid leprosi dengan batas eritematous. Lesi pada leprosi sangat khas kearana disertai gejala anestesi.
9 10

Gawkrodger D.J., ed. Dermatology An Illustrated Colour Text. Hypopigmentation: Vitiligo. UK: Churchill Livingstone; 2002. p. 70. http://www.stanford.edu/class/humbio103/ParaSites2005/Leprosy/clinical.htm 13

10

Gambar 11(11) : Ptyriasis Alba Lesi hipopigmentasi pada ptyriasis alba mempunyai batas yang tidak tegas dan sering diawali dengan lesi eritematous yang bersisik dan kemudian menghilang dan meninggalkan bercak putih.

11

Gambar 12(12) : PtyriasisVersikolor Lesi hipopigmentasi pada ptyriasis versikolor yang berbentuk seperti pohon krismas terbalik dan sering muncul di area belakang tubuh. 12

11

http://emedicine.medscape.com/article/910770-overview http://www.patient.co.uk/doctor/Pityriasis-Versicolor.htm

12

14

Terapi & Pengobatan Umum : Seseorang yang akan mengobati vitiligo, perlu mengenal dan mengetahui beberapa hal, misalnya tentang sifat dan biologi sel melanosit, tentang farmakologi obat-obat yang digunakan, prinsip-prinsip terapi sinar, resiko serta hasil yang akan terjadi. Semua penderita vitiligo perlu diperiksa gula darah, karena mempunyai insiden yang lebih tinggi pada DM, penyakit tiroid, anemia pernisiosa dan penyakit Addison. Pada lesi, oleh karena mudah terbakar sinar matahari, dianjurkan penggunaan tabir surya. Oleh karena melanosit sangat lamban dalam merespon pengobatan, untuk mencapai hasil yang optimal, tetapi harus dilanjutkan sampai 6-12 bulan.8,9,17 Khusus : a. Psoralen photochemotherapy Fototerapi dengan psoralen baik topikal maupun sistemik, ataupun keduanya, dikatakan merupakan cara yang cukup efektif. Mekanisme : Reservoar melanosit yang mengadakan migrasi ke dalam kulit yang mengalami depigmentasi datang dari kulit yang bersebelahan dengan kulit yang berpigmen (melanosit mengalami migrasi kira-kira 2-3 mm ke dalam kulit yang mengalami depigmentasi), dan juga datang dari folikel rambut karena tidak adanya reservoar, maka pada kulit berambut pada daerah lengan bawah atau tungkai dimana rambut terminal mengalami

depigmentasi, kurang respon terhadap pengobatan medik, seperti juga kulit daerah glabrosa, seperti telapak tangan, jari-jari dan dorsum pedis.

15

b. Fototerapi psoralen topikal Fototerapi psoralen topikal dilakukan apabila lesi terbatas (kurang dari 20% permukaan tubuh) atau pada anak lebih dari 5 tahun dengan vitiligo fokal. Beberapa pertimbangan lain: pada keadaan tertentu, ahli penyakit kulit dengan kepakaran khusus, dapat menggunakan fototerapi psoralen topikal pada anak-anak yang berumur lebih muda dari 5 tahun. lotion oksoralen biasanya dilarutkan dalam etanol, petrolatum atau petrolatum hidrofilik, sampai konsentrasi 0,001 0,1%. Sebelum terapi perlu dilakukan tes dosis. preparat dioleskan pada daerah vitiligo 15-30 menit sebelum penyinaran UVA. Dosis permulaan biasanya 0,12 sampai 0,25 J/cm2; kemudian ditambah sampai muncul eritema ringan; umumnya kenaikan berkisar antara 0,12 atau 0,25 J/cm 2 per minggu tergantung dari tipe kulit pasien. pengobatan biasanya diberikan satu sampai tiga kali per minggu tetapi tidak boleh dua hari berturut-turut. tabir surya berspektrum luas diberikan pada daerah yang diobati dan pasien dianjurkan untuk menggunakan pakaian yang bersifat protekstif. kegiatan di luar harus dihindari, karena ada potensi terjadi reaksi fototoksik yang hebat. Psoralen Bentuk aktif yang sering digunakan adalah trimetoksi psoralen (TPM) dan 8-metoksi psoralen. Bahan ini bersifat photosensitizer. Sebagai sumber sinar, digunakan sinar matahari atau sinar buatan. Cara pemberiannya, obat psoralen 20-30 mg (0,6 mg/kgBB) dimakan 2 jam sebelum penyinaran. Lama penyinaran dimulakan sebentar kemudian setiap hari dinaikkan perlahan-lahan (antara sampai 4 menit). Ada yang

16

menganjurkan pengobatan dihentikan seminggu setiap bulan. Selain sinar matahari langsung, dapat pula digunakan terapi PUVA, terapi harus berlanjut sampai 6 bulan untuk melihat efeknya. Obat yang digunakan adalah 8-metoksi psoralen 0,6 mg/kgBB, yang diberikan 2 jam sebelum penyinaran dengan UVA dua kali seminggu. Perlu diwaspadai akan terjadinya efek samping, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Efek samping jangka pendek berupa nausea (dapat diatasi dengan minum susu), kulit kering dan gatal (dapat diberikan antihistamin), eritema, nyeri dan PUVA-pain. Belum ada kesepakatan mengenai pengobatan psoralen topikal. Sebagian mengatakan berbahaya, apalagi bila lesinya luas, karena bisa timbul eritem atau bula. Namun sebagian masih ada yang menggunakan terapi topikal ini. Larutan yang digunakan adalah larutan metoksalen 1%, dengan cara dioleskan secara hati-hati. Olesan jangan sampai ke batas tepi, karena diharapkan akan terjadi difusi intradermal. Setelah diolesi selama beberapa menit. Ada pula yang menggunakan psoralen ini secara kombinasi, yaitu makan pil dulu, dua jam kemudian diolesi, dan kemudian disinar. Kontra indikasi yang harus diperhatikan adalah pasien yang mempunyai hipertensi, gangguan hati, kegagalan ginjal dan jantung. Walaupun belum pernah dilaporkan ada efek samping yang serius, beberapa keadaan dapat terjadi, misalnya mual, muntah, vertigo, bahkan hiperpigmentasi menyeluruh. Kecepatan repigmentasi tidak sama. Umumnya daerah muka lebih cepat, menyusul daerah leher, badan; lesi di atas tulang menonjol paling resisten, begitu pula lesi pada punggung tangan dan jari. Kortikosteroid Pemakaian kortikosteroid topikal pada vitiligo berdasarkan pada hipotesis autoimun. Kumani (1984) menggunakan klobetasol propionat 0,05% dengan hasil yang cukup baik. Pernah pula dilaporkan penggunaan triamsionolon asetonid 0,1% intralesi atau betametason 17 valerat 0,1% secara topikal. Pada kasus yang dini pemberian kortikosteroid intralesi

17

efektif pada 50% penderita dan penggunaan kortikosteroid topmkal dapat mencegah perkembangan lebih lanjut. Biasanya diperlukan terapi yang lama dan adanya efek samping akibat pemakaian steroid yang lama menyebabkan pemakaiannya terbatas. Depigmentasi Jika lesi vitiligo sangat luas, jauh lebih luas dari kulit normalnya (lebih dari 50%), yang menganjurkan untuk memberikan monobenzil hidrokuinon 20%, dua kali sehari pada kulit normal, sehingga terjadi bleaching, dan diharapkan warna kulit menjadi sama. Percobaan pada area kecil perlu dilakukan, sebelum terapi dilakukan pada area yang lebih luas. Bedah Tindakan bedah yang dapat dilakukan adalah autologus skin graft, yakni memindahkan kulit normal (2-4 mm) ke ruam vitiligo. Efek samping yang mungkin timbul antara lain parut, repigmentasi yang tak teratur, koebnerisasi dan infeksi.4,5,6,18 Prognosis Vitiligo bukan penyakit yang membahayakan kehidupan, tetapi prognosisnya masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran dan kepatuhan pen derita terhadap pengobatan yang diberikan. Efek psikososial vitiligo juga tidak boleh dilupakan. Tiap penderita memerlukan dukungan psikologis, lebih-lebih bila terdapat hambatan sosial atau psikis.1,4,15

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kulit. Vitiligo pada Anak. Makassar:

Bahagian Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin FK-UH; Febuari 2003. p. 395-403. 2. M. H. Beers, MD., R. S. Porter, MD.,T. V. Jones, MD, MPH,eds. The Merck Manual of DIAGNOSIS & THERAPY. Ch 10: Dermatology Disorders. Pigmentation Disorders: Vitiligo. Whitehouse Station, NJ. Merck Research Laboratories, division of MERCK & Co., INC. 2006. p. 1002-3. 3. Djuanda A., Hamzah M., Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin. Edisi ketiga. Jakarta: Fakultaas Kedokteran Universitas Indonesia; 1999. p. 278-80. 4. Harahap, Marwali, eds. Ilmu Penyakit Kulit. Vitiligo. Jakarta: Penerbit Hipokrates; 2000. p. 151-6. 5. Manrirequez J.J. Chp. 49: Vitiligo. In: Williams H., Bigby M., Diepgen T., eds. Evidence-based Dermatology. 2nd Edition. Massachusetts: Blackwell Publishing, Inc.; 2008. p. 489-494. 6. Gawkrodger D.J., ed. Dermatology An Illustrated Colour Text.

Hypopigmentation: Vitiligo. UK: Churchill Livingstone; 2002. p. 70. 7. Freedberg I.M., Eisen A.Z., Wolff K., eds. FITZPATRICK'S :

DERMATOLOGY

IN GENERAL MEDICINE.

Hypomelanoses &

Hypermelanoses : Vitiligo. 6th ed. New York: Mc Graw Hill Medical Pub. Division. p. 839-47. 8. Arnold Jr., Odom R.B., James W.D., eds. Andrew's: Diseases of The Skin: Clinical Dermatology: Vitiligo. 8th ed. Philadelphia: W.B Saunders Company, HBJ, Inc.; 1990. p. 215-18. 9. Levine N., ed. Pigmentation & Pigmentary Disorders. Part III:

Hypopigmentary Disorder. Acquired Hypomelanotic Disorders: Vitiligo. London: CRC Press;. p. 338-51. 10. Trcka J, Moroi Y, Clynes RA, Goldberg SM, Bergtold2 A, Perales M-A, eds. Immunity. Redundant and Alternative Roles for Activating Fc Receptors and Complement in an Antibody-Dependent Model of Autoimmune Vitiligo. (serial online). 2002. June. [cited, 2010 February 18]; Volume 16/Issue 6.

19

Pages 861-8. Available from: URL: http://www.sciencedirect.com/science?_ob=MImg&_imagekey=B6WSP4698M18C1&cdi=7052&_user=10&_pii=S1074761302003278&_orig=search&_cover Date=06%2F30%2F2002&_sk=999839993&view=c&wchp=dGLbVzzzSkzS&md5=522a8aa9c491a0c3dd8d0d1fb0d959c6&ie=/sdarticle.pdf 11. Nath S.K, Kelly J.A, Namjou B., Tom Lam, Bruner G.R, Scofield R.H., Aston C.E., and Harley J.B, eds. Am. J. Hum. Genetic : Evidence for a Susceptibility Gene, SLEV1, on Chromosome 17p13 in Families with Vitiligo-Related Systemic Lupus Erythematosus. (serial online). 2001. [cited, 2010 February 18]; Volume 69. Pages 1401-1406. Available from: URL:

http://wwwsciencedirectcom/science?_ob=MImg&_imagekey=B8JDD4R1WP1S-Y2&_cdi=43612&_user=10&_pii=S0002929707612701&_orig=search&_cover Date=12%2F31%2F2001&_sk=999309993&view=c&wchp=dGLbVlbzSkWA&md5=84e4f68f5c95eb0b037536534e0061e9&ie=/sdarticlepdf 12. Chen J.J., Huang W., Gui J.P, Yang S., Zhou F.S, Xiong Q.G, Wu H.B, Cui Y., Gao M, Li W., Li J.X, Yan K.L, Yuan W.T, Xu S.J, Liu J.J, and Zhang X.J, eds. Am. J. Hum. Genet. A Novel Linkage to Generalized Vitiligo on 4q13-q21 Identified in a Genomewide Linkage Analysis of Chinese Families. (serial online). 2005. [cited, 2010 February 18]; 76. p. 1057 1065. Available from: http://www.sciencedirect.com/science?_ob=MImg&_imagekey=B8JDD4RH3CKP-D-9&_cdi=43612& user=10&_pii=S0002929707629000&_orig=search&_coverDate=06%2F30% 2F2005&_sk=999239993&view=c&wchp=dGLzVtbzSkWA&md5=4dd5698a9c2ac844d112dace0f8017a8&ie=/sdarticle.pdf

13. Am. J. Hum. Genet. A Genomewide Screen for Generalized Vitiligo: Confirmation of AIS1 on Chromosome 1p31 and Evidence for Additional

20

Susceptibility Loci. (serial online). 2003. [cited, 2010 February 18]; 72. p. 15601564. Available from: http://www.sciencedirect.com/science?_ob=MImg&_imagekey=B8JDD4R16S79-P4&_cdi=43612&_user=10&_pii=S0002929707604558&_orig=search&_cover Date=06%2F30%2F2003&_sk=999279993&view=c&wchp=dGLbVtbzSkzS&md5=d2fd425cb658e2966fb85dbf2f59d06c&ie=/sdarticle.pdf 14. Alain Taeb MD, Mauro Picardo MD. Vitiligo. Journal of Medicine. (serial online) 2005. 360:160-169. Available The New England

[cited 2010 07/02]; Volume from:

http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/2/160 15. Vlada Groysman M, Naveed Sami M, FAAD. Vitiligo. Alabama: Department of Dermatology, University of Alabama School of Medicine; 2009 [updated Nov 30, 2009; cited 2010 11/2]; Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1068962-overview 16. Anonim. Vitiligo. [cited 2009]. Available from :

http://www.aad.org/common_vitiligo.html 17. Anonim. Ketika Kulit Putih Tidak Diinginkan . [cited 2005 November 22]. Available from : http://www.majalah-

farmacia.com/rubrik/mag_detail.asp?mid=8. 18. Namazi, MR. Phenytoin as a novel anti-vitiligo weapon. [cited 2005]. Available from: http://www.jautoimdis.com/content/2/1/11

21

22

You might also like