You are on page 1of 27

BAB I PENDAHULUAN Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di bidang neurology khususnya anak.

Kejang demam jarang terjadi pada epilepsy, dan kejang demam ini secara spontan dapat sembuh tanpa terapi tertentu. Kejang selalu merupakan peristiwa yang lazim pada masa anak, dengan prognosa yang baik secara seragam. Namun, kejang demam menandakan adanya penyakit infeksi akut yang serius yang mendasari sehingga setiap anak harus diperiksa secara cermat dan secara tepat diamati mengenai penyebab demam yang menyertai1. Kejang demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya dan sering tidak menimbulkan gejala sisa; akan tetapi bila kejang berlangsung lama sehingga menimbulkan hipoksia pada jaringan Susunan Saraf Pusat (SSP), dapat menyebabkan adanya gejala sisa di kemudian hari
1

.Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosa serta tata laksana

kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali terjadi atau sudah pernahsebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan waktu anak berumur berapa 1.Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal. Ditanya pula lama serangan, kesadaran pada waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain yang menyertaiditeliti, termasuk demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau kemunduran kepandaian.Pada neonatus perlu diteliti riwayat kehamilan ibu serta kelahiran bayi. Kejang demam jarang terjadi pada epilepsi, dan kejang demam ini secara spontan sembuh tanpaterapi tertentu. Kejang demam ini merupakan gangguan kejang yang paling lazim pada masa anak, dengan pragnosa baik secara seragam..Penanganan kejang demam sampai saat ini masih terjadi kontroversi terutama mengenai pengobatannya yaitu perlu tidaknya penggunaan obat untuk profilaksis rumat .Dengan latar belakang tersebut, penyusun merasa perlu untuk mengangkat kejadian kejangdemam ini dalam sebuah referat yang berjudul Kejang Demam dan Penatalaksanaannya;mengacu pada perkembangan penatalaksanaan kejang demam terkini 2.

KEJANG DEMAM A. Defenisi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38oc) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. 1,2 Biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali tidak masuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. 2,4 Begitu pula kejang yang disertai demam yang terjadi pada anak yang memiliki gangguan keseimbangan elektrolit dan metabolik yang berat tidak termasuk dalam kejang demam.3,4

B. Epidemiologi Kejang demam paling sering ditemukan pada anak terutama yang berusia 6 bulan sampai 4 tahun yaitu sekitar 2-4%.2 Sekitar 80% merupakan kejang demam sederhana sedangkan 20% merupakan kejang demam kompleks. 4 8 % berlangsung lama ( lebih dari 15 menit ). 16 % berulang dalam waktu 24 jam. Kejang pertama terbanyak di antara 17 23 bulan. Anak laki laki lebih sering mengalami kejang demam. Bila kejang demam sederhana yang pertama terjadi pada umur kurang dari 12 bulan. Maka risiko kejang demam kedua 50 %, dan bila kejang demam sederhana pertama terjadi setelah umur 12 bulan menurun menjadi 30 %. Setelah kejang demam pertama, 2 4 % anak akan berkembang menjadi epilepsi dan ini 4 kali risikonya dibandingkan populasi umum. Faktor hereditas juga mempunyai peranan penting, . Lennox Buchthal (1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan penetrasi yang sempurna. Sekitar 41,2% anggota

keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%..1,6 C. Faktor Risiko Faktor risiko kejang demam pertama adalah demam. Selain itu terdapat faktor riwayat kejang demam pada orangtua atau saudara kandung, perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus dan kadar natrium rendah.3 Setelah kejang demam pertama kira kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi (kekambuhan), dan kira kira 9 % anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih, resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.1,2,3 Kejang demam sangat tergantung pada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur 4 tahun, terbanyak diantara 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi, walaupun pada beberapa pasien masih dapat mengalami sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Kejang demam diturunkan secara dominan autosomal sederhana.1

D. Klasifikasi Berdasarkan consensus UKK Neurologi IDAI 20062,3,5 1. Kejang demam kompleks Dikatakan kejang demam kompleks apabila memiliki salah satu dari gejala berikut : Kejang berlangsung lama, yaitu 15 menit atau lebih

Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Ini merupakan criteria penting untuk kejang demam kompleks.

Kejag berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, diantara 2 kejang anak sadar kembali.

2. Kejang demam sederhana Kejang demam sederhana berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, bangkitan kejang tonik klonik umum, serangan seingkali berhenti sendiri tanpa gerakan fokal dan tidak berulang dalam 24 jam. Kejang demam sederhana tidak disertai kelainan neurologis sebelum dan sesudah kejang.

E. Etiologi Penyebab yang pasti dari terjadinya kejang demam tidak diketahui. Faktor resiko kejang demam yang penting adalah demam. Namun kadang-kadang demam yang tidak begitutinggi dapat menyebabkan kejang. Selain itu terdapat faktor resiko lain, seperti riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung, perkembangan terlambat, problempada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah. Demam dapat muncul pada permulaan penyakit infeksi (extra Cranial), yang disebabkanoleh banyak macam agent, antara lain : 12 Bakteri

Penyakit pada Tractus Respiratorius Pharingitis Tonsilitis

Otitis Media Laryngitis Bronchitis Pneumonia

Pada Gastro Intestinal Tract : Dysenteri Baciller, Shigellosis Sepsis.

Pada tractus Urogenitalis : Pyelitis Cystitis Pyelonephritis

Virus:Terutama yang disertai exanthema : Varicella Morbili Dengue Exanthemasubitung

F. Patofisiologi Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak membutuhkan energi yaitu senyawa glukosa yang didapat dari proses metabolisme sel. Sel-sel otak

dikelilingi oleh membran yang dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah Kalium oleh (K+) ion dan

sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lain kecuali Clorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ di dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+ rendah. Keadaan sebaliknya terjadi di luar sel neuron. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel tersebut maka terjadi beda potensial yang disebut Potensial Membran Sel Neuron.
Gambar 2. Potensial Membran Sel Neuron

Untuk menjaga keseimbangan potensial membran sel diperlukan energi dan enzim Na-K-ATP ase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial membran sel dipengaruhi oleh: 1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. 2. Rangsangan yang datangnya mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. 3. Perubahan patofisiologi dari membran karena penyakit atau faktor keturunan. Sebuah potensial aksi akan terjadi akibat adanya perubahan potensial membran sel yang didahului dengan stimulus membrane sel neuron. Saat depolarisasi, channel ion Na+ terbuka dan channel ion K+ tertutup. Hal ini menyebabkan influx dari ion Na+, sehingga menyebabkan potensial membran sel lebih positif, sehingga terbentuklah suatu potensial aksi. Dan sebaliknya, untuk membuat keadaan sel neuron repolarisasi, channel ion K+ harus terbuka dan channel

ion Na+ harus tertutup, agar dapat terjadi efluks ion K+ sehingga mengembalikan potensial membran lebih negative atau ke potensial membrane istirahat.

Renjatan listrik akan diteruskan sepanjang sel neuron. Dan diantara 2 sel neuron, terdapat celah yang disebut sinaps, yang menghubungkan akson neuron presinaps dan dendrite neuron post sinaps. Untuk menghantarkan arus listrik pada sinaps ini, dibutuhkan peran dari suatu neurotransmitter.

Ada dua tipe neurotransmitter, yaitu : 1. Eksitatorik, neurotransmiter yang membuat potensial membrane lebih positif dan mengeksitasi neuron post sinaps 2. Inhibitorik, neuritransmiter yang membuat potensial membrane lebih negative sehingga menghambat transmisi sebuah impuls. Sebagai

contoh : GABA (Gamma Aminobutyric Acid). Dalam medis sering digunakan untuk pengobatan epilepsy dan hipertensi. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung kepada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat epileptogenik sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Ditingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut : Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan. Kelainan polarisasi ( polarisasi berlebih, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi ) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi GABA. Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%. Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Kalium dan Natrium melalui membran sel, dengan akibat lepasnya muatan listrik yang demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah kenaikan suhu sampai 38 o C sudah terjadi kejang, Namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu diatas 40o C. Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi

pada anak dengan ambang kejang rendah. Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda, mungkin disebabkan oleh kekurangan antikonvulsan alamia misalnyagamma-aminobutirat acid (GABA) sehingga neuron-neuron kortikal anak ini mudah terganggu dan bereaksi dengan mengeluarkan muatan listriknya secara menyeluruh. Selain itu suhu yang tinggi menyebabkan reseptor GABA-A yang berfungsi untuk menghambat aktiitas yang berlebihan dari otak akan menghilang, sehingga terjadi kejang. Kejang tersebut kebanyakan terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, infeksi pada telinga, dan infeksi saluran pernafasan lainnya.1,3,6 Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skeletal yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapneu, dan asidosis laktat. Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh disebabkan meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme otak. Awal (< 15 menit) Meningkatnya kecepatan jantung Meningkatnya Lanjut (15-30 Berkepanjangan (>1jam) Hipotensi berkurangnya darah disertai aliran serebrum

menit) Menurunnya denyut tekanan darah

Menurunnya gula sehingga terjadi tekanan darah darah hipotensi serebrum Meningkatnya kadar Disritmia Gangguan sawar darah glukosa Meningkatnya pusat tubuh Meningkatnya darah putih suhu Edema nonjantung sel otak paru menyebabkan serebrum yang edema

Tabel 1. Efek Fisiologis Kejang

Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak pada kejang yang lama. Faktor yang terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga berakibat meningkatnya permeabilitas vaskular dan udem otak serta kerusakan sel neuron. Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat menetap bisa terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada serangan kejang yang berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi G. Manifestasi Klinik Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengn kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis, dan lain-lain.1,2,3,5Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan kejang dapat berbentuk tonikklonik bilateral, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan semakin berulang tanpa didahului kekakuan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.1,2,3,45 Kejang yang terjadi bersifat kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam). Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan. 1,3,4,6 Sebagian kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% berlangsung lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang
10

berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak kembali terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Jika kejang tunggal berlangsung kurang dari 5 menit, maka kemungkinan cedera otak atau kejang menahun adalah kecil.4 Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada penderita yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis terjadi pada sebagian kecil penderita, ini biasanya terjadi pada penderita dengan kejang lama atau berulang baik umum atau fokal. Gangguan intelek dan gangguan belajar jarang terjadi pada kejang demam sederhana. IQ lebih rendah ditemukan pada penderita kejang demam yang berlangsung lama dan mengalami komplikasi. Risiko retardasi mental menjadi 5 kali lebih besar apabila kejang demam diikuti terulangnya kejang tanpa demam.

H. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kejang pada seorang anak yang mengalami demam dan sebelumnya tidak ada riwayat epilepsi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan lanjutan yang perlu dilakukan jika didapatkan karakteristik khusus pada anak,1,2,3,4,5,6,7yaitu: 1. Pungsi lumbal Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan untuk menyingkirkan menigitis terutama pada pasien kejang demam pertama. Pada bayibayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan. Berdasar penelitian yang telah diterbitkan, cairan cerebrospinal yang abnormal umumnya diperoleh pada anak dengan kejang demam yang:

11

Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh: kaku kuduk). mengalami komplek partial seizure. Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya).

Kejang saat tiba di IGD. Keadaan post ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.

kejang pertama setelah usia 3 tahun. Pada anak dengan usia lebih dari 18 bulan, pungsi lumbal dilakukan jika

tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem sarap pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotikk sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbal sangat dianjurkan untuk dilakukan.7 2. EEG EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit neurologis. 2,3 Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi. 2,3,4,5 EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat didaerah belakang yang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral. Perlambatan ditemukan pada 88% pasien bila EEG dikerjakan pada hari kejang dan ditemukan pada 33% pasien bila EEG

12

dilakukan tiga sampai tujuh hari setelah serangan kejang.1 Saat ini pemeriksaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana.1,7 3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit., kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.6,7 4. Pemeriksaan Imaging Pemeriksaan imaging (CT Scan atau MRI) dapat dindikasikan pada keadaan: a. Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepala. b. Kemungkinan adanya lesi struktural diotak (mikrosefali, spastik). c. Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, fontanel anterior membonjol, paresis saraf otak VI, edema papil).6

I. Diagnosis Banding Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus

dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu didalam atau diluar susunan saraf pusat (otak). Kelainan didalam otak biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak dan lain-lain. 2 Oleh sebab itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak. Baru sesudah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam sederhana atau epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan cairan cerebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti hemiparesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan dengan kejang demam. Anak dengan demam tinggi

13

dapat mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam.1 J. Perjalanan Penyakit Beberapa hal yang harus dievaluasi adalah mortalitas, perkembangan mental dan neurologis, berulangnya kejang demam dan risiko terjadinya epilepsi dikemudian hari. Mortalitas pada kejang demam sangat rendah, hanya rendah, hanya sekitar 0,640,74%.2 Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Peneliti lain melakukan penelitian retrospektif dan melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus. Kelainan neurologis yang terbanyak ialah hemiparesis, disusul diplegia, koreoatetosis atau rigiditas serebrasi. Kelainan ini biasanya terjadi pada pasien dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum maupun fokal. 11% pasien kejang menunjukkan hiperaktivitas walaupun tidak diberi pengobatan fenobarbital.2 Gangguan intelek dan gangguan belajar jarang terjadi pada kejang demam sederhana. Ellenberg dan Nelson melaporkan bahwa IQ pada 42 pasien kejang demam tidak berbeda dibandingkan dengan saudara kandungnya yang tidak menderita kejang demam. IQ lebih rendah ditemukan pada pasien kejang demam yang berlangsung lama dan mengalami komplikasi. Risiko retardasi mental menjadi 5 kali lebih besar apabila kejang demam diikuti terulangnya kejang tanpa demam. Angka kejadian kejang tanpa demam atau epilepsi berbeda-beda tergantung kepada cara penelitian, pemilihan kasus dan definisi. Sebagian peneliti melaporkan angka sekitar 2-5%.2 Livingston melakukan pengamatan selama 1 tahun lebih. Ia mendapatkan bahwa diantara 201 pasien kejang demam sederhana hanya 6 (3%) yang menderita kejang tanpa demam (epilepsi), sedangkan diantara 297 pasien yang digolongkan epilepsi yang diprovokasi oleh demam 276(93%) menderita epilepsi. Prichard dan Mc Greal

14

mendapatkan angka epilepsi 2 % pada kejang demam sederhana dan 30% pada kejang demam atipikal. Diindonesia, Lumbantobing melaporkan 5 (6,5%) diantara 83 pasien kejang demam menjadi epilepsi.2 Angka kejadian epilepsi pada pasien kejang demam kira-kira 2-3 kali lebih banyak dibandingkan populasi umum dan pada pasien kejang demam berulang kemungkinan terjadinya epilepsi adalah 2 kali lebih sering dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami berulangnya kejang demam. Faktor risiko terjadinya epilepsi adalah: 1) Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan. 2) Adanya riwayat kejang tanpa demam (epilepsi) pada orangtua atau saudara kandung. 3) Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit atau kejang fokal. Bila hanya satu faktor risiko kemungkinan timbulnya epilepsi adalah 2-3, sedangkan apabila terdapat 2 dari 3 faktor diatas, kemungkinan menjadi epilepsi adalah 13%. Epilepsi yang terjadi setelah kejang demam dapat bermacam-macam, yang paling sering adalah epilepsi motor umum yaitu kira-kira 50%. Kejang demam yang lama biasanya diikuti oleh epilepsi parsial kompleks. Sebanyak 30-35% pasien mengalami berulangnya kejang demam. Sebagian besar hanya berulang 2- 3 kali kecuali pada 917% kasus yang berulang lebih dari 3 kali. Setengahnya berulang dalam 6 bulan pertama dan 75% berulang dalam 1 tahun. Nelson dan Ellenberg melaporkan berulangnya kejang demam pada 35% diantara 1706 pasien. Berulangnya kejang demam lebih sering bila serangan pertama terjadi pada bayi berumur kurang dari 1 tahun yaitu sebanyak 50%. Bila kejang demam pertama terjadi pada usia lebih dari 1 tahun risiko berulangnya kejang adalah 28%. Berulangnya kejang multipel juga lebih sering terjadi pada bayi. Anak dengan perkembangan abnormal atau mempunyai riwayat epilepsi dalam keluarga juga lebih sering tmengalami berulangnya kejang demam.2

15

K. Penatalaksanaan Dalam penanggulangan kejang demam ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu: pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab, dan pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam..3,4 1. Pengobatan fase akut Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik.2,3,9 Obat yang paling cepat untuk menghilangkan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena atau intrarektal. Kadar diazepam tertinggi dalam darah akan tercapai dalam waktu 1-3 menit apabila diazepam diberikan intrvena dan dalam waktu 5 menit apabila diberikan intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu lebih dari 2 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Apabila kejang tidak berhenti dapat diberikan diazepam lagi dengan dosis dan cara yang sama. Apabila sukar mencari vena dapat diberikan diazepam intrarektal dengan dosis 0,5-0,75mg/kgBB atau sebanyak 5 mg pada anak dengan berat badan kurang dari 10kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Bila kejang tidak berhenti diberikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan kecpatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/kg/menit. Dosis selanjutnya diberikan 4-8 mg/kg/hari, 12-24 jam setelah dosis awal. Dalam waktu 30-60 menit kadar diazepam dalam otak sudah menurun dan pasien dapat kejang kembali. Oleh karena itu setelah kejang berhenti harus diberikan obat dengan masa kerja yang lama misalnya valproat atau fenobarbital. Fenobarbital

16

diberikan secara intramuskular dengan loading dose. Dosis awal 10-20 mg/kg dan dosis selanjutnya 4-8 mg/kg/hari. Diberikan 24 jam setelah dosis awal. Fenobarbital dosis tinggi intravena dapat menyebabkan depresi pernafasan, hipotensi, letargi dan somnolen, sehingga pemberian harus dipantau dengan ketat. Diazepam juga mempunyai efek samping hipotensi dan depresi pernafasan,sebab itu setelah pemberian fenobarbital dosis tinggi jangan diberikan diazepam. 2,3,7,8 2. Mencari dan Mengobati Penyebab Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk meyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama,. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai mengalami meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbar harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan untuk mencari penyebab.1,2,3 3. Pengobatan profilaksis Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan dan bila sering berulang menyebabkan kerusakan otak menetap. Ada 2 cara profilaksis, yaitu: 1. Profilaksis intermittent pada waktu demam. 2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari (rumatan). Profilaksis intermittent Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Hal yang demikian sebenarnya sukar dipenuhi. Peneliti-peneliti sekarang tidak mendapat hasil

17

dengan fenobarbital intermittent. Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,50 C atau lebih. Diazepam dapat pula diberikan oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.1,2,3,7,8 Kepustakaan lain menyebutkan bahwa pemberian diazepam tidak selalu efektif karena kejang dapat terjadi pada onset demam sebelum diazepam sempat diberikan. Efek sedasi diazepam juga dikhawatirkan dapat menutupi gejala yang lebih berbahaya, seperti infeksi sistem saraf pusat.10

Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari ( rumatan) Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari. Profilaksis setiap hari terus menerus dengan fenobarbital 45 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari.1 Antikonvulsan terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.

Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria ( termasuk poin 1 atau 2) yaitu: 1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan ( misalnya serebrl palsy atau mikrosefal). 2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti oleh kelainan neurologis sementara atau menetap.

18

3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung. 4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam. Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka panjang, maka berikan profilaksis intermittent yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.1,3

ALGORITMA PENGOBATAN MEDIKAMENTOSA SAAT KEJANG11 5 15 menit KEJANG Perhatikan jalan nafas, kebutuhanO2 atau bantuan pernafasan Bila kejang menetap 3-5 menit, Diazepam rektal 0,5mg/kg dosis 5 - 10 kg > 10 kg : 10 mg rektiol Atau Diazepam intravena dosis rata-rata (0,2 0,5 mg/kg/dosis) dapat diulang dengan dosis/cara yang sama dengan interval 5 - 10 menit 15 20 menit Pencarian akses vena dan pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi

19

Kejang ( - )

Kejang ( + ) Fenitoin IV (15-20mg/kg) diencerkan dengan NaCl 0,9% diberikan selama 20-30 menit atau dengan kecepatan 50mg/menit

> 30 menit: Status konvulsivus Kejang ( - ) Dosis pemeliharaan 20 mg/kg FenitoinIV 5-7mg/kg diberikan 12 jam kemudian Kejang ( + ) Fenobarbotal IV/IM 10-

Kejang ( - ) Dosis pemeliharaan Fenobarbital IVIM 5-7 mg/kg 15mg/kg diberikan 12 jam kemudian mg/kg

Kejang ( + ) Perawatan Ruang Intensif Pentobarbital IV 5-

bolus atau Midazolam 0,2

L. Rujukan Pasien kejang demam dirujuk atau dirawat di rumah sakit pada keadaan berikut: a. Kejang demam kompleks b. Hiperpireksia c. Usia dibawah 6 bulan d. Kejang demam pertama e. Dijumpai kelainan neurologis

M. Edukasi pada orang tua 6


20

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya bisa meninggal. Kecemasan ini harus dikruangi dengan cara : 1. Meyakinkan bahwa kejang demama umumnya benign 2. Memberikan cara penanganan kejang 3. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali 4. Terapi memang efektif mencegah rekurensi tetapi mempunyai efek samping. 5. Tidak ada bukti bahwa terapi akan mengurangi angka kejadian epilepsi

N. Beberapa hal yang harus dikerjakan, bila kembali kejang 6. 1. Tetap tenang dan tidak panik. 2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher 3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukan sesuatu ke dalam mulut. 4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang. 5. Tetap bersama pasien selama kejang. 6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti. 7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.

O. Prognosis Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak perlu menyebabkan kematian.2,3 Dua penyelidikan masing-masing mendapat angka kematian 0,46% dan 0,74%. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25%-50% yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.3

21

Berdasarkan kepustakaan lainnya, risiko berulangnya kejang apabila terjadi demam lagi kira-kira 40-50%. Angka kejadian berulangnya kejang meningkat apabila onsetnya kurang dari umur 19 bulan, riwayat kejang dalam keluarga positif, terdapat kelainan neurologis ( meskipun minimal), kejang awal gambarannya unilateral, kejang berhenti lebih dari 30 menit atau berulang karena penyakit yang sama.4 Apabila melihat kepada umur, jenis kelamin dan riwayat keluarga, lennoxBuchtal (1973) mendapatkan: Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50% dan pria 33%. Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang adalah 25%. Berdasarkan penelitian Livingston didapati golongan kejang demam sederhana hanya 2,9 % yang menjadi epilepsi dan dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam ternyata 97% yang menjadi epilepsi. Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari faktor: a. Riwayat kejang tanpa demam dalam keluarga. b. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam. c. Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal. Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut diatas, serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja (Consensus Statement on Febrile Seizure, 1981).

P. Pencegahan

22

Kejang bisa terjadi jika suhu tubuh naik atau turun dengan cepat. Pada sebagian besar kasus, kejang terjadi tanpa terduga atau tidak dapat dicegah. Dulu digunakan obat anti kejang sebagai tindakan pencegahan pada anak-anak yang sering mengalami kejang demam. Tetapi hal ini sekarang sudah jarang dilakukan. Kepada anak-anak yang cenderung mengalami kejang demam, pada saat menderita demam, bisa diberikan diazepam ( baik yang melalui mulut maupun melalui rektal).

BAB III KESIMPULAN 1. Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektaldiatas 38 o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam ini terjadi pada2 4 % anak berumur 6 bulan 5 tahun. 2. Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Ada riwayat kejang demamkeluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan kecenderungan genetik.Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus dan kadar natrium rendah. 3. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) berlangsung singkat, kurang dari 15 menitdan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80 % diantara seluruh kejang demam.

23

4. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) adalah kejang dengan salah satu ciri berikut : a. Kejang lama lebih dari 15 menit. b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial. c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam. 5. Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratoriumyang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. 6.Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkankemungkinan meningitis. 7. Diagnosis banding dari kejang demam adalah meningitis, ensefalitis, abses otak. 8.Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah

dilaporkan.Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. 9. Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. 10. Etiologi kejang demam hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkaninfeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi salurankemih. 11. Saat kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yangdiberikan secara intravena Dosis diazepam intravena adalah 0,3 0,5 mg/kgBB perlahan lahandengan kecepatan 1 2 mg/menit atau dalam waktu 3 5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. 12. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal.Dosis diazepam rektal adalah 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mguntuk berat badan lebih dari 10 kg.
24

13. Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejangdemam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. 14. Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg BB setiap 8 jam pada saat demam menurunkanresiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 % kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5mg/kg BB setiap 8 jam pada suhu > 38,5 o C. 15. Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam. 16. Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut(salah satu) : a. Kejang lama > 15 menit. b. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus. c. Kejang fokal d. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila : Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan. Kejang demam > 4 kali per tahun. 17. Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan resiko berulangnya kejang. Dosis asam valproat 15 40 mg/kgBB/hari dalam 2 3 dosis, danfenobarbital 3 4 mg/kgBB/hari dalam 1 2 dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebaskejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1 2 bulan

25

Daftar pustaka 1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNHAS/SMF Anak RSWS. Standar Pelayanan Medik. Makassar.2009 2. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta.2005 3. Soetomenggolo T. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta.1999 4. Anggriani H. Kejang Demam [internet]. 2009 september. [cited april 2010];92(5); Available from : http://kedokteran.unhas.ac.id/2009/pdf.article 5. Pusponegoro H. Kejang Demam Anak [internet].2008 april. [cited april 2010];104(30); Available From: http://kedokteran.ums.ac.id/2010/kejangdemam.html 6. Nelson KB, Ellenberg JH. Prognosis in febrile seizures. Pediatrics 1978; 7. Dokterku.net [internet]. Jakarta:dokterku.c2008- [cited april 2010]. Available from: http://www.dokterku.net/pediatri/2007/kejangdemam.html 8. Ikatan Dokter Anak Indonesia[internet];Jakarta;[update januari 2006;cited april 2010]; Available from : http://www.idai.or.id/kesehatananak/2009/artikel-kejangdemam.html

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman, Arvinka. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Vol 3. Edisi 15. EGC. Jakarta: 2000; 2. S, Soetomenggolo; Taslim; Ismail,S. Buku Ajar Neurologis Anak. Cetakan Kedua. BP. IDAI. Jakarta: 2000; Hal 244-251. 3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Buku Kuliah 2. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian IKA FK UI. Jakarta: 1985; Hal 847-855. 4. Mansjoer, A; Suprohaita; Wardhan, W.I; Setiowulan, W. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi Ketiga. Media Aesculapius. FK UI. Jakarta: 2000; Hal 434-437. 5. Mangunatmadja, Irawan; Hot Topics in Pediatrin II. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS. DR Cipto Mangunkusumo. Balai Penerbit FKUI: 2002 6. Ismael Sofyan; dkk; Konsensus Penanganan Kejang Demam; Unit kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2005 7. http://aappolicy.aappublication.org/cgi/content/abstract/pediatrics ; 8. http://www.prodigy.nhs.uk/guidance.asp?gt=febrile%20convulsion 9. www.health.nsw.gov.au/fcsd/rmc/cib/circulars/2004/cir2004-66.pdf 10.http://www.scribd.com/doc/46491709/Referat-Kejang-Demam 11.http://www.scribd.com/doc/60533552/Referat-Kejang-Demam 12.Lumbantobing, M,S; Kejang Demam (Febrile Convulsions) ; Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta : 2002 13.Sastroasmoro, S, dkk, Panduan Pelayanan Medis Departmen Ilmu Penyakit Anak. Cetakan Pertama. RSUP Nasional Dr Ciptomangunkusumo. Jakarta: 2007; Hal 252

27

You might also like