You are on page 1of 39

JAWABAN UJIAN BIONOMIKA TERNAK

Oleh :

Saripah Aini
12 212 0014

Dosen :

Prof. Dr. Ir. H. M. Hafil Abbas, MS

ILMU PETERNAKAN PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG, 2012

Jawaban Soal 1
KERAWANAN & KETAHANAN PANGAN PROTEIN HEWANI INDONESIA Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi dan standar kebutuhan masyarakat. fisiologis bagi pertumbuhan kesehatan

Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana alam maupun bencana sosial (transien). Kondisi rawan pangan dapat disebabkan karena : (a) tidak adanya akses secara ekonomi bagi individu/rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, (b) tidak adanya akses secara fisik bagi individu/rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, (c) tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan yang produktif individu/rumah tangga, (d) tidak terpenuhinya pangan secara cukup dalam jumlah, mutu, ragam, keamanan serta keterjangkauan harga. Kerawanan pangan dan kelaparan sering terjadi pada petani skala kecil, nelayan, dan masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam yang miskin dan terdegradasi. Kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang ditentukan tingkat pendapatannya. Rendahnya tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein. Secara definisi, Pasal I ayat 17 UU Pangan Nomor 7 Tahun 1996 mengartikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman,

merata, dan terjangkau. Sementara definisi ketahanan pangan yang secara resmi disepakati oleh para pimpinan negara anggota PBB, termasuk Indonesia, pada World Food Conference on Human Right 1993 dan World Food Summit 1996 adalah kondisi terpenuhinya gizi setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat. Kedua definisi formal di atas sama-sama menggunakan dimensi penyediaan dan pemenuhan konsumsi pangan sebagai indikator (rumah ketahanan tangga atau pangan. Perbedaannya cakupan waktu terletak (gizi pada dan atau kedalaman tujuan (dimensi pangan atau gizi), ketajaman sasaran individu), mutu keamanan/kesehatan), pertimbangan (temporer

berkelanjutan) dan pertimbangan nilai-nilai masyarakat setempat yang kondusif bagi kesehatan (budaya makan, pola pangan, kehalalan, dll.) Untuk dapat mencapai ketahanan pangan tersebut

diperlukan empat elemen yang mesti dipenuhi, yaitu : (a) tersedianya pangan yang sebagian besar merupakan produksi sendiri, (b) stabilitas dan kontinuitas ketersediaan pangan, (c) aksesibilitas dan keterjangkauan pangan secara memadai, dan (d) kualitas konsumsi yang sehat dan aman. Dewasa ini, masalah ketahanan pangan telah dijadikan agenda penting dalam pembangunan ekonomi bangsa. Karena, pembangunan ekonomi tidak bisa dilepas pisahkan dari masalah ketahanan pangan. Status ketahanan pangan pun sering dipakai sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Organisasi ketahanan pangan dunia (FAO) prioritas telah utama menjadikan program

pangan

sebagai

pembangunan bangsa-bangsa di dunia. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya Milenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan badan dunia PBB tahun 2000. Tujuan pertama dari

MDGs adalah pemberantasan kemiskinan dan kelaparan. Sudah jamak diketahui bahwa kemiskinan dan kelaparan sangat terkait dengan ketahanan pangan. Hubungan antara kemiskinan, kelaparan dan ketahanan pangan merupakan suatu agenda yang tidak pernah berakhir (the unfinished agenda). Berbicara tentang ketahanan pangan maka yang

dimaksudkan adalah meliputi pangan nabati dan pangan hewani. Pangan nabati masih saja berkutat pada ketersediaan beras nasional yang beberapa waktu lalu memicu kontroversi baik mengenai data maupun keputusan impor atau tidaknya beras. Sebagai bahan pangan pokok tunggal, beras menjadi bukan saja komoditas pangan tetapi menjadi komoditas politik juga. Oleh karenanya beberapa peneliti serta pengamat menganjurkan perlunya diversifikasi pangan sumber karbohidrat dan protein nabati. Sementara itu, pada pangan hewani sedang digalakkan peningkatan produksi dan konsumsi daging, telur dan susu yang kecenderungannya meningkat. Bahkan Delgado (1999) memprediksi bahwa konsumsi pangan hewani sedang dan akan terus meningkat pesat hingga tahun 2020 di negara sedang berkembang. Sayangnya peningkatan ini belum diimbangi dengan peningkatan produksi dalam negeri secara aman dalam istilah ketahanan pangan di atas. Hal ini terjadi karena selama ini produk pangan hewani tidak didasari pada basis industri hulu yang aman. Sebagaimana diketahui bahwa dalam industri peternakan, pakan merupakan variabel terbesar yaitu 70% dari biaya produksi. Sementara itu hingga saat ini bahan baku pakan ternak sebagian besar masih impor sehingga mudah dipahami bila harga dan kontinuitas produk sangat tergantung dengan impor. Beranjak dari hal inilah maka ketahanan pakan menjadi sangat penting dikaji.

Rata-rata

konsumsi

protein

per

kapita

penduduk

di

perkotaan relatif lebih baik dibandingkan di pedesaan. Data Susenas Tahun 1999 2005 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi protein per kapita di perkotaan bervariasi dari 49,32 sampai 55,26 gram/kap/hari, sedangkan di pedesaan bervariasi dari 48,24 sampai 55,28 gram/kap/hari. Berbeda dengan energi, konsumsi protein penduduk sudah mencukupi sejak tahun 2002, walaupun terjadi penurunan pada tahun 2004, namun protein yang dikonsumsi masih memenuhi anjuran. Rata-rata tingkat kecukupan protein telah mencapai diatas 100 persen dari anjuran. Meski demikian perlu dicatat bahwa sepanjang kecukupan energi masih belum terpenuhi, tingkat kecukupan konsumsi protein yang telah memenuhi kecukupan tersebut tetap belum dapat digunakan sebagai cerminan terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat. Apalagi bahwa sebagian besar konsumsi protein masyarakat diperoleh dari pangan sumber karbohidrat (utamanya beras). Seperti halnya Provinsi Banten, untuk meningkatkan

konsumsi protein hewani, dicanangkan Gerakan Mandiri Protein Hewani untuk menyosialisasikan pentingnya kandungan protein tersebut. Karena, protein asal ternak tidak akan tergantikan oleh produk pertanian dan sintesis. Dimana, salah satu manfaat nyata mengonsumsi protein hewani adalah untuk memicu peningkatan kecerdasan otak. Jika dibandingkan dengan nasional, tingkat konsumsi masyarakat Banten akan protein hewani masih sangat rendah, kata Gubernur Ratu Atut Chosiyah saat memberikan sambutan pada kegiatan pencanangan tersebut, sekaligus Workshop Bulan Bhakti Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Banten yang dilaksanakan Dinas Pertanian dan Peternakan di Aula Setda Pemprov Banten (2007).

Disebutkan,

perbandingan

tingkat

konsumsi

nasional

dengan Banten adalah : tingkat nasional konsumsi daging sebanyak 6,8 kg/kapita/tahun, Banten hanya 4,92/kapita/tahun. Untuk konsumsi telur, nasional sudah mencapai angka 4,1 kg/kapita/tahun, Banten baru 3,98 kg/kapita/tahun. Demikian pula dengan tingkat konsumsi susu, di tingkat nasional konsumsi susu telah mencapai angka 60,56 liter/kapita/tahun, Banten baru mencapai 6,5 liter/kapita/tahun. Terkait hal itu, melalui pencanangan Gerakan Mandiri Protein Hewani, Distanak Banten menyadarkan masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani. Protein hewani yang paling murah adalah telur. Melalui program tersebut, Provinsi Banten mencoba mengembalikan lagi tingkat kepercayaan masyarakat akan telur yang sempat menurun akibat isu flu burung beberapa waktu lalu. Masih soal rendahnya tingkat konsumsi protein hewani di Banten, Staf Ketahanan Pangan Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, Departemen Pertanian (Deptan), Tjuk Eko menyatakan, salah satu upaya yang akan ditempuh pemerintah pusat dalam meningkatkan konsumsi protein hewani tersebut, melalui penguatan kelambagaan di tingkat daerah. Di tiap daerah yang nantinya nantinya harus ada satu lembaga khusus yang terkait menangani soal konsumsi protein dimasyarakat. Lembaga ini melahirkan kebijakan-kebijakan peningkatan konsumsi akan protein dan kandungan gizi lainnya. Situasi keamanan pangan di Indonesia yang terdeteksi selama dua tahun terakhir (2005 - 2006), menunjukkan masih banyak dijumpai kejadian atau kasus ketidakamanan pangan. Berbagai kasus gangguan kesehatan manusia akibat mengkonsumsi pangan yang tidak aman oleh cemaran kimia, biologis berbagai mikroba termasuk yang membawa penyakit,

serta cemaran fisik telah terjadi di berbagai daerah dan bahkan tergolong sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Kasus-kasus pangan hewani yang terkena wabah penyakit antraks, penyakit flu burung, beredarnya bahan makanan dan minuman olahan tanpa izin edar dan melanggar ketentuan batas kadaluarsa, serta penggunaan bahan tambahan pangan terlarang yang dapat membahayakan kesehatan, atau bahkan dapat menyebabkan kematian perlu mandapat perhatian serius dalam penanganan kedepan. Kasus keamanan pangan yang paling banyak dijumpai adalah akibat keracunan pangan. Data KLB Keracunan Pangan tahun 2004 dan 2005 menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menunjukan bahwa pada tahun 2004 terdapat 152 kejadian KLB dengan jumlah orang yang keracunan pangan mencapai 16.301 orang, jumlah yang sakit 7.295 orang dan meninggal 45 orang. Kemiskinan memiliki keterkaitan erat dengan dengan kerawanan pangan dan aksesibilitas pangan. Pembangunan ketahanan pangan tahun 2000-2004 telah menampakkan hasil dengan berkurangnya penduduk miskin, dari 38,7 juta jiwa (19,1%) tahun 2000 menjadi 36,1 juta jiwa (16,7%) pada 2004. Meskipun jumlah kemiskinan secara absolut menurun, tetapi angka pengangguran jumlah di Indonesia penduduk cenderung miskin meningkat. jumlah Perkembangan dan

pengangguran disajikan dalam Sebagian besar penduduk miskin berada di pedesaan yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Penduduk di sektor pertanian menempati proporsi 55% dari total penduduk miskin, sekitar 75% di antaranya pada subsektor tanaman pangan, 7,4% pada perikanan laut, dan 4,6% pada peternakan. Penduduk miskin memiliki resiko tinggi dan rentan terhadap kerawanan pangan serta status gizi yang rendah.

Akibat yang jauh lebih besar dari kebijakan ini adalah krisis pangan yang melanda Indonesia. Jumlah permintaan yang besar tidak sebanding dengan produksi pangan yang dihasilkan. Bagi orang mampu/kaya mereka masih dapat menjangkau harga pangan di pasaran tapi bagi orang kecil yang sebagian besar mereka adalah produsen, harga pangan yang tinggi memaksa mereka mengurangi asupan gizi yang memadai bagi kesehatan mereka, bahkan akses terhadap pangan pun tertutup Faktor lain penyebab kerawanan pangan yaitu sistem distribusi pangan tidak efisien. Ini bisa dilihat dari price margin : perbedaaan harga riil di tingkat produsen dan konsumen. Price margin yang tinggi membuat insentif berproduksi produsen rendah. Bagi konsumen, itu membuat harga mahal dan tidak mendorong diversifikasi pangan. Sejak 2007, tingkat konsumsi energi dan protein sudah melampaui rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi : konsumsi energi 2.000 kkal/kapita/hari dan protein 52 gram/kapita/hari. Masalahnya, konsumsi energi masih bertumpu pada pangan sumber karbohidrat, terutama padi-padian dengan pangan lebih 60 persen (angka ideal 50 persen). Hal serupa terjadi pada konsumsi protein : pangsa protein dari pangan hewani rata-rata hanya 25 persen. Untuk mencapai kualitas sumber daya manusia yang baik dan bisa bersaing di era penuh kompetisi, idealnya pangsa protein hewani minimal 50 persen dari total konsumsi protein. Inilah yang membuat skor Pola Pangan Harapan (PPH) tidak beranjak jauh dari angka 80, jauh dari angka ideal (100). Pada tanggal 16 Oktober 2009 diperingati Hari Pangan Sedunia dengan tema Achieving Food Security in Times of Crisis . Di tingkat nasional, Indonesia memilih tema Memantapkan Ketahanan Pangan Nasional Mengantisipasi Krisis Global. Tema ini dipilih karena krisis kembar, krisis keuangan dan krisis

pangan, belum berakhir. Bagi Indonesia, dengan jumlah warga miskin 32,5 juta jiwa dan pengangguran bejibun, kasus kelaparan, busung lapar, dan gizi buruk akan selalu mengintai. Keadaan bisa saja terlihat normal, namun pelbagai manifestasi kelaparan itu terus berlangsung karena tidak semuanya kasat mata.

PEMBAHASAN SOAL 2
PERAN DALAM STRATEGIS SISTEM PETERNAKAN & RAKYAT INDONESIA PERLU

PERTANIAN

FAKTOR

YANG

DIPERHATIKAN Indonesia adalah Negara Agraris dimana masyarakatnya menggantungkan hidup dari hasil pertanian dan peternakan. Tak heran, jika peternakan menjadi salah satu sumber mata pencarian bagi masyarakat pedesaan, disamping pertanian. Jumlah penduduk yang mencapai + 220 juta jiwa merupakan konsumen potensial dan cukup besar dan masih tetap tumbuh sekitar 1,4% pertahun. Dengan ditunjang akan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang terkandung dalam komoditi peternakan membuat dunia peternakan memiliki prospek yang sangat besar. Pembangunan pembangunan reorientasi kebijakan peternakan dalam merupakan arti luas. bagian dari

pertanian

Dengan

adanya tertuang

pembangunan

sebagaimana

dalam program RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) maka pembangunan pertanian perlu melakukan pendekatan yang menyeluruh dan integratif dengan sub sektor yang lain dalam naungan sektor pertanian. Saat ini dunia sangat bergantung pada peternakan, tidak hanya sebagai sumber pangan hewani (daging dan susu), tetapi juga sebagai tenaga kerja, tabungan yang dapat diuangkan, uji

tangkas (hiburan), ternak korban, penghasil bahan organik berkualitas, produk ikutan/inedible byproducts (insulin, kortison, estrogen, kulit, perekat, bahan kancing, bahan lilin, sabun, plastik, pasta gigi), dan sumber energi alternatif (biogas). Dalam aspek pengentasan kemiskinan, subsektor

peternakan berperan sangat penting. Berdasarkan data dari Proyek Inpres Desa Tertinggal (IDT), komoditas yang dipilih sebagian besar (60-70%) adalah ternak. Begitu pula dalam Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI), semua lokasi kegiatan menghendaki adanya sistem usaha pertanian yang melibatkan ternak sebagai basis dalam sistem usaha pertaniannya (Kusnadi et al. 1986). Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa peternakan dapat menjadi sumber kesejahteraan bagi petani Indonesia. Dimana, peternakan mempunyai peran strategis dalam sistem pertanian dalam bentuk integrasi tani ternak, seperti sapi dengan kebun sawit, kambing dengan kebun kakao, itik dengan sawah, unggas dengan kolam ikan, dsb. Dengan catatan, kita harus memperhatikan dengan faktor kecocokan antara komoditi pertanian komoditi

peternakan yang akan diintegrasikan. Keterkaitan antara tanaman dan ternak diharapkan

memperkuat ketahanan pangan lokal, dan dalam UU No 7 tahun 1996 ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga (tersedia pangan cukup jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau). Tiga fungsi pokok yang diemban integrasi sistem tanaman ternak mencakup : (1) perbaikan pertumbuhan kesejahteraan ekonomi dan masyarakat, ketahanan (2) pangan, mendorong serta (3)

memelihara keberlanjutan lingkungan.

Pengembangan integrasi peternakan dengan usaha tani lainnya merupakan potensi yang cukup besar untuk mengembangkan usaha peternakan. Dengan mengintegrasikan kegiatan pemeliharaan ternak dengan usaha lainnya dapat memberikan efisiensi usaha. Pada sistem ini kotoran ternak dapat diolah menjadi pupuk organik yang sangat bermanfaat bagi peningkatan kesuburan tanah sehingga dapat mengurangi kebutuhan terhadap pupuk. Perpaduan sistem integrasi tanaman dengan ternak,

dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antara kegiatan tanaman dan ternak (resource driven) dengan tujuan daur ulang optimal dari sumberdaya nutrisi lokal yang tersedia ( Low External Input Agriculture Sistem atau LEIAS). Sistem yang kurang terpadu dicirikan dengan kegiatan tanaman dan ternak yang saling memanfaatkan, tetapi tidak tergantung satu sama lain (demand driven) karena didukung oleh input eksternal ( High External Input Agriculture Sistem atau HEIAS), (Dirjen Peternakan, 2009).

Menurut Handaka et al (2009), sistem integrasi tanaman ternak adalah suatu sistem pertanian yang dicirikan oleh keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam suatu kegiatan usahatani atau dalam suatu wilayah. Keterkaitan tersebut merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan petani dan pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman ternak dalam sistem usaha pertanian di suatu wilayah merupakan ilmu rancang bangun dan rekayasa sumberdaya pertanian yang tuntas. Keuntungan sistem integrasi tanaman ternak menurut Handaka et al (2009) adalah : (1) diversifikasi penggunaan

sumberdaya, penggunaan ramah

(2)

mengurangi kerja, (7) (4)

resiko

usaha,

(3)

efisiensi input (8)

tenaga

efisiensi

penggunaan produksi, dan

produksi, (5) mengurangi ketergantungan energi kimia, (6) lingkungan, meningkatkan pendapatan rumah tangga petani yang berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman ternak memadukan sistem usahatani tanaman dengan sistem usahatani ternak secara sinergis sehingga terbentuk suatu sistem yang efektif, efisien dan ramah lingkungan. Dengan integrasi tersebut maka akan tercipta sentra pertumbuhan peternakan baru dimana komoditi ternak dapat saja menjadi unggulan (solely) atau komoditi ternak hanya sebagai penunjang (mix faming). Tetapi bisa saja terjadi, ternak yang tadinya sebagai unsur penunjang kemudian secara bertahap menjadi unsur utama atau sebalikya. Prinsip dari teknologi integrasi tanaman dengan ternak ini adalah pengelolaan usaha pertanian yang dilaksanakan secara sinergi, dimana masing-masing usaha yang diintegrasikan satu sama lain Saling Mendukung, Saling Memperkuat dan Saling Ketergantungan dengan memanfaatkan secara optimal seluruh potensi sumberdaya yang dimiliki secara Zero Waste (tidak ada limbah). Dengan prinsip zero waste, terjadi siklus daur ulang limbah secara berkesinambungan. Selanjutnya, hasil pendauran limbah tersebut dimanfaatkan untuk peningkatan efisiensi usaha dan nilai tambah ekonomi bagi usaha-usaha yang diintegrasikan. Petani di pedesaan umumnya memiliki jenis usaha yang beragam di bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari pengamatan lapangan terlihat bahwa kebanyakan petani yang eksis dalam berusahatani tidak menggantungkan kehidupan mereka pada satu komoditi saja. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mereka memiliki lahan (tanaman semusim

dan atau tahunan), ternak (ruminansia, unggas, dan atau ikan), atau kedua-duanya (lahan dan ternak), walaupun jumlah kepemilikan lahan dan ternak tersebut relatif terbatas. Sistem integrasi tanaman perkebunan (kelapa sawit)

dengan ternak (sapi), dapat dijadikan salah satu alternatif potensial yang dapat dilaksanakan dalam upaya mendukung pengembangan agribisnis peternakan sekaligus agribisnis perkebunan di Indonesia. Dari aspek teknis, sistem integrasi tanaman perkebunan-ternak cukup aplikatif, dari aspek ekonomi dinilai cukup menguntungkan, dan dari aspek sosial cukup dapat diterima oleh masyarakat. Hasil-hasil penelitian dan pengkajian diberbagai tempat dan agroekologi juga menunjukkan bahwa pada umumnya integrasi tanaman dengan ternak, baik itu tanaman pangan, tanaman perkebunan maupun tanaman industri memberikan nilai tambah yang cukup signifikan. Sistem bahan integrasi pakan ini diharapkan dapat mendorong berkembangnya usaha peternakan dengan mengoptimalkan pemanfaatan yang berasal dari hasil sampingan dari tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan kehutanan. Menurut Chaniago (2009), tujuan integrasi kelapa sawit dengan ternak sapi adalah untuk mendapatkan produk tambahan yang bernilai ekonomis, peningkatan efisiensi usaha, peningkatan kualitas penggunaan lahan, peningkatan kelenturan usaha menghadapi persaingan global, dan menghasilkan lingkungan yang bersih dan nyaman. Dengan pola tersebut, keuntungan yang didapat

masyarakat menjadi berlipat. Untuk itu petani atau peternak tidak perlu lagi mencarikan rumput untuk pakan sapi sebab telah tersedia rumput hijau di areal perkebunan. Selain itu petani juga tidak perlu membersihkan rumput yang bisa saja mengganggu

pertumbuhan kelapa sawit. Pasalnya telah ada sapi yang merumputnya dan di sisi lain kotoran sapi juga bisa menjadi pupuk alami untuk menyuburkan sawit. Kegunaan lain adalah kotoran sapi bisa menjadi biogas yang digunakan untuk keperluan memasak. Ini merupakan langkah yang baik dilihat dari sisi perekonomian masyarakat. Menurut Ruswendi et al (2006), pemberian pakan solid (lumpur sawit yang dikeringkan) 1,3 kg/ekor/hari dan pelepah daun kelapa sawit 1,5 kg/ekor/hari memperlihatkan produktivitas Sapi Bali yang digemukkan hampir mencapai 2 kali lebih baik daripada Sapi Bali yang hanya diberi pakan hijauan, yakni masing-masing memperlihatkan pertambahan berat badan harian (PBBH) sebesar 0,267 kg/ekor/hari berbanding 0,139 kg/ekor/hari. Hal ini diperkuat oleh Sudaryono et al (2009), bahwa Sapi PO yang diberi pakan solid sebanyak 5 kg/ekor/hari dan hijauan memiliki pertambahan berat badan sebesar 0,378 kg/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan sapi yang mengkonsumsi pakan hijauan saja (0,199 kg/ekor/hari), disamping efisiensi tenaga kerja dalam mencari pakan hijauan mencapai 50%. Selanjutnya Sudaryono et al (2009) menambahkan bahwa hasil pengamatan pada 6 ha tanaman kelapa sawit rakyat setelah 6 bulan perlakuan pemberian pupuk (SP-36, KCl dan Urea) sebanyak 70% dari dosis anjuran dan kompos kotoran ternak sapi 20 kg/batang/tahun menunjukkan bahwa berat TBS rata-rata meningkat dari 9,3 kg menjadi 13,8 kg/tandan atau meningkat 48,2%. Diwyanto et al (2004) mengamati bahwa penggunaan Sapi Bali sebagai tenaga penarik gerobak ataupun untuk mengangkut TBS di PT. Agricinal Bengkulu telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan pemanen, penurunan biaya

tenaga

kerja,

serta

menghasilkan

kompos

yang

sangat

diperlukan untuk mengurangi biaya pemupukan.

PEMBAHASAN SOAL 3
REVOLUSI HIJAU (SUPPLY DRIVEN) DAN REVOLUSI

PETERNAKAN (DEMAND DRIVEN) Revolusi Hijau merupakan usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Mengubah dari pertanian tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi lebih maju. Masalah besar yang dihadapi Indonesia untuk memacu modernisasi adalah pangan dan kepadatan penduduk. Sampai 1960-an Indonesia masih menjadi salah satu importir beras terbesar. Ahli ekonomi dan ilmu sosial memahaminya sebagai akibat keterbelakangan teknologi dan laju pertambahan penduduk yang pesat. Untuk mengatasi masalah pertama pemerintah mengundang ahli pertanian dari berbagai negara dan sebaliknya mengirim tenaga dari Indonesia untuk mempelajari modernisasi sektor pertanian yang dikenal dengan sebutan revolusi hijau. Salah satu lembaga terpenting adalah International Rice Research Institute (IRRI) yang dibentuk di Filipina tahun 1960 dengan dukungan Yayasan Ford dan Rockefeller. Penguasa Orde Baru mulai bekerjasama dengan lembaga ini sejak Desember 1972 untuk mengembangkan alat bioteknologi, intensifikasi pertanian, pengendalian hama dan teknik mekanisasi pertanian. Banyak dari 832 ahli Indonesia lulusan IRRI antara 1963 dan 1997 yang kemudian menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. Di Indonesia, gerakan revolusi hijau tidak lepas dari peranan Clifford Geerts melalui tulisannya "Involusi Pertanian".

Geerts melihat bahwa pertanian di Indonesia saat itu mengalami apa yang disebutnya "involusi", suatu ungkapan untuk menyatakan bahwa perkembangan pertanian seperti "jalan di tempat". Menyadari akan fenomena tersebut disertai gencarnya gerakan revolusi hijau dunia, maka pemerintah orde baru meresponsnya dengan program intensifikasi pertanian. Maka dilaksanakanlah program Bimbingan Massal (Bimas), intensifikasi Massal (Inmas), Intensifikasi Khusus (Insus), Supra Insus dan seterusnya. Revolusi hijau di Indonesia dilakukan dengan Ekstensifikasi dan Intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi dengan perluasan areal. Terbatasnya areal, menyebabkan pengembangan lebih banyak pada intensifikasi. Intensifikasi dilakukan melalui Panca Usaha Tani, yaitu: 1. Teknik pengolahan lahan pertanian 2. Pengaturan irigasi 3. Pemupukan 4. Pemberantasan hama 5. Penggunaan bibit unggul Konsep Revolusi Hijau di Indonesia diatur oleh Supply Driven (pemberian layanan), yang artinya lebih banyak ditentukan dari sisi pemerintahan, bukan karena pengetahuan tentang apa yang diperlukan masyarakat. Keberhasilan program tersebut tidak lain karena dukungan penuh dari pemerintah. Institusi pertanian yang mendukung gerakan ini juga dibangun secara lebih tertata. Lembagalembaga riset dibidang pertanian digalakkan. Perguruan tinggi ikut terlibat dalam pelaksanaannya. Banyak jenis varietas baru dan konsep kebijakan dihasilkan oleh perguruan tinggi. Namun revolusi hijau menyisakan masalah yang tidak mudah untuk dipecahkan yakni kemandirian petani. Pemerintah orde baru tanpa terasa telah menciptakan ketergantungan petani yang

besar terhadap pemerintah. Pemerintah menentukan hampir semua aspek pengelolaan usaha tani. Melalui peraturan, petani tidak memiliki kebebasan untuk menanam komoditas yang diinginkan bahkan yang menguntungkan sekalipun. Petani lebih dipandang sebagai objek daripada sebagai subjek pembangunan. Akibatnya, setelah masa orde baru berlalu, maka petani menjadi kesulitan untuk mandiri. Dari fakta sejarah kita dapat melihat bahwa sejak Orde Baru berkuasa, sesungguhnya perekonomian Indonesia dikendalikan oleh satu sindikasi besar di bidang ekonomi, yang melibatkan ahli ekonomi Indonesia, pemilik modal, bankir, militer dan politisi dari dalam maupun luar negeri serta lembaga keuangan internasional. Lain halnya dengan revolusi hijau yang bersifat tawaran / supply driven, revolusi peternakan hadir dengan konsep demand driven yang artinya penyesuaian terhadap kebutuhan pengguna, dalam artian melakukan perubahan yang sangat mendasar. Pertama, cara kita memandang peternakan. Kedua, mereposisi peran peternakan dalam pembangunan. Ketiga, menyusun rencana aksi yang visioner dan berjangka panjang. Peran strategis peternakan yang utama adalah sebagai penyedia pangan berkualitas, yakni sebagai sumber protein hewani yang turut mencerdaskan bangsa, khususnya pada anak dan generasi penerus bangsa. Protein hewani merupakan faktor yang tidak bisa dihilangkan atau digantikan dalam menu makanan kita. Peternakan bisa dijadikan mesin pertumbuhan ekonomi kerja. Meski di masa krisis sempat mengalami kontraksi 13,5%, namun pada tahun 1999 mampu tumbuh 6,17%, yang berarti mendekati masa-masa kejayaan peternakan pada periode melalui kegiatan produktif yang berdaya saing, investasi yang berkesinambungan, dan penciptaan lapangan

dasawarsa 80-an yang mampu tumbuh 7%. Bahkan dalam sepuluh tahun terakhir, ketika sektor tanaman pangan hanya tumbuh 1,2%, peternakan masih tumbuh 3,6% per tahun dan diperkirakan tahun 2004 pertumbuhannya mencapai 5%. Akan tetapi, peran strategis ini tidak akan terwujud secara maksimal apabila Sebab, tidak didukung oleh perbaikan sangat ekonomi ditentukan secara oleh keseluruhan, terutama meningkatnya pendapatan masyarakat. pertumbuhan peternakan permintaan. Peran strategis peternakan Data juga berkaitan dengan

penanggulangan

kemiskinan.

terakhir

menunjukkan

persentase penduduk miskin di Indonesia 16,7%, sementara di pedesaan sendiri masih lebih tinggi yaitu 20,11%, yang tentunya sebagian besar mereka adalah petani dan buruh tani. Fakta di lapangan menunjukkan, umumnya petani kecil dan buruh tani, dengan adalah caranya sendiri telah tani memiliki mekanisme pangan untuk dengan bertahan hidup meski serba kekurangan. Yang banyak dilakukan memadukan usaha tanaman memelihara ternak, terutama ruminansia (hewan pemamah biak) kecil dan unggas. Organisasi Pangan Dunia (FAO) mencatat ternak

memberikan kontribusi yang signifikan pada lebih dari 70% penduduk miskin di dunia atau sekitar 700 juta orang. Semakin miskin, karena skala usaha tani yang sempit, sumbangan peternakan dalam terhadap pendapatan kemiskinan. berorientasi akan Terbukti semakin dari besar. Pemerintah selama ini kurang menyadari kontribusi peternakan menanggulangi yang programproduksi, programnya lebih peningkatan

namun sepatutnya secara sinergis bisa dikembangkan pula sebagai salah satu strategi dalam penanggulangan kemiskinan. Sudah banyak hasil kajian yang berkaitan dengan peran ternak yang sangat positif dalam penanggulangan kemiskinan,

bahkan efeknya ganda. Sayangnya, peran strategis peternakan sebagaimana diungkapkan di atas masih jauh panggang dari api. Masyarakat peternakan selama ini harus berjuang sendiri. Kebijakan makro-ekonomi yang selama ini ditempuh juga cenderung bias ke sektor ekonomi yang dianggap lebih modern. Apalagi dukungan sektor perbankan sangat kecil. Derasnya impor ilegal produk-produk peternakan, bencana wabah flu burung, dan selalu berulangnya penyakit antraks misalnya, menambah buruknya yang kesan tinggi wajah peternakan bahan Indonesia. pakan, Ketergantungan terhadap baku

langkanya ketersediaan bibit yang bermutu, dan masih sederet masalah lainnya yang sering menghias halaman berita surat kabar, sadar atau tidak, ikut menyumbang pada pembentukan citra, betapa suramnya peternakan kita. FAO sejak tahun 1999 memprediksi akan terjadinya perubahan signifikan pada sektor peternakan dunia. Ketika konsumsi daging dunia meningkat 2,9%, maka di negara-negara berkembang hanya sudah 1 melaju %. sampai 5,4%, bahkan di Asia Tenggara mencapai 5,6%. Sementara di negara-negara maju meningkat Sampai tahun 2020 diperkirakan pertumbuhan konsumsi daging negara-negara berkembang ratarata 2,8% per tahun, sementara di negara-negara maju hanya 0,6% per tahun.

Sektor peternakan merupakan urat nadi ekonomi rakyat yang mampu menyerap jutaan lapangan kerja. Untuk itu, langkah-langkah antisipatif sudah sepantasnya dilakukan pemerintah. Pengembangan peternakan dengan dua pola, yakni peternakan industri dan peternakan rakyat harus dilakukan secara proporsional, karena masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan.

Data terakhir Susenas tahun 2005 menunjukkan bahwa konsumsi protein yang berasal dari telur telah menunjukkan angka 23,4 kkal. Karakter perubahan permintaan tinggi seperti inilah yang menjadi ciri khas Revolusi Peternakan, sesuatu yang sangat berkontribusi pada pencapaian ketahanan pangan, kualitas sumber daya manusia, dan pembangunan ekonomi secara umum. Sektor peternakan memang mewarnai perubahan

konsumsi masyarakat dari sumber kalori berbasis karbohidrat menjadi berbasis kandungan protein tinggi. Sekitar 56% dari konsumsi daging di Indonesia berasal dari unggas, cukup jauh dibandingkan dengan angka konsumsi daging sapi yang hanya 23%. Walaupun demikian, angka konsumsi daging unggas yang hanya setara 4,5 kilogram per kapita per tahun itu jelas sangat rendah atau seperlima dibandingkan dengan konsumsi daging negara-negara maju. Para pejuang sektor peternakan masih harus berusaha keras meningkatkan laju konsumsi daging ini untuk menunjukkan peran nyata terhadap kualitas gizi dan protein masyarakat dan tentunya kecerdasan bangsa Indonesia secara umum. Sesuai dengan karakter yang lebih dinamis, Revolusi Peternakan permasalahan mensyaratkan lain, peningkatan aspek kapasitas sistem produksi dan distribusi yang lebih beradab serta antisipasi termasuk eksternal lingkungan kebijakan, perdagangan internasional, dan sebagainya.

PEMBAHASAN SOAL 3

KESULITAN PETERNAK KECIL UNTUK MENGEMBANGKAN DIRI DALAM USAHA TERNAK Usaha peternakan di Indonesia selama ini pada umumnya masih menghadapi kendala klasik, antara lain yaitu belum sepenuhnya dikelola secara intensif dengan teknologi maju dan dengan manajemen modern. Terlebih lagi pada usaha ternak rakyat (skala kecil), baik untuk usaha ternak unggas maupun usaha ternak ruminansia dan non ruminansia. Salah satu faktor yang menjadi kendala dalam perbaikan sistem usaha peternakan selama ini adalah keterbatasan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Perkembangan ekonomi dan arus global telah mendorong masyarakat mengonsumsi daging, telur, dan susu lebih banyak. Peluang ini oleh perusahaan multinasional telah direbut dengan memasukkan produk (susu dan daging), inovasi (industri ayam ras, industri pengolahan susu), dan bibit (ayam ras, babi, sapi). Kondisi ini menyebabkan perkembangan industri peternakan sangat bergantung pada impor bibit dan bakalan (ayam 100%, feeder cattle 400.000 ekor/ tahun), pakan (kedelai, jagung, tepung ikan, MBM), maupun teknologi pengolahan dan pemasaran (susu). Hal ini berdampak pada: (1) langsung maupun tidak langsung perkembangan usaha peternakan rakyat secara perlahan tapi pasti terhambat atau tergusur peranannya; (2) usaha peternakan semakin tidak mandiri dan rentan terhadap perubahan global; serta (3) margin per satuan unit usaha ternak semakin kecil. Inovasi impor dan efisiensi menuntut ketersediaan modal dan peningkatan skala usaha, yang ternyata sulit digapai oleh peternak kecil atau petani tradisional yang biasanya miskin. Sebagian besar usaha peternakan rakyat masih dikelola secara tradisional. Ini antara lain ditandai dengan pengelolaan usaha peternakan yang masih merupakan usaha sampingan,

hanya melibatkan anggota keluarga diluar pekerjaan utamanya, skala pemilikan ternak yang kecil, rendahnya pengetahuan dan ketrampilan beternak, dan belum menerapkan prinsip-prinsip ekonomi usaha. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi dan produktivitas usaha peternakan rakyat di Indonesia. Alhasil, disamping tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, produk peternakan rakyat juga tidak mampu bersaing dengan produk impor baik dalam harga maupun kualitas. Peningkatan nilai tambah (value added) dalam bidang peternakan masih sering dinilai belum dapat memberikan pertumbuhan yang inklusif. Pertumbuhan inklusif merupakan pertumbuhan yang tidak hanya menguntungkan para peternak atau pelaku usaha di bidang peternakan berskala besar, tetapi juga meningkatkan peran serta para peternak atau pelaku usaha berskala kecil. Strategi pembangunan peternakan yang bertujuan untuk menciptakan pertumbuhan yang inklusif dapat dilakukan dengan jalan menerapkan model pertumbuhan yang disertai dengan pemerataan (growth with equity) atau pertumbuhan yang berkualitas (quality economic growth). Pengembangan bisnis peternakan tidak serta merta secara otomatis mengurangi kemiskinan dan menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Bisnis di bidang peternakan memerlukan penyesuaian-penyesuaian tertentu dari para produsen. Bisnis di bidang peternakan merupakan bisnis yang menuntut pengelolaan yang intensif (management intensive), mempunyai resiko yang tinggi, baik karena penyakit maupun fluktuasi harga, dan produksi peternakan membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Dampak pertumbuhan dalam bisnis peternakan terhadap peternak berskala kecil bergantung pada bagimana para peternak di perdesaan berperan serta dalam pasar peternakan

yang

bernilai

tinggi

(high-value

commodity),

baik

secara

langsung sebagai produsen atau melalui pasar tenaga kerja. Upaya mendorong peran serta para peternak berskala kecil tersebut membutuhkan infrastruktur pasar, peningkatan kemampuan teknis peternak, instrumen manajemen risiko dan tindakan kolektif melalui berbagai organisasi produsen. Pengembangan bisnis dalam industri peternakan dari hulu sampai ke hilir dalam kenyataannya lebih banyak digerakkan oleh sektor swasta dan pasar. Sebagai implikasinya di bagian hilir, peranan supermarket yang mengandalkan manajemen rantai pasokan (supply chain management) yang baik merupakan suatu keniscayaan. Kualitas dan standar yang ditetapkan sering kali mempersulit para peternak berskala kecil bertindak sendiri-sendiri untuk mengambil bagian di pasar ini, sehingga perlu pertanian kontrak (contract farming) dan tindakan kolektif dari berbagai organisasi produsen yang ada. Di samping itu, kinerja pasar peternakan sering kali terganggu oleh infrastruktur yang buruk, jasa pendukung yang tidak memadai, dan kelembagaan yang lemah sehingga meningkatkan biaya transaksi dan volatilitas harga. Oleh karena itu, peran serta para peternak berskala kecil sangat tergantung dengan berfungsi atau tidaknya pasar peternakan tersebut secara efisien. Adapun kesulitan peternak kecil dalam mengembangkan dirinya dalam usaha ternak, antara lain : Kelemahan internal SDM rendah, penguasaan IPTEK kurang Kesejahteraan peternak rendah Kelembagaan petani lemah, tidak punya bargaining power Pemasaran dan pasar tidak merangsang bagi petani Sistem usaha tani tidak/belum terintegrasi Modal usaha sangat kurang, kalau ada mahal

Peranan BPPT sebagai intermediasi IPTEK belum nampak Pembibitan tidak berkembang kecuali pada ayam ras Sedangkan permasalahan sekaligus tantangan yang

sedang dan akan dihadapi dalam pembangunan peternakan adalah : Pembangunan peternakan masa lalu lebih difokuskan pada usaha tani dengan sasaran utama peningkatan produksi Pertumbuhan ekonomi dan penambahan penduduk akan meningkatkan permintaan produk ternak Tuntutan peningkatan kualitas dan kontinuitas produk peternakan yang benar-benar memiliki keunggulan dan daya saing yang tinggi Penyediaan dan penyebaran bibit unggul ternak belum memenuhi kebutuhan Pemotongan ternak betina produktif yang tidak terkendali Jarak kelahiran dan angka kelahiran belum sesuai dengan parameter teknis Disamping itu, dihadapkan pula pada kondisi realitas kurangnya dukungan permodalan melalui kredit dengan bunga khusus untuk usaha peternakan. Pengetahuan peternak terhadap teknologi dan pengelolaan usaha ternak dengan sistem dan usaha agribisnis masih perlu ditingkatkan. Pengetahuan petugas teknis peternakan dan penyuluh masih perlu ditingkatkan. Belum banyak pelaku dunia usaha (swasta, investor) yang mau berinvestasi penyediaan dalam pakan, bidang karena agribisnis peternakan. Semakin dan terbatasnya ketersediaan sumber daya alam seperti basis meningkatnya tuntutan kebutuhan pembangunan ekonomi yang semakin kompleks. Rendahnya produktivitas ternak, sebagian besar masih tergolong tradisional dengan tingkat efisiensi yang masih rendah, serta dihadapkan kepada berbagai penyakit mewabah dan bersifat

endemic. Lambatnya tingkat pertambahan populasi karena rendahnya daya reproduksi dan produktivitas serta angka kematian ternak yang tinggi mencapai 3%. Pembentukan kelompok petani ternak merupakan salah satu solusi yang tepat dalam meningkatkan pemberdayaan usaha peternakan rakyat di hampir seluruh wilayah kabupaten/kota. Berbagai aspek dalam usaha peternakan seperti pengadaan sarana produksi (bibit dan pakan), pencegahan penyakit ternak dan akses pemasaran dapat dilakukan secara berkelompok dan bergotong royong, yang pada gilirannya meningkatkan keuntungan dan pendapatan usaha. Untuk lebih meningkatkan keberdayaan kelompok petani peternak ini memang membutuhkan uluran tangan dari beberapa instansi dan dinas terkait.

PEMBAHASAN SOAL 4
PENYEBAB KEGAGALAN REVOLUSI HIJAU DI NEGARA

BERKEMBANG & LANGKAH-LANGKAH MENGATASINYA Ciri yang sangat menonjol dari revolusi hijau adalah penggunaan benih (varietas) unggul. Pada tahun 1967/ 1968 diluncurkan benih PB 5 dan PB 8 yang dikenal sebagai bibit ajaib karena hasilnya yang spektakuler. Disusul benih-benih unggul yang dikeluarkan oleh International Rice Research Institute (IRRI) yang ada di Filipina seperti IR 36, IR 48, IR 54, IR 64, dan lain-lain menggantikan bibit lokal seperti bengawan, rajalele, unus, mentik, cianjur, dsb. Benih unggul ini membutuhkan sistem pengairan yang teratur sehingga pembangunan infrastruktur irigasi dilakukan secara besar-besaran. Introduksi benih baru juga membawa konsekuensi baru dalam penggunaan input kimia secara besar-besaran dan berlebihan seperti pupuk Urea, TSP, KCL dan pestisida.

Sejalan dengan doktrin modernisasi, cara pertanian lama ditinggalkan (kadang dengan paksa) dan petani diharuskan menanam bibit keluaran lembaga penelitian itu yang bekerjasama dengan bisnis pertanian. Di satu pihak terjadi peningkatan produktivitas yang mencapai puncaknya pada swasembada pangan 1984, tapi di sisi lain sistem monokultur mengganggu keragaman hayati dan juga cara-cara tradisional yang ternyata lebih efektif untuk menghadapi situasi krisis. Komersialisasi pengetahuan dan teknik pertanian membuat semakin banyak petani yang tersingkir dari tanah mereka karena tidak mampu mengikuti tuntutan pasar yang semakin meluas, hingga berjuta petani di Indonesia : (1) kehilangan hak atas tanahnya. (2) Tak ada modal untuk bertani. (3) Semua harus dibeli. (4) Pupuk kimia, bibit hibrida, hingga pestisida: membuat mereka lebih sengsara. (5) Saat panen tiba, harga-harga dibanting semuanya. Lalu pedagang-pedagang dikota, berpesta pora menikmati rentenya. Disamping itu, lebih dari 8.000 varietas padi lokal yang dahulu tumbuh subur di Indonesia telah dirampas kepemilikannya dan disimpan di IRRI Filipina dengan hak cipta tertanda Amerika. Sejak tahun 90an, gerakan revolusi hijau seperti

mengalami titik balik. Kritik tajam hingga gerakan anti revolusi hijau kemudian bermunculan. Ongkos yang harus dibayar oleh program revolusi hijau ini adalah hilangnya institusi lokal, musnahnya keanekaragaman sumber daya hayati, menurunnya kualitas tanah, serta menurunnya kualitas lingkungan secara keseluruhan. Bahkan, meskipun revolusi hijau telah berhasil meningkatkan produktivitas menakjubkan, akan tetapi dan produksi pertanian secara gagal dalam meningkatkan

kesejahteraan petani dan kemandirian pertanian. Inilah ongkos terbesar yang harus dibayar karena pertanian di Indonesia menjadi sangat bergantung pada industri raksasa pertanian

dunia mulai dari pengadaan benih, pupuk, pestisida, hingga mesin-mesin pertanian. Apalagi hampir semua proyek-proyek besar pertanian (seperti pembangunan irigasi, pembelian alatalat pertanian, dll) harus dibayar dengan utang. Sejak saat itulah kemandirian bangsa menjadi sirna karena bangsa ini tidak lagi mampu menghasilkan sendiri sampai pada input dasar sekalipun. Berakar dari paparan sejarah tersebut, akhirnya Revolusi Hijau telah menjadi catatan hitam tersendiri pada bidang pertanian. Ia menjadi satu monster yang menakutkan. Menjadi momok yang menyebalkan dalam tatanan masyarakat. Merusak keragaman hayati. Merusak tanah dan lingkungan secara biologis, fisis dan kimiawi. Menciptakan ketergantungan pada pupuk dan pestisida. Sejalan dengan itu semua, dalam bidang pertanian banyak kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang dapat kita nilai sebagai sebuah kejahatan global. Beberapa diantaranya adalah dengan bantuan perusahaan transnasional seperti Syngenta, Monsanto dll, disini nyata bahwa mereka telah menjadi agen revolusi hijau. Indonesia telah dirusak sumber daya hayati yang terkandung di dalamnya melalui pemaksaan penggunaan pupuk dan pestisida berlebih. Untuk penggunaan pestisida, bukan hanya alam kita saja yang dirusak tapi tubuh kita pun dibuat hancur karenanya. Faktanya, banyak sarjanasarjana besar. Disamping itu, kebijakan revolusi hijau telah nyata-nyata menyebabkan kerusakan lingkungan secara masif. Tanah-tanah pertanian berkurang kesuburannya, hama-hama menjadi resisten terhadap pestisida sehingga membutuhkan pestisida lebih banyak lagi untuk membasminya, timbulnya penyakit-penyakit pertanian Indonesia yang bekerja di perusahaanperusahaan transnasional tersebut dengan iming-iming gaji yang

baru yang disebabkan residu bahan-bahan kimia, terganggunya ekosistem dan efek-efek tidak langsung bagi kesehatan manusia. SPI dan IHCS juga memandang kebijakan revolusi hijau dan liberalisasi perdagangan tidak akan bisa menyelesaikan krisis pangan global. Bahkan sebaliknya, kedua kebijakan tersebut telah menyebabkan ketidakadilan global. Fenomena ketidaksdilan global sudah terlihat jelas. Hal ini, juga dibenarkan oleh Direktur Jenderal FAO Jacques Diouf yang mengatakan bahwa miliaran dollar AS telah digunakan untuk memberi makan orang gemuk di negara-negara Barat, sedangkan jutaan orang lainnya kelaparan. Untuk keluar dari krisis pangan global ini, SPI dan IHCS memandang perlu dilaksanakannya hal-hal berikut: 1. Meningkatkan produksi pangan dunia dengan melakukan Pembaruan Agraria berupa membagi-bagikan tanah kepada petani, sehingga petani bisa memproduksi pangan secara masif, karena saat ini kepemilikan lahan petani di Indonesia hanya 0,3 hektar dan sebagian besar lainnya hanya buruh tani yang tidak punya lahan. 2. Berikan kepada petani hak untuk menentukan sendiri apa yang akan ditanam dan diproduksinya dalam rangka memenuhi keluarganya kebutuhan sendiri, domestiknya komunitas baik dan itu untuk kepentingan

nasionalnya. Kemudian pemerintah harus melindungi pasar domestik dari serbuan bahan pangan murah (dumping) dari luar negeri dan menindak spekulan besar. Artinya, pemerintah harus menegakkan kedaulatan pangan. 3. Adanya mekanisme internasional lewat PBB (instrumen HAM) yang memberikan tanggungjawab dan kewajiban negara dan perusahaan multinasional atas penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi petani.

4. Pemerintah

dan

gerakan

rakyat

di

Indonesia

harus

membangun persatuan negara-negara selatan (Asia, Afrika, dan Amerika Latin) untuk menentang ketidakadilan global yang dilakukan negara-negara utara yang operasionalnya dijalankan oleh perusahaan-perusahaan transnasional, IMF dan Bank Dunia.
5. PBB

dan

negara-negara

harus

menguji

kewajiban

ekstranasional negara (yaitu kewajiban negara terhadap warga negara dari negara lain). Dalam konteks kewajiban ekstranasional, kewajiban untuk menghormati Hak atas Pangan berarti, Negara harus mengambil tindakan atas segala dampak negatif terhadap Hak atas Pangan yang dirasakan orang di negara lain, dan harus memastikan bahwa hubungan dagang tidak merusak Hak atas Pangan dari orang yang hidup di negara lain. Kewajiban untuk melindungi, kewajiban berimplikasi untuk bahwa Negara pengaturan mempunyai terhadap melakukan

perusahaan dan dunia usaha yang beroperasi di negara lain dalam usaha mencegah kekerasan. Fakta yang terjadi dilapangan adalah, bahwa perwakilan Bank Dunia di Indonesia telah menyatakan keberatannya terhadap usulan Tim Pengkajian Kebijakan Perberasan Nasional tentang Pembatasan impor. Sikap Bank Dunia dipertegas lagi oleh ekonom Neil McColloch pada awal beras 2004, yang bahwa terbuka. sesungguhnya rakyat miskin akan disejakterakan jika pemerintah menerapkan kebijakan perdagangan Caranya dengan menghapus bea masuk impor atau setidaknya menetapkan bea masuk yang rendah. Dan ini sejalan dengan yang dilakukan IMF pada Maret 1999 yang menekan pemerintah untuk menurunkan bea masuk impor beras maksimal 5 persen.

Sesungguhnya petani Indonesia khususnya petani di luar Jawa saat ini secara tidak sengaja dan di luar kesadarannya telah melakukan perlawanan terhadap apa yang selama ini di percayai sebagai revolusi hijau. Mereka adalah petani-petani yang tidak menjadi target ataupun turut serta dalam revolusi hijau dan akhirnya tetap melakukan pertanian dengan cara yang konvensional. Dilain pihak banyak petani yang tidak sanggup membeli pupuk dan pestisida akibat pencabutan subsidi oleh pemerintah. Disini terlihat jelas bahwa sesungguhnya pertanian organik memiliki arti yang penting dalam masyarakat Indonesia. Sehingga pentinglah digagas suatu Gerakan Pertanian Organik sebagai alternatif perlawanan terhadap dominasi Revolusi Hijau dalam hal ini ketergantungan terhadap pupuk kimia, pestisida dan bahan-bahan pertanian lainnya yang sejenis. Awalnya, gerakan organik diragukan keberhasilannya. Hal ini persis seperti yang diungkapkan oleh Kepala Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor, yang mendukung habishabisan revolusi hijau sebagai gerakan yang penting di dunia pertanian Indonesia. Ia pun berpendapat bahwa pertanian organik tidak akan sanggup mengatasi masalah bertambahnya kebutuhan bahan pangan seperti yang diramalkan Maltus. Masih katanya, bahwa pertanian organik tidak efektif dalam mengatasi kelaparan sebab membutuhkan masukan organik yang banyak. Disisi lain, dia lupa bahwa Gerakan Revolusi Hijau telah menghancurkan tatanan dan kearifan-kearifan lokal yang dilakukan petani zaman dulu. Petani telah dibuatnya lupa akan pentingnya memanfaatkan sisa-sisa panen untuk diolah kembali menjadi bahan organik yang dibutuhkan tanah. Tanah telah dibuatnya Pengolahan rusak tanah dengan asupan pupuk kimia berlebih. telah menggunakan mesin-mesin berat

mengakibatkan

tanah-tanah

pertanian

menjadi

padat.

Dan

penggunaan pestisida yang gila-gilaan telah membuat musuhmusuh alami yang berguna dalam rantai makanan hilang. Sebetulnya ditingkat nasional, gerakan pertanian organik telah disepakati untuk menjadi gerakan industrialisasi pedesaan yang berkelanjutan. Petani diyakini sejahtera setelah lepas dari ketergantungan terhadap benih, pupuk, dan pestisida (Kompas, 25 November 2006). Yang paling hebat, saat ini gerakan pertanian organik telah didukung oleh banyak pihak. Bahkan organisasi-organisasi non pemerintah yang membela kaum tani banyak bermunculan. Gerakan Pertanian Organik seolah-olah menjadi sebuah ideologi baru sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni perusahaan-perusahaan transnasional seperti Syngenta, Monsanto, dan sejenisnya yang nyata-nyata telah merusak pertanian secara khusus dan lingkungan Indonesia secara umumnya. Begitulah, kita kadang terlalu naif membiarkan diri kita menikmati asupan-asupan makanan yang mengenyangkan. Padahal banyak petani Indonesia yang diakhir panennya hanya mampu mengkonsumsi timun dan kerupuk saja.

PEMBAHASAN SOAL 5
LEVELING OFF, SUSTAINABLE LIVESTOCK DEVELOPMENT, LEISA, DAN INTEGRATED FARMING YANG BERPRINSIP ZERO WASTE Teknologi genetika memicu terjadinya Revolusi Hijau

(green revolution) yang sudah berjalan sejak 1960-an. Dengan adanya Revolusi Hijau ini terjadi pertambahan produksi pertanian yang berlipat ganda sehingga tercukupi bahan makanan pokok asal serealia. Revolusi hijau (green revolution) telah menjadi "icon" dalam pembangunan pertanian pada awal tahun tujuhpuluhan hingga delapan puluhan. Revolusi hijau dianggap sebagai "juru selamat" bagi sektor pertanian, khususnya di negara berkembang yang kala itu dicirikan oleh: produktivitas rendah, umur panjang, pertumbuhan yang rendah serta kesejahteraan petani yang minim. Oleh karena itu, tanpa revolusi hijau sulit dibayangkan memberi meningkat. Yang menarik adalah bahwa sekarang ini terjadi lagi involusi pertanian. Sebut saja involusi pertanian II, yang ternyata bagaimana bagi produksi pertanian yang akan mampu semakin makan penduduk jumlahnya

lebih parah lagi dibanding yang pertama. Involusi tidak hanya terjadi tingkat usaha tani, bahkan nampak akan tetapi juga dinas tinggi terjadi di pemerintahan penyuluh sekalipun. (departemen pertanian), pendidikan sekali : pertanian, pertanian yang

pertanian, Ciri-cirinya

produktivitas

stagnan, kesejahteraan petani tak kunjung tiba, perkembangan pertanian jalan di tempat serta institusi pertanian yang mandeg. Gejala ini sudah bisa dideteksi sejak pertengahan tahun 1990. Saat itu telah banyak ahli pertanian yang menengarai terjadinya kejenuhan (levelling off) di sektor pertanian. Sejalan dengan itu semua, dalam bidang pertanian banyak kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang dapat kita nilai sebagai sebuah kejahatan global. Salah satunya, Indonesia telah dirusak sumber daya hayati yang terkandung di dalamnya melalui pemaksaan penggunaan pupuk kimia dan pestisida berlebih. Untuk penggunaan pestisida, bukan hanya alam kita saja yang dirusak tapi tubuh kita pun dibuat hancur karenanya dan menyebabkan munculnya hama strain baru yang resisten. Pestisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker. Bahkan jika ibu hamil mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung residu pestisida, maka janin yang dikandungnya mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat. Penggunaan pestisida juga menyebabkan terjadinya peledakan hama suatu keadaan yang kontradiktif dengan tujuan pembuatan pestisida karena pestisida dalam dosis berlebihan menyebabkan hama kebal dan mengakibatkan kematian musuh alami hama yang bersangkutan. Namun, mitos obat mujarab pemberantas hama tetap melekat di sebagian petani. Mereka tidak paham akan

bahaya pestisida. Hal ini disebabkan karena informasi yang sampai kepada mereka adalah jika ada hama, pakailah pestisida merek A. Para petani juga dibanjiri impian tentang produksi yang melimpah-ruah jika mereka menggunakan pupuk kimia. Para penyuluh pertanian adalah antek-antek teknologi pedagang ini. yang mempromosikan keajaiban modern Penyuluh

pertanian tidak pernah menyampaikan informasi secara utuh bahwa pupuk kimia sebenarnya tidak dapat memperbaiki sifatsifat fisika tanah, sehingga tanah menghadapi bahaya erosi. Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus juga akan mempercepat habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pupuk buatan dari tahun ke tahun terus menurun. Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian. Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama,

kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah. Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat. Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani. Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat : 1. Berbagai organisme penyubur tanah musnah 2. Kesuburan tanah merosot / tandus 3. Tanah mengandung residu (endapan pestisida) 4. Hasil pertanian mengandung residu pestisida 5. Keseimbangan ekosistem rusak 6. Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama. Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri. Namun dalam revolusi hijau, petani tidak boleh mem-biakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan bibit

padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini. Dalam development menanggapi melalui permasalahan-permasalahan integrasi yang

ditimbulkan revolusi hijau, perlu dilakukan sustainable livestock pengembangan peternakan dengan usaha tani lainnya. Dengan mengintegrasikan kegiatan pemeliharaan ternak dengan usaha lainnya dapat memberikan efisiensi usaha. Pada sistem ini kotoran ternak dapat diolah menjadi pupuk organik yang sangat bermanfaat dapat bagi peningkatan kesuburan tanah sehingga mengurangi

kebutuhan terhadap pupuk kimia. Perpaduan sistem integrasi tanaman dengan ternak,

dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antara kegiatan tanaman dan ternak (resource driven) dengan tujuan daur ulang optimal dari sumberdaya nutrisi lokal yang tersedia ( Low External Input Agriculture Sistem atau LEIAS). Sistem yang kurang terpadu dicirikan dengan kegiatan tanaman dan ternak yang saling memanfaatkan, tetapi tidak tergantung satu sama lain (demand driven) karena didukung oleh input eksternal ( High External Input Agriculture Sistem atau HEIAS), (Dirjen Peternakan, 2009). Prinsip dari teknologi integrasi tanaman dengan ternak ini adalah pengelolaan usaha pertanian yang dilaksanakan secara sinergi, dimana masing-masing usaha yang diintegrasikan satu sama lain Saling Mendukung, Saling Memperkuat dan Saling Ketergantungan dengan memanfaatkan secara optimal seluruh potensi sumberdaya yang dimiliki secara Zero Waste (tidak ada limbah). Dengan prinsip zero waste, terjadi siklus daur ulang limbah secara berkesinambungan. Selanjutnya, hasil pendauran limbah tersebut dimanfaatkan untuk peningkatan efisiensi usaha

dan nilai tambah ekonomi bagi usaha-usaha yang diintegrasikan, salah satunya integrasi tenak sapi dengan kebun sawit. Sistem integrasi tanaman perkebunan (kelapa sawit)

dengan ternak (sapi), dapat dijadikan salah satu alternatif potensial yang dapat dilaksanakan dalam upaya mendukung pengembangan agribisnis peternakan sekaligus agribisnis perkebunan di Indonesia. Dari aspek teknis, sistem integrasi tanaman perkebunan-ternak cukup aplikatif, dari aspek ekonomi dinilai cukup menguntungkan, dan dari aspek sosial cukup dapat diterima oleh masyarakat. Dengan pola tersebut, keuntungan yang didapat

masyarakat menjadi berlipat. Untuk itu petani atau peternak tidak perlu lagi mencarikan rumput untuk pakan sapi sebab telah tersedia rumput hijau di areal perkebunan. Selain itu petani juga tidak perlu membersihkan rumput yang bisa saja mengganggu pertumbuhan kelapa sawit. Pasalnya telah ada sapi yang merumputnya dan di sisi lain kotoran sapi juga bisa menjadi pupuk alami untuk menyuburkan sawit. Menurut Ruswendi et al (2006), pemberian pakan solid (lumpur sawit yang dikeringkan) 1,3 kg/ekor/hari dan pelepah daun kelapa sawit 1,5 kg/ekor/hari memperlihatkan produktivitas Sapi Bali yang digemukkan hampir mencapai 2 kali lebih baik daripada Sapi Bali yang hanya diberi pakan hijauan, yakni masing-masing memperlihatkan pertambahan berat badan harian (PBBH) sebesar 0,267 kg/ekor/hari berbanding 0,139 kg/ekor/hari. Hal ini diperkuat oleh Sudaryono et al (2009), bahwa Sapi PO yang diberi pakan solid sebanyak 5 kg/ekor/hari dan hijauan memiliki pertambahan berat badan sebesar 0,378 kg/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan sapi yang mengkonsumsi pakan hijauan saja (0,199 kg/ekor/hari), disamping efisiensi tenaga kerja dalam mencari pakan hijauan mencapai 50%.

Selanjutnya Sudaryono et al (2009) menambahkan bahwa hasil pengamatan pada 6 ha tanaman kelapa sawit rakyat setelah 6 bulan perlakuan pemberian pupuk (SP-36, KCl dan Urea) sebanyak 70% dari dosis anjuran dan kompos kotoran ternak sapi 20 kg/batang/tahun menunjukkan bahwa berat TBS rata-rata meningkat dari 9,3 kg menjadi 13,8 kg/tandan atau meningkat 48,2%.

DAFTAR PUSTAKA

Chaniago, T. 2009. Perspektif Pengembangan Ternak Sapi di Kawasan Perkebunan Sawit. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Kebijakan Pengembangan Sapi Potong di Indonesia. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, I.W. Mathius, dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit Sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 11-22. Handaka, A. Hendriadi, dan T. Alamsyah. 2009. Perspektif Pengembangan Mekanisasi Pertanian dalam Sistem Integrasi Ternak Tanaman Berbasis Sawit, Padi, dan Kakao. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Kusnadi, U., D. Sugandi, A. Gozali N., B.R.Prawiradiputra, dan D. Muslich. 1986. Produktivitas Ternak Dalam Usahatani Tanaman Ternak Di Daerah Transmigrasi Batumarta. hlm. 41-54. Risalah Lokakarya Pola Usahatani, Bogor 2-3 September 1986. Buku I Tanaman/ Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan IDRC.

Manti, I., Azmi, E. Priyotomo, dan D. Sitompul. 2004. Kajian Sosial Ekonomi Sistem Integrasi Sapi dengan Kelapa Sawit (SISKA). Lokakarya Nasional Kelapa Sawit Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 245-260. Ruswendi, W.A. Wulandari, dan Gunawan. 2006. Pengaruh Penggunaan Pakan Solid dan pelepah Kelapa Sawit terhadap Pertambahan Bobot Badan Sapi Potong. Prosiding Lokakarya Hasil Pengkajian Teknologi Pertanian. BBP2TP Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 105-108. Sudaryono, T., Ruswendi, dan U.P. Astuti. 2009. Keragaan Sistem Integrasi Sapi dengan Tanaman Sawit di Bengkulu. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

You might also like