You are on page 1of 62

TUBERCULOSIS PARU 1.1. Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).

Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2011) Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2011). Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan yang sangat tua, bahkan lebih tua daripada sejarah manusia. Dunia medis baru mengenal sosok kuman TB setelah Robert Koch berhasil mengidentifikasinya pada abad ke-19, yaitu pada tanggal 24 Maret 1882 yang kemudian diperingati sebagai hari TB sedunia. Hingga saat ini TB masih tetap merupakan masalah kesehatan dan justru semakin berbahaya , sehingga disebut sebagai the re-emerging disease.

1.2 Epidemiologi Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia (2 triliyun manusia) terinfeksi dengan Mycobakterium tuberculosis. Angka infeksi tertinggi di Asia Tenggara, Cina, India, Afrika, dan Amerika Latin. Tuberculosis terutama menonjol di populasi yang mengalami stress, nutrisi jelek, penuh sesak, perawatan kesehatan yang kurang dan perpindahan penduduk. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.

Gambar 1. Insidens TB didunia (WHO, 2004) Data terbaru yang dikeluarkan WHO pada bulan Maret 2009 dalam Global TB Control Report 2009, menunjukkan bahwa pada tahun 2008, prevalensi TB dunia adalah 5-7 juta kasus, baik kasus baru maupun kasus relaps. Dari prevalensi ini, 2,7 juta diantaranya adalah kasus basil tahan asam (BTA) positif baru, dan 2,1 juta kasus BTA (-) baru. Tuberkulosis di Indonesia menduduki urutan kelima setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria dalam jumlah penderita TB di dunia (WHO 2009). Menurut WHO dalam Global TB Control Report (2009), prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2008 adalah 296.514 ribu kasus baru maupun relaps. Angka insidensi kasus baru BTA positif TB di Indonesia berdasarkan hasil survei Depkes RI tahun 2007 pada 33 propinsi adalah 104 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2011). Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007 dalam Depkes RI (2011), menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler (stroke) pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 2008, angka temuan kasus baru (Case Detection Rate/CDR) di Indonesia sebesar 72,8% atau didapati 166.376 penderita baru dengan BTA positif. Angka kesembuhannya (Success Rate/SR) 89%. Hal ini melampaui target global, yaitu CDR 70% dan SR 85% (Depkes RI, 2011). Penyebab paling penting peningkatan TB adalah kemiskinan, ketidakpatuhan terhadap program, diagnosis dan pengobatan yang tidak adekuat, migrasi, endemic Human Immunodefisiency Virus (HIV), dan resistensi ganda (Multi Drug Resistance/MDR) (WHO, 2009). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat. Menurut data yang dikeluarkan WHO pada bulan Maret 2009, menunjukkan bahwa pada tahun 2008 angka kematian penderita TB adalah 1,1-1,7 juta pada penderita TB dengan HIV(-) dan 0,45-0,62 juta pada penderita TB dengan HIV(+). Pada tahun 2007 diestimasikan terdapat setengah juta kasus MDR (multi drug ressistance). Di Indonesia sendiri pada tahun 2007 terdapat 446 kasus yang terbukti MDR TB (7,5%) (WHO, 2009; USAID/Indonesia 2009). Resistensi obat terjadi karena buruknya kontrol TB dan adanya beberapa penyakit penyerta yang lain seperti HIV/AIDS dan diabetes melitus (PDPI, 2006).

1.3. Etiologi Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan 2. Mycobacterium tuberculosis memiliki dinding yang sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian peptidoglikan dan arabinomannan (seperti yang tampak pada gambar 2). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan\ kimia dan fisis. Kuman dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin ( dapat tahan bertahun - tahun dalam lemari es ) dimana kuman dalam keadaan dormant. Dari sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi.

Gambar Mycobacterium tuberculosis Kuman hidup sebagai parasit intraselular (obligat) yakni dalam sitoplasma makrofag di dalam jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis. Cara Penularan Sumber penularan infeksi Mycobacterium tuberculosis adalah pasien TB dengan BTA positif. Penularan ini terjadi secara inhalasi, yaitu bila pasien tersebut batuk atau bersin, pasien akan menyebarkan kuman udara dalam bentuk percikan dahak ( droplet nuclei). Sekali penderita TB BTA (+) batuk, akan dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Depkes RI, 2011).

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Percikan ini dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan ruangan yang gelap dan lembab. Sedangkan ventilasi yang baik, akan dapat mengurangi jumlah percikan, dan sinar matahari langsung dapat membunuh kuman TB (Depkes RI, 2011). Risiko Penularan Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. Faktor Yang Memengaruhi Kejadian Penyakit TB Untuk terpapar penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin, dan factor toksis untuk lebih jelasnya dapat kita jelaskan seperti uraian dibawah ini : 1. Umur Insidensi tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai pada usia dewasa muda, pada usia produktif, yaitu umur 15 44 tahun (Crofton, 2002). Berdasarkan penelitian kohort Gustafon, et all (2004) terdapat suatu efek dosis respon, yaitu semakin tua umur akan meningkatkan risiko menderita tuberculosis dengan odds rasio pada usia 25-34 tahun adalah 1, 36 dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun adalah 4,08. Di Indonesia sendiri diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif (Depkes, 2011). Usia yang lebih tua, melebihi 60 tahun, memiliki 4-5 kali risiko terinfeksi tuberculosis karena adanya defisit imun seiring dengan bertambahnya umur (Rao, 2009). Namun, berdasarkan penelitian meta analisis Guzman (1999) tidak ada perbedaan gejala klinis dan evaluasi diagnostik pada penderita TB dengan usia tua (> 60 tahun) dan penderita TB dengan usia muda.

2. Jenis Kelamin Hampir tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas. Namun, menurut penelitian Gustafon P., et al (2004) menunjukkan bahwa lakilaki mempunyai risiko 2,58 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan wanita. Mungkin hal ini berhubungan interaksi sosial. Walaupun insisden tuberkulosis paru pada wanita lebih rendah dari pada pria, perkembangan infeksi TB paru menjadi penyakit TB paru pada wanita lebih cepat dibandingkan dengan pria (WHO, 2005). 3. Gizi Terdapat bukti yang jelas bahwa gizi buruk mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit tuberkulosis. Faktor ini sangat penting, baik pada orang dewasa maupun pada anak (Crofton, 2002). Menurut Hernilla, et all. (2006) dalam Desmon (2006), orang yang menkonsumsi vitamin C lebih dari 90 mg/hari dan mengkonsumsi lebih dari rata-rata jumlah sayuran, buah-buahan, dan berry, secara signifikan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit tuberkulosis. 4. Kondisi Lingkungan Rumah Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi lingkungan rumah dalam risiko kejadian infeksi tuberkulosis adalah kepadatan rumah, intensitas cahaya yang masuk, dan kelembapan udara (Crofton, 2002). Persentase rumah tangga di Indonesia yang masih tinggal di rumah yang padat pada tahun 2004 adalah sebesar 20% (Desmon, 2006). Menurut Dahlan (2001) dalam Desmon (2006), orang yang tinggal dengan tingkat kepadatan yang tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko 3,8 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat kesehatan. Menurut Supriyanto (1997) dalam Desmon (2006), luas lantai yang dibutuhkan oleh 1 orang adalah 8,3 m2. Intensitas cahaya yang alami, yaitu sinar matahari, sangat berperan dalam penularan kuman TB karena kuman TB relatif tidak tahan terhadap terhadap sinar matahari (Depkes, 2006). Menurut Musadad (2006) dalam Desmon (2006), rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko 3,7 kali untuk menularka tuberkulosis dibandingkan dengan rumah yang tidak dimasuki sinar matahari Kelembapan udara mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Menurut Desmo (2006) kelembapan udara dipengaruhi oleh ventilasi yang baik, yaitu minima 10% dari luas lantai. Menurut Mulyadi (2003) dalam Desmon (2006), rumah yan memiliki kelembapan lebih dari 60% memiliki risiko terkena infeksi tuberkulosi 10,7 kali dibandingkan dengan rumah yang kelembapannya lebih kecil dari 60%.
5

5. Pendidikan Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau masyarakat dan perilaku terhadap penggunaan/sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (Notoatmojo, 1993). Proporsi kejadian TB lebih banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai pendidikan yang rendah, dimana kelompok ini lebih banyak mencari pengobatan tradisional dibandingkan pelayanan medis (Desmon, 2006). 6. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan penyakit, karena dengan pendapatan yang cukup maka akan ada kemampuan menyediakan biaya kesehatan serta mampu menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan makanan yang bergizi (Desmon, 2006). Kemiskinan memudahkan infeksi tuberkulosis berkembang menjadi penyakit tuberkulosis. Sembilan puluh persen penderita TB terjadi pada penduduk dengan status ekonomi rendah dan umumnya terjadi pada negara berkembang termasuk Indonesia (Crofton, 2002). Menurut Ibu Pertiwi (2004) dalam Desmon (2006), orang yang memiliki penghasilan yang rendah memilki risiko 2,4 kali untuk menderita penyakit TB dibandingkan dengan orang yang memiliki penghasilan yang tinggi. 7. Riwayat Penyakit Penyerta Beberapa penyakit penyerta tertentu rentan tertular penyakit tuberculosis seperti penderita penyakit HIV/AIDS, hepatitis akut, kelainan hati kronik, gangguan ginjal, diabetes melitus, dan penderita pengguna kortikosteroid (Depkes, 2006; Zevitz. 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Tanjung (1998) mendapatkan bahwa dari 733 penderita TB paru, penderita juga menderita diabetes melitus 11,7 %, hipertensi 9,28%, kelainan hati 2,7%, kelainan jantung 1,9%, kelainan ginjal 0,9% dan struma 0,4%. Penderita diabetes melitus memiliki risiko 2-3 kali lebih sering untuk terkena penyakit tuberkulosis paru. Efek hiperglikemi pada penderita diabetes mellitus sangat berperan terhadap mudahnya pasien diabetes mellitus terkena infeksi (Crofton, 2002). Pada penderita TB paru dengan diabetes mellitus, kepekaan terhadap kuman TB meningkat, reaktifitas fokus infeksi lama, cenderung lebih banyak kavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih banyak positif (Utami, 2005). Selain itu, pasien dengan TB dengan diabetes melitus memiliki respon yang rendah terhadap pengobatan OAT dan sering terjadi multi-drug resistant (Rao, 2009).

Meningkatnya prevalensi HIV/AIDS di Indonesia membawa dampak peningkatan insidens TB serta masalah TB lainnya, seperti TB milier, TB ekstraparu, serta MDR-TB. Adanya imunokompromais pada penderita HIV/AIDS menyebabkan mudahnya penderita tersebut terinfeksi kuman TB dan cepatnya perkembangan infeksi TB menjadi penyakit TB (Rahajoe & Setyanto, 2008). Risiko Menjadi Sakit TB Paru Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif. Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas system daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti TB, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula. 1.4. Anatomi Sistem Respirasi

Anatomi sistem pernapasan meliputi : Saluran Nafas Atas: 1. Cavum Nasi Di dalam cavum nasi terdapat struktur dinding,concha nasalis, meatus nasi, sinus paranasalis ,vascularisasi (pembuluh darah) dan innervasi (saraf). Apabila dilihat dilihat dari anterior terdapat nares anterior dan apabila dilihat dari posterior tedapat choanae dan juga terdapat septum nasi.Pada dinding lateral dibentuk oleh procecus frontalis ossis maxillaris, osteo nasale, facies medialis ossis maxillaris dan lamina perpendicularis ossis palatin serta dilapisi oleh jaringan erectile.Pada dinding lateral juga terdapat penonjolan yang disebut concha nasales.Pada dinding lateral terdapat N. Nasociliaris dan N. Infraorbitalis.

Gambar Cavum Nasi 2. Farinx Farinx (tekak) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya pada esophagus pada ketinggian tulang rawan krikoid, maka letaknya dibelakang hidung (naso-farinx), dibelakang mulut (oro-farinx) dan dibelakang larynx (farinx-laringael). Nares posterior adalah muara rongga-rongga hidung ke naso-farinx. Epitel nasofaring adalah epitel bertingkat silindris bersilia atau epitel berlapis gepeng yang terdapat pada daerah yang mengalami pergesekan yaitu tepi belakang palatum mole dan dinding belakang faring, tempat kedua permukaan tersebut mengalami kontak langsung sewaktu menelan. 3. Larinx (tenggorok)

Larinx (tenggorok) terletak dibagian terendah farinx yang memisahkannya dari kolumna vertebra,berjalan dari farinx sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trachea di bawahnya. Larinx terdiri dari 9 tulang rawan (kartilago) yang terhubung satu sama lain (6 kartilago berpasangan, 3 kartilago tidak berpasangan) dengan otot dan ligamen. Tulang rawan terbesar ialah tulang rawan tiroid,dan disebelah depannya terdapat benjolan subkutaneus yang dikenal sebagai jakun (Adams Apples). Larinx terdiri atas dua lempeng atau lamina yang bersambung di garis tengah.Di tepi atas terdapat lekukan berupa V. Tulang rawan krikoid terletak dibawah tiroid,bentuknya seperti cincin, ini adalah satu-satunya yang berbentuk lingkaran lengkap.Tulang rawan lainnya ialah kedua tulang rawan aritenoid yang menjulang disebelah krikoid,dan kanan dan kiri tulang kuneiform dan tulang rawan kornikulata,yang sangat kecil. Terkait dipuncak tulang rawan tiroid terdapat epiglottis, yang berupa katup tulang rawan dan membantu menutup larynx sewaktu orang menelan. Larynx dilapisi oleh jenis selaput lendir yang sama dengan yang ditrakhea, kecuali pita suara dan bagian epiglottis yang dilapisi sel epithelium berlapis. Larynx berfungsi untuk menghasilkan bunyi, mencegah masuknya benda asing ke dalam trachea/bronchus (sphincter) dan respirasi. Terdapat Epitel mukosa laring pada permukaan depan dan sepertiga atas sampai setengah permukaan belakang epiglotis, lipatan ariepiglotika dan pita suara, epitelnya adalah berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk. Saluran Nafas Bawah : 4. Trakhea

Trakhea atau batang tenggorok kira-kira 9cm panjangnya.Trakhea berjalan dari larynx sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis kelima dan ditempat ini bercabang menjadi 2 bronkhus (bronchi). Trachea tersusun atas 16-20 tulang rawan berbrntuk C dan juga dilapisi oleh selaput lendir yang terdiri atas epitel kolumnar bersilia yang memiliki
9

banyak sel goblet. Silia ini bergerak keatas kearah larynk, maka dengan gerakan ini debu dan butir-butir halus lainnya yang turut masuk bersama dengan pernapasan,dapat dikeluarkan.Celah yang relatif sempit diantara cincin-cincin tulang rawan hialin yang berdekatan, diisi oleh jaringan ikat fibrosa yang menjadi satu dengan perikondrium cincin tulang rawan.

Gambar Histologi Trakea 5. Bronchus Di mediastinum, trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan. Bronkus utama (primer) kanan bercabang lagi sebelum memasuki jaringan paru menjadi bronkus sekunder lobus atas dan lobus bawah. Bronkus lobus tengah kanan berasal dari bronkus lobus bawah yang terdapat dalam paru.Di dalam paru bronkus utama (primer) kiri bercabang menjadi bronkus lobus atas dan bawah. Jadi ada tiga lobus kanan dan dua lobus kiri diisi oleh bronkus sekunder. Setiap bronkus lobaris bercabang lebih lanjut menjadi bronkus tersier, yang turut menyusun segmen bronkopulmonal. Di dalam setiap paru terdapat sepuluh segmen. Di dalam setiap segmen bronkopulmonal terjadi percabangan lebih lanjut, sehingga setelah 9 12 generasi percabangan, ukuran saluran makin kecil, penampang kira-kira 1 mm. Susunan bronki ekstrapulmonal sangat mirip trakea dan hanya berbeda dalam garis tengahnya yang lebih kecil. Pada bronki utama, cincin tulang rawan juga tidak sempurna, celah pada bagian posterior ditempati oleh otot polos. Bronkus intropulmonal tampak bulat dan tidak memperlihatkan bagian posterior yang rata seperti pada trakea atau bronkus ekstrapulmonal. Hal ini disebabkan oleh tidak terdapatnya cincin tulang rawan berbentuk huruf C, melainkan terdiri dari lempeng-lempeng tulang rawan hialin yang bentuknya tidak beraturan dan sebagian melingkari lumen secara lengkap. Pada potongan melintang tampak sebagai beberapa potongan kecil tulang rawan mengelilingi lumen. Lempeng tulang rawan hialin dikitari oleh jaringan ikat padat fibrosa
10

yang mengandung banyak serat elastin. Sebelah dalam dari cincin tulang rawan dan jaringan ikat, terletak submukosa yang tersusun dari jaringan ikat jarang dengan sejumlah sel limfosit serta di dalamnya terdapat kelenjar campur mukoserosa dan kelenjar mukosa. 6. Paru-paru

Paru-paru merupakan alat pernapasan utama. Paru-paru adalah organ yang berbentuk kerucut dengan apex (puncak) diatas dan muncul sedikit lebih tinggi dari klavikula di dalam dasar leher. Paru-paru manusia ada dua yaitu paru-paru kanan dan paru-paru kiri. Paru-paru kanan terdiri dari tiga lobus sedangkan paru-paru kiri terdiri dari dua lobus. Paru-paru mempunyai permukaan luar yang menyentuh iga-iga,permukaan dalam yang memuat tampuk paru-paru,sisi belakang yang menyentuh tulang belakang dan sisi depan yang menutupi sebagian sisi depan jantung. Terdapat epitel bertingkat silindris bersilia bersel goblet. 1.5. Fisiologi Sistem Respirasi Ventilasi Ventilasi merupakan masuknya campuran gas-gas ke dalam dan keluar paru. Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Sistem utama yang mengatur ventilasi merupakan suatu sistem umpan balik negatif, yang terdiri dari 3 subdivisi : intergrator pusat, sensor-sensor distal dan sistem sirkulasi paru perifer. Sistem sirkulasi paru terdiri dari 3 komponen: gas CO2 dan O2 yang
11

tersimpan dalam larutan tubuh atau dalam kombinasi kimiawi dalam sel atau cairan ekstraseluler, aliran sirkulasi CO2 dan O2 antara paru dan jaringan tubuh dan hembusan mekanisme yang terdiri dari otot-otot pernapasan, paru dan rongga dada. Yang terakhir ini merupakan sarana ventilasi. Sensor terdiri dari 2 komponen: kemoreseptor dan mekanoreseptor. Kemoreseptor terutama terdapat didaerah karotis dan aorta. Kemoreseptor ini bereaksi terhadap perubahan kadar CO2 dan O2 dalam darah (PCO2 dan PO2). Badan karotis merupakan kemoreseptor utama. Mekanoreseptor berubah terhadap volume rongga dada dan kekuatan kontraksi otot pernapasan. Sistem integrasi sentral terdiri dari neuron motor sentral yang terletak dibatang otak dekat ventrikel ke-4. Traktus saraf desendennya mengatur aktivitas pernapasan. Difusi Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis kekuatan pendorong ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Fungsi utama system respirasi adalah menjamin tersedianya O2 untuk kelangsungan metabolisme sel-sel tubuh serta mengeluarkan CO2 hasil metabolismesel secara terusmenerus. Proses fisiologi yang dipelajari mencakup 2 proses yaitu respirasi luar (external respiration) dan respirasi dalam (internal respiration). Respirasi dalam ialah proses metabolic intraseluler yang terjadi di mitikondria. Respirasi luar pertukaran O2. Proses respirasi luar dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu : 1. Pertukaran udara antara luar dengan udara dalam alveoli disebut ventilasi. 2. Pertukaran O2 dan CO2 antara udara alveoli dengan darah didalam pembuluh kapiler paru melalui proses difusi. 3. Pengangkutan O2 dan CO2 oleh system peredaran darah, dari paru-paru ke jaringan dan sebaliknya. 4. Pertukaran O2 dan CO2 darah dalam pembuluh kapiler jaringan dengan sel-sel jaringan melalui proses difusi. Mekanisme Pernapasan Jaringan paru serta dinding dada merupakan struktur elastic. Paru-paru dipisahkan dari dinding dada oleh ruang sempit yang bentuk oleh dua lapisan jaringan pleura yang
12

membungkus paru disebut pleura viseral dan jaringan pleura yang melapisi bagian dalam dinding dada disebut pleura parietal. Di antara kedua jaringan pleura terdapat selapis cairan, yang berfungsi sebagai pelican, untuk mempermudah pergeskan jarinan paru pada dinding dada sewaktu bernapas. Pada keadaan normal, tekenan dalam ruang antara jaringan paru dan dinding paru (tekanan intrapleura=intraltorakal=tekanan donders) lebih rendah dari tekanan atmosfer (subatmosferik). Pada keadaan istirahat ( akhir ekspirasi tenang), jaringan paru dan dinding dada berada pada suatu kedudukan yang disebut resting end expiratory level yaitu suatu keadaan seimbang yang merupakan resultan antara sifat paru yang cenderung kolaps dengan sifat dinding dada yang cendrung lebih mengembang. selama inspirasi, tekanan didalam alveoli harus lebih rendah dibandingkan tekanan atmosfer. Sebaliknya. Selama ekspirasi, tekanan didalm alveoli harus lebih tinggi dibandingkan tekanan atmosfer. Proses Inspirasi Inspirasi merupakan suatu proses aktif, akibat kontraksi otot-otot inspirasi. Pada inspirasi tenang, pembesaran rongga dada disebabkan oleh kontraksi diafragma (otot inspirasi utama) serta M. interkostalis eksternus. Pada pernapasan kuat dan pada keadaan darurat (misalnya sesewaktu olah raga atau pada sesak napas sewaktu serangan asma bronkialis, beberapa otot inspirasi tambahan turut berperan untuk mengangkat iga-iga, yaitu M. sternokleidomastoideus, M. pektoralis mayor dan minor, M. levator kostarum, M. skelanus, dan M. seratuspostikus superior. Kontraksi diafragma terjadi C3-C5 medulla spinalis. Selama inspirasi, diafragma turun mendatar sejauh 1,5-7 cm, mengakibatkan pembesaran dimensi vertical rongga dada 75%. Perangsangan N. interkostalis, yang berasal dari segmen toraka, menyebabkan kontraksi otot interkostalis. Iga-iga akan terangkat ke atas lateral dan sternum bergerak ke anterior atas, sehingga diameter antero posterior dan diameter lateral rongga dada membesar, meningkatkan volume rongga dada sekitar 25%. Proses Ekspirasi Pada pernapasan tenang, ekspirasi merupakan proses pasif bukan oleh kontraksi otot, melainkan akibat relaksasi otot inspirasi. Jaringan paru yang teregang pada waktu inspirasi akan kembali kedudukan semula, setelah kontraksi otot inspirasi berhenti ,karena adanya daya recoil paru dan dinding dada. Relaksasi otot inspirasi terjadi bersamaan dengan awal ekspirasi.

13

Pada ekspirasi kuat terjadi kontraksi otot-otot ekspirasi, yaitu antara lain M. rektus abdominalis dan M. transversus abdominis. Kontraksi otot tersebut akan meningkatkan tekanan intraabdominal, sehingga isi rongga perut terdesak keatas, mendorong diafragma. Otot ekspirasi tambahan lainya ialah M. interkostalis internus. Kontraksi otot ini menyebabkan iga-iga tertarik ke bawah dalam, meratakan dinding dada dan memperkecil dimensi transversal rongga dada. Otot ini juga berkontraksi pada waktu berbicara. Kerja Pernapasan Selama pernapasan tenang, proses inspirasi membutuhkan kecepatan. Pada keadaan normal kerja otot-otot pernapasan untuk mengembangkan paru, melawan daya recoil dan tahan jalan udara. Sebaliknya proses ekspirasi merupakan proses pasif. Pada keadaan normal paru sangat tinggi dan tahanan jalan udara sangat rendah, sehingga kerja pernapasan hanya membutuhkan sekitar 3% penggunaan energy total oleh tubuh. Kerja pernapasan dapat meningkat pada keadaan berikut: 1. Menurunya compliance paru. 2. Meningkatnya tahanan udara. 3. Meningkatnya kebutuhan ventilasi misalnya pada waktu olahraga. Perubahan volume dalam paru selama pernapasan dapat diukur menggunakan sebuah spirometer (hasil pencatatanya disebut spirogram). Berbagai volume dan kapasitas paru ialah: Volume tidal adalah volume udara yang masuk dan keluar paru pada pernapasan biasa. Pada keadaan istirahat besarnya pada pria dan wanita 500 ml. Volume cadangan inspirasi adalah volume udara yang masih dapat masuk ke dalam paru pada inspirasi maksimal, setelah inspirasi biasa. Keadaan normal jumlah pada pria 3300 ml dan pada wanita 1900 ml. Volume cadangan ekspirasi adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara aktif dari dalam paru melalui kontraksi otot-otot ekspirasi. Normal pada pria 100 ml dan wanita 700 ml. Kapasitas inspirasi adalah jumlah udara maksimal yang dapat dimasukkan kedalam paru setelah akhir ekspirasi biasa. Kapasitas residu fungsional adalah jumlah udara didalam paru pada akhir ekspirasi biasa. Kapasitas vital adalah volume udara maksimal yang dapat masuk atau keluar paru selama satu siklus pernapasan.
14

Kapasitas paru total adalah jumlah udara maksimal yang dapat dikandung paru. Normal pada pria 6000 ml dan pada wanita 4200 ml. Dibagi 3 macam tekanan pada gerakan pernapasan, yaitu : 1. Tekanan atmosfer yaitu tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara atmosfer pada berbagai obyek di permukaan bumi. Besar tekanan atmosfer 760 MmHg. Makin jauh dari permukaan laut tekanan atmosfer makin kecil. 2. Tekanan intraalveolar yaitu tekanan didalam alveoli. 3. Tekanan intrapleura yaitu takanan didalam rongga pleura. Pada keadaan istirahat besar tekanan pleura 756 mmHg. 1.6. Patomekanisme a. Tuberkulosis Primer (Childhood Tuberculosis) Tuberkulosis primer merupakan bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang belum pernah terpajan kuman TB, dengan sumber organisme adalah eksogen (Kumar, 2007). Tiga ribu droplet nuclei akan dikeluarkan oleh pasien TB dengan BTA (+) yang sedang batuk dan berbicara selama 5 menit. Droplet nuclei ini dapat terinhalasi oleh orang-orang yang ada disekitar penderita ini, sampai kejauhan sekitar 3m. Satu droplet nuclei mengandung 3 basil tuberkulosis (Todar, 2009). Ukuran basil tuberkulosis yang kecil (<5m), kuman TB yang ada dalam droplet nuclei yang terhirup, dapat menembus sistem mukosilier saluran napas sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkus dan alveoli. Oleh karena itu, paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB (Todar 2009). Infeksi tuberkulosis dimulai saat kuman TB sudah memasuki alveolus. Pertama kali, kuman akan menghadapi neutrofil yang mengontrol penyebaran infeksi melalui produksi kemokin yang merupakan faktor kemotaktik, menginduksi pembentukan granuloma, dan mengarahkan molekul mikrobakteria ke makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag, keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya (Amin, 2007). Sebagian kuman TB dapat bertahan hidup dengan cara menghambat pembentukan enzim-enzim pencernaan makrofag (Andreoli, 1997; Palomino 2007). Fase terdini pada tuberkulosis primer (<3 minggu) pada orang yang belum tersensitisasi ditandai dengan proliferasi basil tanpa hambatan di dalam makrofag

15

alveolus dan rongga udara. Pada tahap ini, sebagian besar pasien asimptomatik atau mengalami gejala seperti flu (Kumar, 2007). Kuman yang bersarang di jaringan paru ini akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau fokus Ghon. Fokus Ghon merupakan suatu daerah konsolidasi peradangan abu-abu putih sebesar 1-1,5 cm (Amin, 2007). Basil tuberkel, baik dalam bentuk bebas maupun dalam fagosit, akan menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan respon inflamasi yang terjadi pada saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer (fokus Ghon), limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (kompleks Ghon). Pada proses ini terbentuk formasi tuberkel. Bagian tengah dari tuberkel ini memiliki karakteristik, yaitu adanya nekrosis kaseosa yang konsistensinya semi-solid atau seperti keju. Pada bentuk tuberkel ini, kuman TB tidak dapat bermultiplikasi karena rendahnya pH dan lingkungan yang anoksik pada tuberkel. Walaupun demikian, kuman TB dapat bertahan hidup dorman pada tuberkel ini selama bertahun-tahun namun tidak menimbulkan gejala sakit TB (Todar, 2009). Dapat disimpulkan bahwa kompleks primer yang terbentuk pada tuberculosis primer dapat menjadi: 1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat (restitution ad integrum). Hal ini terjadi karena terbentuknya reaksi hipersensitivitas dan resistensi. Ada beberapa bukti klinis dimana kebanyakan orang yang diinfeksi oleh basilus tuberkel (90%) tidak mengalami penyakit ini selama hidupnya (Palomino, 2007; Kumar, 2007). 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, dan kalsifikasi di hilus. Keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya lebih dari 5 mm dan kurang lebih 10% diantaranya terdapat reaktivasi lagi karena kuman yang dorman (Amin, 2007). 3. Berkomplikasi dan menyebar secara progresif, yaitu dengan cara: Perkontinuitatum (menyebar ke jaringan sekitarnya) Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus

16

yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. Bronkogen (baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer. Menurut Kumar (2007), insidensi tuberkulosis primer progresif sangat tinggi pada pasien positif HIV dengan derajat imunosupresi lanjut (hitung CD4+ < 200 sel/mm3). Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI ). Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.

17

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamsi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.

18

Gambar 3.1. Patogenesis tuberkulosis3

b. Tuberkulosis Sekunder (Adult Tuberculosis) Tuberkulosis sekunder adalah pola penyakit yang berkembang pada host yang dahulunya sudah tersensitisasi. Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa ( tuberkulosis post primer = TB sekunder ). Biasanya (90%) dihasilkan dari reaktivasi (reinfeksi) lesi primer dorman setelah beberapa dekade (Halim, 1998). Menurut Amin (2007) tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas yang menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS dan gagal ginjal. Lokasinya biasanya pada bagian apeks dari satu atau kedua lobus paru, dimana berkaitan dengan tingginya tegangan oksigen di apeks sehingga membantu kuman TB untuk tumbuh dengan baik (Crofton, 2002 ; Kumar 2007). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke lobus hiler paru. Sarang dini mula mula tampak seperti sarang pneumonia

19

kecil dan dalam 3 10 minggu sarang ini berubah menjadi tuberkel, yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel sel histiosit dan sel Datia Langhans Menurut Amin (2007), sarang dini dapat menjadi beberapa hal, tergantung dari jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini dapat menjadi: 1. Direabsorbsi kembali tanpa meninggalkan cacat. 2. Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera sembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek dan membentuk suatu jaringan perkejuan (nekrosis kaseosa). Bila jaringan dibatukkan keluar, maka akan terbentuk kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama- lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkejuan dan kavitas adalah akibat hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang, yakni (Amin, 2007): 1. Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi. 2. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan sempurna. 3. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi, sebaiknya diberi pengobatan yang lengkap dan sempurna Klasifikasi Tuberkulosis Paru Menurut PDPI (2006), terdapat beberapa klasifikasi tuberkulosis, yaitu : 1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) a. Tuberkulosis paru BTA (+), yaitu: Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
20

Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif. b. Tuberkulosis paru BTA (-), yaitu: Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis positif. 2. Berdasarkan tipe pasien Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu: a. Kasus Baru Yaitu pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan. b. Kasus Kambuh (Relaps) Yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. c. Kasus Defaulted atau Drop Out Yaitu pasien yang telah menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. d. Kasus Gagal (Failure) Yaitu pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan. e. Kasus Kronik Yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan kategori 2 dan dengan pengawasan yang baik. f. Kasus Bekas TB Hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.
21

3. Pembagiaan Secara Patologi a. Tuberkulosis Primer (Childhood Tuberculosis). b. Tuberculosis Sekunder (Adult Tuberculosis). 4. Berdasarkan Aktifitas Radiologi a. Lesi TB aktif dicurigai bila: Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan segmen posterior lobus bawah Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. Bayangan bercak milier Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) b. Lesi TB inaktif dicurigai bila: Fibrotik Kalsifikasi Schwarte atau penebalan pleura c. Lesi TB Aktif Yang Mulai Menyembuh (Quiescent) 5. Berdasarkan Luas Lesi Yang Tampak Pada Foto Thorax a. Tuberkulosis Minimal Terdapat sebagian kecil infiltrat non kavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru. b. Moderadately Advance Tuberculosis Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. bila banyangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru. c. Far Advance Tuberculosis Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada moderately advance tuberculosis. 6. Di Indonesia, klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis, radiologis dan mikrobiologis. a. TB Paru b. Bekas TB Paru c. TB Paru Tersangka, yang terbagi dalam: TB Paru Tersangka Yang Diobati. Dengan sputum BTA negatif, tetapi tanda tanda lain positif.
22

TB Paru Tersangka Yang Tidak Diobati. Dengan sputum BTA negatif dan tanda tanda lain juga meragukan. Dalam 2 3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk TB Paru ( Aktif ) Atau Bekas TB Paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan: - Status Bakteriologi - Mikroskopik Sputum BTA ( Langsung ) - Biakan Sputum BTA - Status Radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru. - Status Kemoterapi, riwayat pengobatan dengan OAT. Tuberkulosis Ekstraparu Tuberkulosis ekstraparu yang banyak ditemukan adalah tuberkulosis kelenjar, skrofuloderma, tuberkulosis pleura, meningitis tuberkulosis, tuberkulosis tulang, dan tuberkulosis abdomen. Tuberkulosis ekstrapulmonal biasanya sekunder terhadap penyakit TB paru, akibat penyebaran limfo-hematogen, tetapi juga bisa akibat penyebaran lesi primer (Rahajoe & Setyanto, 2008) Tuberkulosis Kelenjar Limfe Superfisialis Limfadenitis biasanya merupakan komplikasi dini TB primer, umumnya terjadi dalam 6 bulan pertama setelah infeksi. Sebagian besar infeksi kelenjar limfe superfisialis terjadi akibat penyebaran limfogen dan hematogen (Rahajoe & Setyanto, 2008 ; Baker, 2009). Manifestasi klinis sering terjadi di kelenjar leher, kemudian lebih sedikit di daerah aksila dan inguinal. Tuberkulosis Pleura Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan di dalam rongga pleura. Efusi pleura dan pleuritis biasanya merupakan komplikasi dini TB primer dan sering terjadi pada anak-anak. Efusi pleura TB dapat ditemukan dalam dua bentuk, yaitu serosa dan empiema (Rahajoe & Setyanto, 2008 ; Baker 2009). Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam akut yang disertai dengan batuk produktif, nyeri dada, penurunan berat badan dan malaise (Baker, 2009). Tuberkulosis Tulang

23

Insidens tuberkulosis tulang dan sendi berkisar 1-7% dari seluruh tuberkulosis. TB tulang belakang merupakan kejadian tertinggi diikuti sendi panggul dan juga sendi lutut. Umumnya TB tulang mengenai satu tulang. TB pada tulang belakang dikenal sebagai spondilitis tuberkulosis, TB pada panggul disebut koksitis tuberkulosis, sedangkan pada sendi lutut disebut gonitis tuberkulosis (Rahajoe & Setyanto, 2008). Gejala spesifik yang timbul pada tuberkulosis tulang adalah bengkak, kaku, kemerahan, dan nyeri pada pergerakan. Kelainan pada tulang belakang disebut gibbus, yang menampakkan gejala benjolan pada tulang belakang yang tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan abses dingin (Rahajoe & Setyanto, 2008). Tuberkulosis Sistem Saraf Pusat Tuberkulosis pada sistem saraf pusat ditemukan dalam tiga bentuk, yaitu meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Fokus tuberkel tersebar di otak atau selaput otak, yang terbentuk pada saat penyebaran hematogen selama masa inkubasi infeksi TB primer. Meningitis tuberkulosis memiliki proporsi yang kecil pada penyakit tuberkulosis, tetapi kejadian ini sangat penting karena angka kematiaan dan morbiditas yang tinggi (Baker, 2009). 2.7. Manifestasi Klinik Gejala klinis dari tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik. Gejala Respiratorik a. Batuk >2 Minggu Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena ada iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang keluar produk produk radang. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu minggu atau berbulan bulan sejak awal peradangan. Sifat batuk dimulai dari batuk kering ( non-produktif ) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif ( menghasilkan sputum ). b. Batuk Darah Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

24

c. Sesak Nafas Jika sakit masih ringan, sesak nafas masih belum dirasakan. Sesak nafas ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru. d. Nyeri dada. Hal ini jarang ditemukan. Nyeri dada dapat timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan nafasnya. Gejala Sistemik a. Demam Biasanya subfebril seperti demam influenza. Tetapi kadang kadang panas badan dapat mencapai 40 41o C. Serangan demam pertama dapat sembuh sementara, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Hal ini terjadi terus menerus, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi MTB yang masuk b. Gejala sistemik lain, seperti : Malaise Keringat malam Anoreksia Berat badan menurun.

25

1.8 Alur Diagnostik 1. Anamnesis Anamnesia pada pasien TB paru biasanya mengeluhkan gejala sebagai berikut : Batuk >2 minggu Batuk darah Sesak nafas Nyeri dada. Demam Malaise Keringat malam Anoreksia 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan pucatnya konjungtiva mata atau kulit pucat karena anemia, suhu demam subfebril, badan kurus atau berat badan menurun (Amin, 2007). Tempat kelainan lesi tuberkulosis paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan ditemukan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikular melemah (Alsagaff, 1989). Tetapi apabila infiltrat ini ditutupi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi dapat memberikan suara hipersonor atau tympani dan auskultasi suara nafas amforik. Pada keadaan konsolidasi dan fibrosis meningkatkan penghantaran getaran sehingga pada palpasi didapati stem frenitus meningkat serta pada auskultasi suara napas menjadi bronkovesikuler atau bronkhial. Bila jaringan fibrotik amat luas, yakni > jumlah jaringan paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis ( hipertensi pulmonal ) diikuti terjadinya korpulmonale dan gagal jantung kanan. Disini akan timbul tanda tanda takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham Steel, JVP meningkat, hepatomegali, asites dan edema 2.Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam
26

pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara lemah sampai tidak terdengar sama sekali (Halim, 1998). 3. Pemeriksaan Penunjang A. Pemeriksaan Bakteriologik Pemeriksaan dahak (sputum) berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Depkes RI, 2011). Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lainnya (cairan pleura, CSF, bilasan bronkus, bilasan lambung, urin, feses, dan jaringan biopsi dapat dilakukan dengan cara mikroskopis dan biakan (PDPI, 2006). Pemeriksaan mikroskopis dengan menggunakan pewarnaan Ziehl-Nielssen, sedangkan pemeriksaan biakan dengan menggunakan Egg Base Media Lowenstein-Jensen atau Ogawa (PDPI, 2006). Pemeriksaan Sputum Pemeriksaan sputum penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Selain itu, pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Tidak mudah untuk mendapatkan sputum terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk yang nonproduktif. Dalam hal ini dianjurkan 1 hari sebelum pemeriksaan, pasien dianjurkan minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dan juga dengan memberikan tambahan obat obat mukolitik, ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20 30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi, diambil dengan brushing atau bronchial washing atau Broncho Alveolar Lavage (BAL). Basil tahan asam dari sputum juga dapat diperoleh dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya 2. Kuman baru dapat ditemukan apabila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka keluar sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar. Diperkirakan di Indonesia terdapat 50 % pasien BTA + tetapi kuman tersebut tidak ditemukan dalam sputum. Kriteria sputum BTA positif

27

adalah bila sekurang kurangnya ditemukan ditemukan 3 kuman dalam 1 sediaan, atau dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 ml sputum. Cara Pengumpulan & Pengiriman Bahan Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS), yaitu : 1. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan) 2. Pagi ( keesokan harinya ) 3. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-turut. Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor.Apabila ada fasiliti,spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara Pembuatan & Pengiriman Dahak Dengan Kertas Saring : 1. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya 2. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml 3. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahandahak 4. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus 5. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik yang terbuka dengan menggunakan lidi 7. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak 8. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium. Cara Pemeriksaan Dahak & Bahan Lain
28

kecil

6. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus,bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara : Mikroskopik Biakan

Pemeriksaan Mikroskopik: Mikroskopik Biasa Pewarnaan Ziehl-Nielsen Mikroskopik Fluoresens Pewarnaan Auramin-Rhodamin (khususnya untuk screening) Interpretasi Hasil Pemeriksaan Dahak Dari 3 Kali Pemeriksaan 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasiliti foto toraks, kemudian Bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif Bila 3 kali negatif BTA negatif

29

Catatan : Pasien TB paru tanpa hasil pemeriksaan dahak tidak dapat diklasifikasikan sebagai BTA negatif, lebih baik dicatat sebagai pemeriksaan dahak tidak dilakukan . Bila seseorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB baru. Bila seseorang pasien TB dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

Pemeriksaan Biakan Kuman Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara : Egg Base Media Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh. Agar Base Media Middle Brook Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul. B. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan yang sensitif tapi tidak spesifik untuk mendiagnosa suatu tuberkulosis aktif (Barker, 2009). Beberapa pembagian kelainan yang dapat digunakan pada foto Rontgen adalah: 1. Sarang berbentuk awan dengan densitas rendah atau sedang dan batas tidak tegas. Sarang-sarang seperti ini biasanya menunjukkan bahwa proses aktif. 2. Lubang (kavitas) selalu berarti proses aktif kecuali bila lubang sudah sangat kecil yang dinamakan lubang sisa (residual cavity). 3. Sarang seperti garis-garis (fibrotik) atau bintik-bintik kapur yang menunjukkan bahwa proses telah tenang (Rasad, 2008). Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru ( segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah ), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru ( misalnya pada tuberkulosis endobronkial ).
30

Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang sarang pneumonia, gambaran radiologis berupa bercak bercak seperti awan dan dengan batas batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma. Pada kavitas, bayangannya berupa cincin yang mula mula berdinding tipis, lama kelamaan dinding menjadi sklerotik dan tampak menebal. Bila terjadi fibrosis, akan tampak bayangan yang bergaris garis. Pada kalsifikasi, bayangannya tampak sebagai bercak bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis tampak seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru. TB milier memberikan gambaran berupa bercak bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura ( pleuritis ), massa cairan di bagian bawah paru (efusi pleura atau empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru atau pleura (pneumothoraks). Biasanya pada TB yang sudah lanjut, dalam satu foto dada seringkali didapatkan bermacam macam bayangan sekaligus, seperi infiltrat, garisgaris fibrotik, kalsifikasi, kavitas (nonsklerotik atau sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema. Karena TB sering memberikan gambaran yang berbeda beda, terutama pada gambaran radiologisnya, sehingga tuberkulosis sering disebut sebagai the greatest imitator. Gambaran infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Pemeriksaan khusus yang kadang kadang diperlukan adalah bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkulosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan paru. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah CT scan dan MRI. Pemeriksaan MRI tidak sebaik CT scan, tetapi dapat mengevaluasi proses proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada perut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan koronal. Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut (Depkes RI, 2011):
31

1. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. 2. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 3. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotoraks, pleuritis eksudatif, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA) pada 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagisewaktu (SPS). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Depkes RI, 2011). C. Pemeriksaan Khusus Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat. 1. Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis danmelakukan uji kepekaan. 2. Polymerase Chain Reaction (PCR) Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.Hasil pemeriksaan PCR dapat
32

membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB.Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupunekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat. 3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metode a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama. b. ICT Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis.Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan kebantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibody IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran. c. Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi
33

harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. D. Pemeriksaan Lain 1. Analisis Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah 2. Pemeriksaan Histopatologi Jaringan Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu : Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB) Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman) Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal biopsy/TTB, biopsiparu terbuka). Otopsi Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi. 3. Pemeriksaan darah Pemeriksaan ini hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif), akan didapatkan jumlah lekosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah lekosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal. Hasil pemeriksaan lain dari darah didapatkan : anemia ringan normokrom normositer, gama globulin meningkat, kadar natrium darah menurun. 4. Uji tuberkulin (Mantoux)

34

Pemeriksaan ini masih banyak digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak anak balita.2 Teknik standar (tes mantoux) adalah dengan menyuntikkan tuberkulin Purified Protein Derivative (P.P.D) sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 unit (TU) tuberkulin secara intrakutan (intermediate strength), pada atas permukaan volar atau dorsal lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Biasanya dianjurkan memakai spuit tuberkulin sekali pakai dengan ukuran jarum suntik 26 27 G. Jarum yang pendek ini dipegang dengan permukaan yang miring diarahkan ke atas dan ujungnya dimasukkan ke bawah permukaan kulit. Akan terbentuk satu gelembung berdiameter 6-10 mm yang menyerupai gigitan nyamuk bila dosis 0,1 ml disuntikkan dengan tepat dan cermat. Bila ditakutkan terjadi reaksi hebat dengan 5 TU, dapat diberikan dulu 1 atau 2 TU (first strength). Bila dengan 5 TU memberikan hasil negatif, dapat diulang dengan 250 TU (second strength). Bila dengan 250 TU masih memberikan hasil negatif, berarti TB dapat disingkirkan .Tes ini berdasarkan reaksi alergi tipe lambat. Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu antara 48 72 jam setelah penyuntikkan dan reaksi harus dibaca dalam rentang waktu tersebut, yaitu dalam cahaya yang terang, dan posisi lengan bawah sedikit ditekuk. Yang harus dicatat dari reaksi ini adalah diameter indurasi dalam satuan milimeter, pengukuran harus dilakukan melintang terhadap sumbu panjang lengan bawah (seperti yang tampak pada Gambar). Hanya indurasi (pembengkakan yang teraba) dan bukan eritema yang bernilai. Indurasi dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi (meraba daerah tersebut dengan jari tangan). Tidak ada indurasi sebaiknya dicatat sebagai 0 mm dan bukan negatif. Indurasi terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberculin.

Gambar. Hasil Uji Mantoux

35

Interpretasi tes kulit menunjukkan berbagai tipe reaksi. Reaksi positif pada tes tuberkulin mengindikasikan adanya infeksi tetapi belum tentu terdapat penyakit secara klinis. Namun, tes ini adalah alat diagnostik penting dalam mengevaluasi seorang pasien dan juga berguna dalam menentukan prevalensi infeksi TB pada masyarakat. Biasanya semua pasien tuberkulosis memberikan hasil reaksi yang positif (99,8 %). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi mikrobakterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemukan daripada positif palsu. Klasifikasi Tes Mantoux Intradermal Reaksi Tuberkulin (Tuberkulin dengan TU PPD)

Reaksi Hipersensitivitas Tuberkuloprotein yang berasal dari basil menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada pejamu. Respon peradangan dan nekrotik jaringan adalah akibat dari reaksi hipersensitivitas
36

selular (tipe lambat) dari pejamu terhadap basil TB. Reaksi hipersensitivitas TB biasanya terjadi 3 10 minggu setelah infeksi. Individu yang terpajan basil tuberkel membentuk limfosit T yang tersensistisasi. Bila derivat protein tuberkulin yang telah dimurnikan (Purified Protein Derivative/PPD) disuntikkan ke dalam kulit individu yang limfositnya sensitif terhadap tuberkuloprotein maka limfosit yang sensitif akan mengadakan reaksi dan menarik makrofag ke daerah tersebut. 1. Vaksinasi Bacille Calmette-Gurin ( BCG ) Vaksinasi BCG, satu bentuk strain hidup basil TB sapi yang dilemahkan adalah jenis vaksin yang paling banyak digunakan di berbagai negara. Pada vaksinasi BCG, organisme ini disuntikkan ke kulit untuk membentuk fokus primer yang berdinding, berkapur dan berbatas tegas. Bacille Calmette-Gurin tetap berkemampuan untuk meningkatkan resistensi imunologis pada hewan dan manusia. Infeksi primer dengan BCG memiliki keuntungan daripada infeksi dengan organism virulen karena tidak menimbulkan penyakit pada pejamunya. Vaksinasi dengan BCG biasanya menimbulkan sensitivitas terhadap tes tuberkulin. Derajat sensitivitasnya bervariasi, bergantung pada strain BCG yang dipakai dan populasi yang divaksinasi. Tes tuberkulin kulit tidak merupakan kontra indikasi bagi seseorang yang telah divaksinasi dengan BCG. Terapi pencegahan harus dipertimbangkan bagi siapapun orang yang telah divaksinasi BCG dan hasil reaksi tes tuberkulin kulitnya berindurasi 10 mm, khususnya jika salah satu keadaandibawah ini menyertai : 1.Kontak dengan kasus TB 2.Berasal dari negara yang berprevalensi TB tinggi 3.Terus menerus terpajan dengan populasi berprevalensi TB tinggi (rumah penampungan tuna wisma, pusat terapi obat) Vaksinasi BCG hanya memiliki tingkat keefektifan 50 % untuk mencegah semua bentuk TB. Berdasarkan rekomendasi dari CDC 1996, BCG jarang diindikasikan. 2. Tes Anergi Anergi adalah tidak ada respon hipersensitifitas tipe lambat terhadap pajanan antigen terdahulu, seperti tuberkulin. Anergi spesifik adalah tidak ada reaktivitas antigen seseorang; anergi nonspesifik secara keseluruhan adalah ketidakmampuan untuk bereaksi terhadap berbagai antigen. Pada seseorang dengan imunosupresif, respons selular hipersensitivitas tipe lambat seperti reaksi tuberkulin dapat menurun atau menghilang. Penyebab anergi dapat berasal dari infeksi HIV, sakit berat atau demam, campak (atau infeksi virus lainnya), penyakit
37

hodgkin, sarkoidosis, vaksinasi virus hidup, dan pemberian obat kortikosteroid atau obat imunosupresif. Berdasarkan CDC (2000) 10 % sampai 25 % pasien dengan penyakit TB memiliki reaksi yang negatif ketika diuji dengan tes tuberkulin intradermal pada saat didiagnosis sebelum pengobatan dimulai. Kira kira pasien yang terinfeksi HIV dan lebih dari 60 % pasien dengan AIDS dapat memperlihatkan hasil reaksi tes kulit yang kurang dari 5 mm, walaupun mereka terinfeksi dengan MTB. Infeksi HIV dapat menekan respon tes kulit karena jumlah CD4 dan Limfosit T yang menurun hingga kurang dari 200 sel/mm3. Anergi juga dapat muncul bila jumlah CD4+ Limfosit T cukup tinggi. Anergi dideteksi dengan memberikan sedikitnya 2 antigen hipersensitivitas dengan menggunakan metode Mantoux. Tidak ada standarisasi dan hasil data, membatasi evaluasi keefektifan tes anergi. Karena alasan ini, CDC (2000) tidak lagi menyarankan tes anergi untuk penapisan rutin TB diantara orang orang yang menderita HIV positif di Amerika Serikat. 3. Uji tuberkulin (Mantoux) Pemeriksaan ini masih banyak digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak anak balita.2 Teknik standar (tes mantoux) adalah dengan menyuntikkan tuberkulin Purified Protein Derivative (P.P.D) sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 unit (TU) tuberkulin secara intrakutan (intermediate strength), pada atas permukaan volar atau dorsal lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Biasanya dianjurkan memakai spuit tuberkulin sekali pakai dengan ukuran jarum suntik 26 27 G. Jarum yang pendek ini dipegang dengan permukaan yang miring diarahkan ke atas dan ujungnya dimasukkan ke bawah permukaan kulit. Akan terbentuk satu gelembung berdiameter 6-10 mm yang menyerupai gigitan nyamuk bila dosis 0,1 ml disuntikkan dengan tepat dan cermat. Bila ditakutkan terjadi reaksi hebat dengan 5 TU, dapat diberikan dulu 1 atau 2 TU (first strength). Bila dengan 5 TU memberikan hasil negatif, dapat diulang dengan 250 TU (second strength). Bila dengan 250 TU masih memberikan hasil negatif, berarti TB dapat disingkirkan .Tes ini berdasarkan reaksi alergi tipe lambat. Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu antara 48 72 jam setelah penyuntikkan dan reaksi harus dibaca dalam rentang waktu tersebut, yaitu dalam cahaya yang terang, dan posisi lengan bawah sedikit ditekuk. Yang harus dicatat dari reaksi ini adalah diameter indurasi dalam satuan milimeter, pengukuran harus dilakukan melintang terhadap sumbu panjang lengan bawah.
38

Hanya indurasi (pembengkakan yang teraba) dan bukan eritema yang bernilai. Indurasi dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi (meraba daerah tersebut dengan jari tangan). Tidak ada indurasi sebaiknya dicatat sebagai 0 mm dan bukan negatif. Indurasi terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberculin. Interpretasi tes kulit menunjukkan berbagai tipe reaksi. Reaksi positif pada tes tuberkulin mengindikasikan adanya infeksi tetapi belum tentu terdapat penyakit secara klinis. Namun, tes ini adalah alat diagnostik penting dalam mengevaluasi seorang pasien dan juga berguna dalam menentukan prevalensi infeksi TB pada masyarakat. Biasanya semua pasien tuberkulosis memberikan hasil reaksi yang positif (99,8 %). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi mikrobakterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemukan daripada positif palsu. Diagnosis TB Paru

Pada keadaan tertentu dengan pertimbangan medis spesialistik, alur diagnosis ini dapat digunakan secara fleksibel yaitu pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan bersamaan dengan foto thoraks dan pemeriksaan yang diperlukan. Suspek TB paru adalah seseorang dengan batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih disertai dengan atau tanpa gejala lain. Antibiotik non OAT adalah antibiotik spektrum luas yang tidak memilki efek anti TB (jangan gunakan 39 fluorokuinolon).

40

Alur Diagnosis TB Paru Pada Odha Yang Rawat Jalan

Keterangan : a. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut : frekuensi pernafasan >30 kali/menit, demam >390C, denyut nadi >120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidak dibantu. b. Untuk daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa >1% atau prevalensi HIV diantara pasien TB >5%, pasien suspek TB yang belum diketahui status HIV-nya maka perlu ditawarkan untuk tes HIV. untuk pasien suspek TB yang telah diketahui status HIVnya maka tidak lagi dilakukan tes HIV. c. Untuk daerah yang tidak tersedia tes HIV atau status HIV tidak diketahui (misalnya pasien menolak untuk diperiksa) tetapi gejala klinis mendukung kecurigaan HIV positif. d. BTA positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif, BTA negatif bila 3 sediaan hasilnya negatif. e. PPK = Pengobatan Pencegahan Dengan Kotrikomoksazol.
41

f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), perhitungan CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV. g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangkan sehingga mempercepat penegakkan diagnosis. h. Pemberiaan antibiotik (jangan golongan fluoroquinolones) untuk mengatasi typical & atypical bacteria. i. PCP = pneumocystis Carinii Pneumonia atau dikenal juga Pneumonia Pneumocystis Jirovecii. j. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbil lagi. 1.9 Tatalaksana A. Medikamentosa Tujuan Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI, 2006). Program ini dilakukan dengan cara mengawasi pasien dalam menelan obat setiap hari, terutama pada fase awal pengobatan Prinsip pengobatan Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut (Depkes RI, 2006): 1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan (Todar, 2009). Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. 2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. a. Tahap Intensif (2-3 Bulan)

42

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Obat yang diberikan ada 4 jenis obat, yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamide, dan etambutol (HRZE) (Barker, 2009). b. Tahap Lanjutan (4-7 bulan) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Obat-obatan yang diberikan adalah isoniazid dan rifampisin (HR) (Barker, 2009). OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) Obat Yang Dipakai a. Obat Anti Tuberkulosis Golongan 1 (First Line Antituberculosis Drugs) Rifampisin (R) Isoniazid (INH/H) Pirazinamid (PZA) Streptomisin Etambutol (E) Rifampisin Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan isoniazid.
Pilihan Utama

Obat Tambahan (First Line Supplemental Drugs)

43

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi. Isoniazid Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan simpang (adverse reaction) yang sangat rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi
44

cairan

tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi

yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala dan tanda klinis. Pirazinamid Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 g/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan makanan. Etambutol Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam
45

penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan. Streptomisin Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50 g/ml dalam waktu 1-2 jam.5 Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat. Dari hasil percobaan pada binatang dan pengobatan pada manusia ternyata, hampir semua obat antituberkulosis mempunyai sifat bakterisid kecuali etambutol dan tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan streptomisin menempati urutan yang lebih bawah. Dalam aktivitas bakterisid: Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap (complete bactericidal drug) oleh karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Kedua obat ini masingmasing mendapat nilai satu. Pirazinamid dan streptomisin masing-masing hanya mendapat nilai setengah, karena pirazinamid hanya bekerja dalam lingkungan asam sedangkan streptomisin dalam lingkungan basa.

46

Etambutol mendapat nilai setengah.

Nama Obat

Dosis harian (mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal (mg/hari) 300 600

Efek Samping

Isoniazid Rifampisin**

5-15* 10-20

Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid Etambutol

15-30 15-20

2000 1250

Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang, buta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin

15-40

1000

Ototoksis, nefrotoksik

Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari. Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan). Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam tida dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4 minggu. Efek Samping OAT (Obat Anti Tuberkulosis) Dan Penanganannya 1. Isoniazid (INH) Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
47

dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus. 2. Rifampisin Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah : Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah : Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaansesuai pedoman TB pada keadaan khusus. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir. 3. Pirazinamid Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain. 4. Etambutol Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 1548

25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi. 5. Streptomisin Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran.Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr.Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.

49

Penatalaksanaan Pasien Dengan Efek Samping Gatal Dan Kemerahan Pada Kulit: Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk. 2. Obat Anti Tuberkulosis Golongan 2 (Second-Line Antituberculosis Drugs) Obat lini kedua digunakan jika terjadi Multi Drugs Resisten (MDR) atau jika OAT golongan 1 tidak tersedia. Obat-obat antituberkulosis golongan 2 kurang efektif jika dibandingkan dengan OAT golongan 1 dan dapat menimbulkan efek samping yang berat. Obat-obat ini jarang digunakan dalam pengobatan tuberculosis. Obat-obat yang digunakan sebagai Obat Anti Tuberkulosis golongan 2 yaitu : Kuinolon Obat-obat golongan quinolon digunakan jika terdapat resistensi terhadap OAT golongan 1 atau pada pasien-pasien yang tidak dapat menggunakan OAT golongan 1. Obat-obatan yang termasuk golongan quinolon adalah ofloxacin, levofloxacin, ciprofloxacin, gatifloxacin dan moxifloxacin. Efek samping jarang sekali dijumpai. Jika ada, biasanya berupa gangguan gastrointestinal, kemerahan pada kulit, pusing dan sakit kepala. Efek samping yang cukup berat, seperti kejang, nefritis interstitial, vaskulitis, dan gagal ginjal akut. Quinolon dapat diberikan secara intravena. Kanamisin Amikasin Amikasin memiliki efek baksterisidal yang berkerja di ekstraseluler. Amikacin ini efektif terhadap MTB, M. lepra, M. avium complex, dan lain-lain. Dosis yang diberikan biasanya 7-10mg/kg IM atau IV, 3-5 kali dalam seminggu. Capreomycin
50

Capreomycin merupakan suatu kompleks antibiotik polipeptida siklik derifatdari Streptomyces capreolus, yang memiliki kesamaan dalam pemberian dosis, cara kerja, farmakologi dan toksisitas dengan streptomisin. Capreomycin diberikan secara intramuskular dalam dosis 10-15mg/kg/hari atau 5 kali dalam seminggu (dosis maksimal per-hari 1 g). Setelah diberikan selama 2-4 bulan, dosisnya diturunkan menjadi 1 g dalam 2 atau 3 kali seminggu. Capreomycin merupakan obat injeksi pilihan terhadap tuberculosis setelah streptomisiin. b. Obat lain masih dalam penelitian Makrolid Amoksilin + Asam Klavulanat c. Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain : Kapreomisin Sikloserino PAS (dulu tersedia) Para-Aminosalicylic Acid dapat menghambat pertumbuhan MTB dengan cara menghambat sintesa asam folat. Para-Aminosalicylic Acid jarang menjadi pilihan pengobatan tuberkulosis karena rendahnya efektivitas dan juga karena menyebabkan timbulnya gangguan gastrointestinal (mual, muntah, atau diare). Derivat rifampisin dan INH Thioamides (Ethionamide dan Prothionamide) Ethionamide adalah derivat asam isonikotinik, sama seperti isoniazid dan pirazinamid. Obat ini memiliki efek bakteriostatik. Namun penggunaannya terbatas karena efek toksisitas dan banyaknya efek samping, seperti gangguan gastrointestinal berat (mual, muntah, anoreksia, disgesia),gangguan neurologis berat, hepatitis, reaksi hipersensitivitas, dan juga hipotiroidisme. Kemasan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) a. Obat Tunggal Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. b. Obat Kombinasi Dosis Tetap (Fixed Dose Combination FDC) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet. Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan
51

strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998.

Keuntungan Kombinasi Dosis Tetap 1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal. 2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja. 3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar. 4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit. 5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk kerumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya. c. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifampisisn, pirazinamid dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. panduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Panduan Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (Oat) Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengan kategorinya (PDPI, 2006). A. Kategori 1 OAT diberikan untuk: - Penderita baru TB paru BTA positif.

52

- Penderita TB paru BTA negatif Rontgen positif, lesi luas. - Penderita TB ekstra-paru berat. Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/4 RH atau 2 RHZE/6 HE atau 2RHZE/4R3H3. Bila setelah 2 bulan, dahak masih tetap positif, fase intensif diperpanjang 4 minggu lagi, apabila setelah diperiksa lagi menjadi negatif, fase lanjutan dapat dimulai. Namun bila masih positif, dilanjutkan ke kategori 2. Pada pasien dengan meningitis, tuberkulosis milier, spondilitis kelainan neurologik, fase lanjutan diberikan lebih lama yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9 bulan Panduan alternatif untuk fase lanjutan adalah 6 HE Dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan. Bila hasilnya masih BTA (+) pengobatan dinyatakan gagal dan diganti dengan kategori 2 Tahap Intensif Berat Badan 30-37 Kg 38-54 Kg 55.70Kg >71 Kg Tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275) 2 Tablet 4KDT 3 Tablet 4KDT 4 Tablet 4KDT 5 Tablet 4KDT Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150) 2 Tablet 2KDT 3 Tablet 2KDT 4 Tablet 2KDT 5 Tablet 2KDT

Tabel. Dosis Untuk Panduan OAT KDT Untuk Katagori 1 Dosis Perhari/Kali Tahap Lama Tablet Isoniazid @ 300 mg Intensif Lanjutan 2 bulan 4 bulan 1 2 Kaplet @ 450 mg 1 1 Tablet @ 500 mg 3 Tablet Etambutol @ 250 mg 3 Rifampisin Pirazinamid Jumlah Hari/Kali Menelan Obat 56 48

Pengobatan Pemgobatan

Tabel. Dosis Panduan OAT- Kombipak Untuk Katagori 1 B. Kategori 2

53

1. TB paru kasus kambuh. Panduan obat yang dianjurkan: RHZES/1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi. 2. TB Paru kasus gagal pengobatan. Panduan obat yang dianjurkan adalah: Obat lini 2 sebelum ada hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2 RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE. 3. TB Paru kasus putus berobat. Berobat > 4 bulan - BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan panyekit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES/1RHZE/5R3H3E3). - BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Berobat < 4 bulan - Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yanglebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES/1RHZE/5R3H3E3). - Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan diteruskan. Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150) Selama 20 minggu 2 Tablet 2KDT + 2 Tablet Etambutol 3 Tablet 2KDT + 3 Tablet Etambutol
54

Tahap Intensif Tiap hari selama 56 hari RHZE Berat Badan (150/75/400/275) Selama 56 hari 30-37 Kg 38-54 Kg 2 Tablet 4KDT + 500 mg Streptomisin Inj. 3 Tablet 4KDT + 750 mg Streptomisin Inj. Selam 28 hari 2 Tablet 4KDT 3 Tablet 4KDT

55.71Kg >71 Kg

4 Tablet 4KDT + 1000 mg Streptomisin Inj. 5 Tablet 4KDT + 1000

4 Tablet 4KDT

4 Tablet 2KDT + 4 Tablet Etambutol 5 Tablet 2KDT + 5

5 Tablet 4KDT mg Streptomisin Inj. Tablet Etambutol Tabel. Dosis Untuk Panduan OAT KDT Katagori 2

Dosis Perhari/Kali Tahap Pengobata n Lama Pemgobata n Tablet Isoniazid @ 300 mg 1 Kaplet Rifampisi n @ 450 mg 1 Tablet Pirazinami d @ 500 mg 3 Tablet Etambutol @ 250 mg 3 Streptomisi n Inj.

Jumlah Hari/Kal i Menelan Obat 56

2 Bulan Intensif 1 Bulan Lanjutan 4 Bulan

48

Tabel. Dosis Panduan OAT- Kombipak Untuk Katagori 2 Pengobatan Tb Pada Keadaan Khusus a. Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB b. Ibu Menyusui Dan Bayinya Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibumenyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan

55

bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya. c. Pasien TB Pengguna Kontrasepsi Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg) . d. Pasien TB Dengan Infeksi HIV/AIDS Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsipprinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan pasien TBHIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV) 3. E. Pasien Tb Dengan Hepatitis Akut Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan 3. f. Pasien TB Dengan Kelainan Hati Kronik Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE g. Pasien TB Dengan Gagal Ginjal
56

Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR. h. Pasien TB Dengan Diabetes Melitus Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopati diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut. Multi-Drug Resistant (MDR) Multi-drug resistant tuberculosis adalah resistensi obat terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lainnya (Prasad, 2005). MDR-TB menyebabkan penyakit TB paru menjadi sangat fatal dan mematikan, (terutama terjadi pada pasien TB dengan HIV), dengan perkiraan terjadinya kematian 2-7 bulan setelah terinfeksi (Bang, 2009). MDR-TB dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu primary dan acquired. Tipe primary disebabkan karena penderita tidak diobati dengan OAT sebelumnya, sedangkan tipe acquired disebabkan karena adanya pengobatan kemoterapi pada penderita TB paru. Terdapat tiga faktor risiko penting yang mempengaruhi kejadian MDR-TB, yaitu: 1) pengobatan dengan OAT yang tidak sesuai; 2) pengobatan dengan OAT yang tidak lengkap; dan 3) adanya kontak dengan komunitas penderita TB yang memiliki prevalensi resistensi obat yang tinggi. Faktor risiko lain yang berperan adalah ko-infeksi HIV, sosioekonomi rendah, hidup di penjara, penyalahgunaan obat intravena, dan keadaan-keadaan imunokompromais seperti pasien tranplantasi, pasien dengan terapi anti-kanker, HIV/AIDS, dan diabetes mellitus (Prasad, 2005). Pengobatan dengan OAT yang lengkap (kombinasi isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol) selama 6-9 bulan adalah salah satu pencegahan yang utama MDR-TB. Bila
57

MDR-TB telah terjadi, maka penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah memberikan OAT lini kedua seperti levofloksasin, aminoglikosida, pirazinamid, etambutol, dan tioamida untuk jangka waktu yang lama, yaitu 18-24 bulan, dengan efek samping yang lebih lama dan biaya yang lebih mahal (Prasad, 2005). Nonmedikamentosa 1. Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai berikut : Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawas minum obat (PMO). Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB. 2. Pembedahan Indikasi operasi a. Indikasi Mutlak Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif
58

b. Indikasi Relatif Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan Sisa kaviti yang menetap. 1.10. Pencegahan Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat dan petugas kesehatan. A. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan 1. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat. 2. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus diberikan vaksinasi BCG. 3. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya. 4. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TBC. Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasanalasan social ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan. 5. Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry, tempat tidur,pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup. 6. Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat 7. dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasi 8. dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular. 9. Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila cara-cara ini negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif. 10. Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obatobat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.
59

B. Tindakan Pencegahan 1. Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan. 2. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan. 3. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan. 4. BCG, vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan bagi ibunya dan keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupatempat pencegahan. 5. Memberantas penyakti TB paru pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan pasteurisasi air susu sapi. 6. Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karean menghirup udara yang tercemar debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya. 7. Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TB paru. 8. Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok beresiko tinggi, seperti para emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit, petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen. 9. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan tuberculin test. 2.11 Komplikasi Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut. a. Komplikasi Dini Pleuritis Efusi Pleura Empiema Laringitis Enteritis Poncets Arthropathy b. Komplikasi Lanjut
60

Obstruksi jalan nafas yaitu SOFT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis) Kerusakan parenkim berat yaitu SOPT/Fibrosis Paru Amiloidosis Karsinoma Paru Sindrom gagal nafas dewasa (ARDS) 2.12 Prognosis Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan. Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.

61

DAFTAR PUSTAKA Brooks, Geo F, MD., Janet S. Butel, Phd., dan Stephen A. Morse, Phd. Mikrobiologi Kedokteran. Bab 24. Edisi 23. Jakarta: EGC. Guyton, Arthur C. 2008. Buku ajar Fisiologi kedokteran. Bab 37-42. Edisi 11. Jakarta: EGC. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Nasional Pengendaliaan Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisis IV. Jakarta: IPD FKUI. Price, Sylvia A., dan Lorraine M. Wilson. 2004. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Bab 4. Edisi VI. Jakarta: EGC Rusnoto, Rahmatullah P., Udiono A. 2006. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian TB Paru Pada Usia Dewasa. Universitas Diponoegoro. Dikutip dari : http://eprints.undip.ac.id/5283/1/Rusnoto.pdf [Diakses 7 April 2012] Sembiring, S., 2008. Multi Drug Resistance (MDR) pada Penderita Tuberkulosis Paru dengan Diabetes 2012] Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Bab 13. Edisi 6. Jakarta: EGC. Tjay, Tan Hoan, Drs., dan Drs. Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. Bab 5. Edisi 6. Jakarta: Gramedia. Vinay Kumar, MBBS, MD, FRCPath., dan Abul K. Abbas, MBBS., Nelson Fausto, MD. 2010. Dasar Patologi Penyakit. Bab 15. Edisi 7. Jakarta: EGC. Mellitus. Universitas Sumatera Utara. Dikutip dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6406/1/08E00290.pdf. [Diakses 7 April

62

You might also like