You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi, karena telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Tahun 2000, transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif. Hukum-hukum baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan, penambangan dan perkebunan. Dengan adanya latar belakang mengenai permasalahan ini penulis mengkaji dari materi perkuliahaan hubungan antar suku bangsa. Dimana konflik yang terjadi antara suku bangsa Indonesia yakni dayak dan madura tidak terjadi dengan semerta merta tanpa proses yang panjang. Sehinggga identitas dari kesukubangsaan dayak di bangkitkan untuk melakukan perlawanan terhadap identitas suku bangsa Madura yang menurut masyarakat asli kalimantan tengah yakni suku dayak mendominasi elemen dari kehidupan masyarakat asli.

Dimana adanya penguasaan terhadap sumber daya yang ada di dalam lingkungan teritorial masyarakat. Ketertinggalan masyarakat asli terhadap pendatang di Sampit menyebabkan jatuhnya korban jiwa yang memperlihatkan adanya ketidak teraturan dalam hal pembagian sumber daya yang ada di dalam lingkup teritorial masyarakat sampit. B. Rumusan Masalah a. Maksud Maksud penulisan makalah ini adalah memberikan gambaran bagaima konflik yang terjadi antara suku Dayak dan Madura. b. Tujuan Tujuan dalam penulisan makalah ini bagaimana pihak Kepolisian mampu mengatasi masalahi konfllik antar suku bangsa seperti yang terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura. c. Ruang Lingkup Ruang lingkup penulisan makalah ini adalah tentang konflik antara suku Dayak dan Suku Madura. d. Permasalahan Bagaimana mengatasi konflik yang melibatkan suku Dayak dan Madura agar tidak terjadi lagi ?

BAB II PEMBAHASAN

A. Landasan Teori Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap

mengecewakan. 2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain-lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan

pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.

B. Faktor faktor penyebab konflik suku Dayak dan Madura Permasalahan konflik tidak terlepas dari adanya interaksi antar suku bangsa didalam penguasaan sumber daya yang ada di dalam lingkup teritorialnya. Pada awalnya masyarakat yang berada di sampit sangat konformitas terhadap persinggungan budaya hal ini dikarenakan tragedi sampit yang menjatuhkan korban
3

jiwa yang cukup banyak dari suku Madura merupakan kompleksitas dari tragedi tragedi kecil yang sebelumnya pernah terjadi. Sehingga masyarakat suku dayak memberikan label terhadap suku madura sebagai suku yang antagonis sehingga atas ketidakberdayaannya melawan pengaruh pengaruh penguasaan suku pendatang secara dominan terhadap suku yang seharusnya menjadi pemilik teritorial sumberdaya dominan yang dilakukan oleh suku madura yang menyebabkan kecemburuan secara sosial dan ekonomi . Banyak sebab yang membuat suku Dayak seakan melupakan asazi manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat suku Dayak di Sampit selalu terdesak dan selalu mengalah. Dari kasus dilarangnya menambang intan di atas tanah adat mereka sendiri karena dituduh tidak memiliki izin penambangan. Hingga kampung mereka yang harus berkali-kali pindah tempat karena harus mengalah dari para penebang kayu yang mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus-kasus tersebut. Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi premanisme Etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili oleh aparat penegak hukum. Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya kekerasan ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat
4

mereka sebagai pendatang). Sering terjadi kasus pelanggaran tanah larangan orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu perang antar etnis Dayak-Madura. Dari cara mereka melakukan usaha dalam bidang perekonomian saja, mereka terkadang dianggap terlalu kasar oleh sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat Banjar sekalipun. Banyak cara-cara pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka. Banyak pula tipu-daya yang mereka lakukan. Namun, tidak semua suku Madura bersifat seperti ini. Ada yang mengungkapakan bahwa pertikaian yang sering terjadi antara Madura dan Dayak dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan inilah yang mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan. Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda, bahkan mungkin berbenturan. Misalnya, adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke mana pun pergi, membuat orang Dayak melihat sang tamu-nya selalu siap berkelahi. Sebab, bagi orang Dayak, membawa senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang atau berburu. Tatkala di antara mereka terlibat keributan dari soal salah menyabit rumput sampai kasus tanah amat mungkin persoalan yang semula kecil meledak tak karuan, melahirkan manusia-manusia tak bernyawa tanpa kepala Saat terjadi pembantaian di Sampit entah bagaimana cara mereka (Etnis Dayak) yang tengah di rasuki kemarahan membedakan suku Madura dengan suku-suku lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari serangan beringas orang-orang Dayak.
5

Begitu pula adanya catatan ingatan dari suku asli tentang perlakuan perlakuan yang tidak adil terhadap suku asli yang menyebabkan meningkatnya konformitas dan identitas kesukuan yang dibangkitkan oleh masyarakat Dayak. Ada beberapa peristiwa yang menjadi catatan ingatan dari masyarakat dayak yang menurut masyarakat dayak adalah perlakuan yang tidak wajar terhadap masyarakat suku dayak antara lain : 1. ( Tahun 1972 di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa. Terhadap kejadian itu diadakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat (Entah benar entah tidak pelakunya orang Madura) 2. ( Tahun 1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan atau penyelesaian secara hukum tidak ada. 3. ( Tahun 1983, di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak di bunuh. Perkelahian antara satu orang Dayak yang dikeroyok oleh tigapuluh orang madura. Terhadap pembunuhan warga Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku Dayak dan Madura diadakan perdamaian. Dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian ditanda tangani oleh ke dua belah pihak, isinya antara lain menyatakan apabila orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalteng. 4. ( Tahun 1996, di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan di bunuh dengan kejam dan sadis oleh orang Madura, ternyata hukumannya sangat ringan.
6

5. ( Tahun 1997, di Desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan skor orang Madura mati semua. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu bela diri, dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya. Dan tindakan hukum terhadap orang Dayak adalah dihukum berat. 6. ( Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura tukang jualan sate. Si belia Dayak mati secara mengenaskan, tubuhnya terdapat lebih dari 30 tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur. Si korban Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian saja. 7. ( Tahun 1998, di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh empat orang Madura hingga meninggal, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri, kasus inipun tidak ada penyelesaian secara hukum. 8. ( Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangka Raya, namun besok harinya datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya tersebut dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangka Raya membebaskannya tanpa tuntutan hukum. 9. ( Tahun 1999, di Palangka Raya, kembali terjadi seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura karena masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua. Sedangkan pembunuh lolos,
7

malahan orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu. 10. ( Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua belah pihak, tanpa penyelesaian hukum. 11. ( Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama Iba oleh tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Namun para pembacok tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura. Kronologis kejadian tiga orang Madura memasuki rumah keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di gelas, mereka membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat. 12. ( Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, satu keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum. 13. ( Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 satu orang suku Dayak di bunuh oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum. 14. ( Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku
8

Madura, para pelaku kabur, tidak tertangkap, karena lagi-lagi katanya sudah lari ke Pulau Madura. Proses hukum tidak ada karena pihak berwenang tampaknya belum mampu menyelesaikannya (tidak tuntas). 15. ( Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh karena dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak. 16. ( Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh diserang oleh suku Madura. Belum terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan Suku Madura. Kelanjutan peristiwa kerusuhan tersebut (25 Februari 2001) adalah terjadinya peristiwa Sampit yang mencekam.

Apa yang membuat suku Dayak di Kalteng begitu kalap dalam menghadapi warga Madura. Hampir semua warga dan tokoh Dayak yang menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai penyebabnya. H Charles Badarudin, seorang tokoh Dayak di Palangkaraya menceritakan kelakuan warga Madura banyak yang tidak mencerminkan peribahasa di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Ia mencontohkan salah satunya dalam soal tanah. Maka dari itu, terpapar diatas bahwasanya persinggungan penguasaan

sumberdaya yang tidak terdistribusi secara merata dalam persaingan dan kerjasama sebelum meningkat menjadi konflik juga dipicu karena permasalahan lebel dari

masyarakat suku dayak terhadap suku madura dalam segi budaya yang menimbulkan etnosentrisme sehingga terjadi konflik. Menurut Coser jika diimplementasikan dalam permasalahan konflik antara suku dayak dan madura : 1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Terhadap persoalan konflik antara suku bangsa dayak dan madura adanya permasalahan penguasaan sumber daya yang tidak merata dari segi ekonomi dan lebih menguntungkan suku dayak sebagai pendatang dengan segala bentuk arogansi menurut suku asli terhadap penguasaan sumber daya teritorial. Sehingga dalam bentuk kekecewwaan terhadap perlakuan yang tidak adil menurut suku dayak tersebut sehingga mereka membangkitkan identitas kesuku bangsaannya untuk mempertahankan

penguasaannya dalam hal teritorial sumberdaya yang ada di wilayah teritorial kekuasaan suku asli. Terhadap perlakuan yang ingin memonopoli penguasaan sumber aya tersebut dilakukan dengan cara memusnahkan segala sesuatu yang berkaitan dengan suku madura, karena batas batas rasionalitas kemanusiaan sudah tidak lagi menjadi tolak ukur pada saat konflik. Maka dari itu, ada banyak anak anak bayi, perempuan, wanita hamil suku madura dianggap menjadi musuh bersama dan dapat menjadi cikal bakal yang menjadi potesi regenerasi penguasaan sumber daya tersebut.

10

2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Dalam hal ini pemerintah sebagai pihak ketiga yang mampu memfasilitasi sebagala kebuntuan yang membuat masyarakat berhentik berkonflik agar tidak jatuh korban jiwa berikutnya. Tetapi permasalahan ini tetap menjadi bahan referensi oleh suku dayak walaupun pemerintah sebagai fasilitator untuk mendamaikan kedua belah pihak dengan peran peran dari para tokoh masing masing suku agar menjaga masyarakatnya untuk mengatur kembali tatanan tatanan sosial yang ada di dalam struktur dan fungsional dari masyarakatnya untuk meraih sumber daya yang ada dalam lingkup teritorialnya C. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Agar Kejadian Yang Sama Tidak Terulang Lagi Agar kasus serupa tidak terulang lagi diharapkan ada upaya-upaya yang dapat dilakukan baik oleh Kepolisian maupun pemerintah yakni : 1. Kepolisian Yang dapat dilakukan oleh Kepolisian dalam mengatasi kasus serupa agar tidak terulang lagi antara lain : a. Kepolisian harus mampu deteksi dini pada kasus-kasus yang melibatkan perebutan sumber daya di Sampit dan bekerja sama dengan Pemerintah Daerah agar dapat mencari solusi dalam penyelesaian masalah-masalah yang melibatkan munculnya persinggungan antar kedua suku.

11

b. Melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh kedua suku agar kasus ini tidak terulang lagi dan menyakinkan kedua belah pihak bahwa solusi terbaik terhadap permasalahan perbedaan antar suku bangsa masih bisa di fasilitasi dengan cara berkomunikasi untuk mencari problem solving terhadap permasalahan tersebut. c. Penegakan hukum secara tegas dan menunjukkan netralitas aparat kepolisian dalam menciptakan stabilitas keamanan dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum negara. 2. Pemerintah Berdasarkan dari analisa kasus yang terjadi diatas bahwa kita ketahui bahwa ketidak tegasan pemerintah terhadap permasalahan lahan dan aturan aturan yang ada dalam transaksi ekonomi dan sosial memberikan dampak buruk terhadap persaingan dalam mencari sumber rezeki masyarakat. Sehingga peran dari pemerintah adalah membuka ruang ruang ekonomi masyarakat seharusnya lebih meluas dan memberikan keseimbangan diantara kemajemukan masyarakat terutama antara masyarakat dominan dan masyarakat mayoritas. Pemerintah membuat paguyuban bersama antara suku suku bangsa yang menjadikan arena komunikasi yang solutif sebelum terjadinya permasalahan yang melibatkan permasalahan kesukuan yang tidak menutup kemungkinan dengan adanya rangkaian sejarah kejadian Sampit menjadikan tolak ukur yang menimbulkan gab antara suku dayak dan madura.

12

BAB III PENUTUP

Permaslahan konflik antara suku dayak dan madura adalah rangkaian panjang dari perjalanan interaksi antara kekuatan kekuatan sosial dalam struktur sosial dalam memperebutkan sumber daya yang ada di Sampit yang menimbulkan pesaingan dan akibat dari tidak meratanya pendistribusian sumber daya yang ada akan menyebabkan konflik. Perbedaan budaya bukan merupakan penyebab konflik, tetapi bisa menjadi pemicu terjadinya konflik. Maka dari itu pihak kepolisian dan pemerintah daerah sangat berperan untuk memberikan solusi solusi terhadap permasalahan yang ada di masyarakat sampit.
13

DAFTAR PUSTAKA

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Edisi Ketiga, Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Sampit http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik#cite_note-Lewis_Coser-5 http://mbahkarno.blogspot.com/2012/10/pengertian-etnosentrisme-dan.html Republika, Tangisan Bumi Pertiwik Parsudi Suparlan, suku bangsa dan hubungan antar suku bangsa http://www.mentari.biz/peristiwa-memicu-tragedi-sampit-dayak-vsmadura.html
14

http://kolomsosiologi.blogspot.com/2011/03/teori-konflik-dari-coserdahrendorf.html

15

You might also like