You are on page 1of 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas , dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). Berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh James R Keane bagian departemen neurologi Pendidikan Kedokteran Universitas California Selatan, Los Angeles menganalisa 979 kasus multiple cranial neuropathy karsinoma nasofaring adalah penyabab no 6 akibat dari tumor yang dapat menyebabkan terjadinya multiple cranial nerve palsies. 1.2. Rumusan Masalah Dalam pembahasan materi, terdapat beberapa rumusan masalah yang dibahas dalam refferat ini, di antaranya: a. Apa yang dimaksud dengan Multiple Cranial Nerve Palsies? b. Bagaimana etiologi, patogenesis, dan gejala serta tanda dari Multiple Cranial Nerve Palsies dihubungkan dengan Karsinoma Nasofaring? c. Bagaimana langkah diagnostik serta diagnosis Multiple Cranial Nerve Palsies? d. Bagaimana penatalaksanaan pasien Multiple Cranial Nerve Palsies? e. Bagaimana prognosis Karsinoma Nasofaring?

BAB II ISI 2.1. Definisi Neuropati kranial multiple (multipl cranial neuropathies) atau yang lebih sering dikenal dengan kelemahan saraf kranial multiple (multiple cranial nerve palsies) adalah bentuk dari kelemahan yang melibatkan kerusakan lebih dari satu saraf kranial. 2.2. Epidemiologi Berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh James R Keane bagian departemen neurologi Pendidikan Kedokteran Universitas California Selatan, Los Angeles menganalisa 979 kasus multiple cranial neuropathy. Dari hasil tersebut didapatkan data pasien berdasarkan etiologi

Lebih jauh lagi, di Indonesia kanker ini menempati urutan keempat diantara keganasan yang terjadi di seluruh tubuh dan urutan pertama untuk seluruh keganasan di daerah kepala dan leher dengan prosentase 60%. Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia dan kelumpuhan saraf cranial yang terjadi akibat karsinoma nasifaring

ditemukan pada 25% penderita. Penyakit ini mengenai semua umur, terbanyak pad usia 40-60 tahun, perbandingan antara laku-laki dan perempuan 2:1. 2.3. Anatomi Nervus Cranialis Cranium disusun oleh disusun tulang-tulang (ossa craniales) ketebalan bervariasi bentuk tidak teratur & rumit sepasang/tunggal

Dihubungkan oleh sutura, articulus temporomandibularis Neurocranium = cranium cerebrale : membentuk cavum cranii, yang ditempati encephalon (otak)

Dikelompokan: Calvaria Disusun oleh Pars squamosa ossis temporalis dextra & sinistra Squama frontalis Os parietale dextra & sinistra Squama occipitalis

Basis cranii Basis Cranii interna

Tersusun oleh fossa yang membentuk seperti tangga Fossa cranialis anterior Ditempati lobus frontalis cerebri Dibentuk:

Pars orbitalis ossis frontalis Lamina cribrosa ossis ethmoidalis Ala parva (minor) ossis sphenoidalis Foramen caecum & Lamina cribrosa ossis ethmoidalis (cavitas nasi)

Fossa cranialis media

Ditempati lobus temporalis cerebri Dibentuk Foramen opticum Fissura orbitalis superior (Orbita) Foramen rotundum (fossa pterygopalatina)
4

Foramen spinosum Foramen ovale (fossa infratemporale) Foramen lacerum

Fossa cranialis posterior Terletak di posterior, paling dalam dan paling luas Ditempati cerebellum, pons & medulla oblongata

Basis Cranii eksterna

Nervus Cranialis terbentuk N. I masuk ke cerebrum di inferior lobus frontalis N. II masuk ke diencephalon, di inferior lobus frontalis N. III s/d XII masuk dan atau keluar Truncus Cerebri o o o o o o o o o o N. III keluar pada Fossa Interpeduncularis N. IV keluar pada Inferior Colliculus Inferior N. V keluar masuk pada pangkal Brachium Pontis

N. VI keluar pada batas Pons-MO, di superior Pyramis MO N. VII keluar masuk pada batas Pons-MO, dilateral N. VIII masuk pada batas Pons-MO, dilateral N. IX keluar masuk pada Sulcus Lat-Post MO N. X keluar masuk pada Sulcus Lat-Post MO

N. XI keluar pada Sulcus Lat-Post MO N. XII keluar pada Sulcus Lat-Ant MO

Tempat keluar dan masuknya nervus cranialis kedalam basis crania interna

N. I (N. Olfaktorius) o Masuk : Lamina Cribrosa Os Ethmoidale

N. II (N. Opticus) o Masuk : Canalis Opticus Foramen Opticum

N. III (N. Okulomotorius) o o Keluar Nukleus : : Fissura Orbitalis Superior Cavum Orbita

Nucleus motoris N. III (SM) otot-otot extrinsik Oculi (gerakan Oculi) Nucleus Edinger-Westphal (VM) otot intrinsik Oculi (miosis pupillae)

o Lintasan Orbita N. IV (N. Trochlearis) o o o Keluar Nucleus Lintasan

:N. III Sinus Cavernosus Fissura Orbitalis Sup masuk dlm Cav.

: Fissura Orbitalis Superior Cavum Orbita : Nucleus Motoris N. IV (SM) m. Obliquus Superior :

Nucleus Motoris (MES) N. IV Sinus Cavernosus Fissura Orbitalis Sup masuk Cav. orbita innervasi m. Obliq. Sup (SM) N. V (N. Trigeminus) o Masuk/keluar : N. V1 keluar pada Fissura Orbitalis Superior ke Cav.Orbita N. V2 keluar pada Foramen Rotundum N. V3 keluar dan masuk pada Foramen Ovale

N. VII (N. Facialis) o Masuk/keluar : Meatus Acusticus Internus Canalis Facialis For. Stylomastoideum

N. VIII (N. Vestibularis) o Masuk : dari Labyrinthus Ossis Temporalis MAI PAI

N.IX (N. Glossopharyngeus) dan N. X. (N. Vagus) Masuk/keluar : Foramen Jugulare (bersama N. X dan XI)

N. XI (N. Accessorius) o o o Keluar Lintasan : Foramen Jugulare (bersama N. IX dan X) : Untuk m. Trapezius + m. Sternocleidomastoideus

Cornu Ant Radix Inf. N. XI Canalis Vertebralis For. Occ. Magnum Fossa Cranii Post N. XI For. Jugularis m. Trapezius + m. Sternocleidomastoideus

N. XII (Hypoglosus) o Keluar : Canalis N. Hypoglossi

2.4. Patogenesis Multiple Cranial Nerve Palsies pada Carsinoma Nasofaring Kanker nasofaring merupakan kanker ganas yang terdapat di daerah nasofaring, yaitu bagian dari faring/tenggorokan yang terletak diantara antara belakang hidung sampai esofagus, lebih seringnya tumbuh di daerah Fossa Rusenmuller yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. Kanker ini biasanya berasal dari epitel atau mukosa yang melapisi permukaan nasofaring (F. Dubrulle, 2007). Batas nasofaring: Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum. Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri. Posterior : - vertebra cervicalis I dan II Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar Mukosa lanjutan dari mukosa atas

Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang Muara tuba eustachii Fossa rosenmulleri

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial.

Struktur penting yang ada di Nasopharing 1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva 2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva 3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena musculus levator veli palatini. 4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius 5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan. 6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi Karsinoma Nasofaring. 7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis. 8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
10

9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan oropharing karena musculus sphincterpalatopharing 10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei Fungsi nasofaring : Sebagai jalan udara pada respirasi Jalan udara ke tuba eustachii Resonator Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung Faktor infeksi karsinoma nasofaring diduga disebabkan oleh: 1. Infeksi Virus Epstein-Barr Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan

selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. 2. Genetik Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen. Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan

11

dengan HLA-A2, HLAB17 dan HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring. 3. Faktor lingkungan Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu pengkonsumsi alkohol dan perokok juga merupakan salah satu faktor yan diperkirakan menginisiasi terjadinya karsinoma nasofaring. Di mana alkohol dan asap rokok ditemukan mengadung formaldehyde yang diteliti merupakan faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

12

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Indonesia kanker ini menempati urutan keempat diantara keganasan yang terjadi di seluruh tubuh dan urutan pertama untuk seluruh keganasan di daerah kepala dan leher dengan prosentase 60%. Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh

Indonesia dan kelumpuhan saraf cranial yang terjadi akibat karsinoma nasifaring ditemukan pada 25% penderita. Karsinoma nasofaring diduga diakibatkan oleh faktor infeksi virus EpsteinBarr, genetic, dan faktor lingkungan. Gejala yang dapat ditemukan berupa kelainan hidung, pendengaran, sampai gangguan pada saraf kranial. Dimana pengobatan karsinoma nasofaring ini dapat dilakukan dengan radioterapi, kemoterapi, atau operasi. 3.2. Saran Setelah menegatahui faktor resiko maupun penyebab dari karsinoma nasofaring hendakanya kita mampu menjaga diri kita untuk terhindar dari penyakit ini. Dan segera memeriksakan diri ke sarana kesehatan apabila diduga mengalami gejala-gejala dari karsinoma nasofaring.

13

DAFTAR PUSTAKA

Adams and Victors. Principle of Neurology. 2005. E-book. Desen, Wan. Buku Ajar Onkologo Klinis Edisi II. 2008. FKUI: Jakarta. Frotscher, M dan M. Baehr. Diagnosis Topik Neurologis DUUS. 2010. Jakarta: EGC Keane, James R. Multiple Cranial Nerve Palsies Analysis of 979 Case. Arch Neurol/Vol.6. November 2005 www.medscape.com

14

You might also like