You are on page 1of 17

MAKAL AH NEUROLOGI

BUTA KORTIKAL

Disusun Oleh: ANDIKA PRADANA 070100071

Supervisor: Dr. Kiki Mohammad Iqbal, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SYARAF (NEUROLOGI) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN 2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan petunjuk-Nya sehingga makalah ilmiah kepaniteraan klinik program pendidikan profesi dokter ini dapat diselesaikan dengan semaksimal mungkin. Makalah ilmiah ini disusun sebagai upaya integrasi pengetahuan biomedik yang didapat di bangku perkuliahan dengan kenyataan kasus yang terjadi pada pasien di rumah sakit. Diharapkan dengan penulisan makalah ilmiah ini, dapat dihasilkan suatu pemahaman yang utuh, integratif dan aplikatif mengenai seluk beluk penyakit yang dibahas dalam makalah ilmiah ini. Makalah ilmiah kali ini mengangkat topik Buta Kortikal, suatu penyakit yang merupakan cakupan divisi Neurooftalmologi Ilmu Penyakit Syaraf. Diharapkan dengan membahas kasus ini, diperoleh pula pemahaman yang lebih kompleks mengenai peran jarasjaras syaraf dalam memberikan input visual. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ilmiah kali ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ilmiah ini kedepannya nanti.

Medan, Agustus 2011

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Kata Pengantar Daftar Isi ............................................................................................. 1 2

.........................................................................................................

BAB I: Pendahuluan 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1.2. Tujuan Penulisan ...................................................................... BAB II: Tinjauan Pustaka 2.1. Jaras-jaras Neuroanatomi Penglihatan 2.2. Buta Kortikal 2.2.1 Definisi ....................................................................... ........ 2.2.2. Etiologi dan Faktor Resiko 2.2.3. Patofisiologi ............................................ 7 7 8 10 10 11 12 13 ............................................. 5 4 3

..................................................................... .........................................................

2.2.4. Manifestasi Klinis

2.2.5. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang ................................ 2.2.6. Differensial Diagnosis .......................................................... 2.2.7. Penatalaksanaan 2.2.8. Prognosis BAB III: Penutup 3.1. Kesimpulan 3.2. Saran Daftar Pustaka ................................................................................. .........................................................

.....................................................................

14 14 15

............................................................................................. ..............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Buta kortikal adalah kehilangan penglihatan dikarenakan adanya disfungsi bilateral

dari korteks visual di lobus oksipitalis otak yang merefleksikan indikasi keparahan dari gangguan visual yang dikarenakan disfungsi bilateral jaras genikulokalkarina. Seiring dengan berkembangnya penelitian di bidang neurooftalmologi, terminologi buta kortikal (cortical blindness) mulai ditinggalkan. Pemahaman neuroanatomi yang mengungkapklan bahwa lesi yang terjadi tidak harus terbatas hanya pada korteks telah memperkenalkan terminologi yang lebih sesuai, yaitu Cerebral Visual Impairment (Gangguan Penglihatan Serebral). Besarnya angka kejadian (epidemiologi) buta kortikal pada pasien dewasa sampai saat ini belum terdokumentasikan. Namun prevalensi kejadian buta kortikal pada anak telah bnayak diteliti. Buta kortikal adalah penyebab utama gangguan penglihatan bilateral pada anak-anak di negara-negara barat dan dari tahun ke tahun insidensinya terus semakin meningkat. Hal ini juga kemungkinan dikarenakan penjajakan diagnostik yang lebih baik untuk mengidentifikasi buta akibat lesi SSP ini. The Oxford Register of Early Childhood Impairments melaporkan kejadian secara keseluruhan gangguan penglihatan bilateral pada anak mencapai sebesar 0,14%, dengan 29,5% dari seluruh kasus disebabkan gangguan visual kortikal dan 14,1% disebabkan oleh karena nystagmus yang menjadi penyebab utama kedua gangguan penglihatan anak. Dalam studi lain yang dilaksanakan di Liverpool, Rogers menemukan bahwa gangguan visual kortikal adalah penyebab paling umum penurunan visual pada anak dengan gangguan saraf asosiasi (49% dari populasi penelitian). Sementara Rosenberg yang melakukan penelitian di 5 negara kawasan Nordik mencatat peningkatan kejadian gangguan penglihatan yang disebabkan oleh lesi di otak. Di California Utara, gangguan SSP juga ditemukan menjadi penyebab utama gangguan penglihatan pada anak-anak di bawah umur 5 tahun. Buta kortikal sampai saat ini juga masih merupakan salah satu bahasan yang tengah gencar diteliti dalam ranah neurooftalmologi. Berbagai upaya diagnostik yang lebih baik tengah dikembangkan guna memberikan kemudahan dalam hal penjajakan ke arah diagnosis penyakit ini. Selain itu, penyakit ini juga sangat terkait dengan kualitas hidup penderitanya.

Terlebih lagi pada pasien anak, karena selama masa tumbuh kembangnya, input penglihatan (visual) merupakan salah satu media belajar dan bersosialisasi yang paling utama. Mengingat luasnya cakupan permasalah buta kortikal, makalah ini disusun untuk lebih mengeksplorasi dan menelaah lebih lanjut berbagai tinjauan teoritis neuroanatomi dan klinis yang ditimbulkan sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu pemahaman yang komprehensif dan utuh mengenai topik Buta Kortikal ini.

1.2. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya: Menelaah lebih dalam tentang jaras-jaras neuroanatomi visual yang terlibat dalam hal buta kortikal Memaparkan pembahasan klinis buta kortikal dari segi terminologis, etiologi, patofisiologi, penjajakan diagnostik, penatalaksanaan serta prognosis kejadian buta kortikal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Jaras Jaras Neuroanatomi Penglihatan Sebelum membahas buta kortikal yang merupakan suatu proses patologis pada jarasjaras penglihatan, perlu diketahui terlebih dahulu tinjauan neuroanatomi korelatif dan fisiologi jaras penglihatan secara normal. Secara umum, sistem visual terdiri dari retina, N.optikus (N.II), khiasma optikum, traktus optikus, nukleus genikulatum lateral (CGL), radiatio genikulo-kalkarina, korteks kalkarina primer, korteks asosiasi dan lintasan antar hemisfer. Cahaya yang tiba di retina diterima oleh sel batang dan sel kerucut sebagai gelombang cahaya. Gelombang cahaya ini akan menginduksi depolarisasi sel saraf dan mencetuskan impuls yang dihantarkan oleh serabut-serabut sel di striatum optikum ke otak melalui nervus optikus. Nervus optikus memasuki ruang intrakranium melalui foramen optikum. Di daerah tuber sinerium (tangkai hipofise) nervus optikus kiri dan kanan mengalami decussatio dimana jaras dari nervus optikus belahan nasal akan berjalan secara menyilang, sedangkan berkas nervus optikus dari belahan temporal tidak mengalami persilangan. Daerah pertemuan antara nervus optikus kiri dan kanan ini disebut sebagai khiasma optikum. Setelah mengalami persilangan, serabut saraf kemudian melanjutkan lagi perjalanannya sebagai traktus optikus menuju ke dua tempat, yaitu ke nukleus genikulatum lateralis (NGL) yang berada di thalamus dan ke kolikulus superior. Dari masing-masing nukleus genikulatum lateralis, akson-akson akan mengalami proyeksi secara ipsilateral yang dikenal sebagai radiatio optikum dan berjalan menuju korteks calcarina yang berada di lobus occipitalis. Korteks calcarina ini merupakan korteks visual primer yang disebut sebagai area Broadmann 17. Di sekeliling daerah tersebut terdapat daerah korteks asosiasi visual yang merupakan area Broadmann 18 dan 19. Selain menuju NGL, traktus optikus juga berjalan menuju kolikulus superior. Di daerah ini terdapat sinaps dengan lobus occipitalis yang kemudian akan diteruskan ke medulla spinalis melalui traktus tectospinalis yang kemudian mengatur refleks pergerakan mata, kepala dan leher ketika terdapat impuls penglihatan.

Selain itu, terdapat proyeksi lain dari traktus optikus menuju kolikulus superior yang kemudian bersinaps dengan nucleus Edinger Westphal yang merupakan bagian dari nervus oculomotorius (N III). Nukleus ini kemudian akan menjulurkan aksonnya yang bersifat parasimpatis untuk kemudian menuju ganglion ciliaris. Serabut saraf post-sinaptik akan menginnervasi musculus sfingter pada iris. Jaras inilah yang bertanggung jawab terhadap refleks cahaya pada pupil. Di daerah nukleus Edinger Westphal, impuls dari traktus optikus kiri dan kanan mengalami penggabungan satu sama lain, sehingga pemberian impuls cahaya pada mata kanan akan mengakibatkan refleks pupil (miosis) pada mata kanan dan juga mata kiri, yaitu refleks cahaya direk dan indirek.

Jaras-jaras neuroanatomi visual (penglihatan)

Sehingga jika terjadi lesi di korteks, refleks pupil terhadap cahaya tetap masih ada karena refleks pupil diatur oleh hubungan nervus optikus yang pergi ke kolikulus superior untuk diteruskan ke kompleks inti pre tektal tanpa menyinggahi bagian korteks. Namun secara otomatis, tidak akan dapat terwujud sensasi visual dan penglihatan.

1.2.

Buta Kortikal 1.2.1. Definisi Buta kortikal adalah gangguan penglihatan yang sementara atau menetap dikarenakan adanya disfungsi bilateral dari korteks visual di lobus occipitalis. Buta kortikal juga selalu digunakan untuk indikasi keparahan dari gangguan visual yang dikarenakan disfungsi bilateral jaras genikulokalkarina. Sebenarnya penggunaan istilah buta serebral lebih tepat karena lesi tidak selalu pada korteks. Lesi dapat dijumpai di daerah korteks, subkorteks maupun oleh penyebab non anatomis yang dapat dikarenakan oleh epilepsy. Sebagai tambahan, derajat dari gangguan visual pada buta kortikal sangat bervariasi dan jarang hingga jatuh ke tahapan buta total, sehingga diperkenalkan istilah ganguan visual serebra (cerebral visual impairment) untuk anak-anak untuk menghindari kesan negatif dari prognosis yang buruk dari buta kortikal (Lam, 2009). Namun pada beberapa artikel, penggunaan istilah gangguan visual kortikal dan buta kortikal dianggap sama. Walaupun pada pembahasan gangguan visual kortikal lebih ditekankan pada anakanak sedangkan buta kortikal digunakan pada orang dewasa.

1.2.2. Etiologi dan Faktor Resiko Dari beberapa literatur, dinyatakan bahwa penyebab tersering kejadian buta kortikal pada dewasa adalah oklusi arteri cerebral posterior yang memberikan vaskularisasi kepada korteks calcarina di lobus occipitalis. Hal ini akan mengakibatkan infark bilateral pada lobus occipitalis medialis yang merupakan area visual primer (area Broadmann 17). Kejadian buta kortikal yang lebih jarang terjadi akibat oklusi arteri basilaris sehingga mengakibatkan infark luas pada daerah vaskularisasinya.

Hasil penelitian Aldrich melaporkan bahwa penyebab buta kortikal diantaranya adalah stroke iskemik spontan (32%), stroke iskemik setelah operasi pembedahan jantung (20%) dan iskemi akibat angiografi cerebral (12%). Berbeda dengan pasien dewasa, penyebab buta kortikal yang lebih umum ditemukan pada pasien pediatri adalah hipoksik iskemik ensefalopati yang mencakup 35% kejadian. Penyebab lain kejadian buta kortikal pada anak diantaranya: Progressive multifocal leukoencephalopathy Periventricular leukoencepalopathy Bilateral infiltrating tumours, contoh: glioma Infeksi, contoh meningitis Hydrocephalus Trauma (shaken babay syndrome) Malformasi otak kongenital Kelainan metabolik Epilepsi

1.2.3. Patofisiologi Buta Kortikal Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, penyebab tersering dari buta kortikal pada pasien dewasa adalah infark bilateral pada area broadmann 17 yang merupakan area visual primer. Pada dasarnya, kejadian buta kortikal ini tidak harus terbatas hanya pada area 17 tersebut, tetapi dapat juga melibatkan area asosiasinya, yaitu area 18 dan area 19. Hal ini dikarenakan impuls penglihatan tersebut akan diintegrasikan dan dipersepsikan untuk kemudian menjadi bentuk dan arti suatu penglihatan. Perjalanan untuk menjadi buta kortikal ini dapat secara perlahan-lahan, namun dapat juga terjadi secara akut. Kejadian buta kortikal yang terjadi secara perlahan-lahan dijumpai pada pasien stroke unilateral pada lobus oksipital yang kemudian mengalami kemungkinan akan berkembang pengurangan presepsi visual secara kontralateral dan menjadi buta kortikal dalam 3-4 tahun. Perkembangan ini berhubungan dengan umur yang lebih tua, riwayat keluarga mengenai penyakit vaskular, penyakit jantung,

merokok, diabetes melitus, perluasan infark sampai ke area sylvian dan tanpa adanya kemajuan penglihatan setelah stroke yang sesisi (Lam, 2009). Sedangkan kejadian buta kortikal yang terjadi secara mendadak umum disebabkan oklusi arteri serebral posterior (Devinsky). Oklusi arteri serebral posterior bilateral atau oklusi bagian rostral a.basilaris menimbulkan buta kortikal dengan denial of blindness (sindroma Anton) dimana penderita buta tetapi menyangkal kebutaannya, dan melaporkan pengalaman-pengalaman visual, bertindak tanduk seperti

penglihatannya normal, afasia amnestik, gangguan memori baru yang berat, konfabulasi dan deteriorisasi intelektual (Toll, 1984). Berbeda dengan pasien dewasa, anak yang mengalami kejadian buta kortikal lebih sering diakibatkan oleh hiposik iskemik ensefalopati. Secara anatomis, daerah perbatasan antara vaskularisasi arteri cerebri anterior dengan media, dan antra arteri cerebri media dengan posterior dikenal sebagai daerah watershed karena merupakan daerah dengan kemungkinan peling tinggi mengalami hipoperfusi. Keadaan hipoksia berkepanjangan yang dialami oleh bayi akan mengakibatkan hilangnya mekanisme autoregulasi cerebral sehingga daerah tersebut dengan cepat menaglami hipoperfusi yang mengakibatkan infark pada daerah parietooccipitalis. Daerah korteks calcarina (area 17) merupakan daerah yang paling sering terkena, dan daerah daerah di sekitarnya juga sering mengalami imbas negative walaupun tidak selalu. Di masa lalu, tercatat infeksi merupakan salah satu penyebab penting kejadian buta kortikal pada anak-anak. Infeksi terutama oleh Haemophillus influenza, Pneumococci, Meningococci dan herpes simplex virus tercatat sebagai 1,8% penyebab buta kortikal pada anak. Infeksi oleh mikroorganisme tersebut diduga menyebabkan keadaan trombophlebitis yang disertai dengan oklusi arteri setempat dan

mengakibatkan keadaan buta kortikal. Migraine, epilepsi dan spasme infantile juga tercatat menjadi salah satu penyebab kejadian buta kortikal. Dalam hal ini, keadaan vasospasme yang menginduksi munculnya gejala migraine dan kejang tersebut akan berakibat timbulnya iskemia pada beberapa daerah korteks termasuk korteks calcarina dan menyebabkan gejala buta kortikal. Keadaan ini dapat bersifat transien (sementara) dan kemudian daya penglihatan kembali menjadi normal.

1.2.4. Manifestasi Klinis Beberapa manifestasi klinis yang dijumpai pada seorang pasien dengan buta kortikal atau cerebral visual impairment berdasarkan patofisiologi yang telah diterangkan di atas, diantaranya: a) Kehilangan ketajaman visual (visual acuity) yang nyata dan biasanya simetris b) Respon pupil (relex cahaya) normal c) Presepsi visual hampir tidak ada d) Optokinetik nistagmus tidak ditemui e) Tidak adanya atrofi atau edema papil (funduskopi normal) ( f) Pada beberapa pasein anak dengan buta kortikal, didapati perilaku tertentu yaitu light-gazing yang merupakan kecenderungan untuk melihat ke arah sumber cahaya terang seperti sinar matahari, lampu maupun senter. Mekanisme yang menyebabkan teradinya perilaku ini masih dalam penelitian lebih lanjut. (Cummings, 2002).

1.2.5. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan bantuan gambaran CT-Scan atau MRI. Dari anamnesa ditemui penurunan ketajaman visual bisa secara tiba-tiba maupun perlahan. Penurunan ketajaman visual terjadi pada ke dua mata (simetris). Tingkat penurunan ketajaman penglihatan sangat bervariasi. Adalah sangat penting untuk terlebih dahulu menyingkirkan kelainan oftalmologis yang terjadi langsung pada organ mata dan tidak berhubungan dengan serabut saraf. Pemeriksaan funduskopi dapat membantu, dimana tidak ditemukan kelainan pada buta kortikal. Pemeriksaan refleks cahaya (refleks pupil) harus tetap dijumpai pada pasien dengan buta kortikal. Jika refleks pupil menghilang, harus dicurigai bahwa kemungkina lesi terdapat di jaras-jaras neuroanatomi yang lebih awal (proximal) misalnya muali dari serabut saraf N II, kiasma optikum, traktus optikus dan nucleus Edinger Westphall, dan bukan pada korteks serebri.

. Dalam banyak hal, modalitas neuroimejing dapat memberikan kontribusi dalam membantu menegakkan diagnosis. Sungghupun demikian, kelainan yang terlihat pada CT Scan maupun MRI dapat sangat bervariasi. Khetpal melaporkan bahwa kelainan radiologis yang sering dijumpai terutama pada pasien anak diantaranya atrofi korteks global, ensefalopati iskemik. Untuk beberapa kasus, misalnya bayi premature, modalitas MRI lebih menjadi preferensi karena terbukti lebih sensitive menunjukkan kelainan berupa periventricular leukoensefalopati.

1.2.6. Differensial Diagnosis Adapun diagnosis banding untuk buta kortikal adalah adanya lesi di jaras visual bagian lebih awal, visual agnosia, histeria (Duke). Untuk membedakan apakah kerusakan di jaras visual lebih awal dapat diinterpretasi dari hasil pemeriksaan funduskopi atau ada tidaknya reaksi pupil atau optokinetik nystagmus. Jika refleks pupil tidak ada yang disertai penurunan ketajaman penglihatan, maka lesi berada di jaras awal dari retina, nervus optikus, kiasma optikum, traktus optikus hingga nucleus geniculatus lateralis dan kolikulus superior Dalam hal ini, korteks calcarina (area 17) tidak terlibat dan tidak pula mengalami lesi karena bagian ini tidak ikut terlibat dalam lengkung refleks pupil. Namun perlu juga disingkirkan apakah hilangnya refleks pupil terjadi akibat kelumpuhan nervus II sebagai pembawa sensorik ataukah karena kelumpuhan nervus III sebagai pembawa output motorik. Jika hilangnya refleks pupil akibat paralisis nervus II, maka refleks cahaya akan hilang total baik direk maupun indirek jika tes dilakukan pada mata yang sakit. Saat cahaya diletakkan pada mata yang sehat (mata kontralateral), maka refleks pupil kembali muncul, baik direk maupun indirek. Sebaliknya, jika hilangnya refleks pupil diakibatkan oleh paralisis nervus III, maka refleks cahaya yang hilang hanyalah pada mata yang mengalami kelumpuhan saja (refleks cahaya direct), sementara refleks cahaya indirek tetap intak, kecuali terjadi paralisis nervus III bilateral. Perlu diingat, pada buta kortikal hasil pemeriksaan funduskopi dalam batas normal, selama tidak dijumpai kelainan oftalmologi yang menjadi komorbid. Salah satu kelainan yang cukup menyerupai buta kortikal adalah amaurosis fugax, yaitu suatu keadaan hilangnya daya penglihatan total ataupun parsial monokuler

ipsilateral yang hanya bersifat temporer dalam hitungan menit hingga jam. Kelainan ini merupakan salah satu gejala dari Transient Ischemic Attack dan sering disebabkan juga oleh oklusi arteri dan proses iskemia. Perbedaannya dengan buta kortikal adalah letak lesi anatomisnya. Amaurosis fugax terjadi akibat oklusi arteri oftalmika yang merupakan cabang dari arteri carotis interna dan tidak terlibat dengan vaskularisasi vertebrobasiler yang mengarah ke korteks occipitalis. Differensial diagnosis lain dari buta kortikal adalah keadaan hysteria. Keadaan ini merupakan kelaina psikiatrik dimana seseorang dapat mengalami kehilangan fungsi panca indra, termasuk daya penglihatan yang sering dikaitkan dengan letupan perasaan emosional yang hebat. Pada pasien dengan histeria, sering dijumpai keadaan pura-pura buta yang bertujuan menarik perhatian. Namun perbedaan paling utama yang membedakan hysteria dengan buta kortika adalah tidak dijumpainya lesi pada korteks maupun struktur otak lainnya yang nampak dari hasil pencitraan CT Scan maupun MRI.

1.2.7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan buta kortikal pada dasarnya adalah dengan menghilangkan etiologi dari keadaan itu sendiri, sedangkan pengobatan khusus dengan medikamentosa tertentu yang ditujukan untuk pengobatan buta kortikal tidak ada. Jika penyebabnya adalah stroke, terutama stroke iskemik, maka penatalaksanaan difokuskan pada manajemen strokenya. Diharapkan dengan teratasinya keadaan stroke, maka keadaan buta kortika juga sedikit banyak dapat diperbaiki. Perbaikan infark lobus oksipitalis ditandai dengan munculnya Fenomena Riddoch dimana pendeerita mampu melihat adanya gerakan, tetapi tidak mampu mengenali bentuk gerakan. Sumber cahaya yang diam tidak akan dapat terlihat, akan tetapi sumber cahaya yang begerak mulai dapat dilihat. Munculnya perbaikan keadaan buta kortikal ini sampai saat ini masih menjadi topik yang sedang diteliti lebih lanjut. Hipotesis yang ada menerangkan bahwa hal ini kemungkinan disebabkan adanya potensi visual yang masih tersisa yang secara bertahap akan mengalami perbaikan seiring waktu. Perbaikan juga terjadi karena masih adanya daerah yang tidak mengalami kerusakan di sekitar daerah pusat lesi.

Perbaikan keadaan ini umum ditemukan terutama pada anak-anak. Dari sautu studi eksperimental dengan melakukan ablasi pada area 17, 18 dan 19 dari anak kucing dan kucing dewasa, dijumpai terjadi kompensasi berupa peningkatan proyeksi anatomis dari retina menuju bagian posteromedial lateral area visual suprasilvii ekstrastriatum. Namun, proses kompensasi ini tidak dijumpai pada kucing dewasa.

1.2.8. Prognosis Aldrich (1987) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa prognosis terbaik dijumpai pada pasien berumur di bawah 40 tahun dengan tanpa riwayat hipertensi dan diabetes mellitus, dan tanpa adanya hubungan dengan gangguan memori, bahasa dan fungsi kognisi. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa kejadian buta kortikal yang diakibatkan oleh stroke memiliki prognosis yang lebih buruk. Berbeda dengan pasien dewasa, prognosis buta kortikal pada pasien anak sedikit lebih baik. Hampir semua anak mengalami perbaikan dari keadaan buta kortikalnya, walaupun dalam derajat perbaikan yang berbeda-beda. Hasil penelitian Matsuba dan Jan mengemukakan bahwa 46% pasien anak mengalami peningkatan daya ketajaman penglihatan (visual acuity). Sementara penelitian Ho menunjukkan prognosis yang lebih baik yaitu mencapai 60% dari total pasien anak dengan buta kortikal. Derajat perbaikan yang dialami tersebut sangat bergantung pada beberapa faktor seperti penyebab dan luasnya lesi anatomis, usia saat terjadi gejala pertama kali dan jenis kerusakan yang terjadi. Prognosis menjadi lebih buruk jika lesi anatomis yang terjadi mencakup daerah subkorteks. Hoyt dalam penelitiannya melaporkan bahwa pasien buta kortikal dengan lesi di korteks calcarina mengalami perbaikan hingga 78% dari seluruh kasus, sedangkan angka perbaikan bagi pasien dengan lesi di subkorteks, seperti misalnya periventricular substansia alba hanya sebesar 42% saja. Penyebab lain dari buta kortikal seperti meningitis bakterial dan epilepsy juga tercatat memiliki prognosis yang lebih buruk dalam hal perbaikan keadaan buta kortikal.

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan Buta kortikal adalah gangguan penglihatan yang sementara atau menetap dikarenakan adanya disfungsi bilateral dari korteks visual di lobus occipitalis yang merefleksikan keparahan dari gangguan visual yang dikarenakan disfungsi bilateral jaras genikulokalkarina. Istilah yang lebih tepat untuk terminologi ini adalah cerebral visual impairment. Etiologi utama buta kortikal adalah infark pada lobus occipitalis bilateral yang umum disebabkan oleh oklusi arteri cerebral posterior maupun oleh hipoksik iskemik ensefalopati. Pemeriksaan fisik berupa menurunnya daya penglihatan (visual acuity) dengan refleks pupil terhadap cahaya yang intact serta tidak ditemukannya kelaina dari pemeriksaan funduskopi menjadi merupakan beberapa penjajakan untuk mengarahkan diagnosis. Bantuan modalitas pencitraan radiologis berupa CT Scan dengan ditemuinya infark bilateral dapat membantu konfirmasi diagnosis. Penatalaksanaan ditujukan kepada etiologi yang mendasari dengan prognosis yang cukup baik pada pasien dengan onset usia di bawah 40 tahun, terutama pada anak-anak.

3.2. Saran Diagnosis dini keadaan buta kortikal diperlukan terutama pada keadaan iskemia yang diakibatkan oleh emboli maupun trombus pada arteri cerebri posterior guna kepentingan penatalaksanaan yang lebih intensif. Rehabilitasi dan dukungan psikososial perlu dibangun terutama dalam penatalaksanaan buta kortikal yang terjadi pada pasien anak mengingat

manifestasinya yang dapat menurunkan aktivitas sosial dan tumbuh kembang anak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Stephen G Waxman, 2010. The Visual System, dalam Clinical Neuroanatomy 26th ed. New York. McGraw-Hill: 211 218 2. Luis H Opina, 2009. Cortical Visual Impairment, dalam American Academy of Pediatrics: Pediatrics in Review vol 30: e81 e90 3. Iskandar Japardi, 2002. Kelainan Neurooftalmologik pada Pasien Stroke. FK USU. Availabel from http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi16.pdf [Accessed July 28, 2011]
4. Roger

P Simon, David A greenberg. Michael J Aminoff. 2009. Disturbance in

Vision, dalam Clinical Neurology 7th ed International Edition. New York. McGrawHill: 125 - 148 5. Melamed, E., Abraham F.A., dan S. Lavy. Cortical Blindness as a Manifestation of Basilar Artery Occlusion. Europan Neurology, Vol.11. Kargel. Yerussalem. 22-29. Available from: http://content.karger.com/ProdukteDB/produkte.asp?Doi=114302 [Accessed 4 April 2010] 6. Byron L Lam, Jonathan Trobe. 2011. Cortical Blindness; A Clinical Summary. Available from http://www.medlink.com/medlinkcontent.asp [Accessed August 2, 2011] 7. Michael S Aldrich, Anthony G Alessi, Roy W Beck, 1987. Cortical Blindness: Etiology, Diagnosis and Prognosis. Annals of Neurology vol 21 (2): 149 158. 8. Milner, A. David dan Melvyn A. Goodale. The Visual Brain in Action.Oxford University Press. New York. 2006. 69-75. Available from: http://books.google.co.id/books?id=8JpDxvVaghEC&pg=PA67&dq=cortical+blindn ess&lr=&cd=11#v=onepage&q=cortical%20blindness&f=false [Accessed July 30, 2011] 9. Fazel, Farhad dan Ali Abdalvand. Transien Cortical Blindness: A Ust Know Complication of Coronary Angiography: A Case Report. ARYA Atherosclerosis Journal. 2009. 49-50. Available from:

http://crc.mui.ac.ir/arya/arya/sounds/1691/1691_0.pdf [Accessed 27 Maret 2010]

You might also like