You are on page 1of 4

MAQASHID SYARIAH

Secara bahasa, maqashid syariah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan syariah. Maqashid merupakan jama dari maqsudun yang berarti kesengajaan atau tujuan (al-Afriqi, Ibn Mansur, t.th:175). Sedangkan syariah berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan (Syarifuddin, Amir, 1993:13). Secara istilah, syariah adalah aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah untuk dipedomani manusia dalam mengatur hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, alam, dan kehidupan (Syaltout, Mahmoud, 1966:12). Dengan demikian, maqashid syariah adalah tujuan hukum yang turunkan Allah swt. Menurut al-Syatibi, hukum-hukum disyariatkan bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia (Al-Syatibi, Abu Ishaq I, t.th:21). Kemaslahatan tersebut terbagi kedalam dua sudut pandang, yaitu: maqashid syari (tujuan Tuhan) dan maqashid mukallaf (tujuan manusia), merupakan sikap mukallaf terhadap maqashid syariah. Adapun maqashid syari mencakup empat aspek, yaitu: 1. Tujuan awal dari syariat adalah kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Aspek ini berkaitan dengan muatan dan hakekat maqashid syariah. 2. Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami. Hal ini berkaitan dengan dimensi bahasa agar syariat dapat dipahami sehingga dapat tercapai kemaslahatannya. 3. Syariat sebagai hukum taklif yang harus dilakukan. berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan syariat dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Ini berkaitan dengan kemampuan manusia untuk melaksanakannya. 4. Tujuan syariat adalah membawa manusia dibawah naungan hukum. Ini berkaitan dengan kepatuhan manusia sebagai mukallaf di bawah naungan hukum Allah (AlSyatibi, Abu Ishaq II, t.th:5). Aspek pertama sebagai inti dapat terwujud melalui pelaksanaan taklif (pembebanan hukum) terhadap para hamba sebagai aspek ketiga. Taklif tidak dapat dilakukan kecuali memiliki pemahaman yang baik sebagaimana aspek kedua. Pemahaman dan pelaksanaan taklif dapat membawa manusia berada di bawah naungan hukum serta melepaskan dari kekangan hawa nafsu sebagaimana aspek keempat. Dengan demikian, tujuan diciptakannya syariat yakni untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dapat terwujud (Bakri, Asafri Jaya, 1996:71). Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan, terdapat lima unsur pokok (ushulul khamsah) yang harus dipelihara, yaitu: agama ( al-dien), jiwa (al-nasf), akal (al-aql), keturunan (an-nasl) dan harta (al-mal). Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia mampu memelihara kelima unsur pokok tersebut, sebaliknya ia akan mendapatkan mafsadat, manakala tidak mampu memelihara kelima unsur pokok tersebut (Masud, Muhammad Khalid, 1996:245). Guna kepentingan menetapkan hukum, kelima unsur pokok di atas dibedakan dalam tiga peringkat, yaitu: daruriyyat, hajjiyat, dan tahsiniyyat (Al-Syatibi, Abu Ishaq II, t.th:8). Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya. Peringkat daruriyyat adalah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, dalam batas jangan sampai aksistensi kelima pokok itu terancam. Tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan

itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok tersebut. Sementara peringkat hajjiyat merupakan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak terpeliharanya kelompok ini tidak mengancam eksistensi lima pokok di atas, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Sedangkan peringkat tahsiniyyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Tuhannya sesuai dengan kepatutan. Pada hakekatnya, baik kelompok daruriyyat, hajjiyat, maupun tahsiniyyat, dimaksudkan memelihara atau mewujudkan kelima pokok seperti yang disebutkan di atas. Hanya saja peringkat kepentingannya berbeda satu sama lain. Kebutuhan dalam kelompok daruriyyat dikatakan sebagai kebutuhan primer, yang kalau diabaikan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok tersebut. Kebutuhan dalam kelompok hajjiyat dapat dikatakan sebagai kebutuhan sekunder. Artinya kalau diabaikan, maka tidak mengancam eksistensinya, melainkan akan mempersulit atau mempersempit kehidupan manusia. Sedangkan kebutuhan kelompok tahsiniyyat dapat dikatakan sebagai kebutuhan tersier, yang erat kaitannya dengan menjaga etiket sesuai dengan kepatutan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebutuhan tahsiniyyat lebih bersifat komplementer, pelengkap. Guna memperoleh gambaran utuh tentang teori maqashid syariah, berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing: 1. Memelihara Agama (Hifzh al-Dien) Memelihara agama berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a. Peringkat daruriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban agama yang masuk wilayah primer, seperti: melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat diabaikan, maka terancamlah eksistensi agama. b. Peringkat hajjiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan, seperti: melaksanakan shalat jama dan qashar ketika dalam bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi yang melaksanakan. c. Peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, seperti: menutup aurat dengan pakaian yang baik, membersihkan badan, pakaian, dan tempat dengan memberi wangi-wangian. Kegiatan ini erat dengan akhlak terpuji ( mahmudah). (Djamil, Fathurrahman, 1999: 128-129). 2. Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nasl) Memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a. Peringkat daruriyyat, yaitu memenuhi kebutuhan diri untuk mempertahankan hidup, seperti: makan. Kalau kebutuhan ini diabaikan, maka akan terancam jiwanya. b. Peringkat hajjiyat, misal: memakan makanan yang halal dan lezat. Kalau diabaikan maka tidak akan mengancam eksistensi, melainkan hanya mempersulit kehidupannya.

c. Peringkat tahsiniyyat, seperti: menentukan tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika. (Djamil, Fathurrahman, 1999: 129). 3. Memelihara Akal (Hifzh al-Aql) Memelihara akal berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a. Peringkat daruriyyat, seperti: diharamkannya meminum minuman keras. Jika diabaikan, akan mengancam eksistensi akal. b. Peringkat hajjiyat, seperti: dianjurkan menuntut ilmu. Sekiranya tidak dilakukan, maka tidak sampai merusak akal, namun hanya mempersulit diri seseorang. c. Peringkat tahsiniyyat, seperti: memilih lembaga tertentu untuk menuntut ilmu. (Djamil, Fathurrahman, 1999: 129-130). 4. Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl) Memelihara keturunan berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a. Peringkat daruriyyat, seperti: disyariatkannya nikah dan dilarang zina. Apabila diabaikan maka akan mengancam eksistensinya. b. Peringkat hajjiyat, seperti: mendaftarkan pernikahan melalui KUA. Kalau diabaikan akan menimbulkan kesulitan dalam mengurus Akta kelahiran bagi anak, berikut hak-hak lainnya bagi anak. c. Peringkat tahsiniyyat, seperti: melaksanakan walimatul ursy saat pernikahan. Jika diabaikan tidak akan mengancam eksistensi pernikahan dan tidak pula mempersulit diri orang yang melakukan pernikahan. (Djamil, Fathurrahman, 1999:130). 5. Memelihara Harta (Hifzh al-Mal) Memelihara harta berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a. Peringkat daruriyyat, seperti: tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan jalan tidak sah. Apabila aturan ini dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta. b. Peringkat hajjiyat, seperti: jual beli dengan cara kredit, membeli dengan cara memesankan barang sesuai yang diinginkan. Kalau tidak dilaksanakan akan mempersulit seseorang memperoleh barang yang diinginkan. c. Peringkat tahsiniyyat, seperti: berbisnis dengan jujur. Hal ini berkaitan dengan etika bisnis, supaya tidak ada pihak yang dirugikan. (Djamil, Fathurrahman, 1999: 131). Urutan peringkat kemaslahatan di atas menjadi sangat penting, apabila antara kemaslahatan yang satu saling berbenturan dengan kemaslahatan yang lain. Dalam hal ini peringkat daruriyyat harus didahulukan daripada peringkat hajjiyat. Begitu pula tahsiniyyat harus ditempatkan pada peringkat terakhir. Ketentuan ini menunjukkan, bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk peringkat hajjiyat, dan tahsiniyyat manakala kepentingan daruriyyat eksistensinya terancam. Misal: untuk memenuhi menjaga jiwa seseorang harus makan (kepentingan daruriyyat) dan yang dimakan harus halal (kepentingan hajjiyat). Namun apabila dalam suatu kondisi makanan

yang halal sulit didapatkan, maka dia dibolehkan makan sesuatu yang haram, demi menjaga eksistensi diri. Jika perbenturan terjadi di antara lima pokok kemaslahatan (agama, jiwa, akal, keturunan, harta), maka: Pertama, diprioritaskan sesuai dengan urutan yang sudah baku. Agama harus didahulukan daripada jiwa, dan jiwa harus didahulukan daripada akal, begitu seterusnya. Contoh: minuman keras dilarang karena merusak akal. Namun kalau seseorang menjadi terancam jiwanya karena meminum minuman tersebut, maka demi menyelamatkan jiwanya diperbolehkan bagi orang tersebut. Hal ini menunjukkan memelihara jiwa didahulukan daripada memelihara akal. Kedua, ditentukan berdasarkan tingkat kemaslahatannya. Sehingga tidak harus urut, namun mempertimbangkan aspek kemaslahatan. Contoh: melihat aurat lawan jenis merupakan larangan agama. Namun dalam kondisi tertentu dokter akan kesulitan melakukan pemeriksaan kalau aurat pasien tertutup. Hal ini menunjukkan menyelamatkan jiwa lebih diutamakan daripada menjaga larangan agama (Djamil, Fathurrahman, 1999:128-134). Dengan demikian, pembagian di atas menjadi titik tolak dalam memahami hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah swt. Daftar Pustaka Al-Afriqi, Ibn Mansur, Lisan al-Arabi, (Beirut: Dar al-Sadr,t.th). Al-Syatibi, Abu Ishaq, Al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam, (t.t: Dar al-Fikr, t.th). Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya Padang, 1993). Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999). Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqashid Syariah Al-Syatibi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996). Syaltout, Mahmoud, Islam: Aqidah wa Syariah, (Kairo: Dar al-Qalam, 1966). Masud, Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka,1996).

You might also like