You are on page 1of 16

PRESENTASI KASUS KEJANG

Oleh: Adisti Prafica Putri 201120401011059

Pembimbing: dr. Maroef Sp OG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN 2012

KEJANG 1.1 Definisi Kejang adalah episode neurologis yang abnormal dikarenakan ketidaktepatan loncatan muatan listrik antar neuron di otak ( Berges, 2007) Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau vokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena (Fisher, 2010). 1.2 Etiologi Beberapa kelaianan yang menyebabkan kejang adalah: a. Sistemik Metabolisme a. Hiponatremia yang dapat terjadi bila: Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan eksresi Ketidakmampuan menenkan sekresi ADH

Hiponatremia dengan gejala berat ( misal: penurunan kesadaran dan kejang ) yang terjadi akibat adama edema sel otak karena air dari ekstrasel masuk ke intrasel yang osmolalitas-nya lebih tinggi digolongkan sebagai hiponatremia akut (hiponatremia simpomatik). Sebaliknya bila gejalanya ringan saja ( mis: lemas dan mengantuk) maka ini masuk dalam katagori kronik (hiponatremia asimptomatik)
2

b. Hipernatremia terjadi saat kekurangan air yang tidak diatasi dengan baik misalnya pada orang lanjut usia atau penderita diabetes insipidus. Oleh karena itu air keluar maka volume otak mengecil dan menimbulkan robekan pada vena menyebabkan pendarahan lokal dan subarakhoid ( Berges, 2007) b. Intoksinasi Penegakan diagnosa pasti penyebab keracunan cukup sulit karena diperlukan sarana laboratorium toksikologi sehingga dibutuhkan autoanamnesis dan alloanamnesis yang cukup cermat serta bukti-bukti yang diperoleh ditempat kejadian. Selanjutnya pada pemeriksaan fisik harus ditemukan tempat masuknya racun. Penemuan klinis seperti ukuran pupil mata, frekuensi napas dan denyut jantung dapat membantu penegakana diagnosis pada pasien dengan penurunan kesadaran. c. Tumor Simptomatologi tumor intrakranial a. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranial yang meninggi b. Gejala-gejala umum akibat tekanana intrakranial yang meninggi Sakit kepala Untah Kejang Gangguan mental Perasaan abnormal di kepala

c. Tanda- tanda lokalisatorik yang menyesatkan. Suatu tumor intrakranial dapat menimbulkan manifestasi yang tidak sesuai dengan fungsi yang ditempatinya ( Berges, 2007) d. Infeksi Infeksi pada susunan saraf dapat berupa meningitis atau abses dalam bentuk empiema epidural, subdural, atau abses otak ( Berges, 2007). e. Penyakit serebrovaskular Penyakit serebrovaskular dan serangan otak sering digunakan secara sinonim untuk stroke. Konvulsi umum atau fokal dapat bangkit baik pada stroke hemoragik maupun pada stroke non-hemoragik ( Berges, 2007). f. Epilepsi Epeilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan kronik otak dengan ciri-ciri timbulnya gejala gejala yang datang dalam serangan serangan, berulang-berulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat reversibel (Hofstra, 2008). 1.3 Patofisiologi Kejang Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakikatnya tugas neuron adalah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu sama lain melalui sinap. Dalam sinaps terdapat zat-zat yang dinamakan
4

neurotransmiter. Asetilkolon dan norepinefrin ialah neurotransmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps ( Crino, 2007). Tiap neuron aktif melepaskan muatan listriknya. Fenomena elektrik ini adalah wajar. Manifestasi biologiknya ialah merupakan gerak otot atau suatu modalitas sensorik tergantung dari neuron kortikal mana yang melepaskan muatan listriknya. Bilamana neuron somatosensorik yang melepaskan muatannya, timbullah perasaan protopatik, atau propioseptif. Demilkian pula akan timbul perasaan panca indera apabila neuron daerah korteks panca indera melepaskan muatan listriknya (Buzsaki, 2007) Secara fisiologis, sinyal listrik pada sel-sel neuron mempunyai 2 bentuk: potensial aksi dalam satu neuron dan transmisi informasi antar neuron melalui sinaps kimiawi. Membran neuron bersifat semipermeabel terhadap arus listrik yang lewat. Permeabilitasnya menghalangi perubahan cepat yang secara dramatis dapat mengganggu voltase yang melewatinya. Ion Na mempunyai konsentrasi yang tinggi di ruang ekstraseluler, sedangkan ion K berkonsentrasi tinggi di intraseluler. Influks ion positif (Na, Ca) meningkatkan potensial membran yang menyebabkan depolarisasi, sementara influks ion Cl dan efluks ion K menyebabkan hiperpolarisasi. Saat membran sel mengalami depolarisasi sampai mencapai ambang, saluran ion Na terbuka, menyebabkan masuknya ion ke intraseluler, yang menghasilkan potensial aksi. Efluks K dari sel menyebabkan repolarisasi. Pompa Na-K mengganti ion-ion yang berpindah ini dengan menggunakan ATP. Propagasi potensial aksi sepanjang akson mentransmisikan informasi sepanjang sistim saraf. Bila akson terminal presinaps terstimulasi oleh potensial aksi, akan terjadi influks ion Ca yang mencetuskan pelepasan neurotransmitter yang lalu terikat pada reseptor postsinaptik. Proses ini akan menghasilkan potensial postsinaptik eksitatoris dan inhibitoris (EPSP dan IPSP) di mana penjumlahan dan sinkronisasinya menghasilkan aktivitas listrik yang direkam oleh EEG.
5

Glutamat dan aspartat adalah neurotransmitter eksitatorik utama, sementara gammaaminobutyric acid (GABA) merupakan neurotransmitter inhibitorik utama dalam otak. Impuls listrik dilanjutkan oleh neuron-neuron berikutnya. Serat-serat proyeksi, baik aferen maupun eferen membawa impuls dari dan ke korteks, baik dalam hubungan dengan strukturstruktur di bawahnya ataupun dengan hemisfer kontralateral (Buzsaki, 2007). Normalnya, terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan eksitasi dan inhibisi aktivitas listrik. Sistim tertentu di otak membatasi perluasan aktivitas listrik ini. Bangkitan dihasilkan oleh letupan sinkron dan menetap dari suatu populasi neuron di otak. Fungsi neuron-neuron kortikal terganggu dalam pembangkitan dan penyebaran aktivitas listrik abnormal. Bangkitan dapat timbul karena imbalans antara eksitasi dan inhibisi serta adanya sinkroni dari pelepasan neuronal. Baik pengaruh eksitatorik maupun inhibitorik dapat terganggu, menyebabkan predisposisi terjadinya sinkroni berlebihan dalam populasi neuronal. Eksitasi yang berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat waktu kejang, merekrut sistim neuronal yang berhubungan secara sinaptik, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sementara itu, bertambahnya sinkronisasi adalah ciri khas pelepasan epileptik. Tunas anjang-anjang aksonal (sprouting of axonal arbors) dari neuron eksitatoris dan pembentukan hubungan sinaptik eksitatoris yang berulang-ulang serta feedback positif dan bertambahnya hubungan sinaptik ini menyokong pelepasan sinkronisasi (Buzsaki, 2007). Secara fisiologis, suatu kejang merupakan akibat dari serangan muatan listrik terhadap neuron yang rentan didaerah fokus epileptogenik. Diketahui bahwa neuron-neuron ini sangat peka dan untuk alasan yang belum jelas tetapi berada dalam keadaan

terdepolarisasi. Neuron neuron di sekitar fokus epileptogenik besifat GABA-nergik dan hiperpolarisasi, yang menghambat neuron epileptogenik. Pada suatu saat ketika neuronneuron epileptogenik melebihi pengaruh penghambat disekitarnya, menyebar ke struktur korteks sekitarnya dan kemudian ke subkortikal dan struktur batang otak (Crino, 2007).
6

Dalam keadaan fisiologi neuron melepaskan muatan listriknya oleh karena potensial membrannya direndahkan oleh potensial postsinaptik yang tiba pada dendrit. Pada keadaan patologik, gaya yang bersifat mekanik atau toksik dapat menurunkan potensial membran neuron sehingga neuron melepaskan muatan listrinya dan terjadi kejang (Crino, 2007). Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neuronneuron di sekitarnya dan demekian seterusnya sehingga seluruh hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demekian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat bselanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satus sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasim, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impul-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umu yang disertai penurunan kesadaran. Reseptor glutamat sangat penting dalam eksitasi. Perubahan pada sinaps glutaminergik merupakan dasar epileptogenesis, terutama perubahan pada komposisi sub unit reseptor dengan akibat perubahan pada sifat fungsional reseptor glutamat, berupa potensiasi jangka panjang pada sinaps glutamat maupun bertambahnya masuknya ion Ca. Selain itu, transport glutamat/mekanisme uptake termasuk dalam penunjang utama ikut sertanya dalam epileptogenesis; glutamat yang berada terus-menerus di celah sinaps adalah dasar potensial bertambahnya eksitabilitas (Crino, 2007). Perubahan struktur elektrik neuron (misalnya pemangkasan dendritik atau perubahan sifat membran) merubah hubungan antara depolarisasi distal (misalnya dari input sinaptik) dan output aksi potensial. Akan tetapi, kebanyakan penyelidikan mekanisme intrinsik dipusatkan pada perubahan saluran voltase, terutama saluran ion natrium, kalium, dan
7

kalsium. Mutasi atau hilangnya saluran itu menyebabkan pelepasan transmitter, penambahan transmisi di akson, influks ion Ca yang bertambah berhubungan dengan depolarisasi neuronal, dan bertambahnya kemampuan melepaskan letupan berulang-ulang (Burnstock, 2007). Kadar ion K esktraseluler yang berlebihan mendepolarisasi neuron. Sel-sel glial dapat membersihkan neurotransmitter dari ruangan ekstraseluler, menjadi buffer ion K dan memperbaiki konsentrasi K esktraseluler yang meningkat waktu terjadi kejang. Gliosis dapat meempengaruhi kapasitas buffer ion K glia dan arena itu ikut serta dalam pembentukan kejang (Burnstock, 2007). Trauma, neurotoksin dan hipoksia secara selektif dapat menyebabkan kematian subpopulasi sel-sel tertentu, sehingga akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk berhubungan dengan neuron deaffrensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung mudah terangsang (hipereksitabel) karena rusaknya interneuron penghambat (Burnstock, 2007). Mekanisme berhentinya kejang masih sedikit dimengerti. Diperkirakan kejang berhenti sebagai akibat proses inhibisi aktif, dengan mekanisme seperti blok depolarisasi, perubahan lingkungan ekstraseluler seperti penurunan K ekstraseluler atau eliminasi ion Ca intraseluler. Agen-agen endogen seperti norepinefrin atau adenosine mempunyai aksi antikonvulsan mungkin berperan dalam berhentinya kejang (Burnstock, 2007). Bangkitan parsial disebabkan oleh pelepasan muatan dalam fokus atau regio tertentu dari otak, yang dapat berkembang menjadi bangkitan umum. Bangkitan parsial berusaha dijelaskan dengan model kindling. Kindling adalah pemberian berulang stimulus elektris atau agen-agen epileptogenik yang awalnya nonkonvulsif ke struktur otak mana saja yang menghasilkan berkembangnya bangkitan EEG dan bangkitan klinis, kadang-kadang
8

berkembang menjadi general. Terdapat 3 mekanisme, yaitu aktivasi reseptor NMDA, hilangnya neuron yang biasanya mengaktivasi sel-sel inhibitoris, dan reorganisasi sinaptik output sel-sel eksitatorik (Burnstock, 2007). 1.4 Klarifikasi kejang a. Kejang umum Kejang umum disebabkan oleh aktivasi elektris hampir bersamaan secara simultan di seluruh korteks serebral. Manifestasi klinis dari kejang ini adalah: hilangnya kesadaran dan postur tubuh, biasa mengalami kaku, apnea,sianosis,inkontinensia urin (Fisher, 2010). b. Kejang tonik klonik Pada kejang ini biasanya memiliki onset 60-90 detik. Kejang ini dimulai dengan kontraksi lama otot-otot dalam keadaan ekstensi yang diikuti sianosis akibat terhentinya pernapasan,pasien kemudian mengalami sentakan klonik seluruh tubuh. Kesadaran akan pulih secara bertahap (Fisher, 2010). c. Kejang parsial sederhana Kejang ini disebabkan oleh pelepasan elektron-elektron listrik pada otak yang mengalami lesi. Kejang pasrsial sederhana terdiri dari disfungsi motork, sensorik atau psikologis tunggal yang dapat dideteksi yang tidak berubah selama atu episode. Kesadaran tetap ada selama kejang (Fisher, 2010). d. Kejang parsial komplek Kejang parsial komplek mulai pada suatu area fokal, biasanya pada lobus temporal atau korteks limbik,dan menyebar. Tanda-tanda fokal sering diikuti oleh otomatisme

(misalnya mengecap bibir, berkeringat) dan kesadaran tumpul atau hilang (Fisher, 2010) e. Kejang Lena (Petit Mal) Kejang umum apada anak-anak atau remaja yang terjadi sebagai episode menatap hampa yang singkat tetapi tiadak kejang (Fisher, 2010). f. Status epileptikus Rangkaian kejang kontinu tanpa sadar kembali seingga dapat menyebabkan kerusakan otak permanen (Fisher, 2010). 1.5 GEJALA KEJANG Gejala kejang berdasarkan sisi otak yang terkena: Sisi otak
Lobus Frontalis

Gejala
Kedutan pada otot tertentu

Lobus oksipitalis Lobus parietalis

Halusinasi kilauan cahaya Mati rasa atau kesemutan dibagian tubuh tertentu

Lobus temporalis

Halusinasi gambardan perilaku repetitif yang komplek, misal: jalan berputar-putar

Lobus temporalis anterior

Gerakan menguyah

1.6 Penatalaksanaan kejang Dalam penatalaksaan kejang ada beberapa jenis obat yang dapat digunakan. Jenis obat yang dimaksud adalah disebut antikonvulsi. Prinsip terapi antikonvulsan adalah
10

meningkatkan dosis obat tunggal yang cocok sampai efek yang diinginkan tercapai, obat kedua ditambahkan jika dosis maksimal obat awal gagal. Obat awal kemudian harus diturunkan secara bertahap dan dihentikan. Penghentian mendadak antikonvulsan dapat menginduksi status epileptikus ( James,2004). Beberapa Obat Golongan Antikonvulsi/ Antiepilepsi a. Golongan Hidantoin Pada golongan ini terdapat 3 senyawa yaitu Fenitoin, mefentoin dan etotoin, dari ketiga jenis itu yang tersering digunakan adalan Fenitoin dan digunakan untuk semua jenis bangkitan, kecuali bangkitan Lena. Fenitoin merupakan antikonvulsi tanpa efek depresi umum SSP, sifat antikonvulsinya penghambatan penjalaran rangsang dari focus ke bagian lain di otak. Mekanisme kerja fenitoin adalah memblokade pergerakan ion melalui kanal natrium dengan menurunkan aliran ion Na yang tersisa maupun aliranm ion Na yang mengalir selama penyebaran potensial aksi . Dosis terapi pemberian oral fenitoin pada orang dewasa 3-5 mg/KgBB/hari, dengan dosis awal dewasa 3-5 mg/KgBB/hari dapat diberikan dalam 2 atau 3 kali pemberian dengan dosis terbagi ( Katzung, 2010). b. Golongan Barbiturat Golongan obat ini sebagai hipnotik- sedative dan efektif sebagai antikonvulsi, yang sering digunakan adalah barbiturate kerja lama ( Long Acting Barbiturates ). Jenis obat golongan ini antara lain fenobarbital dan primidon, kedua obat ini dapat menekan letupan di focus epilepsy ( Katzung, 2010). Fenobarbital; (asam 5,5-fenil-etil barbiturat) merupakan senyawa organic pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Merupakan obat antikonvulsi yang paling poten,
11

tersering digunakan dan termurah. Dosis yang biasa digunakan pada orang dewasa adalah dua kali 100 mg sehari. Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat utama . Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor GABA (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABAA dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic GABAergic inhibition Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan kulit, dan Stevens-Johnson syndrome ( Katzung, 2010). Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik (4). Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori . Efek anti kejang primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid (PEMA). PEMA dapat meningkatkan aktifitas fenobarbotal. Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari (7). Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi ( Katzung, 2010). c. Golongan Oksazolidindion

12

Salah satu jenis obatnya adalah trimetadion yang mempunyai efek memperkuat depresi pascatransmisi, sehingga transmisi impuls berurutan dihambat , trimetadion juga dalam sediaan oral mudah diabsorpsi dari saluran cerna dan didistribusikan ke berbagai cairan tubuh. d. Golongan Suksinimid Yang sering digunakan di klinik adalah jenis etosuksimid dan fensuksimid yang mempunyai efek sama dengan trimetadion. Etosuksimid diabsorpsi lengkap melalui saluran cerna, distribusi lengkap keseluruh jaringan dan kadar cairan liquor sama dengan kadar plasma. Etosuksimid merupakan obat pilihan untuk bangkitan lena. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens. e. Golongan Karbamazepin Obat ini efektif terhadap bangkitan parsial kompleks dan bangkitan tonik klonik dan merupakan obat pilihan pertama di Amerika Serikat untuk mengatasi semua bangkitan kecuali lena. Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik .

Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonikklonik. Karbamazepin menghambat kanal Na+ yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron ( Katzung, 2010).

13

Karbamazepin merupakan efek analgesic selektif terutama pada kasus neuropati dan tabes dorsalis, namun mempunyai efek samping bila digunakan dalam jangka lama, yaitu pusing, vertigo, ataksia, dan diplopia ( Katzung, 2010). f. Golongan Benzodiazepin Salah satu jenisnya adalah diazepam, disamping senagai anti konvulsi juga mempunyai efek antiensietas dan merupakan obat pilihan untuk status epileptikus. Benzodiazepin merupakan agonis GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor GABAA . Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas, kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual ( Katzung, 2010).

14

DAFTAR PUSTAKA Berges S, Moulin T, Berger E, Tatu L, Sablot D, Challier B, Rumbach L.Seizures and epilepsy following strokes: recurrence factors. Eur Neurol 2007; 43(1): 3-8 Burnstock G. Physiology and pathophysiology of purinergic neuro- transmission. Physiol Rev 2007; 87: 659-797. Burnstock G. Historical review: ATP as a neurotransmitter. Trends Pharmal Sci 2006; 27(3): 166-76. Buzsaki G. Rhythms of the Brain. New York: Oxford University Press; 2007. Crino PB, Jin H, Shumate MD, Robinson MB, Coulter DA, Brooks-Kayal AR. Increased expression of the neuronal glutamate transporter (EAAT3/EAAC1) in hippocampal and neocortical epi- lepsy. Epilepsia 2007; 43(3): 208-18. Fisher Robert. overview of epilepsy. Stanford Neurologi,2010 Hofstra WA, de Weerd AW. How to assess circadian rhythm in humans: a review of literature. Epilepsy & Behavior 2008;13:43844. Katzung Bertram G,Farmakologi dasar & klinik,jakarta:penerbit buku kedokteran EGC;2010 Maragakis NJ, Rothstein JD. Glutamate transporters to neurologic disease. Neurobiol Dis 2004; 15(3): 461-73.
15

16

You might also like