You are on page 1of 22

Clinical Science Session

Rhinitis

Dyan Ananda Mervin O.O Bunga W

c11050201 c11050235

1301.1206.0062

Preceptor: Bogi Soeseno, dr., Sp.THT-KL (K)

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung 2007

Anatomi Dan Fisiologi Hidung

Fungsi hidung adalah : Sebagai jalan nafas Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring sehingga aliran udara membentuk arkus atau lengkungan. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Tetapi di bagian depan udara memecah, sebagian melalui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. Alat pengatur kondisi udara (air conditioning) Mucous blanket atau palut lendir melakukan pengaturan kelembaban udara. Sedangkan fungsi pengaturan suhu dimungkinkan karena banyaknya pembulh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas sehingga radiasi berlangsung optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 370 C. Penyaring udara Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri yang dialkukan oleh : rambut (vibrissae) oada vestibulum nasi, silia, mucous blanket, dan enzim. Debu dan bakteri akan melekat pada mucous blanket dan partikel-partikel besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Mucous

blanket akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Enzim lysozyme akan menghancurkan beberapa jenis bakteri. Indra penghidu Indra penghidu diatur oleh adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka uperior, dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan mucous blanket atau bial menarik nafas dengan kuat. Resonansi suara Sumbatan pada hidung dapat menyebabkan resonansi berkurang atau hilang sehingga suara terdengar sengau (rinolalia). Membantu proses bicara Hidung membantu proses pembentukkan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukkan konsonan nasal (m, n, ng) ronga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole tertutup untuk aliran udara. Refleks nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi air liur, lambung, dan pankreas.

Rhinitis
Rhinitis adalah proses peradangan dari membran mukosa yang melapisi hidung. Karakteristik rhinitis yaitu hidung tersumbat, hidung berair, bersin, hidung gatal, post nasal drainage, atau kombinasi dari beberapa gejala tersebut. Secara garis besar, rhinitis dapat dibagi 2 yaitu rhinitis alergi dan rhinitis non alergi. Rhinitis alergi merupakan rhinitis yang paling umum, kira-kira 20-40 juta penduduk Amerika terkena penyakit ini setiap tahunnya.

Rhinitis berperan dalam penyakit lainnya seperti asma dan rhinosinusitis. Juga berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi, karena mempengaruhi kualitas hidup seseorang akibat gejala yang ditimbulkannya, seperti sakit kepala, rasa lelah, penurunan kognitif, dan efek samping pengobatan. Maka dari itu, rhinitis harus diatasi dengan benar. Klasifikasi Rhinitis 1. Rhinitis alergi 2. Rhinitis non-alergi

Rhinitis infeksi Rhinitis hormonal Rhinitis vasomotor Rhinitis non-alergi dengan sindrom eosinofil Occupational rhinitis Rhinitis medikamentosa Rhinitis gustatori Rhinitis pada anak-anak

Rhinitis Alergi Secara klinis, rhinitis alergi didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah pajanan alergen melalui inflamasi yang diperentarai IgE pada mukosa hidung. Asma dan rhinitis sering timbul bersamaan, yang mendukung prinsip satu saluran napas satu penyakit. Gejala dapat disertai rasa gatal pada mata, hidung, palatum dan atau tenggorokan. Rhinitis alergi digolongkan sebagai penyakit saluran napas utama kronis karena: Prevalensinya, dampaknya terhadap kualitas hidup, kinerja dan produktivitas di sekolah/ tempat kerja, beban ekonomi yang ditimbulkan, hubungannya dengan asma dan sinusitis, serta co-morbiditas lain seperti konjungtivitis. Pembagian terbaru dari rhinitis alergi yaitu: intermiten dan persisten. Sedangkan berat ringannya rhinitis alergi tergantung dari berat ringannya gejala dan pengaruhnya terhadap kualitas kehidupan. Klasifikasi Rhinitis Alergi

ARIA classification of Allergic Rhinitis


Intermittent
< 4 days per week or < 4 weeks

Persistent

> 4 days per week and > 4 weeks

Mild
normal sleep no impairment of daily activities, sport, leisure normal work and school no troublesome symptoms

one or more items abnormal sleep impairment of daily activities, sport, leisure abnormal work and school troublesome symptoms

ModerateModerate-severe

Klasifikasi Rhinistis Alergi menurut ARIA-WHO 2000 Trigger Rhinitis Alergi 1. Alergen a. Aeroalergen : tungau debu rumah, hewan peliharaan, serangga, tepung sari dan jamur. b. Rhinitis akibat kerja : pekerja pabrik tekstil. c. Lateks 2. Polutan: secara epidemiologi dapat memperberat rhinitis. Misalnya: asap rokok, sulfur dioksida dan gas emisi buangan mesin diesel. 3. Aspirin dan NSAID lainnya umumnya memicu terjadinya rhinitis dan asma. Patofisiologi Rhinitis Alergi Reaksi alergi khas ditandai dengan infiltrat inflamasi (respon seluler) berupa: Kemotaksis, pengerahan selektif dan migrasi sel-sel transendotelial Pelepasan sitokin dan kemokin Aktivasi dan diferensiasi bermacam-macam tipe sel meliputi eosinofil, sel mast, sel T, dan sel epitel. Perpanjangan masa hidup sel-sel. Pelepasan mediator-mediator oleh sel-sel yang diaktifkan seperti, histamin dan cysteinyl leukotrin. Hubungan antara sistem imun dan sumsum tulang.

Reaksi inflamasi alergi terdapat 2 fase yaitu: Fase sensitisasi Fase reaksi alergi: cepat/early & lambat/late. Reaksi alergi primer yang terjadi hidung adalah reaksi hipersensitifitas tipe I (cepat/ anaphylatic). Imunoglobulin E spesifik alergen yang diproduksi setelah terpapar alergen akan berikatan dengan sel mast atau basofil (fase sensitisasi). IgE ini bereksi dengan alergen spesifiknya sehingga menyebabkan degranulasi sel mast dan pelepasan histamin serta mediator inflamasi lainnya seperti prostaglandin (PGE2) dan leukotrien. Reaksi antigen-antibodi ini dimulai dalam 2-5 menit dan mencapai puncaknya setelah 15 menit (reaksi alergi fase cepat). Fase lambat merupakan akibat pelepasan mediator oleh selsel (neutrofil san eosinofil) dan timbul 4-6 jam setelah fase cepat. Reaksi ini terjadi akibat pengaruh mediator cytokine.

The pathophysiology of allergic inflammation (type 1 hypersensitivity)

Allergen
Rhinorea Sneezing Congestion
A C U T E S Y M P T O M S

Mastosit
IgE
Histamine Tryptase PGD2 LTs Cytokines

IgE
IgE Antibody

Allergen
Fragment

CD4+ CD25+
Th2

IgE EOS
Basic proteins LTs Cytokines
C H R O N I C

Class II MHC
T cell r

IF

ANTIGEN PRESENTING CELLS

IL-2 CD4+

Th1

Histamine LTs Cytokines

I N F L A S M Y A M T P I T O O N
M S

Rhinorea Sneezing Congestion

Baso

(APC)

Early- and late-phase allergic reactions


Sumarman. Allergic Rhinitis Co-morbidities , PIN PERALMUNI June 2003

Patofisiologi reaksi alergi tipe 1

The complexity of interaction between

cells (during EPR and or LPR): Mast cells, B and T cells, and Epithelial cells
IL-3 TGF-
MHC-I CD8 TCR CD28 B7 LFA-1 ICAM-1 TCR

Mast cell proliferation Degranulation Cytokine release Ig E

T cell proliferation cytokine release

ll t Ce Mas
ne CA mi 4 LT ista ILH AF -, P NF T

T cell
CD4

CD40L

MHC-II

Chemotaxis
IL-16 Lymphotactin

E-Selection ICAM-1 VCAM-1

IL-13

IL-4

CD40

Endothelium
T cell rolling Increased adhesion
Ig class switch ( Ig E )

B cell

Th 2

Mast cell acts

as APC cell.

(Mekori and Metcalfe, J Allergy Clin Immunol 1999;104:519)

IL-1, TNF- , PGD2

APC MC/BASO
ECFa

Nasal mucous membrane

PGD2 Histamine, acetylcholine, PGD2, LTC4,LTD4, PAF

IL4, IL13
IL-1, TNF-

Th2

IL-5, GMCSF
(Eos-Survival) Acetylcholine, SP, VIP

Histamine
SOMNOGENIC

Adhesion molecules

ECFa

EOS
CEFALGIA NASAL DISCHARGE NASAL CONGESTION SNEEZING

MBP

SLEEP DISTURBANCES

ECP

QUALITY OF LIFE DISTURBANCES

Vidianus stimmulation on destructed epithelial

The symptoms score of AR


depend on many factors:
Concentration of allergen(s) Complication especially Indoor or outdoor allergens Seasonal or non-seasonal

Age & gender

sinusitis

Allergy co-morbidity

Allergic Rhinitis SS
Type of building material

Genetic Health & socio economic


Aero environment

Type of job Home occupation

Sumarman. Allergic Rhinitis Co-morbidities , PIN PERALMUNI June 2003

Diagnosis Rhinitis Alergi Riwayat khas keluhan alergi Sneezers and Runners.
Riwayat : sekret hidung, sumbatan, bersin/ gatal.

2 atau lebih gejala, selama > 1 hari, hampir setiap hari

Bersin Rhinorrhea Gatal Sumbatan hidung Irama diurnal

Sneezers and runners Terutama paroksismal Cair, anterior dan posterior Ya Bervariasi Memburuk sepanjang hari, membaik malam hari Seringkali ada

Blockers Sedikit atau tidak ada Mukus kental lebih ke posterior Tidak Sering berat Menetap sepanjang hari dan malam, mungkin memburuk malam hari.

konjungtivitis

Tanda rhinitis alergi Pasien dengan obstruksi saluran napas karena alergi memiliki openmouthed adenoid facies.

membran yang gatal menyebabkan involuntary grimacing dengan gerakan berulang mengusap ke arah atas dari ujung hidung dengan tangan allergic salute.

Kongesti infraorbital allergic shiners and puffiness around the eyes. Rhinoskopi Anterior : mukosa hidung pucat/ livid, dengan rhinorrhea jernih tanpa infeksi sekunder, polip bisa +/-.

Uji diagnostik Fiberoptic endoskopi, untuk melihat polip yang kecil. Uji in-vivo dan in-vitro untuk menemukan IgE yang bebas atau terikat sel. Diagnosis alergi telah ditingkatkan dengan melakukan standardisasi alergen inhalan, Mucous smears: apus mukus + pewarnaan Hansel (campuran eosin & methylene blue). Jika terdapat >25% eosinofil cenderung alergi. Grade (0-4+). Jika eosinofil, sel mast, dan sel goblet (+) nasal allergy. Jika neutrofil dan epitel debris lebih banyak curiga infeksi. Harus diperhatikan bahwa penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menurunkan jumlah eosinofil. Tes sensitivitas kulit: prick test, skin end-point titration/ intradermal dilutional testing (titik akhir titrasi menandakan konsentrasi imunoterapi teraman). Uji provokasi nasal dengan alergen inhalan. Pemeriksaan ini mungkin berguna terutama dalam diagnosis rhinitis akibat kerja. CT-scan: biasanya tidak perlu.

Ko-morbiditas Rhinitis Alergi Asma Berkembangnya asma sering mengikuti operasi pada sinusitis kronis, dan hubungan antara hiperreaksi penyakit saluran napas bawah dan rhinosinusitis alergika karena memiliki benyak kesamaan pada mukosa . Konjungtivitis Polip

Isolated antrochoanal polyps biasanya disebabkan oleh infeksi. Yang lainnya 1/3 nya berhubungan dengan alergi inhalan. Walaupun farmakoterapi dan imunoterapi tidak menghasilkan kesembuhan sempurna namun, terapi yang diberikan sebelum operasi hidung dan sinus dan terapi kelanjutan Sinusitis Kebanyakan sinusitis rekuren berhubungan dengan obstruksi dari kompleks osteomeatal yang penyebabnya bervariasi, termasuk edem mukosa karena alergi. Rhinosinositis kronis hiperplastis dapat disebabkan oleh reaksi alergi berulang. Otitis Media: terjadi karena obstruksi tuba eustachia oleh infeksi atau alergi. Infeksi Saluran Napas Atas Tidak ada hubungan sebab-akibat antara alergi pernapasan dengan infeksi saluran napas atas yang rekuren, namun gejala awal rhinosinusitis e.c infeksi mirip dengan yang disebabkan oleh alergi (bersin-bersin, rhinorrhea, hidung tersumbat). Penatalaksanaan Rhinitis alergi Penghindaran alergen, jika memungkinkan. Medikamentosa: pertimbangkan keamanan, efikasi, efektifitas, kemudahan pemberian. Pada umunya diberikan intranasal atau oral. Beberapa studi membuktikan beberapa obat dan kortikosteroid intranasal paling efektif. Imunoterapi spesifik Edukasi Operasi: sebagai tindakan tambahan pada beberapa penderita yang sangat selektif. setelahnya setidaknya dapat mengurangi kemungkinan terjadinya rekurensi.

Treat AR in a Stepwise Approach (adolescent and adults)


Diagnosis of allergic rhinitis (history + skin prick tests or serum specific IgE)
Allergen avoidance
Intermittent symptoms Persistent symptoms Moderate-severe

Mild Not in preferred order Oral H-1-blocker Intranasal-H1-blocker and/or decongestant


If + Conjunctivitis add: Oral H-1-blocker or Intraocular H1-blocker or Intraocular Chromone (or saline)

Moderate-severe

Mild

Not in preferred order Oral H-1-blocker Intranasal-H1-blocker and/or decongestant Intranasal CS (Chromone)
In persistent rhinitis review the patient after 2-4 weeks If failure: stepup and/or

Intranasal CS Review the patient after 2-4 weeks

Improved
Step-down and continue treatment for 1 month

Failure
Review diagnosis Review compliance Query infections or other causes

If improved: continue for 1 month and/or

Increase intranasal CS dose and/or

Rhinorrhea: add ipratropium and/or Itch sneeze: add H1 blocker

Blockage: add decongestant, or oral CS (short term) Failure: Surgical refferal

(ARIA WHO Consensus 2002)

Consider Specific Immunotherapy

Pharmacological Managements of Allergic Rhinitis


Effect of therapies on rhinitis symptoms
Sneezing H1-antihistamines oral intranasal intraocular Corticosteroids intranasal Chromones intranasal intraocular Decongestants intranasal oral Anti-cholinergics Anti-leukotrienes Rhinorrhea Nasal obstruction + + 0 +++ + 0 ++++ + 0 ++ Nasal itch +++ ++ 0 ++ + 0 0 0 0 0 Eye symptoms ++ 0 +++ ++ 0 ++ 0 0 0 ++
23

++ ++ 0 +++ + 0 0 0 0 0

++ ++ 0 +++ + 0 0 0 ++ +

Adapted from van Cauwenberge, P., et al., Consensus statement on the treatment of allergic rhinitis. European Academy of Allergology and Clinical Immunology. Allergy, 2000; 55(2):p.116-34.

Stepwise treatment proposed


mild moderate severe mild persistent
Oral H1-AH or
Nasal Beclomethasone low dose
(100-200 g /daily)

intermittent
Oral H1- AH

intermittent
Nasal Beclomethasone high dose
(300-400 g /daily)

moderate severe persistent


Nasal Beclomethasone high dose
(300-400 g /daily)

If needed after 1 week treat

Severe symptoms

add Oral H1-AH and / or Oral CS

add Oral H1-AH and / or Oral CS

Rhinitis Non-alergi Rhinitis infeksi Rhinitis akut Radang akut yang biasanya disebabkan karena infeksi virus, dapat juga disebut infeksi saluran nafas atas. Penyebabnya rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus, respiratory syncitial virus, adenovirus. Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya penyakit menahun dan lain-lain). Gejala: Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas, kering dan gatal di dalam hidung Bersin berulang Hidung tersumbat Ingus encer Biasanya disertai demam dan nyeri kepala Permukaan mukosa hidung tampak bengkak dan merah

Bila terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, sekret menjadi kental dan tersumbat

Bila tidak terdapat komplikasi, gejala kemudian akan berkurang dan pasien akan sembuh sesudah 5-10 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, otitis media, faringitis, bronkhitis dan pneumonia. Tidak ada terapi spesifik untuk rhinitis akut. Disamping istirahat diberikan obat-obatan simtomatis seperti analgetika, anti piretik dan obat dekongestan. Antibiotika diberikan bila terdapat infeksi sekunder atau komplikasi. Rhinitis kronis Rhinitis hipertrofi Rhinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksiberulang dalam hidung dan sinus, atau sebagai lanjutan dari rhinitis alergi dan vasomotor. Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen dan sering ada keluhan nyeri kepala. Pada pemeriksaan akan ditemukan konka yang hipertrofi, terutama konka inferior. Permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi. Akibatnya saluran udara sangat sempit. Sekret mukopurulen yang banyak biasanya ditemukan di antara konka inferior dan septum, dan juga di dasar rongga hidung. Penatalaksanaannya harus dicari faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya rhinitis hipertrofi dan kemudian memberikanpengobatan yang sesuai. Untuk mengurangi sumbatan hidung akibat hipertrofi konka dapat dilakukan kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam triklorasetat) atau dengan elektrokauter.bila tidak menolong, dilakukan luksasi konka atau bila perlu dilakukan konkotomi. Rhinitis sicca Pada rhinitis sika ditemukan mukosa yang kering, terutama pada bagian depan septum dan ujung depan konka inferior. Krusta biasanya sedikit atau tidak ada. Pasien biasanya mengeluh rasa iritasi atau rasa kering dihidung yang kadang-kadang disertai dengan epistaksis.

Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan orang yang bekerja di lingkungan yang panas, kering dan berdebu. Juga ditemukan pada pasien yang memiliki anemia, peminum alkohol dan gizi buruk. Pengobatan tergantung pada penyebabnya. Dapat diberikanpengobatan lokal, berupa obat cuci hidung. Rhinitis spesifik, yaitu rhinitis yang tejadi karena infeksi spesifik. Rhinitis difteri Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Dapat primer pada hidung atau sekunder dari tenggorok. Dapat berjalan akut ataupun kronik. Gejalanya demam, toksemia, terdapat limfadenitis dan mungkin ada paralisis. Pada hidung, ada ingus yang bercampur darah, mungkin ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah dan ada krusta coklat di nares dan kavum nasi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret hidung. Sebagai terapi diberikan ADS, penisilin lokal dan intramuskular. Pasien harus diisolasi sampai pemeriksaan kuman memberikan hasil negatif. Rhinitis difteri kronik gejalanya lebih ringan dan akhirnya dapat sembuh sendiri, tetapi dalam keadaan kronik masih menular. Rhinitis atrofi (ozeana) Rhinitis atrofi merupakan penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Lebih sering mengenai wanita, pada usia antara 1-35 tahun, terbanyak pada usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosioekonomi yang rendah dan lingkungan yang buruk. Secara histopatologik, tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia menghilang, metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi dan atrofi serta jumlahnya berkurang dan bentuknya jadi kecil.

Penyebabnya masih belum jelas, tetapi ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab yaitu infeksi Klebsiella ozaena, stafilokokus, streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa; defisiensi Fe; defisiensi vitamin A; sinusitis kronis; kelainan hormonal; penyakitn kolagen, yang termasuk dalam penyakit autoimun. Gejalanya: keluhan biasanya berupa nafas berbau, ada ingus kental berwarna hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu (penciuman), sakit kepala dan merasa hidung tersumbat. Pada pemeriksaan THT didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen berwarna hijau dan krusta berwarna hijau. Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis antara lain transiluminasi, foto rontgen sinus paranasal, pemeriksaan mikroorganisme dan uju resistensi kuman, pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan Fe serum dan pemeriksaan histopatologik. Pengobatan secara konservatif dengan pemberian antibiotika spektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Untuk menghilangkan bau busuk dan membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret diberikan obat cuci hidung. Digunakan larutan betadine atau larutan garam hangat. Diberikan vitamin A 3 x 50.000 unit, selama 2 minggu dan preparat Fe. Bila ada sinusitis, sinusitisnya diobati sampai tuntas. Jika dengan pengobatan konservatif yang adekuat untuk jangka waktu yang cukup lama tidak ada perbaikan, maka dilakukan operasi penutupan lubang hidung atau implantasi untuk menyempitkan rongga hidung. Prinsipnya untuk mengistirahatkan mukosa hidung, dengan demikian mukosa akan normal kembali. Penutupan ini dapat dilakukan pada nares anterior atau pada koana dan ditutup selama 2 tahun. Untuk menutup koana dipakai palatal flap. Rhinitis sifilis Penyebab rhinitis sifilis adalah kuman Treponem pallidum. Pada rhinitis sifilis primer dan sekunder, gejalanya serupa dengan rhinitis akut lainnya, hanya mungkin dapat terlihat adanya bercak pada

mukosa. Pada rhinitis sifilis tersier dapat ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama mengenai kavum nasi dan dapat mengakibatkan perforasi septum. Pada pemeriksaan klinis didapatkan sekret mukopurulen yang berbau dan krusta. Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologik dan biopsi. Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung. Krusta harus dibersihkan secara rutin. Rhinitis tuberkulosa Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi. Pada pemeriksaan klinis terdapat sekret mukopurulen dan krusta, sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada sekret hidung. Rhinitis karena jamur Bentuknya antara lain Aspergilosis, Blastomikosis dan Candidiasis. Juga dapat mengenai tulang rawan septum, sehingga menyebabkan perforasi eptum atau hidung pelana. Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya sekret mukopurulen yang berbau dan terdapat pseudomembran. Mungkin terlihat ulkus atau perforasi pada septum nasi. Terapinya diberikan anti jamur oral dan topikal serta obat cuci hidung. Perlu dilakukan pembersihan hidung secara rutin dan dibantu dengan diolesi gentian violet. Rhinitis hormonal Penyebab rhinitis hormonal termasuk hipotiroidism (myxedema) dan meningkatnya tingkat estrogen karena kehamilan, penggunaan kontrasepsi oral dan siklus menstruasi. Kadar estrogen yang tinggi akan menghambat aktivitas acetyl cholinesterase dan menstimulasi produksi acetylcholine di ganglia parasimpatis, menyebabkan edema, hipersekresi dan pelebaran pembuluh darah mukosa hidung. Konka menjadi bengkak, pucat dan edema. Rhinitis pada

kehamilan terdapat pada 20% kehamilan, sering muncul pada kehamilan trimester kedua. Rhinitis vasomotor Rhinitis vasomotor dapat disebut perennial nonallergic rhinitis, rhinitis idiopatik, atau rhinitis non-alergi tanpa eosinofilia. Pasien mengalami rhinitis yang bukan karena imunologis atau infeksi. Gejala primer termasukhidung tersumabt dan berair, biasanya tanpa bersin atau gatal. Hitung eosinofil pasien rendah dan hasil tes alergi negatif. Rhinitis vasomotor merupakan gangguan pada mukosa hidung yang disebabkan bertambahnya aktivitas parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasla dari hipotalamus dan berjalan dengan nervus kranial V dan VII. Jalur kolinergik ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah yang berakibat edema mukosa di dinding nasal lateral, septum dan terutama konka.

Pada kebanyakan pasien, rhinitis timbul sebagai respons terhadap kondisi lingkungan seperti udara dingin, kelembaban, stress, atau iritan (alkohol, pemutih, pelarut, polusi udara dan rokok). Pengobatan secara bedah untuk menghilangkan edema konka dan hipersekresi dengan target pada perkiraan sumber neurologisnya (contoh vidian

neurectomy) atau pada mukosa konka inferior atau medial (contoh partial turbinectomy atau turbinate ablation). Rhinitis non-alergi dengan sindrom eosinofil Rhinitis non-alergi dengan sindrom eosinofil secara klinis sama dengan rhinitis alergi tetapi sedikit IgE-mediated immunopathologic. Sindrom klinisnya terdapat hidung berair dan bersin tiba-tiba. Pasien biasanya berusia setengah baya dan pada nasal smear ditemukan eosinofil. Insidensi penyakit ini tidak diketahui. Penyebabnya juga tidak diketahui. Occupational rhinitis Merupakan suatu diagnosis yang dapat meliputi rhinitis alergi dan rhinitis vasomotor dan berhubungn dengan riwayat pekerjaan. Kelainan ini didefinisikan sebagai suatu nasal discharge atau congestion yang muncul akibat pemaparan terhadap udara terutama di tempat bekerja. Occupational rhinitis reaksinya sendiri dapat berupa alergi ataupun non alergi. Pada umumnya yang dapat menjadi pemicu reaksi alergi contohnya tempat bekerja seperti di klinik hewan, pabrik makanan, debu dari kayu dan lateks. Sedangkan yang merupakan iritan non alergi dan dapat ditemukan di tempat bekerja antara lain, udara dingin dari pendingin ruangan, asap rokok, bahan kimia dari pabrik, berbagai produk kosmetik seperti parfum dan hair spray. Kebanyakan dari penderita mengeluhkan adanya suatu gejala yang bertambah buruk pada saat berada di tempat bekerja, sebaliknya mengalami perbaikan apabila jauh dari tempat bekerjanya. Perjalanan penyakitnya dapat berupa kronik ataupun juga dapat intermiten. Untuk menegakkan diagnosis dari Occupational rhinitis, perlu dilakukan skin test menggunakan alergen tertentu yang dicurigai sebagi faktor pencetus. Selain itu dapat pula dilakukan suatu tes yang disebut spesific test for allergic or non allergic source yang merupakan suatu challenge test dimana pasien dipaparkan dengan iritan atau alergen tertentu yang dicurigai, kemudian akan dicatat tentang perubahan gejala atau nasal resistance menggunakan rhino manometry. Untuk penatalaksanaan dari penyakit ini adalah mengenali faktor pencetus (iritan atau alergen) dan menghindarinya. Rhinitis medikamentosa Dapat disebabkan oleh obat-obatan sistemik yang mempengaruhi mukosa nasal ataupun oleh obat-obat topikal. Obat anti hipertensi seperti reserpine,

guanethidine, phentolamin, methyldopa, prazosin, chlorpromazine dan -blocker serta angiotensin-converting enzyme classes merupakan obat-obat sistemik tersering yang diyakini dapat menginduksi atau merangsang terjadinya suatu rhinitis. Gejala yang ditimbulkan oleh obat-obatan ini dapat berupa gejala yang ringan dimana terjadi sekret yang menumpuk dan terisolasi sampai gejala yang berat, yaitu terjadi rhinosinusitis, nasal polyposis dan asthma. Pemakaian obat-obatan topikal, cocaine dan dekongestan umumnya juga dapat menyebabkan terjadinya suatu rhinitis, atau disebut sebagai rhinitis medikamentosa. Hal ini terjadi akibat pemakaian jangka lama obat-obatan topikal yang bersifat sebagai vasokonstriksi seperti cocaine, oxmetazoline hydrochloride dan phenyleprine hydrochloride yang berdampak sama dengan sympathomimetic amines dan imidazoles. Untuk menegakkan diagnosa rhinitis medikamentosa perlu untuk dipikirkan pada pasien yang sedang dalam terapi kausatif menggunakan obat-obatan tersebut lebih dari 7 hari. Tujuan dari terapi pada pasien dengan rhinitis medikamentosa adalah untuk mengatasi kondisi yang sering muncul, seperti rhinitis alergi, turbinate hypertrophy, deviasi septum nasal, atau sinusitis secara efektif serta mengeliminasi atau mencegah suatu faktor sekunder yang dapat muncul. Diawali dengan menghentkan pemberian obat-obat topikal yang bersifat vasokonstriksi. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah menggantikan obat-obatan tersebut dengan saline nasal spray yang akan mempermudah pergerakan dan pelepasan sekret serta menjaga agar mukosa dari iritasi ataupun perforasi. Untuk pasien dengan acute nasal obstruction, setelah penghentian nasal spray harus diberikan prednison dosis tinggi secara cepat dan berangsur untuk mencegah edema pada mukosa nasal. Pada pasien dengan rhinitis alergi, sebaiknya pilihan waktu penggunaan obat oral vasokonstriksi pada siang hari ataupun oral antihistamine disarankan pada malam hari. Rhinitis gustatori Pencernaan makanan dapat menyebabkan rhinitis. Terdapat banyak penyebab yang sudah diketahui mengenai reaksi ini. Rhinitis dapat disebabkan karena alergi makanan sehingga menjadi rhinitis IgE-mediated. Reaksi ini jarang, tanpa disertai gejala sistemik seperti gejala GIT, gejala dermatologis (urtikaria, pembengkakan wajah), atau gejala pulmonari (bronkhospasme). Pada beberapa

kasus, reaksi karena alergi dapat diduga dan dikonfirmasi dengan tes kulit. Konsumsi alkohol juga dapat menyebabkan rhinitis. Mekanismenya karena ada efek langsung dari alkohol yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah nasal. Makanan panas dan pedas dapat menyebabkan hidung berair dengan merangsang mekanisme vagal. Rhinitis pada anak-anak Rhinitis merupakan masalah umum bagi anak-anak. Anak usia 2-6 tahun terkena rhinitis sekitar 6 kali dalam 1 tahun. 10% anak-anak dan 20% dewasa menderita rhinitis alergi. Rhinitis bakteri kronik pada anak-anak dapat disebabkan oleh kelainan imun, cystic fibrosis atau defek struktural seperti celah palatum. Nasal poliposis pada anak harus segera diperiksa dan waspada akan cystic fibrosis. Rinorea unilateral yang purulen harus dicurigai adanya benda asing. Rhinitis dapat disebakan karena GERD, terutama pada bayi prematur. Penataksanaannya dengan thickening feedings, posisi bayi tegak selama pemberian makan, tidak membaringkan bayi setelah makan.

DAFTAR PUSTAKA Bailey, Byron J., Head and Neck Surgery Otolaryngology. 3rd Edition. 2001. Lippincott Soepardi, E. A., Iskandar, H. N., Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. 2006. Balai Penerbit FKUI Jakarta ARIA. Management of Allergic Rhinitis and Its Impact On Asthma Pocket Guide. 2001

You might also like