You are on page 1of 4

BAB 1 1 PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Sub-arachnoid block (SAB) atau anestesi spinal merupakan salah satu

tehnik anestesi yang aman, ekonomis dan dapat dipercaya serta sering digunakan pada tindakan anestesi sehari-hari. Tehnik ini telah digunakan secara luas untuk memberikan anestesia, terutama untuk operasi pada daerah di bawah umbilicus. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.1 Anestesi spinal disertai dengan beberapa komplikasi yang sering timbul, salah satu komplikasi yang dapat timbul adalah postdural puncture headache (PDPH). Dimana menurut berbagai peneliti, insidensi terjadinya Post Dural Puncture Headache berkisar antara 0% - 46%.2,3 Angka yang tertinggi dijumpai pada penusukan lumbal diagnostic dengan menggunakan jarum spinal tipe Quincke dengan ukuran 20G atau 22G.2 Post Dural Puncture Headache (PDPH) adalah komplikasi iatrogenik dari anestesi spinal yang diakibatkan dari tusukan atau robekan pada dura mater yang menyebabkan kebocoran CSF.4 Tanda dan gejala dari PDPH merupakan akibat dari hilangnya cairan cerebro spinal, traksi atau penarikan dari isi kranial dan vasodilatasi refleks serebral.5 PDPH bisa disertai dengan mual dan muntah, gangguan pendengaran dan penglihatan.6 PDPH merupakan keluhan yang tidak menyenangkan untuk pasien dan bahkan bisa berakibat fatal dengan resiko nyeri bertahan selama berbulan bahkan bertahun.7,8 Ada beberapa laporan yang

1
Universitas Sumatera Utara

menyatakan bahwa PDPH yang tidak ditangani bisa menyebabkan subdural hematoma bahkan kematian akibat bilateral subdural hematoma.9 Faktor terpenting yang mempengaruhi frekwensi dan keparahan dari PDPH adalah besar dari perforasi dura. Besar perforasi dura sangat ditentukan oleh besar jarum dan tipe jarum spinal. Semakin kecil jarum yang digunakan, semakin kecil insidensi terjadinya PDPH.10,11 Jarum spinal dengan ukuran 29 G atau yang lebih kecil lagi, secara tehnik lebih sukar untuk digunakan dan disertai dengan tingkat kegagalan yang tinggi untuk anestesi spinal.12 Sehingga pemilihan jarum 25 G dan 27G dianggap masih dapat ditampilkan untuk menunjukkan perbandingan tingginya insidensi PDPH setelah anestesi spinal. Sedang pada Indonesia, khususnya Medan, pemakaian tipe jarum spinal yang lazim dipakai adalah jarum cutting point dengan ukuran 25 G. Pemakaian jarum pencil point apalagi dengan jarum 27G masih belum banyak dijumpai. Dari penelitian Hwang dkk, membandingkan insidensi PDPH dengan jarum 25G Whitacre dengan jarum 25G dan 26G Quincke tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistik.13 Dari penelitian Lynch dkk, menggunakan jarum spinal 27G Quincke dan 27G Whitacre pada pasien-pasien ortopedik dengan spinal anestesi, menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua tipe jarum dengan 27G Quincke 1.1% dan 27G Whitacre 0.5% dan tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap kegagalan tindakan anestesi dengan 27G Quincke 8.5% dan 27G Whitacre 5.5%.14 Ripul dkk, membandingkan insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke dengan 25G Whitacre pada pasien-pasien obstetrik. Mereka menemukan bahwa ada perbedaan yang bermakna terhadap kejadian insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke (9%) dan 25G Whitacre (1%). 12 Dari penelitian Irawan dkk, di RS. Hasan Sadikin Bandung, meneliti insidensi PDPH pada pasien paska seksio caesarea dengan 3 jarum spinal, yakni 25G Quincke, 27G Quincke dan 27G pencil point, didapat hasil insidensi PDPH 68.2%, 31.8% dan 0%.15 Shah dkk (2002), meneliti insidensi PDPH dengan tiga 2
Universitas Sumatera Utara

jarum yang serupa, yakni 25G dan 27G Quincke serta 27G Whitacre, didapatkan hasil insidensi PDPH 20%, 12.5% dan 4.5%.1 Dari banyaknya variasi persentase insidensi PDPH post spinal anestesia dengan menggunakan jarum yang berbeda yang mendukung dan menolak adanya perbedaan antara tipe jarum membuat peneliti ingin melakukan penelitian tentang insidensi PDPH pada pasien-pasien yang akan dilakukan spinal anestesi dengan dua jarum berbeda yakni jarum 27G Quincke dan 27G Whitacre 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Apakah ada perbedaan insidensi PDPH setelah tindakan anestesi spinal dengan penggunaan jarum spinal Quincke 27G dan Whitacre 27G 1.3 Hipotesa

Ada perbedaan insidensi dan keparahan PDPH setelah tindakan anestesi spinal dengan penggunaan jarum spinal Quincke 27G dan Whitacre 27G 1.4 1.4.1 Tujuan Penelitian Tujuan Umum

1. Untuk mendapatkan tipe jarum yang optimal dalam menurunkan insidensi dan keparahan PDPH setelah tindakan anestesi spinal pada pasien-pasien yang dilakukan operasi elektif 1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mendapatkan tipe jarum yang dapat mengurangi insidensi frekwensi dari PDPH 2. Mendapatkan tipe jarum yang dapat mengurangi tingkat keparahan dari PDPH

3
Universitas Sumatera Utara

3. Meneliti jumlah kejadian insidensi PDPH post injeksi dari kedua tipe jarum spinal yang berbeda 4. Meneliti insidensi kegagalan pada pemakaian jarum kedua tipe 1.5 Manfaat Penelitian 1. Mendapatkan tipe jarum yang ideal dalam mengurangi insidensi dan keparahan dari PDPH 2. Memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pasien-pasien yang akan dilakukan tindakan anestesi dengan regional anestesi subarachnoid block 3. Sebagai bahan acuan penelitian lanjutan dalam meneliti insidensi PDPH atau penanggulangan PDPH setelah injeksi anestesi spinal

4
Universitas Sumatera Utara

You might also like