You are on page 1of 7

Cerita Rakyat

Kab. Ende

OLEH:
ANITA RAHMAN HAMDUL NIM. 2010271492

SEMESTER : V.M

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS FLORES ENDE 2012

BOBI DAN NOMBI

Konon, Adalah dua bersaudara bernama Bobi dan Nombi. Keduanya yatim-piatu dan tunawisma. Untuk menyambung hidup keduanya mengemis ke sana ke mari. Ndoi, janda yang tinggal di Monikuru beriba hati lalu merawat kedua anak itu. Kedua anak laki dan perempuan itu dipelihara dan dimanjakan oleh Ndoi bagaikan anak kandungnya sendiri. Tibalah masa kemarau yang amat panjang. Oleh karena lamanya musim kemarau itu, banyak orang terancam kelaparan. Kemarau yang luar biasa itu dipertanyakan oleh masyarakat kepada Mosalaki sebagai ketua adat. Kemudian disimpulkan pula oleh masyarakat bahwa kemarau panjang yang mengancam itu akibat adanya kesalahan dan dosa warga masyarakat pula. Dosa perzinahan menjadi tumpuan kesalahan paling krusial yang berakibatkan kelaparan sebagian besar masyarakat karena kekeringan yang berkepanjangan itu. Setelah diusut - usut, masyarakat menduga bahwa Bobi dan Nombi-lah yang karena hidup secara liar itu telah melakukan perbuatan mesum (incest), padahal keduanya sekandung. Pembelaan janda Ndoi pun tak membuahkan hasil meyakinkan masyarakat untuk melindungi Bobi dan Nombi. Atas perintah Mosalaki, "tuan tanah", Bobi dan Nombi segera akan ditangkap. Namun entah kenapa kedua anak itu tiba - tiba saja menghilang bak ditelan bumi. Masyarakat pun terus mencari kedua anak itu keberbagai penjuru kampung. Beberapa hari kemudian, masyarakat menemukan kedua anak itu dibawah lereng keli Nida dan mengejar kedua anak itu secara bersama-sama sambil menghunuskan senjata tajam seperti, parang, panah dan lain sebagainya. Beberapa saat setelah pengejaran, kedua anak itu pun tertangkap dalam keadaan bersimba dara akibat terkenah senjata tajam. Lalu oleh masyarakat, kedua anak itu dibawa ke puncak Gunung Kelinida, sebuah gunung yang terkesan angker dan jarang didatangi orang. Bobi ditempatkan di bagian timur sedangkan Nombi ditempatkan di sisi barat. Perjaka dan dara yang yatim piatu itu dibunuh dan dicincang sebagai silih dan tebusan atas dosa dan kenistaan mereka dengan harapan hujan segera turun membasahi bumi yang sedang gersang itu. Namun, setelah lama

mengorbankan kedua anak yatim piatu itu, hujan tak kunjung datang jua. Bahkan kemarau semakin garang saja. Mosalaki, "Tuan Tanah" beserta seluruh warga kampung semakin gelisah. Mereka semua khawatir, jangan sampai Bobi dan Nombi yang tidak berdosa itu hidup kembali. Pada suatu hari Mosalaki memanggil seluruh warga untuk bermusyawarah lagi. Mereka bersepakat untuk menengok kembali jenazah Bobi dan Nombi yang dicincang di puncak Gunung Kelinida. Sebab, mereka semakin bingung saja karena Hujan pun tak kunjung datang. Berangkatlah orang-orang sekampung ke puncak Gunung Kelinida. Setibanya di puncak Gunung Kelinida yang datar itu, tampaklah hamparan tanaman serupa ilalang yang berbuah lebat dan menguning matang. Tanaman itu tepat di lokasi pembunuhan Bobi dan Nombi. Tanaman sejenis itu belum pernah mereka lihat. Akhirnya, mereka sepakat untuk membawa pulang dan merahasiakan "bulir-bulir rumput ilalang" itu. Setelah dikupas oleh Ndale dan Sera, tampaklah biji-bijian yang berwarna putih dan merah yang diasosiasikan oleh mereka penjelmaan daging dan darah Bobi dan Nombi. Walaupun demikian, setiba mereka semua di kampung, tidak seorangpun yang berani menyantapnya. Setelah bermusyawarah kembali bersama Mosalaki, mereka sepakat agar "makanan" baru yang sudah dikupas itu diuji coba makan oleh janda saja. Dasar perhitungannya, jikalau si janda itu nanti mati keracunan "makanan" baru itu, niscaya kecil resiko dan tidak ada orang yang menuntutnya. Janda Pare pun dipanggil. Pada mulanya Pare enggan dan menolak makan karena Ia juga takut mati. Namun, karena ia diancam oleh Mosalaki dan warga kampung itu, pada akhirnya Pare pasrah dan rela makan dengan syarat, biii-bijian itu harus dikupas dalam jumlah banyak. Dengan demikian, seandainya ia harus mati, ia telah cukup puas menyantapnya. Dengan perasaan yang sangat cemas, percobaan menyantap biji-bijian yang dilakukan oleh Pare disaksikan oleh semua orang. Usai mencicipi segenggam, dua genggam, tiga, bahkan sampai beberapa genggam, wajah Pare justru berseri-seri. Percobaan makan itu diikuti oleh Wole, juga janda sebatang kara yang memang meminta dan menikmati biji-bijian baru itu. Menyaksikan Pare dan Wole makan dengan penuh gembira, orang-orang sekampung itu berminat keras untuk turut menikmati makanan baru itu. Jadilah biji-bijian yang baru itu

"menjelma" menjadi makanan utama bagi seluruh masyarakat kampung itu. Kemudian, disusul pula dengan amanat agar tanaman itu ditanam melalui ritual atau upacara khusus sebagai penghormatan dan rasa syukur serta harus diwariskan kepada anak cucu. Masyarakat di sekitarnya yaitu mereka yang ada di daerah Lise, Mbuli, dan Tenda pun akhirnya mendengar berita yang menggemparkan itu. Mereka segera mencari dan menjejaki asal-muasal makanan baru yang lezat itu. Setelah ditemukan, biji-bijian itu pun dibawa pulang dan diamanatkan juga kepada anak cucu mereka agar cara menanamnya harus dicampuri dengan batu hitam dan emas. Selain itu, pada masa panen usai, makanan itu harus dipestasyukurkan secara adat pula. Dalam pesta panen itu, darah ayam dikorbankan untuk mengenang Bobi dan Nombi. Sebelum pesta syukur panen itu, hendaknya diawali dengan remba ngenda Dari berbagai versi sejarah yang masih samar juga menyebutkan secara rinci bahwa; Darah yang berasal dari Bobi dan Nombi menjelma menjadi Beras merah (Pu'u Pare) yang mewakili setiap ritual adat Lio, sedangkan tulang belulangnya menjelma menjadi Ubi kayu dan ubi jalar atau umbi-umbian (uwi kaju dan ndora, rose dll), giginya menjelma menjadi jagung (jawa), rambutnya menjelma menjadi jagung solor (lolo wete) serta jantungnya menjelma menjadi pisang (muku) dan lain sebagainya. Kelinida yang menjadi saksi sejarah juga disebut kelindota. Disebut Keli Ndota karena di gunung (keli) ini telah terjadi pembunuhan terhadap kedua anak manusia dengan cara dicincang (Ndota) menjadi onggokan daging sehingga menjelma menjadi makanan pokok masyarakat Lio.

MARILONGA

Mari Longa berasal dari daerah Lio Utara di Kabupaten Ende sekarang. Ayahnya bernama Longa, dan ibunya bernama Kemba Kare. Ketika masih bayi ia diberi nama Leba Longa. Setelah menjadi dewasa ia menjadi Mosalaki di watu Nggere dan terkenal dengan nama Mari Longa. Para Mosalaki di Ende-Lio pada waktu itu sangat membenci pemerintah Belanda yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Maka pada suatu hari, Mosalaki Nggobhe Nggede dan Rapo Oja mengundang sekitar 20 orang Mosalaki dari Ende-Lio untuk bermusyawarah. Mari Longa adalah salah satu Mosalaki yang hadir dalam musyawarah itu diputuskan untuk menyerang Woloare. Dalam penyerangan di kampung itu Mari Longa sangat terkenal dengan rakyatnya yang berani mati. Asrama tentara Belanda dikepung dan semua tentara terbunuh. Kemudian kedua kampung itu dibumihanguskan. Karena kekalahan itu Belanda meminta bantuan pasukan dari Kupang. Setelah bala bantuan itu tiba di Ende, serangan balasan terhadap Mari Longa dimulai. Serangan balasan ini dipimpin oleh letnan Jefri. Pertempuran berlangsung empat siang, empat malam. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Perkampungan Watu Nggere dibumihanguskan, namun Mari Longa dengan gagah perkasa tetap bertahan di sebuah benteng. Benteng itu kedudukan Belanda di Kampung Detu Kore dan

dipertahankan mati - matian oleh Mari Longa sehingga pasukan Belanda tidak mampu merebutnya. Hingga pada suatu hari Mari Longa berjalan-jalan keluar benteng, lalu ditembak mati oleh seorang tentara Belanda. Mari Longa gugur sebagai kesuma bangsa. Tetapi semangat juang Mari Longa tidak pernah gugur. Pengorbanan Mari Longa bersama semua rakyat yang gugur bukan hanya sekedar untuk dikenang sebagai suatu peristiwa sejarah. Tapi lebih dari itu. Semangat juang dan pengorbanan Mari Longa bersama semua rakyat yang gugur, patut dikobarkan terus dalam dada setiap Mari Longa muda sekarang baik laki-laki maupun perempuan. Caranya sederhana yaitu dengan cara giat belajar dan bekerja keras dengan penuh rasa tanggung jawab untuk mengisi kemerdekaan kita dengan pembangunan demi kesejahteraan Indonesia yang kita cintai. Satu - satunya

Slogan mari Longa yang tidak perna mati hingga kini adalah: "MARI LONGA EO TOPO DOGA, TU'A NGERE SU'A, MAKU NGERE WATU, TE IWA LE, WERU IWA NGGENGGU. Artinya Menggambarkan bahwa Mari Longa adalah Sosok yang sangat Kuat dan perkasa serta tidak mudah menyerah seperti halnya besi dan Batu yang tidak goyah dengan ancaman yang datang bertubi tubi.

Mythos Dori Woi

Atas kebaikan Dori Woi, Sanga Kula menjadi penduduk pertama Pulau Ende. Karena tidak mempunyai anak ia jadikan Raja Redo anak angkat. Redopun tidak mempunyai anak sehingga Ambu Roru dijadikan anak angkatnya. Ambu Roru kawin dengan Puteri Nuru Laila ( Nur Laila) asal daun lontar dan mendapat dua anak wanita, Ambu Modo dan Peteri Samasa. Puteri Samasa berangkat ke langit dan menghilang. Tetapi ia turun lagi ke Luwu, lalu kawin dengan seorang putera Luwu. Mereka ini menurunkan raja-raja Luwu di Sulawesi. Ambu Modo kawin ambu nggobe dari Onewitu. Seorang puera mereka Mosa Pid kawin dengan wanita Sumba kemudian dengan wanita Nggela. Dari perkawinan ini dilahirkan dua puteri Soru dan Toni. Soru kawin dengan Lesu Bata dari Sikka( teks asli Lika) dan menurunkan raja-raja Sikka. Toni kawin dengan Ambu Jua dari Ambutonda, menurunkan rajaraja Ende. Jelas dari dongeng Dori Woi bahwa ia penurun turunan raja-raja tetapi melalui Ambu Nggobe. Ambu Nggobe kawin juga dengan wanita dari Sikka bernama Sodong ( sic Bapak Kapitan Nggobe). Dari cerita ini dapat dilihat bahwa berbagai orang turut membangun Nua Ende. Tetapi pengambil inisiatip dan penanggung jawabnya adalah tuan tanah yaitu Ambu Nggobe.

You might also like