You are on page 1of 24

[TYPE THE COMPANY NAME]

UU NO.32 Thn 2004: PEMERINTAH DAERAH (OTONOMI DAERAH) Dalam Ulasan Pengelolaan SDA & Lingkungan

Edy Suyanto, Pipin Noviati Sadikin [Pick the date]

DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN ....................................................................................................................................................... 2 A. Latar Belakang ......................................................................................................................................................... 2 B. Permasalahan Lingkungan pada Era Otonomi Daerah ........................................................................... 3 C. Tujuan Paper............................................................................................................................................................. 5 II. TINJAUAN UNDANG-UNDANG ............................................................................................................................... 6 A. Pengertian Otonomi Daerah............................................................................................................................... 6 B. Pengertian Desentralisasi ................................................................................................................................... 6 C. Tujuan Utama Otonomi Daerah ........................................................................................................................ 6 D. Ulasan tentang UU Otonomi Daerah ............................................................................................................... 7 E. Kaitan Antara Otonomi Daerah dan SDA - Lingkungan ....................................................................... 11 III. PEMBAHASAN UNDANG-UNDANG NO. 32 Th 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH (OTONOMI DAERAH) ................................................................................................................................................... 14 IV. STRATEGI KEBIJAKAN DAERAHDALAM PENGELOLAAN SDA DAN LINGKUNGAN HIDUP DI ERA OTDA ......................................................................................................................................................................... 19 V. PENUTUP ..................................................................................................................................................................... 22 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................................................ 23

pg. 1

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejak pemerintahan Orde baru berkuasa, banyak permasalahan yang terjadi pada kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas, adil dan bijaksana. Kelemahan tata kelola di Indonesia telah menimbulkan berbagai persoalan di berbagai bidang, yang dipicu oleh terjadinya resesi ekonomi yang berkepanjangan.Keadaan ini semakin parah dengan hilangnya kepercayaan masyarakat, negaranegara sahabat dan lembaga dana Internasional terhadap kinerja pemerintah. Dengan kondisi carut marut, bisa dipastikan bahwa dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam (SDA) di seluruh Indonesia tidak memberikan hasil yang memadai untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Apabila keadaan ini dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945, dimana dinyatakan bahwa: kandungan bumi dan air dikuasai oleh negara dan akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, makaakan terlihat perbedaan yang sangat besar antara konsep dan realitas.Kenyataan yang harus dihadapi adalah sumberdaya alam yang terus menerus dieksploitasi demi kepentingan beberapa pihak saja tanpa memikirkan berbagai macam dampakyang ditimbulkan akancenderung ke arah negative. Bergantinya pemerintahan Orde Baru kepada pemerintahan Reformasi, dan lahirnya UU No.22 tahun 1999, sebagai rintisan UU No. 32 tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah, maka persoalan yang mengemuka adalah bagaimana distribusi pemanfaatan ekploitasi sumberdaya alam tersebut. Paling tidak ada beberapa hal yang harus dilihat, yaitu pertama, ketidakadilan yang meluas dan mendalam dalam eksploitasi sumberdaya alam, kedua, pemanfaatannya yang hanya dinikmati oleh sekelompok orang saja, dan ketiga, telah terjadi eksploitasi sumberdaya alam tanpa memperhatikan prinsip-prinsip konservasi dan fungsinya yang benar dalam rangka menjaga keseimbangan fungsi lingkungan menuju pembangunan yang berkelanjutan. Undang-undang no. 32 tahun 2004, tentang Otonomi daerah dan Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah, memberikan citra bahwa seolah-olah pemerintah daerah Kabupaten dan Kota, sedang berlomba-lomba mengeksploitasi sumberdaya alam semaksimal mungkin hanya untuk mengejar Pendapatan Asli daerah (PAD).

pg. 2

Nampaknya, hal ini bukan hanya citra.Realitas yang ditemui di lapangan dan akar rumput memang demikianlah adanya. Ketika masa Orde Baru, kekuasaan pemerintah pusat sedemikian kuatnya, sehingga kabupaten dan Kota, yang disebut pemerintah daerah, sama sekali tidak mempunyai wewenang yang jelas dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan. Semuanya diatur oleh pemerintah pusat.Kebijakan yang dikeluarkannya pun masih bersifat sektoral dan tidak holistic, terpecah-pecah, serta membawa ego sektoral masing-masing yang sangat tinggi. Maksud dan rencana Pemerintah Pusat memang baik.Terbitnya UU Otonomi daerah, diharapkan akan terjadi beberapa perubahan yang signifikan. Yang tadinya menganut azas sentralisasi menjadi desentralisasi. Yang tadinya top down menjadi bottom up. Dengan proses ini, ada harapanakan terjadi pemerataan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.Akan timbul pula peran aktif masyarakat dan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu. Tujuan utama yang lain dengan adanya UU No.32 tahun 2004, adalah untuk meningkatkan pelayanan pemerintah kepada rakyat di daerah dan meningkatkan kesejahteraan maasyarakat daerah. Namun demikian, sejak dimulainya pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001, hingga sekarang 2011, hanya sebagian kecil saja kabupaten/kota yang telah mampu memakmurkan daerah dan mensejahterakan masyarakatnya.Bahkan mungkin lebih sedikit lagi apabila dihubungkan dengan keberhasilan daerah dalam pengelolaln sumberdaya alam dan lingkungannya.

B. PERMASALAHAN LINGKUNGAN PADA ERA OTONOMI DAERAH

Dalam perjalanan era Otonomi Daerah berbagai permasalahan muncul, dan semakin memicu terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup terutama pada tingkat local.Tentu saja dampaknya besar bagi kehidupan manusia, berbagai makhluk hidup, dan ekosistem.Padahal berdasarkan berbagai literature dan penelitian sudah jelas bahwa manusia jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan sumberdaya alam tetap. Dalam Mawardi (2009) disebutkan bahwa beberapa permasalahan sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait dengan masyarakat lokal atau daerah di Indonesia merupakan dampak negative yang timbul, dan antara lain merupakan akibatlahirnya UU nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, yaitu: Bidang Pertambangan

pg. 3

1. Citra pertambangan yang merusak lingkungan hidup. 2. Tidak adanya kepastian hukum dalam bidang pertambangan Bidang Pertanian 1. Tingginya konversi lahan konservasi atau sawah menjadi daerah pemukiman, pertambangan atau perdagangan. 2. Tingginya impor bahan pangan Bidang Kelautan dan Perikanan 1. Banyaknya kerusakan dan degradasi habitat ekosistem pesisir dan laut. 2. Belum terselesaikannya batas wilayah laut dengan negara tetangga. 3. Belum didayagunakannya potensi kelautan secara optimal. 4. Merebaknya pencurian ikan dan pola penangkapan ikan yang dapat merusak biota laut. 5. Belum optimalnya pengelolaan pulau-pulau kecil, bahkan masih banyak yang terlantar. Bidang Kehutanan 1. Terjadinya kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) di tiap-tiap daerah. 2. Tingginya ancaman terhadap keanekaragaman hayati. 3. Turunnya kuantitas dan kualitas kondisi hutan Indonesia. 4. Belum dilaksanakannya sistem pengelolaan hutan secara berkelanjutan secara optimal. 5. Belum jelasnya pembagian wewenang dan tanggungjawab pengelolaan hutan. 6. Lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu. 7. Rendahnya kapasitas pengelolaan hutan. 8. Belum berkembangnya pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan lainnya. Bidang Pencemaran dan Perubahan Iklim Global 1. Buruknya kualitas udara di kota-kota besar karena limbah industry dan asap kendaraan bermotor/transportasi. 2. Meningkatnya pencemaran air akibat limbah industry. 3. Tingginya tingkat pencemaran dan belum dilaksanakannya pengelolaan limbah secara terpadu dan sistematis. 4. Belum dikembangkan sistem mitigasi bencana alam. 5. Belum dilaksanakan adaptasi kebijakan terhadap perubahan iklim dan pemanasan global 6. Belum dipahaminya isu lingkungan global belum dipahami dan belum diterapkan dalam pembangunan nasional dan daerah. Bidang Tata Kelola Lingkungan 1. Terjadinya penurunan kontribusi dari sektor migas dan hasil tambang pada penerimaan Negara (APBN). 2. Belum harmonisnya peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. 3. Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan hidup. 4. Alternatif pendanaan lingkungan belum dikembangkan.

pg. 4

Permasalahan-permasalah tersebut tidak bisa diabaikan dan dianggap enteng, karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, serta adanya kesadaran moral di kalangan generasi masa kini.dimaksudkan agar alam ini tetap terjaga keseimbangannya, dan terciptalah harmoni kehidupan antara manusia dengan alam. Tujuan akhirnya tentulah agar kita dapat mewariskan fungsi lingkungan ini kepada generasi yangmendatang dalam keadaan baik.

C. TUJUAN PAPER

Tujuan penulisan paper ini adalah sebagaiberikut : a. Untuk menelaah atau mengkaji UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Deerah (Otonomi Daerah) antara konsep dan pelaksanaannya (implementasinya) di daerah. b. Untuk menelaah dan mengkaji konsep pasal-pasal yang ada dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dalam hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan implikasinya di daerah masing-masing.

pg. 5

II. TINJAUAN UNDANG-UNDANG

A. PENGERTIAN OTONOMI DAERAH

Menurut UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasimasyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.(Abe, 2001) Otonomi Daerah, sebagaimana dikandung dalarn UU No. 22/1999, adalahusaha memberi kesempatan kepada daerah untuk memberdayakan potensi ekonomi, sosial-budaya dan politik di wilayahnya (Andrik Purwasito, IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DIARAS LOKAL, 2001:2)

B. PENGERTIAN DESENTRALISASI

Dalam UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalamkerangka Negara Kesatuan Republik.(Abe, Perencanaan Daerah Partisipatif, 2002)

C. TUJUAN UTAMA OTONOMI DAERAH

Otonomi

daerah

menurut

UU

No.

22/1999

dari

sudut

pandang

desentralisasifiscal,tujuan utama otonomi daerah adalah untuk mendorong terselenggaranya pelayanan publik sesuai tuntutan masyarakat daerah, mendorong efisiensi alokatif penggunana dana pemerintah melalui desentralisasi kewenangan dan pemberdayaandaerah (Kamal Alamsyah, Desentralisasi dalam Perspektif Otonomi Daerah, 2002: 8)

pg. 6

D. ULASAN TENTANGUU OTONOMI DAERAH

Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan. Kemudian, Pemerintahan Habibie memilih melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah; Pada masa pemerintahan Habibie diberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan UndangUndang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain : 1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri. 2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah. 3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan

pg. 7

masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. 4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya. 6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah. 7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi. 8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden. 9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang. 10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.

pg. 8

11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD. 12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah. 13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota. 14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus. 15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD. Dalam Wikipedia dikatakan bahwa Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

pg. 9

Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pelaksanaan Otonomi Daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing. Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu: 1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan 2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)dengan beberapa dasar pertimbangan: 1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim; 2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;

pg. 10

3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya. Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah: 1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah; 2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan 3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju. (Sumber: Wikipedia, free encyclopaedia)

E. KAITAN ANTARA OTONOMI DAERAH DAN SDA - LINGKUNGAN

Sebenarnya, kita harus membedakan antara apa yang disebut akar persoalan dan syndrome. Misalnya, stigma gara-gara Otonomi Daerah maka lingkungan semakin rusak. Sebenarnya tidak sepenuhnya demikian, kerusakan lingkungan ini terjadi bukan hanya sekarang saja pada masa Otonomi Daerah. Hanya saja bisa kita katakan, bahwa setelah Otonomi Daerah, kerusakan lingkungan semakin meningkat tajam. Dalam proses penyerahan, pelimpahan dan pelaksanaan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan ini, tentu saja harus berlandaskan pada acuan hukum, karena daerah memiliki kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing terutama dan tidak boleh diabaikan adalah untuk kepentingan masyarakat. Konsep Otonomi Daerah, mengandung pesan moral, bahwa pelaksanaannya tidak semata-mata untuk kepentingan segelintir pihak, melainkan harus menyentuh akar rumput. Selain mengemban tanggung jawab moral, kepatuhan terhadap penegakan hukum di negara Indonesia ini juga mesti memihak kepada rakyat. Yang jelas, selama ini penegakan hukum di Indonesia dianggap tidak berjalan dengan adil dan bijaksana sebagaimana mestinya, maka tidak mengherankan kemudian dibentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Pada masa Orde baru, bangsa Indonesia mempunyai Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan.Konsep ini merupakan salah satu karya yang brilian,

pg. 11

yang pernah ada di Indonesia. Namun demikian, trilogy ini tidak pernah dievaluasi, tidak pernah dipelajari dan akhirnya kemudian bahkan diubah polanya, sehingga pertumbuhan yang kita kenal adalah pertumbuhan semu. Selanjutnya, dalam stabilitas juga ada stabilitas semu, dan yang sama sekali tidak pernah ada adalah pemerataan. Hingga 3 (tiga) atau 5 (lima) tahun ke depan, bahkan 10 (sepuluh) atau 20 (duapuluh) tahun ke depan dengan kondisi perekonomian Indonesia yang agak terpuruk (tingkat pertumbuhan 6,7%), gejala mengeksploitasi sumberdaya alam itu masih akan tetap terjadi. Padahal, dengan adanya eksploitasi sumberdaya alam dimana-mana di seluruh Indonesia, maka bencana alam dan bencana lingkungan sering terjadi dimana-mana.Misalnya banjir, longsor, kebakaran atau hutan dibakar, konfliks sosial masalah tanah, relative sering terjadi di berbagai tempat, akibat dari eksploitasi yang berlebihan tanpa memandang bagaimana sumberdaya alam itu dilestarikan. Bila ada kerusakan sumberdaya alam, maka akan terjadi bencana di manamana yang akan mengakibatkan kematian banyak manusia. Sungguh disayangkan apabila fenomena ini tidak membangkitkan kesadaran masyarakat, bahwa bumi Indonesia beserta bangsa Indonesia tengah meluncur ke dalam jurang kehancuran. Secara prinsip ada beberapa azas yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, yang perlu diperhatikan yaitu sebagai berikut: Azas Pertama adalahazas pelestarian dan keberlanjutan.Misalnya dalam kehutanan, jika tidak lestari dan berlanjut, maka hutan hanya ditebang dan ditebang.Lama kelamaan hutanakan habis. Diprediksi tidak akanada hutan lagi di Indonesia, kalau laju deforestrasi, laju kerusakan hutan karena illegal logging dan kebakaran (dibakar) seperti yang terjadi sekarang ini, yakni 2,4 juta hektar pertahun.Padahal hutan adalah paru-paru dunia dan harus dijaga.Para pejabat di Kabupaten/Kota, selayaknya memahami bahwa untuk peningkatan PAD dari hutan, tidak harus selalu menebang hutannya. Sekarang ada peluang, hutan sebagai penyerap CO2 dengan mekanisme pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism, artinya ada yang akan membeli karbon CO2 yang diserap oleh hutan kita. Hal ini menjadi peluang bagi Pemerintah di daerah, karena ada peluang investasi dan daerah akan tetap memelihara hutannya tanpa harus menebang, daerah tetap bisa memberikan peluang kerja kepada masyarakat sekitarnya dengan ekowisata dan sebagainya.Demikian pula yang terjadi di bidang perairan dan kelautan. Ada peluang menjualbelikan karbon yang diserap oleh hutan bakau, padang lamun, serta gambut. Sementara terumbu karang bisa menarik wisatawan asing, dan perikanan menjadi sumberdaya yang menjanjikan. Azas Kedua, adalah azas keadilan, dimana pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan secara adil dan merata.Keadilan dan pemerataan disini terjadi di dalam satu generasi dengan berbagai

pg. 12

level kelas social-ekonomi, dan juga antar generasi mendatang yaitu anak cucu kita juga bisa merasakan manfaat dari sumberdaya alam yang telah kita jaga dan pelihara keberlangsungan dan keberlanjutannya. Azas ketiga, azas demokrasi. Dalam konteks ini, sumberdaya alam dikuasai negara,

sebagaimana tercantum di dalam amanat UUD 1945, pelaksanaan hak menguasai negara bertujuan untuk mengatur keadilan dan keberlanjutan fungsi sosial sumberdaya alam. Dalam hal ini, tidak ada sifat diskriminatif karena tidak ada perbedaan jender atau kepentingan kelompok, juga memberikan kesempatan dan perlindungan kepada kelompok masyarakat yang paling rentan. Azas keempat, adalah azas transparansi.Artinya dalam hal pengambilan keputusan harus dengan partisipasi public, segala sesuatunya dikaitkan dengan melibatkan public.Sayangnya, hal ini masih berupa wacana. Azas kelima, azas partisipasi dan akuntabilitas public.Partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan perlu dijamin. Partisipasi masyarakat menjadi jiwa dalam seluruh proses pengelolaan SDA, dimulai dari identifikasi, investasi, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Dengan begitu, partisipasi meliputi semua siklus dan pertanggungjawaban kepada public. Azas keenam, azas eco-efficient, yaitu penggunaan SDA secara efisien. Contohnya pemanfaatan air, jangan seenaknya dikuras untuk kepentingan bisnis oknum, tanpa memperhatikan keberlanjutannya dan kepentingan masyarakat luas. Azas ketujuh, azas perlindungan keanekaragaman hayati.Indonesia merupakan negaramegabiodiversity.Ini berarti Indonesia harus melindungi kekayaan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, baik dari ancaman kepunahan, maupun dari intrusi spesies-spesies asing yang berbaur dengan spesies jenis local.

pg. 13

III. PEMBAHASAN UNDANG-UNDANG NO. 32 TH 2004 TENTANG PEMERINTAHDAERAH (OTONOMI DAERAH)

Undang-undang Otonomi Daerah (Otda) yang lahir tahun 1999, tidak terlepas dari proses perubahan sosial yang terjadi di Indonesia.Berakhirnya era Orde Baru dan lahirnya era Reformasiatas desakan masyarakat harus diakomodasi oleh pemerintah pusat. Apabila dilihat secara historis, pada jaman kolonial, proses ini seakan-akan merupakan politik etis, yaitu semacam pemberian hadiah dari pemerintah pusat ke daerah.Atau,bisa juga merupakan sebuah proses pelunakan atas terjadinya proses perlawanan terhadap otoritarianisme sentralistik di pusat. Caranya dengan memberi kewenangan agar daerah bisa bernegosiasi dengan modal sendiri, pemilik modal juga bisa menanamkan modalnya di daerah, dan daerah diberi kewenangan mengaturnya. Selanjutnya, kritisi bagi Otonomi Daerah adalah bahwa dalam Otonomi Daerah tidak dikatakan hak untuk mengatur daerahnya sendiri, akantetapi wewenang untuk mengatur di daerahnya sendiri. Lain halnya dengan hak, yang biasanya mempunyai otoritas penuh, kewenangan adalah sesuatu yang diberi, jadi lebih merupakan sebuah proses pemberian. Ada beberapa hal yang perlu dikritisi dalam UU Otda sebagaiberikut: (1) Dalam Otonomi Daerah ini, ada yang namanya Dana Alokasi Umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Kalau melihat UU No. 25 tahun 1999, komposisi pembagian sumberdaya alam antara pusat dan provinsi, sektor-sektor stategis sebagian besar tetap dikuasai pusat. Jadi ketika dikatakan mau mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka itu adalah manipulatif, karena daerah tetap meminta suntikan danmengindukke pusat. Seperti minyak, sebenarnya 85% dikuasai pusat dan hanya 6% diberikan ke kabupaten penghasil. Untuk penanaman modal di Jakarta pada umumnya dikuasai group perusahaan besar dan di daerah dikuasai group kecil. (2) Dalam Otonomi Daerah, tentang kewenangan UU Otda, ternyata di daerah menimbulkan konflik baru.Misalnya kewenangan antara batas satu kabupaten dengan kabupatenlain, terjadi ketegangan. Begitu pula dengan kewenangan antara otoritas pemerintah pusat dan daerah, ketika ada kasus sering terjadi saling lempar tanggungjawab. Pemerintah pusat juga tidak sepenuh hati memberikan kewenangan. Misalnya UU No.41 tentang kehutanan memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur tentang persoalan sumberdaya hutan. Akan tetapi, kemudian keluar PP No.34 yang mencabut beberapa kewenangan yang dipunyai

pg. 14

pemerintah daerah. Sehingga, seakan-akan ada konfliks kewenangan yang diproduksi oleh Otonomi daerah (Otda) yang berkaitan dengan Otda.Sehingga, yang terjadibukan mengembalikan mandat kepada provinsi atau kabupaten tetapi berpotensi memproduksi konflikkonflik baru. (3) Dengan adanya UU Otda, maka semangat pengelolaan sumberdaya alam mendatang harus memperhatikan pengentasan kemiskinan masyarakatnya. Akan tetapi dalam kenyataannya, meskipun SDA dieksploitasi oleh daerah, namun kemiskinan tetap merajalela. Artinya, ada proses yang signifikan antara proses transformasi, proses perubahan sosial dan politik, proses perubahan system ketetanegaraan dengan dua hal yaitu rusaknya ekologi dan naiknya angka kemiskinan di daerah. Dengan kata lain, tidak pernah terputus kaitan antara pengambilan keputusan di tingkat Pusat dalam menyelamatkan hutan, atau menyelamatkan sumberdaya alam, dengan kondisi social eknomi masyarakat. Maka mau tidak mau tatanan sosial politik, tatanan capital saat ini perlu diubah, agar angka kemiskinan menurun. Lihat saja sekarang ini, semakin banyak orang yang menderita sakit jiwa, stress, bunuh diri, pembunuhan, perseteruan antar kampung. Sementara itu, dimana-mana dengan mudah bisa kita temui pengemis dan pengangguran akibat tekanan faktor ekonomi sebagai salah satunya penyebabnya. (4) Undang-undang Otonomi Daerah lahir, ketika masyarakat secara umum, belum siap, sehingga menimbulkan implikasi-implikasi yang sangat berat di masyarakat daerah. Banyak kepala daerah hanya menyelamatkan masa jabatannya, tanpa memperhatikan bagaimana setelah itu, karena hanya memikirkan untuk kepentingannya sendiri. (5) Otonomi Daerah, seharusnya bermakna pembangunan kekuatan lokal, bukan hanya sekedar desentralisasi kewenangan.Mandat seharusnya otonomi dari komunitas, bukan otonomi administrasi seperti Kabupaten. Hal ini agar rakyat komunal tidak merasa dirugikan. Banyak kasus pertanahan adat yang menjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan, dan akhirnya rakyat lokal sering dirugikan dan menjadi korban. (6) Otonomi Daerah mengenal adanyaWakil Kepala daerah, namun dalam rincian tugasnya tidak jelas.Hal ini perlu diperjelas, agar dalam implikasi di lapangan tidak terjadi tumpang tindih antara Kepala Daerah dengan wakil Kepala

pg. 15

daerah.Contohnya, kasus Wakil Bupati garut yang mengundurkan diri, akibat tidak adanya pembagian tugas yang jelas.Kini banyak terjadi contoh serupa. (7) Otonomi Daerah sebaiknya mengatur bahwa wakil kepala daerah diisi oleh PNS karier, sehingga saling mengisi antara Pejabat Publik dari Partai Politik dan pejabat karier. (8) Dalam Otonomi Daerah, jabatan Sekretaris Desa diisi oleh PNS, hal ini perlu ditinjau lagi, karena menjadi kecemburuan perangkat desa yang lain, sehingga terjadi konflik. (9) Dalam Otonomi Daerah, kepala daerah dan wakilnya, dipilih secara langsung, demokratis, berdasarkan azas langsung, bebas rahasia, jujur dan adil. Hal ini perlu ditinjau lagi, karena dalam implementasi di lapangan sering terjadi konflik. Misalnyasering terjadiaparat saling mendukung, sehingga menimbulkan suasana yang kurang kondusif. Secara ekonomi, proses ini memerlukan biaya ekonomi yang tinggi. Karena itu,wewenang proses pemilihan kepala daerah dan wakilnya ini sebaiknya dikembalikan lagi kepada DPRD. (10) Dalam Otonomi Daerah, tertulis adanya urusan, padahal dalam UU sebelumnya adalah kewenangan. Sebaiknya istilah urusan diganti menjadi kewenangan, karena istilah kewenangan yang ada dalam UU Otda, lebih banyak ditangani Pemerintah Pusat (resentralisasi. Dalam kewenangan ada kesempatan untuk mengadakan perencanaan dan mengimplementasikannya secara politis.Sedangkan kalau urusan tidak demikian, karena sangat terbatas dan secara politis tidak kuat. (11) Dalam Otonomi Daerah, disebutkan, bahwa anggota TNI/Polri, tidak menggunakan hak pilih dalam pemilihan kepala daerah, DPR, DPRD. Dalam hal ini, sebaiknya mereka perlu diberi kesempatan memilih, karena sebagai warga negara mempunyai hak, seperti halnya PNS. Kalau tidak diberi hak memilih, maka perlu diberi alokasi jatah di DPRD maupun DPR, seperti undang-undang sebelumnya. (12) Dalam Otonomi Daerah, disebutkan, syarat pendidikan Kepala daerah/Wakil, sekurang-kurangnya masyarakat. SLTA atau sederajat. Sebaiknya, ditinjau lagi dan pendidikanperlu ditingkatkan, minimal Sarjana (S1) sesuai dengan perkembangan

pg. 16

(13)

DalamOtonomi daerah, disebutkan bahwa Keistimewaan Yogyakarta (DIY), kepala daerah (Gubernur) dan wakilnya dipilih rakyat. Untuk ini disarankan sebaiknya dikembalikan ke undang-undang Presiden, sebelumnya. Gubernur dan Wakil DIY, supayaditetapkan keistimewaannya. mengingat aspek historis Yogyakarta, dengan

(14)

Dalam Otonomi daerah, disebutkan bahwa kabupaten mempunyai kewenangan atas pesisir dan laut dari 0-4 mil, sedangkan kewenangan provinsi dari 4-12 mil. Didalam undang-undang tersebut, kewenangan dinyatakan dengan jelas, namun dalam pelaksanaannya di kabupaten atau provinsi bisa memilih-milih aturan mana yang akan digunakan.

(15)

Dalam

Otonomi Daerah, ada beberapa hal yang bertentangan dengan undang-

undang sektoral dan menimbulkan ambigu. Misalnya dalam UU No. 25 tahun 2000 tentang Propenas, disebutkan bahwa untuk SDA akan dibuat sekitar 20 undang-undang, antara lain uu sda, uu pertanahan, uu sumberdaya air, uu pertambangan dan sebagainya. Jika masing uu itu dibuat, maka akan saling bertentangan dan dapat menyebabkan konflik di lapangan. (16) Dalam otonomi Daerah, ada kerancuan dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Karena di daerah tidak ada batas yang jelas antara wewenang kabupaten dan propinsi dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. Sebagai contoh, sungai yang melewati suatu daerah, tidak ada ketentuan siapa yang mempunyai wewenang mengatasipengelolaan lingkungan hidup tersebut. Selain itu, sering terjadi perebutan lahan garapan, seperti dalam pembuatan program Amdal. (17) Dalam Otonomi Daerah, belum tertulis adanya Otonomi Komunitas, dalam arti masyarakat adat lokal. Diharapkan adanya otonomi komunitas, yang mengatur tentang partisipasi masyarakat. Misalnya Raperda Tanah ulayat yang lebih menitikberatkan kesempatan bagi pengusaha (investor) dan pejabat daerah, Hal ini seringkali menimbulkan konflik sosial dan protes masyarakat. Akhir-akhir ini, konflik pertanahan kembali merebak, seperti kasus Mesuji di Lampung dan di Mesuji, kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Oleh karena itu perlu adanya pengakuan masyarakat adat, tetapi bukan pengakuan semu. Tentu saja di dalam penyusunan peraturan pertanahan ini perlu dilakukan secara terpadu dan holistic antar kementerian.

pg. 17

(18)

Dalam otonomi daerah, sudah jelas diatur hubungan antara Gubernur dengan Bupati. Akan tetapi pada kenyataannya diberbagai daerah, Bupati sering mengabaikan fungsi koordinasi dengan Gubernur. Karena itu, sering dikatakan bahwa dengan adanya Otonomi Daerah, memungkinkan munculnya raja-raja kecil di daerah.

(19)

Dalam Otonomi Daerah, belum ada Juklak dan Juklisnya yang jelas. Sebagai contoh, aturan mengenai pemekaran wilayah belum jelas, sehingga kadang menimbulkan konflik sosial atau kekacauan di masyarakat daerah. Contoh kasus yang terjadi antara lain di Riau, Papua, Lampung (Mesuji) dan sebagainya.

pg. 18

IV. STRATEGI KEBIJAKAN DAERAHDALAMPENGELOLAAN SDA DAN LINGKUNGAN HIDUP DI ERA OTDA

Dalam era Otonomi Daerah, sebagaimana tertuang dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah sesungguhnya diberi kewenangan dan tanggung jawab untuk mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup. Kebijakan otonomi daerah merupakan langkah strategis untuk menciptakan keadilan ekonomi dan politik serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Peraturan hukum ini bertujuan untuk mendesentralisasikan sejumlah kewenangan pelayanan pemerintah, juga mengatur pemindahan fungsi-fungsi perencanaan dan pengelolaan SDA (termasuk laut dan pesisir) dari pemerintah pusat kepada daerah (provinsi atau kabupaten/kota). Secara khusus di dalam pasal 18 UU No. 32/2004 menyatakan bahwa daerah yang memiliki laut diberi kewenangan untuk mengelola sumberdaya laut yang meliputi: (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; (b) pengaturan administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d) penegakan hukum terhadap peraturan; (e)ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; (f) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Kewenangan untuk mengelola sumberdaya laut adalah paling jauh 12 mil laut untuk provinsi dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Melalui otonomi daerah, partisipasi daerah dan masyarakat lokal diharapkan semakin optimal dalam mengelola sumberdaya kelautan, termasuk wilayah pulau-pulau kecil. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pengawasan sumberdaya laut merupakan bentuk tanggung jawab mereka terhadap masa depan sumberdaya itu sendiri. Sementara dari aspek ekonomi, dengan adanya UU No. 32/2004, daerah memiliki kewenangan untuk mengatur investasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Permasalahan dalam operasionalisasi kebijakan di atas adalah belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan ini yang telah diatur melalui PP No. 25/2000 belum berjalan optimal karena perbedaan persepsi antar pelaku pembangunan dan adanya tumpang tindih peraturan perundangan, terutama antara yang mengatur desentralisasi dan otonomi daerah dengan perundangan sektoral. Sementara itu kewenangan yang telah didesentralisasikan belum dilaksanakan oleh Pemda secara optimal. Oleh karena itu, pasal 18 UU No. 32/2004 tentang Kewenangan dalam

pg. 19

Pengelolaan Wilayah Laut sebagaimana yang diuraikan di atas juga belum diimplementasikan dengan baik. Untuk itu, diperlukan penjabaran yang lebih tegas dalam peraturan pelaksanaan /operasionalnya. Permasalahan-permasalahan di atas merupakan tantangan yang perlu dijawab dalam konteks penetapan provinsi kepulauan. Isu utama yang dihadapi adalah bagaimana membuat sebuah integrated policy, bagaimana mengatasi konflik tumpang tindih pemanfaatan di berbagai wilayah, dan bagaimana melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan. Dari berbagai permasalahan di atas, sasaran pembangunan yang akan dicapai adalah membaiknya sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup bagi terciptanya keseimbangan antara aspek pemanfaatan sumberdaya alam sebagai modal pertumbuhan ekonomi dengan aspek perlindungan terhadap pelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai penopang sistem kehidupan secara luas. Adanya keseimbangan tersebut berarti menjamin keberlanjutan pembangunan. Untuk itu pengarus-utamaan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan di seluruh sektor, baik di pusat maupun di daerah menjadi suatu keharusan. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan kegiatannya harus dilandasi tiga pilar pembangunan secara seimbang, yaitu: (1) Menguntungkan secara ekonomi (economically value); (2) Diterima secara sosial (socially acceptable); (3) Ramah lingkungan (environmentally sound). Ketiga prinsip tersebut harus dijabarkan dalam bentuk instrumen kebijakan dan peraturan perundangan di bidang lingkungan yang dapat mendorong investasi pembangunan jangka menengah di seluruh sektor dan bidang terkait dengan sasaran pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan. Beberapa sasaran pembangunan lingkungan adalah: (1) Meningkatnya kualitas air permukaan (sungai, danau, dan situ) dan kualitas air tanah disertai pengendalian dan pemantauan terpadu antar sektor. (2) Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui pendekatan terpadu antar kebijakan konservasi tanah di wilayah daratan dengan ekosistem pesisir dan laut; (3) Meningkatnya kualitas udara perkotaan khususnya di kawasan perkotaan yang didukung oleh perbaikan manajemen dan sistem transportasi kota yang ramah lingkungan; (4) Berkurangnya penggunaan bahan perusak ozon;

pg. 20

(5) Berkembangnya kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global; (6) Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai pedoman Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan 2003-2020 (IBSAP); (7) Meningkatnya upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan menempatkan perlindungan lingkungan sebagai salah satu faktor penentu kebijakan; (8) Meningkatnya sistem pengelolaan dan sistem pelayanan limbah B3; (9) Tersusunnya informasi dan peta wilayah-wilayah yang rentan terhadap kerusakan lingkungan, bencana banjir, kekeringan, gempa bumi, tsunami, serta bencana-bencana alam lainnya; (10) Tersusunnya suatu pendanaan lingkungan sebagai inovatif sebagai terobosan untuk mengatasi rendahnya pembiayaan sektor lingkungan hidup; (11) Meningkatnya diplomasi internasional di bidang lingkungan hidup; (12) Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya memelihara sumberdaya alam dan lingkungan hidup. (Hidayat & Ririhena, 2010)

pg. 21

V. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, maka Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah, ternyata antara konsep dengan pelaksanaan belum sinkron. Dalam pelaksanaan di daerah, ternyata Otonomi daerah itu, belum sepenuhnya mampu memberikan manfaat yang nyata dan optimal terhadap kesejahteraan masyarakat daerah.Sedangkan di dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, ternyata kualitas lingkungan semakin menurun dan cenderung mengalami kerusakan. Disisi lain, dikarenakan pendidikan mereka masih belum bisa mengimbanginya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka ada beberapa masukan dari hasil penelaahan pelaksanaan Otonomi daerah di daerah, yang dapat digunakan untuk penyempurnaan undangundang pemerintahan daerah, dalam rangka otonomi daerah. Dengan terbitnya penyempurnaan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah daerah atau Otonomi Daerah, diharapkan nantinya dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, akan lebih bijaksana dan rasional, dalam meningkatkan PAD sehingga kualitas lingkungan akan terjaga dan tidak mengalami degredasi lingkungan. Selain itu juga diharapkan, dengan Otonomi Darah, maka kesejahteraan masyarakat akan semakin meningkat dan kemiskinan akan semakin berkurang, dengan demikian pembangunan berkelanjutan akan berjalan dengan baik. ketidakmampuan aparat,

***

pg. 22

DAFTAR PUSTAKA
Abe, A. (2001). Perencanaan Daerah Memperkuat Prakarsa Rakyat dalam Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Abe, A. (2002). Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarta: Pondok Edukasi. Hidayat, I. W., & Ririhena, R. E. (2010). Peran Otonomi Daerah dalam Pengelolaan Lingkungan serta Implementasinya pada Pembangunan Berkelanjutan. Bogor: PS Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.

pg. 23

You might also like