You are on page 1of 30

DERMATITIS KONTAK ALERGI

I.

PENDAHULUAN Kulit adalah organ kompleks yang melindungi host dari lingkungannya dan

pada waktu yang bersamaan memungkinkan interaksi dengan lingkungan. Luas kulit orang dewasa kira-kira 1,5 m2 dengan berat kurang lebih 15% berat badan. Keadaan tersebut menjadikan kulit menjadi organ yang esensial dan vital. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh.1,2 Fungsi utama kulit adalah proteksi, absorbsi, eksresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D dan keratinisasi. Kulit yang berbatasan langsung dengan lingkungan juga berisiko terkena paparan dan gangguan bahan kimia serta agen fisik eksogen.1,2,3 Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis. Dermatitis disebabkan oleh berbagai faktor (multifaktorial).1,2,4 Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi yang menempel pada kulit dan merupakan salah satu kelainan kulit paling umum yang berkaitan dengan pekerjaan. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dan Dermatitis Kontak Alergi (DKA) dan keduanya dapat bersifat akut maupun kronis. Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik yang tidak melibatkan stimulasi sel T, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergi terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen yang melibatkan stimulasi terjadap sel T.2,5,6,7,8,9

Asumsi awal berbagai penelitian adalah bahwa DKI lebih sering terjadi dibandingkan dengan DKA yaitu sekitar 70-80%. Namun, beberapa penelitian terbaru menemukan DKA lebih banyak ditemukan. DKI merupakan efek toksik yang lokal ketika kulit kontak dengan bahan iritan kimia seperti sabun, bahan pelarut, asam dan alkali. DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang didapat ketika kulit kontak dengan bahan kimia pada orang yang sebelumnya telah tersensitasi. Respon kulit terhadap DKA dan DKI tergantung pada bahan kimia, durasi dan sifat dasar dari kontak serta kelemahan individu. Bahan kimia yang menyebabkan dermatitis kontak ditemukan pada perhiasan, produk untuk perawatan diri, tanaman, pengobatan topikal ataupun sistemik. Gambaran klinik antara DKA dan DKI sulit dibedakan, dibutuhkan tes tempel untuk membantu mengidentifikasi alergen atau meniadakan alergen yang dicurigai. 1,2,3,7,8,9

II.

DEFINISI Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul

setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. Alergen yang menyebabkan DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul yang umunya rendah. DKA terjadi akibat pajanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang sama, atau mempunyai struktur kimia serupa pada kulit seseorang yang telah tersensitasi sebelumnya. Reaksi alergik yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat atau tipe IV menurut klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantaraan sel limfosit T.2,5,6,7,8, 9,10,11

III.

EPIDEMIOLOGI Prevalensi dermatitis kontak pada populasi umum diperkirakan sekitar 26-

40% pada orang dewasa dan 21-36% pada anak-anak. Kejadian DKA meningkat seiring pertambahan umur, namun angka sensitisasi tertinggi terjadi pada anak-anak umur 0-3 tahun. Pada studi yang dilakukan North American Contact Dermatitis

Group antara tahun 1998-2000 didapatkan 60% kasus DKA, sementara hanya 32% yang disebabkan oleh zat iritan.1,2,6,10 Sebuah penelitian yang dilakukan di negara Kopenhagen ditemukan bahwa nikel merupakan alergen yang paling banyak ditemukan. Diperkirakan ada 4-5% populasi umum yang alergi terhadap nikel dan 1-3% yang alergi terhadap bahanbahan kosmetik. Sebuah penelitian di India juga mengungkapkan sekitar 66% yang positif terhadap uji tempel kosmetik.1,5 Pada studi yang dilakukan di Amerika Serikat, Templet, Hall dan Belsito mencatat bahwa dermatitis pada tangan merupakan salah satu alasan rujukan pasien ke pusat pemeriksaan uji tempel. Studi yang dilakukan pada sekitar 1934 pasien selama 8 tahun, ditemukan 32% mengalami dermatitis pada tangan yang mana 54% diantaranya merupakan DKA dan hanya 27% yang didiagnosa menderita DKI.1 DKA lebih banyak ditemukan pada kelompok pekerja. Pada pemeriksaan uji tempel yang dilakukan pada pekerja tukang batu didapatkan bahwa para pekerja ini mengalami dermatitis kontak alergi terhadap semen dan karet. Sebuah studi tentang prevalensi DKA pada perawat dan mahaiswa keperawatan ditemukan 34,8% perawat dan 19% mahasiswa keperawatan mengalami gejala dermatitis kontak serta sebagian besar bereaksi positif terhadap nikel sulfat dan thimerosal.7,12,13 Di Eropa dan sebagian besar negara di dunia, alergen yang paling sering mensensitisasi adalah nikel, thiomersal dan parfum. Alergi terhadap nikel ditemukan sebanyak 13-17% pada orang dewasa, 10% pada remaja, dan 7-9% pada anak-anak. Wanita lebih berisiko alergi terhadap nikel dibanding laki-laki.4,10 IV. ETIOLOGI Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah

yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari).1,2,14 Alergen penyebab dermatitis kontak alergi yang umum pada pekerja yaitu logam (nikel, kromium, kobalt, merkuri, emas dan platinum), karet tambahan (pedal gas: mercaptobenzothiazole, carbamates, thiurams dan thioureas, Antioksidan: Nphenyl-N-isopropyl-paraphenylenediamine), plastik dan damar (Epoxy, phenolic dan acrylic monomers, amine, anhydride dan peroxide catalysts, colophony, turpentine, catechols), biosida (Formaldehyde dan glutaraldehyde, isothiazolinones, kosmetik

methyldibromoglutaronitlire,

iodopropynyl

butylcarbamate),

(paraphenylenediamine, glyceryl thioglycolate, cocamidopropylbetaine, paraben dan pengawet lainnya, parfum dan minyal esensial) dan tanaman (pentadecylcatehols, heptadecylcatehols dan sesquiterpene lactones)3

V.

PATOGENESIS Pada dermatitis kontak alergi terjadi reaksi tipe IV (hipersensitivitas tipe

lambat) pada lebih dari 3700 bahan kimia eksogen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed atau cytotoxic type cell mediated hypersensitivity) ini dijalankan oleh komponen imunitas seluler yaitu limfosit T. Sel T yang telah tersensitisasi oleh suatu antigen tertentu, pada pemajanan berikutnya dengan antigen yang sama akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin. Sitokin yang diproduksi antara lain macrophages chemotactic factor, macrophages inhibitory factor, interleukin 1, tumor necrosis factor alpha (TNF ) dan interpheron gamma (IFN ). Sitokin ini akan berfungsi merekrut sel-sel radang terutama sel T dan makrofag di tempat antigen.1,4

Gambar 1. Mekanisme Hipersensitivitas tipe IV.16

Patogenesis DKA melalui 2 fase yaitu fase induksi (fase sensitisasi) dan fase elisitasi. Fase induksi saat kontak pertama alergen dengan kulit sampai limfosit mengenal dan memberi respons memerlukan waktu 2-3 minggu. Sedangkan fase elisitasi ialah saat terjadi pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai timbul gejala klinis.2,16,17

Gambar 2. Peristiwa imunologi pada dermatitis kontak alergi. Gambar sebelah kiri merupakan fase sensitisasi dan sebelah kanan merupakan fase elisitasi.17
5

1. Fase Sensitisasi1,2,3,4,8,17 Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak. Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan istirahat dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1) serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC kelas I dan II, ICAM-1, LFA-3, dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNF, yang dapat mengaktivasi sel T, menginduksi perubahan molekul adesi sel sitokin juga meningkatkan MHC kelas I dan II. TNF menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T penolong spesifik, yaitu yang dan pelepasan

mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel Langerhans dan kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses. Ada atau tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik. Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulai proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel T-

memori (sel-T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung 2-3 minggu. Menurut konsep, bahwa sinyal antigenik murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi sedangkan sinyal iritannya menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya sensitisasi kontak bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal dari alergen kontak sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respons iritan, dari bahan kimia inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi dari ketiganya. Jadi sinyal bahaya yang menyebabkan sensitisasi tidak berasal dari sinyal antigenik sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya. Suatu tindakan mengurangi iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi. Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik. 2. Fase Elisitasi2,3,4,17 Jika seseorang telah tersensitisasi mengalami paparan alergen berulang, Hal ini berarti bahwa sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Reaksi klinik yang terjadi biasanya sangat cepat dan terjadi dalam kurun waktu 24-48 jam, namun hal ini juga tergantung pada derajat sensitivitas, penetrasi dan faktor lainnya. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh
7

enzim dan sel, kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-1 dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2 sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan. Fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam.

Gambar 3. Patofisiologi Dermatitis Kontak.9

VI.

DIAGNOSIS Diagnosis dermatitis kontak alergi dapat ditegakkan dari hasil anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

A. Anamnesis Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan pada kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular disekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Paparan alergen pewarna rambut pada pasien harus ditanyakan seperti penggunaan anastesi, ester, sulfonilurea dan lainnya. Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, daerah predileksi, durasi, gaya hidup, sumber alergi, alergi terhadap bahan-bahan tertentu, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik, psoriasis)1,2,14 B. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya pada muka oleh bahan kosmetik, kepala oleh pewarna rambut, ketiak oleh deodoran, dipergelangan tangan oleh jam tangan dan dikedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen. Diagnosis dari DKA jelas terlihat ketika area inflamasi merupakan daerah yang tepat ditutupi oleh alergen. Hal yang sama mungkin timbul pada dermatitis pada tangan, namun banyak kasus dermatitis alergi dan dermatitis iritan tangan tidak dapat disingkirkan dengan hanya melihat manifestasi klinisnya. Inflamasi pada tangan, apapun penyebabnya, meningkat pada paparan lebih lanjut oleh bahan kimia, mencuci, goresan, pengobatan dan infeksi. Inflamasi pada bagian dorsum tangan lebih sering iritan atau atopik dibanding alergi.2,14 Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Durasi dari DKA bervariasi pada setiap

orang. DKA akan bertambah parah selama alergen terus kontak dengan kulit. Ada beberapa tipe dari dermatitis kontak alergi:2,4 1. Akut1,2,3,4 Eritema yang berbatas tegas dan edema, vesikel, dan/atau papul. Pada reaksi yang hebat dapat berupa bula, erosi dengan serum, dan krusta. 2. Subakut3 Plak dengan eritema ringan, bersisik, kadang dengan papul yang kecil, merah, dan berkelompok. 3. Kronik2,3,4 Plak dengan likenifikasi (penebalan epidermis dengan garis kulit yang mendalam dengan pola pararel atau rhomboidal), pengelupasan dengan papul yang kecil, padat, berkelompok, ekskoriasi, eritema, dan pigmentasi.

Daerah predileksi untuk dermatitis kontak alergi adalah : 1. Tangan dan lengan. Dermatitis pada tangan biasanya disebabkan karena banyak faktor, mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Sekitar dua pertiga dari seluruh kasus dermatitis kontak melibatkan tangan yang merupakan tempat penting untuk dermatitis kontak alergi dan iritan. Dermatitis dengan gambaran bergaris-garis pada jari, punggung tangan, dan lengan bawah biasanya disebabkan karena tanaman. Pada pekerjaan yang basah (kontak lama dengan air), misalnya memasak makanan, mencuci pakaian, pengatur rambut di salon, angka kejadian dermatitis tangan lebih tinggi. Lengan terkena alergen yang sama seperti tangan, tetapi biasanya belakangan. Jika sarung tangan digunakan saat bekerja, lengan bawah biasanya merupakan tempat utama dari dermatitis okupasional.1,2,4,8

10

Gambar 4. Dermatitis kontak alergi pada tangan akibat alergen racun ivy. Tampak kulit mengalami eritema disertai bulla pada daerah ekstremitas superior8

2. Wajah Wajah selalu terpapar oleh sejumah besar alergen. Dermatitis pada wajah dapat terjadi sendiri atau berhubungan dengan eksema pada tangan.Semua alergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai muka, kelopak mata, dan leher pada waktu menyeka keringat. Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal, alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kacamata), dan alergen lain yang kontak dengan tangan. Dermatitis yang terjadi karena kosmetik biasanya diawali dengan kulit kering, kaku, dan gatal. Banyak wanita yang segera mengganti produk kosmetik mereka pada tahap ini dan tidak menemui dokter spesialis.1,2,4,8

11

Gambar 5. Dermatitis kontak alergi di wajah akibat hipersensifitas terhadap phosphorus sesquisulphide. Wajah tampak eritem.6

3. Telinga Anting atau jepit telinga yang terbuat dari nikel merupakan penyebab dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan plastik, serta bahan kimia lainnya. Antinganting yang menyebabkan dermatitis pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis kontak kronik.2,4,8

12

Gambar 6. Dermatitis kontak alergi di daerah telinga akibat dari reaksi hipersensitifitas terhadap nikel. Tampak makula eritema di sekitar telinga.8

4. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.1,2,4,8

Gambar 7. Dermatitis kontak alergi di daerah badan disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas terhadap nikel pada ikat pinggang. Tampak papul eritema pada regio abdomen8

13

5. Genitalia Penyebabnya adalah antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut wanita alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Bila mengenai daerah anal mungkin disebabkan oleh obat antihemoroid.2,4

Gambar 8. Dermatitis kontak alergi. Tampak edema dan eritema pada distal penis akibat penggunaan neomisin topikal.1

6. Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal.Pada kaki dapat disebabkan oleh sepatu dan kaus kaki pada athletes foot, antiseptik, dan antiperspiran.1,2,4,8

14

Gambar 9. Dermatitis kontak alergi pada kaki. Makula hiperpigmentasi dan madidans pada daerah digitorum pedis dekstra et sinistra.8

C. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan histopatologis Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi, menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema dermis atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara histologi tidak spesifik.1,15 a. Epidermis:15 Dalam epidermis, spongiosis adalah tanda yang hampir selalu ada akibat akumulasi cairan di sekitar keratinositdan akibatnya peregangan kompleks antar desmosom. Spongiosis secara fokal merata sepanjang epidermis dan terbatas hanya pada lapisan bawah atau memanjang dari basal ke lapisan granular. Dalam beberapa kasus, saluran folikel sel-sel keringat biasanya terlibat dalam proses spongiotik. Dengan demikian, pada dermatitis kontak alergi. Spongiosis vesikuler dapat didefinisikan sebagai rongga

intraepidermal dengan dinding yang tidak teratur dan terdapat spongiosis di sekitarnya. Sel-sel inflamasi bermigrasi ke dalam epidermis (eksositosis). Sel-

15

sel ini, terutama limfosit dan kadang-kadang polimorfonuklear neutrofil dan eosinofil, yang terakumulasi dalam vesikel spongiotik. Beberapa vesikel berbentuk bulat dan berada dalam stratum spinosum, sedangkan yang lainberbentuk datar dan terletak di stratum korneum. Pada akhirnya vesikel ini pecah di permukaan epidermis.. b. Dermis15 Pada stratum papiler seringkali terdesak dan melebar sehingga menyebabkan dilatasi pembuluh limfatik dan ini sangat mencolok pada beberapa kasus. Edema dermal menonjol karena adanya deposit asam mukopolisakarida. Sel mononuklear biasanya terdapat di sekitar pembuluh darah lapisan bawah dermis dan bahkan sampai ke dalam jaringan subkutan. Sel-sel bermigrasi dari ruang perivaskular ke epidermis dan ditemukan di seluruh jaringan kulit. Infiltrasi dermal sering terlihat di sekitar folikel rambut dan saluran sebaseus, yang menunjukkan terjadinya spongiosis dan degenerasi selular. Hal ini dikarenakan oleh penetrasi langsung alergen.

Gambar 10. Spongiotik vesikuler pada epidermis dengan eksositosis sel mononuklear dan edema dermal9

16

2. Uji tempel2,3,5,8,10,14,18 Untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak alergi perlu dilakukan uji tempel yang merupakan gold standart. Tes ini digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas pada bahan-bahan yang berkontak dengan kulit. Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas di antara 70-80 %. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E. Test, keduanya buatan Amerika Serikat.

Gambar 11. Antigen standar buatan pabrik yang siap digunakan, TRUE test.18

Terdapat pula antigen standar bikinan pabrik di Eropa dan negara lain. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa bahan kimia, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja, atau tempat rekreasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel:

17

1. Dermatitis harus sudah tenang. Sebab bila masih dalam keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi angry back atau excited skin, reaksi positif palsu, atau dapat juga mengakibatkan penyakit yang dideritanya semakin memburuk. 2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya 1 minggu setelah pemakaian kortikosteroid (topikal dan sistemik) dihentikan sebab dapat memberikan reaksi negatif palsu (toleransi pemakaian prednisone <20mg/hari atau dosis yang ekuivalen dengan itu). Luka bakar karena sinar matahari (sun burn) yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat memberikan hasil negatif palsu. 3. Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca. 4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi longgar karena dapat memberi hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya hingga pembacaan selesai. 5. Tidak melakukan uji pada penderita dengan riwayat urtikaria dadakan.

Gambar 12. A. Menempatka alergen pada kit. B. Menempelkan sediaan uji pada punggung atas. C. Menandai daerah uji tempel. D. Sediaan uji telah ditempelkan pada punggung atas.18

18

Gambar 13. Notasi hasil postif terhadap uji tempel menurut International Contact Dermatitis Research Group (ICDRG). (?+) reaksi meragukan, (+) reaksi lemah, (++) reaksi kuat, (+++) reaksi ekstrim, (IR) reaksi iritan.10

Gambar 14. Hasil uji tempel pada punggung atas. A. Uji tempel masih berlangsung dan sesaat setelah pelepasan salah satu kit. B. Pelepasan kit setelah penempelan selama 2 hari, reaksi positif (++) terhadap nikel (N), reaksi positif (+++) terhadap campuran parfum (F). E. Pada hari ke-3, reaksi yang meragukan (+?) terhadap phenylediamine (P). D. Setelah hari ke-4, perkembangan lebih jauh pada reaksi terhadap nikel (+++) dan phenylediamine (+).10

19

Uji tempel dilekatkan selama 48 jam. Kemudian dilakukan pembacaan hasil uji tempel pada: menit 15-30, jam 72-96, >96 jam. Reaksi tersebut dinilai sebagai: 1+ : eritema. 2+ : eritema, edema, papul. 3+ : eritema, edema, papul, vesikel. 4+ : sama dengan 3+, tetapi disertai vesikel yang berkonfluensi. 5+ : sama dengan 4+, tetapi keadaan mandidans dengan atau tanpa nekrosis. Interpretasi pada pemeriksaan uji tempel biasanya membingungkan antara DKA dan DKI meskipun ini merupakan standar penilaian, pembacaannya harus dilakukan dua kali.9 3. Uji kulit intradermal19 Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml semprit tuberkulin disuntikkan secara superfisial pada kulit sehingga timbul 3 mm gelembung. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur masing-masing dengan konsentrasi 10 kali lipat sampai menimbulkan indurasi 5-15 mm. Uji intradermal ini seringkali digunakan untuk titrasi alergen pada kulit.Tes alergi pengujian injeksi intradermal tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin untuk aeroallergens dan makanan, tetapi mungkin untuk mendeteksi racun dan diagnosis alergi obat. Ini membawa resiko lebih besar anafilaksis dan harus dilakukan dengan tenaga medis yang berkompeten melalui pelatihan spesialis. 4. Uji tusuk19 Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen hirup, alergen di tempat kerja, dan alergen makanan. Lokasi terbaik adalah daerah volar lengan bawah dengan jarak minimal 2 cm dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkit ke atas dengan jarum khusus untuk uji tusuk.6

20

Hasil positif bila wheal yang terbentuk >2 mm. Preparat antihistamin, efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan -agonis dapat mengurangi reaktivitas kulit, sehingga harus dihentikan sebelum uji kulit. Uji kulit paling baik dilakukan setelah pasien berusia tiga tahun.

5. Hitung eosinofil total19 Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia apabila dijumpai jumlah eosinofil darah lebih dari 450 eosinofil/L. Hitung eosinofil total dengan kamar hitung lebih akurat dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil sediaan apus darah tepi dikalikan hitung leukosit total. Eosinofilia sedang (15%-40%) didapatkan pada penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan obat, keganasan, dan defisiensi imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan (50%-90%) ditemukan pada migrasi larva. Kadar serum IgE total19 Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit alergi sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit alergi. Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE tertinggi dan pasien asma memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dibandingkan rinitis alergi. Meskipun rerata kadar IgE total pasien alergi di populasi lebih tinggi dibandingkan pasien non-alergi, namun adanya tumpang tindih kadar IgE pada populasi alergi dan non-alergi menyebabkan nilai diagnostik IgE total rendah. Kadar IgE total didapatkan normal pada 50% pasien alergi, dan sebaliknya meningkat pada penyakit non-alergi (infeksi virus/jamur, imunodefisiensi, keganasan). 7. Kadar IgE spesifik19 Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat dilakukan secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan metode RAST (Radio

6.

21

Allergosorbent Test), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay), atau RAST enzim. Kelebihan metode RAST dibanding uji kulit adalah keamanan dan hasilnya tidak dipengaruhi oleh obat maupun kelainan kulit. Hasil RAST berkorelasi cukup baik dengan uji kulit dan uji provokasi, namun sensitivitas RAST lebih rendah.

D. DIAGNOSA BANDING Diagnosis banding pada DKA dipengaruhi oleh banyak faktor seperti gambaran klinik dan distribusi lesi serta manifestasi sistemik. Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis seboroik, psoriasis. Diagnosis banding yang yang terutama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan.1,7

1. Dermatitis Kontak Iritan Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya DKI kronis timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga adakalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergi. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai. Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit non imunologik, jadi kerusakan kulit dapat secara langsung tanpa didahului proses sensitisasi sebaliknya dermatitis kontak alergi terjadi pada seseorang yang mengalami sensitisasi pada suatu alergen. 2 Pada DKI, onsetnya berlangsung cepat sedangkan pada DKA berlangsung sekitar 12-48 jam setelah tersensitisasi. Selain itu pada DKI pasien mengeluh nyeri serta rasa terbakar sedangkan pada DKA pasien mengeluhkan rasa gatal.3

22

Gambar 15. Dermatitis kontak iritan. Tampak krusta dan erosi pada tangan.8 2. Dermatitis Atopik Pada pasien dengan lesi terlokalisir, dermatitis atopik mungkin dicurigai karena riwayat pribadi yang khas, sejarah keluarga, atau karena adanya stigmata dermatitis seperti pucat perioral, sebuah lipatan tambahan di bawah kelopak mata bawah (garis Dennie's), meningkatnya garis-garis pada telapak tangan, dan kejadian peningkatan infeksi kulit, terutama dengan Staphylococcus aureus. Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).1,2 Pedoman diagnosis Dermatitis Atopik yaitu harus ada kondisi gatal ditambah dengan 3 atau lebih kriteria berikut : riwayat terkena pada lipatan kulit, riwayat asma bronchial atau hay fever, riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir, adanya dermatitis yang tampak pada lipatan serta awitan di bawah usia 2 tahun.2

23

Gambar 16. Dermatitis Atopik pada anak. Tampak papul eritem pada wajah.8 3. Dermatitis Seboroik Dermatitis seboroik merupakan peradangan kronik dan superfisial pada daerah-daerah predileksi seperti kepala, alis, kelopak mata, lipatan nasolabial, bibir, telinga, daerah sternal, axilla, lipatan submammae, umbilikus, pangkal paha, dan lipatan glutea.8

Gambar 17. Dermatitis seboroik. Tampak papul eritema pada dada dan axilla.8 4. Psoriasis Psoriasis adalah penyakit inflamasi yang umum, sering dan kambuhan pada kulit dengan karakteristik berupa eritema, kering, plak dengan berbagai ukuran. Dermatitis pada tangan dapat menyerupai psoriasis. Secara umum, lesi pada psoriasis

24

cenderung berbatas tajam, kadang-kadang susah dibedakan. Pada psoriasis terdapat tanda-tanda yang khas, yakni skuama kasar, transparan serta berlapis-lapis, fenomena tetesan lilin, dan fenomena Auspitz.1,2

Gambar 18. Psoriasis. Tampak skuama kasar yang berlapis-lapis pada kulit tangan.8 E. PENATALAKSANAAN Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul.Selain itu, beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita dermatitis kontak alergi adalah sebagai berikut:1,6,15 1. Terapi farmakologik a. Terapi sistemik Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula, serta eksudatif (madidans), misalnya prednisone 30 mg/hari.2 Jika DKA melibatkan daerah kulit yang luas (> 20%), terapi kortikosteroid sistemik sering diperlukan dan efeknya terjadi dalam waktu 12 sampai 24 jam. Dosis yang dianjurkan adalah 0,5-1 mg / kg sehari selama 5

25

sampai 7 hari, dan jika pasien merasa nyaman, dosis dikurangi sebesar 50% selama 5 sampai 7 hari berikutnya. Setelah itu, tingkat pengurangan dosis steroid tergantung pada faktor-faktor seperti keparahan, durasi DKA, dan seberapa efektif kontraktan dapat dihindari. Efek anti-inflamasi obat ini tidak mengubah riwayat alami DKA, tetapi obat ini dapat membantu mengatasi reaksi inflamasi.14 Terapi Prednisone oral20 1) Initial dosis adalah sebanyak 60 mg /per hari diberikan selama 4 hari, 2) Dosis kemudian diturunkan secara bertahap selama 10 hari (50 mg / per hari diberikan selama 2 hari, 40 mg / diberikan selama 2 hari, 30 mg / per hari diberikan untuk 2 hari, 20 mg / per hari diberikan selama 2 hari, kemudian 10 mg / per hari diberikan selama 2 hari).

b. Terapi topikal Terapi topikal, sabun pengganti dan emolien merupakan terapi DKA yang telah diterima secara luas. Jika lesi hanya pada daerah kecil di tubuh, steroid topikal mungkin cukup, tapi jika lebih dari 20% tubuh yang terlibat, maka terapi sistemik dibenarkan. Salep kortikosteroid terfluorinasi potensi kuat harus dihindari pada kulit yang lebih tipis (misalnya kelopak mata dan wajah), penggunaan steroid potensi rendah adalah yang paing baik untuk area ini. Pasien harus diinstruksikan untuk mengoleskan steroid topikal dengan tipis dan dilakukan setelah membersihkan kulit (yaitu mandi atau shower). Penggunaan obat lebih dari dua kali sehari tidak dianjurkan. Lesi akut berespon baik terhadap steroid potensi sedang sampai tinggi. Ada beberapa studi yang mengemukakan adanya efek yang terbatas pada penggunaan steroid yang dikombinasikan dengan antibiotik.5,14

26

2. Terapi nonfarmakologik a. Menghindari pajanan Identifikasi dan hilangkan agen penyebab.1,2,5,6,15 b. Kompres dingin dengan Burrows solution Kompres ini dilakukan untuk mengurangi pembentukan vesikel, kompres ini diganti setiap 2-3 jam. Prinsip pengobatan cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari debris dan sisa-sisa obat topikal yang pernah dipakai. Di samping itu terjadi perlunakan dan pecahnya vesikel, bula, dan pustula. Hasil akhir pengobatan ialah keadaan yang membasah menjadi kering, permukaan menjadi besih sehingga mikroorganisme tidak dapat sembuh dan mulai terjadi proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna untuk menghilangkan gejala, misalnya rasa gatal, rasa terbakar, parestesi oleh bermacam-macam dermatosis.14 c. Fototerapi Fototerapi dilakukan pada pasien dengan DKA yang sulit sembuh dan tidak responsif terhadap kortikosteroid dan ditujukan untuk pasien yang tidak bisa menghindari faktor pencetus dari lingkungan.1

F. KOMPLIKASI Bila tidak diobati, dermatitis kontak dapat berkembang menjadi satu siklus diman rasa pruritus yang kronis menyebabkan penderita menggaruk dan akhirnya terjadi trauma mekanis pada kuli hingga bisa menyebabkan timbulnya peradangan dan luka terbuka. Dalam beberapa kasus, menggaruk berlebihan dapat menjadi port de entry bakteri atau jamur ke dalam lapisan kulit akibat dari luka terbuka, sehingga bisa terjadi infeksi yang kronis. Komplikasi termasuk:21 1) Infeksi bakteri atau jamur pada luka terbuka 2) Selulitis (infeksi kulit dan jaringan sekitarnya yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur yang tumbuh)
27

3) Perubahan permanen pada tekstur kulit dan terjadinya jaringan parut 4) Perubahan warna kulit yang permanen 5) Luka terbuka Pada individu berkulit hitam dapat timbul area hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dari dermatitis kontak alergi. Depigmentasi terjadi pada daerah dermatitis kontak alergi yang kontak terhadap bahan kimia tertentu.21

G. PROGNOSIS Prognosis dermatitis kontak alergi tergantung pada penyebab dan bagaimana caranya menghindari pajanan alergen yang berulang-ulang.Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis atau psoriasis) atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin dihindari.2,5

28

DAFTAR PUSTAKA 1. Cohen DE, Jacob SE. Allergic Contact Dermatitis. In: Wolf K., Goldsmith L.A., Katz S.I., editors. Fizpatricks Dermatology in General Medicine. 7thEd. New York: McGrawHill; 2008. P. 135-46 2. Sulastri SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A., editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed-5. Jakarta: Fk-UI; 2010. H. 129-39 3. Sasseville D. Occupational Contact Dermatitis. Allergy, Asthma, and Clinical Immunology. 2008;4(2):59-65 4. Beck M.H, Wilkinson S.M. Contact Dermatitis: Allergic. In: Rooks, Textbook of Dermatology. 7thEd. Oxford: Blackwell; 2004. P. 20.1-2 5. Bourke J, Coulson I, English J. Guidelines for management of contact dermatitis : an update. British Journal of Dermatology.2009;160:946-54 6. Imbesi S, Minciullo P.L, Isola S, Gangemi S. Allergic contact dermatitis: Immune system involvement and distinctive clinical cases. AllergolImmunopathol. 2011;39(6):374-7 7. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Contact Dermatitis. In Thieme Clinical Companions Dermatology. New York: Thieme New York Publication; 2006. P. 195-203 8. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 10th Ed. Philadelphia: Elsevier Inc 2006. Chapter 6, Contact Dermatitis and Drug Eruption; P.91-111 9. Nosbaum A, Vocanson M, Rozieres M, Hennino A, Nicolas JF. Allergic And Irritant Contact Dermatitis. EJD.2009;19(4):325-32 10. Spiewak R. Patch Testing For Contact Allergy And Allergic Contact Dermatitis. Jagieollonian University Medical College, Krakow Poland. The Open Allergy Journal. 2008;1:42-51

29

11. Duarte I, Malvestiti A, Lazzarini R. Evaluation of the permanence of skin sensitization to allergens in patients with allergic contact dermatitis. An Bras Dermatol. 2012;87(6):8337 12. Akan A, Toyran M, Erkocoglu M, Kaya A, Kocabas CN. The prevalence of Allergic Contact Sensitization of Practicing and Student Nurses. International Journal of Occupational and Environmental medicine. 2012;3(1):10-8 13. Lazzarini R, Sumita J.M. Allergic contact dermatitis among construction workers detected in aclinic that did not specialize in occupational dermatitis. An Bras Dermatol. 2012;87(4):567-71 14. Beltrani VS, Bernstein IL, Cohen DE, Fonacier L. Contact Dermatitis: A Practice Parameter. Annals of Allergy, Asthma & Immunology. 2006;97:1-36 15. Frosch PJ, Menne T, Lepoittevin JP. Histopathological &

Immunohistopathological Features Of Irritant And Allergic Contact Dermatitis. In: Contact dermatitis. 4th ed. Berlin. Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006. P.107-15 16. Shimizu H. Shimizus Textbook of Dermatology. Hokkaido: Hokkaido University Press; 2007. Chapter 3, Immunology of the skin; P.39-47 17. Rustemeyer T, Hoogstraten IM, Blomberg BM, Scheper RJ. Mechanisms in Allergic Contact Dermatitis. In: Contact dermatitis. 4th ed. Berlin. SpringerVerlag Berlin Heidelberg; 2006. P.11-33 18. Wahleberg JE, Lindberg M. Patch Testing. In: Contact dermatitis. 4th ed. Berlin. Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006. P.11-33 19. Sudewi NP, Kurniati N, Suyoko EMD, Munasir Z, Akib AAP, et al. Berbagai Teknik Pemeriksaan Untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi. Sari Pediatri. 2009;11(3):174-8 20. Craig K, Susan E. What Is The Best Duration Of Steroid Theraphy For Contact Dermatitis. The Journal of Family Practice. 2006; 55(2): 166-7 21. Brian M, Contact Dermatitis. British Association of Dermatologists.2009;3:1-5

30

You might also like