You are on page 1of 22

miranti LBM 3 MODUL THT

STEP 7 1. Anatomi dan fisiologi

miranti LBM 3 MODUL THT

miranti LBM 3 MODUL THT

miranti LBM 3 MODUL THT

2. KENAPA hidung selalu tersumbat yang makin lama makin berat?

miranti LBM 3 MODUL THT

Kenapa konka bisa oedem?


Perubahan morfologi dari mukosa respirasi pada Sinusitis Kronik menunjukkan adanya disorientasi siliar, hilangnya sel-sel silia dan peningkatan jumlah sel non silia, metaplasia, ekstrasi dari sel-sel epitel dan silia-silia yang pendek yang kesemua hal tersebut mengindikasikan sebagai suatu siliogenesis.

miranti LBM 3 MODUL THT

3. Bagaimana bisa terbentuk polip?


Mekanisme patogenesis yang bertanggungjawab terhadap pertumbuhan polip nasi sulit ditentukan. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan polip, antara lain: 1. Proses inflamasi yang disebabkan penyebab multifaktorial termasuk familiar dan faktor herediter 2. Aktivasi respon imun lokal 3. Hiperaktivitas dari persarafan parasimpatis. Semua jenis imunoglobulin dapat ditemui pada polip nasi, tapi peningkatan IgE merupakan jenis yang paling tinggi ditemukan bahkan apabila dibandingkan dengan tonsil dan serum sekalipun. Kadar IgG, IgA, IgM terdapat dalam jumlah bervariasi, dimana peningkatan jumlah memperlihatkan adanya infeksi pada saluran napas. Beberapa mediator inflamasi juga dapat ditemukan di dalam polip. Histamin merupakan mediator terbesar yang konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000 konsentrasi serum. Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip adalah Gamma Interferon (IFN-) dan Tumour Growth Factor (TGF-). IFN- menyebabkan migrasi dan aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya bertanggungjawab atas kerusakan epitel dan sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF- yang umumnya tidak ditemukan dalam mukosa normal merupakan faktor paling kuat dalam menarik fibroblas dan meransang sintesis matrik ekstraseluler. Peningkatan mediator ini pada akhirnya akan merusak mukosa

miranti LBM 3 MODUL THT

rinosinusal yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap natrium sehingga mencetuskan terjadinya edema submukosa pada polip nasi. Fenomena bernouli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui celah yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya, sehingga jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga menyebabkan polip, fenomena ini dapat menjelaskan mengapa polip banyak terjadi pada area yang sempit di kompleks osteomatal. Patogenesis polip pada awalnya ditemukan bengkak selaput permukaan yang kebanyakan terdapat pada meatus medius, kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga selaput permukaan yang sembab menjadi berbenjol-benjol. Bila proses terus membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai sehingga terjadi Polip

Epitel normal dari kavum nasi adalah epitel kolumnar bertingkat semu bersilia. Epitel permukaan dari sinus lebih tipis, memiliki sel goblet dan silia yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan kavum nasi.

4. Mengapa pasien mengeluh rhinore, bersin2, gatal, dan apakah ada hubungannya dengan obat pilek yang dibeli?

miranti LBM 3 MODUL THT

Kandungan obat:
1. Analgesik-antipiretik.

Ini istilah medis untuk obat yang khasiatnya meredakan nyeri (analgesik) dan menurunkan demam (antipiretik. Obat flu berisi pereda nyeri karena memang salah satu gejala flu yang mungkin timbul adalah sakit kepala. Adapun kandungan antipiretik dimaksudkan untuk menurunkan gejala panas badan (demam) yang menyertai flu.

miranti LBM 3 MODUL THT

Contoh golongan obat ini antara lain parasetamol dan asetosal. Di kemasan obat, parasetamol kadang ditulis sebagai asetaminofen, sedangkan asetosal kadang ditulis dalam versi panjangnya, asam asetil salisilat. 2. Dekongestan (Pelega Hidung)

Obat golongan ini bekerja melegakan hidung tersumbat. Istilah dekongestan berasal dari kata de- yang berarti menghilangkan, dan congest yang merujuk pada penyumbatan saluran hidung. Contohnya fenil propanolamin dan pseudoefedrin. 3. Antihistamin (Obat Alergi)

Obat ini bekerja dengan cara menetralkan histamin. Histamin sendiri adalah bahan yang bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala flu-pilek seperti hidung meler dan bersinbersin. Contoh obat golongan ini klorfeniramin maleat, difenhidramin, tripolidin, bromfeniramin maleat. Selain punya khasiat antialergi, antihistamin juga punya khasiat sampingan menekan refleks batuk dan efek samping membuat kantuk. Itu sebabnya, saat minum obat flu yang mengandung antihistamin, kita disarankan untuk tidak mengendarai kendaraan bermotor karena obat ini bisa menyebabkan kantuk dan mengurangi konsentrasi. 4. Obat batuk

Karena flu kadang disertai batuk, banyak produk obat flu mengandung obat batuk. Ada dua kelompok besar obat batuk, yaitu penekan batuk (antitusif) dan pengencer dahak (ekspektoran). Antitusif bekerja langsung di otak dengan cara menekan sistem refleks batuk. Contoh obat, dekstrometorfan dan noskapin. Sementara ekspektoran bekerja dengan cara membantu mengurangi kekentalan dahak sehingga lebih mudah dikeluarkan. Contoh obat, bromheksin, guaifenesin (biasa disebut juga gliseril guajakolat, GG), ambroksol, dan karbosistein.

5. Kenapa pasien kurang bisa membau parfum jika aromanya tidak tajam?

miranti LBM 3 MODUL THT

Fungsi pembau dipengaruhi oleh : 1. Defek konduksi : gangguan transport transmisi stimulus reseptor. 2. Defek Neurosensori: gangguan di SSP stimulus reseptor tidak mampu . Gangguan penghidu dipengaruhi oleh neuroepitel olfaktorius yang terletak pada rongga hidungbagian atas dekat cribiform plate, septum nasi superior dinding nasal supralateral, neuroepitel mengandung chemoreseptor yang menghasilkan sel reseptor pembau apabila neuro epitel terganggu menurunkan sel chemoreseptor berakibat fungsi pembau menurun. Etiologi : - Obstruksi saluran hidung : Rinitis, Polip, Tumor Nasal. - Trauma kepala (Frontal, Kerusakan jaringan, gangguan nervus I) - Proses menua - Zat kimia beracun (dengan paparan terus, iritasi hidung, proses membau menurun.

miranti LBM 3 MODUL THT

- Gangguan kromosom, menurunkan reseptor pembau.

6. Bagaimana cara dokter mendiagnosa adanya polip dan apa yang ditemukan pada hasil px?
Dapat dilakukan pemeriksaan Endoskopi nasal dan sinus untuk memastikan adanya polip nasal maupun sinus dan untuk menentukan letak polip nasal tersebut. Dapat pula dilakukan pemeriksaan CT-scan, tes alergi,kultur tetapi hal ini dilakukan atas indikasi.

Gambar dari suatu polip nasiyang tampak dengan endoskopi.

7. Mengapa ingusnya sering encer, kadang kental, bewarna kuning mengalir ke tenggorok disertai dengan demam?

miranti LBM 3 MODUL THT

Mucus dalam jumlah kecil pada hidung bersifat normal untuk membersihkan hidung dari partikel-partikel yang ikut masuk melalui respirasi seperti debu, kotoran, dal lain-lain. Partikel tersebut akan ditangkap oleh mucus yang dikeluarkan oleh sel goblet dan akan dialirkan oleh silia pada mukosa hidung. Jika terjadi terjadi gangguan pada mukosa seperti edema mukosa akan menyebabkan ostium tersumbat karena silia tidak dapat bergerak. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul merupakan media baik untuk pertumbuhan bakteri. Sekret jadi purulen. Enzim myeloperoksidase. Enzim ini berperan mematikan protein yang terdapat dalam granula netrofil azurofilik & lisosom monosit utama & berwarna hijau dalam pus.

Post nassal drip


Post-nasal discharge, also called post-nasal drip (PND), describes the sensation of mucous accumulation in the throat or a feeling that mucus is dripping downward from the back of the nose. PND can be caused by excessive or thick secretions or throat muscle and swallowing disorders. Normally, the glands lining the nose and sinuses produce one to two quarts of thin mucus a day. On the surface of this mucous membrane lining, the rhythmic beat of invisible cilia (which look like tiny hairs under the microscope) thrust the mucus backward. Then it is swallowed unconsciously. This mucus lubricates and cleanses the nasal membranes, humidifies air, traps and clears inhaled foreign matter, and fights infection. Mucus production and clearance is regulated by a complex interaction of nerves, blood vessels, glands, muscles, hormones, and cilia.

8. Bagaimana fisiologi sistem drainase dari sinus paranasal?

miranti LBM 3 MODUL THT

Paranasal sinus merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Rongga tersebut berisi udara dan dilapisi oleh mukosa bersilia dan palut lendir. Pada keadaan normal sinus tidak mengandung organisme atau bakteri. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya pada rongga hidung mengikuti jalur pola yang telah ditentukan. Jadi mucus tersebut dapat dikeluarkan dan udara dapat bersirkulasi dengan baik. Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transpot mukosiliar sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba eustacius. Lendir yang berasal dari sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis dialirkan ke nasofaring di posteriorsuperior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati post nasal drip tetapi belum tentu ada sekret di tenggorokan. Fungsi: Sebagai pengatur kondisi udara Sebagai penahan suhu Membantu keseimbangan kepala Membantu resonansi suara Sebagai peredam perubahan tekanan udara Membantu produksi mucus 1. Sinus frontal : terletak pada tulang frontal, biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk lekuk. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang tipis dari orbita dan fossa cerebri sehingga infeksi akan mudah menyebar ke daerah ini. Persarafan adalah dengan nervus supraorbital (V1) 2. Sinus maksilaris adalah sinus paranasal terbesar. Dengan batas-batas: superior dasar orbit, inferior = prosesus alveolaris dan palatum, anterior = permukaan facial os maksila, posterior : permukaan infra temporal maksila, medial = dinding lat dari rongga hidung. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum ethmoid.

miranti LBM 3 MODUL THT

a. sinus maksilaris sangat berdekatan dengan akar gigi (P1,P2, M1,M2) sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas disebut sinusits dentogen b. sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita c. pembukaan sinus maksila ini terletak lebih tinggi daripada dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung gerak cilia dan juga hanya melalui infundibulum yang sempit. Pembengkakan pada daerah iniakibat radang atau alergi dapat menghalangi drainase sinus maksila dan bisa terinfeksi lebih mudah = sinusitis Suplai darah : arteri superior alveolar (arteri maksilaris) Persarafan = cabang dari nervus anterior/ middle / posterior alveolar superior (V2) 3. Sinus Etmoidal yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap penting karena merupakan focus infeksi bagi sinus lainnya. Sinus ini berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon yang terletak di dalam massa bagian lateral os etmoid, antara konka media dan dinding medial orbita. Dibagi menjadi sinus etmoid anterior dan posterior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit yang disebut resesus frontal yang berhubungan dengan sinus frontal dan pembengkakan pada daerah ini dapat menyebabkan sinusitis frontalis. Set etmoid yang terbesar disebut bula etmoid juga di daerah ini ada penyempitan yang disebut infundibulum tempat bermuaranya ostium sinus maksila dan pembengkakannya dapat menyebabkan sinusitis maksila. Batas-batas : atap = lamina kribosa, lateral = lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita, posterior = sinus sfenoid. Persarafan adalah nervus anterior/posterior etmoid cabang dari C1 4. Sphenoid : sinus terletak di tulang sphenoid, bagian dari atap rongga hidung adalah atap rongga hidung pada bagian ni lemah. Jika rusak dalam perkelahian, dapat menyebabkan kebocoran isi sinus atau bahkan CSF keluar dari hidung. Persarafan adalah nervus ethmoidal posterior.

9. Apakah ada hubungannya keluhan pasien dengan keluhan istrinya? Reaksi fisiologis suhu turun. Ketika tidur silia bergerak lambat. Berhubungan dengan. Orang alergi ige tereksitasi sehingga terjadi reaksi silang. reaksi hipersensitivitas

10.

Apa hubungannya riwayat hipertensi dan epistaksis?

Hipertensi mungkin berkontribusi terjadinya epistaksis, tetapi teori ini kontroversial. Sebuah studi cross-seksional, studi berdasarkan populasi menunjukkan tidak ada hubungan antara epistaksis dan hipertensi. Dalam sebuah studi prospektif pasien dengan hipertensi yang mempunyai epistaksis, insiden epistaksis tidak tergantung pada keparahan dari hipertensi.

miranti LBM 3 MODUL THT

Dalam populasi ini, tekanan darah yang diukur pada saat epistaksis sama dengan tekanan yang diukur setiap saat. Dalam penelitian yang berbeda dilaporkan bahwa peningkatan tekanan darah terjadi pada pasien epistaksis. Ketika onset epistaksis mendadak terjadi, hal ini menjadikan sulit menilai apakah hipertensi adalah penyebabnya, karena banyak pasien dengan perdarahan yang aktif mempunyai kecemasan yang memicu peningkatan tekanan darah. Talangiektasis hemorraghic heriditer adalah gangguan genetik lainnya yang mengakibatkan hidung berdarah.

Sebab2 epistaksis???
Keadaan lokal dan sistemik memberikan kontribusi terjadinya epistaksis. Yang paling sering adalah dipicu sendiri dengan tangan, khususnya pada anak-anak. Trauma mukosa dari obat hidung topikal, seperti kortikosteroid atau antihistamin, mungkin mengakibatkan epistaksis minimal pada 17-20% dari pasien yang menggunakan produk tersebut. Insiden dari epistaksis muncul lebih rendah jika pasien langsung menyemprotkan ke arah lateral untuk meminimalkan efek pengobatan ini pada septum. Pelarangan penggunaan obat hidung mungkin juga karena epistaksis. Profound Epistaksis mungkin akibat dari trauma pada tulang atau septum nasal. Dehumidification mukosa nasal mungkin mendasari peningkatan insiden epistaksis yang tercatat selama musim dingin. Faktor lain yang berhubungan dengan epistaksis termasuk perforasi septum, dimana biasanya menyebabkan mukosa kering, rhinosinusitis viral dan bakteri, dan neoplasma.

11. DD? 1. Rhinitis alergica


Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

miranti LBM 3 MODUL THT

Gambar 2.1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan selanjutnya (Benjamini, Coico, Sunshine, 2000). Diagnosis rinitis alergi Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan: 1. Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990). 2. Pemeriksaan Fisik Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu,

miranti LBM 3 MODUL THT

dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002). 3. Pemeriksaan Penunjang a. In vitro Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002). b. In vivo Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. KeuntunganSET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002). Penatalaksanaan rinitis alergi 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 2. Simptomatis a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat Universitas Sumatera Utara

miranti LBM 3 MODUL THT

antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006). b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001). c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

2. Rhinosinusitis
Rinosinusitis Sinusitis dapat didefinisikan sebagai peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal, umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut sebagai rinosinusitis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007) Menurut Konsensus International tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu dan kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu. (Soetjipto D & Wardani RS,2007) Rinosinusitis kronis adalah peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang menetap selama lebih 12 minggu atau 4 kali serangan akut berulang pertahun yang masing-masing serangan lebih dari 10 hari. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan nasoendoskopi dan foto polos hidung dan sinus paranasal atau SPN. (Busquets JM ,2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001) Gejala Mayor : Hidung tersumbat Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND Sakit kepala Nyeri / rasa tekan pada wajah Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia) Gejala Minor : Demam, halitosis Pada anak ; batuk, iritabilitas Sakit gigi Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga. Kriteria lain dalam menegakkan rinosinusitis adalah berdasarkan European Position Paper On Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS), 2007, maka panduan untuk penatalaksanaan rhinosinusitis kronis pada orang dewasa bagi para dokter spesialis THT adalah sebagai berikut : Gejala dan tanda Gejala yang timbul lebih dari 12 minggu. Dua atau lebih gejala, salah satu yang seharusnya dijumpai adalah hidung tersumbat / pembengkakan / keluarnya cairan dari hidung ( cairan hidung yang menetes keluar bisa melalui anterior maupun posterior) : disertai rasa sakit pada wajah / rasa tertekan pada wajah berkurang / hilangnya penciuman

miranti LBM 3 MODUL THT Berdasarkan anamnesis ada tanda-tanda alergi seperti : bersin , ingus yang cair, hidung gatal dan mata gatal berair. Jika positif dijumpai tanda-tanda alergi tersebut maka dilakukan tes alergi. (Fokkens W.2007) 2.8 Kekerapan Kaszuba, 2006, mencatat bahwa penyakit sinusitis akut ataupun kronik telah dapat diperkirakan meningkat hingga mencapai 31 juta orang setiap tahunnya dengan perkiraan rata-rata 4 hari tidak bekerja setiap tahunnya akibat menderita penyakit tersebut. Sebagian besar pasien dengan rinosinusitis mencari pengobatan langsung dengan dokternya, dengan lebih dari 18 juta yang berkunjung ke praktik dokter setiap tahunnya yang terdiagnosis penyakit rinosinusitis. (Kaszuba, 2006) Pada tahun 1996, di Amerika Serikat , seluruh pelayanan kesehatan mencatat bahwa pelayanan yang dikeluarkan hingga berakhir dengan tegaknya diagnosis sinusitis diperkirakan lebih dari 5,8 miliar dolar Amerika dan termasuk dalam 10 besar diagnosis penyakit pada seluruh kunjungan praktik dokter di Amerika Serikat. (Kaszuba, 2006) Sedangkan Chen Bei, 2006, memperkirakan bahwa rinosinusitis adalah salah satu keluhan medis yang terbanyak dijumpai, hingga mencapai 16% populasi, dan diperkirakan 13 juta setiap tahunnya yang berkunjung ke praktik dokter di Amerika Serikat dan diperkirakan menghabiskan biaya sekitar 6 milliar dolar Amerika setiap tahunnya. (Chen B, 2006) Di RSUP.H.Adam Malik Medan jumlah penderita rinosinusitis dari bulan Januari 2006 Desember 2008 adalah 1967 orang. 2.9 Patofisiologi Fungsi ventilasi dan drainase adalah penting dalam menjaga kondisi sinus agar tetap normal. Hal ini berhubungan erat dengan keadaan KOM penderita. Apabila KOM terganggu dapat menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi yang menurunkan kandungan oksigen, peningkatan PCO , menurunkan pH, mengurangi
2

aliran darah mukosa. Pembengkakan mukosa juga dapat menyempitkan ostium dan menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar. (Ballenger JJ, 1994 ; Busquets JM, 2006 ; Wilma T, 2007) Sakakura, 1997, menerangkan bahwa patofisiologi dari rinosinusitis kronik berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoaktif amin, proteases, arachidonic acid metabolit, imun kompleks, lipopolisakarida dan lain-lain. Hal- hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan dari mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar. Adanya disfungsi mukosiliar menyebabkan terjadinya stagnasi mukus. Akibatnya bakteri akan semakin mudah untuk berkolonisasi dan proses inflamasi akan kembali terjadi. (Katsuhisa K, 2001 ; Sakakura, 1997)

miranti LBM 3 MODUL THT

2.10 Gejala Klinis Dan Diagnosa Rinosinusitis didiagnosis apabila dijumpai 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor. Jika hanya 1 gejala mayor atau 2 atau lebih gejala minor yang dijumpai, maka diperkirakan sebagai persangkaan rinosinusitis yang harus termasuk sebagai diagnosis banding. (Busquets JM ,2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001) Gejala Mayor : Obstruksi hidung Sekret pada hidung / sekret belakang hidung Sakit kepala Nyeri / rasa tekan pada wajah Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia) Gejala Minor : Demam, halitosis Pada anak ; batuk, iritabilitas Sakit gigi Sakit telinga/ nyeri tekan pada telinga/rasa penuh pada telinga Tx. Cairan Salin Cairan Salin sebagai adjuvan terapi pada sinusitis dapat mencegah sekresi krusta pada rongga hidung, khususnya di KOM. Hal ini difasilitasi oleh gerak mekanik silia dalam mendorong gumpalan mukus yang dibersihkan dengan cairan salin. Secara teoritis cairan hipertonik salin kemungkinan dapat mengurangi edema mukosa secara difusi berdasarkan kandungan osmolaritasnya. Hal ini dapat meningkatkan daya pembersihan mukosiliar dan secara sekunder dapat memperbaiki patensi dari ostium sinus. Penelitian dari Mayers et al, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sebesar 12 kali dalam peningkatan pembersihan mukosiliar yang dibuktikan dengan mukosa dari trakea binatang yang dicuci dengan cairan yang sama dengan cairan buffer hipertonik salin. (Talbot AR, 1997 ; Raymond GS,2005, Shoseyov D, 2005)

miranti LBM 3 MODUL THT Bagaimana cara hipertonik salin dapat memperbaiki Sinusitis Kronis (SK) masih belum dimengerti. Perubahan morfologi dari mukosa respirasi pada SK menunjukkan adanya disorientasi siliar, hilangnya sel-sel silia dan peningkatan jumlah sel non silia, metaplasia, ekstrasi dari sel-sel epitel dan silia-silia yang pendek yang kesemua hal tersebut mengindikasikan sebagai suatu siliogenesis. Hiperosmolaritas dari cairan terhadap jalan
2+

napas dapat meningkatkan jumlah pengeluaran Ca dari dalam sel (intraseluler) dan
2+

peningkatan Ca ini mungkin dapat merangsang peningkatan dari frekuensi gerak silia dan hal ini kemungkinan juga dipengaruhi oleh adanya pengaturan dari Adenosin Tri-Phosphat (ATP) oleh axon-axon silia. Efek antibakterial topikal dari hipertonik salin dikenal baik dapat memperbaiki luka dan mencuci luka yang terbuka. (Shoseyov D, 2005) Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan tehnik terbaik untuk penatalaksanaan rinosinusitis kronik sampai dengan saat ini. BSEF lebih konservatif dengan morbiditas yang rendah apabila dibandingkan dengan tehnik operasi yang lain, (Kennedy DW,2006). Tehnik bedah ini pertama kali diperkenalkan oleh Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stamberger di Eropa dan Kennedy di Amerika dengan sebutan functional endoscopik sinus surgery (FESS). Tehnik operasi ini dilakukan secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi sampai etmoidektomi total (Ahmed, 2003; Kennedy DW, 2006). Konsep dari teknik BSEF adalah didasari pada perubahan yang reversibel pada fungsi mukosiliar dan patologi mukosa dengan cara memperbaiki patologi penyakit sinusitis kronis di daerah komplek osteomeatal / KOM dan untuk memulihkan fisiologi dari ventilasi serta drainase sinus paranasal di daerah KOM ke jalan alamiah, karena meskipun kelainan di KOM sangat minimal dapat mengganggu ventilasi sinus dan mucociliary clearance (Busquets JM,2006 ; Katsuhisa I.1996 ; Kennedy DW,2006) Setelah penelitian Messerklinger pada tahun 1950-1960 an telah banyak peneliti lain yang mengkaji ulang serta berusaha membuktikan kevaliditasan teori beliau baik secara simptomatik, radiologi, dan mengevaluasi secara patologi pada sebelum dan sesudah operasi dan salah satunya adalah Katsuhisa. Menurut beliau konsep dari teknik BSEF adalah didasari pada perubahan yang reversibel pada fungsi mukosiliar dan patologi mukosa hidung dengan cara memperbaiki patologi penyakit sinusitis kronis di daerah KOM, memperbaiki mukosa sinus yang telah rusak dengan cara membuka ostium sinus sealamiah mungkin dan bersamaan itu juga memulihkan fisiologi dari ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga daya pembersihan mukosiliar meningkat. (Katsuhisa I. 1996 : Bassiouny. 2003 : Wilma T.2007) http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf

Klasifikasi Sinusitis Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan minggu (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik jika lebih dari tiga bulan

miranti LBM 3 MODUL THT atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu infectious atau non-infectious (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007; Sobol, 2011). Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis (Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi pre molar dan molar (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf

You might also like